Tahap Persiapan dalam Negosiasi tahap
Ujian Akhir Semester
Negosiasi dan Diplomasi
Reza Akbar Felayati
071311233075
Tahap Persiapan dalam Negosiasi
Sebagai sebuah jantung di dalam diplomasi, negosiasi menjadi sebuah proses yang vital di dalamnya karena
melalui proses negosiasi lah, diplomasi yang menentukan tercapainya kepentingan suatu pihak terjadi.
Negosiasi yang terdiri dari tahap persiapan, pembangunan, pengumpulan informasi, tawar-menawar,
persetujuan, hinga tahap implementasi atas kesepakatan dan perjanjian yang telah dibuat harus dilakukan
secara runtut atau tersistematis. Ini menjadikan seorang diplomat perlu menguasai proses negosiasi mulai
dari tahap persiapan, strategi apa yang harus digunakan, bahkan hingga bagaimana kita mengatur sikap
Setiap tahap harus dilakukan dengan maksimal agar mampu mencapai kepentingan yang merupakan tujuan
utama dilakukannya negosiasi. Salah satu pondasi negosiasi yang berupa tahap persiapan negosiasi haruslah
dipahami secara sempurna. Dalam bernegosiasi, negosiator memerlukan tahapan – tahapan dari persiapan
hingga perundingan apa yang akan menjadi langkah – langkah dalam melakukan negosiasi.
Dalam tahap persiapan negosiasi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penentuan planning atau
rencana (Djelantik, 2008). Planning atau perencanaan menjadi penting dalam negosiasi karena apabila tidak
mempersiapkan perencanaan dengan baik, dapat menyebabkan kegagalan dalam bernegosiasi. Persiapan
yang baik akan membawa pada keberhasilan negosiasi. Selain itu menentukan tujuan awal juga sangat vital
di dalam proses persiapan negosiasi. Seorang negosiator harus memfokuskan diri pada tujuan apa yang ingin
dicapai dalam negosiasi dan mencari cara terbaik guna mencapai tujuan tersebut. Menurut Roy (2003: 43),
tujuan dibagi menjadi beberapa kategori yaitu substantive goal (uang, barang atau yang lebih spesifik),
intangible goal (menjadi pemenang, memberi saran dan tidak merugi dalam negosiasi) dan procedural goal
(mempercepat negosiasi). Tujuan atau goal harus jelas dan tepat sasaran. Tujuan merupakan sesuatu yang
spesifik dan fokus. Tujuan umumnya bersifat nyata (tangible). Tujuan yang dibuat seringkali mengalami
konflik dengan tujuan dari pihak lain, dan inilah yang nanti akan diselesaikan di dalam proses negosiasi
(Djelantik, 2008).
Setelah melakukan planning atau persiapan dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam proses
negosiasi, tahap kedua adalah memilih dan membangun strategi. Dalam istilah bisnis, strategi didefinisikan
sebagai pola atau rencana yang meemadukan aksi menjadi satu kesatuan (Wayfarer, 2011). Dalam negosiasi,
strategi merupakan keseluruhan rencana untuk menyelsaikan satu tujuan dan rangkaian aksi yang
mengarahkan pada tercapainya tujuan tersebut (Djelantik, 2008: 157). Mempersiapkan strategi yang matang
di dalam proses negosiasi juga tidak kalah penting. Contoh – contoh persiapan strategi dalam negosiasi
adalah mengusahakan agar pihak yang bertikai melakukan mediasi, mengusahakan agar pihak yang betikai
mempercayai proses mediasi, mengusahakan adanya kepercayaan kepada mediator diantara pihak yang
bertikai serta mengumpulkan informasi begitu juga dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang baik
serta menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang timpang (Roy, 2003).
Dalam tahap persiapan pun, terdapat langkah – langkah yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam rangka
perencanaan. Dalam perencanaan, negosiator harus mengetahui isu – isu yang ada. Dengan mengetahui isu –
isu yang ada dan terjadi diantara pihak yang bertikai, negosiator dapat mementukan langkah selanjutnya.
Selain itu, negosiator mengurutkan isu dari yang penting hingga tidak penting, serta mengetahui kepentingan
di balik isu yang ada. Yang keempat, negosiator dituntut untuk mengathui dengan jelas batasan dan alternatif
lain juka negosiasi tidak berjalan dengan baik. Kelima, menentukan dan menekankan kepentingan (interest)
yang ingin dicapai. Keenam yaitu menentukan kepabilitas dihadapan lawan, dan mengetahui kapabilitas
mereka pula serta yang terkhir adalah merencanakan negosiasi dengan baik (Djelantik, 2008).
Sedangkan Dalam artikel “Negotiation: Strategy and Planning” oleh Roy J. Lewichi (2003), dipaparkan
beberapa tahap dalam persiapan negosiasi. Langkah pertama menurut Lewichi adalah memahami
permasalahan yang akan dinegosiasikan, sehingga dapat mengetahui jenis dan sifat negosiasi yang akan
dilakukan. negosiasi akan bersifat distributif Jika isu yang dinegosiasikan adalah tunggal, sedangkan
negosiasi akan bersifat integratif jika bernegosiasi mengenai isu lebih dari satu. Melalui analisis
kemungkinan, pengumpulan informasi, serta dengan berkonsultasi kepada ahli di bidang isu tersebut,
negosiator dapat memahami dan mendalami isu yang akan dinegosiasikan (Lewichi et.al, 2003: 97).
Yang kedua adalah menentukan definisi kepentingan sebagai tujuan utama negosiasi. Kepentingan
merupakan hal yang vital karena kepentingan adalah yang mendasari terjadinya negosiasi. Adalah
kepentingan pihak – pihak yang ikut pula mendorong terjadinya negosiasi agar kedua belah pihak dapat
mencapai kepentingan mereka. Menurut Lewichi (2003), kepentingan dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu
dari sudut pandang substantif, process-based, dan relationship-based : “Interest maybe, Substantive, that is,
directly related to the focal issues under negotiations; process-based, that is, related to how the negotiators
behave as they negotiate; relationship-based,that is, tied to the current or desired future relationship
between the parties”. Seorang negosiator harus melakukan analisis terhadap kepentingan pihak lawan untuk
menentukan strategi yang akan digunakan (Lewichi et.al, 2003: 99).
Ketiga adalah mengetahui batas dan menentukan berbagai alternatif. Ini sering dikenal sebagai implementasi
konsep BATNA (Best Alternatives to a Negotiated Agreement). Dengan mengetahui batasan - batasan
pertahanan yang ditoleransi untuk mencapai kepentingan dalam bernegosiasi maka negosiator akan tetap
berada pada tujuannya dan dan terus berusaha mempertahankan tujuan dan kepentingan tersebut hingga
pada batas yang mampu dipertahankan. Namun jika menghadapi keadaan dimana konsistensi atas resistensi
gagal sehingga pencapaian kepentingan menjadi terhambat, maka negosiator harus dengan tanggap
menentukan alternatif yang merupakan langkah perencanaan dan antisipasi agar pencapaian kepentingan
dapat tetap berlangsung.
Selanjutnya adalah mengatur target dan bagaimana melakukan pembukaan dalam tawar-menawar. Target
dalam konteks ini didefinisikan oleh Lewichi (2003) sebagai: “Targets may not be as firm and rigid as
resistance points of alternatives; one might be able to set a general range or a class of several outcomes
that would be equally acceptable”. Sementara penentuan pencapaian solusi yang ideal akan dikaukan di
dalam pembukaan dalam tawar-menawar, sehingga seorang negosiator yang ingn mencapai kepentingannya
harus merencanakannya sebaik mungkin, karena jelas akan mempengaruhi kemungkinan untuk
memenangkan negosiasi. Dengan mengatur target dan melakukan pembukaan dalam tawar menawar,
diharapkan negosiator dapat mempersiapkan proses negosiasi selanjutnya (Lewichi et.al, 2003: 99).
Menganalisa kapabilitas pihak lawan pun penting untuk dilakukan oleh seorang negosiator. Langkah ini
menjadi penting sebab faktanya, negosiator akan mengumpulkan informasi tentang lawan negosiasi untuk
mengetahui posisi lawan. Negosiator akan mencari tahu tentang lawan dalam hal isu, strategi tawarmenawar yang akan digunakan, kepentingan dan kebutuhan, titik resistensi dan alternatif, target, gaya
negosiasi dan reputasi, pihak yang mendukungnya, struktur sosial, serta kewenangan dalam pembuatan
perjanjian. Dengan begitu maka negosiator dapat memperkirakan strategi dan taktik apa yang akan
digunakan lawan (Lewichi et.al, 2003: 104). Selain itu, dengan mengetahui kepabilitas lawan, negosiator
akan dapat memperkirakan langkah dan alternatif apa saja yang akan diambil oleh pihak negosiator.
Kemudian tahap terakhir adalah mengetahui peraturan – peraturan yang ada dalam negosiasi, sebab
peraturan menandakan sekaligus bertindak sebagai sarana agenda yang harus diikuti negosiator, begitu pula
dengan informasi – informasi seperti tempat dan waktu negosiasi, alternatif yang memungkinkan untuk
diambil ketika menghadapi kegagalan negosiasi tanpa melanggar aturan, cara mentaati komitmen terhadap
keputusan yang telah ditetapkan, serta mengetahui indikator keberhasilan sebuah perjanjian yang nantinya
dihasilkan.
Contoh yang paling tepat di dalam proses persiapan dalam negosiasi adalah proses persiapan negara
Palestina dalam melakukan negosiasi di dalam forum Dewan Keamanan PBB pada 31 Desember 2014 lalu.
Seperti yang diketahui bahwa Palestina membawa permasalahan pendudukan Israel di Gaza dan Blok Timur
Palestina kepada Dewan Keamanan PBB dan berupaya untuk melakukan proses negosiasi agar Israel keluar
dari wilayah Palestina. Di dalam tahap persiapannya, Palestina telah melakukan banyak tahap – tahap yang
krusial. Palestina tentu telah mengetahui isu – isu yang akan dibahas di dalam proses negosiasi, dan seperti
yang diketahui bahwa Palestina mengutuk pendudukan Israel yang dianggap mengganggu kedaulatan rakyat
Palestina serta membawa banyak korban di pihak Palestina, dan ini telah berlangsung selama bertahun –
tahun (Lazareva, 2014). Seperti yang dikatakan Mahmoud Abbas sendiri: “Our efforts are not aimed at
isolating Israel or de-legitimizing it; rather we want to gain legitimacy for the cause of the people of
Palestine. We only aim to de-legitimize the settlement activities and the occupation and apartheid and the
logic of ruthless force, and we believe that all the countries of the world stand with us in this regard .” Abbas
mengatakan bahwa pendudukan Israel lah yang dikutuk oleh Palestina, bukan negara Israel itu sendiri.
Disini Abbas sebagai negosiator telah mengetahui isu – isu yang akan dibahas mengenai pendudukan Israel
di Palestina serta posisi yang akan diambil oleh Palestina. Kepentingan yang dibawa oleh Palestina dan
Israel pun sudah jelas terlihat, di mana kepentingan terbesar Palestina adalah penghentian pendudukan israel
serta mengembalikan wilayah yang telah diambil Israel dan pengakuan kemerdekaan Palestina. Israel di sisi
lain membawa kepentingan untuk memperbesar wilayah mereka, dan menganggap bahwa wilayah Palestina
adalah bagian dari Israel, serta menganggap Palestina tidak pernah menjadi negara merdeka. Alternatif yang
dibawa oleh kedua belah juga telah terlihat. setelah kegagalan Palestina dalam negosiasi di dalam Dewan
keamanan PBB, Palestina berencana membawa masalah ini ke International Court of Criminal (ICC).
Sebagai alternatif, Palestina berencana menandatangani Statuta Roma dan secara resmi bergabung menjadi
bagian dari ICC. Ini dilakukan untuk mencapai kepentingan Palestina yaitu kemerdekaan dan pembebasan
dari pendudukan Israel. Palestina sebagai pihak negosiator pun telah menganalisa pihak lawan, yaitu Israel.
Israel yang merupakan negara sekutu dari Amerika Serikat membuat Palestina membuat gerakan mendekati
negara – negara kuat Eropa, dan hasilnya adalah dukungan dari Uni Eropa, Prancis dan Rusia atas Palestina
(Manggala, 2014). Sedangkan Israel sendiri telah menggandeng negara Australia beserta Amerika Serikat
sebagai sekutunya agar kepentingan mereka dapat dipertahankan.
Dari sini dapat dilihat bahwa tahap persiapan dalam sebuah proses negosiasi adalah tahap yang sangat vital.
Dapat dikatakan bahwa di dalam tahap inilah tingkat keberhasilan sebuah negosiasi dibangun. Dengan tahap
persiapan yang matang, negosiasi dapat dilakukan dengan lancar dan memiliki kesempatan dan tingkat
keberhasilan yang tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan di dalam
proses negosiasi, seperti memahami permasalahan yang akan dinegosiasikan, menentukan definisi
kepentingan sebagai tujuan utama negosiasi, mengetahui batas dan menentukan berbagai alternatif,
mengatur target dan bagaimana melakukan pembukaan dalam tawar-menawar dan menganalisa kapabilitas
pihak lawan. Tahap – tahap yang telah ditentukan itu pun seharusnya dilakukan secara keseluruhan, karena
tahap – tahap tersebut sejatinya membangun pondasi awal dari proses negosiasi yang sukses. Layaknya
membangun sebuah rumah, batu bata yang disusun harus sedemikian rupa tanpa boleh ada bagian yang
terlewat, agar rumah tidak roboh.
Penulis berpendapat bahwa jika melihat dari contoh kasus Palestina dan Israel dapat dilihat bagaimana
proses persiapan sangatlah vital. Tahap persiapan kedua negara tersebut sangatlah berguna di dalam proses
negosiasi, mulai dari mengetahui isu, alternatif yang dimiliki hingga mengetahui kekuatan pihak lawan.
Meskipun kemudian Palestina kalah di dalam negosiasi tersebut, Palestina memiliki BATNA yang cukup
baik dengan cara bergabung ke ICC. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika pihak negosiator Palestina tidak
mempersiapkan alternatif tersebut di dalam tahap persiapan negosiasi. Inilah yang kemudian menguatkan
betapa pentingnya tahap persiapan dalam sebuah negosiasi.
Referensi:
Djelantik, S (2008) Diplomasi: Antara Teori dan Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu
Lazareva, I (2014) ‘What failed Palestinian UN statehood bid means’ The Telegraph, 30 Desember 2014
Lewicki, Roy J. et al. 2003. Negotiation: Exercise, Reading, and Cases, New York: McGraw-Hill, ch. 4.
Manggala, Y (2014) ‘Resolusi Gagal, Presiden Palestina Segera Gabung ICC’ Republika, 1 Januari 2015
Wayfarer , Manuel L. (2011) Principled Leadership and Business Diplomacy: Values-Based Strategies for
Management Development. New York: Praeger
Negosiasi dan Diplomasi
Reza Akbar Felayati
071311233075
Tahap Persiapan dalam Negosiasi
Sebagai sebuah jantung di dalam diplomasi, negosiasi menjadi sebuah proses yang vital di dalamnya karena
melalui proses negosiasi lah, diplomasi yang menentukan tercapainya kepentingan suatu pihak terjadi.
Negosiasi yang terdiri dari tahap persiapan, pembangunan, pengumpulan informasi, tawar-menawar,
persetujuan, hinga tahap implementasi atas kesepakatan dan perjanjian yang telah dibuat harus dilakukan
secara runtut atau tersistematis. Ini menjadikan seorang diplomat perlu menguasai proses negosiasi mulai
dari tahap persiapan, strategi apa yang harus digunakan, bahkan hingga bagaimana kita mengatur sikap
Setiap tahap harus dilakukan dengan maksimal agar mampu mencapai kepentingan yang merupakan tujuan
utama dilakukannya negosiasi. Salah satu pondasi negosiasi yang berupa tahap persiapan negosiasi haruslah
dipahami secara sempurna. Dalam bernegosiasi, negosiator memerlukan tahapan – tahapan dari persiapan
hingga perundingan apa yang akan menjadi langkah – langkah dalam melakukan negosiasi.
Dalam tahap persiapan negosiasi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penentuan planning atau
rencana (Djelantik, 2008). Planning atau perencanaan menjadi penting dalam negosiasi karena apabila tidak
mempersiapkan perencanaan dengan baik, dapat menyebabkan kegagalan dalam bernegosiasi. Persiapan
yang baik akan membawa pada keberhasilan negosiasi. Selain itu menentukan tujuan awal juga sangat vital
di dalam proses persiapan negosiasi. Seorang negosiator harus memfokuskan diri pada tujuan apa yang ingin
dicapai dalam negosiasi dan mencari cara terbaik guna mencapai tujuan tersebut. Menurut Roy (2003: 43),
tujuan dibagi menjadi beberapa kategori yaitu substantive goal (uang, barang atau yang lebih spesifik),
intangible goal (menjadi pemenang, memberi saran dan tidak merugi dalam negosiasi) dan procedural goal
(mempercepat negosiasi). Tujuan atau goal harus jelas dan tepat sasaran. Tujuan merupakan sesuatu yang
spesifik dan fokus. Tujuan umumnya bersifat nyata (tangible). Tujuan yang dibuat seringkali mengalami
konflik dengan tujuan dari pihak lain, dan inilah yang nanti akan diselesaikan di dalam proses negosiasi
(Djelantik, 2008).
Setelah melakukan planning atau persiapan dan mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam proses
negosiasi, tahap kedua adalah memilih dan membangun strategi. Dalam istilah bisnis, strategi didefinisikan
sebagai pola atau rencana yang meemadukan aksi menjadi satu kesatuan (Wayfarer, 2011). Dalam negosiasi,
strategi merupakan keseluruhan rencana untuk menyelsaikan satu tujuan dan rangkaian aksi yang
mengarahkan pada tercapainya tujuan tersebut (Djelantik, 2008: 157). Mempersiapkan strategi yang matang
di dalam proses negosiasi juga tidak kalah penting. Contoh – contoh persiapan strategi dalam negosiasi
adalah mengusahakan agar pihak yang bertikai melakukan mediasi, mengusahakan agar pihak yang betikai
mempercayai proses mediasi, mengusahakan adanya kepercayaan kepada mediator diantara pihak yang
bertikai serta mengumpulkan informasi begitu juga dengan menjalin hubungan dan komunikasi yang baik
serta menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang timpang (Roy, 2003).
Dalam tahap persiapan pun, terdapat langkah – langkah yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam rangka
perencanaan. Dalam perencanaan, negosiator harus mengetahui isu – isu yang ada. Dengan mengetahui isu –
isu yang ada dan terjadi diantara pihak yang bertikai, negosiator dapat mementukan langkah selanjutnya.
Selain itu, negosiator mengurutkan isu dari yang penting hingga tidak penting, serta mengetahui kepentingan
di balik isu yang ada. Yang keempat, negosiator dituntut untuk mengathui dengan jelas batasan dan alternatif
lain juka negosiasi tidak berjalan dengan baik. Kelima, menentukan dan menekankan kepentingan (interest)
yang ingin dicapai. Keenam yaitu menentukan kepabilitas dihadapan lawan, dan mengetahui kapabilitas
mereka pula serta yang terkhir adalah merencanakan negosiasi dengan baik (Djelantik, 2008).
Sedangkan Dalam artikel “Negotiation: Strategy and Planning” oleh Roy J. Lewichi (2003), dipaparkan
beberapa tahap dalam persiapan negosiasi. Langkah pertama menurut Lewichi adalah memahami
permasalahan yang akan dinegosiasikan, sehingga dapat mengetahui jenis dan sifat negosiasi yang akan
dilakukan. negosiasi akan bersifat distributif Jika isu yang dinegosiasikan adalah tunggal, sedangkan
negosiasi akan bersifat integratif jika bernegosiasi mengenai isu lebih dari satu. Melalui analisis
kemungkinan, pengumpulan informasi, serta dengan berkonsultasi kepada ahli di bidang isu tersebut,
negosiator dapat memahami dan mendalami isu yang akan dinegosiasikan (Lewichi et.al, 2003: 97).
Yang kedua adalah menentukan definisi kepentingan sebagai tujuan utama negosiasi. Kepentingan
merupakan hal yang vital karena kepentingan adalah yang mendasari terjadinya negosiasi. Adalah
kepentingan pihak – pihak yang ikut pula mendorong terjadinya negosiasi agar kedua belah pihak dapat
mencapai kepentingan mereka. Menurut Lewichi (2003), kepentingan dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu
dari sudut pandang substantif, process-based, dan relationship-based : “Interest maybe, Substantive, that is,
directly related to the focal issues under negotiations; process-based, that is, related to how the negotiators
behave as they negotiate; relationship-based,that is, tied to the current or desired future relationship
between the parties”. Seorang negosiator harus melakukan analisis terhadap kepentingan pihak lawan untuk
menentukan strategi yang akan digunakan (Lewichi et.al, 2003: 99).
Ketiga adalah mengetahui batas dan menentukan berbagai alternatif. Ini sering dikenal sebagai implementasi
konsep BATNA (Best Alternatives to a Negotiated Agreement). Dengan mengetahui batasan - batasan
pertahanan yang ditoleransi untuk mencapai kepentingan dalam bernegosiasi maka negosiator akan tetap
berada pada tujuannya dan dan terus berusaha mempertahankan tujuan dan kepentingan tersebut hingga
pada batas yang mampu dipertahankan. Namun jika menghadapi keadaan dimana konsistensi atas resistensi
gagal sehingga pencapaian kepentingan menjadi terhambat, maka negosiator harus dengan tanggap
menentukan alternatif yang merupakan langkah perencanaan dan antisipasi agar pencapaian kepentingan
dapat tetap berlangsung.
Selanjutnya adalah mengatur target dan bagaimana melakukan pembukaan dalam tawar-menawar. Target
dalam konteks ini didefinisikan oleh Lewichi (2003) sebagai: “Targets may not be as firm and rigid as
resistance points of alternatives; one might be able to set a general range or a class of several outcomes
that would be equally acceptable”. Sementara penentuan pencapaian solusi yang ideal akan dikaukan di
dalam pembukaan dalam tawar-menawar, sehingga seorang negosiator yang ingn mencapai kepentingannya
harus merencanakannya sebaik mungkin, karena jelas akan mempengaruhi kemungkinan untuk
memenangkan negosiasi. Dengan mengatur target dan melakukan pembukaan dalam tawar menawar,
diharapkan negosiator dapat mempersiapkan proses negosiasi selanjutnya (Lewichi et.al, 2003: 99).
Menganalisa kapabilitas pihak lawan pun penting untuk dilakukan oleh seorang negosiator. Langkah ini
menjadi penting sebab faktanya, negosiator akan mengumpulkan informasi tentang lawan negosiasi untuk
mengetahui posisi lawan. Negosiator akan mencari tahu tentang lawan dalam hal isu, strategi tawarmenawar yang akan digunakan, kepentingan dan kebutuhan, titik resistensi dan alternatif, target, gaya
negosiasi dan reputasi, pihak yang mendukungnya, struktur sosial, serta kewenangan dalam pembuatan
perjanjian. Dengan begitu maka negosiator dapat memperkirakan strategi dan taktik apa yang akan
digunakan lawan (Lewichi et.al, 2003: 104). Selain itu, dengan mengetahui kepabilitas lawan, negosiator
akan dapat memperkirakan langkah dan alternatif apa saja yang akan diambil oleh pihak negosiator.
Kemudian tahap terakhir adalah mengetahui peraturan – peraturan yang ada dalam negosiasi, sebab
peraturan menandakan sekaligus bertindak sebagai sarana agenda yang harus diikuti negosiator, begitu pula
dengan informasi – informasi seperti tempat dan waktu negosiasi, alternatif yang memungkinkan untuk
diambil ketika menghadapi kegagalan negosiasi tanpa melanggar aturan, cara mentaati komitmen terhadap
keputusan yang telah ditetapkan, serta mengetahui indikator keberhasilan sebuah perjanjian yang nantinya
dihasilkan.
Contoh yang paling tepat di dalam proses persiapan dalam negosiasi adalah proses persiapan negara
Palestina dalam melakukan negosiasi di dalam forum Dewan Keamanan PBB pada 31 Desember 2014 lalu.
Seperti yang diketahui bahwa Palestina membawa permasalahan pendudukan Israel di Gaza dan Blok Timur
Palestina kepada Dewan Keamanan PBB dan berupaya untuk melakukan proses negosiasi agar Israel keluar
dari wilayah Palestina. Di dalam tahap persiapannya, Palestina telah melakukan banyak tahap – tahap yang
krusial. Palestina tentu telah mengetahui isu – isu yang akan dibahas di dalam proses negosiasi, dan seperti
yang diketahui bahwa Palestina mengutuk pendudukan Israel yang dianggap mengganggu kedaulatan rakyat
Palestina serta membawa banyak korban di pihak Palestina, dan ini telah berlangsung selama bertahun –
tahun (Lazareva, 2014). Seperti yang dikatakan Mahmoud Abbas sendiri: “Our efforts are not aimed at
isolating Israel or de-legitimizing it; rather we want to gain legitimacy for the cause of the people of
Palestine. We only aim to de-legitimize the settlement activities and the occupation and apartheid and the
logic of ruthless force, and we believe that all the countries of the world stand with us in this regard .” Abbas
mengatakan bahwa pendudukan Israel lah yang dikutuk oleh Palestina, bukan negara Israel itu sendiri.
Disini Abbas sebagai negosiator telah mengetahui isu – isu yang akan dibahas mengenai pendudukan Israel
di Palestina serta posisi yang akan diambil oleh Palestina. Kepentingan yang dibawa oleh Palestina dan
Israel pun sudah jelas terlihat, di mana kepentingan terbesar Palestina adalah penghentian pendudukan israel
serta mengembalikan wilayah yang telah diambil Israel dan pengakuan kemerdekaan Palestina. Israel di sisi
lain membawa kepentingan untuk memperbesar wilayah mereka, dan menganggap bahwa wilayah Palestina
adalah bagian dari Israel, serta menganggap Palestina tidak pernah menjadi negara merdeka. Alternatif yang
dibawa oleh kedua belah juga telah terlihat. setelah kegagalan Palestina dalam negosiasi di dalam Dewan
keamanan PBB, Palestina berencana membawa masalah ini ke International Court of Criminal (ICC).
Sebagai alternatif, Palestina berencana menandatangani Statuta Roma dan secara resmi bergabung menjadi
bagian dari ICC. Ini dilakukan untuk mencapai kepentingan Palestina yaitu kemerdekaan dan pembebasan
dari pendudukan Israel. Palestina sebagai pihak negosiator pun telah menganalisa pihak lawan, yaitu Israel.
Israel yang merupakan negara sekutu dari Amerika Serikat membuat Palestina membuat gerakan mendekati
negara – negara kuat Eropa, dan hasilnya adalah dukungan dari Uni Eropa, Prancis dan Rusia atas Palestina
(Manggala, 2014). Sedangkan Israel sendiri telah menggandeng negara Australia beserta Amerika Serikat
sebagai sekutunya agar kepentingan mereka dapat dipertahankan.
Dari sini dapat dilihat bahwa tahap persiapan dalam sebuah proses negosiasi adalah tahap yang sangat vital.
Dapat dikatakan bahwa di dalam tahap inilah tingkat keberhasilan sebuah negosiasi dibangun. Dengan tahap
persiapan yang matang, negosiasi dapat dilakukan dengan lancar dan memiliki kesempatan dan tingkat
keberhasilan yang tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan di dalam
proses negosiasi, seperti memahami permasalahan yang akan dinegosiasikan, menentukan definisi
kepentingan sebagai tujuan utama negosiasi, mengetahui batas dan menentukan berbagai alternatif,
mengatur target dan bagaimana melakukan pembukaan dalam tawar-menawar dan menganalisa kapabilitas
pihak lawan. Tahap – tahap yang telah ditentukan itu pun seharusnya dilakukan secara keseluruhan, karena
tahap – tahap tersebut sejatinya membangun pondasi awal dari proses negosiasi yang sukses. Layaknya
membangun sebuah rumah, batu bata yang disusun harus sedemikian rupa tanpa boleh ada bagian yang
terlewat, agar rumah tidak roboh.
Penulis berpendapat bahwa jika melihat dari contoh kasus Palestina dan Israel dapat dilihat bagaimana
proses persiapan sangatlah vital. Tahap persiapan kedua negara tersebut sangatlah berguna di dalam proses
negosiasi, mulai dari mengetahui isu, alternatif yang dimiliki hingga mengetahui kekuatan pihak lawan.
Meskipun kemudian Palestina kalah di dalam negosiasi tersebut, Palestina memiliki BATNA yang cukup
baik dengan cara bergabung ke ICC. Hal ini tidak akan mungkin terjadi jika pihak negosiator Palestina tidak
mempersiapkan alternatif tersebut di dalam tahap persiapan negosiasi. Inilah yang kemudian menguatkan
betapa pentingnya tahap persiapan dalam sebuah negosiasi.
Referensi:
Djelantik, S (2008) Diplomasi: Antara Teori dan Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu
Lazareva, I (2014) ‘What failed Palestinian UN statehood bid means’ The Telegraph, 30 Desember 2014
Lewicki, Roy J. et al. 2003. Negotiation: Exercise, Reading, and Cases, New York: McGraw-Hill, ch. 4.
Manggala, Y (2014) ‘Resolusi Gagal, Presiden Palestina Segera Gabung ICC’ Republika, 1 Januari 2015
Wayfarer , Manuel L. (2011) Principled Leadership and Business Diplomacy: Values-Based Strategies for
Management Development. New York: Praeger