PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA : Penelitian naturalistik inkuiri di SMA Negeri 1 Sindang terhadap Babad Dermayu di Kabupaten Indramayu.

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………

PERNYATAAN ……… i

ABSTRAK ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Fokus Penelitian .. ……… 20

C. Tujuan Penelitian ………... 21

D.Manfaat Penelitian ………... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………... 23

A. Sejarah Lokal……….…… ………. 23

B. Multikulturalisme dan Teori-Teorinya ……… . . . …… .. 40

C. Karakter Bangsa ……….. 63

D. Penelitian terdahulu………. 78

E..Paradigma Penelitian ……… 81

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………... 85

A. Metode Penelitian …...……… ……….. 85

B. Lokasi dan Subjek Penelitian……… 87

1. Lokasi Penelitian ……….. 87

2. Subjek Penelitian ………. 88

3. Data Penelitian ………. 89

C. Instrumen Penelitian……..……… 91

D. Teknik Pengumpulan data ……… 91

1. Studi Pustaka ……… 92

2. Observasi ………. 92

3. Wawancara ……….. 93

4. Dokumentasi ……….……… 94

E. Analisis dan Penafsiran Data……….. 95

1. Reduksi Data ……… 97


(2)

3. Penarikan kesimpulan dan Ferifikasi ……….. 99

F. Validitas Data……….. ……… 100

BAB IV HASIL- HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………. 103

A. Deskripsi Lokasi Sekolah………. 103

1. Lokasi Penelitian ……… 103

1.1. Letak SMAN 1 Sindang Indramayu……… 103

1.2. Sejarah SMAN 1 Sindang Indramayu ……… 104

B. Hasil –Hasil penelitian ……….. 108

1. Desain Pembelajaran ………. 108

2. Tahapan-tahapan Pembelajaran ………. 119

1. Kegiatan Awal ……… 119

2. Kegiatan Inti ……….. 120

3. Kegiatan Penutup ……… 130

3. Hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran ……… 131

4. Solusi ……….. 135

C. Pembahasan ………. ………... 139

1. Desain Pembelajaran ……… 139

2. Tahapan-tahapan Pembelajaran ……….. 144

2.1. Kegiatan Awal ………... 144

2.2. Kegiatan Inti ………. 145

2.3. Kegiatan Penutup……….. 148

3. Hasil-hasil yang Dicapai ………. 149

4. Solusi ……….. 152

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……….. 156

A. Kesimpulan ………..……… 156

B. Rekomendasi………. 157

DAFTAR PUSTAKA……… 160 LAMPIRAN


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan generasi mudanya. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut, pendidikan harus mulai dari apa yang sudah dimilikinya dan apa yang sudah diketahuinya. Apa yang sudah dimilikinya dan sudah diketahuinya itu adalah yang terdapat pada lingkungan terdekat peserta didik terutama pada lingkungan budayanya. Prinsip ini berkenaan dengan cara bagaimana peserta didik belajar (Hasan, 2012:103).

Suatu realita historis di era reformasi, selain tersimpan sejumlah harapan masa depan yang lebih cerah, Indonesia juga memasuki krisis multidimensi dengan munculnya gerakan sparatis serta masalah sosial budaya menyangkut disintegrasi Bangsa ( Supardan, 2005:82).

Jika dikaji lebih lanjut maka dunia pendidikan Indonesia tidak saja harus berlandaskan pada kebudayaan tetapi juga berhadapan dengan tugas mengembangkan berbagai budaya yang ada di tanah air dan menjadi bagian dari kehidupan peserta didik. Keanekaragaman budaya tersebut di satu fihak merupakan suatu kekayaan bangsa tetapi di fihak lain dapat menjadi sumber konflik yang tidak menguntungkan. Pendidikan harus mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga dapat mengubah perbedaan budaya dari potensi sumber konflik menjadi potensi sumber kerjasama yang produktif dan sumber inspirasi bagi budaya lain (Hasan, 2012:104).


(4)

Melalui pendidikan manusia belajar pengetahuan, mendapat pendidikan nilai dan juga mendapat pendidikan berbagai macam tuntutan yang diminta oleh jaman yang pada akhirnya akan terwujud sumber daya manusia berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan aset bangsa dan negara dalam melaksanakan pembangunan nasional di berbagai sektor, yang diharapkan mampu menjawab semua tantangan di era global sekarang ini. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang cerdas (secara intelektual), tetapi juga bermoral tinggi dan mampu menghadapi tantangan yang penuh dengan persaingan.

Pendidikan di Indonesia secara umum sampai saat ini masih menghadapi permasalahan yang cukup rumit, terutama yang berkaitan dengan kualitas pendidikan baik dari proses maupun produk. Penyelenggaraan pendidikan nasional dihadapkan pada tantangan untuk menyiapkan bangsa Indonesia yang mampu bersaing dalam kehidupan masyarakat modern, sebagaimana dikatakan

oleh Tilaar (2000: 130) bahwa: “Salah satu trend abad 21 adalah menonjolnya

kemampuan kreativitas dan produktifitas yang akan dibandingkan dengan kerja sama”. Untuk itu lembaga pendidikan harus mampu meningkatkan kualitas proses dan produk agar mampu melahirkan manusia-manusia yang handal, baik dalam bidang akademik maupun dalam aspek moralitas.

Sejarah merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan ke masa depan (Kochhar, 2008: 5). Hal ini menunjukkan bahwa kesinambungan harus terus dijaga karena tidak ada peristiwa atau kejadian yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa lain di dunia ini. Keberhasilan dan


(5)

kegagalan sudah banyak tertulis oleh sejarah, tinggal bagaimana kita bisa belajar dari proses yang pernah terjadi tersebut untuk dapat menjadi bangsa yang besar dan mandiri.

Perubahan serta pembenahan pembelajaran sejarah yang mencakup berbagai aspek baik aspek metodologis maupun aspek lain yang memang mempengaruhi kualitas pembelajaran sejarah. Robinson (Sjamsudin,1996:199) yang menganggap perlu perubahan dari sejarah lama (the old history) ke sejarah baru (the new history), perubahan ini antara lain berupa sejarah yang berorientasi politik semata ke sejarah yang juga memperhatikan aspek-aspek sosial-ekonomi, budaya, pertanian, teknologi, pendidikan, dan psikologi. Dengan perubahan paradigma tersebut, juga terjadi dalam pendidikan sejarah (Hasan, 1999:9) sebagai konsekuensi logis adanya pergeseran filsafat dalam pembelajaran sejarah. Hasan berpendapat bahwa perubahan itu mencakup : (1). Adanya keterkaitan antara pelajaran sejarah dalam kehidupan sehari-hari (2). Pemahaman serta kesadaran dalam cerita sejarah belum bersifat final (3). Perlunya perluasan sejarah politik dengan tema-tema sejarah sosial, sejarah budaya, sejarah ekonomi dan yang menyangkut dengan teknologi.

Perubahan paradigma pembelajaran sejarah maupun pada pembelajaran lainnya, merupakan salah satu tujuan untuk menjawab tantangan globalisasi termasuk masalah-masalah sosial yang sifatnya mengacu pada disintegrasi bangsa oleh karena itu, pelajaran sejarah berlandaskan rekonstruksi sosial dengan menggunakan paradigma new history artinya dalam proses belajar mengajar sejarah, guru sangat dituntut membawa siswanya dalam lingkungan kehidupan


(6)

guna untuk memahaminya. Bila dihubungkan dengan pembelajaran sejarah yang selama ini masih banyak menggunakan pendekatan tradisional, serta lebih menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan keterampilan sosial (Supriatna, 2001:27), maka pendidikan sejarah yang selama ini diberikan, harus segera diperbaharui agar mampu menyiapkan para peserta didik mengantisipasi dan beradaptasi ke masa depan. Baik kesadaran waktu (time sense) nya, maupun sifat pengajaran yang biasanya lebih bertumpu pada pengetahuan fakta, yang bersifat hapalan, harus diganti dengan kegiatan belajar yang lebih menekankan aktivitas siswa dengan pendekatan keterampilan proses. Kegiatan ini akan menunjang prinsip belajar bagaimana anak harus belajar learn how to learn (Gagne:1984).

Maka dalam hal ini Widja (1989:9) menyatakan usaha untuk memberikan peran yang lebih besar bagi peminat sejarah lokal yang bukan profesional, khususnya para guru sejarah, belakangan juga muncul dalam Seminar Sejarah lokal di Denpasar yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (Widja , 1989:9) mengemukakan;

lain dari jaman penjajahan sekarang kita telah memiliki guru-guru sekolah lanjutan yang tersebar jauh dari pusat dan peminat-peminat terhadap sejarah (sejarawan professional?) guru-guru sejarah dikalangan guru

tingkatan itulah yang tampak paling dekat dengan “perekam sejarah” lokal

yang kami bayangkan. Kedudukan sosial mereka sedikit di “ketepian” tidak sepenuhnya mempunyai bias ke pusat, dan cukup hidup ditengah-tengah masyarakat untuk dapat menghayati kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak (Tjondronegoro 1982:6)

Pembelajaran Sejarah Lokal, diartikan sebagai suatu proses terjadinya kegiatan belajar-mengajar sebagai upaya guru untuk tujuan terjadinya proses

belajar memahami sejarah dari suatu “tempat” atau “lokality” tertentu. Kajian


(7)

Wiralodra, Nyi Endang Dharma sebagai tokoh pendiri Indramayu yang dianggap sebagai simbol tokoh lokal heroes. Boleh dikatakan bahwa Babad Dermayu adalah jatidiri masyarakat Indramayu. Secara spasial sejarah lokal ruang lingkupnya kecil, memiliki keunikan dan kekhasan,yang berbeda dari sejarah nasional, bukan bagian dari Sejarah Nasional (Mulyana,2007:235).

Kontribusi peranan pembelajaran sejarah lokal terhadap tumbuhnya nilai-nilai positif siswa sudah banyak dikaji beberapa peneliti. Supardan (2004:13) menyimpulkan bahwa peranan sejarah lokal sebetulnya memberikan identitas dan

mengisi “kevakuman” serta memberikan kontribusi terhadap pengembangan rasa memiliki sebagai Bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, pembelajaran sejarah di Indonesia kurang bercerita bagi orang-orang tertentu dan tidak dirasakan hingga sekarang sebagai sesuatu yang dimiliki atau dihayati sendiri (Lapian, 1980:4).

Dalam pandangan seperti di atas, maka pendidikan sejarah bertujuan mengembangkan berbagai nilai dalam aspek-aspek kehidupan masa lampau. Selain itu Hasan (2005:6) juga bependapat bahwa walaupun pendidikan sejarah untuk jenjang pendidikan dasar lebih cenderung pada pendidikan nilai melalui pembelajaran sejarah namun kemampuan pemahaman dan skil yang diperlukan dalam disiplin sejarah selayaknya juga diperkenalkan, dan pada kenyataannya dalam kurikulum pendidikan sejarah dewasa ini upaya-upaya di atas sudah banyak dilakukan. Nilai-nilai yang harus pula dikembangkan adalah nilai-nilai yang memiliki kearifan lokal, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sekitar siswa Mulyana dan Gunawan (2007:2).


(8)

Dalam konteks sejarah lokal, dapat disajikan pembelajaran sejarah dengan berbasis nilai-nilai kepahlawanan. Misalnya, di Indramayu tokoh Aria Wiralodra dan Nyi Endang Darma (Babad Dermayu) merupakan tokoh yang namanya selalu dikaitkan dengan nilai-nilai semangat, keberanian, harga diri, rela berkorban, tanggung jawab dan nilai-nilai lainnya. Dalam hal ini sebuah karya yang mewakili zamannya, dimana orang Indramayu berpengetahuan tinggi. Mampu mendesain sejarah dan mitos menjadi satu kesatuan utuh yang dapat diterima oleh semua golongan. Hal ini di manifestasikan dengan adanya beberapa versi –versi Babad Cirebon II, versi Kertasemaya, versi di daun lontar dan versi lainnya, yaitu bahwa Babad Dermayu dalam perjalanannya digemari oleh masyarakat Indramayu.

Adanya kecenderungan Indonesia sentries dalam penulisan sejarah, yang pada hakekatnya sekaligus bisa kita anggap sebagai pencerminan yang makin disadari arti penting dari kajian sejarah lokal itu,antara lain dikatakan, Widja (1989:15)

Dalam melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang lebih memperdalam pula kesadaran sejarah kita, yaitu kita diberi kemungkinan untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui (Buku Petunjuk seminar sejarah Lokal 1982 : 1-2)

Dalam sejarah lokal, perjuangan para pahlawan diharapkan bisa menjadi inspirasi para pelajar untuk gigih dalam memperjuangkan keinginannya.


(9)

mencintai arti pengorbanan bahkan kalau bisa menjadi kekuatan moral dan penawar bagi berkembangnya sikap snoobish, hedonis, dan konsumerisme bagi generasi muda. Permasalahannya adalah para guru sering menginferiorkan dirinya

sendiri, sehingga terjebak pada silabus yang ‘kaku’. Padahal silabus sendiri

membuka ruang untuk berapresiasi, apalagi mata pelajaran sejarah tidak diujikan secara nasional jadi sangat mudah bagi guru sejarah untuk berkreasi.

Posisi materi sejarah lokal tidak lagi sebagai sumber semata tetapi juga menjadi objek studi sejarah peserta didik. Dalam kesempatan inilah mereka belajar mengembangkan wawasan, pemahaman, dan ketrampilan sejarah. Mereka dapat berhubungan langsung dengan sumber asli dan mengkaji sumber asli dalam suatu proses penelitian sejarah. Melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalau pun terjadi berbagai perbedaan di antar mereka maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang sangat tinggi. materi sejarah lokal harus pula disajikan tidak dalam perspektif ilmu sejarah tetapi dalam perspektif pendidikan. Oleh karena itu keterkaitan dan penafsiran materi sejarah lokal jangan sampai menimbulkan konflik dengan kepentingan sejarah nasional dan upaya membangun rasa persatuan, perasaan kebangsaan, dan kerjasama antar daerah dalam membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, cinta damai, toleransi, penuh dinamika, kemampuan berkompetisi dan berkomunikasi.

Dari tujuan tersebut dapat terlihat pelajaran sejarah mampu mengabadikan pengalaman masyarakat masa lampau yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga selain bertujuan agar siswa memiliki nilai-nilai


(10)

berbangsa dan bertanah air, juga diharapkan melalui pembelajaran sejarah siswa dapat mengambil inti pendidikan sejarah untuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi tantangan kehidupan masa kini dan hari esok, di samping itu juga mempersiapkan diri untuk kemungkinan belajar sejarah sebagai ilmu di masa depan (Wiriaatmadja, 1992:31).

Untuk mencapai maksud tersebut maka perlu dipersiapkan paradigma baru dalam pembelajaran sejarah yang berorientasi kepada kepentingan peserta didik di masa depan (Ismaun, 2001:112). Dari peristiwa sejarah diharapkan peserta didik dapat mengambil manfaat dan pelajaran, Siswa belajar sejarah tidak hanya memahami apa yang telah terjadi, melainkan dapat mengapresiasi peristiwa sejarah sehingga dapat menimbulkan reaksi-reaksi emosional dan sentimental yang ikut menentukan sikapnya dimasa depan (Syamsudin,1999:5). Pelajaran sejarah sering dirasakan sebagai hanya fakta-fakta berupa tahun, tokoh serta peristiwa belaka.pengajaran sejarah sangat didominasi oleh bentuk pengajaran hafalan serta terlalu banyak menekankan pada “chalk and talk” di kelas sangat lemah dalam hal mendorong keterlibatan murid dalam proses belajar aktif. Karena sulit dimengerti pada peristiwa sejarah yang terlalu memperhatikan tingkah laku orang dewasa yang ada diluar jangkauan pengalaman siswa. (Partington dalam Widja,2002:92).

Tantangan bagi guru sejarah agar mampu berusaha mengembangkan alternative baru dalam proses belajar mengajar. Salah satu alternative tentunya melalui pembelajaran sejarah lokal dengan cara membawa siswa pada lingkungan sekitarnya. Dasar utama dari usaha pengembangan wawasan baru alternative


(11)

pembelajaran sejarah lokal ialah semoga siswa lebih tertarik dalam mengikuti pelajaran serta mendapat manfaat yang lebih besar dari proses belajarnya, yang berada di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dapat disampaikan dengan cara-cara lebih bermakna.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk “ mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ” Indonesia adalah salah satu negara di dunia ini yang memiliki keragaman budaya yang kompleks. Menurut Wolpert (1984:5), India adalah negara di dunia ini yang tiada duanya dalam tingkat keragaman sosial dan budaya, dan bangsa Indonesia “ next to it ” ,artinya

keragaman sosial dan budaya Indonesia bisa dikatakan urutan selanjutnya setelah India. Motto Bhineka Tunggal Ika yang tercantum dalam lambang negara sungguh tepat menggambarkan keragaman realita tersebut. Data menunjukkan bahwa ada sekitar 200 keragaman sosial dan budaya dalam masyarakat bangsa Indonesia. Kelompok sosial dan budaya besar seperti Aceh, Melayu, Batak, Minang, Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Manado, Ambon, Irian (Polynesia/Papua) adalah beberapa contoh dari keragaman tersebut. Belum lagi sejumlah kelompok budaya yang tak terhitung karena memiliki jumlah pendukung yang relatif lebih kecil dibandingkan pendukung kebudayaan yang disebutkan sebelumnya.

Kartodirdjo selanjutnya menegaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan sebagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau (Kartodirdjo,1992:59). Pengalaman kehidupan kolektif inilah yang merupakan


(12)

landasan untuk menentukan identitasnya seperti dalam kehidupan masyarakat tradisional, identitas seseorang di kembalikan ke asal-usulnya maupun keluarga besarnya. Kartodirdjo selanjutnya menegaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan sebagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau (Kartodirdjo,1992:59). Pengalaman kehidupan kolektif inilah yang merupakan landasan untuk menentukan identitasnya seperti dalam kehidupan masyarakat tradisional, identitas seseorang di kembalikan ke asal-usulnya maupun keluarga besarnya.

Pada saat ini, dalam kondisi krisis yang meliputi berbagai aspek kehidupan bangsa, kembalisejarah dipertanyakan visi dan misinya. Krisis dalam pemahaman Ilmu Pengetahuan Sosial, adalah suatu kondisi dalam pada waktu berlangsungnya proses perubahan dalam masyarakat terjadi kemandegan dan masyarakat kehilangan kapasitasnya untuk mengontrol arah dan jalan perubahan tersebut. Pendidikan sebagai salah satu lembaga masyarakat yang tidak luput dari pengaruh krisis identitas di daerah-daerah menggejala dan ancaman disintegrasi bangsa terjadi dimana-mana, maka peranan dan fungsi pendidikan sejarah kembali dipertanyakan sejauh relevansinya menyangkut kesadaran masyarakat bangsa dalam sense of belonging dan nasionalismenya.

Masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia, sesudah proklamasi kemerdekaan, adalah masalah pembangunan dan pembinaan bangsa (nation and

character building). Sebagai masyarakat majemuk, Bangsa Indonesia harus

menghadapi keaneka ragaman suku bangsa, ras, agama, bahasa, adat istiadat, lapisan sosial dan kesenjangan ekonomi. Untuk membentuk dan menjaga keaneka


(13)

ragaman dalam keserasian itu diperlukan berbagai upaya yang bias membina sikap saling menghormati, menghargai, mengakui eksistensi, dan kerja sama diantara suku bangsa, ras, bahasa, agama, lapisan sosial dan kesenjangan ekonomi tersebut. Para pendiri Negara (the founding father) kita ,menjelang proklamasi kemerdekaan RI telah mengarifi kondisi ini dan menyediakan alat pemersatu serta daya tangkal terhadap tidak terkontrolnya kemajemukan dengan faham yang melahirkan nilai-nilai integralistik.

Pembelajaran sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses belajar mengajar materi pelajaran sejarah di SMA untuk mencapai tujuan kurikulum pelajaran sejarah di SMA sedangkan yang dimaksud dengan sejarah lokal di sini adalah proses pembelajaran sejarah yang sifatnya memasukan unsur-unsur materi lokal Babad Dermayu sebagai bagian terintegrasi.

Menurut Supardan (2004:262) pembelajaran sejarah lokal, perlu diperkenalkan pada siswa untuk mengenali identitas kelokalanya maupun menghargai identitas etnis/daerah lain yang ada di Indonesia dengan mempertimbangkan azas belajar dan tahap perkembangan siswa. Pemerintah pusat dan daerah, guru-guru sejarah dilapangan harus berusaha sekuat-kuatnya untuk mendorong terlaksananya pembelajaran sejarah lokal disekolah-sekolah. Akibat dari pergeseran filsafat pendidikan sejarah dari perenialism yang menekankan’tranmision of the gloriouns past’ kearah posisi berbagai aliran filsafat seperti esensialism dan bahkan social reconstruction untuk mengantisipasi masa depan (Supardan,2004:206).


(14)

Studi sejarah di Indonesia, terutama pada masa belakangan ini, adalah makin terspesialisasikannya studi sejarah tersebut ke arah bidang-bidang ( tema-tema) yang sangat khusus Widja (1989:75). Menyajikan tokoh pahlawan dalam pembelajaran sejarah merupakan salah satu bagian utama dalam materi pembelajaran sejarah itu sendiri. Tidak ada peristiwa sejarah yang tidak menampilkan tokoh atau pahlawan dalam kronologi ceritanya. Peristiwa sejarah dapat memunculkan dan melahirkan tokoh-tokoh pahlawan (evenful man), atau sebaliknya tokoh-tokoh pahlawan yang karena kecerdasan dan kepemimpinannya mampu menentukan jalannya peristiwa sejarah (the even making man) ( Hook, 1973:9).

Tokoh-tokoh pahlawan tersebut tersebar dalam ruang lingkup pengaruh maupun bidang kepahlawannya. Kita tidak hanya mengenal pahlawan nasional yang dianggap berpengaruh terhadap perjalanan sejarah nasional sebuah bangsa, tetapi juga pahlawan-pahlawan lokal (lokal heroes) yang sangat dipuja oleh sebuah masyarakat tertentu. Selain itu, pahlawan juga tidak terbatas hanya pahlawan di bidang politik atau kemiliteran sebagaimana sangat dominan dalam materi pendidikan sejarah saat ini, pahlawan dapat juga muncul dari aspek kehidupan lainnya, seperti pahlawan ekonomi, pahlawan budaya, pahlawan perempuan, dan sebagainya. Aspek-aspek ideal di atas masih sangat jarang dilakukan guru dalam pembelajaran sejarah.

Pembelajaran sejarah saat ini masih didominasi oleh keharusan peserta didik menghafal fakta sejarah, nama-nama, konsep (kerajaan, negara, pemerintahan, pemberontakan, pahlawan, peristiwa), menghafalkan jalan cerita,


(15)

dan sebagainya yang kemudian pembelajaran diakhiri dengan sebuah ulangan yang soal-soalnya juga berhubungan dengan kemampuan menghafal/mengingat hal-hal tersebut. Maka tidaklah mengherankan apabila nilai-nilai yang sebenarnya terkandung dalam materi pembelajaran sejarah tidak dapat diwariskan pada peserta didik, sebab penekanan pembelajaran sejarah yang lebih bersifat kognitif.

Babad Dermayu didalam isinya menceritakan Dalam buku Sejarah

Indramayu Dasuki dalam (Supali,2010) menuliskan:

Pada tahun 1630 Sultan Agung mentransmigrasikan penduduk dari Mataram dan sekitarnya untuk menetap di Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang, Ciasem, Cilamaya, dll. Diperintahkan untuk membuka tanah pertanian dan akan dijadikan persediaan bekal tentara menyerang Batavia. Tahun 1641 Mataram memperbanyak transmigran, yaitu ke Indramayu dengan tujuan yang sama. Indramayu pun mulai banyak sawah

Dalam buku Sundakala karya Ayat rohaedi (2005) disebutkan:

Pasukan Mataram yang berasal dari Bagelen di bawah pimpinan Senapati Wiralodra, setelah penyerangan itu tidak kembali ke Mataram. Wiralodra ditugasi untuk menjaga daerah perbatasan sebelah barat kerajaan Cirebon yang kian terdesak oleh Belanda. Demikianlah, Belanda pada waktu itu dikepung oleh pasukan Banten di sebelah barat, sedangkan di sepanjang Ci Manuk dan Indramayu, mereka dijaga oleh pasukan Cirebon dan Mataram. Wiralodra kemudian menjadi Adipati Dermayu dan dianggap sebagai cikal-bakal Indramayu.

Hal ini diperkuat lagi oleh buku Kerajaan Cerbon 1479-1809 karya R.H. Unang Sunardjo (1983) dan Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak tulisan Budiono (2008). Mataram menguasai Jawa barat selama 57 tahun (1620-1677). Kemudian secara bertahap diserahkan kepada VOC seiring dengan kemunduran Mataram paska Sultan Agung. Akan tetapi Indramyu bukan bagian dari wilayah yang diserahkan kepada VOC.


(16)

Tokoh-tokoh yang akan dijadikan materi pembelajaran dalam penelitian ini, Aria Wiralodra, Nyi Endang Dharma dalam Babad Dermayu, merupakan contoh Raden Arya Wiralodra, dia datang dari Bagelen tidak membawa emas permata, tapi membawa semangat yang membara tak pernah padam hingga mampu membabad alas lembah Cimanuk hingga menjadi Indramayu. Semangat, sangat berperan dalam kehidupan dari implementasi nilai-nilai kepahlawanan yang bukan saja telah memberikan inspirasi tetapi berpengaruh terhadap perjalanan sejarah masyarakat Indramayu.

Multikulturalisme bangsa Indonesia belum sepenuhnya dipahami segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang merupakan pemberian (given) sebagai takdir Tuhan, bukan faktor bentukan manusia (Masdar, 2002). Dalam Alqur’an,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (al-Hujurat : 13).

Ayat tersebut agaknya mempertegas prinsip membangun masyarakat multikultural itu adalah merupakan suatu keniscayaan. Karena keberbedaan suku, bangsa, ras dan bahkan kultur itu merupakan konsep penciptaan dan merupakan hak prerogatif Sang Maha Kuasa.

Bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan berbeda satu sama lain, membawa sejumlah karakter fisik maupun nonfisik berbeda, merupakan pemahaman yang lumrah dijumpai di masyarakat. Akan tetapi, bahwa setiap individu atau kelompok individu tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual (occultism) yang berbeda, hal ini yang belum sepenuhnya bisa diterima secara nalar oleh anggota masyarakat.


(17)

Sejarah peradaban bangsa-bangsa besar adalah sejarah mengelola multikulturalitas yang dimilikinya. Konsep yang di dalamnya mengandaikan

terjadinya peleburan berbagai elemen sosial budaya ke dalam sebuah “campuran homogen”, tampaknya menjadi alternatif pijakan konseptual-praksis dalam mem-bangun masyarakat multikulturalistik itu. Sebaliknya, sejarah kehancuran bangsa-bangsa besar adalah sejarah kegagalan dalam mengelola multikulturalitas kebangsaannya. Semakin tinggi tingkat heterogenitas sebuah bangsa, semakin tinggi pula tingkat tantangan yang dimiliki.

Keanekaragaman budaya yang tumbuh dari kebudayaan daerah, justru mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dalam dasar kebudayaan nasional yang semakin rasional, fungsional dan berwawasan universal, pada sisi lain dalam kenyataannya sering bernuansa politis, sentralistis dan sering menaruh kecurigaan terhadap kebudayaan daerah. Dengan demikian jika pada waktu itu adanya pengakuan keanekaragaman yang ada ataupun muncul di masyarakat hanyalah sebagai simbol kekuasaan belaka dan merupakan upaya mempertahankan kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda (Bloomfield, 2000: 34).

Konsekuensi dari semua itu adalah kabur atau samarnya makna keanekaragaman etnik, budaya, karena dilebur dalam suatu sistem yang mengutamakan penyeragaman sebagai kontrol dan aturan perilaku masyarakat Indonesia yang beragam. Potensi positif yang ada seyogyanya dapat menjadi kekayaan semua bangsa. Akan tetapi karena selama ini ditekan ke bawah permukaan, maka pada saat tekanan dilepaskan justru berbalik menjadi sentimen etnik yang setiap saat dapat memicu konflik dengan etnik lain.


(18)

Dengan demikian pemerintah dan masyarakat Indonesia harus belajar banyak dari perjalanan sejarahnya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa, karena masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (ethnic

group) atau suku bangsa beserta tradisi budayanya itu, tidak hanya berpeluang

menjadi Indonesia sebagai negara yang kuat dimasa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integritas bangsa hal ini jika dinamika kemajemukan sosial-budaya tidak dapat dikelola dengan baik. Meskipun demikian, tingkat keberhasilan menjadi bangsa besar semakin terbuka seiring keberhasilannya mengatasi problem-problem yang muncul dan heterogenitas itu. Dari uraian diatas merupakan kenyataan yang terjadi di sekitar masyarakat bangsa kita, hal ini sangat terkait dengan kendala yang dialami di Kabupaten Indramayu.

Kondisi sosio-kultural Indramayu yang “bukan Jawa” dan “bukan pula

Sunda”. Meski berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni oleh suku Sunda dan berbahasa Sunda, Indramayu (dan juga Cirebon) tidak bisa dimasukkan ke dalam wilayah kebudayaan tersebut karena memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) sebagaimana yang diakui selama ini. Meski demikian dalam perkembangannya selanjutnya Indramayu pun tidak serupa dengan realitas sosio-kultural Jawa Tengah. Akar sejarah dari Jawa Tengah ini dijelaskan lewat Wiralodra tokoh pendiri Indramayu versi Babad Dermayon yang berasal dari Bagelen (Purworejo). Indramayu memang berada di antara Sunda dan Jawa. “Di


(19)

kebudayaan besar tersebut, bukan sama sekali asing dan lepas dari keduanya. Pada suatu waktu Indramayu pernah berada di bawah kekuasaan Sunda (Pajajaran) dan kemudian berada di dalam kekuasaan Jawa (Demak dan Mataram). Dan selanjutnya dilepaskan oleh Mataram ke tangan VOC (Supali,2011:63).

Kendala pendidikan yang dialami di Kabupaten Indramayu sendiri berkaitan dengan karakteristik masyarakatnya, Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah pantai utara dengan demikian dari sudut pandang budaya (Culture) wilayah Indramayu merupakan wilayah dekat pesisir yang notabene masyarakatnya merupakan masyarakat nelayan sehingga sehari-harinya mereka terbiasa bergelut dengan ombak, terbiasa dengan kehidupan yang keras, cepat emosi, dan lebih mengambil sikap emosional tanpa mempertimbangkan untung dan ruginya, kemudian dari sudut etnik warga masyarakatnya terdiri dari berbagai macam etnik.

Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesungguhnya sudah lama tertanam pada bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan itu dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, “….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka,

bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya

dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.


(20)

Soekarno senantiasa membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang berkarakter dengan ajakan berdikari, yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Soekarno mengajak bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk tidak bergantung pada bangsa lain, melainkan harus menjadi bangsa yang mandiri. Ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri ini dilanjutkan dengan Trisakti, yaitu kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Semangat untuk menjadi bangsa yang berkarakter ditegaskan oleh Soekarno dengan mencanangkan nation and character building dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara spesifik Soekarno menegaskan dalam amanat Pembangunan Semesta Berencana tentang pentingnya karakter ini sebagai mental investment, yang mengatakan bahwa kita jangan melupakan aspek mental dalam pelaksanaan pembangunan dan mental yang dimaksud adalah mental Pancasila.

Pendidikan sejarah memiliki fungsi yang strategis dalam mengembangkan jiwa karakter bangsa dan membangun kehidupan masa depan yang lebih baik. Jiwa dan karakter bangsa tersebut dijalin dan didasarkan kepada karakter diri orang perorangan peserta didik yang tercermin dalam visi kehidupan, sikap hidup, nilai dan kehidupan, kemampuan mengembangkan kehidupan sosial, ekonomi, budaya, agama. pemanfaatan teknologi yang bernilai positif bagi kehidupan. Materi dan proses pendidikan sejarah dipercaya mampu mengembangkan berbagai aspek potensi kemanusiaan peserta didik menjadi kualitas yang tercermin dalam kemampuan-kemampuan tersebut.


(21)

Proses pembelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas mengalami berbagai kendala atau kesulitan hal ini disebabkan pembelajaran sejarah, yang dekat dengan permasalahan-permasalahan sosial (social phenomenon) terutama berkaitan dengan kondisi bangsa Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Kenyataan Indonesia sebagai masyarakat yang Multikultural merupakan kebanggaan sekaligus kecemasan. Di satu sisi, fakta ini membuat kebanggaan tersendiri karena semua keragaman itu bersatu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dikukuhkan sejak proklamasi 17 Agustus 1945, dengan falsafah Pancasila dan UUD 45 memperkuat aturan yang jelas dalam kedudukan sebagai bangsa yang multi kultur dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika nya sehingga menjadi kekayaan kultural dan sosial bagi Bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, fakta ini sesungguhnya mengandung potensi konflik yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dunia saat ini dapat memiliki bangsa tanpa negara dan negara tanpa bangsa. Negara suatu saat dapat menjadi satu kesatuan dan kesatuan ini dapat terpecah-pecahkan. Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadi generasi muda tetapi juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global. Tanpa berdasarkan kebudayaan yang nyata maka akan kehilangan identitas diri sebagai bangsa.

Berdasarkan kajian terhadap pemikiran mengenai tujuan pembelajaran Pendidikan sejarah terutama mengenai pembentukan karakter bangsa yang harus dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan sejarah, pemikiran mengenai


(22)

bagaimana terwujudnya karakter bangsa yang dapat diandalkan dimiliki oleh warga negara melalui pembelajaran Pendidikan sejarah, yang didukung oleh penelitian dan pengkajian dalam proses pembelajaran, maka dalam tesis ini peneliti mengangkat topik mengenai: ”Pembelajaran sejarah lokal Berbasis Multikultural dalam Pengembangan Karakter Bangsa.”

B Fokus Penelitian

Berdasarkan kajian teori diatas maka fokus permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah "Bagaimanakah Pembelajaran sejarah

lokal Berbasis Multikultural dalam Pengembangan Karakter Bangsa ?”.

Dari fokus penelitian itu dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

1. Bagaimana desain perencanaan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu?

2. Bagaimana tahapan pelaksanaan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa pada siswa SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu?

3. Bagaimana peningkatan hasil-hasil pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu?

4. Bagaimana solusi dalam memecahkan masalh-masalah yang dihadapi untuk pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam


(23)

pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui desain perencanaan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu.

2. Untuk mengetahui tahapan pelaksanaan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu.

3. Untuk mengetahui peningkatan hasil-hasil pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu.

4. Untuk mengetahui solusi dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi untuk pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi guru sejarah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dalam mengimplementasikan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural


(24)

dalam membentuk karakter/nilai dalam proses pembelajaran sejarah. Materi pembelajaran sejarah yang dikembangkan dalam penelitian ini dengan menyajikan tokoh pahlawan lokal (local heroes) dapat dijadikan contoh dalam mengimplementasikan pendidikan karakter.

2. Bagi sekolah, temuan-temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk lebih meningkatkan kualitas pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya dalam kurikulum pendidikan sejarah, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan lembaga maupun tujuan nasional pendidikan.

3. Bagi Pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Indramayu, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam meningkatkan proses pembangunan masyarakat kabupaten Indramayu. Penelitian ini sangat berkorelasi dengan program pemerintah Kabupaten Indramayu yaitu

“Indramayu Remaja”, sehingga hasil dan rekomendasi penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam mewujudkan program tersebut, khususnya di bidang pendidikan.


(25)

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena metode ini dipandang tepat untuk dijadikan dasar bagi peneliti. Karena masalah yang diteliti memerlukan pengungkapan secara komprehensif dan mendasar.

Lincoln dan Guba (1985: 39), lebih suka menggunakan istilah Naturalistik

Inquiry oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan

dan pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti (sebagaimana adanya/ natur).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian yang menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks yang bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Selanjutnya Egon G. Guba (1985:11) mengemukakan, bahwa inkuiri naturalistik mempunyai beberapa karateristik antara lain :

1). Inkuiri naturalistik dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan stimulus variabel bebas atau kondisi anticiden yang merupakan dimensi penting sekali.

2). Dimensi penting lainnya ialah apa yang dilakukan oleh peneliti dalam membatasi rentangan respons dari keluaran subjek.

3). Inkuiri naturalistik tidak mewajibkan peneliti terlebih dahulu membentuk konsepsi-konsepsi atau teori-teori tertentu mengenai lapangan perhatiannya, sebaiknya ia dapat mendekati lapangan perhatian dengan pemikiran yang murni dan terbuka, menampilkan dan memunculkan peristiwa-peristiwa nyata.


(27)

4). Istilah naturalistik merupakan istilah yang memodifikasi penelitian atau metode, tetapi tidak memodifikasi gejala-gejala.

Dalam penelitian ini guru sebagai mitra peneliti, mulai dari observasi, perencanaan, sampai pada pelaksanaan dilapangan terhadap pembelajaran sejarah lokal Babad Dermayu melalui tokoh Aria Wiralodra yang ada di Indramayu. Dalam menggunakan metode naturalistik inkuiri ini penulis perlu melibatkan diri dalam kehidupan subjek.

Lincoln dan Guba (1995:39) mengasumsikan penelitian inkuiri naturalistik

1). Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman.

2). Konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus dilihat dalam keseluruhan pengaruh di lapangan.

Dapat dikatakan bahwa penelitian yang bersifat inkuiri naturalistik menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

Untuk memahami secara mendalam terhadap penelitian ini, maka peneliti perlu turun ke lapangan guna mengadakan pengamatan langsung terhadap subjek penelitian, antara lain mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas bersama guru pendidikan Sejarah terkait dengan materi sejarah lokal (Babad Dermayu), wawancara dengan kepala sekolah, wawancara dengan bidang kurikulum kesiswaan dan siswa SMA Negeri I Sindang. Pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang penelitian itu dan secara terus menerus mulai dari tahap pengumpulan data berupa naskah Babad Dermayu dalam bentuk silabus dan RPP


(28)

sampai akhir. Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila tidak dianalisis lebih lanjut.

B. Lokasi, dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Adapun yang dijadikan lokasi dalam penelitian ini adalah, SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu, aspek pelakunya adalah Guru Pendidikan Sejarah, dan siswa SMA Negeri 1 Sindang Indramayu kelas X-8 yang terlibat interaksi belajar mengajar dan dari aspek kegiatan adalah proses Pembelajaran Sejarah. Dasar pertimbangan memilih SMA Negeri 1 Sindang adalah salah satu sekolah yang berada di Kabupaten Indramayu yang memiliki siswa terdiri dari beragam etnik, budaya dan ekonomi.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka yang dimaksud dengan lokasi penelitian di sini adalah SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu. Dasar pertimbangan dijadikannya SMA Negeri 1 Sindang sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut

a. Letak Geografis: SMA Negeri 1 Sindang terletak didaerah jalur pantura Indramayu, wilayah ini memiliki iklim yang cukup panas karena berdekatan dengan pantai dan merupakan daerah transit, yang dikenal dengan daerah yang sangat kental dengan kekerasan/ kehidupan yang keras.

b. Kondisi sosial ekonomi, kondisi sosial ekonomi siswa-siswi SMA Negeri 1 Sindang sangat beragam, mulai dari kalangan prasejahtera/ kurang mampu, cukup dan kelas menengah ke atas, hal ini disebabkan


(29)

karena mata pencaharian orang tua mereka yang sangat beragam, misalnya ada yang berprofesi sebagai pengusaha baik sawah maupun tambak, perusahaan swasta nasional, buruh, pedagang kecil sampai pedagang grosir, pegawai negeri dan lain-lain.

c. Kondisi sosial budaya, kondisi sosial budaya siswa-siswi SMA Negeri 1 Sindang Indramayu, juga sangat beragam.

2. Subjek Penelitian

Berdasarkan rancangan naturalistik (Lincoln dan Guba 1985) bahwa

yang dijadikan subjek penelitian disini antara lain mengikuti kegiatan pembelajaran sejarah lokal tentang Babad dermayu di kelas bersama guru pendidikan Sejarah, informasi yang digali dari kepala sekolah, pembantu kepala sekolah bidang kurikulum dan siswa SMA Negeri 1 Sindang. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh sumber data yang dapat memberikan informasi, sehingga dapat membantu perluasan teori yang dikembangkan. menurut Lincoln dan Guba (1985:201), Subjek penelitian berupa , peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi atau responden yang dapat di wawancara. Sumber penelitian ini merupakan sumber informasi data yang di tarik dan dikembangkan secara purposive. Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi subjek penelitian yakni siswa kelas X, Guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, guru BP dan sumber bahan cetak (kepustakaan) yang meliputi: Jurnal, hasil penilitian terdahulu, buku teks, disertasi, tesis, yang berkaitan dengan masalah, pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa di SMAN 1 Sindang Indramayu.


(30)

Dalam penelitian kualitatif tidak mengunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dalam Sugiyono (2005:49) dinamakan ”sosial situation” atau situasi

sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dalam penelitian ini adalah tempat (place) yaitu sekolah, aktivitas (activity) yaitu proses belajar mengajar, pelaku (actors) yaitu guru dan murid. Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber, atau pertisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. (Lincoln dan Guba 1985) mengemukakan bahwa ”Naturalistic sampling is, then, very different from conventional sampling, it is based on informational, not statistical, considerations Its purpose is maximize information, not to facilitate generalization”. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif (naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk di generalisasikan. Lincoln dan Guba (1985), dalam penelitian naturalistik spesifikasi sampel purposive, yaitu 1)

Emergent sampling design/sementara, 2) Serial selection of sampel units/menggelinding seperti bola salju (snow ball), 3) Continuous adjustment or’focusing’ of the sample/ disesuaikan dengan kebutuhan, 4) Selection to the

point of redundancy/dipilih sampai jenuh. 3. Data Penelitian

Menurut Lincoln dan Guba (1985:102), dalam penelitian naturalistik (Naturalistic Inquiry), sumber data atau populasi dan sampel yang digunakan adalah sampel purposive (purposive sampling) sampel purposive adalah strategi


(31)

untuk memilih kelompok-kelompok kecil atau individu-individu yang mungkin dapat mengetahui atau bersifat informative tentang suatu fenomena atau pengalaman seseorang yang diperlukan (McMillan dan Schumacher,2001:433)

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel dimaksudkan untuk sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan dengan substansi materi sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa, dalam hal ini adalah tentang materi Babad Dermayu melalui tokoh Aria Wiralodra namun demikian, pemilihan sampel purposive tidak dimaksudkan untuk mencari persamaan yang mengarah pada pengembangan generalisasi melainkan sebaliknya dimaksudkan untuk mencari informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan cirri khas dan unik. Tujuan lain dari pengambilan sampel adalah untuk mengembangkan informasi yang diperlukan sebagai landasan dari desain yang timbul dan teori yang mendasar (grounded theory) yang muncul dari telaah ini ( Lincoln dan Guba,1985:201)

Proses pengumpulan data penelitian ini disesuaikan dengan jenis penelitian. Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi dan peristiwa yang dapat diobservasi adalah :

1.Kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi.

2.Dokumen berupa kurikulum, Satuan Pembelajaran, Rencana Pelajaran, Buku Paket dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.


(32)

C. Instrumen Penelitian

Kualitas data hasil penelitian,yang sangat berpengaruh ada dua hal yaitu

kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Lincoln dan Guba (1981:128) menjelaskan, bahwa peneliti diperankan sekaligus sebagai instrument. Peneliti berusaha untuk responsif dapat menyesuaikan diri, menekankan keutuhan, mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan memproses data secepatnya dan memanfaatkan kesempatan untuk mengklasifikasikan dan mengikhtisarkan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, data berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), maka yang dijadikan data adalah Rencana Pelaksanaan pembelajaran Sejarah Lokal Berbasis Multikultural dalam Pengembangan Karakter Bangsa di SMAN 1 Sindang Indramayu kelas X.

Dalam hal ini manusia sebagai sumber alat pengumpul data (human

instrument). Manusia sebagai sumber dapat dimanfaatkan sebagai sumber yang


(33)

dikumpulkan melalui wawancara observasi sedangkan sumber data non manusia berupa catatan, dokumen dan lain-lain” (Lincoln dan Guba, 1985:268).

Berdasarkan teori di atas, maka dalam penelitian ini mengumpulkan data yang dilakukan dengan menggunakan teknik di antaranya yaitu :

1. Studi Pustaka

Dalam hal ini yang penulis lakukan untuk mencari teori-teori yang

berkenaan dengan fokus masalah penelitian dengan mengkaji berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian.

2. 0bservasi

Sejak awal studi pendahuluan telah dilakukan observasi terutama untuk melihat kondisi objek lokasi penelitian. Di samping itu observasi akan dilakukan untuk mengamati proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah di antaranya

a. Mengamati secara langsung proses pembelajaran yang dilakukan di kelas mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan materi pembelajaran serta mengakhiri pembelajaran untuk melihat bagaimana implementasi pengembangan pembelajaran sejarah lokal terhadap pemahaman siswa tentang multikultural dalam pengembangan karakter bangsa. Dalam hal ini observasi tertuju pada guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

b. Kegiatan belajar siswa di luar kelas terutama melihat relevansi apa yang mereka pelajari di luar kelas dengan pola tingkah laku siswa di kelas


(34)

terutama di lingkungan sekolah dalam hubungan siswa dengan siswa, dengan guru dan personil lainnya di lingkungan sekolah.

c. Interaksi edukatif antara guru dengan siswa terutama berkenaan dengan upaya guru dalam mengembangkan pemahaman siswa tentang pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa siswa SMA Negeri 1 Sindang Kabupaten Indramayu.

Penelitian ini untuk memperoleh data yang lebih akurat maka kegiatan observasi ini dilakukan berulangkali sampai di peroleh semua data yang diperlukan. Hal tersebut memiliki keuntungan dimana responden yang diamati terbiasa dengan kahadiran peneliti sehingga responden berperilaku apa adanya.

3. Wawancara

Lincoln dan Guba (1985:265) memberikan arti bahwa : “Wawancara adalah suatu percakapan yang bertujuan. Tujuan adalah mendapatkan informasi tentang perorangan, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, kepedulian, disamping itu dapat mengalami dunia pikiran perasaan responden, merekontruksi pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa depan yang akan datang”. Teknik ini akan peneliti tempuh dengan melakukan wawancara secara hati-hati dan mendalam (indept interview) berdasarkan instrument yang telah dipersiapkan dan bersifat terbuka dengan maksud pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan data yang diperlukan.

Untuk melakukan penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara dengan berbagai pihak di antaranya dengan kepala sekolah untuk memperoleh gambaran pelaksanaan proses pembelajaran sejarah dan profesionalisme guru


(35)

dalam proses melaksanakan pembelajaran, tentang persoalan atau masalah siswa mengenai prestasi terutama sikap dan tingkah lakunya dan mengenai hubungan guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. kemudian wawancara dilakukan dengan guru sejarah terutama mengenai pemahaman mereka tentang materi pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa, dengan materi Babad Dermayu, kendala dan upaya mengembangkan pemahaman siswa tentang pembelajaran sejarah lokal itu sendiri. Untuk mencari data mengenai pemahaman siswa tentang sejarah lokal peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa, bagaimana pemahaman mereka setelah mereka mempelajari materi pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bagsa. Informasi yang diperoleh akan diolah dan dikompermasikan melalui tahap memberchek. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan mengenai kesesuaian data tersebut dengan responden penelitian. Kemudian wawancara juga dengan pihak lain yakni dengan Wakasek kesiswaan, untuk memperoleh data penunjang tentang persoalan yang berkaitan dengan kesadaran dan pemahaman siswa tentang pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa melalui pembelajaran sejarah dengan materi Babad Dermayu melalui tokoh Aria Wiralodra dan Nyi Endang Dharma.

4. Teknik Dokumentasi

Data yang dikumpulkan melalui teknik dokumentasi antara lain menelusuri dan menemukan informasi tentang pola dan prosedur pengadministrasian dan perencanaan pembelajaran sejarah lokal Babad Dermayu


(36)

yang dilakukan oleh guru sebagai contoh adalah RPP tentang Babad Dermayu. Dengan demikian teknik ini berintikan mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah penelitian dalam hal dokumen tertulis sebagai acuan guru dalam proses pembelajaran, meliputi perangkat kurikulum dan perangkat pembelajaran yang dibuat oleh guru. Digunakan teknik dokumentasi dan catatan sebagai pengumpul data didasarkan pada pertimbangan :

1) Dokumentasi dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah diperoleh dan relatif murah. 2) Merupakan informasi yang baik, baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan di dalamnya. 3) Dokumen catatan merupakan sumber informasi yang kaya. 4) Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangka yang menggambarkan kenyataan formal. 5) Tidak seperti pada sumber manusia baik dokumen maupun catatan nonkreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atas perlakuan peneliti (Lincon dan Guba,1985:276-277)

E. Analisis dan Penafsiran Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah bersifat kualitatif yang dilakukan sejak tahap orientasi lapangan, seperti dikatakan Miles dan Huberman (dalam Wiriaatmadja, 2005:146) bahwa”… the ideal model for data collection and analysis is one that interweaves them from the beginning”. artinya, model ideal dari pengumpulan data dan analisis adalah secara bergantian berlangsung sejak awal. Analisis faktor yang di pandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar


(37)

adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang kultural siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnik dan golongan serta latar ekonomi orang tua, bisa menjadi stereotip siswa ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural. (Wiriaatmadja, 1996)

Pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang penelitian itu dan secara

terus menerus mulai dari tahap pengumpulan data sampai akhir. Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila tidak dianalisis lebih lanjut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:20) bahwa : Analisa data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus. Dengan demikian analisis yang dimaksud merupakan kegiatan lanjutan dari langkah pengumpulan data. maka analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :


(38)

Tabel 3.1.

Komponen dalam analisis data (Interactive Model)

Sumber :Diadopsi dari Miles dan Huberman (1992:20)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tiga jenis kegiatan utama pengumpulan data (reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi) merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak di antara empat pilar itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

1. Reduksi data

`Reduksi data (data reduction) merupakan langkah awal dalam

menganalisa data. Kegiatan yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap data yang telah terkumpul. Kumpulan data hasil kerja lapangan direduksi

Reduksi Data

Penyajian data

Kesimpulan : Penarikan

/ferifikasi Pengumpula


(39)

permasalahan penelitian. Menyusunan Rancangan Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural. Penyusunan rancangan pembelajaran Sejarah yang bernuansa multikultural, dapat dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu: 1) analisis isi (content analysis). 2) analisis latar kultural (setting analysis). 3) pemetaan materi (maping contents). 4) pengorganisasian materi (contents organizing) pembelajaran Sejarah dan 5) menuangkan dalam format pembelajaran ( Wiriaatmadja,1996). Dalam penelitian ini aspek-aspek yang direduksi adalah pelaksanaan pola pembelajaran guru dalam pembelajaran Sejarah Lokal (Babad Dermayu) berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa.

2. Display data

Disply data (data display) yaitu, menyajikan data secara jelas dan singkat untuk memudahkan memahami gambaran terhadap aspek-aspek yang diteliti, baik secara keseluruhan maupun bagian demi bagian. Penyajian data dalam bentuk deskripsi dan interpretasi sesuai data yang diperoleh. Melalui Studi eksplorasi diri dan lingkungan sosial-budaya (lokal) siswa yang potensial dengan substansi multikultural menugaskan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi lokal, yang meliputi diri sendiri dan lingkungan sosial-budaya bernuansa multikultural (daerah asal), dengan ketentuan: (a) memilih masalah yang menarik bagi mereka, bisa masalah stereotip, suku, agama, ras/etnik, bahasa daerah, adat-kebiasaan, kesenian dan organisasi sosial setempat (b) menggambarkan bagaimana ekspresinya (perangkat dan tampilan) (c) menggali nilai-nilai dan landasan filosofi yang digunakan oleh masyarakat asal siswa dan (d) memproyeksikan prospek


(40)

nilai-nilai dan filosofi dari masalah terpilih dalam konteks kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara (Wiriaatmadja, 1996).

3. Penarikan kesimpulan dan ferifikasi

Menarik atau mengambil kesimpulan (conclusion / verification) merupakan tujuan utama analisis data yang di lakukan semenjak awal, kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan makna terhadap data yang telah di analisis. Kesimpulan di susun dalam bentuk pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan mengacu kepada tujuan penelitian. Guru memberikan komentar mengenai hasil eksplorasi yang dipresentasikan dan beberapa komentar teman. (Expert

Opinion), Refleksi, rekomendasi dan membangun komitmen Guru bersama siswa

melakukan refleksi tampilan siswa dan rekomendasi terhadap keunggulan nilai-nilai budaya lokal yang diperkirakan memiliki potensi dan prospek dalam membangun komitmen nilai yang dapat digunakan sebagai perekat persatuan dan kesatuan baik dalam kehidupan lokal maupun kehidupan nasional (cara pandang kebangsaan) (Wiriaatmadja,1996).

Dalam hal ini kesimpulan dilakukan secara bertahap, pertama berupa kesimpulan sementara, namun dengan bertambahnya data maka perlu dilakukan verifikasi data yaitu dengan mempelajari kembali data-data yang ada (yang direduksi maupun disajikan). Disamping itu dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dengan pihak-pihak yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu pihak kepala sekolah dan pihak guru, setelah hal itu dilakukan, maka peneliti baru dapat mengambil keputusan akhir.


(41)

F. Validitas data

Tingkat kepercayaan naturalistik memiliki kriteria keterpercayaan sesuai dengan karakteristiknya sendiri. Khusus metodologi positivistik membedakan empat kriteria keterpercayaannya berupa validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas dan obyektivitas. Dalam naturalistik keempatnya diganti oleh Guba dengan istilah kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas, maka Uji keabsahan data dalam penelitian naturalistik inkuiri meliputi uji,

credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability

(reliabilitas), dan confirmability (objektivitas).

Uji kepercayaan dalam penelitian naturalistik ini dilakukan terhadap data hasil penelitian dengan cara :

1. Kredibilitas

Ada beberapa yang dipakai naturalis untuk menguji kredibilitas suatu studi, yaitu: a. menguji terpercayanya temuan, dilakukan dengan cara memperpanjang waktu

tinggal bersama mereka, obsevasi lebih tekun dan menguji secara triangulasi. b. pertemuan pengarahan dengan kelompok peneliti untuk mengatasi bias, hal ini

dipandang penting karena ia berguna di antaranya untuk mencari kesamaan sudut pandang dalam pembuatan tafsir dan makna. Di samping itu juga bermanfaat guna mengembangkan insiatif, mengembangkan desain dan memperjelas pemikiran para peneliti.

c. analisis kasus negative, fungsi utama dari analisis ini adalah untuk mengadakan revisi hipotesis. Teknik ini identik dengan uji statistik pada kasus data kuantitatif.


(42)

d. menguji kembali data rekaman, baik dari photo, audio-casette dsb.

e. mencocokkan hasil temuan kepada obyek studi, ini dilakukan, baik secara formal ataupun informal dan terus menerus. Bahkan sedapat mungkin ringkasan interview dikembalikan kepada responden untuk mendapatkan reaksi, komentar, dan sejenisnya.

2. Transferabilitas merupakan analog dengan generalisasi, Tidak seperti teknik generalisasi/ prediksi yang dinyatakan dalam batas keterpercayaan sekian persen. Sebaliknya, berani menyajikan hipotesis kerja disertai deskripsi yang terkait pada waktu dan konteks.

3. dependabilitas (reliabilitas) pada naturalistik. memandang bahwa realitas itu terkait erat dengan konteks dan waktu, maka menjadi tidak mungkin melakukan replikasi hasil studi. Selain melalui teknik triangulasi yang telah disebutkan tadi, tampaknya teknik audit juga dapat diterapkan dalam kasus ini.

4. Konfirmabilitas (Obyektifitas) erat kaitannya dengan paradigma naturalistik yang memandang bahwa kebenaran itu bersifat value-bound, terkait pada nilai. Itulah sebabnya, untuk menghindari konotasi yang tidak tepat, obyektif itu bersifat publik, universal dan tidak memihak; sedangkan yang subyektif itu menjadi pribadi dan memihak. Di sisi lain, naturalis memandang realitas itu ganda, dalam arti memiliki banyak perspektif, dan erat kaitannya dengan keterikatan pada konteks dan waktu.

5. Mengadakan Membercheck

Tahap membercheck merupakan kegiatan yang tidak dapat diabaikan karena yang dilaporkan oleh peneliti harus sejalan dengan apa yang diungkapkan


(43)

oleh responden, dalam tahap membercheck dilakukan pemantapan informasi atau data penelitian yang telah terkumpul selama tahap eksplorasi atau studi lapangan, dengan demikian hasil penelitiannya dapat diharapkan memiliki tingkat kredibilitas, dependabilitas, dan konfirmobilitas yang tinggi, dalam kaitan itu data yang diperoleh melalui pengunaan teknik wawancara dibuat dalam bentuk transkrip. Demikian jugahalnya dengan data yang diperoleh melalui pengunaan teknik studi dokumentasi. Dan data diperoleh melalui teknik observasi dibuat dalam bentuk catatan-catatan lapangan, kemudian penelitian menunjukannya kepada responden penelitian. Penelitian meminta kepada mereka membaca dan memeriksa kesesuaian informasinya dengan apa yang telah dilakukan. Apa bila ditemukan ada informasyang tidak sesuai, maka peneliti harus segera berusaha memodifikasinya apakah dengan cara menambah, mengurangi, atau bahkan menghilangkannya.

Pelaksanaan membercheck ini dilakukan pada saat penelitian berlansung, dan sifatnya sirkuler serta berkesinambungan. Artinya setelah data diperoleh langsung dibuat dalam bentuk transkrip, kemudian di kompirmasikan kepada responden penelitian untuk diperiksa kesesuainnya, kemudian dilakukan modifikasi, perbaikan atau penyempurnaan sampai kebenarannya dapat dipercaya. Tujuan dari membercheck adalah agar informasi yang peneliti peroleh dan

digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara membercheck kepada subjek penelitian diakhir kegiatan penelitian lapangan tentang fokus yang diteliti.


(44)


(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan karakter bangsa yang dilakukan oleh peneliti, maka pada bagian ini penulis akan mencoba menarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi dengan tidak terlepas dari fokus masalah yang telah dirumuskan.

Adapun kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut.

A. Kesimpulan

1. Desain Pembelajaran menunjukan bahwa guru sejarah di SMAN 1 Sindang telah melakukan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural hal ini dilakukan dengan membuat silabus, membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, persiapan kelas, metode yang tepat, memilih sumber belajar seperti media, gambar, photo, persiapan membuat rencana penilaian / evaluasi tertulis maupun perbuatan yang mengandung nilai-nilai yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tahapan – tahapan pembelajaran dilakukan melalui proses pembelajaran dengan langkah apersepsi tentang sejarah lokal Indramayu (Babad Dermayu), melakukan entry behavior, kegiatan inti, dengan metode cooperative learning,

contextual teaching learning (CTL) mempergunakan media yang lengkap dan


(46)

3. Hasil-hasil Pembelajaran telah menunjukan adanya peningkatan pemahaman sejarah lokal tentang Babad Dermayu, sebagai jati diri masyarakat Indramayu, memperkenalkan budaya dengan melakukan kegiatan kebudayaan sehingga menumbuhkan perasaan memiliki terhadap sejarah lokal yang ada di Indramayu, juga membangkitkan kesadaran dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam komunitas yang lebih besar, sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki kebersamaan dalam sejarah, serta timbulnya rasa harga diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa keterpautan dan rasa memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride) terhadap bangsa dan tanah air.

4. Solusi, mulanya guru merasa kesulitan dalam proses pembelajaran, akhirnya mampu / bisa mengajarkan pembelajaran dengan cara belajar, berlatih, mempergunakan sumber yang cukup, guru mengupayakan, mengenal, mensosialisasikan kembali revitalisasi budaya Indramayu, mereka ikut mengembangkan budaya indramayu dengan adanya upaya meningkatkan kualifikasi guru sejarah dalam kinerja profesionalnya, mencari, memanfaatkan Sejarah Lokal Babad Dermayu yang ada di Indramayu untuk menyajikannya dalam proses pembelajaran, memberikan pengetahuan kepada siswa untuk mengimplementasikan peristiwa sejarah lokal dalam kehidupan sehari-hari yang berharga bagi dirinya maupun lingkungan, terkait dengan pewarisan nilai yang terkandung dalam sejarah lokal.


(47)

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil temuan lapangan dalam kesempatan ini penulis memberikan sumbang saran untuk direkomendasikan. Rekomendasi ini disampaikan kepada berbagai pihak terkait yang memiliki kontribusi kuat terhadap pembelajaran sejarah. Dengan demikian ada beberapa rekomendasi yang dapat peneliti sampaikan, sebagai berikut:

1. Kepada Guru Sejarah di lapangan diharapkan dalam fungsinya sebagai

curriculum developer” dapat mencari format mengembangkan pembelajaran sejarah lokal, multikulturalisme, karakter bangsa, dalam pengimplementasian pembelajaran Sejarah mengharuskan adanya usaha dari guru dalam meningkatkan

professional skills” mereka dengan mengembangkan keaneka ragaman pada diri siswa, antara lain supaya menyajikan pokok-pokok bahasan sejarah yang kontekstual dengan kehidupan siswa sehari-hari.

2. Pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah sebagai manajer dalam lembaga pendidikan harus mendorong pengembangan pendidikan karakter seluas-luasnya. Penyusunan KTSP di awal tahun pelajaran harus berbasis pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam proses pembelajaran sejarah, kepala sekolah harus memberikan kesempatan kepada guru untuk melaksanakan pembelajaran sejarah yang mampu mengembangkan nilai-nilai karakter pada diri siswa. Penerapan pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultural dalam pengembangan Karakter Bangsa dapat dijadikan alternatif dalam mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut.


(48)

3. Kepada Pemerintah Daerah, dalam hal ini, Dinas Pendidikan Kebupaten Indramayu, agar merumuskan sebuah kurikulum pembelajaran khusus yang berbasis multikultural di samping tetap menyesuaikan dengan karakteristik masyarakat Kabupetan Indramayu. Adapun impelementasi dari program tersebut adalah dengan menyusun buku mengenai sejarah perjuangan lokal yang ada di Indramayu dalam bentuk buku yang tidak terlalu “berat” khususnya untuk bacaan pelajar. Buku-buku tersebut kemudian didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dengan jumlah yang memadai untuk dibaca oleh para pelajar. Melalui program tersebut diharapkan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap sejarah lokal serta nilai-nilai yang dimilikinya dapat meningkat.

4.Kepada siswa SMA Negeri 1 Sindang sebagai generasi penerus bangsa penulis sarankan agar terus meningkatkan kerukunan dengan memberdayakan segenap kemampuan dan kreatifitas yang dimilikinya, melalui proses pembelajaran sejarah lokal berbasis multikultikultural dengan cara mengikuti kegiatan sekolah. Selain itu diharapkan para siswa lebih toleran dan mau bekerjasama dengan tidak membeda-bedakan latar belakang yang mereka miliki, baik itu perbedaan dalam status sosial, etnik, jenis kelamin, suku, bahasa dan agama yang mereka anut. 5. Kepada peneliti selanjutnya yang tertarik dengan permasalahan tersebut direkomendasikan untuk secara spesifik mengkaji dan menelaah masalah pembelajaran Sejarah lokal oleh guru yang kualifikasinya sebagai guru sejarah, hal ini dimaksudkan untuk memberikan rangsangan kepada guru-guru untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran Sejarah lokal berbasis Multikultural untuk menjawab tantangan pendidikan sekarang ini dengan melihat


(49)

pada kondisi multikultural bangsa kita. Hasil temuan penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut melalui penelitian yang lebih baik, dari sisi metodologis maupun teori.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Al Muchtar, Suwarna. (2004). Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

dalam Era Otonomi Daerah. Mimbar Pendidikan, Jurnal Pendidikan, UPI. Tahun XXIII No.4. 2004.

Bloomfield, David cs (2000). Menganalisis Konflik yang Mengakar, dalam Harris, Peter & Relly, Ben (eds) Demokrasi dan Konflik yang Mengakar

: Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator. International IDEA.

Bohari, (2010). Pengembangan pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural

dalam Meningkatkan Kerukunan Etnik, Tesis :SPS UPI Bandung.

Chalmers. (1983). Apa Itu yang Dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang

Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra.

Cresswell, John. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing

Among Five Traditions. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.

Dahlan, M.D., (1990). Model-model Mengajar. Bandung: Diponegoro.

Depdiknas. (2006). Kurikulum 2006 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan

Silabus dan Penilaian Mata pelajaran Sejarah. Jakarta: Dirjen

Pendidikan Dasar dan Menengah.

_____, (2007). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Devos, George A. (1968). National Character. Dalam Sills, David L. (editor).

International Encyclopedia of the Social Sciences. New York: The

McMillan Company and the Free Press, v.11 & 12, hal. 14-19.

Dji, P. (2010). Implementasi Pendidikan Multikultural pada Materi Sejarah Lokal

dalam Pembentukan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia: http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/14/implementasi-pedidikan- multikultural-pada-materi-sejarah-lokal-dalam-pembentukan-karakter-bangsa/ [20 Mei 2011]

Galba, Sindu. (2004). Budaya Tradisional pada Masyarakat Indramayu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Bandung.


(51)

Hasan, Said Hamid. (2001). Multikultural untuk Kurikulum Pendidikan di

Indonesia. (www.depdiknas.go.id)

_____, (2007). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

_____, (2007). Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori

Kolektif. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

_____, (2007). Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori

Kolektif. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

_____, (2007). Pembelajaran sejarah Yang mencerdaskan. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

Himmelfarb, Gertrude. (1987). The New History and The Old. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press.

Hilmy, Masdar. (14 november 2002). Pendidikan Berbasis Multikultural.Kompas Hook, Sidney. (1999). The Hero on History. Boston: Beacon Press.

Hatimah, Ihat. (2007). Prosedur Pengelolaan Pembelajaran Multikultural. Jakarta: Universitas Terbuka.

Ismadi, Fajar (2005) Model Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural

dalam pembentukan Karakter Bangsa, Tesis : SPS UPI Bandung

Ismaun, (2005) Pengantar belajar sejarah sebagai ilmu dan wahana pendidikan, Historia utama pers: Bandung

______, (2007) Membangun kembali jati diri bangsa,yayasan jati diri bangsa, kompas gramedia: Jakarta

Jaja, Mohammad.(2011). Upaya Penanaman Nilai-Nilai Kepahlawanan. (Online). Tersedia: http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. (28 Januari 2012).

Departemen Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia ,edisi

ke empat, Gramedia: Jakarta


(1)

pada kondisi multikultural bangsa kita. Hasil temuan penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut melalui penelitian yang lebih baik, dari sisi metodologis maupun teori.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al Muchtar, Suwarna. (2004). Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural dalam Era Otonomi Daerah. Mimbar Pendidikan, Jurnal Pendidikan, UPI. Tahun XXIII No.4. 2004.

Bloomfield, David cs (2000). Menganalisis Konflik yang Mengakar, dalam Harris, Peter & Relly, Ben (eds) Demokrasi dan Konflik yang Mengakar : Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator. International IDEA.

Bohari, (2010). Pengembangan pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural dalam Meningkatkan Kerukunan Etnik, Tesis :SPS UPI Bandung.

Chalmers. (1983). Apa Itu yang Dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra.

Cresswell, John. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among Five Traditions. Thousand Oaks, California: SAGE Publications. Dahlan, M.D., (1990). Model-model Mengajar. Bandung: Diponegoro.

Depdiknas. (2006). Kurikulum 2006 SMA: Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata pelajaran Sejarah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

_____, (2007). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Devos, George A. (1968). National Character. Dalam Sills, David L. (editor). International Encyclopedia of the Social Sciences. New York: The McMillan Company and the Free Press, v.11 & 12, hal. 14-19.

Dji, P. (2010). Implementasi Pendidikan Multikultural pada Materi Sejarah Lokal dalam Pembentukan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia: http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/14/implementasi-pedidikan- multikultural-pada-materi-sejarah-lokal-dalam-pembentukan-karakter-bangsa/ [20 Mei 2011]

Galba, Sindu. (2004). Budaya Tradisional pada Masyarakat Indramayu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal Bandung.


(3)

Hasan, Said Hamid. (2001). Multikultural untuk Kurikulum Pendidikan di Indonesia. (www.depdiknas.go.id)

_____, (2007). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

_____, (2007). Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011. _____, (2007). Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori

Kolektif. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

_____, (2007). Pembelajaran sejarah Yang mencerdaskan. (Online). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. 18 Juli 2011.

Himmelfarb, Gertrude. (1987). The New History and The Old. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press.

Hilmy, Masdar. (14 november 2002). Pendidikan Berbasis Multikultural.Kompas Hook, Sidney. (1999). The Hero on History. Boston: Beacon Press.

Hatimah, Ihat. (2007). Prosedur Pengelolaan Pembelajaran Multikultural. Jakarta: Universitas Terbuka.

Ismadi, Fajar (2005) Model Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural dalam pembentukan Karakter Bangsa, Tesis : SPS UPI Bandung

Ismaun, (2005) Pengantar belajar sejarah sebagai ilmu dan wahana pendidikan, Historia utama pers: Bandung

______, (2007) Membangun kembali jati diri bangsa,yayasan jati diri bangsa, kompas gramedia: Jakarta

Jaja, Mohammad.(2011). Upaya Penanaman Nilai-Nilai Kepahlawanan. (Online).

Tersedia:

http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. (28 Januari 2012).

Departemen Pendidikan Nasional, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia ,edisi ke empat, Gramedia: Jakarta


(4)

Koentjaraningrat. (1981). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia

Koentjaraningrat, (1990). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kymlicka, Will. (2002). Kewargaan Multikultural (edisi terjemahan). Jakarta : LP3ES.

Lincoln and Guba. (1984) Naturalistic Inquiry, London: Sage Publication Beverly Hill

Morgenthau, Hans J. (1963). Politics Among Nations : The Struggle for Power and Peace. (Third Edition). New York: Alfred A. Knopf.

Mulyana Agus (2007). Sejarah local (penulisan dan pembelajaran di sekolah) Salamina press, Bandung

_______. 2009. Mengembangkan Keraifan Lokal Dalam Pembelajaran Sejarah. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori. [18 Juli 2011].

Nasution, (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito: Bandung Rasyid, Ryaas M. (1998). Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia Menghadapi

tantangan Global, Jakarta: PT. Yarsif Watampone

Saunders, Malcolm. (1981). Multicultural Teaching:A Guide for the Classroom. Maidenhead-Berkshire: Hill Book Company Limited.

Sawunggalih, Mustafid (2010). Sejarah Lokal Dalam Kurikulum Sekolah.(On

Line) Tersedia: .

http://semangatbelajar.com/sejarah-lokal-dalam-kurikulum-sekolah [1 Agustus 2011].

Supali Kasim, (2011) menapak jejak Sejarah Indramayu, Frame publishing: Yogyakarta

Supriadi, Dedi & Mulyana, Rohmat. (1996). Multikultural Education : What Do the Theory and Research Says?. IKIP Bandung.


(5)

Stavenhogen, R. (1986). Problem and Prospects of Multietchnic States. Tokyo: United Nations University Press.

Supardan, Dadang. (2002). Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme kanada dan Tantangannya : Studi hak Asasi Manusia dalam Perspektif Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS). Bandung: FPIPS UPI.

______, (2004). Pembelajaran Kesadaran Sejarah berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global dalam Integrasi Bangsa. Disertasi: SPS UPI Bandung

______, (2007). Multikulturalisme dan Pendidikan Multicultural : Peluang dan Tantangan. (makalah). diseminarkan tanggal 27 Agustus 2007 di Universitas Kebangsaan Malaysia.

Supriatna, Nana. (2007). Konstruksi pembelajaran sejarah kritis, Bandung, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Historia Utama press

Suyitno, (2010) Paradigma Penelitian Naturalistic ( On line) tersedia http : //tesis,skripsi blogspot.com, paradigmapenelitian naturalistic. (19 April 2012)

Tilaar, H.A.R. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

______, (2004). Multikulturalisme:Tantangan-tantangan Global masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo

Poedjawijatna. (1981). Manusia dan Alamnya:Filsafat Manusia. Jakarta : Bina Aksara

Wasgito, Bambang. (2000). Krisis dan Solusi Budaya Tawuran : Indramayu Eksodus dari Negeri Dongeng. Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah: Indramayu.

Wiriaatmadja, Rochiati. (1992). Peranan Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia Dalam Pembentukan Identitas Nasional. Disertasi. Bandung: Pendidikan IPS-PPS-IKIP Bandung.

______, (2002). Pendidikan Sejarah, Sikap Kebangsaan, Identitas Nasional, Sejarah Lokal, Masyarakat Multikultural. Historia Utama Press: Bandung.

______, (2007). “Multikulturalisme Dalam Materi sejarah Lokal, dalam


(6)

Wiyanarti, Erlina. 2012. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Pengembangan Kesadaran Empati. Disertasi Doktor pada FPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.