KONSTRUKSI SOSIAL REMAJA OSING TERHADAP ESOTERISME RELIGIO MAGIS DALAM PEMBENTUKAN JATIDIRI: KAJIAN FENOMENOLOGI TENTANG RITUS BUYUT CILI DI BANYUWANGI.

(1)

KONSTRUKSI SOSIAL REMAJA OSING TERHADAP

ESOTERISME RELIGIO MAGIS DALAM

PEMBENTUKAN JATIDIRI

Kajian Fenomenologi tentang Ritus Buyut Cili di Banyuwangi

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar

Doktor Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PROGRAM PENDIDIKAN IPS

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2013

Oleh:

AGUS SUPRIJONO

0908403


(2)

KONSTRUKSI SOSIAL REMAJA OSING TERHADAP

ESOTERISME RELIGIO MAGIS DALAM

PEMBENTUKAN JATIDIRI

Kajian Fenomenologi tentang Ritus Buyut Cili di Banyuwangi

Oleh Agus Suprijono Drs. IKIP Surabaya, 1991

M.Si Universitas Airlangga Surabaya, 1998

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan IPS SPs UPI Bandung

© Agus Suprijono 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Mei 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI

Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si Nip. 196103231986031002

Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. Hj. Rochiati Wiriaatmadja, MA

Anggota

Dr. Elly Malihah, M.Si Nip. 196604251992032002

Diketahui Oleh Ketua Program Studi Pendidikan IPS


(4)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PENGUJI

PENGUJI

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd

PENGUJI

Prof. Dr. H. Warsono, MS

Diketahui Oleh Ketua Program Studi Pendidikan IPS


(5)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Konstruksi Sosial Remaja Osing terhadap Esoterisme Religio Magis dalam Pembentukan Jatidiri: Kajian

Fenomenologi tentang Ritus Buyut Cili di Banyuwangi ini sepenuhnya karya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dari karya orang lain dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 21 Mei 2013 Yang membuat pernyataan,

AGUS SUPRIJONO


(6)

KATA PENGANTAR

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan potret pembelajaran remaja Osing tentang dunia sosial. Potret ini memberikan inspirasi bagi pengembang kurikulum meningkatkan kualitas pembelajaran IPS. Konstruksi sosial yang melibatkan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi secara simultan adalah pembelajaran yang beraksentuasi pada olah pikir dan olah rasa. Konstruksi sosial remaja Osing merupakan pembelajaran IPS bermakna yang memberikan pengalaman langsung kepada rermaja Osing mendialektikkan diri dengan dunia sosio-kultural. Konstruksi sosial merupakan proses pembelajaran IPS di luar kelas sehingga remaja Osing sebagai peserta didik tidak hanya mengetahui dunia sosialnya, tetapi mereka juga mengerti dan memahaminya.

Saya menyadari bahwa keberartian hasil penelitian disertasi ini karena Allah Swt. Pertolongan Allah Swt tampak nyata bagi saya di setiap kesulitan yang dihadapi, oleh sebab itu saya mengucapkan syukur Alhamdulilaah.

Saya menyadari bahwa kebermaknaan hasil penelitian disertasi juga karena bimbingan promotor, ko-promotor, anggota, dan penguji oleh sebab itu saya mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yth

1. Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si 2. Prof. Dr. Hj. Rochiati Wiriaatmadja, M.A 3. Dr. Elly Malihah, M.Si

4. Prof. Dr. H. Warsono, MS

5. Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd

Keseluruhan proses penelitian membutuhkan dukungan legalitas formal untuk keterlaksanaanya, oleh karena itu tidak lupa pula saya mengucapkan terimakasih kepada Kaprodi Pendidikan IPS UPI, Direktur Sekolah Pascasarjana UPI, Kepala Bakesbang Banyuwangi, Kepala Desa Kemiren, dan Kepala SMAN I Giri Banyuwangi yang telah memberikan ijin penelitian. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada masyarakat Osing Desa Kemiren, MGMP IPS Kabupaten Banyuwangi, dan Guru IPS SMAN I Giri Banyuwangi, semoga amal kebaikan dan ketulusan hati yang telah dicurahkan bagi terwujudnya disertasi senantiasa Allah Swt mencatatnya sebagai amal kebaikan. Amiin.

Bandung, 21 Mei 2013 Penulis


(7)

ABSTRAK

Konstruksi Sosial Remaja Osing terhadap Esoterisme Religio Magis dalam Pembentukan Jatidiri: Kajian Fenomenologi tentang Ritus Buyut Cili di

Banyuwangi

Kehidupan keagamaan dan psiko-sosial masyarakat Osing yang harus dihadapi remaja Osing merupakan pangkal dari penelitian dilaksanakan. Ritus Buyut Cili sarat dengan praktik magi dapat mempengaruhi kepribadian remaja Osing yang seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, berpikir logis, kritis, kreatif, dan memiliki komitmen serta kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Penelitian difokuskan pada konstruksi sosial-budaya masyarakat Osing, eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi remaja Osing, kesadaran remaja Osing, serta implementasi konstruksi sosial remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili pada pembelajaran IPS. Tujuan penelitian mendeskripsikan konstruksi sosial-budaya masyarakat Osing tentang Ritus Buyut Cili ; mendeskripsikan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili ; mengidentifikasi kesadaran remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili ; mendeskripsikan implementasi konstruksi sosial remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili pada pembelajaran IPS. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan fenomenologi sebagai metodenya. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Kesimpulannya konstruksi sosial-budaya Osing terhadap Ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial adalah ungkapan penghayatan masyarakat Osing tentang dunia dan nilai transenden bersifat religio magi. Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili adalah menolak aspek keyakinan dari Ritus Buyut Cili, namun menerima aspek sosial Ritus Buyut Cili sebagai pranata sosial bagi terwujudnya kohesivitas sosial. Konstruksi sosial remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili mengandung kesadaran reflektif yaitu toleransi terhadap perbedaan keyakinan dan kesadaran bangga kepada keaslian budaya sebagai komitmen terhadap nilai sosial dan kemanusiaan. Implementasi konstruksi sosial remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili pada pembelajaran IPS diintegrasikan dalam pembelajaran siswa aktif, kooperatif, dan kontekstual.

Kata kunci: Konstruksi Sosial, Esoterisme, Religi, Magi, Fenomenologi, Ritus, Jatidiri


(8)

viii ABSTRACT

Social Construction of Osing Adolescent toward Religious-Magical Esotericism in Building Self-Identity: Phenomenology Study on Buyut Cili Rites in

Banyuwangi

Religious life and psycho-social of Osing community that have to be faced by their young generation is the based of the research carried out. Buyut Cili rites is full of magical practices that can affect Osing’s adolescent personality. It will contradiction with national goal of education, i.e devoted to God Almighty, noble, logical thinking, critical thinking, creative thinking, and has the commitment and awareness of social and humanitarian values. The study is focused on the socio-cultural construction of Osing community toward Buyut Cili rites ; externalization, objectivization, and internalization of Osing’s adolescent toward Buyut Cili rites ; Osing adolescent consciousness toward Buyut Cili rites ; and implementation of the Osing adolescent social construction toward Buyut Cili rites in social studies learning. The aims of this research are to describe socio-cultural construction of Osing community toward Buyut Cili rites and externalization, objectivization, internalization of Osing adolescent toward Buyut Cili rites ; to identify the consciousness of Osing adolescent toward Buyut Cili rites ; to describe the implementation of Osing adolescent social contruction toward Buyut Cili rites in social studies learning. The research used a qualitative approach and phenomenology as a method. Data were collected through interviews, observation, and documentation. In conclusion socio-cultural construction of the osing society to

Ritus Buyut Cili as social reality is an expression of appreciation of the world and

transcendent values as religio magic. Externalization, objectification, internalization of Osing adolescent against Buyut Cili rites was rejected aspects of Buyut Cili rites belief, but receiving the Buyut Cili rites as social institutions for the realization of social cohesiveness. Osing adolescent social construction of the Buyut Cili rites contains reflective consciousness of tolerance towards differences in beliefs and awareness of a sense of pride to the cultural authenticity as a commitment to the social and human values. Implementation social construction of Osing adolescent in learning social studies can be integrated in student active learning, cooperative learning, and contextual learning.

Keywords: Social Construction, Esotericism, Religion, Magic, Phenomenology,


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN………

KATA PENGANTAR……….

DAFTAR ISI………

DAFTAR TABEL………

DAFTAR GAMBAR………

DAFTAR LAMPIRAN………

ABSTRAK……….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian………

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah………

C. Tujuan Penelitian………..

D. Manfaat Penelitian………

E. Penjelasan Istilah………..

BAB II KAJIAN PUSTAKA………..

A. Penelitian Terdahulu: Sebuah Refleksi ……… B. Religi sebagai Fenomena Esoterisme………...

C. Magi sebagai Fenomena Esoterisme………....

D. Fenomenologi: Pengungkapan Dunia Makna………. E. Konstruksi Sosial: Proses Kreatif Manusia Membangun Pengetahuan Sosial... 1. Eksternalisasi: Pencurahan Diri terhadap Dunia Sosio Kultural………... 2. Objektivasi: Kenyataan Sosia Yang Terlegimitasi………. 3. Internalisasi: Mekanisme Sosialisasi dan Adaptasi Budaya……….. F. Fenomenologi dan Konstruksi Sosial: Ke arah Pembelajaran IPS Bermakna

BAB III METODE PENELITIAN……….

A. Lokasi Penelitian………...

B. Subjek Penelitian………..

C. Metode Penelitian……….

1. Penelitian Kualitatif………

i ii iii v vi vii viii 1 1 13 15 15 16 19 19 23 43 53 71 73 80 85 105 117 117 118 123 123


(10)

2. Teknik Pengumpulan Data……….

3. Uji Kredibilitas Data………..

4. Teknik Analisis Data………..

D. Proses Penelitian………..

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..

A. Ritus Buyut Cili: Fenomena Konstruksi Sosial Budaya Masyarakat Osing……

B. Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi Remaja Osing terhadap Ritus…...

Buyut Cili ………

1. Kelompok Akomodatif………...

2. Kelompok Loyal… ………

C. Kesadaran Remaja Osing terhadap Ritus Buyut Cili………...

D. Implementasi Konstruksi Sosial Remaja Osing terhadap Ritus Buyut…………

Cili pada Pembelajaran IPS di SMA………

BAB V KESIMPULAN dan SARAN……….

A. Kesimpulan………

B. Saran………...

DAFTAR PUSTAKA ………..

LAMPIRAN-LAMPIRAN………..

124 127 129 131 140 140 172

177 188 197 213

221 221 222 224 234


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

3.1 Sketsa Desa Kemiren………..

3.2 Patung Barong Osing Petunjuk Menuju ke Desa Kemiren……….

3.3 Wawancara dengan Perangkat Desa………...

3.4 Remaja Putri Osing Menuju Makam Buyut Cili……….

3.5 Menuju Makam Buyut Cili dan Ritual di Buyut Cili……….

3.6 Bagan Alur Penelitian……….

3.7 Desiminasi Hasil Penelitian Disertasi……….

3.8 Wawancara Peneliti dengan Guru IPS SMAN I GIRI Banyuwangi………

4.1 Pemujaan Kepada Roh Buyut Cili………..

4.2 Makam Mas Buronto dan Buyut Cili………..

4.3 Keluarga Osing melakukan Ritus Buyut Cili………..

4.4 Keluarga Osing meletakkan Sesaji di Sawah………..

117 118 125 133 134 137 138 139

142 143 146 150


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Pedoman Wawancara K.01/SO ………..……….

2 Pedoman Wawancara K.02/RO………...

3 Peodman Wawancara K.03/GIS………..

4 Hasil Wawancara K.01/SO………..

5 Hasil Wawancara K.02/RO……….

6 Hasil Wawancara K.03/GIS……….

234 237 240 241 252 286


(14)

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Ketika perjalanan masyarakat memasuki kehidupan modernitas yang rasional, fenomena religio magis seperti klenik, mistik, ramalan, dan sejenisnya tampak di mana-mana dan semakin banyak dibicarakan orang walaupun secara pasti sulit untuk dilacak kebenarannya berdasarkan perspektif rasional-positivistik. Orang melakukan praktik religio magis tidak lagi dengan sembunyi-sembunyi. Menurut Hidayat (1996 : 4) “orang yang terlibat dalam praktik klenik, religio magis, dan sejenisnya bukan saja orang-orang yang kesehariannya penuh dengan dunia klenik, namun juga orang-orang berbasis ilmiah” .

Dalam Journal of Southeast Asian Studies lewat artikel berjudul Rumours of

Sorcery at an Indonesian University, Wessing (1996 : 261-267) mengungkapkan

adanya praktik magi di kalangan komunitas perguruan tinggi. Tujuannya adalah memperoleh keselamatan, rasa aman, dan kesuksesan.

Recently the Indonesian press has paid increased attention to reports or rumours of the use of sorcery by various people in order to gain or to hold onto official positions, or to influence others who hold such positions. This paper examines rumours concerning these practices in an Indonesian university, considering them both in the context of Javanese cosmological and magical beliefs, and within the social and economic realities of the university community. The conclusion is that whether or not magical attacks actually take place, preventative measures give people a feeling of safety and perhaps smooth the path to success.

Di era modern dengan dukungan teknologi informasi, remaja Osing tidak teralinasi dari pengetahuan berbagai praktik religio magis. Teknologi informasi yang berkembang seperti media massa memperkaya khasanah pengetahuan remaja Osing tentang berbagai praktik tersebut. Media massa memiliki andil besar menghadirkan realitas esoterisme kekuatan supernatural, gaib, sakral, dan magis memasuki ruang publik. Pemberitaan mengenai praktik religio magis yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yakni ketauhidan, kini bukan lagi sebagai area tertutup yang tabu dibicarakan. Modernitas yang didukung kecanggihan teknologi informasi mampu mempresentasikan dunia gaib, misteri, dan magis tampak lebih riil. Esoterisme religio magis yang selama ini dianggap sebagai properti kebudayaan indigenous people dan


(16)

menurut Sumartana (1996 : v) “perlu dimodernisasikan”, justru modernitas dengan kemajuan teknologi infomasinya telah mensosialisasikan kebudayaan ini menjadi bagian sistem pengetahuan masyarakat yang lebih luas.

Informasi seputar dunia religio magis menempati rubrik tersendiri di berbagai media cetak. Media cetak yang beraksentuasi memberitakan esoterisme religio magis antara lain koran “Memorandum”, majalah “Liberty”, dan tabloid “Posmo”. Media cetak secara terbuka menyajikan berita esoterisme seputar praktik religio magis bahkan media ini telah menjadi wahana bagi anggota masyarakat mendekatkan diri dengan praktik tersebut. Media cetak sudah dimanfaatkan sebagai sarana promosi oleh paranormal menawarkan jasanya. Kekuatan-kekuatan sakti yang dipromosikan dan diyakini secara mistis mampu berfungsi memecahkan persoalan hidup menarik animo masyarakat yang percaya terhadap hal tersebut. Anggota masyarakat mudah mengadakan kontak dan komunikasi dengan paranormal karena media cetak secara terbuka memberi informasi nomor telepon dan handphone, waktu, serta alamat paranormal membuka praktik. Praktik religio magis terjadi di mana-mana dan dilakukan secara terbuka.

Selain media cetak, televisi sebagai media audio-visual juga mempunyai andil besar menghadirkan dunia esoterisme tentang hal sakral, sakti, dan magis tampak lebih manifes. Televisi sebagai wahana hiburan, komunikasi, dan informasi sudah menjadi dunia nyata kebudayaan. Sejumlah tayangan acara esoterisme bernuansa religio magis di berbagai televisi sudah membuat esoterisme sebagai dunia “rahasia”, “tersembunyi”, “gaib” menjadi tampak lebih konkrit. Realitas yang ditayangkan televisi merupakan dunia lebih nyata daripada dunia realitas sendiri karena tidak saja kenyataan sudah terserap secara total dalam citraan televisi, tetapi televisi juga mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulakrumnya. Di televisi kenyataan dan fantasi melebur menjadi satu. Menurut Piliang (2003 : 139) “dunia realitas dan hiperrealitas media televisi sulit dibedakan”.

Dekade tahun 2000-an tercatat sejumlah tayangan esoterisme mengenai dunia sakral, sakti, dan magis. Station televisi “Trans” memiliki program tayangan esoterisme berjudul “Realigi”, bahkan acara “Insert”, “Silet”, “Was-Was”, “Kiss”, “Cek dan Recek” pun sebagai tayangan seputar kehidupan selebriti Indonesia juga tidak ketinggalan menyajikan informasi dunia gaib dan mistis. Station televisi “Trans7”


(17)

mempunyai tayangan “Masih Dunia Lain”, “Dua Dunia”, dan “Mister Tukul”. Station televisi “MNC TV” mempunyai tayangan “Dunia Fantasi” dan “Cerita Siang”. Fenomena esoterisme religio magis yang ditayangkan itu sudah menjadi pengetahuan dan struktur kognitif atau skemata bagi remaja Osing. Setidaknya hal tersebut dapat dibuktikan dengan semakin dikenalnya jargon “penampakan” sebagai representasi esoterisme dunia gaib, magis, mistis, dan sejenisnya oleh remaja Osing.

Televisi menghadirkan juga esoterisme yang berhubungan dengan ramalan menjadi bagian dari sistem pengetahuan remaja Osing. Belum terlupakan oleh mereka perhelatan sepak bola piala dunia tahun 2010 di Afrika Selatan yang diwarnai kejutan yaitu seekor binatang mollusca bernama “Paul” berhasil meramal dengan tepat setiap hasil pertandingan. Ketepatan meramalnya membuat publik pecandu bola mempercayai kesaktian si “Paul”. Para pencandu bola kembali mempergunakan gurita dari akuarium

Sea Life Center Oberhausen Jerman ini meramal kesebelasan yang akan memenangi world cup tahun 2010 pada babak final. Sehari sebelum pertandingan final yang

mempertemukan kesebelasan Belanda dan Spanyol, gurita “Paul” menebak kesebelasan Spanyol menjadi juara dan kenyataannya kesebelasan tersebut berhasil mengalahkan Belanda di pertandingan final.

Dunia sosial remaja Osing dan keberadaan teknologi informasi tidak membuat mereka termarjinalkan dari pengetahuan esoterisme religio magis yang tidak kalah ramai dibicarakan orang yaitu dukun cilik Ponari. Berbagai media massa memberitakan kehebatan dukun tersebut. Batu sakti milik Ponari dianggap sebagai batu bertuah pemberian Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang mampu menangkap petir. Batu ini diyakini mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Berita mengenai kesaktian batu milik Ponari semakin meluas. Setiap hari ribuan orang dengan membawa air rela menunggu giliran agar batu tersebut dicelupkan oleh Ponari ke dalam air yang dibawa oleh pasien maupun keluarganya. Banyak orang percaya jika air ini diminum maupun diusap-usapkan pada bagian tubuh yang sakit, maka orang yang menderita sakit bisa sembuh.

Dinamika esoterisme religio magis lainnya yang berkembang dalam sistem pengetahuan remaja Osing adalah ziarah ke makam-makam keramat. Salah satu yang tidak asing bagi remaja Osing adalah Pesarean Gunung Kawi yang terletak di Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Makam ini tidak hanya dikenal masyarakat


(18)

Indonesia tetapi dikenal pula oleh masyarakat di luar Indonesia, sebab pengunjung Pesarean Gunung Kawi selain berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga berasal dari mancanegara. Pengunjung asing di antaranya dari Cina, Taiwan, Hongkong, dan Singapura.

Pesarean Gunung Kawi merupakan makam Eyang Djoego atau Eyang Zakaria II yang nama aslinya adalah R. Soerjo Koesoemo. Wardoyo dan K. Anam (2009 : 12) mengemukakan “Pesarean Gunung Kawi dikenal sebagai situs yang mujarab untuk mencari kekayaan atau pesugihan. Siapa yang melakukan ritual dengan kepasrahan dan pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaannya”.

Tidak hanya di Jawa Timur, ziarah ke makam keramat dan melakukan kegiatan ritual untuk suatu tujuan juga dapat disaksikan di Jawa Barat. Situs Rawa Onom di Kota Banjar yang konon dipercayai sebagai bekas Kerajaan Onom dan diperintah oleh Ratu Candrawati Ingkang Garwa dan Prabu Selang Kuning Sulaeman pada hari-hari tertentu seperti malam Jum’at Kliwon ramai dikunjungi para peziarah. Sutarwan (2009 : 27) menyatakan “para peziarah meyakini bahwa ziarah di situs tersebut dapat mendatangkan berbagai keberuntungan seperti keberkahan rezeki, kenaikan jabatan, dan kemudahan mendapatkan kesuksesan hidup” .

Di Jawa Tengah pun terdapat makam keramat yang terkenal yaitu Gunung Kemukus. Gunung ini terletak di Desa Pendem Kecamatan Sumberlawan Kabupaten Sragen. Di tempat ini terdapat makam Pangeran Samudra dan Nyai Ontrowulan. Setiap Jum’at Pon makam itu ramai dikunjungi orang untuk melakukan ngalap berkah. Giri

MC (2010 : 34-35) mengemukakan “Gunung Kemukus memang diyakini banyak orang sebagai tempat yang mujarab ngalap berkah agar usahanya maju utamanya perdagangan”. Ngalap berkah di Gunung Kemukus sangat unik dan berbeda dengan ngalap berkah di tempat-tempat keramat lainnya. Uniknya, ada kepercayaan bahwa

selama menjalani laku tirakat ngalap berkah di tempat ini, pelaku tirakat harus melakukan hubungan seks dengan sesama pelaku tirakat lainnya.

Remaja Osing mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang esoterisme berhubungan dengan kesurupan. Kesurupan dipahami remaja Osing sebagai peristiwa masuknya roh halus ke dalam tubuh manusia. Konstruksi pengetahuan ini terbangun karena setiap kejadian kesurupan penyembuhan atau penyadaran terhadap korban tidak dilakukan oleh tenaga medis seperti dokter, melainkan penyadarannya oleh paranormal,


(19)

ustadz, bahkan kyai sebagai orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan sakti mampu berhubungan dengan roh-roh halus.

Remaja Osing hidup dalam masyarakat agraris. Kehidupan masyarakat pertanian dekat dengan alam. Perjalanan sejarah masyarakat agraris telah menghadirkan fakta masyarakat pertanian melestarikan ritus maupun praktik religio magis untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi pula di negara lain.

Masyarakat Indian Aguaruna bagian dari masyarakat Jivaro yang tinggal di sebelah timur Pegunungan Andes adalah salah satu potret kehidupan masyarakat agraris yang mengembangkan praktik magis untuk pertanian. Coronese (1985 : 373) mendeskripsikan “mereka menggunakan batu api, kapak, dan alat pertanian lainya terbuat dari batu untuk menggarap tanahnya. Batu dianggap sebagai rumah jiwa, jin atau roh penunggu yang akan memberi kekuatan”.

Suku Azande di Afrika menggunakan magi untuk kehidupan hidup. Dhavamony (1995 : 52) melukiskan “Suku Azande menggunakan magi untuk melindungi diri, anak -anak, kegiatan pertanian, dan perburuan terhadap kuasa jahat penyihir”.

Penyelidikan Malinowski atas kehidupan masyarakat di kepulauan Trobriand menemukan sejumlah praktik magi untuk mengisi kekosongan yang terjadi karena kurangnya pengetahuan dan usaha-usaha pragmatis manusia. Hasil penelitian ditulis pada buku berjudul Coral and Their Magic: A Study of the Methods of Tilling the Soil

and of Agricultural Rites in the Trobriand Island. Penggunaan magi teridentifikasi oleh

penggunaan kata dalam bahasa penduduk Trobriand seperti megwa towosi atau bagula (magi pertanian), megwa poulo (magi perikanan), megwa kabila (magi perang), megwa bwaga’u (ramalan). Malinowski (1935 : 145) menyatakan

All the magic known to the islanders, all that is magical as opposed to any

other form of human activity…In its sense of 'body of magical practices' the natives would speak of megwa towosi, 'magic of the garden magician', or megwa bagula, 'garden magic' ; megwa bwaga'u, 'magic of sorcery' ; megwa poulo, 'magic of fishing' ; megwa kabilia or kabilia la megwa, 'magic of war.

Di Indonesia banyak dijumpai suku-suku yang memiliki pola matapencaharian berladang menggunakan kekuatan magis untuk usahanya tersebut. Suku Menggala di Lampung Utara hingga kini menurut Maria (1993 : 53) “mempercayai jimat


(20)

(fethisisme) dan mantra-mantra sebagai benda yang mampu memberi perlindungan

kepada seisi rumah dan berkah bagi pertaniannya”.

Suku lainnya di Indonesia yang tidak kalah menarik dengan praktik religio magis adalah Suku Osing. Keteguhan masyarakat Osing terhadap praktik religio magis ditegaskan Sunarlan (2008 : 132) dengan pernyataan “masyarakat Osing masih berpegang teguh pada kekuatan-kekuatan magis”. Subaharianto (1996 : 3) juga berpendapat bahwa “orang Osing memiliki ilmu gaib destruktif yang disebut santet, pelet, sihir, dan sebangsanya”. Jimat dan mantra juga banyak digunakan orang Osing untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup. Peristiwa menghebohkan pembantaian dukun santet yang terjadi pada tahun 1998 di Banyuwangi setidaknya keberadaaan dukun dalam peristiwa itu mencitrakan suatu fenomena budaya bahwa masyarakat Osing masih akomodatif dengan dunia klenik, magis, mistis, dan sejenisnya.

Di komunitas Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogjakarta orang Banyuwangi asli atau Osing disebut tiyang pinggiran atau wong pinggir dikenal sebagai orang yang digdaya. Sudjana (2001 : 93) menuturkan sebagai berikut

Pada masa Mataram wong pinggir berasal Blambangan. Laki-laki Blambangan digunakan sebagai percobaan untuk senjata yang lazim digunakan dalam pertempuran. Jika terbunuh senjatanya akan dianggap sakti dan layak dipakai dalam pertempuran. Perempuan Blambangan dijadikan abdi untuk menyusui anak-anak raja dan bangsawan. Ada kepercayaan perempuan Blambangan memiliki kebiasaan minum ramuan dari dedaunan rajegwesi. Seorang bayi yang mengkonsumsi air susu perempuan Blambangan akan tumbuh menjadi orang digdaya kebal senjata

Citra Blambangan sebagai tanah air wong digdaya masih terus terpelihara hingga kini. Menurut Margana (2012 : 26) “Banyuwangi, nama saat ini untuk Blambangan telah lama menikmati reputasi sebagai salah satu pusat ilmu kekuatan supernatural di Indonesia, sebuah reputasi yang juga dimiliki oleh Banten dan Lombok”.

Masyarakat Osing secara administratif bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten ini terdiri dari 21 kecamatan. Kantong kebudayaan Osing terdapat di wilayah Kecamatan Banyuwangi, Giri, Glagah, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng (Sari, 1994 : 23). Komunitas Osing terbentuk melalui proses sosial-politik yang cukup panjang dengan ketegangan dan konflik antara


(21)

penduduk dan penguasa di Banyuwangi di satu pihak dengan penduduk dan penguasa Jawa bagian barat serta Bali di pihak lain.

Secara historis Banyuwangi merupakan pusat kekuasaan politik kerajaan Blambangan. Menurut Arifin (1995 : 19) “Blambangan pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, seperti yang tertera dalam berbagai babad yaitu Babad

Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan

Babad Notodiningratan”. Majapahit di akhir abad XV memberi kesempatan bagi Blambangan untuk melepaskan diri dari kekuasaan manapun, tetapi kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian seperti Demak, Pasuruan, Mataram, dan Bali ternyata tetap menempatkan Blambangan sebagai daerah yang harus ditaklukkan dan dikuasai.

Mataram dan VOC pun turut menaklukkan Blambangan pada tahun 1767. VOC yang masih menganggap Blambangan belum aman, melancarkan serangan berikutnya (1771-1772) yang memperoleh perlawanan keras dari Blambangan di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati sebuah pertarungan yang dikenal dengan Puputan Bayu. Belanda berhasil memenangkan peperangan itu dan tidak lama kemudian membawa sejumlah tenaga kerja dari Cirebon, Banyumas, dan Kebumen untuk diperkerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada di bumi Blambangan. Menurut Herusantoso (1987 : 14)

Tidak hanya dari Jawa bagian barat, migrasi serupa juga berdatangan dari Madura, Bali, Bugis, dan Mandar sehingga sejak awal abad XIX Banyuwangi tidak lagi dihuni oleh komunitas Osing yang homogen melainkan bercampur dengan berbagai pendatang.

Menurut Ali (1993 : 5) “jika pada akhir abad XIX penduduk Banyuwangi berjumlah 100.000 jiwa, maka lebih dari separohnya diperkirakan berasal dari kaum migran”.

Suku Osing dikenal sebagai penduduk asli Banyuwangi. Penegasan identitas diri terlihat sangat urgen bagi komunitas Osing. Keengganan bahkan ketidakmauan orang Osing untuk mengidentifikasikan diri sebagai orang Jawa, terwujud dalam sebutan-sebutan seperti wong Banyuwangi asli, wong Banyuwangen, wong

Blambangan masih sering terdengar sampai sekarang bahkan mereka membangun dan

mengembangkan ritus serta kesenian yang sangat spesifik merepresentasikan wawasan dan sikap Osing yang egaliter dan semangat marjinalitas.

Predikat Osing dilekatkan kepada masyarakat Blambangan asli karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pasca


(22)

Puputan Bayu. Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan, oleh karena itu VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar sementara sisa-sisa masyarakat Blambangan atau wong Osing yang mayoritas telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan. Sesekali interaksi terjadi antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan wong Osing

berasal, sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah wong

Kiye.

Akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis wong Osing mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan milik Belanda dan Inggris saat itu banyak mempekerjakan orang Madura. Saat ini walaupun akhirnya sikap “sing” berangsur-angsur melunak dengan banyaknya orang Osing menjadi pegawai negeri atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama Osing sudah terlanjur melekat bahkan tumbuh kebanggaan kolektif di kalangan remajanya disebut wong Osing setelah mereka mengetahui sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mempertahankan wilayah dan harga diri.

Psiko-sosial masyarakat Osing diprasangkai sebagai sosok yang kasar atau tidak bertata krama. Nuansa kasar terlihat dari interaksi sosial memanfaatkan kata-kata asu,

babi, celeng (ABC) dengan nada tinggi. Bagi orang Jawa dalam konteks budaya Jawa,

kata-kata tersebut tidak sopan untuk diucapkan dan merupakan umpatan kemarahan apalagi diucapkan dengan nada tinggi. Peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Osing terhadap berbagai bentuk penjajahan yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka. Menurut Wirata (1995 : 3-4) karakteristik kepribadian wong Osing adalah “ladyak, bingkak, dan aclak. Ladyak adalah karakter

orang Osing yakni sombong. bingkak berarti acuh tak acuh, dan aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain, dan tidak takut merepoti diri sendiri.”

Saputra (2008 : 59) mengemukakan “kehidupan keagamaan Osing didominasi oleh Islam mencapai 95% lebih, Kristen dan Katolik 2,68%, serta Hindu 1,49%.” Keberagaman agama yang dianut Osing tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan masa


(23)

lampau. Kehidupan jaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan kolonial merupakan pengalaman kolektif yang membentuk kehidupan keagamaan Osing. Bukti kehidupan masyarakat Osing pada jaman prasejarah masih banyak dijumpai di situs Kendeng Lembu yang terletak di Desa Karangharjo. Pada jaman Hindu-Budha, Islam, dan kolonial Banyuwangi dikenal sebagai wilayah utama kerajaan Blambangan. Situs Macan Putih di Desa Macan Putih adalah sumber sejarah tentang kerajaan itu.

Historisitas kebudayaan masyarakat Osing jaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan kolonial berpengaruh terhadap kehidupan esoterisme masyarakat Osing saat ini. Esoterisme merupakan fenomena kehidupan spiritual masyarakat yang berhubungan dengan keyakinan kepada kekuatan supernatural, gaib, dan sakral. Fenomena itu berkaitan dengan kedalaman jiwa dan batin manusia tentang spirit ketuhanan. Dalam agama besar (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha) esoterisme ditandai oleh perilaku keagamaan dalam bentuk penyerahan diri manusia kepada Tuhan sebagai sang Khaliq. Esoterisme agama budaya ditandai oleh kecenderungan penyerahan diri manusia kepada kekuatan gaib maupun benda-benda yang disakralkan serta tindakan okultis manusia memanipulasi daya-daya gaib dan sakral untuk kepentingan dan kebutuhan hidup. Esoterisme agama besar bersifat religius, esoterisme agama budaya beraksentuasi religio magis.

Esoterisme religio magis Osing bersumber dari mitos Buyut Cili sebagai warisan sosial dan mentradisi dari generasi ke generasi. Mitos Buyut Cili tidak hanya menjadi sumber spiritualitas dan sistem kepercayaan Osing, namun mitos tersebut juga menjadi tata nilai bagi kehidupan sosial-budaya Osing. Mitos Buyut Cili fondasi bagi ritus Buyut Cili. Ritus ini tidak hanya menjadi pengetahuan bagi masyarakat pendukungnya, tetapi ritus Buyut Cili juga menjadi pengalaman hidup dan bagian dari sistem kepercayaan atau religi. Ritus Buyut Cili bahkan menjadi nilai sentral yaitu sumber utama orientasi sikap dan tindakan sosial masyarakat Osing. Ritus Buyut Cili sebagai esoterisme religio magis adalah pranata bagi kehidupan Osing. Berbagai aktivitas memenuhi kebutuhan hidup dan sekecil apapun peristiwa yang dialami, orang Osing senantiasa mengadakan ritual di makam Buyut Cili. Ritus Buyut Cili adalah kebudayaan rohani masyarakat Osing sebagai faktor objektif atau noumena.

Kebudayaan memberi rangsangan terhadap perkembangan kepribadian individu-individu sebagai anggota masyarakat. O’dea (1996 : 6) menyatakan


(24)

“kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian merupakan tiga aspek dari suatu kompleksitas fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia”. Ritus Buyut Cili sebagai kebudayaan adalah sistem makna-makna simbolis sebagian di antaranya menentukan realitas sebagaimana dipahami dan sebagian lainnya menentukan harapan-harapan normatif yang dibebankan kepada individu-individu remaja Osing sebagai anggota masyarakat.

Remaja Osing hidup di masyarakat yang masih sangat kuat berpegang teguh pada tradisi nenek moyang. Remaja Osing hidup di tengah masyarakat yang masih kuat menjaga kesinambungan kebudayaan leluhur di masa lampau. Remaja Osing menghadapi Ritus Buyut Cili sebagai kebudayaan rohani yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam agama mayoritas Osing. Remaja Osing yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kebudayaan Osing tidak dapat dipisahkan dari mozaik kultur Osing tersebut. Ritus Buyut Cili sebagai kebudayaan Osing mempengaruhi pembentukan jatidiri remaja Osing.

Remaja Osing sebagai peserta didik seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, mandiri, dan berjiwa kompetitif. Esoterisme religio pada kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan salah satu isi pengetahuan matapelajaran IPS. Pengetahuan itu dibelajarkan kepada peserta didik sebagai instrumen untuk mewujudkan tercapainya pendidikan IPS sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 yaitu

Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya ; Memiliki kemampuan dasar berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial ; Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkal lokal, nasional, dan global.

Jadi, urgensi penelitian tentang konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis adalah mendapatkan pemikiran konstruktif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS. Pendidikan IPS harus berfungsi efektif sebagai daya tangkal bagi peserta didik dari praktik magi. Pendidikan IPS harus berperan efektif mengembangkan kecakapan kesadaran diri yakni kemampuan menghayati diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhuk individu dan sosial. Pendidikan IPS harus mengembangkan kemampuan menyadari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikan


(25)

kecakapan kesadaran diri sebagai modal meningkatkan kemampuan sebagai individu yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat. Pendidikan IPS harus berperan pula mengembangkan kecakapan rasional yang meliputi kemampuan menelusuri dan menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta kemampuan memecahkan masalah secara kreatif. Peran pendidikan IPS yang tidak kalah penting adalah mengembangkan kecakapan sosial yang meliputi kemampuan komunikasi secara empati dan kolaboratif.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan potret pembelajaran IPS berbasis situasi dunia nyata atau contextual teaching-learning (CTL). Hakikat CTL menurut Johnson (2002 : 25) adalah

The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumtances.

Dalam konstruksi sosial terhadap esoterisme religio magis remaja Osing mempelajari kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya tidak sebatas pada usaha mereka mempelajari peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi. Dalam terminologi pilar pendidikan yang telah dirumuskan UNESCO remaja Osing belajar tidak sebatas pada

learning to know (belajar untuk mengetahui). Remaja Osing belajar dengan melakukan

(learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar hidup bersama (learning to live together). Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis memberi pengetahuan dan keterampilan sosial bermakna bagi remaja Osing. Konstruksi sosial terhadap esoterisme religio magis sebagai pembelajaran IPS mengembangkan kemampuan remaja Osing sebagai peserta didik mampu berperan di masyarakatnya. Vancy (1995 : 5) mengemukakan ”Social studies helps student to understand their world and gives them the skills and knowledge to play their part in

society”.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan modus pembelajaran IPS dalam tradisi reflective inquiry. Tradisi ini adalah modus pembelajaran sosial yang diaksentuasikan pada pengembangan warga negara yang baik sebagai tujuan utamanya. Menurut Barr (1978 : 11) pembelajaran IPS dalam tradisi

reflective inquiry adalah ”...the enhancement of students decision making abilities, for decision making is the most important requirement of citizenship in a political


(26)

democracy”. Pembelajaran IPS dalam tradisi reflective inquiry memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang baik dengan ciri pokok mengambil keputusan.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann adalah penggagas konsep konstruksi sosial. Pemikirannya dipaparkan di dalam karya berjudul The Social Construction of

Reality yang dipublikasikan pada tahun 1966. Sosialisasi merupakan elemen penting

yang secara simultan berdialektika dengan eksternalisasi dan objektivasi dalam proses konstruksi sosial, yaitu terkonstruksinya realitas pada diri individu secara subjektif dan terbentuknya realitas di tengah-tengah masyarakat. Konsep konstruksi sosial menurut Riyanto (2009 : 72) adalah

Pemikiran Berger tentang konstruksi sosial merupakan pemikiran eklektis yang mensintesakan dua asumsi tentang realitas sosial yaitu pertama asumsi Weber bahwa realitas sosial merupakan hasil pemaknaan subjektif dan kedua asumsi Durkheim bahwa realitas sosial merupakan realitas sosial objektif.

Konstruksi sosial merupakan proses bagaimana kenyataan sosial terkonstruksi menjadi pengetahuan yang memiliki makna-makna subjektif bagi individu-individu sebagai anggota masyarakat. Dalam konstruksi sosial manusia dipandang sebagai insan kreatif yang memiliki kemampuan mengartikulasikan makna secara individual dan sosial, memiliki kebebasan memilih, dan menentukan cara maupun tujuan bertindak. Manusia mempunyai kemampuan voluntaristik dalam kebudayaan masyarakatnya. Dalam perspektif konstruksi sosial manusia dianggap selalu bertindak sebagai agen dengan mengkonstruksi realitas kehidupan sosial. Menurut Suparno (1997 : 21) “pengetahuan bukanlah sebagai gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek”.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis melalui sosialisasi di keluarga, masyarakat, dan sekolah merupakan fenomena pembelajaran IPS bersifat operatif. Suparno (2001 : 141) mengemukakan “belajar operatif adalah seseorang aktif mengkonstruksi struktur dari yang dipelajari sehingga seseorang mengetahui suatu struktur yang tidak terbatas pada situasi tertentu”.

Remaja memasuki perkembangan kognitif yang ditandai oleh kemampuan berpikir hipotesis, logis, dan abstrak. Kemampuan kogntif tersebut merupakan fenomena psikologi yang penting bagi belajar operatif. Remaja Osing dalam menghadapi esoterisme religio magis yang bertentangan dengan ketauhidan mampu melakukan refleksi terhadap situasi dan kondisi masyarakat dan dirinya, mencari


(27)

pemecahan atas persoalan-persoalan yang dialaminya, serta mempertimbangkan dan memperhitungkan berdasarkan kerangka berpikirnya.

Remaja Osing tidak hanya mampu memadukan gambaran realitas masyarakat Osing dan kebudayaannya dalam skemata yang sudah dimilikinya untuk dicocokkan dengan lingkungan, tetapi remaja Osing juga mempunyai kemampuan mengubah skemata berhubungan dengan lingkungannya. Remaja Osing memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sesuai perkembangan kognitifnya.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan usaha remaja Osing mempelajari dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki di lingkungan di mana mereka sebagai partisipan. Remaja Osing mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks dan mengembangkan skema-skema berpikir. Dalam konstruksi sosial terhadap esoterisme religio magis, remaja Osing mengkonstruksi makna tentang kehidupan dan dunianya.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan proses yang menggambarkan bagaimana pengetahuan umum atau kenyataan sosial kehidupan sehari-hari masyarakat dan kebudayaannya terkonstruksi menjadi makna-makna subjektif dalam dirinya ; bagaimana remaja Osing bertindak atas makna-makna-makna-makna tersebut ; bagaimana remaja Osing mengorganisir pengalaman tentang dunia sosialnya yang bermakna secara subjektif bagi dirinya. Berdasarkan makna dan cara bertindak, konstruksi sosial memberikan deskripsi mengenai kemampuan remaja Osing mengambil keputusan. Kemampuan ini merepresentasikan wujud kesadaran atau eksistensi diri dan nilai-nilai kehidupan yang terinternalisasi pada diri remaja Osing yang mengalami dan menghadapi pengetahuan dan praktik esoterisme religo magis di masyarakatnya sendiri maupun di luar masyarakat Osing.

Konstruksi sosial menekankan bahwa remaja Osing memiliki makna subjektif atas kenyataan sosial kehidupan sehari-hari masyarakat beserta kebudayaannya. Aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat dan kebudayaan Osing dipahami sebagai sesuatu yang bermakna sehingga setiap aktivitas selalu diinterpretasi oleh mereka. Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis dipandang sebagai pembelajaran mengenai masyarakat dan kebudayaan yang dikendalikan sendiri oleh individu-individu remaja Osing sebagai anggota masyarakat. Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan pemaknaan subjektif terhadap


(28)

objek intensionalitas. Pemahaman terhadap makna-makna tersebut membutuhkan pendekatan fenomenologi.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis merupakan fenomena pembelajaran IPS berbasis kontekstual yang menarik untuk diteliti. Budaya esoterisme religio-magis sebagai properti kebudayaan suatu masyarakat memang bukan menjadi masalah bagi masyarakat tersebut, namun bagi dunia pendidikan khususnya IPS realitas esoterisme religio magis merupakan persoalan sebab budaya esoterisme religio-magis dapat menguasai pikiran remaja dan selanjutnya mereproduksinya kembali bahkan remaja bisa melakukan praktik magi untuk mengatasi persoalan hidup yang dihadapinya. Tentu saja hal ini kontraproduktif dengan tujuan pendidikan IPS khususnya dan tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan IPS bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik berpikir logis dan kritis. Dalam konteks konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magis kemampuan-kemampuan yang dimaksud adalah pertama, kemampuan remaja Osing bersosialisasi secara kritis terhadap realitas esoterisme religio magis yang telah menjadi nilai sentral kehidupan masyarakatnya dan bertentangan dengan ke-Esa-an Allah SWT berdasarkke-Esa-an ajarke-Esa-an agama Islam yke-Esa-ang dike-Esa-anutnya ; kedua, kemampuke-Esa-an remaja Osing menanggapi secara logis dan kritis realitas sosial atau pengalaman kolektif masyarakatnya yang berpengaruh terhadap kehidupannya ; ketiga, kemampuan remaja Osing menginterpretasi dan merefleksi secara rasional sistem pengetahuan yang hidup di dalam masyarakatnya. Keseluruhan kemampuan yang diaktualisasikan remaja Osing pada kehidupan masyarakat yang masih didominasi oleh budaya esoterisme religio-magis adalah proses pembentukan jatidiri.

Kemampuan remaja Osing menghadapi esoterisme religio magis masyarakatnya merupakan presentasi dari karakterisasi nilai-nilai pada diri mereka melalui mekanisme sosialisasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berbekal pendidikan formal yang mengembangkan “pedagogik kritis”, remaja Osing di masyarakat merupakan manusia rasional yang memiliki kesadaran diri mampu membuat keputusan rasional merespon budaya esoterisme religio magis Osing. Remaja Osing mampu mengembangkan kebiasaan berpikir dan bersikap yang menopang berkembangnya harmonisasi kehidupan sosial sebagai prinsip hidup berdemokrasi.


(29)

Judul penelitian Konstruksi Sosial Remaja Osing terhadap Esoterisme Religo Magis dalam Pembentukan Jatidiri: Kajian Fenomenologi tentang Ritus

Buyut Cili di Banyuwangi merepresentasikan jawaban pertanyaan-pertanyaan

penelitian yang dirumuskan sebagai berikut

1. Bagaimana konstruksi sosial-budaya Osing kaitannya dengan ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial ?

2. Bagaimana remaja Osing melakukan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi terhadap ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial ?

3. Kesadaran apa yang tampak dari konstruksi sosial remaja Osing terhadap ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial ?

4. Bagaimana konstruksi sosial remaja Osing terhadap ritus Buyut Cili diimplementasikan pada pembelajaran IPS di SMA ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah mendeskripsikan konstruksi sosial sebagai pembelajaran IPS. Tujuan khusus penelitian adalah

1. Mendeskripsikan kehidupan sosial-budaya Osing berhubungan dengan ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial.

2. Mendeskripsikan remaja Osing melakukan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi terhadap ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial.

3. Mengidentifikasi wujud kesadaran remaja Osing berdasarkan konstruksi sosial remaja Osing terhadap ritus Buyut Cili sebagai realitas sosial.

4. Mendeskripsikan implementasi konstruksi remaja Osing terhadap ritus Buyut Cili pada pembelajaran IPS di SMA.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian adalah deskripsi tentang remaja Osing mempelajari kebudayaan dan masyarakat Osing sebagai dunia sosial yang problematis. Remaja Osing menghadapi realitas penghayatan esoterisme religio magi berdasarkan konstruksi subjektif masyarakat dan esoterisme religio magi berdasarkan iman, ihsan, dan Islam. Remaja Osing juga menghadapi kenyataan bahwa budaya esoterisme yang problematis ini adalah pranata sosial bagi masyarakat Osing. Remaja Osing menghadapi realitas budaya esoterisme religio-magis tidak hanya sebagai permasalahan sikap hidup yang


(30)

berhubungan dengan keagamaan, tetapi realitas yang berkaitan dengan sosial-kemasyarakatan. Hasil konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magi dapat dijadikan pemikiran bagi guru-guru IPS mengembangkan pembelajaran IPS bermakna.

Fenomenologi dan konstruksi sosial sebagai pisau analisis dalam penelitian dapat dijadikan dasar berpikir mengembangkan pembelajaran IPS tidak sebatas mempelajari fenomena sosial-budaya secara tekstual dan aspek deklaratif dari pengetahuan itu, tetapi mempelajari pula aspek struktural dari pengetahuan tersebut. Aspek penting fenomenologi dan konstruksi sosial adalah peran aktif subjek membentuk pengetahuan. Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi sebagai proses pemaknaan dan konstruksi pengetahuan dapat menjadi pijakan pemikiran bagi guru-guru IPS mengembangkan pembelajaran IPS yang inspiratif yaitu pembelajaran IPS yang menstimuli peserta didik menjadi lebih aktif berpikir, berefleksi diri berupaya mencari solusi atas masalah yang dihadapinya, mempertimbangkan berdasarkan kerangka berpikirnya serta memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

Konstruksi sosial remaja Osing terhadap esoterisme religio magi yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat membutuhkan pemahaman secara multidisiplin yaitu melibatkan konsep-konsep sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu pendidikan. State of the Art yang dikembangkan berdasarkan konsep sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu pendidikan pada penelitian disertasi diharapkan memperkaya ide fundamental pendidikan IPS sebagaimana dirumuskan Somantri (2001 : 18) pendidikan IPS sebagai “pendidikan yang menyeleksi disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. State of the Art yang dikembangkan pada penelitian tidak saja membawa kebermaknaan pendidikan IPS yang dibelajarkan sebagai tradisi ilmu-ilmu sosial yaitu pembelajaran IPS yang mengembangkan kemampuan peserta didik melihat dan memecahkan masalah-masalah sosial dengan menggunakan visi dan cara kerja ilmu-ilmu sosial, tetapi membawa pula kebermaknaan bagi pendidikan IPS yang diajarkan sebagai tradisi reflective inquiry yaitu pembelajaran yang beraksentuasi pada pengembangan kemampuan peserta didik mengambil keputusan.


(31)

Hasil penelitian merupakan rekonstruksi remaja Osing mempelajari masyarakat dan kebudayaan pada latar alamiah. Berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh dari proses dan hasil konstruksi sosial remaja Osing terhadap realitas sosial yang dialami dan dihadapinya dapat menjadi orientasi bagi guru-guru IPS mengembangkan pendidikan IPS sebagai pendidikan nilai.

E. Penjelasan Istilah

Agama budaya menurut konsep Islam digolongkan sebagai agama bumi atau

ardhy yakni agama yang berasal dari budaya dan kepercayaan masyarakat yang

memiliki konsep ketuhanan pada animisme, dinamisme, totemisme. Agama budaya bukan agama samawi/langit atau agama wahyu. Berdasarkan konsep Islam agama samawi/agama langit atau agama wahyu merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Jibril dan disampaikan kepada nabi/rasul yang dipilih Allah SWT. Nabi/rasul bertugas menyampaikan dan menjelaskan lebih lanjut wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Agama samawi/agama langit atau agama wahyu merupakan al-Din yang benar dan berdasarkan prinsip wad’i Ilahi atau peraturan yang ditentukan oleh Allah SWT.

Buyut Cili adalah tokoh yang dipercaya sebagai orang pertama yang membabat hutan untuk pemukiman warga Desa Kemiren yang hingga kini rohnya dipuja masyarakat Osing Desa Kemiren. Aktivitas budaya rohani ini disebut ritus Buyut Cili. Roh Buyut Cili dianggap sebagai kekuatan di luar manusia yang mempengaruhi kehidupan Desa Kemiren.

Esoterisme memiliki arti “bersifat rahasia”, “tersembunyi”. Esoterisme merupakan pengajaran agama yang tidak diberikan kepada setiap orang. Pengajaran esoterisme hanya untuk lingkungan terbatas. Pengajaran tersebut untuk sejumlah kecil orang yang sudah mengembangkan kerohanian yang memadai untuk memahami ajaran itu, karena pengajaran esoterisme umumnya sukar dipahami. Dalam pengertian luas esoterisme merupakan aspek metafisis dan dimensi intrinsik agama. Esoterisme terselubung di dalam tindakan atau perilaku keagamaan bersifat eksoterik. Esoterisme berhubungan dengan hal-hal yang supranatural, sakral, gaib, magis, misteri, adikodrati, kesaktian dan sejenisnya.

Fenomenologi merupakan analisis deskriptif dan introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung yang meliputi inderawi,


(32)

konseptual, moral, estetis dan religius. Fenomenologi adalah metode secara sistematis berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan pengertian.

Konstruksi sosial merupakan konsep yang dikembangkan Berger untuk menjelaskan bagaimana realitas sosial objektif terkonstruksi dalam kesadaran subjektif individu. Konstruksi sosial menggambarkan proses di mana melalui tindakan dan interaksi, manusia menciptakan secara terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual objektif dan penuh arti secara subjektif. Konstruksi sosial menggambarkan proses realitas sosial menjadi pengetahuan bagi individu anggota masyarakat.

Jatidiri adalah unsur kehidupan yang mencerminkan ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang. Jatidiri merupakan identitas individu, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam serta sifat-sifat keutuhan yang dibanggakan. Individu yang memiliki jatidiri dapat mempertahankan prinsip yang dipercayainya, walaupun keadaan sekeliling tidak seperti yang disangkanya dan tidak sealiran dengan apa yang dipercayai itu. Prinsip yang dipegang bergantung pada idealisme yang dipelihara atas pengetahuan atau ilmu dan nilai.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Desa Kemiren Kecamatan Glagah. Luas Desa Kemiren 177.052 m2 terdiri dari dua dusun yaitu Kedaleman (Kemiren Timur) dan Krajan (Kemiren Barat). Wilayah Kemiren Timur terbagi menjadi 4 Rukun Warga (RW) dan 15 Rukun Tetangga (RT). Wilayah Kemiren Barat terdiri dari 3 RW dan 13 RT. Desa Kemiren berbatasan dengan Desa Jambesari di sebelah utara, Desa Olehsari sebelah selatan, Desa Banjarsari sebelah timur, dan Desa Tamansuruh di sebelah barat.

Gambar 3.1 Sketsa Desa Kemiren

Sumber: Monografi Desa Kemiren

Desa Kemiren merupakan wilayah terbuka. Jarak Desa Kemiren dari Kota Banyuwangi hanya 5 Km. Desa ini berada di jalur utama antara Banyuwangi dan wisata Kawah Ijen, jaraknya kurang lebih 30 Km ke arah selatan. Infrastruktur jalan yang menghubungkan Desa Kemiren dengan pusat pemerintahan Kabupaten Banyuwangi cukup baik. Lebar jalan kurang lebih 5 m dan beraspal. Desa Kemiren mudah dijangkau


(34)

selain kondisi jalan baik tersedia pula kendaraan umum angkutan pedesaan. Di batas wilayah masuk Desa Kemiren terdapat patung Barong.

Gambar 3.2 Patung Barong Osing Petunjuk Menuju ke Desa Kemiren

Sejak tahun 1996 Desa Kemiren ditetapkan sebagai “Desa Wisata Adat Osing”. Desa ini dinilai sebagai desa pelestari adat Osing. Masyarakat Osing Desa Kemiren masih memperlihatkan tata kehidupan sosio-kultural yang mempunyai kekuatan nilai tradisional jika dibandingkan dengan masyarakat Osing di desa lainnya. Masyarakat Osing Desa Kemiren masih teguh menjalankan tradisi nenek moyang. Salah satu kebudayaan Osing hingga kini dipertahankan adalah kepercayaan terhadap dunia supranatural yang dilingkupi oleh unsur kekuatan gaib dan magis yang tampak pada fenomena ritual Buyut Cili. Esoterisme religio magis Osing melingkupi seluruh aktivitas masyarakat Desa Kemiren. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan rohani Osing ada pada kesadaran atau intensionalitas masyarakat Desa Kemiren termasuk para remajanya, sebab remaja Osing lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah kebudayaan tersebut. Arus kesadaran esoterisme religio magis Osing sebagai kenyataan sosial bagi remaja dibutuhkan untuk memahami konstruksi sosial mereka terhadap realitas sosial-budaya tersebut. .


(35)

Subjek penelitian adalah remaja Osing Desa Kemiren. Remaja tersebut adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Ada beberapa pertimbangan memilih remaja sebagai subjek penelitian.

Konstruksi sosial merupakan proses dialektika antara diri dan dunia sosio-kultural. Dialektika itu melibatkan proses berpikir aktif, logis, dan konstruktif. Menurut Djiwandono (2006 : 96) “masa remaja adalah tahap transisi dari berpikir operasional konkrit ke berpikir operasional formal. Remaja yang mencapai tahap ini berpikir setingkat orang dewasa”. Berdasarkan perkembangan tahap sosialisasi yang dijelaskan Mead, remaja merupakan individu-individu yang memasuki tahap “game stage”. Pada tahap itu remaja memiliki kesadaran tentang keberadaan diri dan mempunyai kemampuan melakukan transaksional pemikiran dengan orang lain.

Remaja Osing seusia siswa SMA atau sederajat adalah individu-individu dalam perkembangan kognitif ke tingkat berpikir operasional formal. Pada tingkat perkembangan kognitif ini, remaja Osing memiliki kemampuan memberi alasan yang masuk akal tentang situasi dan kondisi masyarakat dan kebudayaan Osing yang dialami. Remaja Osing mampu menerima pikiran-pikiran orang lain dan mampu tidak terikat dengan pengalaman orang tersebut. Remaja Osing memiliki kemampuan merasionalisasi sesuatu yang diberikan kepadanya. Kemampuan-kemampuan ini merupakan aspek penting konstruksi sosial yang melibatkan dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Dialektika eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi melibatkan persepsi, konsep diri, dan konstruk subjektif. Konstruksi sosial merupakan aktivitas kognitif remaja Osing mempelajari kebudayaan dan masyarakatnya secara kontekstual. Penelitian konstruksi sosial yang berfokus pada remaja Osing berstatus siswa SMA atau sederajat memberi kebermaknaan hasil penelitian sosial ini bagi pengembangan pembelajaran IPS berbasis konstruktivistik dan kontekstual. Pembelajaran IPS yang dikembangkan merupakan pembelajaran IPS isomorfik dan operatif yaitu pembelajaran IPS yang memberi pengetahuan dan pengalaman kepada siswa.

Remaja Osing adalah informan pokok penelitian. Penelusuran infoman pokok merupakan bagian dari kegiatan peneliti memastikan fokus inkuiri (tema yang dipilih, sumber data, lokasi penelitian) ada di lapangan. Kegiatan ini tidak hanya untuk mendapatkan data awal sebagai bahan penulisan proposal, tetapi kegiatan tersebut juga


(36)

dalam rangka peneliti mengenal situasi, keadaan, latar dan konteks masyarakat serta lokasi penelitian sehingga peneliti dapat mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan kata lain, penelusuran informan pokok sudah dilakukan sejak survei pendahuluan .

Penelusuran informan pokok dimulai dari kunjungan peneliti ke Desa Kemiren. Di awal kunjungan ke lokasi, peneliti berkenalan dengan keluarga Basri dan isterinya, Rajaunah. Keluarga tersebut bertempat tinggal di Dusun Kemiren Barat (Dusun Krajan). Rumah keluarga Basri berhadapan dengan pondokan wisata Osing.

Basri bekerja sebagai kuli batu dan istrinya berjualan rujak soto, makanan khas Banyuwangi. Perkenalan peneliti dengan keluarga itu terjadi saat peneliti membeli rujak soto di warung Rajaunah. Di warung peneliti mencoba menggali informasi tentang tema penelitian yang telah dipilih. Penggalian informasi merupakan upaya “pembuktian” tentang stigma yang diberikan oleh masyarakat luas kepada masyarakat Osing Desa Kemiren. Stigma itu menyatakan masyarakat Osing Desa Kemiren dikenal sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada kebudayaan rohani warisan leluhur yaitu kebudayaan religio-magis dan mistis berupa ritus Buyut Cili. “Pembuktian” dimaksudkan pula memastikan bahwa esoterisme religio magis merupakan realitas objektif sekaligus subjektif bagi masyarakat Osing Desa Kemiren. Dalam pemikiran Berger “pembuktian” ini untuk memastikan bahwa esoterisme religio magis menjadi fakta sosial tereksternalisasi, terobjektivasi dan bermakna bagi masyarakat Desa Kemiren. Esoterisme ini merupakan realitas sosial objektif dengan segala tata nilai yang hidup di dalam pikiran masyarakat Osing Desa Kemiren. Pengetahuan, nilai, dan norma ritus Buyut Cili menjadi pedoman perilaku mewujudkan harmonisasi, ketenteraman, dan kesejahteraan hidup masyarakat Osing Desa Kemiren.

Dalam pemikiran fenomenologi Husserl “pembuktian” itu sebagai usaha memastikan ada tidaknya intensionalitas anggota masyarakat Osing terhadap kebudayaan rohani esoterisme religio magis. Terpenting dari “pembuktian” adalah menggali dunia noumena dan fenomena yang terkandung dalam esoterisme tersebut. Tanpa kepastian hal tersebut sulit bagi peneliti memahami proses dan hasil kontruksi sosial remaja Osing terhadap kebudayaan rohani masyarakatnya dengan pendekatan fenomenologi, sebab konstruksi sosial merupakan dialektika antara individu sebagai


(37)

realitas subjektif dan masyarakat sebagai realitas objektif yang melibatkan persepsi, konsep diri, dan konstruk subjektif.

Kunjungan berkali-kali ke Desa Kemiren semakin meningkatkan hubungan baik peneliti dengan anggota masyarakat Osing. Setiap kali kunjungan, peneliti berada di lokasi rata-rata tiga hingga empat hari. Komunikasi peneliti dengan tetangga kanan-kiri Basri dan Rajaunah setiap kali kunjungan akhirnya membuahkan informasi penting yaitu Rajaunah oleh masyarakat setempat dikenal sebagai orang yang dipercaya membuat sesaji untuk ritual Buyut Cili. Sesaji itu bernama pecel pithik. Berdasarkan informasi tersebut peneliti semakin intensif menggali informasi dari Rajaunah tentang noumena dan fenomena esoterisme religio magis sebagai realitas sosial bagi kehidupan masyarakat Osing Desa Kemiren.

Khasanah pengetahuan tentang berbagai praktik religo-magis sebagai realitas sosial bagi remaja Osing diperkaya melalui perkenalan peneliti dengan orang-orang berpengaruh dalam institusionalisasi dan legitimasi esoterisme religio-magis. Meminjam istilah Mead orang tersebut dinamakan significant others. Rajaunah memperkenalkan peneliti dengan orang-orang tersebut. Orang-orang itu adalah Tahrim (Kepala Desa), Andi (Kaur Umum Desa Kemiren), Niftah (Kasun Krajan), Tompo (Juru Kunci Makam Buyut Cili), Serad (Tokoh Adat), Sapi’i (pemilik perkumpulan kesenian Barong “Trisno Budoyo”) dan Edi Sucipto (pemimpin perkumpulan Barong Lancing “Sapu Jagad”). Orang-orang inilah yang dikategorikan sebagai informan pangkal.

Setelah proposal disertasi disetujui, peneliti kembali ke Desa Kemiren dan bertempat tinggal di desa tersebut. Peneliti mengontrak rumah keluarga Basri. Sejak menetap di Desa Kemiren, peneliti secara intensif melakukan penelusuran informan pokok yaitu remaja Osing. Dalam penelusuran informan pokok peneliti mengajak “peneliti lain” yaitu mahasiswa program studi S-1 sosiologi Universitas Negeri Surabaya. Peneliti melibatkan mahasiswa yang usianya tidak terpaut jauh dengan usia remaja Osing. Upaya ini dilakukan berdasarkan pertimbangan perbedaan usia antara peneliti dan subjek penelitian (remaja Osing) yang terpaut jauh dapat mempengaruhi kredibilitas data yang dikumpulkan. Remaja Osing merasa takut, “sungkan”, terpaksa, tertekan dsb ketika memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan


(38)

kepadanya. Aspek-aspek psikis itu dapat menjadi hambatan bagi remaja Osing memberikan jawaban sejujur-jujurnya.

Mahasiswa yang dilibatkan di penelitian sebanyak lima orang terdiri 3 orang laki-laki yaitu Katon, Farid, dan Candra serta 2 orang perempuan yaitu Fatimah dan Dyah. Di antara mahasiswa tersebut Candra dan Dyah adalah mahasiswa berasal dari Banyuwangi dan bisa berbahasa Jawa Osing. Keberadaan mahasiswa laki-laki dan perempuan serta mampu berbahasa Jawa Osing dapat menciptakan ruang publik yang lebih bebas, luwes, fleksibel kepada remaja Osing baik laki-laki maupun perempuan mengungkapkan persepsi, makna-makna subjektifnya tentang esoterisme agama budaya Osing baik yang disampaikan melalui bahasa Indonesia maupun yang dituturkan lewat bahasa ibu yaitu bahasa Jawa Osing. Keterlibatan mahasiswa yang usianya tidak terpaut jauh dengan usia remaja Osing memudahkan terjalinnya kohesivitas sosial yang lebih kuat di antara kedua belah pihak, jika dibandingkan kohesivitas peneliti dengan remaja Osing yang usianya terpaut jauh. Kohesivitas yang tinggi dalam arti being accepted dan hubungan baik (rapport) antara peneliti dan subjek penelitian membantu dalam in

depth interview. Hubungan baik dan akrab sangat dibutuhkan untuk membongkar data

yang berada di dalam dunia kesadaran subjek penelitian. Hubungan baik membantu peneliti mendapatkan data yang tidak disembunyikan.

Sebelum maupun selama proses penelitian berlangsung, peneliti selalu berdiskusi dengan mahasiswa yang membantu penelitian ini mengenai kebudayaan masyarakat Osing dan item-item pertanyaan yang tertulis di dalam pedoman wawancara. Diskusi intensif dilakukan agar para asisten memiliki kesatuan “bahasa” atau pemahaman sama dengan peneliti tentang tujuan penelitian.

Peneliti bersama asisten masuk ke perkumpulan kesenian barong yang dipimpin Sapi’i dan Edi Sucipto. Menurut informan pangkal kesenian barong tidak dapat dipisahkan dari ritual Buyut Cili. Barong merupakan bagian dari rangkaian ritus tersebut. Setiap pertunjukan kesenian barong selalu melibatkan aktivitas religio-magis.

Berdasarkan pengamatan terhadap pertunjukan kesenian barong di sekitar Desa Kemiren, kesenian barong tidak hanya melibatkan orang-orang tua tetapi pementasan kesenian barong juga melibatkan para remaja. Sapi’i dan Edi Sucipto memberikan sejumlah nama remaja Osing yang menjadi anggota perkumpulan kesenian barong yang dipimpinnnya. Salah satu remaja anggota perkumpulan barong dan berstatus siswa


(39)

SMA adalah Yustirianda akrab dipanggil Rian. Remaja ini bersekolah di SMA Negeri I Glagah kelas XI. Anggota kesenian barong lainnya adalah remaja Osing berstatus remaja putus sekolah, namun demikian keberadaan mereka juga membantu peneliti menemukan subjek penelitian yang dikehendaki yaitu remaja Osing berstatus siswa SMA atau sederajat. Bermula dari Rian dan temannya di perkumpulan kesenian barong melalui teknik snowball sampling peneliti memperoleh subjek penelitian atau informan pokok. Keberadaan informan ini penting karena peneliti bisa berkenalan pula dengan orang tua dan guru IPS di sekolah mereka. Di bawah ini daftar nama informan pangkal dan pokok.

Tabel 3.1 Daftar Nama Informan Pangkal dan Informan Pokok

INFORMAN PANGKAL INFORMAN POKOK

Tahrim Novi Verawati

Andi Sunti Sefuri

Niftah Sri Nidayati (Ida)

Tompo Yuliana Ika Putri Handayani (Puput)

Serad Herlinawati

Sapi’i Dahliati (Atik)

Edi Sucipto Yesi Puji Utami (Eci)

Basri Arista

Rajaunah Laili Anggraini

Guru IPS Ahmad Syaifuddin (Anton) Pengawas sekolah Yustirianda (Rian)

Orang tua Husnul Khotimah (Hil)

C. Metode Penelitian 1. Penelitian Kualitatif

Konstruksi sosial adalah pengalaman subjektif penuh makna yang terbentuk dari dialektika antara diri dan dunia sosio-kultural melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial berupa fakta-fakta mental penuh makna. Penelitian beraksentuasi pada pengalaman bermakna individu-individu, sehingga penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi.

Metode fenomenologi digunakan untuk memahami dan menginterpretasi alasan-alasan tersembunyi di balik tindakan yang diamati. Berdasarkan metode fenomenologi dipahami tindakan individu melalui usaha mengungkap pikiran,


(40)

perasaan, dan keinginan. Metode fenomenologi tidak hanya mengetahui apa yang diperbuat individu dalam kehidupan sosialnya tetapi juga pengalaman batin individu tersebut. Metode fenomenologi mengungkap ekspresi jiwa, ide, pengalaman penuh makna di balik tindakan individu yang teramati.

Pendekatan penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi mempunyai urgensi karena fokus dan permasalahan studi mencakup soal makna, motif, alasan, persepsi maupun tujuan-tujuan yang ada di balik tindakan. Penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi memberi ruang kepada subjek penelitian mengungkapkan pandangannya sendiri atau perspektif emik tentang esoterisme religio magis Osing sehingga hal-hal bersifat subjektif dapat dipahami dari kerangka pelakunya sendiri.

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian adalah fenomenologi. Instrumen penelitian adalah peneliti. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan dokumentasi (foto, gambar, rekaman). Ketiga cara tersebut diterapkan dalam konteks interaksi sosial secara informal dengan para informan terpilih.

Penggunaan teknik wawancara mendalam bertujuan memperoleh sejumlah data dan informasi dari para informan secara langsung sehingga data dan informasi yang diakses sesuai dengan tema penelitian. Wawancara mempunyai fungsi memahami fakta mental yang hidup dalam skemata individu maupun perasaan yang diekspresikan melalui kata-kata, kalimat, ucapan, dan bahasa tubuh. Data yang diperoleh dari wawancara diinterpretasi dan dikonstruksi untuk mendapatkan pemahaman tentang subjek. Teknik wawancara juga bermanfaat mendapatkan keterangan nilai-nilai sosiokultural, kepercayaan serta pola perilaku yang telah menjadi kebiasaan. Teknik wawancara diterapkan untuk mengungkap makna simbolis aktivitas kultural.

Teknik wawancara yang dikembangkan adalah wawancara semi standar atau wawancara semistruktur. Wawancara ini merupakan kombinasi wawancara terpimpin dan tidak terpimpin dengan menggunakan beberapa inti pokok pertanyaan yang diajukan. Peneliti membuat garis besar pokok pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan mengembangkannya secara bebas di lapangan. Pokok pertanyaan yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-kata juga tidak baku


(1)

Koentjaraningrat, (1982), Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta : Universitas Indonesia Press

Koentjaraningrat, (1985), Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka

Koentjaraningrat, (1990), Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat Koentjaraningrat, (1994), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta:

Gramedia.

Kuntowijoyo, (1987), Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Kusnadi, ((1993), Simbolisme Tari Seblang, Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Kuswarno, Engkus, (2009), Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan Contoh

Penelitian, Bandung: Widya Padjajaran.

Laeyendecker, L, (1983), Tata, Perubahan, dan Ketimpangan Suatu Pengantar

Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia

Lili, Alo, (2007), Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogjakarta: LKis Lukes, Steven, (1972), Emile Durkheim: His Life and Work, New York: Harper &

Row.

Maksum, Ali, (2008), Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga

Postmodernisme, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media

Maliki, Zainudin, (2008), Sosiologi Pendidikan, Yogjakarta: Gajahmada University Press.

Malinowski, Bronislaw, (1935), Coral and Their Magic: A Study of the Methods of

Tilling the Soil and of Agricultural Rites in the Trobriand Island, London:

UNWIN Ltd.

Malinowski, Bronislaw, (1948), Magic, Science, and Religion and Other Essays, Illinois: The Free Press.

Margana, Sri, (2012), Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni

Blambangan, Yogjakarta: Pustaka Ifada.

Maria, Julia, (1993), Kebudayaan Orang Menggala, Jakarta: UI Press.

Marsh, Colin, (2005), Teaching Studies of Society and Environment, edisi ke-4, Pearson Education Australia


(2)

Mead, George Herbert, (1962), Mind, self, and society: From the standpoint of a

social behaviorist, Chicago: University of Chicago press

Miles, Matthew B, & Huberman, A Michael, (1994), Qualitative Data Analysis, California: SAGE Publication

Misiak, Henry & Virginia S Sexton, (1988), Psikologi Fenomenologi Eksistensial

dan Humanistik Suatu Survei Historis, alih bahasa E. Koeswara, Bandung:

Eresco

M.Nur, Ghufron, Rini Risnawati, (2010), Teori-Teori Psikologi, Malang: Ar-Ruzz Moreno, Fransisco, (1985), Agama dan Akal Pikiran : Naluri Rasa Takut Keadaan

Jiwa Manusiawi, Jakarta: Rajawali.

Morris, VC, (1963) Becoming An Educator An Introduction by Specialist to the

Study an Practice of Education, New York: Houghton Mifflin Company.

Muhadjir, Noeng, (2006), Filsafat Ilmu: Kualitatif dan Kuantitatif untuk

Pengembangan Ilmu dan Pnelitian, Yogjakarta: Rake Sarasin.

Muhaimin, AG. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta: Logor.

Mulder, Niels, (1984), Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa:

Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: Gramedia.

Mulyasa, E, (2003), Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdarkarya

Mulyono, Sri, (1989), Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang Sebuah Tinjauan

Fiosofis, Jakarta : Haji Masagung.

Mutakin, Awan, (2005), Profil Kehidupan Masyarakat Kampung Naga Di Tengah

Arus Modernisasi, Bandung: FPIPS Geografi UPI

Narwoko, (2006) Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media Nasution, (1983), Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars

Norbeck, Edward, (1974), Religion in Human Life, Holt, Rinehart and Winston Inc. Nottingham, Elizabeth K, (1997), Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar

Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Press.

O’dea, Thomas, (1996), Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(3)

Pals, Daniel L, (2001), Seven Theories of Religion: Dari Animisme EB Tylor,

Materialisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz, Yogjakarta;

Qalam.

Peursen, van CA, (1976), Strategi Kebudayaan, Yogjakarta: Kanisius.

Piaget, Jean, (2005), The Psychology of Intelligence, terj. Malcolm Piercy dan DE Berlyne, Taylor & Francis e-Library

Piliang, Yasraf Ami, (2003), Hipersemiotika Tafsir Studies Atas Matinya Makna, Yogjakarta: Jalasutra.

Poedjawijatna, IR, (2002), Pembimbing Ke Arah Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta. Poloma, Margaret M, (1994), Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo

Persada,

Purwadi, (2004), Dukun Jawa, Yogjakarta: Media Abadi.

Rahayu, Suwarni, dan Saputra, Heru SP, (2006), Suara Lokal: Dalam Puisi-Puisi

Kontemporer sebagai Refleksi Identitas Budaya Using Banyuwangi, Laporan

Penelitian Universitas Jember.

Rato, Dominikus, (2007), “Mitos, Babad, dan Hukum dalam Kosmologi Masyarakat Lokal: Studi Kasus pada Masyarakat Osing Banyuwangi” Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial .8, 34-48.

Ritzer, George, (1980), A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon Ritzer, George, (1996), Sociological Theory, USA: Mc-Graw Hill Companies

Ritzer, George dan Goodman, Dougles, (2004), Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Pranada Media

Riyanto, Geger, (2009), Peter L. Berger Perspektif Metateori Pemikiran, Jakarta: LP3ES

Romdon, (2002), Kitab Mujarabat: Dunia Magi Orang Islam Jawa, Yogjakarta: Lazuardi.

Ruslan, Agus, (2007), Agen Sosialisasi Budaya,

http://researchengines.com/agusruslan30-5.html, (23 Oktober 2010) Sadulloh, Uyoh, (2006), Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Santrock, John W. (2007), Psikologi Pendidikan. Terj. Tri Wibowo. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(4)

Saputra, Heru SP, (2008), “Dimensi Religiositas Dan Mekanisme Mistis: Refleksi Budaya Lokal Orang Using Banyuwangi”, Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, IX (2). 70-74.

Sari,Dias Mustika. (1994). Fungsi Wangsalan Dalam Interaksi Sosial: Kajian

Sosiolinguistik terhadap Masyarakat Bahasa Using di Dusun Genitri Desa Gendoh Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi”. Skripsi, Fakultas

Sastra Universitas Jember

Schutz, Alfred, (1967), The Phenomenology of The Social World, terj. George Walsh, Northwetern University Press.

Sellars, Wilfrid, (2004), Encyclopedia of Philosophy, Tersedia http://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/, (5 Februari 2013).

Setiawan, Ikwan, (2007), “Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibradasi dan Negoisasi Lokalitas dalam Musik Populer Using, Jurnal

Kultur, 1. (2). 76-95

Simuh. 1996. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Sindhunata, (1983), Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia.

Smith, William A, (2008), CONSCIENTIZACAO: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogjakarta; Pustaka Pelajar

Soenyono, (2004), Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Surabaya: Kampusiana. Solahuddin, Liputo (2009), Religiusitas dan Psychological Well-Being, Malang:

UIN Press.

Somantri, Muhammad Numan, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Subaharianto, Andang, (1996), “Mitologi Buyut Cili Dalam Pandangan Orang Using di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi”. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Sudjana, I Made, (2001), Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad

XVIII, Bali: Larasan Sejarah.

Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alphabeta.

Sumartana, Th, (1996), Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi,

dan Pembangunan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sunarlan, (2008), “Using: Masyarakat yang Kaya Kesenian, tetapi sering terbelit maslah politik”, dalam Pemetaan Kebudayaan Di Propinsi Jawab Timur:


(5)

Sebuah Upaya pencarian Nilai-Nilai Positif, Pemerintah Propinsi Jawa

Timur: Biro Mental Spiritual

Suparno Paul, (2002), Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, Yogjakarta: Kanisius

Suparno, Paul, (1997), Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogjakarta: Kanisius

Suparno, Paul, (2001) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, Yogjakarta: Kanisius

Suryadi AG, Linus, (1993), Regol Megal-Megol : Fenomena Kosmogoni Jawa, Yogyakarta : Andi Offset.

Suseno, Franz Magnis, (1999), Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang

Kebijaksanaan Hiudp Jawa, Jakarta: Gramedia.

Sutarwan, (2009, 5 Oktober), “Wisata Ziarah: Peluang Bisnis Dunia Mistis”, Pikiran Rakyat. 27

Sutiyono, HR, (2010), Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Kompas.

Sutopo, (2002), Metode Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam

Penelitian, Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Thompson, Michael, (1990), Cultural Theory, San Fransisco: Westview Press. Tilaar, HAR, (2011), Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan

Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta

Turner, Bryan, (2010), The Penguin Dictionary of Sociology, Noviyani (Terj), Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Tylor, Edwar B (1920), Primitive Culture Researches Into the Development of

Mythology, Philosopy, Religion, Language, Art, and Custom, vol 1, London:

John Murray Albemarle Street.

Vancy, Howard,(1995), Social Studies in the New Zealand Curriculum, Ministry of Education

Veeger, KJ, (1993), Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan

Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia

Vembriarto, ST, (1990), Sosiologi Pendidikan, Yogjakarta: Andi Offset.

Vera-Godoy, Hernan, (1971), “Marcell Mauss Sociological System : An Essay in Method Interpretation”, Thesis, Notre Dame, Indiana: University Dame


(6)

Wardoyo dan K. Anam, (2009), Gunung Kawi Fakta dan Mitos, Pesugihan atau

Wisata Religi Multikultural ?, Surabaya: Kawan Pustaka.

Waters, Malcolm, (1994), Modern Sociological Theory, London: SAGE

Publication.

Wattimena, Reza AA, (2010), Filsafat Kritis Immanuel Kant: Mempertimbangkan

Kritik Karl Ameriks terhadap Kritik Immanuel Kant Atas Metafisika, Jakarta:

Evolitera

Wessing, Robert, (1996), “Rumours of Sorcery at an Indonesian University”

Journal of Southeast Asian Studies, Volume 27.02.August 1996.pp 261-279

Winnick. 1977. Islam in Java: Normative Piety and Myticism. Tucson: University of Arizona Press.

Wirata, Putu. (1995, 13Maret). Orang Using, suku terasing?. Matra. No.104, 3-4.

Wolbers, Paul Arthur, (1992), Maintaining Using Identity Through Musical

Performance: Seblang and Gandrung of Banyuwangi (East Java), Thesis

pada University of Illinois

Yamin, Martinis, (2008), Paradigma Pendidikan Konstruktivistik Implementasi

KTSP & UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Gaung

Persada Press.

Zainuddin, Sodaqoh, (1996), Orientasi Nilai Budaya Osing Di Kabupaten

Banyuwangi, Laporan Penelitian, Jember: Lembaga Penelitian Universitas

Jember.

Zeitlin, Irvin M, (2003), The Religious Experience: Classical Philosophical and