PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENTAL SPIRITUAL UNTUK MENINGKATKAN MORAL KERJA PESERTA LEMBAGA KURSUS PERHOTELAN : Studi di LPT Panghegar Kota Bandung.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN TIM PROMOTOR ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Perumusan Masalah ... 10

D. Definisi Operasional ... 11

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 18

F. Kerangka Pemikiran ... 21


(2)

A. Hakikat Lembaga Kursus ... 30

B. Hakikat Belajar dan Pembelajaran ... 45

1. Hakekat Belajar ... 45

2. Hakekat Pembelajaran ... 49

C. Hakekat pembelajaran Mental Spiritual ... 52

1. Landasan Agama, Landasan Filosofis dan Landasan Pendidikan ... 53

2. Makna Pembelajaran Mental Spiritual ... 60

3. Moral Kerja ... 68

a. Pengertian Moral Kerja ... 69

b. Motivasi Sebagai Inti Moral Kerja ... 70

c. Dimensi Moral Kerja ... 72

d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Moral Kerja .. 74

e. Teknik Mengukur Moral Kerja ... 76

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 76

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 81

B. Prosedur Penelitian ... 82

1. Studi Pendahuluan ... 86

2. Penyusunan Konsep Model ... 87

3. Uji Coba dan Revisi Model ... 88

4. Kodifikasi Model Sebagai Produk Penelitian ... 91

C. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 92


(3)

1. Wawancara Mendalam ... 96

2. Observasi Partisipasi dan Non-Partisipasi ... 96

3. Dokumentasi, Perekaman, Pemotretan dan Pencatatan .. 97

4. Triangulasi dan Diskusi Mendalam ... 98

5. Eksperimen ... 99

6. Pengolaham, Analisis, Interpretasi dan Penyajian Data . 100 E. Instrumen Pengumpulan Data ... 103

1. Pedoma Wawancara ... 103

2. Alat Perekam dan Pemotretan ... 104

3. Dokumen dan Alat Tulis ... 104

4. Pedoman Observasi ... 105

5. Lembar Kerja Eksperimen ... 105

F. Analisis Data ... 107

G. Pengembangan Alat Pengumpulan Data ... 109

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN TEMUAN A. Deskripsi Hasil Studi Awal ... 110

B. Pengembangan Model Pembelajaran Mental Spiritual Untuk Meningkatkan Moral kerja Peserta Kursus Di Lokasi Penelitian ... 152

C. Hasil Uji Coba ... 173

D. Efektifitas Model Pembelajaran Mental Spiritual Untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus Di Lembaga Kursus Perhotelan ... 209

E. Temuan dan Pembahasannya ... 218 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI


(4)

A. Kesimpulan ... 250

B. Implikasi ... 256

C. Rekomendasi ... 257

DAFTAR PUSTAKA ... 260

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 266


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional di setiap negara, termasuk di Indonesia. Pembangunan nasional di Indonesia dipahami memiliki dua dimensi global. Pertama yang berdimensi phisik material, dan yang kedua berkaitan dengan aspek mental spiritual. Secara phisik material, walau bagaimanapun pembangunan di Indonesia dapat dikatakan sudah mencapai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Namun dalam hal mental spiritual, nampaknya masih harus terus ditingkatkan. Berbagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan nasional di bidang mental spiritual memang terus dilakukan. Faktor penting dalam pembangunan bidang mental spiritual ini dilaksanakan melalui sektor pendidikan.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Sisdiknas RI No. 20/2003 Bab I pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa;

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Isi ketentuan yuridis formal tersebut mengandung indikasi tentang betapa pentingnya pembinaan mental spiritual yang harus dilakukan dalam proses pendidikan. Kemudian, pada Bab VI pasal 13 ayat (3) UU Sisdiknas RI disebutkan; ”Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Adapun mengenai satuan pendidikan nonformal, dikemukakan pada Bab VI pasal 26 ayat (4), yakni;


(6)

”Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis ta’lim, serta satuan pendidikan yang sejenis”.

Bertitik tolak dari isi Bab VI pasal 26 ayat (4) UU Sisdiknas tersebut, nampaknya lembaga kursus memiliki posisi strategis dan mempunyai peran yang cukup penting dalam tataran pendidikan nasional. Hal ini tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat dan adanya keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah bagi masyarakat dalam mengembangkan program kursus yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tadi. Sekaitan dengan hal itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP No. 19/2005 (2005: 4) antara lain dikemukakan;

... standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal hanya mengatur hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Adanya keleluasaan dalam mengembangkan program pengelolaan lembaga kursus memberikan dampak positif bagi perkembangan jumlah lembaga kursus di Indonesia. Menurut Direktori Kursus Indonesia (2005: xi); ”Jumlah kursus yang terdata pada tahun 2005 sebesar 11.809 kursus, dengan pertumbuhan minimal sebesar satu persen per tahun”. Dari sekian banyak lembaga kursus yang ada di Indonesia, sebanyak 1.533 lembaga kursus dengan 2.053 jenis kursus terdapat di Jawa Barat dan di antaranya, terdapat 395 lembaga kursus dengan 546 jenis kursus berada di Kota Bandung (2006: xxxvi). Berkaitan dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional RI – Direktur Jenderal PLS Depdiknas RI sangat apresiatif dalam memberikan


(7)

sambutannya pada penerbitan Direktori Kursus Indonesia (2005: iii) dengan mengemukakan;

Jumlah kursus yang sangat besar dibandingkan satuan-satuan pendidikan lainnya merupakan aset yang sangat berharga bagi dunia pendidikan di Indonesia, di mana prakarsa masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang pendidikan telah berkembang. Perkembangan kursus yang demikian pesat ini perlu terus didorong dan ditingkatkan mutunya agar sumber daya manusia yang dihasilkan semakin dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia usaha / industri.

Dari sambutan Dirjen PLS Depdiknas RI tersebut dapat diketahui adanya tujuan yang ingin dicapai dari ditingkatkannya mutu kursus yaitu untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang semakin dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia usaha / industri (DUDI). Dengan orientasi demikian biasanya aspek phisik material yang diekspresikan melalui keterampilan sering lebih mengemuka ketimbang persoalan mental spiritual. Sebagai contoh, nampak sekali adanya kesenjangan porsi pembelajaran yang bernuansa teknis dibandingkan dengan unsur pembinaan mental spiritual bagi warga belajarnya atau para peserta kursus. Di beberapa lembaga kursus, pelajaran agama nyaris tidak ’diberikan’ baik secara eksplisit maupun implisit dalam program pembelajarannya. Padahal kekuatan spiritual keagamaan sangat dibutuhkan untuk membentuk pribadi yang unggul. Bahkan dalam Penjelasan atas PP 19/2005 (2005: 2) disebutkan;

Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


(8)

Berdasarkan dua aspek yuridis formal sebagaimana disebutkan, nampak sekali adanya kepentingan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persoalan spiritualitas seseorang. Apalagi para peserta kursus bidang perhotelan. Masalahnya antara lain stigma yang sudah sering diberikan oleh masyarakat luas bagi profesional bidang perhotelan. Meskipun sudah mulai berkurang, namun stigma tersebut masih terasa melekat. Masih sering masyarakat menyebut bahwa bekerja di hotel relatif lebih banyak madlaratnya. Anggapan masyarakat tersebut kadang-kadang logis memang, karena mereka sering melihat banyak hal yang kurang baik dilakukan oleh “oknum” yang memang kurang baik.

Selain itu masih banyak para pekerja di bidang perhotelan yang memiliki moral kerja rendah dan cenderung lebih materialisme dalam melaksanakan tugasnya, sedangkan profesional yang bertugas di bidang pelayanan harus memiliki semangat dan moral kerja yang tinggi sebagai bagian dari excellent service (pelayanan prima) kepada pelanggan, ini tentunya harus menjadi perhatian para penyelenggara kursus lembaga perhotelan.

Salah satu penyebab rendahnya moral kerja tersebut adalah karena pada waktu mengikuti pendidikan tidak memperoleh pembelajaran mental spiritual yang relatif cukup memadai. Kondisi inipun terjadi pula di lembaga kursus bidang perhotelan. Artinya, di lembaga kursus bidang perhotelan masih belum terdapat model pembelajaran mental spiritual yang dapat membekali peserta didik dan atau alumninya agar pada waktu bekerja memiliki moral kerja yang tinggi.

Menurut beberapa pakar pendidikan, keberhasilan pendidikan di suatu lembaga pendidikan dalam konteks ini lembaga kursus sebagai salah satu institusi PLS sangat tergantung pada tiga komponen utama, yakni; peserta didik itu sendiri


(9)

yang di lingkungan kursus biasa disebut dengan warga belajar (WB), pendidik atau pengajar yang di lingkungan kursus sering disebut dengan instruktur atau untuk konteks ini pembina, dan kredibilitas lembaga yang bersangkutan, termasuk di dalamnya manajemen yang dijalankan. Bahkan Salusu (1996: 481 – 482) mengemukakan:

Dalam dunia pendidikan, mereka yang terlibat langsung dalam peningkatan kualitas adalah staf pengajar. Sungguhpun demikian, Manajemen Mutu Terpadu (MMT) mensyaratkan kuatnya kepemimpinan yang mampu mendorong semua staf pengajar untuk mengejar kualitas pengajaran yang dibutuhkan oleh anak didik sebagai konsumennya. Ada berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang peningkatan kualitas pendidikan, namun sering kali kurang dibarengi dengan komitmen para peserta pelatihan terutama setelah mereka kembali ketempat tugas semula. Disamping itu, kadang-kadang kepemimpinan dalam lembaga pendidikan tersebut kurang memberikan dukungan yang kuat serta tekad yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas. Kepemimpinan dalam dunia pendidikan haruslah menyatu dengan semua staf pengajar sebagai “penentu kualitas” yang terdepan. Selain dukungan dan dorongan dari para pemimpin, mereka juga perlu diberikan kemudahan-kemudahan yang memungkinkan tugas peningkatan kualitas itu dapat dilaksanakan tanpa banyak hambatan. Jadi, untuk memperoleh SDM yang berkualitas tinggi dalam rangka mencapai tujuan pendidikan khususnya di lembaga kursus diperlukan adanya pembinaan mental spiritual bagi warga belajarnya, yang didasari oleh adanya pola kerja yang terkoordinir secara sistematis dalam suatu model pembelajaran tertentu dimana instruktur atau pembina menjadi ujung tombak dalam pembinaan tersebut. Posisi pembina yang menjadi ujung tombak dalam pembinaan mental spiritual bagi warga belajar di lembaga kursus, memberikan indikasi bahwa pembina harus betuk-betul “piawai atau lihai” dalam menyajikan materi pembinaan. Di samping itu materi pembinaan pun harus tertata sedemikian rupa, agar dapat menarik peserta kursus untuk mengikuti pembelajaran. Jika tidak demikian, niscaya pembinaan tidak akan mencapai tujuan yang sesuai dengan yang diharapkan oleh


(10)

stakeholders. Singkatnya kedua elemen pembinaan tadi yakni pembina dan materi

pembinaan harus sudah betul-betul siap dan terkodifikasi dengan baik, sehingga peserta kursus mengetahui dengan cermat arah pembinaan yang diikutinya. Kenyataan membuktikan bahwa pembinaan mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus belum berjalan dengan baik. Ada beberapa penyebab kurang baiknya proses pembinaan mental spiritual tersebut, antara lain;

1. Belum ada waktu khusus yang dialokasikan untuk melakukan pembinaan mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus.

2. Materi pelajaran dalam rangka pembinaan mental spiritual tersebut belum tersusun secara sistematis.

3. Proses pembinaan sering berjalan apa adanya.

4. Instruktur yang menjadi pembina secara khusus untuk melakukan pembinaan mental spiritual belum ada.

5. Belum ada kurikulum, GBPP, SAP, dan modul pembinaan yang secara khusus diperuntukkan bagi pembinaan mental spiritual bagi peserta didik di lembaga kursus.

Kelima aspek tersebut dapat dirangkum dalam suatu model pembelajaran. Apabila model pembelajaran itu telah tersusun dengan baik, maka akan tercipta suatu kondisi ideal untuk melakukan pembinaan mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus. Oleh sebab itu kelima aspek dan semua fenomena yang telah dipaparkan tadi merupakan berbagai hal yang menjadi latar belakang dalam melakukan penelitian tentang pengembangan model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus untuk meningkatkan moral kerja alumninya bila kelak ia bekerja sebagai profesional bidang perhotelan.


(11)

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang penelitian yang sudah dikemukakan dapat diketahui adanya beberapa persoalan yang bisa menjadi masalah bila persoalan tersebut diabaikan penanganannya. Pembinaan mental spiritual sebenarnya merupakan kebutuhan setiap individu untuk dapat meraih kesuksesan dalam hidup kehidupannya. Terlebih bagi peserta kursus di sebuah lembaga kursus, sesungguhnya sangat membutuhkan hal itu. Sayangnya banyak lembaga kursus yang kurang memberikan perhatian serius terhadap aspek yang penting ini. Ketidak-adaan pembina mental spiritual yang khusus dan mapan di suatu lembaga kursus misalnya, ini jelas tidak akan bisa memotivasi peserta kursus untuk sungguh-sungguh mengikuti kegiatan pembinaan mental spiritual bagi dirinya, padahal pada dasarnya mereka sangat membutuhkan.

Dengan kurang termotivasinya peserta kursus untuk mengikuti kegiatan ini tentunya menjadi masalah yang apabila dibiarkan dapat mengimbas kepada aspek lainnya mulai dari hal-hal yang bersifat operasional sampai kepada tataran strategis. Sebagai contoh, konon kabarnya kini banyak anggota masyarakat Indonesia yang memiliki mental spiritual yang tidak kuat atau ’rapuh’. Kondisi makro ini sebetulnya berawal dari kurang terperhatikannya lingkungan mikro dalam hal pembinaan mental spiritual seperti di lembaga kursus. Kemudian, karena secara hipotetif pembinaan mental spiritual tersebut berkorelasi dengan moral kerja, maka dengan tidak adanya pembelajaran mental spiritual berimbas pada adanya kemungkinan kurang terbinanya moral kerja yang baik. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan model pembelajaran pada tataran mikro. Oleh karena itu masalah pokok dalam penelitian ini ialah mengenai penyusunan model


(12)

pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus. Dengan tersusunnya model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus diharapkan bisa dikodifikasi hal-hal ideal seperti: konsepsi tentang pembina yang relatif mumpuni dan dalam operasionalisasinya dapat dijadikan tauladan; tersedianya sarana, prasarana, dan fasilitas pembinaan yang memadai; terkondisikannya peserta kursus yang bermotivasi tinggi untuk mengikuti pembinaan mental spiritual yang dilaksanakan oleh lembaga kursus yang bersangkutan; dan aspek ideal lainnya.

Kondisi ideal tersebut tentunya sangat kontradiktif dengan kenyataan yang ada sekarang sebagaimana telah dikemukakan. Semua kenyataan yang kontradiktif dengan kondisi ideal tersebut dapat menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya dapat teridentifikasi seperti berikut ini.

1. Sampai saat ini masih sangat sedikit sekali lembaga kursus yang secara khusus melakukan pembinaan mental spiritual bagi peserta kursus. Walhasil banyak para alumninya yang kurang memiliki bekal mental yang baik dan kuat dalam menghadapi persaingan serta kehidupan masa depannya.

2. Pembinaan mental spiritual yang dilakukan oleh setiap lembaga kursus yang melaksanakan pembinaan, porsinya sangat kecil sekali bila dibandingkan dengan proses pembelajaran lainnya, sehingga hasilnya nyaris tidak nampak. 3. Kurangnya berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk melakukan pembinaan

mental spiritual peserta kursus di lembaga kursus mengakibatkan pembinaan yang dilaksanakan terkesan seadanya, dan tentunya tidak dapat memotivasi peserta didik untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh serta hasilnya pun tentu kurang optimal.


(13)

4. Masih kurangnya piranti untuk pembinaan ternyata disebabkan oleh tidak adanya berbagai konsepsi dan ketentuan yang mendasarinya seperti; belum adanya kurikulum, GBPP – Garis-Garis Besar Program Pembelajaran, SAP – Satuan Acara Pembelajaran, dan modul serta belum adanya job spesification dan job description bagi pembina. Dengan demikian siapapun bisa jadi pembina. Kondisi demikian memunculkan pola pembinaan yang tidak profesional. Hasilnya pun tentu saja tidak akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh stakeholders.

5. Ada beberapa kalangan khususnya peserta kursus yang mempunyai persepsi bahwa pembinaan mental spiritual hanya diarahkan untuk tujuan ’ukhrowiyah’ atau non-kehidupan dunia. Kalangan ini belum merasa membutuhkan pembinaan mental spiritual untuk menghadapi kehidupan duniawi. Padahal kekuatan mental spiritual seseorang akan sangat dibutuhkan untuk menghadapi kehidupannya baik pada saat ia masih mengikuti kursus maupun dalam menghadapi masa depannya. Untuk menghadapi persaingan misalnya, sesungguhnya dibutuhkan mental yang kuat. Demikian juga dalam menghadapi ’godaan’ berupa kondisi positif seperti manakala seseorang menduduki jabatan ’basah’, bila kurang kuat mentalnya mungkin akan korup misalnya, dan sebagainya.

6. Pembinaan mental spiritual yang diselenggarakan oleh lembaga kursus sering dianggap sebagai kegiatan supplemen atau pelengkap. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebaiknya ditiadakan dengan alasan supaya waktunya bisa difokuskan untuk mempelajari keterampilan saja, karena hal itu sangat dibutuhkan ketika bekerja. Padahal sebagaimana telah disebutkan bahwa


(14)

setiap pekerjaan memerlukan orang yang memiliki mental spiritual yang kuat. Dengan adanya anggapan bahwa pembinaan mental spiritual bagi peserta kursus sebagai pelengkap, maka dirasakan pula bahwa pembinaan mental spiritual tersebut seolah-olah tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi warga belajar ketika kelak ia melaksanakan profesinya. Kondisi psikologis semacam ini menimbulkan sikap apathis dari sebagian peserta kursus dalam mengikuti pembinaan. Jika sudah masabodoh dalam keikutsertaannya, niscaya hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan baik oleh peserta kursus itu sendiri maupun stakeholders lainnya.

7. Bertitik tolak dari hal-hal yang telah dikemukakan pada point 1 sampai dengan point 6, maka moral kerja peserta kursus tentunya akan kurang terbina dengan baik. Walhasil hal ini merupakan masalah yang cukup signifikan untuk diantisipasi, karena moral kerja bagi peserta kursus bidang perhotelan sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi pekerjaan yang akan digelutinya.

Masalah-masalah yang teridentifikasi tersebut semakin mendorong penulis untuk menyusun model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus, agar semua masalah tersebut dapat diantisipasi. Apabila sudah diantisipasi dengan baik, maka diharapkan masalah tersebut justru berbalik menjadi potensi. Adapun model pembelajaran yang akan disusun merupakan pengembangan dari kondisi obyektif yang ada.

C. Perumusan Masalah

Dari permasalahan yang telah dipaparkan, nampak bahwa secara umum masalah yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini ialah mengenai model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus bidang


(15)

perhotelan di Kota Bandung yang mengimbas pada moral kerja. Bertitik tolak dari masalah yang telah teridentifikasi sebagaimana telah dikemukakan, maka masalahnya dapat dirumuskan melalui beberapa pertanyaan penelitian sebagai dasar pertimbangan utama dalam menyusun model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut tersusun seperti berikut ini.

1. Bagaimana kondisi pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang sedang berjalan sekarang ?

2. Model pembelajaran mental spiritual yang bagaimana yang dikembangkan untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus ?

3. Bagaimana efektifitas model pembelajaran mental spiritual yang dikembangkan untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus ?

4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong dan bisa menghambat pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus yang dapat meningkatkan moral kerja peserta kursus ?

D. Definisi Operasional

Penelitian ini berjudul: Pengembangan Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus di Lembaga Kursus. Untuk memperoleh gambaran operasional, maka semua konsepsi tersebut didefinisikan secara operasional seperti berikut ini.

1. Pengembangan dimaksudkan sebagai perubahan yang dilakukan dengan tujuan agar proses pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus menjadi lebih baik, lebih tepat dan relatif lebih memadai.


(16)

2. Model diartikan sebagai suatu gambaran untuk melaksanakan proses pembelajaran mental spiritual di lembaga kursus yang bersangkutan, yang diawali oleh perencanaan berbagai input dan diakhiri oleh evaluasi.

3. Pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh instruktur secara terarah dan terencana untuk menambah dan mengembangkan kemampuan mental spiritual para peserta kursus agar memiliki moral kerja yang lebih baik.

4. Mental yaitu aspek psikologis (seseorang) peserta kursus yang sedang mengikuti kegiatan pembelajaran di lembaga kursus yang melaksanakan kegiatan pembelajaran mental spiritual. Hal ini terkadang kurang mendapat perhatian.

5. Sipiritual merupakan segala hal yang berkaitan dengan aspek ruhaniah yang dapat menimbulkan semangat peserta kursus dalam melakukan berbagai kegiatan hidupnya yang didasari oleh faktor-faktor norma atau kaidah-kaidah agama.

6. Moral kerja adalah suasana batin seseorang (peserta kursus) yang dibentuk sedemikian rupa melalui pembelajaran mental spiritual, sehingga dapat menjadi bekal para peserta kursus bila kelak bekerja sesuai dengan profesinya. 7. Peserta kursus ialah peserta didik lembaga kursus yang sedang mengikuti

kegiatan pembelajaran mental yang dilaksanakan oleh lembaga kursus yang bersangkutan.

8. Lembaga kursus yakni satuan pendidikan luar sekolah atau satuan pendidikan nonformal yang sedang melaksanakan kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus dan dijadikan lokasi penelitian untuk memperoleh data


(17)

terkait sebagai bahan dalam menyusun dan atau melakukan pengembangan model pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus.

Dari keseluruhan konsep yang telah dijelaskan secara operasional tersebut, maka Pengembangan Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus dapat diartikan sebagai perubahan yang dilakukan dengan maksud agar proses pembelajaran mental spiritual yang dilaksanakan di lembaga kursus perhotelan menjadi lebih baik, sehingga dapat menambah serta mengembangkan kekuatan dan kemampuan aspek psikologis peserta kursus agar tumbuh semangat yang didasari oleh faktor-faktor keagamaan dalam meraih kesuksesan hidup dan masa depannya. Dengan demikian diharapkan moral kerjanya dapat meningkat sesuai dengan tuntutan profesinya.

Berdasarkan definisi operasional dari semua konsep yang telah dijelaskan, selanjutnya dapat dikemukakan definisi operasional yang bertitik tolak dari perumusan masalah, yaitu;

1. Kondisi obyektif kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus yang dilakukan oleh lembaga kursus ialah; pembinaan mental spiritual yang sedang dilakukan oleh lembaga kursus khususnya yang dijadikan lokasi penelitian, sesederhana apapun baik terstruktur maupun yang tidak terstruktur, terjadwal ataupun tidak, dan yang terpola maupun yang berjalan dengan sendirinya.

2. Model pembelajaran mental spiritual, yaitu berbagai masukan berupa peralatan, perlengkapan dan aspek terkait lainnya yang disediakan oleh lembaga kursus untuk melakukan proses pembelajaran yang menghasilkan produk pembinaan (keluaran) serta memberikan dampak dan memunculkan


(18)

umpan balik adanya peningkatan moral kerja yang dapat dimanfaatkan dalam melakukan berbagai perbaikan pada periode pembelajaran berikutnya.

3. Dampak merupakan pengaruh yang kuat dan mendatangkan akibat tertentu. Jadi dampak pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus berarti suatu keadaan yang terjadi pada diri peserta kursus sebagai akibat adanya pengaruh yang kuat dari hasil pembelajaran mental spiritual yang dilakukan oleh lembaga kursus khususnya yang berkaitan dengan adanya peningkatan moral kerja. Sementara itu yang dimaksud dengan dampak kegiatan pembelajaran mental bagi peserta kursus terhadap lembaga kursus ialah; perlakuan peserta kursus maupun pihak luar yang berinteraksi dengan peserta kursus yang mengikuti kegiatan pembelajaran, terhadap lembaga kursus yang melakukan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus. Misalnya setelah dilaksanakan pembelajaran, sikap dan perilaku peserta kursus menjadi lebih baik dalam menggunakan berbagai sarana, prasarana, dan fasilitas belajar milik lembaga kursus yang bersangkutan. Atau tumbuh rasa hormat dan saling menghargai antar seluruh SDM yang ada di lingkungan lembaga kursus tersebut. Dampak lainnya muncul dari pihak luar yang respek terhadap lembaga kursus yang menyelenggarakan kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus setelah melihat peserta kursus berperilaku santun di luar lembaga kursus misalnya. Demikian juga yang dimaksud dengan dampak pembelajaran terhadap orang tua peserta kursus dan masyarakat, yaitu minimal perasaan yang muncul setelah melihat hasil pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus, dimana hasil pembinaan itu diekspresikan oleh anaknya atau anggota


(19)

masyarakat sebagai peserta kursus yang sedang atau telah mengikuti kegiatan pembelajaran mental spiritual di lembaga kursus tempat yang bersangkutan mengikuti proses pendidikan, sehingga nampak moral kerjanya baik.

4. Faktor yang mendorong terselenggaranya kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus ialah setiap hal yang dapat memperkuat dan memperlancar pelaksanaan kegiatan pembelajaran, sehingga kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama yang berkaitan dengan peningkatan moral kerja. Sedangkan faktor penghambat merupakan semua hal yang dapat mengurangi keinginan berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus, dan mengurangi tingkat pencapaian tujuan pembelajaran.

5. Adapun mengenai kelebihan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada sehubungan dengan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus untuk meningkatkan moral kerja, secara operasional dapat didefinisikan sebagai berikut:

a. Kelebihan dari kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus perhotelan adalah sesuatu yang didapat oleh peserta kursus dan stakeholders lainnya apabila mengikuti kegiatan pembelajaran mental spiritual yang diselenggarakan oleh lembaga kursus, dan atau berbagai faktor yang mendorong terselenggaranya kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus tertentu untuk meningkatkan moral kerjanya.


(20)

Ini berarti “sesuatu” tadi tidak dapat diperoleh bila tidak dilaksanakan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja pesertanya, terutama kalau mata pelajaran tersebut berada dalam satu mata pelajaran khusus.

b. Kelemahan dari kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus yaitu berbagai hal yang bisa menjadi hambatan dan dipandang dapat menghalangi penyelenggaraan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus, dan atau menghalangi pencapaian tujuan dalam rangka meningkatkan moral kerja peserta kursus. c. Peluang dari pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus adalah unsur-unsur yang dapat menunjang lancarnya penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dan atau keberhasilan pencapaian tujuan, sehingga pasca kegiatan pembelajaran diperoleh berbagai umpan balik serta dampak positif bagi peserta kursus, untuk lembaga kursus, terhadap orang tua peserta kursus maupun masyarakat yang berinteraksi dengan peserta kursus yang sedang atau telah mengikuti kegiatan pembelajaran.

d. Tantangan terhadap pelaksanaan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus merupakan berbagai aspek yang dapat mengurangi bahkan pada kondisi tertentu bisa meniadakan keinginan untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran mental spiritual bagi peserta kursus di lembaga kursus, dan atau faktor-faktor bisa mengurangi bahkan meniadakan hasil-hasil yang telah


(21)

diperoleh dalam kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus.

6. Model yang telah digunakan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus adalah pola atau gambaran yang telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga kursus untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Sedangkan model pembelajaran yang harus disusun dan dikembangkan untuk direkomendasikan agar pembinaan dapat berjalan efektif ialah rencana yang disusun berdasarkan data yang ada mengenai pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus, agar pembelajaran menjadi lebih baik. Apabila terjadi kondisi demikian, maka dikatakan bahwa model tersebut dapat berjalan efektif, yang parameternya menurut Sugiyono (2008: 413, 415) meliputi;

a. Pemahaman peserta kursus terhadap materi pembelajaran.

b. Tingkat kreatifitas dan inovasi peserta kursus dalam melaksanakan hasil-hasil pembelajaran.

c. Pelaksanaan hasil-hasil kegiatan pembelajaran oleh peserta kursus.

d. Tingkat kemudahan atau mudah-tidaknya peserta kursus dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan mudah-tidaknya instruktur (pembina) dalam melakukan kegiatan pembelajaran.

e. Suasana belajar yang kondusif, terutama yang dirasakan oleh peserta kursus.


(22)

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Setiap kegiatan positif tentunya memiliki tujuan yang relatif jelas. Demikian halnya dalam penelitian ini, ada tujuan yang ingin dicapai. Di samping itu, tentu saja hasil penelitian inipun diharapkan dapat berguna baik secara teoritis, praktis maupun pragmatis bagi setiap kalangan dan lingkungan terkait.

1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian ini ialah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus. Kemudian, data dan informasi yang diperoleh tersebut dijadikan dasar untuk mempelajari berbagai hal yang terkait dengan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus tadi, yang pada gilirannya dapat disusun model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang relatif lebih efektif. Adapun tujuan penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

a. Tujuan Umum

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah ditemukannya model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus di Kota Bandung, yang kemudian dapat menjadi model pembelajaran mental spiritual di lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan nonformal seperti di lembaga kursus. Operasionalisasi tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :


(23)

1) Menganalisis berbagai faktor yang dapat dikembangkan dalam menyusun model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus.

2) Menyusun dan merekomendasikan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang dapat dimanfaatkan oleh setiap lembaga kursus dan atau lembaga pendidikan lainnya khususnya di lingkungan lembaga pendidikan nonformal.

b. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menyusun model pembelajaran mental spiritual dalam meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. Secara rinci tujuan khusus ini adalah:

1) Memperoleh data, mengetahui dan mengungkapkan kondisi obyektif pelaksanaan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja di lembaga kursus.

2) Menyusun konsepsi model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus berdasarkan kondisi obektif sebagaimana dikemukakan pada point 1) tadi.

3) Melakukan uji coba terhadap konsepsi pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus yang telah disusun, sekaligus melakukan revisi terhadap hasil uji coba yang selanjutnya dijadikan model pembinaan mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus yang akan direkomendasikan.


(24)

4) Mengimplementasikan dan merekomendasikan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus yang telah direvisi dan disempurnakan.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak terkait dan bisa dimanfaatkan oleh setiap pihak yang berkepentingan terutama para pembina mental spiritual secara teoritis maupun praktis atau pragmatis.

a. Manfaat Teoritis

Dalam tataran teoritis, penelitian ini tentunya diharapkan dapat bermanfaat bagi pribadi peneliti dalam meningkatkan wawasan untuk melakukan penelitian khususnya yang menyangkut penelitian tentang model pembelajaran mental spiritual di lembaga kursus. Di samping itu, semua konsep yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagi penelitian sejenis yang melakukan kajian terhadap aspek-aspek yang sama. Manfaat teoritis lainnya yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain meliputi; 1) Adanya kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya yang menyangkut kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus, dan 2) Adanya penambahan literatur yang sudah ada serta sebagai bahan acuan dalam menelaah masalah yang sama. b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang akan melaksanakan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus. Dalam tataran makro ada satu harapan kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemegang kebijakan


(25)

sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan porsi pembangunan mental spiritual SDM Indonesia melalui pendidikan non-formal khususnya lembaga kursus. Hal ini penting, karena sampai saat ini pembangunan mental spiritual di Indonesia dirasakan dan dianggap kurang berhasil. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggapnya sebagai ’tidak’ berhasil. Buktinya, menurut ’mereka’; kini banyak peristiwa dan kejadian yang menimpa dan menerpa bangsa ini awalnya disinyalir sering disebabkan oleh sikap mental spiritual ”orang-orang tertentu” yang perilakunya kurang sesuai dengan norma sosial, norma agama, dan kaidah-kaidah kehidupan lainnya yang positif. Dengan adanya pengembangan model pembelajaran mental spiritual yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan masalah pembelajaran mental spiritual dapat teratasi, sehingga pembinaan mental spiritual yang dilaksanakan dapat menghasilkan output,

outcome, dan feedback yang ideal dalam artian yang sesuai dengan keinginan stakeholders serta kebutuhan semua pihak.

F. Kerangka Pemikiran

Model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus sangat berkaitan dengan sistem yang ada dan atau digunakan dalam mengelola suatu lembaga kursus. Berangkat dari kenyataan berupa keterkaitan tersebut, dan sejalan dengan masalah serta tujuan penelitian sebagaimana telah dikemukakan, maka kerangka pemikiran yang ’dibangun’ dalam penelitian ini bermula dari konsepsi yang dikemukakan oleh Sudjana (2004: 34) mengenai hubungan fungsional antara komponen, proses dan tujuan pendidikan nonformal. Secara visual konsepsi Sudjana tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.


(26)

Masukan Lingkungan

Masukan Lain Masukan Sarana

Masukan Lingkungan

Masukan Mentah Pengaruh

Keluaran Proses

Gambar 1.1

Hubungan Fungsional : Komponen, Proses dan Tujuan Pendidikan Nonformal (Sumber: Sudjana, 2004:34)

Gambaran tentang hubungan dari tiga aspek yang dikemukakan oleh Sudjana tersebut sangat sesuai dengan kenyataan yang ada dalam pengelolaan sebuah lembaga kursus khususnya yang terkait dengan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus. Setiap lembaga kursus yang akan melakukan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus tentu saja membutuhkan berbagai masukan berupa masukan sarana dan masukan mentah seperti peserta kursus, instrukturnya dan sebagainya. Di samping itu secara langsung diperlukan juga masukan dari lingkungan dan masukan lainnya. Semua masukan tersebut berinteraksi dalam proses dan menghasilkan keluaran yang memberikan pengaruh kepada unsur-unsur yang berinteraksi tadi baik langsung maupun tidak langsung.

Semua unsur yang saling berhubungan sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana ternyata betul-betul sistemik, sehingga bila inputnya kurang baik misalnya, maka outputnya pun kemungkinan besar menjadi kurang baik. Bahkan bila prosesnya kurang baik pula, maka kemungkinan besar outputnya menjadi


(27)

Sumber: Adopsi dan Modifikasi dari Priatna, 2004: 163.

tidak baik. Ada satu contoh; karena kegiatan pembelajaran mental spiritual yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan tertentu umumnya tidak optimal, maka hasilnyapun terbukti tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan ada suatu sinyalemen bahwa krisis multidimensional yang terjadi sekarang di Indonesia ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya kegiatan pembelajaran mental spiritual yang diberikan kepada peserta didik di satuan pendidikan tertentu, yang tentunya dalam konteks ini di antaranya yaitu di lingkungan satuan pendidikan nonformal khususnya lembaga kursus. Adapun yang dimaksud dengan ”kurang” tersebut dilihat secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, dapatlah dikemukakan bahwa kegiatan pembelajaran mental spiritual sekarang ini jumlahnya memang relatif sedikit. Dengan kata lain hal ini dirasa kurang. Apalagi bila dilihat secara kualitatif, kualitas kegiatan pembelajaran mental spiritual memang rendah sekali. Sejalan dengan hal itu secara kronologis digambarkan oleh Tedi Priatna (2004: 163) tentang terjadinya krisis di Indonesia seperti berikut ini.

Gambar 1.2

Kronologi Terjadinya Krisis

(Sumber: Adopsi dan Modifikasi dari Priatna, 2004:163) Keimanan

Tidak Menjadi Inti Pendidikan Nasional

Lulusan yang Lemah Iman

Akhlak yang Rendah

Jiwa Korup KKNS (Korupsi, Kolusi,

Nepotisme, dan Sewenang-wenang)

Krisis (Moneter, Ekonomi, dan Multi-Dimensional)


(28)

Dari gambar 1.2 tersebut diketahui bahwa menurut telaahan Priatna, terjadinya krisis multi-dimensi yang dialami Indonesia sekarang ini diawali oleh tidak dijadikannya keimanan sebagai inti pendidikan nasional. Artinya secara operasional kegiatan pembelajaran mental spiritual di lembaga pendidikan yang dalam konteks ini lembaga kursus, tidak dilakukan dengan model yang baik dan tepat, sehingga hasilnya seperti yang dialami saat ini. Banyak lulusan suatu lembaga pendidikan yang lemah iman, akibatnya akhlaknya rendah. Imbasnya, ada beberapa lulusan yang jiwanya korup. Dan seterusnya; sampai sekarang hampir semua anggota masyarakat dan atau warga negara Indonesia sekarang ini merasakan adanya krisis yang bermula dari krisis moneter, kemudian meluas menjadi krisis ekonomi, sampai kini menjadi krisis multi-dimensi.

Berdasarkan kedua gambaran tadi, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat dirumuskan sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini.


(29)

Feedback

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan pada gambar 1.3 menunjukkan bahwa pengembangan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus lembaga kursus dimulai dari model yang telah ada dan digunakan sebelumnya atau yang sedang digunakan

Input Proses Output

Masyarakat Pengelola Lembaga Instruktur Sarana dan Prasarana

D a n a

Peserta Kursus Outcome Lembaga Kursus Pembelajaran Keterampilan (Jenis Kursus) Pengelolaan Lembaga Pembelajaran Mental Spiritual

Evaluasi Meningkatkan

Moral Kerja

Model Pembelajaran Mental Spiritual Untuk Meningkatkan Moral Kerja

Peserta Kursus Lembaga Kursus Lulusan Lembaga Kursus Bekerja Berwira-usaha Menganggur

Uji Coba & Revisi


(30)

yang disebut sebagai kondisi obyektif yang ada. Dari sini dapat diketahui bahwa pada dasarnya penyusunan model tersebut merupakan pengembangan yang dimulai dari evaluasi terhadap input. Kemudian input tadi diproses di lembaga kursus khususnya yang menyangkut pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus melalui analisis.

Langkah selanjutnya, hasil analisis tersebut, disusun menjadi model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus. Setelah tersusun dengan baik, maka model tadi diuji coba dan direvisi sampai betul-betul dalam kondisi yang relatif sempurna. Jika sudah dalam kondisi relatif sempurna, maka model tersebut akan direkomendasikan untuk menjadi model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus yang dapat diimplementasikan di lembaga kursus dan atau lembaga pendidikan lainnya.

Untuk lebih mempertegas acuan pelaksanaan penelitian, maka berdasarkan kerangka pemikiran yang telah disusun tersebut, dikemukakanlah operasionalisasi konsep yang bermula dari suatu konsepsi bahwa strategi pembelajaran mental spiritual bagi warga belajar di lembaga kursus harus sudah disiapkan sejak awal atau menjelang kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan. Dengan demikian mulai dari skenario pembelajaran sampai implementasi model dan berbagai kemungkinan yang harus diantisipasi termasuk di dalamnya evaluasi yang akan dilakukan hendaknya sudah diperhitungkan sedemikian rupa dan sebaik mungkin, sehingga tujuan pembelajaran akan dapat tercapai. Lebih jelasnya paradigma tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.


(31)

Feedback Harus Dipertahankan Harus Dipertahankan Harus Diperbaiki Harus Dikembangkan Keterangan:

1 = akan berkembang

2 = akan tumbuh dan berkembang

3 = kemungkinan tetap bertahan, dan mungkin bisa diperbaiki Gambar 1.4

Paradigma Penelitian Lembaga Kursus Input Output Proses Outcome Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk

Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus

Kondisi Sosial Masyarakat Lingkungan Sosial

Peserta Kursus

Dana, Sarana, Prasarana dan Fasilitas Belajar

Pembelajaran Mental Spiritual

Pembelajaran Vokasional (Keterampilan)

Lulusan yang memiliki kekuatan mental spiritual yang tinggi

Bekerja Berwirausaha Menganggur

Kemungkinan berdampak Positif Kemungkinan berdampak Positif Kemungkinan berdampak Negatif Beriman, Bertaqwa, Berakhlak, Sikap dan Perilakunya Baik dan Mandiri Kemungkinan


(32)

Sebagaimana nampak dalam gambar 1.4, idealnya model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peseeta kursus di lembaga kursus dapat menjadi pola yang betul-betul merangkum semua kegiatan yang akan dilakukan disertai ancangan pengadaan dan penyediaan anggaran. Dalam hal ancangan pengadaan, hendaknya sudah terangkum hal-hal yang berkaitan dengan; 1. Kualifikasi instruktur/pembina dan langkah-langkah pekerjaan yang akan

dilakukan oleh instruktur/pembina atau yang lebih dikenal dengan nama job

description,

2. Kurikulum, GBPP, SAP, dan modul pembelajaran, 3. Alokasi waktu pembelajaran,

4. Sarana, prasarana dan fasilitas pembelajaran, 5. Kondisi sosial masyarakat

6. Lingkungan Sosial, dan 7. Pesera kursus.

Sementara itu dalam hal penyediaan anggaran, hendaknya telah tersusun pemenuhan kebutuhan dana untuk melaksanakan semua pekerjaan yang sudah direncanakan berikut sumber dananya.

Semua rencana yang ada dan telah tersusun tadi termasuk di dalamnya masalah anggaran, harus diarahkan untuk melakukan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus. Semua rencana tersebut selanjutnya dirinci menjadi program pembelajaran sampai menjadi jadwal kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh personal yang telah ditugasi dengan orientasi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian pada langkah-langkah berikutnya dari proses sampai evaluasi terhadap feedback yang


(33)

ada, semua personal maupun peralatan dan perlengkapan sudah diatur dalam model yang telah dikembangkan. Jadi walaupun model tidak nampak pada langkah-langkah sebagaimana disebutkan tadi, namun semua pekerjaan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Di samping itu tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik, sesuai keinginan stakeholders dan kebutuhan masyarakat luas.


(34)

81 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri pengembangan model pembelajaran yang dapat meningkatkan moral kerja peserta kursus perhotelan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and

Development) melalui pendekatan kualitatif. Borg & Gall (1983: 624)

menyatakan bahwa metode ini adalah “a process used to develop and validate

educational products”. Langkah-langkah dalam proses penelitian ini mengarah

kepada siklus, yang berdasarkan kajian dan temuan penelitian kemudian dikembangkan suatu produk yang didasarkan pada temuan kajian pendahuluan, diuji dalam suatu situasi dan dilakukan revisi terhadap hasil uji coba sampai pada akhirnya diperoleh suatu model (product) yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil.

Sukmadinata (2007: 60) mengemukakan bahwa: “Penelitian kualitatif ... ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”. Pada bagian lain Nana (2007: 77) menyebutkan bahwa; “Penelitian deskriptif bisa juga untuk mendeskripsikan keadaan dalam tahapan pengembangannya”. Di samping itu (2007:100 – 101) penelitian kualitatif memiliki kegunaan; 1. bagi pengembangan teori, 2. sumbangan bagi penyempurnaan praktek, 3. bagi penentuan kebijakan, 4. bagi klarifikasi isue dan tindakan sosial, serta 5. bagi studi-studi khusus. Berdasarkan pendapat Nana tersebut, maka dalam melakukan penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif.


(35)

Adapun prosedur penelitian yang dilakukan yakni melalui langkah-langkah sebagaimana yang dikemukakan oleh Nana (2007: 190), yang terdiri atas; 1) Studi Pendahuluan, yang meliputi: a. Studi literatur, b. Studi lapangan, dan c. Penyusunan draft awal, 2) Uji Coba, yang akan dilakukan melalui: a. Uji coba dengan sample terbatas, dan b. Uji coba dengan sample yang lebih luas, 3) Uji Produk dengan cara melaksanakan: a. Eksperimen, dan b. Sosialisasi produk.

Sementara itu menurut Sugiyono (2008: 404) metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. Sementara itu Nana (2007: 164) mengemukakan bahwa: Penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari penjelasan tadi dapatlah dikemukakan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Sementara itu metodenya ialah metode R & D atau penelitian dan pengembangan.

B. Prosedur Penelitian

Berdasarkan pendapat dari dua pakar penelitian sebagaimana telah disebutkan dimuka, yakni Nana dan Sugiyono, maka secara operasional prosedur penelitian yang dilakukan akan melalui langkah-langkah seperti berikut ini.

1. Melakukan studi literatur, yakni mempelajari berbagai data sekunder melalui: a. Buku-buku,

b. Literatur lainnya seperti: koran, majalah, dan sebagainya.

Adapun studi ini dilakukan di perpustakaan UPI Bandung, perpustakaan LPT Panghegar dan beberapa perpustakaan terkait lainnya.


(36)

2. Menentukan satu lembaga kursus yang akan dijadikan lokasi penelitian dengan kriteria adanya kesesuaian kondisi yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas, yakni tentang model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus.

3. Menetapkan sejumlah instruktur lembaga kursus yang melakukan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus.

4. Mengidentifikasi beberapa peserta kursus untuk dijadikan sample atau subyek penelitian baik dalam kapasitasnya sebagai informan maupun sebagai responden, sehingga dengan demikian akan diperoleh berbagai data yang dibutuhkan untuk membahas pengembangan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. 5. Mulai mengawali penelitian di lapangan melalui pencatatan mengenai

berbagai hal yang terjadi di lokasi penelitian dan lingkungan terkait berdasarkan dokumen yang ada, observasi dan wawancara serta teknik pengumpulan data lainnya termasuk di dalamnya menentukan beberapa

stakeholders lembaga kursus yang bersangkutan, sehingga dengan demikian

akan diperoleh berbagai data yang dibutuhkan untuk membahas pengembangan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus.

6. Menyusun draft awal berupa model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus terkait untuk selanjutnya dijadikan bahan kajian lebih lanjut.


(37)

7. Melakukan uji coba berdasarkan draft awal model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang telah disusun.

8. Melaksanakan eksperimen berupa kuasi eksperimen .

9. Menyusun laporan penelitian dalam bentuk disertasi sebagai sosialisasi produk.

Bersamaan dengan itu, juga dilakukan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data dari setiap pihak yang terkait. Adapun keseluruhan tahapan tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini.


(38)

1. Studi Pendahuluan

Studi Lapangan Studi Pustaka

2. Menyusun draft Awal

Konsep Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga

kursus, Kajian dan Persiapan Validasi

3. Validasi untuk Menyusun Konsep 4. Penyusunan Konsep Model Pembelajaran

Mental Spiritual Untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus di Lembaga

Kursus yang siap di uji coba

5. Uji Coba

6. Eksperimen Revisi

7. Seminar

8. Produk

(Model yang direkomendasikan)

9. Laporan Penelitian (Sosialisasi Produk)

Gambar 3.1

Operasionalisasi Prosedur Penelitian -Studi Literatur

-Dokumentasi

-Menentukan lokasi penelitian -Menetapkan responden /

informan

-Mengawali penelitian untuk menyusun konsep yang akan direkomendasikan

-Kegiatan pembelajaran mental spiritual di Lem. Kursus -Konfirmasi hasil studi pustaka

dengan temuan awal di lap. I. Studi

Pendahuluan

II. Penyusunan Konsep Model

III. Uji Coba dan Revisi Konsep


(39)

Dari gambar 3.1 dapat diketahui tahapan yang sistematis dari prosedur yang dilakukan. Secara konsepsional terdapat tiga tahap. Sedangkan operasionalisasinya meliputi sembilan langkah yang secara metodis dapat dirangkum menjadi empat bagian penting, yaitu: 1) Studi pendahuluan, 2) Penyusunan konsepsi model, 3) Uji coba dan revisi konsep, serta 4) Kodifikasi. Adapun rincian keempat hal tersebut dipaparkan seperti berikut ini.

1. Studi Pendahuluan

Kegiatan studi pendahuluan merupakan langkah pertama dalam keseluruhan penelitian. Pada studi pendahuluan, peneliti melakukan eksplorasi terhadap lembaga-lembaga kursus yang ada di Kota Bandung. Sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan, dipilihlah lokasi kursus yang sesuai, yakni Lembaga Pendidikan Terapan (LPT) Panghegar. Pemilihan lokasi yang merupakan sample penelitian ini didasari oleh pendapat Nana (2007: 97) yang menyebutkan bahwa salah satu ciri pendekatan kualitatif menekankan pada adanya informan untuk mendapatkan

sample purposif. Pada bagian lain, Nana (2007: 101 – 102) menjelaskan bahwa sample tersebut dipilih karena memang menjadi sumber yang kaya dengan

informasi tentang fenomena yang diteliti.

Secara umum eksplorasi dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dokumentasi serta operasionalisasi dari kursus yang bersangkutan dimana hal ini merupakan studi lapangan, dan aspek-aspek yang berkaitan dengan berbagai konsepsi tentang lembaga kursus dan pembelajaran mental spiritual yang tentunya termasuk kategori studi kepustakaan. Keseluruhan studi ini difokuskan pada adanya pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus yang dilaksanakan di lokasi kursus tadi. Adapun mengenai kurun waktu pembelajaran


(40)

yang diteliti meliputi kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan pada tahun akademik 2007/2008 sampai dengan tahun akademik 2008/2009 dengan alasan selama kurun waktu tersebut telah nampak jelas adanya input, proses, output sampai out-come. Semua data dikumpulkan secara kualitatif berupa studi dokumentasi dan survey melalui wawancara mendalam dan terbuka serta mempergunakan alat bantu berupa angket. Data yang diperoleh dilengkapi oleh kajian pustaka untuk lebih mendalami berbagai konsep yang selanjutnya akan digunakan untuk menyusun model konsep sebagai prosedur berikutnya.

2. Penyusunan Konsepsi Model

Setelah studi pendahuluan selesai, dihasilkanlah draft awal. Kemudian draft awal tersebut divalidasi. Pasca validasi, draft awal tadi dijadikan sumber utama dalam penyusunan konsep. Tahap ini sudah mulai melibatkan sejumlah instruktur kursus yang bersangkutan. Bahkan mengikutsertakan beberapa peserta kursus yang mengikuti pembelajaran mental spiritual, pimpinan lembaga kursus sampai

stakeholders dari lembaga kursus yang bersangkutan. Berdasarkan hasil konfirmasi

berbagai data yang diperoleh dan dikumpulkan disertai masukan dari semua pihak yang terkait, maka disusunlah konsep model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus pada lembaga kursus. Isi dari konsep model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus pada lembaga kursus tersebut sudah mulai diarahkan untuk tidak hanya memberikan pemahaman tentang pembelajaran mental spiritual, tetapi sudah mulai mengarah pada implementasi aktivitas terapan hasil pembelajaran mental spiritual manakala peserta kursus telah menyelesaikan pembelajaran yang diikutinya. Oleh karena itu dalam konteks ini sudah dilakukan ”minimalisasi” atau bahkan – jika


(41)

mungkin – diusahakan untuk ”meniadakan” kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus pada lembaga kursus disertai dengan ”memaksimalkan” kelebihan yang timbul dalam proses tersebut.

3. Uji Coba dan Revisi Model

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini terdiri atas dua hal penting, yaitu uji coba dan revisi model. Pada dasarnya uji coba konsep merupakan implementasi dari konsep yang telah disusun. Dalam konteks ini konsep yang diuji-cobakan ialah konsep model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang sebelumnya telah disusun berdasarkan hasil studi pendahuluan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih mendasar mengenai berbagai persoalan yang masih harus terus dikembangkan sebelum konsep ini di-revisi dan atau dijadikan konsep utama sebagai hasil dari pengembangan melalui penelitian ini. Uji coba konsep ini akan dilakukan terhadap kondisi obyektif di lapangan yang meliputi; a. perencanaan, b. proses pembelajaran, dan c. evaluasi. Dari evaluasi inilah tentunya akan diperoleh berbagai hal yang perlu untuk ditindaklanjuti pada revisi, sehingga akan dapat menghasilkan model yang representatif. Uji coba itu sendiri dilakukan secara terbatas terhadap instruktur yang dijadikan sample dalam penelitian ini, sedangkan secara lebih luas langsung dilakukan terhadap peserta kursus dalam suatu proses pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. Adapun hasilnya didiskusikan dengan pakar guna memperoleh masukan untuk revisi dan didiskusikan pula dengan instruktur


(42)

Pada waktu uji coba model tentunya diperoleh data yang dibutuhkan untuk mengembangkan model tersebut menjadi model utama atau model yang akan direkomenasikan. Data yang diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif, agar dapat diinterpretasikan guna mengambil kesimpulan. Model yang telah direvisi berdasarkan hasil uji coba tersebut merupakan pengembangan untuk diimplementasikan pada setiap jenis kursus dan atau dapat bermanfaat bagi pengembangan serta kajian ilmiah tentang pengembangan SDM dan pemberdayaan masyarakat secara sosiologis. Karenanya dalam melakukan revisi model dilakukan diskusi mendalam dengan: (a) para praktisi/ahli, (b) pimpinan lembaga kursus yang bersangkutan, (c) instruktur pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus pada lembaga kursus yang bersangkutan, (d) Peserta kursus dari kursus yang bersangkutan, dan (e) para stakeholders lainnya seperti tokoh Pendidikan Nonformal, tokoh agama serta aktivis yang berkaitan dengan masalah pembinaan mental spiritual. Hasil diskusi secara mendalam, diharapkan dapat menjadi masukan baik berupa kritik, saran, usulan, maupun pengalaman, sehingga dapat dijadikan bahan dalam melakukan revisi model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus dan melaksanakan penyempurnaan model tersebut. Untuk memperoleh model yang layak sebagai pengembangan dibutuhkan eksperimen sebagai bentuk pengujian. Sekaitan dengan hal ini Sugiyono (2008: 414 – 415) mengemukakan:

Pengujian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi apakah metode (model pembelajaran, pen.) yang baru lebih efektif dibandingkan dengan cara lama. Untuk itu pengujian dapat dilakukan dengan eksperimen, yaitu membandingkan efektifitas ... mengajar (model pembelajaran, pen.) lama dengan yang baru. Indikator efektivitas adalah kecepatan pemahaman murid (peserta kursus, pen.) pada pelajaran (pembelajaran, pen.), murid


(43)

bertambah kreatif dan hasil belajar meningkat. Eksperimen dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah memakai metode mengajar (model pembelajaran, pen.) baru (before-after) atau dengan membandingkan dengan kelompok yang tetap menggunakan cara mengajar (model pembelajaran, pen.) lama.

Sebelumnya Sugiyono (2008: 413) mengemukakan bahwa: Efektivitas model pembelajaran dapat diukur dari mudah diimplementasikannya, suasana pembelajaran menjadi kondusif dan hasil pembelajaran meningkat. Dengan demikian indikator efektifitas meliputi:

a. Pemahaman peserta kursus terhadap materi pembelajaran yang diberikan. b. Kreatifitas dan inovasi.

c. Hasil pembelajaran.

d. Tingkat kemudahan pelaksanaan pembelajaran. e. Suasana pembelajaran yang kondusif.

Eksperimen yang dikemukakan oleh Sugiyono tersebut, oleh Nana (2007: 207) disebut sebagai desain prates-pascates satu kelompok atau one group

pretest-posttest design. Demikian juga sebenarnya Sugiyono pada bagian lain (2008: 110)

menyebut jenis eksperimen itu sebagai one group pretest-posttest design.

Data yang diperoleh dari hasil eksperimen atau pengujian tersebut merupakan bahan masukan untuk penyempurnaan dan need assesment dimana kedua hal tersebut (penyempurnaan dan need assesment) merupakan bagian dari kegiatan revisi model agar model yang akan direkomendasikan menjadi relatif lebih representatif. Karenanya pula sebelum dilakukan penyusunan model yang implementatif terlebih dulu dilaksanakan seminar guna mendapatkan masukan yang lebih lengkap dan memadai sesuai kebutuhan data dan informasi untuk mencapai tujuan penelitian secara keseluruhan, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat sesuai dengan yang diharapkan.


(44)

4. Kodifikasi Model sebagai Produk Penelitian

Setelah uji coba dan revisi, maka dihasilkan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus yang implementatif dan akan menjadi model pembelajaran yang direkomendasikan untuk diaplikasikan pada kegiatan sejenis baik di lingkungan pendidikan nonformal maupun (kalau mungkin) di lingkungan satuan pendidikan lainnya. Inilah produk penelitian yang dihasilkan. Karenanya pada tahap ini dilakukan kodifikasi. Pada tahap ini semua elemen model yang telah direvisi, disusun menjadi suatu model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. Model tersebut didisain sedemikian rupa yang meliputi: (a) Pendahuluan; (b) Skenario Pembelajaran, (c) Job Specification dan Job Description, (d) Kurikulum, GBPP, SAP, dan Modul, (e) Alokasi Waktu Pembinaan, (f) Biaya dan Pendanaan, (g) Sarana, Prasarana, dan Fasilitas pembelajaran, (h) Prosedur Implementasi Model Pembelajaran, (i) Efektifitas Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus di Lembaga Kursus dan Kelemahannya.

Pasca penyusunan model, maka tersusunlah model yang implementatif sebagai hasil pengembangan berupa Model Pembelajaran Mental Spiritual untuk Meningkatkan Moral Kerja Peserta Kursus di Lembaga Kursus. Adapun tahapan berikutnya dalam keseluruhan penelitian ini ialah menyusun laporan penelitian. Inilah barangkali yang menurut Nana (2007: 190) sudah sampai pada tahap sosialisasi produk. Hal ini kemungkinan akan dapat dilaksanakan setelah dilakukan pertanggungjawaban secara akademik baik berupa penyerahan hasil


(45)

penelitian berupa disertasi maupun pertanggung jawaban disertasi itu sendiri melalui “promosi”.

C. Lokasi dan Subyek Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kota Bandung dengan fokus lembaga kursus yang melaksanakan kegiatan pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus. Dengan banyaknya lembaga kursus di Kota Bandung, maka secara purposif diambilah lembaga kursus yang betul-betul memiliki data dan informasi yang relevan dan dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun lembaga kursus yang memiliki berbagai karakteristik yang dibutuhkan tersebut ialah Lembaga Pendidikan Terapan Panghegar, disingkat

LPT Panghegar, yang beralamat di Jalan Belitung No. 3 Bandung.

LPT Panghegar merupakan sebuah lembaga kursus ternama di Kota Bandung maupun di Indonesia yang menyelenggarakan jenis kursus perhotelan dengan kualitas dan kredibilitas yang sudah sangat memadai.

Setelah ditentukan lokasi penelitian, selanjutnya tentu saja ditetapkan sumber informasi, karena hal ini sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam melakukan penelitian dari tahap awal berupa studi pendahuluan sampai penyusunan laporan penelitian. Sekaitan dengan hal ini Desmon (2006: 134) menyebutkan bahwa: ”Pada penelitian kualitatif sumber informasi disebut dengan Subyek Penelitian”. Sesuai dengan disain penelitian, subyek penelitian terbagi menjadi dua bagian, yaitu;

1. Subyek internal yang terdiri atas:


(46)

b. Instruktur / pembina atau staf pengajar di lembaga kursus yang menjadi subyek penelitian yang jumlahnya sesuai dengan instruktur / tenaga pembina yang ada di lembaga kursus yang bersangkutan.

c. Peserta kusus di lembaga kursus yang menjadi subyek penelitian sekira kurang lebih 20 orang. Subyek penelitian ini diutamakan yang sedang atau yang telah memperoleh pembelajaran mental spiritual baik sebagai mata pelajaran utama atau penunjang. Bahkan pada saat dilakukan uji coba terutama untuk mengetahui efektifitas model, peserta kursus yang terlibat ditambah 10 orang, sehingga jumlahnya menjadi 30 orang.

2. Subyek eksternal, meliputi:

a. Tokoh Masyarakat Pendidikan Nonformal khususnya yang berkaitan langsung dengan kursus dan pembelajaran mental spiritual serta

stakeholders terkait lainnya sebanyak delapan orang.

b. Praktisi dan Akademisi Perhotelan masing-masing satu orang.

Jadi seluruh subyek dalam penelitian ini berjumlah sekitar 40 orang. Sementara itu untuk eksperimen hanya melibatkan 30 peserta kursus, karena peserta kursus itulah yang secara langsung menjadi sasaran utama model pembelajaran atau subyek utama dalam penelitian ini. Di samping itu dengan difokuskannya subyek penelitian pada saat eksperimen, maka hasil yang diperoleh tidak akan bias atau akan tepat sasaran.

Subyek penelitian sebenarnya merupakan data dan sumber data utama dalam penelitian ini. Namun karena masih banyak lagi data terkait yang dibutuhkan, maka selain dari subyek penelitian, data yang dibutuhkan diharapkan dapat diperoleh dari sumber data lainnya. Adapun data yang dibutuhkan pada dasarnya berupa data primer dan data sekunder, sehingga di samping dari subyek


(47)

penelitian, ada beberapa sumber data yang digali untuk mendapatkan berbagai bahan kajian yang relevan. Sekaitan dengan hal itu, maka sumber data tersebut di antaranya dapat berupa; 1. Berbagai literatur terkait, 2. Aspek administratif lembaga kursus yang dijadikan subyek penelitian, 3. Data peserta kursus, 4. Data penyelenggara dan pelaksana kursus, 5. Catatan penyelenggaraan dan pelaksanaan kursus, serta 6. Dokumentasi kegiatan yang relevan.

Berbagai sumber data yang disebutkan tadi keberadaannya sama dengan subyek penelitian. Artinya sumber data ini tidak menjadi ’nomor dua’ atau sebagai pelengkap saja, tetapi pada kondisi tertentu sumber data tersebut menjadi data utama atau bisa juga sebagai data penopang dari data utama.

D. Teknik Pengumpulan Data

Setelah subyek penelitian dan atau sumber data ditentukan, dilakukanlah pengumpulan data. Oleh karena itu ditentukanlah teknik pengumpulan data.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini diarahkan untuk menyusun model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. Adapun data yang dikumpulkan baik berupa data primer, data sekunder maupun data terkait lainnya merupakan data yang berkaitan dengan penyusunan model tersebut. Pengumpulan data primer dilakukan terhadap instruktur yang melakukan pembelajaran mental spiritual terhadap untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus sebagai subyek penelitian serta berbagai pihak yang secara langsung atau tidak langsung berinterkasi dengan instruktur tadi. Untuk mendukung kelengkapan serta validitas data dan informasi dilakukan juga pengumpulan data tambahan yang berasal dari obyek penelitian lainnya. Dengan demikian perolehan data primer dilakukan


(48)

melalui kuisioner, wawancara berpedoman, observasi partisipasi maupun observasi non partisipasi dengan menggunakan catatan berkala serta check-list. Sedangkan data sekunder penulis peroleh dari studi literatur dan dokumentasi yaitu dengan membaca, menelaah serta mempelajari buku dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Kemudian, sesuai dengan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain meliputi; 1. Kuisioner, 2. Pedoman Wawancara, 3. Catatan dan Perekaman untuk Observasi, dan 4. Berbagai dokumen berupa buku, dan dokumen lainnya. Dengan tersedia dan dimanfaatkannya instrumen penelitian, maka proses pengumpulan data di lapangan pun selaras dengan

instrumen yang tersedia tersebut. Adapun proses pengumpulan data di lapangan

tersebut dilakukan melalui; wawancara mendalam, observasi partisipasi dan non-partisipasi, studi dokumentasi – perekaman, pemotretan dan pencatatan, triangulasi dan diskusi secara mendalam serta eksperimen. Semua instrumen penelitian yang ada akan dimanfaatkan secara optimal sampai seluruh data yang dibutuhkan diperoleh dengan lengkap.

Alur pengumpulan data berproses melalui urutan mulai dari studi pendahuluan sampai dilakukannya kodifikasi tentang model pembinaan mental spiritual untuk meningkatkan moral kerja peserta kursus di lembaga kursus. Ketika kodifikasi tersebut dilaksanakan berarti proses pengumpulan data berakhir, karena pada saat inilah laporan penelitian atau model hasil pengembangan disusun berdasarkan masukan data yang diperoleh melalui; wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, triangulasi dan diskusi intensif serta eksperimen. Teknik atau cara pengumpulan data tersebut dalam penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dalam artian tidak secara berurutan. Pada prinsipnya teknik atau cara


(49)

pengumpulan data tersebut diarahkan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan model pembelajaran mental spiritual untuk meningkatkan moral spiritual peserta kursus di lembaga kursus.

1. Wawancara Mendalam

Pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh data dan menggali informasi secara lebih mendalam dari subyek penelitian dan berbagai sumber data lainnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa wawancara dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan pedoman wawancara, yang hasilnya dapat menjadi data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasikan dan divalidasi. Sementara itu yang diwawancarai dalam penelitian ini pada dasarnya semua pihak yang menjadi subyek penelitian dan sumber data penelitian untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan.

2. Observasi Partisipasi dan Non-Partisipasi

Dalam penelitian ini diperlukan data dan informasi selengkap mungkin. Dengan demikian data yang harus didapat bukan hanya data verbal dan tertulis, melainkan juga dalam bentuk audio-visual. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dilakukan observasi partisipasi dan observasi non partisipasi, agar data yang diperoleh tidak hanya berupa penjelasan yang diberikan langsung oleh subyek penelitian baik berupa persepsi, pengalaman maupun harapannya. Namun dengan observasi, peneliti dapat langsung mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh subyek penelitian maupun yang dirasakan oleh sumber data lainnya. Apalagi observasi yang dilakukan oleh peneliti berupa observasi partisipasi, peneliti secara langsung merasakan apa yang dirasakan oleh semua subyek penelitian. Observasi


(50)

partisipasi lebih banyak dilakukan pada waktu uji coba konsep. Hasil dari observasi ini selanjutnya disaring oleh pedoman observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai instrumen penelitian, agar semua data yang diperoleh dan dikumpulkan dapat runtut sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Sehingga pembahasan akan relatif memadai dan hasilnya dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3. Dokumentasi – Perekaman, Pemotretan dan Pencatatan

Agar semua data yang diperoleh dapat bertahan lama, maka perlu didokumentasikan. Pendokumentasian ini dilakukan melalui perekaman baik perekaman suara (audio) maupun perekaman gambar (visual), pemotretan dan pencatatan. Dengan demikian diharapkan semua proses pengumpulan data yang dilakukan baik melalui wawancara, observasi maupun teknik pengumpulan data lainnya bisa diolah, dianalisa, divalidasi, dan diinterpretasikan serta dapat disimpulkan dengan baik dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan. Jadi supaya data yang telah diperoleh dapat disajikan tepat pada waktunya, maka semua data tadi didokumentasikan. Untuk yang bersifat verbal maka direkam dengan menggunakan tape-recorder. Bagi data yang berupa audio-visual, maka direkamnya dengan menggunakan handycam. Apabila data tersebut harus didokumentasikan dalam bentuk gambar, maka akan dipotret. Kemudian, data yang harus didokumentasikan secara tertulis maka dilakukan pencatatan. Hasil perekaman, pemotretan dan pencatatan, selanjutnya ditelaah lebih mendalam. Di samping itu data hasil pendokumentasian tersebut dipilih dan dipilah agar tepat dan sesuai dengan bagian-bagian tertentu dalam pembahasannya. Tepat dan sesuainya data tersebut memungkinkan penarikan kesimpulan serta penyusunan


(1)

260

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M.R. (2002). Pencerahan Spiritual, Sumber Membangun Hidup Dinamis dan Bahagia. Jakarta. Amahdi Prima

Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung. Alfabeta

Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Atmosoeprapto, K. (2002). Menuju SDM Berdaya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Beane, A., J., (1997). Curriculum Integration, Designing The Core of Democratic Education, New York and London, Teachers College Columbia University.

Brundtland, G. H., Et al. (1987). Our Common Future. New York: Oxford University Press.

Cole, P. G. & Chan, L. (1994). Teaching Principles and Practice. New York: Prentice Hall.

Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahlan, M. D. (1990). Model-Model Mengajar. Bandung: CV. Diponegoro. Daryanto. (1999). Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Davis, J. R. & Davis, A. B. (1998). Effective Training Strategies, A Comprehensive Guide to Maximizing Learning in Organizations. San Francisco: Barret-Koehler Publishers, Inc.

Dimyati & Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dryden, G. dan Vos, Jeannette. (2001). Revolusi Belajar. Bandung: Kaifa.

Echols, J. M., dan Hassan Shadily (1986). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Mills, E., Gordon., Pace, R. Wayne., and Peterson, Brent D. (1989). Analysis in Human Resource Training and Organisation Development. New York, etc. : Addison-Wesley Publishing Company, Inc.


(2)

Froomkin, J. T. et. al. (1976). Education as an Industry, Cambrigde US: National Bureau of Economic Research.

Furqon. (1999). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Ginanjar, A. A. (2005). Emosional Spiritual Quotient. Jakarta. Agra

Gunawan, A. H. (1995). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, O. (2003). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara.

Hamalik, O. (2000). Pengembangan Sumber Daya Manusia Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan – Pendekatan Terpada. Bandung: Bumi Aksara.

Hatton, J., M. (1997). Lifelong Learning Policies, Practice, and Programs, Canada, APEC Publication.

Joyce, B., Marsha Weil and Emily Calhoun. (2000). Models of Teaching. USA: Allyn & Bacon A Pearson Education Company.

Kasim, I. (2005). Manajemen Perubahan, Manajemen Praktis. Bandung: Alfabeta.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin (2002). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.

Lauer, R. H. (2003). Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Bandung: Rineka Cipta.

Laird, D. (1995). Approach To Training And Development. New York, etc.: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Mills, E., G. et. al. (1989). Analysis in Human Resource Training and Organization Development, Menlo Park, California, USA Addison-Wesley Publising Company, Inc.

McMillan J. H. & Schumacher, S. (2001). Research in Education A Conceptual Introduction – Fifth Edition. New York: Longman.

Miura, S., et. al (1992). Lifelong Learning in Japan: An Introduction. Japan, National Federation of Social Education in Japan.


(3)

Nasution, S. (1987). Teknologi Pendidikan. Bandung: Jemmars. Patilima, H. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Phillips, J., J., (1991). Handbook of Training Evaluation and Measurement Methods. London, UK, Gulf Publishing Company

Pidarta, M. (2004). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Priatna, T. (2004). Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam. Bandung. Pustaka

Bani Quraisy

Rae, L. (1990). Mengukur Efektifitas Pelatihan. Jakarta: PT Pustaka Binawan Pressindo.

Riduwan. (2009). Metode & Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sagala, S. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, Alfabeta

---. (2007). Manajemen Stratejik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung. Alfabeta

Salusu, J. (2006). Pengambilan Keputusan Stratejik. Jakarta. Rhineka Cipta Sangkan, A. (2007). Pelatihan Shalat Khusyu. Jakarta. Shalat Centre

Schuler, R. S. (1987). Personnel and Human Resource Management. New York: West Publishing Company.

Saud, U. S. (2009). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.

Setijadi. (1994). Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Manajemen PT. Raja Grafindo Persada.

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta. Andi Offset

Stringer, E., T. (1996), Action Research A Handbook for Practitioners, Sage Publications, London

Sudarmanto. (2009). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjana, D. (2007). Sistem Manajemen Pelatihan, Teori dan Aplikasi. Bandung: Falah Production.


(4)

--- (2006). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production.

--- (2004). Pendidikan Nonformal, Bandung: Falah Production.

--- (2004). Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Bandung: Falah Production. --- (2001). Metoda dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah

Production.

--- (2000). Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production.

Sudjana, N. dan Rivai, Ahmad. (2003). Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono. (2008). Metoda Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Surakhmad, W. (1985). Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik. Bandung: Tarsito.

Sutarto, J. (2008). Identifikasi Kebutuhan dan Sumber Belajar Pendidikan Nonformal. Semarang: UNNES Press.

Sukmadinata, N. S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI dan Remaja Rosdakarya.

Syarif, R. (1991). Teknik Manajemen Latihan dan Pembinaan. Bandung: Angkasa Tasmara, T. (2002). Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta. Gema Insani

Press

---. (2001). Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta. Gema Insani Press

Tohardi, A. (2002). Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Wentling, T. (1993). Planning for Effective Training, A Guide to Curriculum Development. Roma: FAO

Wahab, A. A. (2007). Metode dan Model-Model Mengajar IPS. Bandung: Alfabeta.


(5)

Zuber, O. & Skerritt. (1996). Action Research in Higher Education Examples and Reflections, Kogan Page Limited, London.

Sumber Dari Jurnal

Jurnal, Mimbar Pendidikan (2008). Vol. XXXII No. 1 Jurnal, Mimbar Pendidikan (2008). Vol. XXXII No. 2 Sumber Dari Luar Jurnal

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Bandan Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah RI Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah.

Departemen Agama. (2006). Bina Mental Aparatur Departemen Agama. Jakarta. Pusdiklat Tenaga Administrasi-LAN RI.

Departemen Agama. (2000). Alqur’an dan Terjemahannya. Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional RI. (2003). Direktori Lembaga Kursus Indonesia. Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal PLSP,

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2005). Direktori Lembaga Kursus Di Jawa Barat.

Departemen Pendidikan Nasional RI. (2001). Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Kursus Diklusemas. Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal PLSP,.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah - Laporan Buku, Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (2010) Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan di Jawa Barat. (2004).


(6)

Suherman, E. (208). Pengembangan Model Pembelajaran Kewirausahaan di Lembaga Kursus. Disertasi Doktor pada PLS UPI Bandung tidak diterbitkan Desmon. (2006). Model Pelatihan dan Pembinaan Kewirausahaan Berkelanjutan Sebagai Upaya Pemberdayaan Perempuan. Disertasi Doktor pada PLS UPI Bandung tidak diterbitkan

Ahmad, A. (2001). Model Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Kewiraswastaaan Bagi Wanita Pada Lembaga Kursus. Disertasi Doktor pada PLS UPI Bandung tidak diterbitkan