Representasi Perempuan dalam film Malena

PRESENTASI TEORI FILM FEMINIS

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM MALENA (2000)
Oleh Julita Pratiwi

KATA KUNCI : “The Look” | Voyeurisme | Fetishisms
i. PENDAHULUAN

Perempuan dan Sinema
“Bagaimana sosok perempuan diperlihatkan di dalam sinema?” – pertanyaan inilah yang
melandasi lahirnya tulisan ini. Membicarakan posisi perempuan dalam sinema tentunya tidak
lepas dari bagaimana sosial dan budaya beroperasi selama ini, cara ideologi dominan
memposisikan diri perempuan.
Dalam essay teori film feminis awal yang dirintis oleh Laura Mulvey “Visual Pleasure and
Narrative Cinema”, Mulvey berargumen bahwa adanya dominasi budaya patriarki yang
beroperasi pada kode-kode sinematik dalam sinema naratif. Bagaimana kode sinematik pada
sinema naratif memposisikan perempuan sebagai pusat perhatian di dalam gambar dengan
segenap kode erotisme di dalamnya. Sinema naratif dijadikan alat untuk merepresentasikan
“gambaran perempuan” berdasarkan fantasi laki-laki, perempuan sebagai objek hasrat laki-laki.
Beroperasinya hasrat dalam sinema tentunya tidak lepas dari scopophilia, kenikmatan
dalam melihat yang sudah ada secara natural pada diri manusia. Selain itu, bagaimana situasi

menonton film di bioskop seperti situasi seseorang yang sedang mengintip – voyeurisme,
berada di ruang yang gelap, adanya kesan keintiman, dimana objek “yang dilihat”(dalam hal ini
karakter) yang ada di layar tidak menyadari kehadiran subjek “yang melihat” (penonton).
Beroperasinya siapa yang dilihat dan siapa yang melihat atau dengan kata lain siapa yang
menjadi subjek dan siapa yang diobjekan oleh subjek. Bila kita kaitkan lagi dengan scopophilia,
menjadi siapa yang menikmati dan siapa yang dinikmati.
Dalam konteks posisi perempuan dalam budaya patriarki, “siapa yang menikmati dan
siapa yang dinikmati” dipaparkan oleh Mulvey melalui yang namanya active/male dan
passive/female. Dimana kedua point ini dapat dipahami bahwasanya laki-laki menjadi subjek
yang aktif – perempuan hanyalah objek yang pasif. Tidak lepas dari pandangan budaya patriarki
1

yang menanggapi perempuan sebagai pribadi yang kastrasi, tanpa phallus, menempati posisi
sub dalam kebudayaan. Pribadi perempuan yang kastrasi ini yang membentuk fetishisme –
bagaimana laki-laki menanggapi tubuh perempuan sebagai hal yang indah. Mereka
memperoleh kenikmatan cukup dengan melihat bagian tertentu dalam tubuh perempuan,
entah itu wajah, leher, belahan dada, paha.
Sinema naratif yang dimaksudkan oleh Mulvey ditujukan pada sinema klasik, namun pada
kenyataannya kode sinematik dalam sinema mana-pun tidak akan lepas dari dominasi patriarki
itu sendiri. Maksud dari tulisan ini tak lain adalah ingin mengupas seberapa jauh yang dapat

dilakukan kode sinematik dalam merepresentasikan perempuan, mempertanyakan kembali
apakah sosok perempuan hanya direpresentasikan sebagai objek hasrat laki-laki saja atau ada
hal yang lain.
Malena dirasa menjadi film yang tepat untuk dijadikan objek studi kasus dalam tulisan ini.
Film ini termasuk film kontemporer Italia yang dirilis pada tahun 2000 dan disutradarai oleh
Giuseppe Tornatore. Pada intinya film ini menceritakan tentang seorang wanita bernama
Malena yang hidupnya secara tidak langsung mendapat tekanan dari lingkungan sosialnya dan
kita diperlihatkan sosok Malena melalui sudut pandang laki-laki 13 tahun bernama Renato.
Terdapat dua alasan mengapa Malena dipilih sebagai objek studi kasus pada tulisan ini,
pertama – adanya transformasi “the look” dalam karakter utama perempuan dalam film ini.
Kedua – film ini dipaparkan melalui sudut pandang laki-laki usia 13 tahun yang sedang
mengalami pubertas dan cara ia melihat perempuan yang lebih dewasa dari dirinya. Bagaimana
voyeurism dan fethisisms beroperasi dalam teks. Selain itu, bukan hanya dari sudut pandang
Renato saja, tetapi adanya sudut pandang lain seperti bagaimana kaum laki-laki dan kaum
perempuan kota itu melihat Malena.

ii. PEMBAHASAN

Transformasi “the look” dalam diri Malena


2

“The look” yang dimaksud disini adalah penggambaran sosok karakter di dalam film
yang dikemas melalui kolaborasi antar kode naratif dan kode sinematik. “The look” memiliki
cangkupan yang luas dimulai dari deskripsi fisik karakter, penampilan (kostum dan make up)
karakter, aksi yang dilakukan karakter – dimana lewat aksi ini penonton dapat mengasumsikan
kepribadian karakter.
Malena menjadi tokoh sentral dalam film ini, dimana naratif bergerak mengikuti alur
hidupnya yang kian tidak menentu. Berlatarkan mendekati berakhirnya Perang Dunia II – di kota
kecil Italia, Malena diceritakan sebagai wanita yang cantik dan anggun – dimana begitu banyak
laki-laki di kota itu yang mengaguminya. Keprimadonaan itu pula yang menjadikan Malena buah
bibir masyarakat kota itu. Dibalik kecantikan dan keanggunannya itu, Malena sebenarnya hanya
wanita biasa - istri yang setia menunggu kepulangan suaminya dari medan perang, putri yang
selalu sabar mengurusi ayahnya yang tuli dan sudah tua. Diri Malena yang sederhana itu
dipahami oleh anak laki-laki bernama Renato, yang diam-diam menjadi pengagum rahasianya.
Bukan hanya dari segi naratif, tetapi juga bagaimana kode-kode sinematik dalam film
mencoba merepresentasikan dunia yang di dominasi budaya patriarki di kota itu – dunia yang
seolah-olah berhenti saat Malena berjalan di tengah-tengah mereka. Mise en scene perkotaan
yang dipenuhi hiruk pikuk yang di dominasi laki-laki, mulai dari prajurit militer, anak remaja
sekolah, bapak-bapak tua dengan profesi yang bermacam-macam, dokter gigi, pengacara,

tukang cukur – aksi mereka yang memperlihatkan kesan terpana saat Malena melewati mereka,
semua mata tertuju pada dirinya. Shot bagian tubuh Malena seperti parasnya, rambut
panjangnya, kakinya – dibuat padat, menunjukkan bagian tubuh Malena yang menjadi pusat
perhatian laki-laki di sekitarnya. Editing yang disusun cut to cut antara para laki-laki yang sedang
terpana melihat Malena dan Malena itu sendiri.

3

1.1 The First Look , Malena as Malena

1.2 The Second Look, Malena as Whore (which not Malena)

Transformasi “the look” dalam diri Malena tidak lepas dari penekanan moril yang
diberikan lingkungan sosialnya. “The look” Malena yang dikontruksi oleh masyarakat kota itu –
kaum laki-laki kota itu yang memprimadonakan Malena hanya karena fisiknya yang cantik dan
anggun dan kaum perempuan kota itu yang men-judge Malena sesuka hati mereka, tanpa tahu
menahu pribadi Malena yang sesungguhnya. Selain penekanan moril, faktor lain adalah kondisi
perekonomian Malena dimana setelah kematian ayahnya, tidak adanya sosok yang dapat
menyokong kehidupannya – satu-satunya jalan demi bertahan hidup di kondisi Negara yang
sedang tidak menentu itu ya dengan menjual diri.


Transisi “the look”
1.1The First Look
Malena as Malena

4

Fisik
Bertubuh tinggi, berkulit
putih, berambut hitam
panjang bergelombang,
berparas cantik nan
anggun.

Penampilan
Mengenakan blouse,
dress atau gaun yang
tertutup setiap
berpergian. Dengan
dandanan natural.


Kepribadian
Sosok yang setia
dengan suami, peduli
dengan ayah, sosok
yang tertutup.

1.2 The Second Look
Malena as Whore
(which not Malena)

Berambut pendek sebahu
dan diwarnai merah atau
blonde.

1.3 Back to the First
Look
Malena back as
Malena


Berambut pendek
seleher dan kembali ke
warna hitam.

Mengenakan dress atau
gaun yang lebih ketat
dan terbuka di publik.
Dandanan lebih tebal,
dengan lipstik merah
merona.
Mengenakan blouse
yang santun. Lebam di
matanya hanya tertutup
oleh dandanan yang
natural.

Sosok yang terbuka,
sosok yang seronok.
Terkesan nakal.


Sosok yang lebih kuat,
tabah, sosok yang setia
dengan suami.

Perubahan diri Malena mulai terlihat semenjak ia dikabarkan bahwa suaminya telah
tiada, berita mengenai suaminya yang tiada menggemparkan kaum laki-laki di kota itu, mereka
merayakan status Malena yang sudah menjanda dan berlomba-lomba untuk memenangkan
hatinya. Tak lama setelah itu, Malena kerap difitnah memiliki hubungan gelap dengan dokter
gigi, kemudian hubungannya dengan Captain Ledei-pun menjadi buah pembicaraan. Setelah itu
banyak pihak yang memanfaatkan Malena, mulai dari pengacara yang memanfaatkan
kelemahan Malena dengan menyetubuhinya. Ayah Malena tidak lagi mau menemuinya setelah
tahu berita tentang putrinya yang bukan-bukan.
Perubahan Malena ke “the second look” mulai menemui titiknya setelah ayahnya tiada,
dimana Malena tidak tahu lagi menyandarkan hidupnya kepada siapa – kondisi ekonomi rumah
tangganya yang tidak menentu ditambah perang di negaranya yang belum kunjung usai. Demi
bertahan hidup ia memutuskan untuk menjual dirinya, entah mengapa ia seperti ingin
mewujudkan “label” yang diberikan masyarakat terhadap dirinya. Dengan mengubah
penampilannya di hadapan publik, mengenakan pakaian yang lebih ketat dari biasanya, rambut
dipotong sebahu dan diberi warna, dandanan yang lebih mencolok, merokok di depan publik.
Para laki-laki kota itu menyambutnya dengan baik, tak lama setelah itu Malena sering kali

ditemui bercanda tawa dengan prajurit Jerman di depan publik. Renato sedih melihat “the
second look” pada diri Malena, entah mengapa ia satu-satunya orang yang sadar bahwa hal itu
bukanlah yang Malena inginkan.
Titik maksimal “the second look” Malena terjadi setelah perang usai, para perempuan di
kota itu mulai memberikan sanksi sosial terhadap perbuatan Malena selama ini. Malena yang
5

dianggap sebagai wanita yang paling nista di kota itu, dipukuli, disakiti, dicerca, dipermalukan di
depan publik. Puncak dimana Malena tidak tahu apa yang mesti ia lakukan, tidak ada lagi orang
yang bisa ia sandari, satu-satunya jalan adalah pergi jauh dari tempat itu.

1.3 Back to the First Look - Malena as Malena

“Back to the first look” – dimana Malena mulai kembali menjadi Malena yang dulu.
Perubahan ini terjadi semenjak suami Malena kembali ke dalam pelukannya. Kembalinya
Malena yang dulu dapat dilihat melalui penampilannya dengan blouse yang santun,
dandanannya yang sederhana. Masyarakat kota itu terkejut dengan kembalinya Malena dan
suaminya ke kota, mereka takjub dengan keberanian Malena untuk kembali. Ia terkesan begitu
tabah dalam menemui orang-orang yang telah menyakiti dirinya. Saat Malena ke pasar dan
merespond teguran dari ibu-ibu disitu, lambat laun mereka mulai memahami pribadi Malena

yang sesungguhnya, bahwa ia sebenarnya juga hanya perempuan biasa yang ingin menjadi istri
yang baik untuk suaminya.

Voyeurisme dan Fetishisme dalam film Malena
Bagaimana voyeurisme dan fethisisme beroperasi dalam film Malena? Keduanya
beroperasi secara eksplisit di dalam film dan digerakkan secara langsung melalui sudut pandang
Renato, karakter laki-laki berusia tiga belas tahun yang sedang mengalami pubertas. Renato
jatuh hati pada pandangan pertama dengan Malena, yang awalnya hanya mengagumi, lambat
laun ia terobsesi dan kemudian menjadikan Malena sebagai objek hasratnya – bagamana bagian
6

tubuh Malena dari mulai belahan dadanya, betis kakinya, parasnya selalu terngiang setiap
malam di benaknya. Adanya fethisistic scopophilia dalam diri Malena – bagian tubuh yang
dijadikan sumber kenikmatan oleh Renato.
Entah mengapa ego pada diri Renato menuntut untuk memperoleh kenikmatan tersebut
secara berulang. Ia lalu memutuskan untuk mengintip rumah Malena dan melihat apa yang
Malena lakukan setiap malamnya - ingin mencari tahu dunia Malena yang sifatnya pribadi.
Kegiatan voyeur ini menjadi kebiasaan rutin yang ia lakukan setiap malam.

Dua gambar diatas merupakan salah satu shot yang menunjukkan beroperasinya

fetishisme/voyeurism di dalam film. Kenikmatan yang diperoleh oleh Renato dapat kita lihat
lewat bola matanya yang membesar tiap kali melihat bagian tubuh yang intim milik Malena. Bila
dikaitkan dengan pemahaman voyeurisme dari kacamata spektator, dalam hal ini spektator
seperti merasakan yang namanya voyeurisme di dalam voyeurisme.
Sosok Malena mulai menjadi objek hasrat yang utuh setelah imaji Malena hadir dalam
mimpinya. Dengan mendengarkan Ma L’amore no yang kerap diputarkan Malena setiap malam
dan album poket lukisan nude – Renato melampiaskan hasrat terpendamnya dengan melakukan
masturbasi.

Namun, seiring Renato tumbuh dewasa – adanya perubahan dari cara dirinya
menanggapi sosok Malena. Kebiasaan mengintip Renato bukan sekedar menghasrati diri
7

Malena semata, tetapi ia menjadi tahu pribadi Malena yang sesungguhnya. Bahwasanya ia istri
yang cukup setia menunggu suaminya – di suatu malam Renato melihat Malena berdansa
dengan foto suaminya sambil memutarkan lagu Ma L’amore. Ia putri yang peduli dengan
ayahnya – siang hari ia selalu mengunjungi rumah ayahnya di kota sekedar membuatkannya
makan siang. Hingga perubahan sosok Malena menjadi perempuan “murahan” sekalipun,
Renato tahu bahwa itu bukanlah Malena. Renato menjadi satu-satunya orang yang tetap
respect kepada Malena hingga di titik terendah pada hidup Malena. Ia yang memberi tahu
suami Malena tentang diri Malena yang sesungguhnya, ia menulis bahwa yang bisa masyarakat
lihat hanyalah sisi buruk Malena tidak pernah mau tahu sisi baik yang dimilikinya.
Di akhir, saat Renato melihat Malena telah kembali menjadi sosoknya yang dulu sembari
berjalan berdampingan dengan suaminya di tengah kota – ada perasaan lega yang dirasakan
Renato. Senang mengetahui Malenanya kembali seperti Malena yang dulu ia kagumi. Pada
scene akhir, Renato berhasil berbicara dengan Malena hanya dengan mengatakan “Goodluck
Signora Malena”. Ia mengharapkan kehidupan yang baik untuk Malena ke depan, dan Malena
akan menjadi wanita yang tidak pernah ia lupakan dan dari wanita itu Renato banyak belajar
tentang hidup.

iii. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan Malena termasuk film yang mampu merepresentasikan perempuan
secara lebih jauh, bukan hanya sebagai objek hasrat laki-laki. Walaupun memang dirinya
sebagai objek hasrat menjadi elemen penggerak naratif yang dominan – selebihnya ada nilainilai lain yang dapat dipetik dari diri Malena.
Bagaimana sosok perempuan yang hidup di tengah budaya patriarki. Kehidupan seorang
perempuan di medan perang. Kehidupan perempuan yang tidak punya sosok lain yang dapat
dijadikan sandaran hatinya – sehingga ia menjadi sosok yang tertutup. Kehidupan perempuan
yang mendapat tekanan dari lingkup sosialnya. Bagaimana kecantikan yang dimilikinya menjadi
suatu hal yang justru membunuh dirinya “her beauty is her crime”. Bagaimana seorang

8

perempuan yang telah disiksa, dihina, dicerca, disakiti masih bisa tabah – dan memberanikan
diri untuk kembali ke tempat dimana ia disakiti.
Ada pernyataan yang mesti dibenahi lagi disini, bahwa “her beauty is her crime” tidaklah
cukup, “Although her beauty is her crime, but she learned many things from it” barulah cukup.
Perempuan tidak mesti dieksplorasi dari segi tubuhnya, tetapi eksplorasilah perempuan lebih
jauh melalui hati dan perasaannya.

SUMBER REFERENSI
Tornatore, Giuseppe. 2000. Malena.
Mulvey, Laura. 1975. “Visual Pleasure and Narrative Cinema”. Screen.
Hayward, Susan. 2006. “Voyeurism/Fetishisms”. Cinema Studies the Key Concept Third Edition.
Routledge: New York.

9