Hukum Islam dalam Perspektif Kaum Libera

Hukum Islam dalam Perspektif Kaum Liberal
Nazar Nurdin1

I.

PENDAHULUAN
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7/MunasVII/MUI/11/2005 tentang
keharaman pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama setidaknya
memberi gambaran jelas soal posisi sebagian ulama Indonesia terkait
perkembangan paham tersebut di negara ini. Para ulama merasa kehadiran
paham itu menimbulkan keresahan, hingga MUI mengeluarkan fatwa haram
atas permintaan sebagian masyarakat. Fatwa ini pun diminta untuk dijadikan
pegangan oleh umat Islam di Indonesia.2
Pluralisme, sekularisme dan liberalisme diputuskan dalam sidang
komisi fatwa bertentangan dengan ajaran islam, dan umat islam haram
mengikuti paham tersebut. Umat Islam juga haram mencampuradukkan
aqidah dan ibadah umat Islam dnegan akidah dan ibadah pemeluk agama
lain.3 Begitu kira-kira ketentuan hukum dari fatwa yang telah lahir sudah 10
tahun lalu, hingga kini sebagian orang masih menganggap paham tersebut
masih haram.
Lantas, apakah memang berbahaya jika seorang berfikiran liberal?

Bertolak dari pertanyaan sederhana ini, makalah ingin melihat secara lebih
dalam soal gagasan islam liberal, utamanya dalam pemikiran dalam hukum
Islam. Dalam penulisan memang tidak ditampilkan mengapa sampai
diharamkan, tapi lebih menjelaskan pada dasar dan arah mengapa orang
bisa berfikiran liberal dalam beragama. Bahkan, dalam contoh yang
ditampilkan, terutama pada bagian ketiga, penulis sengaja memasukkan
unsur yang agak sensitif dalam Islam, kaitannya dengan persoalan global,
yakni soal Anjing. Anjing yang sebagai binatang cerdas, ternyata kalah
dihormati daripada kucing. Menurut orang liberal, fobia terhadap Anjing tak
hanya pada Islam, tapi pada tradisi agama lain. Islam mewarisi dari tradisi
masa lalu, hingga diterapkan hingga sekarang.

II. RUMUSAN MASALAH
1 Peneliti Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Mahasiswa
Pascasarjana UIN Semarang, Jawa Tengah
2 Lihat Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme
dan Sekularisme Agama
3 Dalam Fatwa MUI, pluralisme diartikan sebagai paham yang mengajarkan semua
agama sama, karenanya kebenaran agama adalah relatif; pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja benar sedangkan agama yang lain salah,

pluralisme agama menempatkan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga. Sementara pluralitas agama suatu kenyataan di negara ini
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, sementara
liberalisme itu memahami nash-nash agama dengan menggunakan akal pikiran yang
bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran
semata. Sementara memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan
untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia
diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

1. Bagaimana konsepsi, dan sejarah pemikiran hukum islam menurut kaum
liberal?
2. Bagaimana metologi hukum islam kaum liberal, dan apa kategorisasinya
menjadi hingga disebut sebagai muslim liberal?
III. PEMBAHASAN
A. Pemikiran Hukum Islam dan Liberalisme
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Liberal
Kaum liberal4 memandang bahwa kemajuan Islam salah satunya
diwujudkan dengan cara menafsirkan agama. Ada beberapa cara yang
diraih, a) penafsiran islam yang non-literal, subtansial, kontekstual
sesuai konteks peradaban manusia yang terus berubah; b) penafsiran

dengan memisahkan unsur kreasi budaya, dengan nilai-nilai
fundamental, dalam hal ini misalnya berkaitan dengan jilbab, potong
tangan, qishash, jenggot, jubah yang dinilai tidak wajib diikuti karena
ekspresi lokal Islam di Arab;
Kemudian, c) umat Islam harus memandang dirinya sema bagi
umat yang terpisah dari golongan lain, namun berfikir universal yang
dipersatukan oleh prinsip kemanusiaan, termasuk tidak relevannya
kawin beda agama; d) perlu struktur sosial yang memisahkan
kekuasaan politik dan kekuasaan agama, dimana kaum liberal
menempatkan agama sebagai urusan pribadi, sementara pengaturan
kehidupan masyarakat melalui prosedur demokrasi.5
Kehidupan manusia yang terus berubah mengharuskan manusia
untuk terus belajar. Akal manusia merupakan anugerah Tuhan,
sehingga temuan yang dihasilkan melalui akan merupakah anugerah
Tuhan juga. Umat Islam, harus menerima bahwa penafsiran golongan
tertentu paling benar dan mutlak, harus ada kesediaan untuk
menerima sumber kebenaran di luar Islam. Barang kali juga kebenaran
Islam ditemukan dalam Marxisme, maupun temuan ilmu pengetahuan
terbaru. Agama adalah baju, sarana, wasilah, untuk modal penyerahan
diri kepada Yang Maha Benar.6

Selain itu, pemahaman bahwa syariat Islam yang diyakini
sebagai resep untuk menyelesaikan masalah untuk segala zaman
dinilai tidak tepat. Hal itu dianggap wujud ketidaktahuan dan
ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan. Mengajukan syariat Islam
sebagai solusi masalah adalah bentuk kemalasan berfikir, atau lari dari
masalah dengan memakai alasan hukum dari Tuhan. Cara inilah yang
4 Kata Liberal dalam Islam dipahami bukan kebebasan tanpa batas, memakai sikap
permisif atau ibahiyah yang melawan kencederungan intrinsik dalam akal manusia. Islam
liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagaman yang sudah terlembaga.
Dalam Islam, batasan antara yang boleh yang tidak boleh menempati kedudukan sentral,
itulah yang kemudian menjadi fikih. Bahasa kewajiban lebih menonjol ketimbang hak dan
kebebasan manusia. Islam liberal muncul dengan semangat menyeimbangkan neraca
bahasa kewajiban dan kekebasan atau hak ini. Ligat Abd Muqsith Ghozali (eds), Ijtihad
Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005, hlm.
xix. Lihat juga di Nuhrison (eds), Faham-faham Keagamaan Liberal pada Masyarakat
Perkotaan, Jakarta: Puslitbang Keagamaan, 2007, hlm. xvii-xviii.
5 Ulil Abshar Abdalla, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005, hlm. 3-4
6 Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi.. hlm. 6-7

disebut Eskapisme, yang menjadi sumber kemunduran umat Islam.

Perlu diketahui adalah tak ada hukum Tuhan, yang ada hanya sunnah
dan nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Kelompok gerakan liberal sangat menginginkan adanya
pembaruan pemikiran islam, pembaharuan pendidikan, hubungan
agama dan negara, demokrasi, hak-hak kaum perempuan, hak-hak
Non Muslim, kebebasan berfikir dan gagasan kemajuan. Berbagai
tokoh internasional lahir berfikiran liberal, seperti Jamaluddin alAfghani, Ahmad Khan, Mahmoud Muhammad Thoha, Said al-Asmawi,
Ali Abd Raziq, Muhammad Arkoun, Fahmi Huwaidi, Amina Wadud, Ali
Syariati, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, dan
sebagainya. Dalam konteks Indonesia, muncul nama Abdurrahman
Wahid, Nur Cholis Madjid,7 hingga Ulil Abshar-Abdalla, Lutfie AsSyaukani, Abd Muqsith Ghozali dan sebagainya.
Dalam terminologi Charles Khurzman, setidaknya ada sejumlah
tokoh intelektual Muslim yang berfikiran dan mempunyai gagasan
liberal. Dicontohkannya seperti Ali Abd al-Raziq, Muhammad KhalafAllah, Mahmud Taleqani, Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Benazhir
Bhutto, Amina Wadud, Muhammad Shahrour, Hamayun Kabir, Chandra
Muzaffar, Mohamed Talbi, Ali Bulav, Ali Syariati, Yusuf Qardlawi,
Mohamed Arkoun, Abdullahi Ahmed an-Na’im, Abdul Karim-Sourush,
Muhammad Iqbal, Mahmoud Muhammad Taha, Fazlur Rahman, Shabbir
Akhtar hingga Nurcholis Madjid. Namun, nama yang digolongkan itu
tidak mengganggap dirinya sebagai kaum liberal, atau mendukung

aspek ideologi liberal.8
Dalam penelitian Balitbang Keagamaan, setidaknya ada empat
versi Islam liberal, yakni modernisme, universalisme, sosialisme
demokrasi dan neo-modernisme. Mereka semuanya menekankan pada
pemikiran yang berdasarkan rasionalitas dan pembaguan pemikiran
sesuai konteks dunia kekinian. Dalam hal ini, tradisi yang ada di masa
lampau dianggap sebagai interpretasi para ulama yang telah
dilembagakan secara mapan, sehingga jika tidak sesuai dengan
kekinian tidak perlu dipertahankan terus menerus.
Pemikiran yang dikembangkan tokoh liberal ini kerap mendapat
tantangan dari kalangan tradisional hinga revivalis, hingga tidak
sedikit yang dituduh sesat, dan antek Barat untuk menghancurkan
Islam. Namun, penelitian itu menyebut pemikiran liberal yang
disampaikan masih memiliki akar yang kuat dan otentik dalam Islam.
Garis pemikiran mereka bermula dari telaahan Charlez Kurzman
ketika pemilahan tradisi Islam menjadi tiga kategori: customary Islam
atau islam adat, Islam revivalis dan Islam liberalis. 9 Gerakan pemikiran
Islam lliberal muncul dan berkembang melalui media massa yang
7 Nuhrison (eds), Faham-faham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan,
Jakarta: Puslitbang Keagamaan, 2007, hlm. ix-x

8 Isitilah liberal dianggap mempunyai konotasi negatif karena diasosiasikan dengan
dominasi asing, kapitalisme dan mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam.
Liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis, bukan kebenaran interpretasi liberal
terhadap islam. Selengkapnya baca. Chales Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. xiii

menyebarkan gagasan dan penafsiran liberal.10 Salah satu yang
berkembang adalah Jaringan Islam Liberal. JIL ini merupakan lembaga
non pemerintah yang konsen pada bidang pemikiran sosial
keagamaan. Kelahiran utamanya tahun 2001 didorong karena
menguatnya kelompok fundamentalisme Islam, diikuti para laksarlaskar yang mengunakan atribut islam untuk memprovokasi
masyarakat melakukan tindak kekerasan.
Menurut Mahsun, ada beberapa landasan yang digunakan dalam
ketika menggunakan termilologi liberal. 1) membuka pintu ijtihad peda
semua dimensi Islam; 2) mengutamakan semangat religio etik, bukan
makna literal teks; 3) mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka
dan plural; 4) memihak pada
yang minoritas dan tertindas; 5)
meyakini kebebasan beragama; 6) memisahkan otoritas duniawi dan
ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.11

Di kalangan sejarah Islam, beberapa ulama islam juga berfikir
kritis, liberal untuk menyampaikan sebuah pendapat. Ulama Mesir
misalnya, Ali Abdul Raziq yang menilai Muhammad hanyalah rasul dan
juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara. Begitu juga dengan
intelektual Mesir, Khaled Abou el-Fadl yang lantang mengkritik
salafisme dan wahabisme. Dia menilai sumber otoritas hukum Islam,
Qur’an dan hadis, ayatnya banyak yang disitir untuk lepas dari
konteks, untuk memenuhi ambisi modernitas, agar menjadi ideologi
politik. Al-Quran dan Hais akan dapat “ditekuk” sesuai dengan
kehendak penafsirnya. Apalagi ada sejumlah ayat dan hadis cederung
mempunyai sejumlah kemungkinan mempunyai makna yang berbedabeda.
Tafsir terhadap hukum juga dilakukan oleh intelektual Mesir
Fahmi Huwaidy dalam konsep zimi-nya.12 Baginya, konsep dzimmi atau
orang non muslim yamg tidak memusuhi orang Islam yang diberikan
perlindungan dan proteksi politik tidak bisa lagi dianggap warga
9 Lihat pembagian tipologi perbedatan soal Islam, dalam Khuzman (eds), Wacana...
hlm. xv-xvii
10 Nuhrison (eds), Faham-faham... hlm. xix-xx. Gus Dur dalam pengantar buku Ulil,
menegaskan bahwa Ulil adalah seorang santri yang berpendapat kemerdekaan berfikir
adalah keniscayaan dalam Islam, ia percaya pada batas-batas kemerdekaan itu, dan

tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan. Bagi Gus Dur, selama Ulil percaya pada ayat
dalam kitab Suci al-Quran dan tdak ada yang abadi kecuali kehadiran Tuhan dan yakin
kebenaran Tauhid, ia adalah seorang Muslim. Seorang muslim yang menyatakan Ulil anti
Muslim akan terkena sabda nabi, barnag siapa yang mengkafirkan saudara yang
beragama Islam, justru ialah yang kafir. Baca Abdurrahman Wahid, “Ulil dengan
Liberalismenya”, dalam Ulil Abshar Abdalla, Menjadi... hlm. xiv
11 Baca Maksun, Islam, Sekularisme dan JIL, Semarang: Walisongo Press, 2009,
hlm. 41-43
12 Kaum Zimi adalah kaum yang hidup dalam pemerintahan Islam yang dilindungi
keamanan dan hiduoynya dan dibebaskan darii kewajiban militer dan zakat, namun
diwajibkan membayar pajak (jizyah). Pengertian Zimi ini dipahami persis seperti yang
berlaku di dalam zaman penaklukan wilayah besar-besaran oleh pemerintahan politik
Islam. Ketika terjadi penaklukan itu, kaum non muslim diberi alternatif, memeluk Islam
atau tetap dalam agamanya dan rela hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam
yang menaklukkannya. Baca Hamka Haz, “Konsep Zimi dalam Islam” dalam Lutfi
Assyaukani (peny), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002, hlm. 60.

negara kelas dua. Hubungan antara orang Islam dan non Islam dalam
konsep zimi sudah tidak lagi relevan karena konsep kewarganegaraan
suatu negara umumnya tidak menggunakan dasar agama melainkan

oleh prinsip kesatuan nasional. Menurut Hamka Haq, konsep zimi yang
melindungi non muslim dalam kelas berbeda tidak berlaku pada
zaman Nabi ketika memimpin Madinah, kaerna kaum non muslim turut
serta sebagai warga negara yang sama kedudukannya dengan kaum
muslim, kedudukannya bukan hasil dari proses penaklukan wilayah.
Ketika dikontekskan dengan Indonesia, yang sebelumnya dijajah
Belanda, Inggris dan Jepang, umat islam dan non muslim sama–sama
berjuang memerdekakan bangsa. Kasus non muslim di Indonesia
dinilai sama dengan proses pendirian Madinah, ketika Muhammad
menjadikannya sebagai “negara madani,” atau semuanya warga
negara dalam kedudukan yang sama. Mereka yang membayar pajak
untuk negara, bukan sebagai imbalan atas perlindungan negara, tapi
bentuk kesadaran bersama membangun sebuah negara. Karenanya,
konsep zimi tidak sepenuhnya berlaku di negara ini. 13
2. Belajar Pemikiran Liberalisme dalam Islam
Di kalangan kaum liberal, teks keagamaan bersifat terbuka dan
dinamis. Mereka menempatkan agama sebagai bagian dari budaya
dan peradaban umat manusia. Kaum liberal dalam pandangan umum
menempatkan hubungan dialogis yang setara antara nalar akal dan
nalar agama. Kelompok ini menganut paradigma rasional dan sekuler.

Rasional berarti menempatkan akal dan agama secara dialogis,
sementara sekuler memisahkan persoalan agama dan non agama
secara proporsional.
Paradigma islam liberal bisa dilihat dari beragam aspek,
terutama pada pola penafsiran yang selalu menenaknakn substantif,
kontekstual, dan rasional. Pola penafsiran ini menjadi acuan dalam
merespon problem keagamaan, sosial-budaya, dan politik, baik lokal
maupun global. Kelompok ini hendak menegasikan diri siap
berhadapan dengan dinamika peradaban global, dibanding kelompok
yang menentangnya. Mereka hendak menghadirkan Islam sebagai
agama yang mampu merespon isu-isu universal kemanusiaan dan
tantangan peradaban global. Namun, liberalisme keagamaan bukan
berarti kebebasan untuk memakai atau membuang agama, bukan juga
membebaskan manusia dari wahyu Tuhan.
Dalam konteks Islam, liberalisme Islam tidak jauh berbeda
dengan ideologi lainnya, karena sama-sama meyakini Tuhan dan
Rasul, meyakini Quran dan sunnah sebagai doktrin keagamaan. Yang
membedakan adalah interpretasi teks keagamaan yang dilakukan
agamawan atau kelompok tertentu. Dalam interpretasi ini, liberalisme
setidaknya mempunyai tiga makna utama, yakni corak substantif atau
tidak memahami ajaran agama sebatas nalar skriptif atau catatan
teks, lebih pada makna substansial; kontekstual sesuai latar yang
melatarbelakanginya; dan rasional. Ketiga itu menjadi ciri dari
13 Luthfi Asyyaukani, Wajah... hlm. 62

liberalisme Islam. Jika seorang melakukan interpretasi teks keagamaan
dengan pola tiga corak itu berarti telah memasukkan unsur liberalistik
dalam penafsiran.14
Kritik kaum liberal, terutama pada pemahaman umat Islam
ketika belajar Islam, adalah lebih banyak belajar soal ayat-ayat hukum,
sehingga tidak jarang, al-Quran direduksi sebagai suatu qanun yang
memuat halal-haram. Cara belajar dan berfikir semacam itu acap
mereduksi, dan mendangkalkan perspektif soal kita suci. Ayat hukum
hanya kurang lebih 200 ayat dalam al-Qur’an. Fikih harus dipilah
menjadi tiga level, yakni bidang publik, atau dalam fikih muamalah,
bukan ketentuan yang mengikat; bidang privat, atau akhwal alsyahsiyyah; dan bidang ritual atau ibadah. 15 Bagaimana memahami
peranan fikih saat ini?
Kembali ke dalam definisi fikih, yakni pengetahuan tentang
hukum syara’ yang bersifat amaliah atau praktis, dan hukum-hukum
itu diderivasikan dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sementara hukum
adalah ujaran Allah yang berkaitan dengan seluruh tindakan orangorang mukallaf baik yang bersidat tuntutan atau pembiaran. Definisi
fikih mewakili kesaran moral pra modern atau bergantung dari luar diri
sendiri.
Contoh misalnya pandangan liberalisme misalnya wacana yang
disampaikan Masdar Farid Masudi soal haji. Para ulama dinilai kurang
memahami maksud ayat al-Baqoroh ayat 197 tentang waktu berhaji.
Bagi dia, ayat itu menunjukkan arti waktu haji berbulan-bulan, bukan
terbatas pada lima hari pada bulan Dzulhijjah, bulan yang ditunjuk
adalah
Syawal,
Dzulkaidah
dan
Dzulhijjah.
Namun
ulama
menyederhanakan lima hari dengan berpegang pada hadis khudzu
‘anni manasikakum. Nabi sendiri, kata Masdar hanya berhaji sekali
seumur hidup, sehingga diandaikannya jika nabi mempunyai umur
panjang, pasti akan melaksanakan haji di hari lain dalam rentang
waktu tiga bulan tersebut.
Dalam hal zakat, yang itu adalah pembelaan Islam untuk kaum
miskin ditempatkan secara baik. Baginya, zakat adalah sama dengan
pajak. Atau pajak yang dibayarkan adalah pola zakat modern. Pajak
adalah formalnya, sementara zakat adalah esensinya. Kelemahan
dalam konsep pajak harus dilengkapi dengan zakat, karena pajak
dalam posisi lemah membela kaum lemah, lebih memberikan privilage
bagi yang membayar pajak yang besar. Zakat dalam instrumen
modern harus digunakan sebagai alat mengontrol pemerintah.
Dalam konteks penerapan syariat Islam, kaum liberal
memandang tidak ada standar dan prosedur baku untuk bisa
digunakan sebagai model. Ketika Abu bakar memerangi orang muslim
kaya yang tidak mau membayar zakat, tidak didukung oleh sahabat
besar lainnya, termasuk Umar dan Ali. Hal itulah yang dinilai tidak

14 Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia, Jakarta: Kompas, 2011, hlm.
xxiv-xxv dan 16-19
15 Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi... hlm 16-17

memberi penegasan separa spesifik dan aplikatif. Hal yang tak baku
juga terjadi dalam pemilihan seorang pemimpin.
Kendati begitu, kritik yang disampaikan Bahtiar Effendi soal
Islam liberal agaknya bisa diterima. Bahwa, sebebapa jauh batas hasil
dari kelompok liberal dianggap sebagai bagian ijtihad yang damai.
Ijtihad yang dibuat mereka jarang yang dibuat sama (ijma’) kecuali
pada persoalan yang sudah memiliki rujukan nash yang sudah pasti.
Kecenderungan lain, kelompok liberal kerap menempatkan diri dalam
wacana keagamaan yang kurang didukung fakta empiris mayoritas
umat Islam.16
Penggunaan rasio yang berlebih pada konsep agama misalnya
soal surga dan neraka tidak bisa memberi gambaran kebenaran.
Logika berfikir yang dibentuk oleh akal belum bisa menafsirkan
problem-problem eksatologi laiknya penciptaan langit dan bumi
dengan satu hari. Sampai di mana letak kekuatan akal manusia
menafsirkan itu? Nalar yang hanya bertumpu pada logika dinilai tidak
saja memberi solusi yang lebih positif di tengah masyarakat.
Kurzman juga mengkritik para pemikir liberal saat ini salah,
karena banyak mengadopsi perpektif orientalis dan menyebut Islam
sebagai yang terbelakang dan tidak menyelamatkan. Kebanyakan
kaum liberal pada periode modernis jauh lebih protektif terhadap
agama dan kebudayaan Islam, dibanding apa yang dituduhkan pada
mereka. Mestinya, tujuan akhir bukanlah menyingkirkan Islam, tapi
untuk mengaktualkannya kembali.17
B. Metodologi Hukum Kaum Liberal
1. Metologi Hukum
Para kaum liberal, terutama di Jakarta semisal Abdul Muqsith
Ghozali merumuskan tersendiri metodologi ketika melakukan
penafsiran pada sumber Islam. Penyusunan metodologi serta kaidahkaidah lama perlu diingatkan kembali soal teks dan konteks. Misalkan,
apakah dibalik teks yang ditafsirkan itu memiliki prinsip maqasid
syariah.18
Ada tiga point utama mengapa metodologi tafsir klasik perlu
dikritik. Antara lain, metodologi lama terlalu memandang rendah
kemampuan akal publik, serta menganulir ketentuan legal-formalistik
menjadi tidak relevan; metodologi lama kurang hirau terhadap
kemampuan manusia merumuskan konsep kemashlahatan, manusia
dinilai tak memiliki reputasi dan kedudukan dalam ushul fiqh klasik,
kecuali
sebagai
sasaran
hukum;
metodologi
lama
terlalu
mengagungkan teks dan menggabaikan realitas, ruang ijtihad juga
selalu terarah dalam koridor teks.
Maka dari itu, ada beberapa tawaran kaidah ushul yang
ditawarkan yang disesuaikan dengan dunia modern. Tawaran itu
16 Bahtiar Effendi, “Islam Liberal dalam Arus Pemikiran Global” dalam Halid Alkaf,
Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia, Jakarta: Kompas, 2011, hlm xix
17 Carlez Kurzman, Wacana..., hlm. xxvii.
18 Lihat Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT
Gramedia Utama, 2009, hlm 139-141

berupaya merekonstruksi kaidah-kaidah lama, diyakini akan lebih
bernilai solutif bagi problem kemanusiaan. Tawaran kaidah itu ada tiga
macam, yakni:
a. Al-‘Ibrah bi al-Maqasid la bi al-Alfadz
b. Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah
c. Tanqih al-Nushus bi ‘Aql al-Mujtama’ Yajuzu 19
Kaidah pertama, tentang Al-‘Ibrah bi al-Maqasid la bi al-Alfadz
bertolak dari kaidah lama al-‘Ibrah bi Khusush al-Sabab la bi ‘Umum
al-Lafadz. Pertimbangan utama yang mesti jadi perhatian adalah
keumumam lafadz, bukan khususnya sebab. Sebab, jika nash
menggunakan redaksi umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nash tersebut, sekalipun nash hadir merespon peristiwa
khusus. Menurut Muqsith, ketika memasrahkan pada keumuman
lafadz (al-taslim bi ‘umum al-lafadz) hanya akan menyebabkan
terjebak pada kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah allughawiyah).
Kaidah lama juga dipandang terlalu berkonsentrasi dan bergerak
pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul.
Implikasinya, pengguna kaidah terjebak pada kenaifan, semakin
harfiah membaca, maka ia dekat pada kebenaran. Secara kebahasaan,
kaidah lama yang memuat isitilah amm-khas, muthlaq-muqayyad,
mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabbih, qath’i-dhanniy merupakan
upaya menegakkan otoritas teks. Analisis pada kaidah itu dinilai hanya
berhenti pada konteks linguistik, dan tak sampai pada kebenaran
hakiki sebagai maksud diturunkannya syariat islam. Kaidah baru yang
diusulkan analisa tidak hanya pada struktur kalimat, tapi fondasional
berupaa analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi
kehadiran teks.
Kaidah kedua, Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah lebih
menitikberatkan pada masalah ketika terjadi pertentangan antara teks
dan masalah yang mesti dimenangkan. Pada umumnya, ulama fikih
lebih memenangkan nash. Menurut Muqsith, sebagaimana pendapat
Najmudin at-Thufi, tidak akan jadi pertentangan antara nash dan
maslahah karena yang disampaikan nash adalah kemaslahatan itu
sendiri, sementara kemaslahatan yang diimpikan manusia bersifat
semu dan relatif. Kemaslahatan dari Tuhan, hakiki dan objektif,
manusia tidak mempunyai kewenangan untuk mempertanyakan dan
menggugat. Namun, bagi kaum liberal, maslahat memiliki otoritas
menentukan untuk menganulir teks suci, itulah yang kemudian disebut
naskh al-nushush bi al-mashlahah. Kemaslahatan sebagai spirit teks
Quran bisa sebagai mengontrol balik dari keberadaan teks dengan
menganulir teks. Dengan cara itu, kemaslahatan akan selalu berkreasi
untuk
memproduksi
formulasi
teks
keagamaan
di
tengah
kegamanangan teks keagamaan yang lama.
19 Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodologi,,, hlm. 152, 160, dan 166. Lihat juga
tulisan
Muqsith
Ghazali,
“Membangun
Ushul
Fiqih
Alternatif”
dalam
http://islamlib.com/kajian/fikih/membangun-ushul-fikih-alternatif/ diakses pada Kamis, 26
November 2015

Sementara kaidah Tanqih al-Nushus bi ‘Aql al-Mujtama’ Yajuzu
hendak menyatakan akal publik memiliki kewenangan untuk menyortir
ketentuan partikular agama menyangkut perkara publik. Sehingga
ketika terjadi pertentangan antara teks dan akal, akal publik
mempunyai otoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan
memodifikasinya. Hal itu misalnya bisa dilakukan untuk ayat-ayat
uqubat, hudud, qishash, waris dan sebagainya. Ketentuan hukuman
tersebut dalam dunia modern dinilai tidak bisa menyelesaikan
masalah kemanusiaan. Akal publik menurut kaum liberal harus diberi
posisi penting, dan tidak cukup diperlakukan sebagai pengelola dan
alat penafsir teks. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral
intelektual untuk melakukan tanqih ayat-ayat yang problematik dalam
implementasinya di lapangan.20
2. Ketgorisasi Islam Liberal
Islam liberal sejak abad 19 mulai membedakan peran dari
revivalisme, baik secara intelektual dan institusional. Islam liberal
sudah mulai memisahkan ijtihad dari taklid, akal dari otoritas. Banyak
tokoh mulai dengan ini misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1987),
Sayyid Ahmad Khan (India, 1817-1898), Muhammad Abduh (19401905). Taklid menjadi tidak populer di kalangan kaum liberal. Lantas
seberapa jauh pemeikiran kaum Muslim liberal dilihat dari sudut
pandangan tradisi Islam?
Kurzman mengatakan, setidaknya ada tiga bentuk utama islam
liberal, yang melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber
Islam: Qur’an, Sunnah. Pertama, adalah sikap liberal sebagai sesuatu
yang secara eksplisit didukung oleh syariah; kedua, kaum Muslim
bebas mengadopsi sikap lliberal dalam hal ang oleh syariah dbiarkan
terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia;
ketiga syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi penahsiran manusia
yang beragam. Corak yang dibaginya itu disebut syariah liberal. 21
Seperti yang dikategorikan di atas, mereka yang bercorak liberal
sebagaimana penggolongan Kurzman adalah sebagai berikut:
a. Mereka yang secara khusus besikap oposan terhadap revivalis
islam
b. Mereka yang percaya Islam memiliki epran penting dalam dunia
kontemporere sebagai lawan dari sekularis,
c. Mempunyai karya yang dibaca secara luas baik di dalam maupun di
luar negara masing-masing
d. Memawakili seluruh dunia islam secara geografis
e. Mewakili berbagai faham islam liberal secara ideologis, serta
f. Mewakili periode kontemporor dilihat secara temporer. 22
Mereka yang telah dianggap sebagai liberal menggaungkan
gagasan misalnya soal pertentangan teokrasi, demokrasi, hak-hak
kaum perempuan, hak-hak non muslim, kebebasan berfikir, serta
gagasan untuk kemajuan. Sekali lagi bahwa liberalisme Islam tidak
20 Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodologi,,, hlm. 169
21 Kurzman, Wacana... hlm. xxxiii
22 Kurzman, Wacana... hlm. xlii

jauh berbeda dengan ideologi lainnya, karena sama-sama meyakini
Tuhan dan Rasul, meyakini Quran dan sunnah sebagai doktrin
keagamaan.
Yang membedakan adalah interpretasi teks keagamaan yang
dilakukan agamawan atau kelompok tertentu. Dalam interpretasi ini,
liberalisme setidaknya mempunyai tiga makna utama, yakni corak
substantif atau tidak memahami ajaran agama sebatas nalar skriptif
atau catatan teks, lebih pada makna substansial; kontekstual sesuai
latar yang melatarbelakanginya; dan rasional. Ketiga itu menjadi ciri
dari liberalisme Islam. Jika seorang melakukan interpretasi teks
keagamaan dengan pola tiga corak itu berarti telah memasukkan
unsur liberalistik dalam penafsiran. 23
C. Contoh Hukum
1. Anjing Dalam Islam
Anjing dianggap sebagai binatang najis. Hanya orang Tionghoa
dan non muslim yang memiliki Anjing, sementara umat Islam rata-rata
tidak mempunya Anjing, apalagi orang Muslim di pedesaan. Ketika
menginjak kotoran Anjing, masyarakat bukan main takutnya, karena
harus mencari air dan membasuhnya selama tujuh kali, salah satunya
dicampuri dengan tanah. Demikianlah secara budaya Anjing
dipersepsikan sebagai binatang kotor, mendekati saja tidak boleh.
Apa alasan umat Islam memandang najis sebagai binatang kotor
dan najis? Apa alasannya, serta apakah hanya islam saja yang
mengangap Anjing itu binatang kotor? Hal ini tentu berbeda ketika
Anjing dalam dunia modern sudah berevolusi menjadi binatang
cerdas? Bagaimana umat Islam saat ini memandang Anjing? 24
Ada sebuah cerita ketika orang buta di Kanada bernama Bruce
Gilmor yang selalu membawa Anjing menjadi petunjuk jalan. Suatu
ketika, ketika hendak menaiki taksi, taksinya tidak berhenti karena
Bruce membawa Anjing. Sopir taksi beragama muslim itu menanggap
Anjing binatang kotor dan najis. Bruce tidak terima kemudian
mengadukan ke pengadilan, hingga ia dimenangkan pada tahun 2007
dengan kompensasi 2500 dollar. Hal sama juga terjadi pada penduduk
yang buta lainnya, Mike Simmonds.
Dalam persepsi masyarakat barat, umat Islam mengidap
penyakit canine-phobia atau ketakutan pada Anjing. Hal itu tidak
sesuai dengan kultur barat yang gemar memelihara Anjing yang
dianggap sebagai men’s best friend.
Kenapa itu semua terjadi pada umat Islam di Indonesia. Menurut
Ulil,
karena mayoritas warga menganut madzhab Syafii. Madzhab
itu bersama madzhab Hanbali dikenal “takut” pada Anjing ketimbang
madzhab lain. Dalam Syafii, Anjing dianggap sebagai binatang yang
ada pada dirinya (fi tzatihi) kotor dan najis, hal berbeda berlaku pada
23 Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia, Jakarta: Kompas, 2011, hlm.
xxiv-xxv dan 16-19
24 Lihat tulisan Ulil Abshar Abdalla, “Anjing dalam Islam” dalam
http://islamlib.com/gagasan/Anjing/Anjing-dalam-islam/ dilihat pada Senin, 23 November
2015

madzhab Maliki dan Mazhab Zahiri yang tidak memandang Anjing
sebagai binatang kotor.25
Jika merujuk pada hadis misalnya, memang ada pembenaran
terutama hadis dari Abu Hurairah yang menyebut, “memelihara Anjing
bisa mengurangi timbangan amal baik seberat satu kirat (dalam
riwayat lain, dua kirat).” Memelihara Anjing diperbolehkan ketika
Anjing untuk memelihara ternak, atau kebun. Jika ditarik dalam
konteks dewasa ini, mengapa sampai sekarang orang sangat takut
pada Anjing, salah satunya karena ada alam bawah sadar yang
meyakini atau dibentuk oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
Hadis itu memerintahkan agar membunuh setiap Anjing yang
berkeliaran di Madinah. Belakangan nabi mengoreksi, hanya Anjing
hitam (al-aswad al-bahim) yang harus dibunuh, sebab Anjing hitam
dianggap sebagai reinkarnasi setan.
Soal Anjing hitam ini kemudian diporet Barbara Allen Woods
dalam bukunya, The Devil in Dog Form (1959) terdapat mitos
tersendiri. Bahwa, mitos Anjing hitam sebagai penjelmaan setan bukan
khas Islam, melainkan sudah menjadi warisan tradisi mitos kuno. 26
Apalagi ada hadist lain, menyebut Malaikat tak akan masuk
rumah dimana rumah itu terdapat Anjing atau gambarnya. Bagi
masyarakat, pengertian itu kerap dimaknai sebagai malaikat yang
membawa rizki, ketika memelihara Anjing akan membuat jauh dari
rejeki. Jika benar, tentu keadaan pemelihara Anjing miskin semua,
namun kenyataan mereka rata-rata orang hidup berkecukupan. Ulil
menduga tradisi malaikat masuk rumah berasal dari Yahudi Rabbinik.
Memelihara Anjing bukan sebatas memelihara pet animal, tapi
berkaitan dengan persepsi umat Islam tentang Barat dan
peradabannya. Islam mengangap anti Anjing, barat pro dengan Anjing.
Bukan khas islam
Tradisi menajiskan Anjing ditengarai bukan dari ajaran Islam.
Yahudi dan Kristen juga serupa. Yahudi dan Kristen menilai Anjing
dibentuk melalui stetemen teologis dalam kitab kejadian I:28. Manusia
dipandang sebagai Tuhan yang berkuasa atas alam, hingga alam
menjadi sasaran eksploitasi. Islam juga menggunakan konsep itu
dengan mengambil istilah “sahhara” yang intinya, menaklukkan yang
ada di sekitarnya. Binatang Anjing diposisikan sebagai objek
eksploitasi.
Dalam pandangan Yahudi, terutama dalam kitab Torah, Anjing
disebut secara negatif. Bahkan tradisi Rabbinik menyebut memelihara
Anjing akan menjauhkan kasih sayang kepada Tuhan. Atau rasa takut
kepada tuhan akan hilang dari hati para pemelihara Anjing. 27 Ulil
25 Lihat tulisan Ulil Abshar Abdalla, “Muslim dan Cannie-Phobia” dalam
http://islamlib.com/gagasan/Anjing/Anjing-dalam-islam-1/
dilihat
pada
Senin,
23
November 2015
26 “Muslim dan Cannie-Phobia”...
27 Ulil Abshar Abdalla, “Pandangan Agama-Agama Semitik Terhadap Anjing” dalam
http://islamlib.com/gagasan/Anjing/Anjing-dalam-islam-2/
dilihat
pada
Senin,
23

menilai ada tradisi rabbinik dalam perspektif Islam mengenai Anjing.
Tradisi rabbinik menyebut kebiasaan memelihara Anjing adalah
mereka orang yang tak disunat, kaum gentile, dan orang-orang nonYahudi. Dalam bahasa al-Qur’an disebut ummiyun. Dalam agama
Kristen, Anjing juga dipersepsikan sebagai hal negatif, terutama mitos
orang yang berkepala Anjing. Mitos Anjing dipersepsikan sebagai suatu
yang jahat.
Pandangan terhadap Anjing dianggap aneh, sebab dalam tradisi
agama semitik, dalam hal ini Yahudi, Kristen dan Islam lahir dalam
masyarakat agraris, yang mana kebutuhan Anjing justru menolong
petani dan peternak. Dalam agama Zoroaster, Anjing dinilai cerdas,
karena negara Mesopotomia maju karena peradaban agraris dengan
bantuan Anjing. Agamapun memandang Anjing tidak jelas, dibenci,
juga sebagai penolong. Anjing ada di wilayah perbatasan binatang
cerdas dan binatang yang bodoh, sehingga membangkitkan rasa takut
warga.
Namun, dalam dunia modern, kebutuhan Anjing menjadi urgen,
terutama adanya modernisasi di Barat. Anjing menjadi obat di tengah
kehidupan mereka yang serba individual. Ulil menilai fobia pada Anjing
bukan khas dari Islam, bias itu telah terjadi pada agama sebelumnya,
Islam mewarisi tradisi itu.
Anjing di mata ulama Fiqh
Fikih adalah teologinya umat islam, karena membentuk model
beragama. Ulama fikih juga berbeda pendapat soal keharaman Anjing
ini, serta apakah najis atau tidak. Dasar dari rujukan ulama tentunya
salah satunya hadis, yang dalam hal ini riwayat dari Abu Hurairah,
“Jika wadah dijilat Anjing, maka ia harus dicuci sebanyak tujuh kali,
salah satunya dengan tanah.” Ini merupakan salah satu dasar
mengapa Anjing dinilai najis dan haram. Bahkan, dalam penjelasan
lain, ulama dari kalangan Syafii, al-Khatib al-Muhtaj (w.1570) dalam
Mughni al-Muhtaj, “Mulut adalah bagian dari tubuh Anjing yang paling
bersih. Bahkan, Anjing adalah binatang dengan mulut yang tidak
berbau, karena kerap menjulurkan lidah. Jika mulutnya mengeluarkan
air lidah yang kotor, apalagi pada bagian tubuh lain. Ini teori hukum
mafhum aula, diibaratkan mengantuk saja dilarang, apalagi tidur, atau
mendekati zina saja dilarang, apalagi sampai melakukan.
Ulama lain berbeda pendapat, mengenai jilatan Anjing. Ulama
dari Maliki dan Zahiri mengambil posisi adanya perintah untuk
membersihkan gelas ketika dijilat Anjing, bukan Anjing sebagai barang
yang kotor. Ibn Hazm misalnya, “jika perintah mencuci tujuh kali
adalah perintah Anjing kotor, maka perintah memandikan mayat
manusia yang dilakukan beberapa kali menandakan tubuh manusia
dalam keadaan kotor, padahal tidak ada yang berpendapat tubuh
November 2015. Dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah, yang menceritakan bahwa Nabi
kesal karena Malaikat Jibril batal datang memberi wahyu. Setelah diusut, ternyata ada
anak Anjing yang bersembungi di bawah tempat tidur Nabi.

manusia najis dan kotor. Ibnu Hazm menilai ada kesalahan berfikir dari
pandangan ulama yang menganggap Anjing binatang kotor.
Dari sinilah, ada pandangan yang mengetengahkan bahwa
hadist soal Anjing itu bermaksud agar manusia berhati-hati dengan air
liur Anjing, sebab disanalah bakteri ditularkan. Bilangan mencuci tidak
harus dilakukan secara harfiah, melainkan cukup dijadikan perintah
untuk berhati-hati.28 Hadis mencuci tujuh kali juga ada bermacam
versi, ada tujuh kali, lima kali, tiga kali dan hanya sekali saja. Bilangan
tujuh kali bukan harga mati. Bahwa najis sebagai binatang kotor, najis
hanya tafsir dari ahli hukum Islam, dan tidak semua menyetujui tafsir
itu. Dengan demikian, fobia Anjing sama sekali tidak ada dasarnya
dalam tradisi dan sumber otentik dalam Islam.
Sama halnya dengan pendapat dari Mu’tazilah, al-Nazzam, yang
dikenal sebagai sosok berfikir rasional. Dia semasa dengan Imam
Syafii. Dia tidak percaya hadis yang memuji Kucing, di sisi lain
menistakan Anjing, terutama dari riwayat hadis Kabsyah dari Ansar
dari suami Abu Qatadah. Kucing sebagai binatang dekat manusia,
sementara Anjing sebagai binatang yang dibunuh. Menurut Al-Nazzam,
keahlian Kucing itu adalah menangkap Tikus (jika ditambah-kadang
Tikusnya berhasil kabur), sementara keahlian Anjing sangat banyak.
Kucing juga suka memangsa tikus, kalajengking, kecoa, kadal, segala
macam serangga, atau makanan yang kotor dan menjijikan. Jika
Kucing diaggap lebih unggul dari Anjing itu tidak diterima secara akal
sehat, dan hadis yang mengunggulkan itu harus ditolak. Ulil menilai AlNazzam jengkel karena di zamannya sentimen anti Anjing dijustifikasi
dengan hadis.29
IV. SIMPULAN
Dari pembahasan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan mendasar
terkait masalah yang disebutkan.
1. Pemikiran hukum liberal sebetulnya telah tumbuh dan ada sejak
penafsiran terhadap Islam itu muncul. Mereka yang berfikir liberal
menganggap jika Islam maju, maka harus diwujudkan dengan cara
menafsirkan agama. Kelompok ini menginginkan adanya pembaruan
pemikiran islam, pembaharuan pendidikan, hubungan agama dan
negara, demokrasi, hak-hak kaum perempuan, hak-hak Non Muslim,
kebebasan berfikir dan gagasan kemajuan. Di Indonesia, nama
Abdurrahman Wahid, Nur Cholis Madjid, 30 hingga Ulil Abshar-Abdalla,
Lutfie As-Syaukani, Abd Muqsith Ghozali, muncul sebagai tokoh liberal.
Mereka sangat mengandalkan rasio dalam menafsirkan teks agama

28 Baca, Ulil Abshar Abdalla, “Anjing di Mata Ulama” dilihat dari
http://islamlib.com/gagasan/Anjing/Anjing-di-mata-ulama/ diakses pada Senin, 23
November 2015
29 Baca Ulil Abshar Abdalla, “Mu’tazilah, Kucing dan Anjing” dalam
http://islamlib.com/gagasan/Anjing/mutazilah-Kucing-dan-Anjing/ dilihat pada Senin, 23
November 2015
30 Nuhrison (eds), Faham-faham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan,
Jakarta: Puslitbang Keagamaan, 2007, hlm. ix-x

agar makna yang terkandung dalam teks bisa berbunyi, menyelesaikan
persoalan kontemporer.
2. Kaum liberal, utamanya di Indonesia mempunyai tawaran metode
untuk menafsirkan teks agama. Ada tiga tawaran yang disampaikan,
yaitu Al-‘Ibrah bi al-Maqasid la bi al-Alfadz; Jawaz Naskh al-Nushush bi
al-Mashlahah; Tanqih al-Nushus bi ‘Aql al-Mujtama’ Yajuzu. Dalam
setipa interpretasi, “liberalisme” mempunyai tiga makna utama, yakni
corak substantif atau tidak memahami ajaran agama sebatas nalar
skriptif atau catatan teks, lebih pada makna substansial; kontekstual
sesuai latar yang melatarbelakanginya; dan rasional. Jika seorang
melakukan interpretasi teks keagamaan dengan pola tiga corak itu
berarti telah memasukkan unsur liberalistik dalam penafsiran.
V. PENUTUP
Penulisan soal studi hukum Islam dalam pandangan kaum liberal ini
tidak lepas dari berbagai sumber referensi yang ada. judul makalah ini sudah
agaknya telah banyak ditulis oleh para berbagai ahli, tokoh akademikus dan
berbagai penulis dari disiplin ilmu penelitian. Tulisan ini hanya menyadur dan
mengembangkan apa yang sudah ditulis para penulis terdahulu. Tentunya,
jika menyadur dengan pengetahuan seadanya akan terjadi banyak kesalahan
yang ditulis, baik segi substansi maupun korelasi antar kalimat.
Penulis benar-benar tidak bermaksud untuk menjerumuskan para
pembaca pada kebingungan. Untuk itu, sumbangsih pembaca akan penulis
tungu untuk merevisi paper ini menjadi lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar-, “Anjing dalam Islam” dalam islamlib.com
----------, Ulil Abshar-, “Anjing di Mata Ulama” dalam islamlib.com
----------, Ulil Abshar-, “Mu’tazilah, Kucing dan Anjing” dalam islamibcom
----------, Ulil Abshar-, “Muslim dan Cannie-Phobia” dalam islamlib.com
----------, Ulil Abshar-, “Pandangan Agama-Agama Semitik Terhadap Anjing” dalam
islamlib.com
----------, Ulil Abshar-, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005
Alkaf, Halid, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia, Jakarta: Kompas, 2011
Arkoun, Mohmmed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Assyaukani, Lutfi (peny), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002
Chales Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001

Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama
Ghazali, Abd Muqsith, “Membangun Ushul Fiqih Alternatif” dalam islamlib.com
---------, Abd Muqsith, dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia
Utama, 2009
----------, Abd Muqsith (eds), Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan
Keberagaman yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005
Maksun, Islam, Sekularisme dan JIL, Semarang: Walisongo Press, 2009
Nuhrison (eds), Faham-faham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan,
Jakarta: Puslitbang Keagamaan, 2007
Rachman, Budhy Munawar-, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: PT
Grasindo, 2010