Strategi Kebijakan Pemerintahan G.W Bush

Strategi Kebijakan Pemerintahan G.W Bush Dalam Memerangi Terorisme
Paska Tragedi Penyerangan 9/11
Oleh:
Arita Gloria Zulkifli (1306460961)
Abstract
The September 11th tragedy in New York, Washington DC and Pennsylvania was one of the
worst humanity case and terrorism attack that ever happened in The United States even in the
world. The attack that was believed was initiated by al-Qaeda an organisation based in
Afghanistan had hit The U.S as a superpower country. This paper tries to examine the U.S. response towards the counter-terrorism based on the 9/11 attack. The aim of this paper is to examine
how the administration of G.W Bush initiated and implemented security policies regarding the terrorism issue, which was War on Terrorism. The analysis focuses on what policy and acts that the
Bush’s administration adapted during the worst days post 9/11 tragedy.
Keywords: September 11th, al-Qaeda, policy, security, G.W Bush, War on Terrorism.

Bab 1. Pendahuluan
Latar Belakang
Serangan terhadap gedung World Trade Centre (WTC) dan markas pertahanan Pentagon
pada tahun 2001 silam telah meyakinkan stigma Barat terutama Amerika terhadap Islam dan negara
Timur-Tengah sebagai ideologi dari kaum teroris. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, telah membuktikan bahwa teroris merupakan ancaman serius bagi negara super power seperti Amerika
sekalipun. Tragedi tersebut merupakan mimpi buruk bagi Amerika Serikat dengan status yang
disandangnya sebagai negara adidaya, dimana sekelompok teroris berhasil membajak empat pesawat komersil AS, penyerangan gedung WTC, dsb, dan menghasilkan kerugian yang amat banyak
bagi AS.

Serangan tersebut yang dipercayai adalah serangan yang dilakukan oleh Osama Bin Laden
ini telah memaksa AS untuk menerima sebuah kenyataan pahit, dimana pada saat itu tidak ada negara yang bebas dari ancaman kekerasan politik, termasuk dengan negaranya sendiri. Meskipun AS
dianggap sebagai negara yang memiliki sistem pertahanan yang canggih. Oleh karena kejadian
1

tersebut, banyak konspirasi muncul, dari mulai penyerang adalah intelijen Israel, keterlibatan CIA
dalam peristiwa ini, hingga hubungan usaha antara keluarga Bush dan Bin Laden selama bertahuntahun lamanya1. Dengan banyak bermunculannya spekulasi tersebut, pemerintah Amerika Serikat
mengambil kebijakan strategisuntuk memerangi terorrism. Hal tersebut merupakan respon atas ancaman teroris yang dianggap tengah mengglobal.
Berdasarkan informasi dan data intelijen, pemerintah AS pada saat itu yang dibawah pemerintahan Goerge Bush, menetapkan bahwa Osama bin Laden beserta kelompok al-Qaeda adalah
pelaku dari penyerangan terhadap AS. Pada 7 Oktober 2001, Amerika menyatakan sikap perang terhadap teror, mereka men-cap "terorisme" sebagai musuh yang universal terhadap semua bangsa
(siapapun bisa dianggap teroris oleh AS, termasuk negara-negara yang tidak bersedia mengikuti
ajakan AS untuk membasmi terorisme). Kebijakan yang diambil pemerintah AS berdampak langsung secara global. Salah satu kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah AS pada saat itu dalam
menghadapi terorisme adalah kebijakan War on Terorrism, dimana kebijakan tersebut dianggap
telah merugikan kepentingan umat Islam. Perang terhadap terorisme merupakan sebuah agenda besar dalam kebijakan AS. Dengan bergabungnya negara-negara untuk menyatakan perang terhadap
terorisme. Upaya menanggulangi aksi ini dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan
melalui kekuatan militer, dimana tidak terlihat kompromi untuk mencari jalan keluar.
Pada 14 September 2001, 19 negara anggota NATO mengeluarkan sebuah maklumat Artikel
5. Sesuai dengan Artikel 5 dalam akta pendirian NATO, maka sebagai Pakta Pertahanan/Pakta
Militer, dengan pasukan profesional dan industri militer yang canggih, yang menganut paham Collective Defense, maka serangan terhadap salah satu anggota oleh musuh bersama dari luar kelompok, berarti serangan terhadap seluruh kelompok. Bergabungnya negara-negara ini untuk menghadapi musuh bersama adalah karena ketidakmampuan melawannya sendiri-sendiri. Serangan 9/11
dianggap serangan terhadap semua anggota NATO. Sehingga War On Terrorism yang dicanangkan

Presiden Bush, langsung mendapat dukungan dari sekutunya2.
Dalam menghadapi situasi yang mencekam bagi negara adidaya, tentunya pemerintahan
Bush harus bisa cerdik dan jeli dalam melihat kondisi negara dan dunia. Amerika masih dalam
tahap tidak aman, dan masih harus terus waspada terhadap serangan susulan atau bentuk teror lainnya dari kelompok terorisme ataupun negara tertentu. Oleh sebab itu, ada beberapa strategi dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintahan Bush dalam menghadapi isu terorisme yang
sedang marak yang secara khusus menimpa Amerika pada peristiwa 9/11 itu sendiri.
1Brokers, Mathias. (2003). “Konspirai, Teori­teori Konspirasi dan Rahasia”. Jakarta: Publikatama. hal. 88
2 Siagian, Tagor.  STRATEGI FAR ENEMY AL QAEDA DAN JARINGAN MELAWAN AMERIKA SERIKAT, 
NATO DAN SEKUTU DALAM PERANG ASIMETRIK DI AFGHANISTAN DAN IRAK, 2001­2011 diakses dari
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20305416­T30929%20­%20Strategi%20far.pdf pada 6 Juni 2016 
pukul 23:50 WIB.

2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan bahwa permasalahan yang ingin dianalisa dalam makalah ini adalah mengenai strategi AS melalui kebijakannya dalam memerangi ancaman terorisme. Dari rumusan masalah tersebut, penulis membuat sebuah pertanyaan penelitian,
yaitu :
“Bagaimanakah strategi kebijakan AS dalam memberantas terorisme dibawah pemerintahan
G.W Bush pasca tragedi September 11 2001?”

Kerangka Pemikiran

a. Terorisme
Masalah pertama ketika kita dihadapkan dengan terorisme adalah ketika kita menentukan
apa itu dan bagaimana hal tersebut dapat dilihat. Banyak ilmuwan menggambarkan terorisme sebagai "tindakan berkelanjutan, atau ancaman tindakan, kekerasan oleh sekelompok kecil atau besar
untuk tujuan politik yang dilakukan dengan kejam, dan menarik perhatian luas bagi ranah politik
dan / atau memprovokasi dengan respon kejam atau tindakkan berkelanjutan.3"
Menurut definisi ini, serangan 9/11 terhadap AS dapat ditandai sebagai tindakan terorisme.
Namun, serangan terhadap Amerika Serikat mengungkapkan aspek yang berbeda dari terorisme.
Hal ini tidak lagi sebuah kelompok kecil yang bertindak untuk menarik perhatian, tapi jaringan internasional kelompok ekstrimis berafiliasi yang objek utamanya adalah untuk menimbulkan korban.
Al-Qaeda berusaha untuk menggulingkan tatanan dunia saat ini, yang ditandai dengan keunggulan
Amerika Serikat.
Noam Chomsky mendefinisikan terorisme sebagai ancaman kekerasan untuk menindas atau
memaksa untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh negara maupun kelompok-kelompok atau perorangan yang melakukan pembalasan atas serangan sebelumnya4.
Pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan terencana bermotif
politik terhadap personil non tempur yang dilakukan oleh kelompok sub nasional atau agen rahasia
yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat. Sedangkan terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara5.

3 Kiras, JD. Irregular Warfare: Terrorism and Insurgency. http://www.indianstrategicknowledgeonline.­
com/web/baylis3e_ch09.pdf diakses pada 6 Juni 2016 pukul 00:20 WIB.
4 Chomsky, Noam. (199). “Menguak Tabir Terorisme Internasional”. Bandung: Mizan. hal. 20.
5 http://nsarchive.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB55/crs20010913.pdf diakses pada 7 Juni 2016 pukul 00:37 

WIB.

3

b. Perang Terhadap Terorisme (War on Terorrism)
Dalam

menanggapi

serangan

teroris

11

September

2001,

pemerintahan


Bush

memberlakukan kebijakan Perang Melawan Teror untuk menggalakkan kebijakan keamanan di
dalam negeri dan intervensi militer di luar negeri. Perang Melawan Teror muncul sebagai bingkai
ideologi yang kuat. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari antisipasi pemerintahan Bush akan
adanya aksi teror susulan. Kampanye ini melibatkan operasi militer terbuka dan terselubung, undang-undang keamanan baru, upaya untuk memblokir pendanaan terorisme, dan banyak lagi. AS
menyerukan bagi negara-negara lain untuk bergabung dalam perang melawan terorisme menyatakan slgoannya "either you are with us, or you are with the terrorists” dimana hasilnya, banyak
negara-negara yang bergabung dengan kampanye ini6.
Kampanye ini secara terfokus mengarah pada kelompok Al-Qaeda dan jaringan-jaringannya
serta negara-negara lain yang dianggap mendukung aksi teror. Walaupun pada masa akhir pemerintahan Bill Clinton telah ada rumusan kebijakan pemberantas terorisme, namun sebelum terjadinya
peristiwa 9/11 program ini tidak direalisasikan. Aksi 11 September telah merubah banyak hal
terutama dalam pemerintahan AS, termasuk dalam kebijakan pertahanan dan keamanan. Hingga
saat itu gagasan kampanye War on Terorrism digaungkan secara besar-besaran.
c. Teori Penetrasi dan Intervensi
Serangan 9/11 memperkuat pemerintah AS alam menentukan arah kebijakannya yang lebih
nyata di bidang pertahanan dan keamanan yang secara khusus untuk memerangi terorisme. Bangkitnya ancaman teoisme internasional membuat persoalan politik internasional juga semakin rumit
pula. Biasanya, bentuk terorisme adalah penghancuran oleh sebuah negara terhadap negara lainnya,
kini, aktor-aktor non-negara seperti kelompok-kelompok jyang mungkin kecil dapat mempunyai
pengaruh yang luar biasa terhadap negara yang diserangnya. Fenomena ini dapat dikatikan dengan

teori penetrasi dan intervensi yang dikemukakan oleh John T. Rourke dalam bukunya International
Politics on the World Stages (1989).
Menurut Rourke, penetrasi dan intervensi adalah proses aktivitas internal seorang aktor internasional terhadap negara lain7. Ia mengemukakan 3 jenis penetrasi, yaitu penetrasi pasif, persuasif dan koersif. Pada konteks ini, AS cenderung melakukan penetrasi persuasif dimana diyakini
AS telah melakukan kegiatan menyebarkan propaganda untuk mendapatkan simpati dan dukungan
dari negara lain, misalnya propaganda AS terhadap Iran mengenai fasilitas pengembangan nuklir.
Selain itu, penetrasi lainnya adalah penetrasi koersif. Penetrasi koersif adalah pilihan terakhir dari

6 https://www.globalpolicy.org/war­on­terrorism.html diakses pada 7 Juni 2016 pukul 00:56 WIB.
7 Rourke, John T. (1989). “International Politics on the World Stages”. Connecticut: Dushkin Publishing 
Goup.

4

sebuah negara untuk menjalankan kebijakan luar negerinya, yaitu dengan menggunakan kekuatan
bersenjata.

Bab 2. Pembahasan
a. Tragedi 9/11 Sebagai Pukulan yang Keras Terhadap Pemerintahan G.W Bush
Pada tanggal 11 September 2001, 19 militan yang terkait dengan kelompok ekstremis Islam
al-Qaeda membajak empat pesawat dan melakukan serangan bunuh diri di Amerika Serikat. Dua

dari empat pesawat tersebut diterbangkan ke menara World Trade Center di New York City, dan
pesawat ketiga ditabrakkan ke Pentagon di luar Washington DC, dan pesawat keempat jatuh di
sebuah lapangan di Pennsylvania. Serangan mengakibatkan banyak korban yang mati dan
kehancuran, memicu inisiatif AS untuk memerangi terorisme dan menjadikan inisiatif tersebut
mendefinisikan masa pemerintaha presiden George W. Bush. Lebih dari 3.000 orang tewas selama
serangan di New York City dan Washington DC, korban tersebut termasuk juga lebih dari 400
petugas polisi dan petugas pemadam kebakaran.
Pada tanggal 11 September 2001, pukul 08:45 di hari Selasa pagi yang cerah, sebuah pesawat American Airlines Boeing 767 yang berisi 20.000 galon bahan bakar jet menabrak menara
utara World Trade Center di New York. Dampak dari menabraknya pesawat tersebut adalah lubang
terbakar dekat lantai 80 hingga 110, dan secara instan membunuh ratusan orang yang terjebak di
lantai yang lebih tinggi. Kemudian, 18 menit setelah pesawat hit pertama, kedua Boeing 767 United
Airlines Penerbangan 175 muncul dari langit, berbalik tajam ke arah World Trade Center dan mengiris menara selatan dekat lantai 60. Tabrakan itu menyebabkan ledakan besar yang menebarkan puing-puing bangunan terbakar dan jalan-jalan di bawah sekitarnya. Ini menandakan bahwa Amerika
sedang diserang.
Para penyerang itu diyakini adalah kelompok teroris Islam dari Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya. Kelompok teroris ini didanai oleh organisasi teroris al-Qaeda Saudi yang
diprakarsai oleh buronan Osama bin Laden, mereka diduga bertindak sebagai balasan atas dukungan Amerika terhadap Israel, dan keterlibatannya dalam Perang Teluk Persia dan kehadiran militer
lanjutan di Timur Tengah. Beberapa teroris tersebut telah tinggal di Amerika Serikat selama lebih
dari satu tahun dan telah mengambil pelajaran untuk menerbangkan pesawat di sekolah-sekolah
penerbangan komersial Amerika. Yang lainnya menyelinap ke Amerika di bulan sebelum 11 September. 19 teroris tersebut menerobos ke tiga bandara East Coast dan naik empat penerbangan
menuju California, yang mereka pilih karena pesawat tersebut irit bahanbakar untuk perjalanan lin-


5

tas benua panjang. Segera setelah lepas landas, para teroris meng-komandoi empat pesawat dan
mengambil kontrol, mengubah jet komuter biasa menjadi peluru kendali.
Ketika jutaan mata tengah menyaksikan kejadian mencengangkan di New York, American
Airlines Penerbangan 77 mengelilingi seluruh pusat kota Washington, DC, dan menabrak sisi barat
markas militer Pentagon. Hal tersebut menyebabkan runtuhnya struktural sebagian dari bangunan
beton raksasa tersebut. Setidaknya 125 personel militer dan warga sipil tewas di Pentagon, bersama
dengan semua 64 orang di atas kapal pesawat tersebut.
Kurang dari 15 menit setelah teroris menyerang pusat militer AS, kembali terjadi serangan
di New York ketika menara selatan World Trade Center runtuh dalam awan besar debu dan asap.
Baja struktural dari gedung pencakar langit tersebut yang dibangun untuk menahan angin lebih dari
200 mil per jam dan api konvensional besar, tidak bisa menahan panas yang luar biasa yang dihasilkan oleh bahan bakar jet yang terbakar. Pada 10:30, menara lainnya Trade Center runtuh. Hampir 3.000 orang tewas di World Trade Center dan sekitarnya, termasuk 343 petugas pemadam kebakaran dan paramedis, 23 petugas polisi New York City dan 37 petugas polisi Port Authority yang
sedang berjuang untuk menyelesaikan evakuasi bangunan dan menyelamatkan pekerja kantor yang
terperangkap di lantai yang lebih tinggi. Hanya enam orang di menara World Trade Center yang
pada saat runtuhnya mereka selamat. Hampir 10.000 orang dirawat karena luka-luka yang parah.
Pada 07:00, Presiden George W. Bush, yang telah menghabiskan hari dengan berkeliling ke
seluruh negeri demi keamanan, kembali ke Gedung Putih. Pada 09:00, ia menyampaikan pidato
melalui televisi dari Oval Office, menyatakan, "Serangan teroris bisa mengguncang fondasi bangunan terbesar kami, tetapi mereka tidak dapat menyentuh dasar Amerika. Tindakan ini menghancurkan baja, tetapi mereka tidak bisa mempenyokkan tekad baja Amerika. "Dalam referensi untuk
respon militer AS akhirnya ia menyatakan," Kami tidak akan membuat perbedaan antara teroris

yang melakukan tindakan ini dan mereka yang menampung mereka. “
Serangan ini merupakan sebuah pukulan yang amat keras bagi AS terutama bagi pemerintahan G.W Bush pada saat itu. Meskipun sebelumnya Amerika telah mendefinisikan negara-negara
yang dianggapnya menjadi sponsor terorisme internasional, seperti Iran, Irak, Kuba, dll, belum ada
bentuk nyata dari Amerika untuk menindak lanjuti negara-negara tersebut. Dengan terjadinya penyerangan besar-besaran pada 9/11, sontak pemerintahan G.W Bush menggaungkan inisiasi kebijakan
keamanan baru terutama untuk anti terorisme dan pembantaian terorisme, yakni War on Terorrism.
b. Kebijakan Amerika Dalam Memerangi Terorisme
Pasca serangan 9/11, hari-hari selanjutnya merupakan hari yang panjang dimana media secara besar-besaran mengeskpos kejadian ini setiap hari. Hal ini telah mempertajam kembali konflik
antara Barat dan Islam yang telah terlukis sejarah sejak dahulu kala. Bagi AS, tragedi ini merupakan
6

sebuah momentum untuk memulai kampanye War on Terrorism yang diinisiasi oleh AS dan mendapatkan dukungan dari puluhan negara di dunia. Terorisme kini merupakan masalah baru yang sangat
menyulitkan bagi AS. Jika kita melihat pada pemerintahan Bill Clinton, ia tidak memasukkan teorrisme di dalam agenda pelaksanaan kebijakannya, termasuk juga pada masa pemerintahan George
H.W Bush atau Bush senior. Mereka tidak mengeluarkan kebijakan formal mengenai perlawanan
terhadap terorisme, mereka cenderung mengurusi aksi anti Amerika selama masa jabatananya
melalui jalur diplomasi bukan melalui senjata8.
Di masa pemerintahan Bil Clinton, kebijakan memerangi terorisme telah dirumuskan namun
belum dilaksanakan. Dengan terjadinya peristiwa ini, merupakan momen yang epat bagi AS untuk
menyerukan kebijakan perang melawan terorisme yang memang telah di rumuskan oleh presiden
sebelumnyaa, yang dinamai dengan War on Terorrism. Pada tahun-tahun sebelumnya, National Security Council (NSC) belum terlalu berpikir akan adanya ancaman terorisme sebab mereka masih
terbawa alur perang dingin yang konteksnya berbeda dengan terorisme. Memang War on Terorrism

telah ada sebelum Bush menjabat. Pada April 1996, Clinton mempresentasikan masalah mengenai
terorisme di Universitas George Washington dan mendeklarasikan War on Terorrism yang kemudian menjadi populer pasca tragedi 9/11 pada pemerintahan Bush.
Dalam melakukan upaya memerangi terorisme secara global, AS memiliki dua objek utama.
Yaitu mengenai al-Qaeda yang dianggap sebagai dalang utama dari penyerangan terhadap AS ini,
dan yang kedua adalah Jamaah Islamiyah sebuah organisasi yang juga diyakini merupakan jaringan
dari al-Qaeda yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara. Pasca tragedi 9/11, organisasi al-Qaeda
dianggap AS sebagai organisasi yang paling bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini. Bin
Laden memang aktif dalam memprakarsai kegiatan-kegiatan anarkis dan teror sejak perang di Afganistan tahun 1986. Ia merancang sendiri kamp-kamp pelatihan untuk membentuk prajurit-prajurit
Arab. Menurut AS, al-Qaeda bertanggung jawab atas kejadian ini juga didasari oleh beberapa peristiwa sebelumnya, seperti isyarat dari Bin Laden yang akan menyerang AS, dan berdasarkan data,
para 19 militan setidaknya sebagian dari mereka secara rutin bertemu dengan Bin Laden dan menerima uang dari al-Qaeda.
Menurut G.W Bush, serangan 11 September telah merubah segalanya, dirinya, termasuk pemerintahannya bahkan orang-orang AS itu sendiri. Ia merasa bahwa kewajibannya kini adalah untuk melindungi rakyatnya. Oleh sebab itu, Bush merubah kebijakan luar negerinya secara radikal,
dari yang bersifat new-isoasionisme menjadi intervensionisme yang sifatnya unilateral 9. Kampanye
War on Terrorism adalah alat yang jitu untuk dapat mengimplementasikan keinginannya tersebut.
8 Clarke,Richard A. (2004). “Menggempar Semua Musuh: Dibalik Perang Amerika Melawan Teroris". 
Jakarta: Sinergi Publishing. hal. 70
9 Tehranian, Majid. (2003). “The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change”. Singapore: Select 
Publishing. hal. 46

7


Setelah kejadian 11 September tersebut Bush mengeluarkan banyak pernyataan, dan upaya-upaya
untuk dapat segera memberlakukan aksi anti teror dan perlindungannya.
Secara geografis, upaya AS memerangi teroris dapat dibagi menjadi dua, yaitu luar dan
dalam negeri. Untuk luar negeri, pemerintah banyak menjalankan beberapa strategi seperti penggalangan masyarakat internasional untuk bersama-sama memerangi teroris dengan melalui jalur
diplomasi, hingga melakukan serangan ke tempat-tempat yang dianggap lokasi persembunyian
teroris, atau negara-negara yang sekiranya mendukung teroris. Bush melakukan langkah-langkah
dalam memerangi terorisme, yaitu dengan diplomasi, militer, finansial, dan investigasi/intelijen.
Upaya diplomasi AS terhadap anggota PBB membuahkan kesuksesan dimana dikeluarkannya DK PBB No. 1373 tanggal 28 September 2001 yang berisi bahwa seluruh negara PBB harus
memberantas terorisme. Hal ini juga menghasilkan hubungan diplomasi yang harmonis dalam
rangka War on Terrorism dengan negara-negara dunia secara simultan, seperti Jepang, Tiongkok,
dan Rusia. Pada aspek militer, penggunaan kekuatan militer adalah kebijakan yang paling nyata
dalam upaya menjalankan kebijakan dalam memerangi terorisme ini. Namun, kebijakan ini merupaakan kebijakan ynag paling kontroversial dan mendapat banyak kritik karena dianggap melanggar
Piagam PBB tahun 1945 yang berisi larangan untuk menyerang negara lain. Serangan militer yang
dilakukan oleh pemerintah Bush junior antara lain mengintervensi Afghanistan.
Selanjutnya, strategi yang digunakan dalam pengimplementasian War on Terrorism adalah
dengan melalui jalur finansial10. Cara ini dianggap sebagai strategi penangkalan yang mendasar
yang dilakukan dengan mengientifikasi, membongkar, dan merusak jaringan keuangan para teroris.
AS yakin bahwa apabila jaringan teroris tidak memiliki dana, maka mereka tidak bisa melakukan
aksi-aksi selanjutnya. Dalam perihal finansial, AS mengajak negara-negara pendukung War on Terrorism untuk membantu menyelidiki, mengidentifikasi dan membekukan aset semua pihak yang secara finansial terkait dalam memfasilitasi aksi teror terhadap AS. Kebijakan ini kemudian dijalankan oleh 173 negara lainnya selain AS dan berhasil memblokir uang setidaknya sebesar $138
juta.
Tidak kalah penting, strategi investigasi atau intelijen merupakan sarana utama dalam kebijakan War on Terrorism. Keberhasilan AS sangat ditentukan oleh kemampuan dari intelijennya.
Dengan bekerja sama dan dengan bantuan intelijen internasional, AS berhasil menangkap orangorang yang dicurigai terkait dengan jaringan terorisme. Pasca tragedi 9/11, aparat intelijen
melakukan pemburuan besar-besaran baik di dalam maupun di luar negeri terhadap orang-orang
yang dicurigai mempunyai kaitan dengan peristiwa tersebut. Propaganda sebagai salah satu bentuk
aktifitas intelijen juga sangat berperan dalam berjalannya kampanye War on Terrorism. Propaganda
10 http://object.cato.org/sites/cato.org/files/serials/files/policy­report/2004/7/cpr­26n4­1.pdf diakses pada 8 
Juni 2016 pukul 03:58 WIB.

8

disini salah satunya adalah dengan melakukan pembentukkan image negatif terhadap teroris Islam
yang terus berkembang, hingga output nya adalah banyak orang menyamakan Islam sama dengan
teroris.

Bab 3. Penutup
Kesimpulan
Menurut penulis, serangan terhadap AS oleh kelompok teroris pada September 2001 silam
merupakan sebuah titik balik dan pukul yang hebat bagi negara super power seperti Amerika
Serikat. Hal ini dapat dibuktikan dengan segeranya diimplementasikan kebijakan War on Terrorism
pada masa pemerintaha G.W Bush paska kejadian tersebut menimpa Amerika. Padahal, jika kita
melihat lagi, kebijakan ini telah dirumuskan dan telah dimasukkan dalam agenda dan formulasi kebijakan sejak zaman Bill Clinton. Namun, dengan terjadinya peristiwa 9/11 tersebut, merupakan
dorongan yang paling nyata dan kuat bagi pemerintahan AS untuk segera memberlakukan kebijakan
tersebut demi keamanan dan perlindungan Amerika Serikat dari serangan terorisme.
Untuk menjawab pertanyaan makalah, yaitu “Bagaimanakah strategi kebijakan AS dalam
memberantas terorisme dibawah pemerintahan G.W Bush pasca tragedi September 11 2001?”, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Bush dalam memberantas terorisme pasca tragedi 9/11 yaitu
dengan menggunakan strategi dan kampanye kebijakan War on Terorrism. Dimana AS mendapat
banyak dukungan dari negara-negara di dunia. Pada pengimplementasian kebijakan tersebut, AS
menggunakan 4 langkah nyata yang nantinya dapat dikaitkan dengan teori yang dipilih penulis,
yaitu dengan berdiplomasi, militer, finansial, dan investigasi/intelijen.
Menurut penulis, berkaitan dengan teori yang dipilih penulis mengena terorisme, serangan
yang diterima AS dapat didefinisikan sebagai serangan terorisme oleh Noam Chomsky, sebab,
Chomsky berargumen bahwa siapapun aktor yang melakukan penyerangan terhadap negara lain dapat didefinisikan sebagai serangan terorisme. Selain itu, bersangkutan dengan teori penetrasi dan intervensi, dimana yaitu penetrasi pasif, persuasif dan koersif. Menurut penulis, AS melakukan ketiga
bentuk penetrasi dimana pada konteks persuasif diyakini AS telah melakukan kegiatan menyebarkan propaganda untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari negara lain, misalnya propaganda AS mengenai Islam dan teorrisme. Selain itu, penetrasi lainnya adalah penetrasi koersif. Penetrasi koersif adalah pilihan terakhir dari sebuah negara untuk menjalankan kebijakan luar
negerinya, yaitu dengan menggunakan kekuatan bersenjata, dimana AS telah melakukan intervensi
dan gencatan senjata ke beberapa negara seperti Afghanistan dalam misinya untuk menghabisi
jaringan-jaringan terorisme yang ada di dunia.

9

Total : 3.597 kata.

Referensi
Buku
Brokers, Mathias. (2003). “Konspirai, Teori-teori Konspirasi dan Rahasia”. Jakarta: Publikatama.
Chomsky, Noam. (199). “Menguak Tabir Terorisme Internasional”. Bandung: Mizan.
10

Clarke,Richard A. (2004). “Menggempar Semua Musuh: Dibalik Perang Amerika Melawan
Teroris". Jakarta: Sinergi Publishing.
Tehranian, Majid. (2003). “The Center Cannot Hold: Terrorism and Global Change”. Singapore: Select Publishing.
Jurnal
Siagian, Tagor. STRATEGI FAR ENEMY AL QAEDA DAN JARINGAN MELAWAN AMERIKA
SERIKAT, NATO DAN SEKUTU DALAM PERANG ASIMETRIK DI AFGHANISTAN DAN
IRAK,

2001-2011

diakses

dari

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20305416-T30929%20-

%20Strategi%20far.pdf pada 6 Juni 2016 pukul 23:50 WIB.
Kiras, JD. Irregular Warfare: Terrorism and Insurgency. http://www.indianstrategicknowledgeonline.com/web/baylis3e_ch09.pdf diakses pada 6 Juni 2016 pukul 00:20 WIB.
Internet
http://object.cato.org/sites/cato.org/files/serials/files/policy-report/2004/7/cpr-26n4-1.pdf diakses
pada 8 Juni 2016 pukul 03:58 WIB.
http://nsarchive.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB55/crs20010913.pdf diakses pada 7 Juni 2016 pukul
00:37 WIB.
https://www.globalpolicy.org/war-on-terrorism.html diakses pada 7 Juni 2016 pukul 00:56 WIB.

11