PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.

(1)

ABSTRAK

Muslihudin. (2014). 0800845. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Penguatan

Kesadaran Moral Spiritual Murid Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya problem kebermaknaan pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam sejatinya mengembangkan secara bertahap tugas-tugas perkembangan agama anak terutama aspek kesadaran moral-spiritual anak. Faktanya pengelolaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam belum menggiring kepada tujuan perkembangan keagamaan anak karena dikelola sebagai kegiatan resitasi dan rote learning yang hanya membidik perkembangan kognisi anak dalam tingkat rendah. Pendidikan agama Islam memerlukan pendekatan yang mengakomodasi secara bersama-sama seluruh tugas perkembangan; spiritual, emosional, intelektual, sosial dan bahkan fisikal. Model pembelajaran untuk penguatan kesadaran moral spiritual (model PKMS) diduga kuat dapat menjadi alternatif pembelajaran pendidikan agama Islam. Bagaimana model PKMS dikembangkan dan seberapa efektif model tersebut dan relevansinya terhadap penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar merupakan permasalahan yang dibidik dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar yang ujungnya dapat memperkokoh tugas perkembangan keagamaan anak. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan. Langkah-langkahnya meliputi (a) penelitian pendahuluan untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran PAI dan mempotret resepsi murid terhadap proses pembelajaran PAI, (b) hasil penelitian pendahuluan dijadikan dasar untuk mengembangkan model pembelajaran PAI yang dipadukan dengan fondasi teoritik-normatif yang telah ditemukan untuk kemudian diujicobakan secara bertahap sehingga mencapai model yang kokoh, (c) model akhir divalidasi melalui serangkaian eksperimen untuk memperoleh tingkat kebermaknaan model. Uji coba dilakukan secara terbatas dan dilanjutkan dengan uji coba luas yang melibatkan tiga sekolah. Sedangkan uji validasi dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang melibatkan tiga SD sebagai kelompok eksperimen (SD-KE) yang mengimplementasikan model PKMS, dan tiga buah SD sebagai kelompok kontrol (SD-KK) yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil uji validasi diperoleh temuan kebermaknaan model untuk penguatan kesadaran moral spiritual murid dibanding hasil pretest (∞ ≤ 0.05) dan hasil kelompok kontrol (∞ ≤ 0.05). Temuan ini mengindikasikan bahwa model pembelajaran PKMS efektif untuk memberikan penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar, relevan dipergunakan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, memiliki organisasi pembelajaran yang kokoh dan dapat meningkatkan kinerja guru pendidikan agama Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa model PKMS efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pendidikan agama Islam. Hasil penelitian dan ini berimplikasi secara praktis pada peningkatan kemampuan kinerja guru PAI terutama kemampuan mengelola pembelajaran yang lebih terpola, sedangkan secara teoritis model PKMS mendalilkan bahwa pembelajaran agama Islam akan lebih bermakna jika dilaksanakan dengan proses yang mensinergikan kegiatan pengembangan spiritual knowing,

moral-spiritual feeling, dan moral-moral-spiritual action serta dilaksanakan dengan pola yang


(2)

ABSTRACT

Muslihudin. (2014). 0800845. Developing Model of Instruction to Increase

Moral-Spiritual Awareness of Elementary Children in The Education of Islamic Material.

This research and development is based on insignificant process of Islamic education to develop religious awareness of children. Islamic education should be intended to prepare religious developmental tasks of children gradually, especially the moral-spiritual awareness of children. There are findings that the learning process of religious Islamic education was not direct meaningfully to improve religious development of children bicause of learning process was prepared only recitation and rote learning which focused on cognitive development of the children with it is basic level. Religious Islamic education requires an integrated approach which accomadate entirely developmental tasks of children; spiritual, emotional, intelectual, social and physical. The instruction model for strengthening moral-spiritual awareness (model PKMS) allegedly the alternative of teaching model of Islamic education. How PKMS model should be developed and how much the effectiveness of the model and how it significance to strengthen moral-spiritual awareness of elementary student are problem should be underlined in this research. This research intended to product teaching model of religious Islamic education for strengthening moral-spiritual awareness of elementary children which will strengthen religious developmental tasks of children. To attain goals, the research was organized by research and development approach and consists of steps that are; a) pre-eliminary research; to identify teacher competences in organizing learning process and to identify student reception of learning process, b) the results of pre-eliminary research made as basic input to develop learning model which integrated with theoritical and normative foundation was found, and examine the model gradually so the final model should be solid, c) the final model validated through experiments so the meaningful model of religious Islamic education obtained. Model examined in determinated scope and continuous in wide scope which involve three elementaries. While validation experienced by conducted experiment with three school involved as experiment group that facilitates learning process with developed model (PKMS model) and three school as control group with convension model. Through validated experiment found the meaningful model for strengthening moral-spiritual awareness compared by pretest (∞ ≤ 0.05) and control group (∞ ≤ 0.05). Research indicated that the developed model (PKMS) has an effectiveness for strengthening moral-spiritaul awareness of elementary and relevance to be used for religious Islamic education, has an organized instruction as well as solid and should improve teacher performance in religious Islamic education. The outcome supports hypothesis that the developed model can improve instruction quality of religious Islamic education and implicated both practice and theory. In practice the PKMS model improves teacher capability to teach with better instruction and well organized instruction, while theory the model underlined that teaching of religious Islamic education could be meaningful process if it put into practice containing moral-spiritual knowing, moral-spiritual feeling and moral-spiritual action completely, as well as practiced with clearly organized and relevance with characteristic of Islamic material.


(3)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL

MURID SEKOLAH DASAR

PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus

MUSLIHUDIN

NIM: 0800845

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2014


(4)

=============================================================

Pengembangan Model Pembelajaran

Untuk Penguatan Kesadaran Moral- Spiritual

Murid Sekolah Dasar Pada Mata Pelajaran

Pendidikan Agama Islam

Oleh Muslihudin S.Ag. IAID Ciamis, 1994

M.Ag. in Islamic Education, IAIN SGD Bandung 2003

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pengembangan Kurikulum

© Muslihudin 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(5)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI:

Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.

Anggota

Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd.

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul

“PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN

KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA

PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” ini dan seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 02 Januari 2014 Yang membuat pernyataan,

Muslihudin NIM. 0800845


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ………....……….. i

Lembar Pernyataan ……….………. ii

Kata Pengantar ………... iii

Ucapan Terimakasih ……….………... v

Abstrak ………..………... ix

Daftar Isi ...………... xi

Daftar Tabel …………..………... xv

Daftar Gambar …….………. xviii

Daftar Lampiran ………... xx

BAB I PENDAHULUAN Hal. A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 9

C. Perumusan Masalah ………….………. 11

D. Tujuan Penelitian ……….. 13

E. Manfaat Penelitian ………..….. 14

F. Struktur Organisasi Disertasi ……… 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Model Pembelajaran 1. Hakekat Model Pembelajaran ……… 17

2. Model-Model Pembelajaran Moral-Spiritual ………. 20

B. Kesadaran Moral Spiritual 1. Hakikat Kesadaran Moral Spiritual ……… 25

2. Pendidikan Agama Islam untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual (PKMS) ………. 36

3. Pendidikan Agama dan Perkembangan Kesadaran Moral Spiritual Usia Sekolah Dasar ……….. 44

4. Elemen Kesadaran Moral-Spiritual Murid Sekolah Dasar ……….. 57 5. Pengukuran Moral-Spiritual Murid Sekolah Dasar … 70


(8)

C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Dasar

1. Landasan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar …….. 74

2. Tujuan Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ……….. 90

3. Materi Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 97

4. Guru dan Cara Mengajar ……… 99

5. Murid dan Cara Belajar ……….. 102

6. Pengelolaan Sumber dan Media Pembelajaran PAI … 107 7. Pengelolaan Lingkungan Pembelajaran PAI ……… 110

D. Kerangka Berfikir Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar 1. Dasar Teoritik Pengembangan Model ..……….. 114

2. Dasar Normatif Pengembangan Model ………. 119

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ……… 126

B. Metode dan Desain Penelitian ……… 128

C. Definisi Operasional ……….. 132

D. Pengembangan Instrumen Penelitian ……….. 133

E. Analisi Data ………. 140

F. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian ……….. 143

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Profil Guru Pendidikan Agama Islam ……….. 148

2. Keterampilan Guru PAI Mengelola Pembelajaran di Sekolah Dasar ……….. 149

3. Keterampilan Guru Mengelola Materi PAI SD ……… 152

4. Persepsi Murid Terhadap Proses Pembelajaran PAI di Sekolah Dasar ………... 158

5. Moral-Spiritual Assessment Inventory Murid SD …… 164

B. Kegiatan Pengembangan Model 1. Analisis Hasil Prasurvey Sebagai Dasar Pengembangan Model ……… 170


(9)

2. Model Konseptual dan Artikulasinya ke dalam Desain

Pembelajaran ……… 174

C. Kegiatan Uji Efektifitas Model

1. Analisi Standar Isi dan SK-KD PAI SD Kelas 5……… 181 2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS yang

Dikembangkan dalam Uji Coba Terbatas ………. 187 3. Hasil Uji Coba Dalam Skala Terbatas ……….. 211

a. Efektifitas Model Terhadap Pemahaman dan

Penguatan Kadar Moral Spiritual ……… 211 b. Kemampuan Guru yang Dituntut dalam

Pembelajaran PAI dengan Model PKMS di SD ….. 216 c. Minat dan Motivasi Belajar Murid ………. 225 d. Sarana, Fasilitas dan Sumber Belajar yang

Diperlukan dalam Implemenetasi Model ………… 227 e. Re-skenario Model Hasil Uji Coba Terbatas …….. 228 4. Hasil Uji Coba Pengembangan Model Skala Luas …... 231

a. Implementasi Model PKMS dalam Skala Luas ….. 231 b. Efektifitas Model Terhadap Penguatan Kesadaran

Moral Spiritual dalam Skala Luas ………. 247 c. Model Akhir Pembelajara PAI untuk Penguatan

Kesadaran Moral-Spiritual (PKMS) ……….. 260 D. Uji Validasi Model PKMS ………. 265

1. Dampak Model PKMS Terhadap Penguatan

Kesadaran Moral Spiritual Murid SD Kelas 5………. 266 a. Perbedaan Rata-Rata Posttest SD Eksperimen….. 268 b. Perbedaan Rata-Rata Posttest Kelompok SD

Eksperimen dengan Kelompok SD Kontrol……... 269 c. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-1 dengan

SDK-1………. 271

d. Perbedaan Rata-Rata Posttest SDE-2 dengan

SDK-2 ……… 272


(10)

SDK-3 ………... 274

2. Interaksi Model ………... 275

E. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Desain Model Pembelajaran PAI untuk Penguatan Kesadaran Moral Spiritual Murid di SD … 282 2. Implementasi Model Pembelajaran PKMS pada Kurikulum PAI di SD ………. 291

3. Relevansi Model Pembelajaran PKMS dengan Posisi Strategis Pembelajaran PAI di SD ……… 298

4. Evaluasi Dalam Model Pembelajaran PKMS ……... 306

5. Efektifitas dan Kinerja Model Pembelajaran Penguatan Kesadaran Moral Spiritual ……….... 307

6. Kelebihan dan Kelemahan Model PKMS …………... 312

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Hasil Penelitian ……….. 316

B. Implikasi Hasil Penelitian ………... 324

C. Rekomendasi ……….. 328

DAFTAR RUJUKAN……….. 331

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………. 340


(11)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini pembahasan difokuskan pada; (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) struktur dan organisasi disertasi.

A. Latar Belakang Masalah 1. Urgensi Pendidikan Agama

Secara spesifik, kata al-din menunjuk pada pesan (risalah) yang dibawa para nabi, termasuk Nabi Muhammad (Sachiko Murata, 2005:xxxix). Dalam konteks risalah Muhammad, al-Qur`an menggunakan kata ad-din untuk serangkaian peraturan dan perundang-undangan, atau sekumpulan norma bagi aktifitas yang benar yang telah Allah sempurnakan untuk umat Muhammad (QS. 5:3). Agama yang sempurna ini jika dirujuk kepada dialog Jibril dengan Muhammad memiliki tiga unsur yaitu; unsur ritual Islam (berisi rukun Islam), unsur keyakinan (iman dan rukun keimanan) dan unsur moral-spiritual agama (ihsan) (Al-Asqallany 2000, Juz 1: 157).

Pendidikan dan pembelajaran agama dengan merujuk kepada pengertian agama (al-din) seperti yang telah dikemukakan di atas adalah proses ganda; bagian pertama adalah proses yang melibatkan masuknya unit-unit makna suatu objek pengetahuan agama ke dalam jiwa seseorang (hushul), dan yang kedua melibatkan sampainya jiwa (wushul) pada unit-unit makna tersebut yang selanjutnya terartikulasi dalam hidup seseorang (Nor Wan Daud, 2003: 256). Sedangkan menurut an-Nahlawy pendidikan agama Islam adalah pengembangan pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan agama Islam, dengan maksud merealisasikan tujuan Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat dalam seluruh lapangan kehidupan (Abdurrahman an-Nahlawi, 1996:49).

Pendidikan agama berusaha mengembangkan potensi kebaikan alamiah yang dimiliki manusia. Banyak agama yang mendukung pandangan bahwa manusia memiliki hati nurani moral yang inheren dan bersifat bawaan, yang merupakan bagian dari fitrah manusia (religio naturalis). Manusia dipandang diciptakan dalam citra Tuhan dan ditiupkan dengannya ruh-Nya, setiap manusia


(12)

memiliki moral bawaan ini (Fareed Ahmad, 2008:270). Misalnya dikatakan bahwa setiap manusia yang waras mengetahui secara intuitif bahwa membunuh anak-anak tak berdosa adalah perbuatan salah. Setiap orang menyadari bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan salah, akan timbul perasaan bersalah atau rasa bertanggung jawab.

Untuk mengembalikan manusia terhadap potensi kebaikan yang bersifat bawaan ini dilakukan dengan mengembangkan kesadaran beragama; suatu kesadaran untuk mengakui keberadaan Tuhan, pengabdian terhadap Tuhan, asal-usul manusia, hakekat kehidupan manusia, tujuan kehidupan manusia, dan kematian serta hidup setelah mati (Qardlawi, 1988:14). Kesadaran beragama dapat memperkokoh landasan peradaban yang bermoral bagi umat manusia. Ia dapat membangun standar mengenai apa yang dipandang 'benar' dan 'salah' (standar moral).

Kesadaran beragama menjadi bagian dari kesadaran spiritual manusia sebab seperti dikemukakan Burke (2005:5) "the term religion and spiritual are interrelated" meskipun pada saat yang sama bisa dibedakan. Agama berbicara tentang system keyakinan, peribadahan dan system nilai, sedangkan spiritual adalah "a way of being in the world that acknowledges the existence of and the desire to be in relationship with a trancendent dimension of God" atau dalam definisi lain "…concern with or affecting the soul in relation to God". Kecenderungan spiritual (spiritual tendency) ini menggerakan keyakinan seseorang pada pengetahuan, harapan, cinta, transendensi, hubungan, rasa kasihan, termasuk pengembangan sistem nilai (system moral). (Burke, 2005:5). Dengan demikian terdapat sinergi yang kuat antara agama, spiritualitas dan moralitas.

Kesadaran beragama mendapat persemaiannya dalam ranah filsafat religious humanism sekaligus menjadi energi baru urgensi pendidikan agama. Religious humanism yang di definisikan sebagai "an integration of humanist ethical philosophy with religious rituals and beliefs that center on human needs, interests, and abilities (Wikipedia)" memberikan ruang memadai terhadap geliat peran agama bagi manusia. Istilah religious humanism dalam pendidikan diperkenalkan oleh Edward J. Power dalam Philosophy of Education.


(13)

Kecenderungan untuk kembali membangun komitment intelektual terhadap nilai moral agama menjadi salah satu dasar filsafat ini. Atau meminjam istilah Power (1982: 112) sebagai "exercise of human moral conduct while consistently maintaining an intellectual commitment to revealed religion".

Dalam konteks pendidikan, religious humanism menekankan pentingnya pembelajaran disiplin ilmu disamping menggiring kepada pengembangan moral sebagai hasil penting proses pembelajaran. Filsafat pendidikan ini menempatkan murid sebagai pusat proses pendidikan dan pembelajaran. Murid adalah agen utama pembelajaran bukan guru. Religious humanism tidak dapat menerima dan mentolelir intelectual subjectivism dan moral relativism. Tujuan pengelolaan pengajaran adalah menciptakan dan menggiring kondisi yang layak untuk belajar, dan kurikulum dibuat dengan menseleksi pengalaman manusia secara hati-hati dan bermanfaat (Power, 1982: 117).

Religious humanism menginspirasi kecenderungan menguatnya agama (religious resurgence) sebagi pola baru peradaban manusia modern. Krisis kemanusiaan yang menghiasi latar peradaban yang dibangun atas pandangan positivistik telah menggiring kepada kesadaran baru yang lebih religious. Hal ini di tandai dengan perubahan paradigmatik peradaban yang merujuk kepada persoalan makna dan hakekat hidup manusia. Kajian yang mengkaitkan agama dengan berbagai varian disiplin ilmu pengetahuan nampak menggeliat. John Schmaizbauer dan Kathleen A. Mahoney (2008) dalam tulisannya berjudul American Scholars Return to Studying Religion menegaskan bahwa saat ini terjadi apa yang disebut oleh John dan Kathleen sebagai the resurgence of religion and spirituality di sejumlah fakultas di Amerika. Senada dengan Schmaizbauer, John L. Esposito (2003: 156) menyatakan bahwa kebangkitan agama yang mengglobal pada akhir abad ke 20 telah mengarahkan para presiden, pemimpin perusahaan, ilmuwan, para profesional untuk melakukan perubahan haluan yang luas, mereka dengan bebas mendiskusikan keyakinan dan moralitas mereka di media.

Munculnya kecenderungan religious resurgence patut diduga karena saat ini peradaban manusia dihadapkan pada problem moralitas dan spiritualitas (Smith, 2005). Problem moralitas dan problem spiritualitas menjadi isu penting peradaban abad modern seperti yang disajikan oleh Fareed Ahmad (2008:


(14)

248-249). Hal senada juga dilansir oleh Ahmad Tafsir dengan mengutip sejumlah fakta yang dikemukakan oleh Capra (lihat Ahmad Tafsir, 2006: 65-68).

Posisi Islam dalam hal ini menjadi strategis. Pandangan hidup Islam dapat menjadi pilar terbentuknya peradaban yang bermoral. Untuk menjadikan Islam sebagai pilar peradaban umat manusia memerlukan proses pendidikan agama Islam yang baik yang dapat mengembalikan fungsi nilai-nilai dan spirit agama sebagai landasan moral dan etika peradaban, sehingga secara nyata kehadiran agama dapat di rasakan manfaatnya oleh segenap umat manusia. Proses pendidikan agama yang baik adalah yang dirancang tidak hanya untuk mewariskan dan memelihara (conserving) nilai-nilai agama tetapi memberikan dampak perubahan nyata (transforming) dalam kehidupan beragama.

2. Amanah Yuridis Pendidikan Agama

Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsinya sesuai dengan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi murid agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Definisi pendidikan yang dikemukakan undang-undang seperti tersaji di atas mengandung sejumlah konsep kunci yang relevan dalam konteks pendidikan agama yaitu; kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia. Disamping itu merujuk pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tercantum pula tiga buah konsep esensial (core) tujuan pendidikan nasional yang meliputi; iman, takwa, akhlak mulia yang menjadi material inti pendidikan agama. Dengan demikian sejatinya pendidikan agama dapat menjadi garda terdepan untuk merealisasikan tujuan tersebut.


(15)

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan Agama adalah

”pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian,

dan keterampilan murid dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan

jenis pendidikan”. Selanjutnya dalam BAB II PENDIDIKAN AGAMA Pasal 2 berkait dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Agama dijelaskan bahwa "Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan murid dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni".

Dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007, pada ayat 5 sampai 7 berturut-turut di sebutkan lebih rinci mengenai tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik pendidikan agama serta pendekatan yang perlu dikembangkan yaitu; Pendidikan agama membangun sikap mental murid untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab; Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong murid untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.

Mencermati konsep pendidikan agama yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007, dapat diidentifikasi aspek-aspek philosopical input dan pendekatan dalam pendidikan agama seperti berikut ini:


(16)

Tabel 1.1 Fungsi, tujuan dan pendekatan penyelenggeraan pendidikan agama seperti tercantum dalam PP No. 55 tahun 2007.

Fungsi dan Tujuan Pend. Agama Misi pendidikan agama Pendekatan penyelenggaraan pendidikan agama Nilai-nilai yang terbangun dari pend. Agama 1) Membentuk manusia

yang beriman dan bertakwa. 2) Memahami,

menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama,

3) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, 4) Mampu menjaga

kerukunan umat beragama 1) Memberikan pengetahuan agama, 2) Membentuk sikap beragama, 3) Membentuk kepribadian berdasar agama, 4) Membentuk keterampilan dalam mengamalkan agama - Interaktif - Inspiratif, - Menyenangkan - Menantang, - Mendorong kreatifitas dan kemandirian, - Menumbuhkan motivasi untuk sukses.

- Berprilaku jujur - Amanah - Disiplin - Bekerja keras - Mandiri - Percaya diri - Kompetitif - Kooperatif - Tulus

- Tanggungjawab - Sikap kritis - Inovatif - Dinamis

Memperhatikan kandungan PP Nomor 55 tahun 2007 nampak sekali semangat untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih bermakna. Penyelenggaraannya wajib dilaksanakan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab X tentang Kurikulum pasal 36-37. Dalam hal ini setiap jenjang pendidikan mengalokasikan setidaknya 2-3 jam pelajaran sebagaimana diatur oleh Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

Merujuk pada hasil kajian terhadap kebijakan kurikulum mata pelajaran agama yang dilakukan oleh Departemen Agama bersama Lembaga Agama terkait diperoleh rekomendasi bahwa pelaksanaan kurikulum pendidikan agama perlu memperhatikan dan mengedepankan akhlak mulia (Depdiknas, 2007). Disamping itu pendidikan agama perlu dioptimalkan pada setiap jenjang pendidikan, baik dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar, proses penyelenggaraan pendidikan agama dinilai sangat strategis karena pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah (pasal 17, UU No. 20 Tahun 2003).

3. Pendidikan Agama Islam dan Krisis Moral Spiritual Remaja

Saat ini terdapat jarak yang sangat lebar antara agama sebagai sistem nilai yang sempurna dengan berbagai krisis moral spiritual umat manusia.


(17)

Kecenderungan euphoria beragama terutama melalui berbagai kegiatan apresiasi yang bersifat simbolik marak dimana-mana, namun pada saat yang sama penyimpangan ajaran agama dengan berbagai pelanggaran moral spiritual juga semakin marak bahkan dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Setiap hari masyarakat disajikan tayangan berbagai kejahatan moral dan kemanusiaan baik melalui televisi maupun media cetak. Kejahatan tersebut dilakukan oleh semua tingkatan usia; orang dewasa sampai anak-anak.

Krisis moral-spiritual remaja kecenderungannya semakin meningkat serta hadir dalam berbagai bentuk. Hasil-hasil penelitian serta ragam prilaku menyimpang remaja (tawuran, free sex, penyalahgunaan obat terlarang, tindakan kriminal) yang tersaji setiap hari baik di media cetak dan media elektronik menunjukan kecenderungan krisis yang semakin meningkat dan bersifat masif. (Djayadi Hanan, 2002:185; Bashori Muchsin, dkk. 2010: 63; Syamsu Yusuf, 2009:32-33; 2010:31).

Banyak faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab merosotnya moral spiritual remaja saat ini. Pola asuh yang kurang baik di ruang domestik, ditambah dengan lingkungan sosial yang tidak ramah, akses terhadap media informasi dan teknologi yang tidak terkendali menjadi penyebab krisis moral di masyarakat dan prilaku yang tidak sehat di kalangan remaja dan anak-anak yang antara lain ditandai maraknya dekadensi moral, prilaku melawan hukum, norma agama dan sosial; penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pronografi, prilaku seks bebas dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak remaja, serta budaya materialisme dan konsumerisme di kalangan masyarakat dan remaja (Syamsu Yusuf, 2007: 15).

Faktor lain adalah kurangnya kebermaknaan pendidikan agama di tingkat dasar. Pendidikan agama belum secara konsisten menggiring kepada peningkatan perkembangan agama anak. Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah dasar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, telah ditemukan bahwa pada anak-anak SD kelas 5 di sejumlah sekolah sampel untuk keterampilan menjalankan agama, keterampilan berprilaku santun, keterampilan berbahasa santun, keterampilan bersikap jujur, sabar, sederhana, ikhlas, empati


(18)

serta kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut nilai-nilai moral dan spiritual masih belum sesuai dengan harapan.

Prilaku remaja dan anak-anak terhadap media perlu menjadi perhatian. Sebagai ilustrasi, penelitian AGB Nielsen Media Research (www.agbnielsen.com, Juni 2011) yang terakhir menunjukkan bahwa dalam enam bulan, jumlah pemirsa anak (5-14 tahun) meningkat 17%, terutama sejak bulan Februari. Potensi penonton anak yang sebesar 12% (atau sekitar 1,2 juta anak) di bulan Februari bertambah menjadi 13,4% (atau sekitar 1,4 juta anak) di bulan Juni seiring dimulainya liburan sekolah. Bersamaan dengan bertambahnya potensi penonton anak, jam menonton mereka pun bertambah 24 menit per hari dari rata-rata 4 jam 8 menit di bulan Februari menjadi ratarata 4 jam 32 menit per hari di bulan Juni. Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton siaran televisi dalam sepekan rata-rata 28 hingga 35 jam. Jumlah tersebut lebih besar daripada jam sekolah anak-anak yang biasanya berlangsung antara pukul 07.00 – 12.00 WIB, dikurangi waktu istirahat. Masih berdasarkan data Nielsen, sebanyak 21 persen pemirsa TV adalah anak-anak dengan usia 5-14 tahun. Waktu menonton TV bagi mereka terutama pada pukul 06.00 – 10.00 dan antara pukul 12.00 – 21.00.Pada jam tayang utama (18.00 – 21.00) ada sekitar 1,4 juta anak-anak yang menonton TV. Padahal waktu tersebut seharusnya dipakai untuk belajar di rumah.

Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan sejumlah dampak berbahaya nonton televisi bagi anak antara lain; berpengaruh terhadap perkembangan otak, mendorong anak menjadi konsumtif, berpengaruh terhadap sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk pola pikir sederhana, mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas, meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan), merenggangkan hubungan antar anggota keluarga, matang secara seksual lebih cepat (www.smallcrab.com, 2011).

Krisis moral spiritual remaja dan anak-anak seperti yang telah dikemukakan di atas menjadi isu penting dalam konteks optimalisasi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar. Perlu di sadari bahwa pendidikan agama saat ini belum mampu berperan secara optimal dalam mengiringi perkembangan moral spiritual anak-anak dan remaja. Padahal secara psikologis seperti dikemukakan Syamsu Yusuf (2009: 17) mengutip pendapat William Kay, tugas utama


(19)

perkembangan remaja adalah memperoleh kematangan sistem moral untuk membimbing prilakunya. Sistem moral yang kokoh ini dapat dibangun sejak dini melalui proses pendidikan agama yang baik. Karena pendidikan agama yang baik dapat berpengaruh terhadap kualitas kesadaran beragama sebagai dasar untuk memperkokoh system moral yang dimiliki anak (Syamsu Yusuf, 2009: 17).

Pendidikan agama dapat membangun kesadaran beragama anak yang akan memperkuat pembentukan dan pengembangan moral yang dimilikinya. Kesadaran beragama dapat menggiring orientasi moral anak ke arah moral yang baik seiring dengan perkembangan intelektual dan psikologisnya. Secara teoritik pembentukan dan pengembangan moral pada anak melalui pendidikan agama akan menggiring anak (meminjam gagasan Santrock) kepada; moral thought (pengembangan proses berpikir tentang baik dan buruk), moral feeling (pengembangan sensitifitas moral), moral behavior (pengembangan prilaku bermoral), dan moral personality (pengembangan pribadi bermoral) (John W. Santrock, 2007:425).

Senada dengan Syamsu Yusuf, hasil penelitian yang dilakukan oleh Carolyn McNamara Barry dan Larry J. Nelson (2008) membuktikan bahwa religious beliefs (keyakinan agama) dan religious practices (pengamalan agama) memberikan pengaruh terhadap moral. Penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah remaja berusia 18 tahun menyimpulkan bahwa seseorang yang menempatkan keyakinan agama sebagai bagian penting dalam hidupnya, akan menempatkan kehidupan bermoral sebagai hal yang penting. Demikian halnya mereka yang menempatkan pengamalan agama (religious practices) sebagai hal yang penting menetapkan kehidupan bermoral juga sebagai hal yang penting (Barry, dkk. 2008:517-518).

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di muka dapat disimpulkan bahwa merosotnya kesadaran moral spiritual keagamaan remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor; 1) di ruang domestik kecenderungan pola pengasuhan yang tidak mendidik oleh orang tua menjadi salah satu penyebab, misalnya dengan membiarkan anak menonton televisi tanpa mengenal waktu; 2) lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang kurang mendukung proses perkembangan moral keagamaan anak, kesadaran bahwa pendidikan sebagai tanggungjawab bersama belum terbentuk di


(20)

dalam masyarakat; 3) di sekolah proses pembelajaran pendidikan agama Islam belum mampu membentuk kesadaran moral dan spiritual keagamaan, proses pembelajaran belum menggiring pada pengembangan keberagamaaan anak sesuai dengan tugas perkembangannya. Pembelajaran PAI hanya sebagai kegiatan resitasi, belum menggiring kepada proses pembelajaran agama yang bermakna. Pembelajaran pendidikan agama Islam belum artikulatif, ia baru menyentuh pengetahuan agama anak. Pembelajaran pendidikan agama Islam belum mengembangkan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas perkembangan agama anak. Sedangkan pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah pendidikan agama yang bisa mengantarkan murid menjadi being bukan hanya knowing dan doing (Tafsir, 2006:228). Mengutip pernyataan Patrick Sherry pendidikan agama yang diperlukan saat ini adalah “learning to be faithful and

religious” (Patrick Sherry, 1974:83). Bukan pendidikan tentang keimanan atau

agama.

Hasil penelitian Interfidei (Institut Dialog Antar Iman) yang berkerjasama dengan Oslo Coallition Norwegia terhadap praktek pendidikan agama di sekolah umum tahun 2004-2006 yang meliputi SD, SMP dan SMA di Yogyakarta terdapat satu temuan bahwa praktek pengajaran agama pada umumnya membosankan. Temuan senada juga muncul pada hasil penelitian Yusrina (2006:70) yang menyimpulkan tidak adanya pengaruh signifikan dari praktek pembelajaran agama terhadap akhlak murid, demikian pula tidak terdapat perbedaan antara murid yang memiliki nilai tinggi dengan yang rendah dalam mata pelajaran agama pada prilaku dan akhlak. Dengan demikian alih-alih menggiring murid untuk mendalami ajaran agama, proses pembelajaran agama justru mengurangi rasa ketertarikan murid terhadap pelajaran agama.

Disamping itu hasil kajian kebijakan kurikulum pendidikan agama yang dilakukan oleh Departemen Agama dengan lembaga agama terkait diperoleh temuan bahwa murid memiliki kemampuan dasar agama yang beragam sehingga menyulitkan guru dalam mengelola proses pembelajaran (Depdiknas, 2007). Kesesuaian antara tahap perkembangan murid pada aspek spiritual, intelektual, emosional, sosial dan fisikal dengan materi serta pendekatan pembelajaran sejatinya betul-betul diperhatikan. Dalam hal ini termasuk pengelolaan terhadap


(21)

modalitas belajar murid dan keragaman latar belakang murid baik kemampuan dasar, sosial, budaya dan ekonomi menjadi salah satu keterampilan yang harus dimiliki seorang guru.

Dalam pengelolaan materi pendidikan agama Islam, guru dihadapkan pada masalah bagaimana mendahulukan apa. Hal ini terkait dengan banyaknya komponen materi pendidikan agama Islam yang harus diberikan kepada murid yang meliputi aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak. Masing-masing komponen terdiri dari beberapa submateri yang harus diajarkan kepada murid dengan keharusan menjangkau ranah knowing, doing dan lebih penting lagi being (Ahmad Tafsir, 2006: 228). Dalam hal ini guru pendidikan agama Islam dihadapkan pada masalah prioritas materi antara mendahulukan penguasaan instrumental agama (keterampilan membaca al-Qur'an, menghapal ayat al-Qur'an, penguasaan praktek ibadah) atau menginternalisasikan (meminjam istilah Ahmad Tafsir, 2006: 224) nilai ajaran moral agama sehingga ajaran moral-spiritual ini being pada diri murid. Materi pembelajaran agama Islam di sekolah dasar terlalu membebani murid karena hampir semua aspek materi agama sudah diperkenalkan kepada murid pada setiap jenjang. Penyajian materi agama dalam buku pelajaran agama bersifat normatif dekriptif, kurang memberikan kontekstualisasi serta ilustrasi-ilustrai yang bersifat artikulatif sehingga sangat membosankan dan tidak menarik. C. Perumusan Masalah

Seperti telah dijelaskan dimuka, banyak faktor yang memberikan kontribusi pada rendahnya kesadaran moral spiritual murid. Dalam konteks pendidikan sekolah salah satunya adalah belum optimalnya proses pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar. Berkait dengan pengelolaan proses pembelajaran pendidikan agama ini mengerucut pada cara mengajar guru, cara mengelola belajar murid, cara mengelola lingkungan pembelajaran dan cara mengelola materi pembelajaran dan mengevaluasinya. Empat aspek tersebut tersimpul pada pentingnya pengembangan model pembelajaran.

Pengembangan model pembelajaran PAI sangat penting karena sejumlah alasan yaitu; pertama, dampak pembelajaran agama terhadap perkembangan moral dan spiritual murid belum nampak signifikan; kedua, nilai strategis jenjang pendidikan dasar perlu dioptimalkan untuk memperkuat fondasi moral-spiritual


(22)

murid menghadapi jenjang berikutnya; ketiga, perlunya model pembelajaran agama Islam yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual agama yang lebih artikulatif.

Dengan demikian masalah utama yang dipilih dalam penelitian ini adalah

“model pembelajaran agama Islam yang bagaimanakah yang dapat memperkuat kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar?”. Dengan merujuk pada rumusan masalah tersebut maka penelitian ini di fokuskan pada upaya pengembangan model pembelajaran agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual pada murid di jenjang pendidikan dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut dapat diidentifikasi tiga variabel kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama Islam; 2) kesadaran; 3) moral-spiritual.

Terdapat konsep kunci yang perlu dijelaskan dan diberi pengertian spesifik berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Konsep-konsep yang dimaksud adalah:

1) Pengembangan Model Pembelajaran; dalam hal ini yang dimaksud adalah kegiatan riset dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan mendalam untuk menghasilkan produk model pembelajaran agama Islam yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual.

2) Kesadaran (conciousnes); yang dimaksud kesadaran dalam penelitian ini adalah sensitifitas seseorang terhadap konsep baik dan buruk yang bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan dan ajaran agama serta mengartikulasikannya dalam kebajikan-kebajikan sehari-hari. Konsep variabel di atas diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran yang dikemukakan Raymond D. Smith, 2005:66, Peter Jarvis, 1999: 38, Michele Borba, 2001: 45 dan Carolin Kreber,dkk. 2007.

3) Moral-Spiritual; adalah seperangkat ajaran moral-spiritual yang diramu serta disusun sebagai konten pembelajaran dengan mempertimbangkan sejumlah pandangan para ahli serta pandangan ajaran Islam yang secara umum meliputi; 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan dengan Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual, 3) values of being (nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 4) values of giving (nilai-nilai pemberian).


(23)

Untuk mengelola masalah yang telah dirumuskan di muka sehingga dapat menjadi kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development plan) yang sistematis maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah penyelenggaraan pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kab. Cirebon saat ini ?

2) Bagaimanakah desain model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di Kb. Cirebon?

3) Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di Kab. Cirebon?

4) Bagaimanakah karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pengajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual yang dikembangkan tersebut? []

D. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran agama Islam untuk penguatan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar (SD). Produk dari penelitian ini adalah model pembelajaran agama Islam untuk penguatan kesadaran moral-spiritual (selanjutnya disingkat PKMS) yang secara epistemologis memenuhi prosedur akademik ilmiah dan secara pragmatis dapat diaplikasikan.

Merujuk kepada pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan sistematis yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah;

1) Mengetahui profil kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar di Kab. Cirebon, termasuk faktor pendukung dan penghambat optimalisasi kegiatan pembelajaran agama Islam saat ini. 2) Menemukan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk

meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar di Kab. Cirebon.

3) Mengetahui efektifitas model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar di Kab. Cirebon.


(24)

4) Mengetahui karakteristik, keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual yang dikembangkan tersebut.[]

E. Manfaat Penelitian

Karakteristik pembelajaran agama Islam di sekolah dasar (SD) pada umumnya masih merujuk kepada model the banking concept education (Bashori Muchsin, 201; 44). Model ini tidak memberikan ruang cukup untuk mengeksplorasi potensi belajar yang dimiliki, serta menanamkan respect dan responsibility, terutama dalam konteks pembelajaran agama Islam menggiring dan menumbuhkan potensi moral-spiritual murid. Dalam keadaan demikian praktis hasil pengajaran agama Islam mengalami stagnasi karena proses pembelajaran hanya berputar pada kegiatan resitasi. Sementara tuntutan pengajaran agama Islam tidak berhenti hanya pada penguasaan konsep dan aspek teoritik agama, sejatinya ia menyentuh aspek ethos agama yang membatin pada diri murid serta menumbuhkan kesadaran untuk mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pengembangan model pembelajaran yang menyadarkan dengan orientasi kepada pemahaman otentik-articulative, diharapkan menjadi pintu kepada proses pembelajaran yang menghasilkan kegiatan knowing how to be (Unesco, 2002) . Disinilah penelitian memperoleh signifikansinya.

Adapun manfaat hasil penelitian dan pengembangan akan nampak secara umum pada peningkatan kualitas pembelajaran agama Islam di sekolah dasar. Melalui proses pembelajaran agama Islam yang berorientasi kepada pemahaman kontekstual-otentik dengan merujuk kepada model yang dikembangkan, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar.

Secara spesifik manfaat penelitian dan pengembangan dapat dirinci sebagai berikut:

1. Model pembelajaran ini dapat menjadi pendekatan yang relatif baru bagi pengajaran agama Islam di sekolah dasar. Penguatan terhadap kesadaran moral-spiritual yang otentik-artikulatif menjadi salah satu yang diberi tekanan kuat dalam model ini.


(25)

2. Model pembelajaran ini akan memproyeksikan murid sekolah dasar kepada pengembangan kesadaran beragama sesuai dengan tugas-tugas perkembangan keagamaan anak, serta memberikan sentuhan maksimal pada sisi spiritualitas dan religiousitas yang dimiliki. Sehingga dapat memperkokoh fondasi moral dan keberagamaan secara dini.

3. Bagi guru model pembelajaran ini dapat mendorong pengembangan variasi pembelajaran dengan merujuk kepada karakteristik khas murid sekolah dasar serta pengembangan modalitas latent dan manifest murid sebagai cikal bakal manusia dewasa.

4. Bagi murid sekolah dasar, model pembelajaran ini relatif menyenangkan serta membawa kepada pengalaman belajar yang lebih bermakna dan membatin. []

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini disajikan menjadi lima bab. Bab pertama adalah bab pendahuluan yang berisi (1) latar belakang masalah, (2) identifikasi masalah, (3) perumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) struktur dan organisasi disertasi.

Bab kedua menyajikan kerangka teoritik yang terdiri dari (1) kajian terhadap teori model pembelajaran dan model pembelajaran moral-spiritual (2) kajian terhadap teori kesadaran moral-spiritual (3) kajian terhadap teori konseptual pembelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar.

Dalam ketiga adalah menyajikan pembahasan tentang metode penelitian yang terdiri dari (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain penelitian, (3) definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5) analisis data, dan (5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.

Bab ke empat menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari lima bagian pembahasan meliputi: (1) Bagian pembahasan deskriptif hasil penelitian pendahuluan yang meliputi; a) keterampilan guru PAI mengelola pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; b) keterampilan guru PAI mengelola materi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar; c) persepsi murid terhadap kegiatan pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar; dan d) moral-spiritual


(26)

pengembangan model yang meliputi; a) analisis hasil penelitian pendahuluan sebagai dasar pengembangan model, b) pengembangan model konseptual dan artikulasi model dalam desain pembelajaran. (3) Bagian pembahasan hasil kegiatan uji coba model yang meliputi; a) analisis standar isi dan SK-KD pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar, b) implementasi model PKMS yang dikembangkan dalam uji coba terbatas, c) hasil uji coba terbatas, d) hasil uji coba skala luas. (4) Bagian pembahasan hasil uji validasi model pembelajaran yang meliputi; a) dampak model PKMS terhadap penguatan kesadaran moral spiritual murid Sekolah Dasar, b) interaksi model PKMS. (5) Bagian pembehasan hasil penelitian yang meliputi; a) desain model pembelajaran PKMS, b) implementasi model pembelajaran PKMS pada kurikulum PAI di Sekolah Dasar, c) relevansi model pembelajaran PKMS dengan posisi strategis pembelajaran PAI di Sekolah Dasar, d) efektifitas model pembelajaran PKMS, e) kelebihan dan kelemahan model pembelajaran PKMS.

Bab kelima adalah bab penutup yang menyajikan tiga hal; (1) kesimpulan hasil penelitian, (2) implikasi hasil penelitian, (3) rekomendasi hasil penelitian.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas (1) lokasi penelitian, (2) metode dan desain penelitian, (3) definisi operasional, (4) pengembangan instrumen penelitian, (5) analisis data, dan (5) tahap-tahap pelaksanaan penelitian.

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dan pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk penguatan kesadaran moral spiritual (PKMS) murid sekolah dasar dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon. Subjek penelitian adalah guru pendidikan agama Islam Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon serta murid Sekolah Dasar kelas 5 di Kabupaten Cirebon. Dalam hal ini satuan yang dipilih sebagai sampel bukanlah individu melainkan sekelompok individu yang secara alami berada bersama-sama di satu tempat (Donald Ary, 2004:200). Sampel ditetapkan secara cluster (sampel area) yaitu dengan menetapkan UPTD Pendidikan Kec. Talun. Penetapan UPTD Kec. Talun sebagai sampel disebabkan memenuhi kriteria umumnya Sekolah Dasar di Kab. Cirebon. Pemilihan sampel area (cluster sampling) diperbolehkan sepanjang individu-individu dalam kelompok memiliki persamaan ciri yang ada hubungannya dengan variabel penelitian (Donald Ary, 2004:200). Secara rinci penetapan sampel dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan informasi tentang kondisi eksisting proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar dilakukan penelitian terhadap guru pendidikan agama Islam di Kabupaten Cirebon dengan menetapkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan Kecamatan Talun. Dengan mengambil secara acak 10 orang guru pendidikan agama Islam (PAI) di 10 sekolah dasar Kec. Talun Kab. Cirebon. Penetapan UPTD Kec. Talun didasarkan atas letak geografis dan kondisi sosial budaya masyarakat Kab. Cirebon baik secara vertikal maupun mobilitas horisontal masyarakat. Di kecamatan Talun terwakili masyarakat pendatang dan penduduk asli dengan beragam kelas ekonomi, pendidikan dan ragam budaya. Komposisi subjek penelitian guru dan sekolah dasar yang dijadikan sampel di UPTD Kec. Talun sebagai berikut:


(28)

Tabel 3.1 Daftar Subjek Penelitian pada Kegiatan Penelitian

Sekolah Guru Murid Kls 5

SDN 1 Kepongpongan 1 40

SDN 2 Kepongpongan 1 42

SDN 2 Kecomberan 1 35

SDN 1 Cirebon Girang 1 42

SDN 2 Sampiran 1 35

SDN 3 Krandon 1 38

SDN Wanasaba Kidul 1 35

SDN 1 Sumber 1 42

SDN 2 Sumber 1 40

SDN 3 Sumber 1 40

Jumlah 10 389

b. Untuk mendapatkan informasi tentang persepsi murid terhadap proses pendidikan agama Islam yang telah di laksanakan, dan kondisi kesadaran murid terhadap nilai-nilai moral spiritual, dilakukan penelitian terhadap 100 orang murid dari kelas 5 yang diambil secara acak (random) dari 10 Sekolah Dasar di UPTD Kec. Talun yang telah ditetapkan sebagai sampel. Komposisi masing-masing sampel dari 10 sekolah dasar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Komposisi Sampel Murid dari Masing-Masing SD Pada Penelitian Pendahuluan

Sekolah Guru Sampel

SDN 1 Kepongpongan 1 10

SDN 2 Kepongpongan 1 10

SDN 2 Kecomberan 1 10

SDN 1 Cirebon Girang 1 10

SDN 2 Sampiran 1 10

SDN 3 Krandon 1 10

SDN Wanasaba Kidul 1 10

SDN 1 Sumber 1 10

SDN 2 Sumber 1 10

SDN 3 Sumber 1 10

Jumlah 10 100

c. Untuk melakukan uji coba model pembelajaran PKMS pada pendidikan agama Islam di SD, maka ditetapkan 1 buah sekolah dasar yang dipilih dari 10 sekolah dasar yang telah ditetapkan sebagai sampel. Penetapan tersebut didasarkan atas ketersediaan pihak sekolah untuk dijadikan sebagai tempat


(29)

uji coba. Dalam hal ini terutama kesediaan guru pendidikan agama Islam untuk bekerjasama dengan peneliti melakukan uji coba penerapan model pembelajaran yang sedang dikembangkan secara berkelanjutan sampai ditemukan model yang dianggap memadai dan solid. Kerjasama guru pelaku dengan penelitian dalam hal ini sangat penting agar proses pengembangan berjalan lancar. SD yang ditetapkan sebagai tempat uji coba adalah SDN Sampiran Kec. Talun Kab. Cirebon dengan guru sukarelawan bernama Norman, S.Pd.I.

d. Setelah dilakukan proses uji coba terbatas, dilanjutkan dengan kegiatan uji coba luas yang melibatkan tiga buah SD dengan tiga katagori yaitu; SDN Kepongpongan 2 (katagori 1), SDN Kecomberan 1 (katagori 2) dan SDN Cirebon Girang (katagori 3). Untuk membuktikan kehandalan model yang telah dikembangkan dilakukan uji validasi. Uji validasi melibatkan tiga buah SDN kelompok eksperimen dan tuga buah SDN kelompok kontrol. Penetapan sampel baik kepada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan berdasar klasifikasi sekolah. Terutama dilihat dari geografis sekolah dan kondisi sosial budaya orang tua murid. Penetapan sekolah sampel dilakukan secara purposive dengan kriteria sekolah; berada di pedesaan dengan kondisi masyarakat yang relatif homogen dan sekolah yang berada di perkotaan dengan kondisi masyarakat yang relatif heterogen. B. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Model yang dipergunakan mengikuti model yang dikembangkan Samsudi (2006) (dalam Sugiyono, 2010:434) atau Nana Saodih Sukmadinta (2007) yang telah mengerucutkan sepuluh kegiatan penelitian dan pengembangan menjadi tiga tahapan besar yaitu: a) Tahap studi pendahuluan, 2) Tahap studi pengembangan, 3) Tahap evaluasi.

Langkah-langkah pengembangan model pembelajaran PKMS murid Sekolah Dasar diawali dengan kegiatan membuat rancangan pembelajaran yaitu proses menganalisis kebutuhan, menentukan isi apa yang harus dikuasai, menentukan tujuan pendidikan, merancang bahan-bahan untuk mencapai tujuan


(30)

khusus dan melakukan uji coba serta melakukan revisi program berkenaan dengan hasil belajar mengajar.

Dengan tiga tahapan utama seperti yang dipergunakan Samsudi (dalam Sugiyono, 2010: 434) maka dalam kegiatan penelitian Pengembangan Model Pembelajaran PKMS pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam bagi murid Sekolah Dasar ini dikelola melalui tahapan penelitian dan pengembangan sebagai berikut:

1) Tahap studi pendahuluan yang meliputi kegiatan; a) studi lapangan terhadap proses sistemik kegiatan pembelajaran agama Islam di sekolah dasar, b) study literatur untuk menggali teori yang akan mendasari model pembelajaran agama Islam yang akan dikembangkan, c) kajian normatif terhadap ayat al-Qur'an untuk mendapatkan model al-uslub al-Qurany bagi pembelajaran agama Islam di sekolah dasar, c) analisis normatif-teoritik dan analisis temuan (faktual) untuk melahirkan model tentatif.

2) Tahap studi pengembangan yang meliputi kegiatan; a) pengembangan draft desain model tentatif, b) validasi desain melalui jajak pendapat pengguna (user) dalam hal ini guru-guru agama SD, c) validasi desain oleh ahli atau pakar, d) ujicoba model terbatas, e) revisi model tahap 1, f) uji coba model luas, g) revisi model tahap 2, h) model definitif.

3) Tahap evaluasi (validasi) yang meliputi kegiatan; a) implementasi model, b) test akhir, c) konklusi implementasi model, d) model final.

Mengikuti urutan deskriptif di atas maka langkah-langkah kegiatan Pengembangan Model Pembelajaran PKMS pada pendidikan Agama Islam Di Sekolah Dasar dapat digambarkan sebagai berikut:


(31)

Gambar 3.1. Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan 1. Tahap Studi Pendahuluan

Kegiatan studi pendahuluan dilakukan dengan dua metode yaitu observasi langsung dan survey. Kegiatan observasi dilakukan untuk melihat secara faktual kecenderungan proses pembelajaran yang dilaksanakan, sedangkan kegiatan survey merekam sikap responden terhadap pengelolaan proses pembelajaran. Kegiatan survey dilakukan terhadap dua kelompok responden yaitu guru dan murid; 1) survey terhadap guru dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang proses pembelajaran agama Islam yang berlangsung di sekolah dasar. Data yang diperoleh bukan untuk menguji hipotesis atau membuat kesimpulan tetapi mendapatkan informasi secara deskriptif mengenai gambaran sampel (Sugiyono, 2010:208). Terutama gambaran data sampel diseputar; a) guru dan cara mengajar agama Islam, b) kurikulum dan pengelolaan materi agama Islam; 2) survey terhadap murid dilakukan untuk memperoleh gambaran resepsi murid terhadap proses pembelajaran yang telah mereka terima, baik resepsi terhadap cara guru mengajar, serta resepsi terhadap materi agama Islam secara keseluruhan. Penelitian survey juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang kesadaran moral spiritual murid sekolah dasar sebagai dampak dari proses pembelajaran yang telah mereka terima.

Hasil yang diperoleh dari studi pendahuluan dijadikan dasar untuk mengkaji teori yang signifikan serta menemukan dasar-dasar normatif al-Qur'an


(32)

untuk mengembangkan model. Sehingga model yang dikembangkan merupakan model integratif dari fondasi normatif-teoritik dan kondisi faktual proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar.

2. Tahap Studi Pengembangan

Pada tahapan ini desain model yang bersifat tentatif dikembangkan. Desain model ini di bangun dengan merujuk kepada teori serta dasar normatif konsep al-Qur'an dengan mengakomodir temuan yang diperoleh dalam kegiatan survey. Model tentatif ini kemudian di validasi untuk memperoleh penilaian yang bersifat rasional dengan melibatkan pakar dan sejawat disertai evaluasi keterbacaan model oleh user dalam hal ini guru-guru sekolah dasar. Setelah dilakukan validasi dan evaluasi keterbacaan model kemudian diujicobakan secara terbatas.

Proses uji coba mengikuti prosedur penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan (action research design) di definisikan oleh Mills (dalam Creswell, 2008:597) sebagai "systematic procedures done by teacher (or other individuals in an educational setting) to gather information about and subsequently improve the ways their educational setting operates, their teaching and their student learning". Dengan demikian kegiatan peneltian dan pengembangan model PKMS bersifat; a) fokus kepada praktek pembelajaran PAI dengan model yang dikembangkan, b) guru menjadi peneliti (mengevaluasi) atas prakteknya sendiri, c) dilaksanakan secara kolaboratif bersama guru pendamping, d) berlangsung secara dinamis, e) kegiatan merencanakan tindakan, f) kegiatan sharing untuk memantapkan model (Creswell, 2008:605). Dengan mengikuti prosedur penelitian tindakan, proses penelitian dan pengembangan model pembelajaran pendidikan agama Islam (PKMS) dilakukan dengan siklus berulang sehingga menghasilkan model yang betul-betul mapan.

Proses uji coba untuk menghasilkan model pembelajaran PKMS dengan pendekatan penelitian tindakan (action research) dilakukan pada semester pertama di kelas lima di Sekolah Dasar Negeri Sampiran 1 di Kabupaten Cirebon, dengan guru sukarelawan Bapak Norman, S.Pd. Dalam hal ini model yang diujicobakan sudah dalam bentuk sebuah rencana tindakan (a plan of action) yang kemudian akan mengikuti siklus berupa; a) identifikasi terhadap problem dalam proses implementasi model, b) mengumpulkan informasi penting dari proses


(33)

implementasi model, c) analisis dan interpretasi terhadap informasi yang telah diperoleh, d) mengembangkan rencana tindakan berikutnya berupa hasil revisi model.

Dalam proses penelitian dan pengembangan ini kerjasama yang erat antara peneliti dengan guru sebagai client harus dibangun terutama untuk memperoleh informasi tentang; a) keterbacaan draft model yang diuji coba, b) keterpakaian draft model yang diuji coba (aplicablility), c) proses implementasi draft model, d) efektifitas dan efisiensi model. Informasi ini dipergunakan untuk memperkokoh disain model melalui kegiatan revisi yang berkelanjutan sampai mendapatkan model yang solid atau model hipotetik.

3. Tahap Evaluasi/Validasi

Pada tahapan ini model yang sudah diuji coba dan di revisi sehingga menjadi model hipotetik dilakukan uji validasi. Dalam validasi model ini mencakup dua hal yaitu; 1) dampak penerapan model terhadap tugas guru dalam menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar pendidikan agama Islam ; 2) dampak penerapan model PKMS terhadap penguatan kesadaran moral spiritual Sekolah Dasar.

C. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini kegiatan di fokuskan kepada penelitian dan pengembangan guna menghasilkan model pembelajaran pendidikan agama Islam untuk meningkatkan kesadaran moral-spiritual pada murid di jenjang pendidikan dasar (SD). Berkait tema penelitian tersebut dapat diidentifikasi tiga variabel kunci yaitu; 1) model pembelajaran agama Islam; 2) kesadaran; 3) moral-spiritual.

Dalam hal ini terdapat sejumlah konsep kunci yang perlu diberi penjelasan dan diberi pengertian spesifik berkait dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Konsep-konsep yang dimaksud adalah:

1) Pengembangan Model Pembelajaran; yang dimaksud adalah kegiatan riset dan pengembangan yang dirancang secara sistematik dan mendalam dengan merujuk kepada kajian normatif-teoritik untuk menghasilkan produk model pembelajaran pendidikan agama Islam yang berorientasi kepada penguatan kesadaran moral-spiritual.


(34)

2) Kesadaran moral (moral conciousnes); yang dimaksud kesadaran moral dalam penelitian ini adalah perpaduan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan murid sekolah dasar terhadap konsep baik dan buruk meliputi 1) values of being (nilai-nilai dasar identitas dan jati diri), 2) values of giving (nilai-nilai pemberian) yang bersumber dari ajaran agama yang diperoleh melalui pembelajaran pendidikan agama Islam serta mengartikulasikannya dalam kebajikan sehari-hari. Konsep variabel di atas diramu dengan merujuk kepada rumusan tentang kesadaran yang dikemukakan Raymond D. Smith (2005:66), Peter Jarvis (1999: 38), Michele Borba (2001: 45) dan Carolin Kreber,dkk. (2007).

3) Kesadaran spiritual (spiritual conciousnes); yang dimaksud kesadaran spiritual dalam penelitian ini adalah perpaduan pengetahuan, sikap dan keterampilan murid sekolah dasar tentang keyakinan terhadap Tuhan yang meliputi 1) pemahaman terhadap kehadiran dan derajat hubungan dengan Allah SWT, 2) partisipasi dalam ibadah ritual yang diperoleh melalui pembelajaran pendidikan agama Islam serta mengartikulasikannya dalam kebajikan sehari-hari.

D. Pengembangan Instrumen Penelitian

Kegiatan penelitian ini difokuskan pada tiga hal; 1) pengetahuan tentang kondisi eksisting proses pembelajaran agama Islam di sekolah dasar yang diperoleh melalui observasi langsung terhadap sejumlah sekolah yang menjadi sampel serta dengan menggunakan angket yang diberikan kepada guru dan kepada murid sekolah dasar yang menjabdi sampel penelitian. 2) Penerapan model pembelajaran PKMS pada pendidikan agama Islam di sekolah dasar sebagai produk penelitian. 3) Uji validasi model telah dihasilkan.

1. Instrument Angket

Instrumen yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam penelitian pendahuluan adalah instrumen angket (kuisioner). Instrumen ini dipergunakan sebagai perangkat pengumpul data utama disamping observasi dan wawancara. Instrumen kuisioner yang dipergunakan dalam penelitian pendahuluan ini sebanyak dua buah yaitu: 1) Instrumen untuk mengetahui keberadaan pengelolaan proses belajar mengajar pendidikan agama Islam yang dilaksanakan. Jumlahnya


(35)

sebanyak 25 butir pernyataan yang meliputi; a) identitas pribadi, b) tentang guru dan cara mengajar, c) pengelolaan materi PAI SD. 2) Instrumen untuk menjaring data tentang resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan derajat kesadaran moral spiritual yang dimiliki masing-masing murid. Jumlahnya sebanyak 37 butir yang mencakup; a) identitas pribadi, b) persepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam yang telah diterima, c) moral-spiritual assessment inventory (yaitu menjaring data tentang tingkat kesadaran moral spiritual murid) (Lihat di lampiran)

Angket disusun secara terstruktur atau tertutup yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang disertai dengan pilihan jawaban yang telah disediakan, serta bersifat mencakup semua kemungkinan jawaban dan saling lepas (mutually axclusive) (Arief Furchan, 2004:260) terutama untuk instrumen variabel pengelolaan guru agama Islam terhadap proses pembelajaran. Sedangkan untuk unstrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam dan kesadaran moral spiritual murid mempergunakan pernyataan dengan jawaban model skala Likert.

Kusioner yang dipergunakan dalam penelitian ini harus teruji validitasnya. Validitas instrumen mengacu kepada kemampuan instrumen untuk mengukur terhadap apa yang seharusnya diukur (Arief Furchan, 2004: 293). Dalam hal ini peneliti meyakini validitas instrumen yang dibuat karena butir-butir pernyataan yang disusun mengacu kepada universum isi yang hendak diukur (validitas isi), atau membandingkan isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah di tetapkan (Sugiyono, 2010:182). Untuk memastikan adanya validitas isi ini ditempuh melalui proses bertahap yang meliputi proses kognisi dan kajian teoritis, yaitu mengkaji teori dari dimensi variabel, merumuskannya ke dalam kisi-kisi dan menterjemahkannya menjadi butir pernyataan.

Disamping validitas isi, instrumen ini juga diyakini memenuhi validitas konstruk (validitas bangunan pengertian) dan validitas eksternal. Validitas konstruk menunjuk kepada sejauh mana hasil jawaban responden dapat ditafsirkan menurut bangunan pengertian. Validitas konstruk merupakan gabungan antara pendekatan logis dan empiris (Ary, 2007:302; Sugiyono, 2010: 177). Sebagai contoh aspek logis bangunan pengertian mengajar efektif adalah


(36)

gabungan dari unsur yang berkaitan antara peran guru dan cara mengajar, peran murid dan cara belajar, pengelolaan materi, pengelolaan lingkungan belajar. Secara empiris pilihan murid terhadap butir pernyataan memperkokoh konstruk logis tadi. Sedangkan validitas eksternal instrumen diuji dengan membandingkan antara kriteria yang ada pada isntrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi dilapangan (Sugiyono, 2010:183).

Untuk instrumen variabel persepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam yang telah dilaksanakan serta instrumen untuk mengetahui derajat kesadaran moral spiritual murid dilakukan uji keterbacaan instrumen. Uji ini dilakukan mengingat kemampuan memahami teks murid sekolah dasar kelas 5 yang bervariasi atau terbatas. Uji keterbacaan item instrumen ini dilakukan kepada 10 orang murid sekolah kelas 5 dengan mempersilahkan mereka membaca seluruh 37 instrumen dan menyebutkan isntrumen yang tidak difahami maksudnya. Hasil dari uji keterbacaan item instrumen ini diperoleh kesimpulan bahwa instrumen yang tidak difahami secara langsung oleh murid adalah instrumen nomor; 2, 6, 8, 20, 26 sehingga perlu dilakukan perubahan redaksional. Adapun kisi-kisi instrumen masing-masing variabel sebagai berikut:

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen variabel Guru dan Pengelolaan Pembelajaran agama Islam di Sekolah Dasar.

Variabel Komponen Indikator Jumlah

1 2 3 4

A. Guru dan Cara Mengajar

1. Identitas dan karakter guru 2. Perencanaan dan

pengambilan keputusan

1. Menetapkan tujuan 2. Memilih pendekatan 3. Mengalokasikan waktu dan

ruang

4. Menentukan struktur 5. Menetapkan motivasi 6. Mempresentasikan 7. Melontarkan pertanyaan

8. Membantu

9. Memberikan pelatihan 10.Melakukan transisi

11.Mengelola dan mendisiplinkan

11 item B. Kurikulum dan Pengelolaan materi PAI 3. Pengelolaan materi

12.Tujuan instruksional 13.Dimensi pengetahuan

14.Menetapkan Prioritas Kurikuler 15.Karakteristik materi PAI 16.Pengenalan minat guru dan

murid terhadap materi PAI 17.Metode pembelajaran PAI


(37)

18.Efektifitas pembelajaran PAI 19.Kepuasan terhadap output

pembelajaran PAI

Jumlah 2 item

Teori-teori yang dipergunakan untuk menyusun kusioner ini mengacu kepada teori yang dikembangkan Richard I Arend (2007: 105, 158, 187, 196, 198 dan 207) dalam "Learning to Teach; Belajar untuk Mengajar" dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian.

Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen variabel resepsi murid terhadap proses pembelajaran agama Islam yang dilaksanakan.

Variabel Indikator Jumlah

1 2 3

A. Guru dan Cara Mengajar

1. Identitas dan karakter guru 2. Menetapkan tujuan

3. Penggunaan metode/pendekatan 4. Pengalokasian waktu

5. Menentukan struktur materi

5

B. Murid dan Cara Belajar 6. Memperoleh akses terhadap proses pembelajaran

7. Mendapatkan cara belajar yang bervariasi

8. Memperoleh kemudahan mendapatkan

klarifikasi

9. Mendapatkan dorongan/motivasi untuk belajar

4

C. Kelas dan Pengelolaan Lingkungan

Pembelajaran

10. Pengaturan kelas yang bervariasi

11. Pengembangan sikap saling menghormati 12. Mendapatkan saluran untuk berkomunikasi

dan menyatakan pendapat

3

D. Kurikulum dan

Pengelolaan materi PAI

13. Kejelasan materi PAI (clarity) 14. Derajat kesulitan materi

15. Relevansi materi dengan kebutuhan agama murid

16. Kebermaknaan materi bagi pengembangan sikap beragama murid.

4

Jumlah 16 item

Tabel 3.5 Kisi-Kisi Instrumen variabel kesadaran moral-spiritual murid Sekolah Dasar

Variabel Indikator Item

1 2 3

A. Kesadaran terhadap makna kehadiran Tuhan dan derajat hubungan

1. Merasa diawasi Tuhan 2. Merasa ditolong Tuhan 3. Merasa dicintai Tuhan


(38)

dengan Tuhan 4. Merasa dibenci Tuhan

5. Menaruh harapan pada Tuhan B. Partisipasi dalam ibadah

ritual

6. Sholat 7. Berdo'a

8. Membaca kitab suci

9. Komitmen terhadap kebaikan

4

C. Values of being (nilai-nilai dasar identitas dan jatidiri)

10. Kejujuran 11. Disiplin 12. Kesabaran 13. Tanggungjawab 14. Keuletan 15. Ketaatan

6

D. Values of giving (nilai-nilai yang berorintasi kepada orang lain/nilai pemberian)

16. Rasa hormat 17. Kesederhanaan 18. Empati

19. Kedermawanan 20. Keikhlasan 21. Rasa terimakasih

6

Jumlah 21tem

Untuk menyusung angket kesadaran moral-spiritual murid sekolah dasar mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Lynn G. Underwood (2006) tentang spiritality yang menetapkan diantara komponennya adalah; a) hubungan dengan kehadiran tuhan, b) proses transendensi diri, c) adanya kekuatan dan kenyamanan disamping tuhan, d) kedamaian, e) bantuan tuhan, f) bimbingan tuhan, g) perasaan dicintai tuhan, h) perasaan kagum, i) perasaan tanpa pamrih, j) rasa kasihan dan cinta, k) kesatuan dan kedekatan dengan tuhan. Sedangkan untuk konsep morality merujuk kepada konsep Linda dan Richard Eyre (1993) dalam bukunya Teaching Your Children Values yang membagi nilai moral pada dua katagori yaitu; a) values of being dan b) values of giving.

Dari 21 buah indikator yang mewakili empat aspek kesadaran moral spiritual tersebut diartikulasikan ke dalam 21 buah pernyataan yang harus disikapi murid. Masing-masing pernyataan menyajikan empat pilihan jawaban yang terdiri dari: selalu (4), sering (3), jarang (2), tidak pernah (1) untuk pernyataan yang favorable. Sedangkan untuk pernyataan yang non favorable adalah: tidak pernah (4), jarang (3), sering (2), selalu (1). Adapun cara memilih jawaban dari empat skala yang disajikan adalah:


(1)

Aspek Berpikir Kesejarahan. Disertasi Doktor pad Program Pasca Sarjana

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan.

Kember, David, Doris Y.P. Leung and Carmel McNaught. (2008). “A Workshop

Activity to Demonstrate That Approaches to Learning are Influenced by The

Teaching and Learning Environment”. Dalam Active Learning in Higher

Education (online), Vol. 9, 14 halaman. Tersedia [online] pada:

http://alh.sagepub.com/cgi/content/abstract/9/1/43. (24 April 2009).

Koesoema, Doni. (2001). Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman

Global. Jakarta: Kompas Gramedia.

Kurtines, William M., Jacob L. Gewirtz. (1984). Morality, Moral Behavior and

Moral Development. NewYork: John Willey and Sons.

Lang, Hellmut R. and David N. Evans, (2006). Models, Strategies and Methods

For Fective Teaching, , Sanfrancisco: Pearson education Inc.

Lewis, Jeff. (2000). “Spiritual Education as The Cultivation of Qualities of The

Heart and Mind; Reply to Blake and Carr”. Dalam Oxford Review Education;

Juny 2000; Vol. 26, 2: 263-283. ProQuest Education Journals.

Lickona, Thomas. (1991). Educating For Character; How Our Schools Can

Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Book.

Lines, Dennis. 2006. Spirituality in Counselling and Psychotherapy. London: Sage Publications.

Linda and Richard Eyre. (1993). Teaching Your Children Values. New York: Fireside.

MacKinlay, Elizabeth. (2006). Spiritual Growth and Care in The Fourth Age Life. London: Jessica Kingsleyh Publishers.

Maksum, M.A. (2007). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) Khazanah Pendidikan Agama Islam Kelas 5. Solo: PT Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri.

Maxwell, Bruce at.al. (2007). “Educating Moral Emotions; A Praxiological

Analysis”. Dalam Jurnal Stud Philos Educ (2007) Vol. 26: 147-163).©

Springer Science Business Media.

McKenzie, Walter. (2002). Media Selection: Mapping Technologies to

Intelligences, (on-line), www.vste.org, 14 Oktober 2008.

Meier, Dave. (2002). The Accelerated Learning; Hand Book. Bandung: penerbit Kaifa.

Miller, John P. dan Wayne Seller. (1985). Curriculum; Perspectives and Practice, New York: Longman.

Miller, John P., at. al. (2005). Holistic Learning and Spirituality in Education;

Breaking New Ground. New York: State University of New York Press.

Mudlofir, Ali. (2011). Aplikasi Pengembangan KTSP dan Bahan Ajar Dalam


(2)

Muijs, Daniel at.al. (2008) Ed. II, Efective Teaching; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhadjir, Noeng. (2011). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih, (2007), Perkembangan Peserta Didik,

Jakarta: Universitas Terbuka (UT).

Murata, Sachiko, dkk. (2005). The Vision of Islam, Suluh Press: Yogyakarta.

Muslihudin dan Amir Syamsudin. (2009). “Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Untuk Pendidikan Anak Usia Dini”. Dalam Jurnal Pendidikan Islam Lektur.

Cirebon: IAIN Cirebon.

Mustafa al-Maraghy, Ahmad. Jilid 10. (tt). Tafsir al-Maraghy. Beirut: Darul Fikr. Mustakim, Bagus. (2011). Pendidikan Karakter; Membangun Delapan Karakter

Emas Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudra Biru.

Nasr, Seyyed Hossein. (2003). The Heart Of Islam; Pesan-Pesan Universal Islam

Untuk Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Niblett, Roy. (1978). “Authority in Religious Education”. Dalam Theology, Vol

81: 336-342. Tersedia (online) pada http://tjx.sagepub.com/content

/81/683/336/ citation. (18 Januari 2011).

Nor Wan Daud, Wan Mohd. (2003). Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed

M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan.

Nucci, Larry P. and Darcia Narvaez. (2008). Handbook of Moral and Character

Education. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Ormrod, Jeanne Ellis. (2009). Psikologi Pendidikan; Membantu Siswa Tumbuh

dan Berkembang. Ed. 8. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ornstein, Allan C. and Francis P. Hunkins (2009). Curriculum Foundations,

Principles, and Issues. Boston: Pearson.

Osguthorpe, Richard D. (2008), “On The Reason We Want Teacher of Good Disposition and Moral Character”. Dalam Journal Of Teacher Education,

(tersedia online), Vol 59/4/12 halaman. Tersedia pada http://jte.sagepub.com

/cgi/content/abstract/59/4/2008 (tanggal 19 Pebruari 2009).

Owens, Elizabeth. (2004). Discover Your Spiritual Life; Sinari Jalan Setapak

Jiwa Anda. Jakarta: Buana Ilmu Komputer.

Pahari, dkk. (2007). Pendidikan Agama Islam SD Kelas 5. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.


(3)

Peterson, Christhoper and Martin E. Seligman. (2004). Character Strenghts and

Virtues; A Hand Book and Clasification. New York: Oxford University Press.

Plonczak, Irene. (2008). “Science for all: Empowering elementary school

teachers” dalam Jurnal Education Citizenship and Social Justice, tersedia

online pada http://esj.sagepub.com/cgi/content/abstract/3/2/167. Diunduh tanggal 4 April 2010.

Power, Edward J. (1982). Philosophy of Education; Studies in Philosophies,

Schooling and Educational Policies, Prentice-Hall, Inc.: New Jersey.

Qardlawi, Yusuf. (1988). Al-Ibadah fi al-Islam. Beirut: Muassasah al-Risalah. Qutb, Muhammad. (1993). Manahij Tarbiyah Islamiyyah. Kairo: Dar

al-Syuruq.

Raka, Gede. dkk. (2011). Pendidikan Karakter di Sekolah: Dari Gagasan ke

Tindakan. Jakarta: Kompas Gramedia.

Reigeluth, Charles M (ed). (1999). Instructional-Design Theories and Models; A

New Paradigm of Instructional Theory, Vol. II. London: Lawrence Erlbaum

Associates, Publishers.

Robertson, Roland. (1993). Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ryan, Kevin. (1988). “Teacher Education and Moral Education”. Dalam Journal

of Teacher Education, Vol 38, 18-23. Tersedia (online) http://

jte.sagepub.com/ cgi/content/abstract/39/5/18. (19 January 2010)

Sadulloh, Uyoh. (2007). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sanjaya, Wina. (2010). Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktek

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:

Kencana.

Santoso, Singgih. (1999). SPSS; Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: Elex Media Komputindo

Santrock, John W. (2007). Child Development. New York: McGraw-Hill

Sauri, Sofyan. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak; Kajian Filosofis dan

Teosofis tentang Akhlak, Karakter, Moral, Bandung: Rizqi Press.

Schmidt-Wilk, Jane. et. al. (2000). “Higher Education for Higher Consciousness:

Maharishi University of Management as a Model for Spirituality in

Management Education”, dalam Journal of Management Education. 2000;

Vol. 24; (580). The online version of this article can be found at:

http://jme.sagepub.com/cgi/content/abstract/24/5/580. 18 Oktober 2009.

Schmalzbauer, John and Kathleen A. Mahoney. (2008). “American Scholars

Return to Studying Religion”, dalam Jurnal Contexts, 2008 Vol. 7: 16; The

online version of this article can be found at: http://ctx.sagepub.com

/content/7/1/16. 24 January 2011.

Setyosari, Punaji. (2010). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.


(4)

Shapiro, David A. (1999). Choosing The Right Thing; Panduang Untuk

Menentukan Pilihan Yang Benar. Jakarta: Buana Ilmu Komputer (BIP). Sherry, Patrick. (1974). “Learning How To Be Religious: The Work of Paul

Holmer” Jurnal Theology. (Online), Vol. 77:81 halaman. Tersedia:

http.//tjx.sagepub.com/content/77/644/81. Citation, diunduh tanggal 31 Januari 2011.

Sinanovic, Ermin and Khuran Hussain. (2006). An Islamic Approach to Identity

and Morality Education. Paper Presented at AMSS 35th Annual Conprence. Cosponsored by Hartford Seminary, Hartford. October, 27-29, 2006.

Smith, Raymond D. (2005). “The Spiritual Side of The Ethics Crisis” dalam

Journal Of Human Values. (Online), Vol. 11: 63-71. Tersedia:

http//jhv.sagepub.com/cgi/content/abstract/11/1/63. Diunduh tanggal, 8

Oktober 2009.

Sobottka, Stanley. (2007). A Course In Consciousness. Tersedia on line

http://faculty.virginia.edu/consciousness. Diunduh tanggal 27 Juni 2009.

Sodiqin, Ali. (2009). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) Teladan Mulia Pendidikan Agama Islam Kelas 5. Solo: PT Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sumanta. (2009). Manusia Sempurna; Konsepsi Al-Insan Al-Kamil Dalam

Tasawuf al-Jili. Yogyakarta: Sajadah Press.

Suryabrata, Sumadi (1995). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grapindo Persada.

Tafsir, Ahmad. (2006). Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani

dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosda karya

Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Tisdell, Elizabeth J. and Derise E. Tolliver (2003). “Claiming A Sacred Face; The

Role of Spirituality and Cultural Identity In Transformative Adult Higher

Education.” dalam Journal of Transformative Education. Published By

SAGE. USA.

Todd, Anne W., at.al. (2008). “The Effects Of a Targeted Intervention to Reduce

Problem Behaviors: Elementary School Implementation of Check In-Check

Out”, dalam Journal of Positive Behavior Interventions, 2008 Vol. 10:46-55.

Tersedia (online): http://pbi.sagepub.com/content/10/1/46 (19 Mei 2011).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Tentang Guru dan Dosen

Underwood, L ynn G. (2006). Ordinary Spiritual Experience; Qualitative


(5)

Daily Spiritual Experience Scale. (Prepublication Draft). Archive for the

Psychology of Religion, Volume 28, Number 1, 2006.

Unesco. (1998). Learning To Live Together In Peace and Harmony. Bangkok: Unesco.

Unesco. (2002). Learning To Be; A Holistic and Integrated Approach to Values

Education for Human Development. Bangkok: Unesco.

Unesco. (2005). Learning To Do; Values for Learning and Working Together in a

Globalized World. Germany: Unesco-Unevoc.

Westbrook, Robert B. (t.t). JOHN DEWEY (1859-1952), tersedia (on line)

www.ibe.unesco.org/publications/ThinkersPdf/deweys.pdf, 15 Oktober 2008.

Wortham, Sue C. (2006). Early Chilhood Curriculum; Developmental Bases For

Learning and Teaching. New Jersey: PearsonMerril Prentice Hall.

Yang, Baiyin (2005). “Holistic Learning Theory and Implications for Human

Resource Development”. dalam Jurnal Advances in Developing Human

Resources Vol. 6. (online service). Published by SAGE. USA. Diunduh

tanggal. 25 Oktober 2009.

Young, Mark R. et.al. (2003). “Enhancing Learning Outcomes: The Effects of

Instructional Technology, Learning Styles, Instructional Methods, and

Student Behavior”. Dalam Journal of Marketing Education. Vol. 9 (online

service). Published by SAGE USA. Diunduh tanggal. 19 Okrober 2009. Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. (2007). Teori Kepribadian. Bandung: SPS

UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.

Zais, Robert S. (1976). Curriculum; Principles and Foundations. New York: Harper & Row, Publishers.

Zdenek, Brad and Daniel Schochor. (2007). “Developing Moral Literacy in The

Classroom”. Dalam Journal of Educational Administration, Vol. 45 No. 4;

2007: 514-531. Tersedia online www.emeraldinsight.com/0957-8234. (24

Mei 2011).

Zuriah, Nurul. (2008). Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif

Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.

Zohar, Danah and Ian Marshall. (tt). Spiritual Quotion; Spiritual Intelligence The


(6)

Elia, Heman (2000). Moralitas anak berkembang dari waktu ke waktu. Dalam

EUNIKA: buletin pendidikan iman anak. (online)..

http://www.geocities.com/~eunika-net/21/kembang.html.

Schiller, Pam. at.al, (2002). 16 Moral Dasar Bagi Anak, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Bob Samples, (2002). Revolusi Belajar Untuk Anak; Panduang Belajar Sambil


Dokumen yang terkait

STUDI ANALISIS TENTANG KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK TINGKAT SEKOLAH DASAR

0 8 31

Implementasi strategi pembelajaran kooperatif pada mata pelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah

1 7 86

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap tingkat pemahaman siswa tentang materi zakat pada mata pelajaran pendidikan agama islam (Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VIII SMP Sulthan Bogor Tahun Ajaran 2015/2016)

1 10 154

PENYUSUNAN DESAIN PEMBELAJARAN BERMUATAN KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI Penyusunan Desain Pembelajaran Bermuatan Karakter Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Dasar Inklusi Dengan ABK Tunarungu.

0 1 18

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA.

2 15 47

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AFEKTIF UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA DALAM ASPEK AKHLAK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 1 59

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN LIFE SKILLS PESERTA DIDIK :Studi pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama.

0 1 77

Model Pembelajaran Terpadu Untuk Meningkatkan Penerapan Nilai Agama (Penelitian dan Pengembangan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah).

1 1 70

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM MORAL ISLAM PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN WONOCOLO SURABAYA.

1 2 101

PENANAMAN SPIRITUAL QUOTIENT dan NILAI MORAL pada SISWA untuk PENGUATAN KURIKULUM PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

0 0 33