Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dala (1)

REFLEKSI PEMBATASAN USIA PERKAWINAN
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN MENURUT FILSAFAT HUKUM
KELUARGA ISLAM
Oleh: Moch. Nurcholis *1
Abstract

To realize such an ideal family aspired (based on) Qur'an,
the fulfillment of the element Sakinah (serenity),
Mawaddah (compassion) and Rahmah (compassion),
presumably the presence of Act No. 1 of 1974 About
Marriage (UUP) has a very significant role in the country
of Indonesia that the majority of the population converted
to Islam (are muslim). One form of the rules, the UUP to
apply the principles of mental and physical readiness
through a specific age restriction for the bride who wants
to make the fabric of marriage (to get married). Then how
(does) UUP set age restrictions on marriage? and
philosophical value of what (what philosophical value)
can be captured by ( throught) the philosophy of Islamic
family law?

To answer the above problems, this study used a
descriptive-analytic method. The required data in the
study and presented in ways that are collected for later
analysis. ( the required data are collected and presented in
particular ways to be analyzed ). While the approach is
* Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Bani Fatah Jombang. email:
cholis1986@gmail.com

61

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

used to examine the normative and philosophical
approach. Normative approach is needed to decipher the
law setting an age limit of marriage, while the
philosophical approach used wherever possible in order to
uncover the philosophical values contained in the
regulation of marriage age limit.

From the research that has been conducted resulting (wes
can discover )two things. First, ( the) setting the marriage
age restrictions as set forth in Law No. 1 of 1974 of
Article 7, paragraph (1) shall be conducted as a setting for
the realization of the ideals of marriage as set forth in
Article 1 UUP. Restricted marriage age is an important
opportunity for exceptions as set forth in UUP Article 7
paragraph (2). Second, the philosophical value of the
preparation of the marriage age restriction rules in the
UUP can be reviewed through the ontological aspects,
epistemological and axiological. According to the
philosophy of family law, marriage age restriction as
Philosophy tashri terkatagori (classified as philosophy of
‘tashri’). especially those problems Maqasid al-Ahkam
(the objectives of Islamic law) in the form of compliance
(accompishing)
maslahat
and
resist
damage.

Keywords: Reflection, the Marriage Age Restrictions,
Philosophy of Islamic Family Law
Pendahuluan
Hukum Islam disusun mengacu pada pandangan hukum yang
bersifat teleologis. Artinya, hukum Islam diwujudkan untuk
menghasilkan suatu tujuan tertentu. Keseluruhan dari tujuan hukum
Islam yang disampaikan secara global oleh Al-Qur’an dan dirinci oleh
al-Sunnah, menurut al-Sha>t}ibi> keseluruhannya kembali kepada
mas}lah}ah yang terakumulasi menjadi tiga kelompok besar yakni
pemenuhan kebutuhan bersifat d{aruri> (primer), h{aj> i> (sekunder) dan
tah}sini> (tersier). Dalam perkembangannya kebutuhan d{aru>ri> terbagi
atas 5 (lima) hal yang populer dengan sebutan al-d{aru>rat al-khams,
meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

62

Moch. Nurcholis


keturunan.2 Manifestasi perlindungan terhadap keturunan dalam
hukum Islam adalah dilarangnya perzinahan. Dalam kitab suci AlQur’an surat al-Isra’ disebutkan:

‚Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.‛ 3
Ayat di atas menjelaskan larangan terhadap perbuatan-perbuatan
yang merupakan pendahuluan zina, seperti berciuman, berpelukan dan
lain sebagainya. Larangan melakukan pendahuluan zina merupakan
langkah preventif agar manusia tidak sampai jatuh pada perzinahan.
Jika melakukan pendahuluannya dilarang, lebih-lebih pada perbuatan
perzinahannya. Pensyariatan larangan perzinahan bukan dimaksudkan
untuk menghalangi manusia bereproduksi dan menyalurkan
kebutuhan biologisnya. Namun agar terhindar dari dampak negatif
yang ditimbulkannya. Di antara dampak perbuatan zina adalah
terputusnya garis keteurunan, penyebaran penyakit, timbulnya bentuk
pelanggaran yang lain semacam pembunuhan, runtuhnya keutuhan
rumah tangga, dan adanya hubungan biologis yang bersifat sementara
seperti halnya binatang.4
Perlindungan terhadap keturunan disamping melalui larangan
perzinahan seperti yang tersebut di atas, dengan tujuan perlindungan

yang sama, hukum Islam mensyariatkan adanya perkawinan.5 Agar
terhindar dari dampak negatif hasil dari perzinahan, maka diperlukan
adanya pengaturan tentang ikatan suami-isteri. Pada posisi inilah
shari>’ah perkawinan menempati kedudukan sebagai h{aj> at yang
merupakan penyempurna keterjaminan pemenuhan d{aru>rat.6
Shari>’ah perkawinan selain ditujukan untuk reproduksi dan
pemenuhan kebutuhan biologis, juga dimaksudkan untuk
menciptakan situasi psikologis yang saki>nah (ketenteraman),
mawaddah (rasa kasih) dan rah}mah (rasa sayang). Firman Allah
SWT:

‚Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari kalanganmu
sendiri dan menjadikan bagimu dari pasangan-pasanganmu itu
2

Muh}ammad Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D{awa>bit} al-Mas}lahah (Beirut: Mu’assasat alRisa>lah, 2001), 110.
3
Al-Qur’an, 17: 23.
4
Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 341.

5
Al-But}i>, D{awa>bit}……, 110.
6
H{amma>di> al-‘Ubaidi>, Al-Shat}ibi> wa Maqa>s}id al-Shari>ah (Beirut: Da>r Qutaybah,
1992 ), 122.

63

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baikbaik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan
mengingkari nikmat Allah?‛ 7
Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa
menjadikan untukmu pasangan-pasangan dari kalanganmu sendiri
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya (saki>nah)
dan dijalaninya rasa kasih (mawaddah) dan sayang diantaramu
(rah}mah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir.8
Ayat di atas, memberi gambaran bahwa keluarga ideal dalam

Islam adalah jalinan secara terpadu antara unsur saki>nah, mawaddah
dan rah}mah. Terdiri dari unsur suami yang jujur dan tulus, ayah yang
penuh rasa kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan
berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang
saling membina silaturrahim dan tolong menolong.9
Tuhan menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan
pemikiran setiap manusia dan hendaknya darinya dapat ditarik
pelajaran berharga. Keluarga adalah umat kecil yang memiliki
pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta
hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Kitab Suci
menamakan satu komunitas dengan kata ummah, demikian pula
menamakan ibu yang melahirkan anak keturunan dengan kata umm.
Lalu bagaimanakah cara mewujudkan keluarga ideal yang telah
disebutkan oleh Al-Qur’an tersebut pada zaman yang ditandai dengan
munculnya paham kenisbian yang berkaitan dengan nilai-nilai hidup
dan keluarga, ketika sekat pergaulan antara pemuda dan pemudi
sudah sebegitu tipisnya, dan ketika nilai-nilai agama hanya
difokuskan kepada urusan ritual-ritual semata? Berkaitan dengan
pertanyaan tersebut, perlu kiranya diungkapkan bahawa di Jepang
terdapat kecenderungan perubahan sosial bahwa keluarga tidak

didefinisikan sebagai kehidupan rumah tangga yang terdiri dari ayah,
ibu, anak-anak dan orang-orang yang memiliki hubungan sedarah
atau semenda, namun di Jepang seseorang mencukupkannya dengan
dirinya sendiri dan pembantu (pekerja) rumah tangga yang membantu
kehidupannya.
7

Al-Qur’an, 16: 72.
Al-Qur’an, 30: 21.
9
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer
(Bandung: Angkasa, 2005), 134.
8

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

64

Moch. Nurcholis


Demikianpula yang terjadi di berbagai belahan bumi yang
menjalani kehidupan keluarga namun tidak didasari atas dasar
pernikahan. Jika ditelusuri, salah satu penyebabnya adalah tidak
terpenuhinya tiga unsur pemebentukan keluarga sebagaimana yang
telah digariskan oleh kitab suci, yakni tiadanya rasa ketenteraman,
rasa kasih dan rasa sayang, sehingga pembentu-kan keluarga dinilai
sebagai hanya penyaluran hasrat seksual semata dan pemenuhan
kebutuhan fisik.
Untuk mewujudkan keluarga ideal seperti yang dicita-citakan AlQur’an, kiranya kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (UUP) memiliki peran yang sangat signifikan di
negara Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam
ini. Salah satu bentuk aturannya, UUP menerapkan asas kesiapan
mental dan fisik melalui pembatasan usia tertentu bagi calon
mempelai yang hendak melakukan jalinan perkawinan. Lalu
bagaimanakah UUP mengatur pembatasan usia perkawinan? dan nilai
filosofis apa yang dapat ditangkap menurut filsafat hukum keluarga
Islam?
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik. Data yang
dibutuhkan dalam penelitian dikumpulkan dan dipaparkan sedimikian
rupa untuk kemudian dianalisis. Sedangkan pendekatan yang

digunakan untuk meneliti adalah pendekatan normatif dan filosofis.
Pendekatan normatif dibutuhkan untuk menguraikan ketentuan
hukum pengaturan batasan usia perkawinan, sedangkan pendekatan
filosofis digunakan guna mengungkap sedapat mungkin nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam pengaturan batasan usia perkawinan.
Pembahasan
1. Pembatasan Usia Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal
1 disebutkan sebagai:

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.10

10

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.


65

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

Dari definisi diketahui bahwa perkawinan menurut UUP tidak
hanya terbatas pada masalah hubungan perdata secara lahir saja,
tetapi juga merupakan hubungan spritual yang bersifat
transedental. Oleh karena itu, ketentuan ini sangat berbeda dengan
apa yang diatur oleh Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) yang
menyatakan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal 26 KUHPerdata).
Kebenaran koherensi (kebenaran atas dasar konsistensi
argumen) Pasal 1 tersebut begitu jelas teramati ketika dalam Pasal
2 ayat (1) disebutkan:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.11
Selain adanya sisi sakralitas dalam perkawinan, UUP
menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk menciptakan
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mewujudkannya, UUP
dalam Pasal 31 UUP mengatur tentang hak dan kewajiban yang
harus dijalankan oleh masing-masing suami dan isteri. Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Selain mengatur tentang hak dan tanggung jawab suami dan
isteri, untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal UUP
juga menetapkan kriteria kelayakan bagi yang akan melaksanakan
perkawinan. Penetapan kriteria didasarkan pada usia calon
pengantin. Langkah demikian kiranya perlu dilakukan agar ketika
sudah berkeluarga tidak terjadi perceraian dan ketidak harmonisan
oleh sebab belum adanya kedewasaan dan kematangan secara
mental untuk mejalani perkawinan dan menyelesaikan problem
dalam berumah tangga yang muncul. Dalam UUP Pasal 7 ayat (1)
disebutkan:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.12
Berkaitan dalam kadaan tertentu diperlukan pengecualiaan
tentang batasan usia, maka dalam ayat (2) disebutkan:
11
12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

66

Moch. Nurcholis

Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pun pihak
wanita.13
Batasan umur yang termuat dalam UU perkawinan sebenarnya
masih belum terlalu tinggi dibandingkan dengan beberapa negara
lainnya di dunia. Al-Jazair misalnya membatasi umur untuk
melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan yang
perempuan 18 tahun. Demikian juga dengan Bangladesh 21 tahun
untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga
beberapa negara yang mematok umur tersebut sangat rendah.
Yaman Utara misalnya membatasi usia perkawinan tersebut pada
umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia
membatasi usia perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun dan
yang perempuan 16 tahun. Dan rata-rata negara di dunia
membatasi usia perkawinan itu laki-laki 18 tahun dan wanitanya
berkisar 15 dan 16 tahun.14
Pengaturan tentang usia ini sebenarnya sesuai dengan prinsip
perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan isteri harus
telah masak jiwa dan raganya agar tujuan perkawinan untuk
menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa
berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat dapat diwujudkan.15 Usia kedewasaan dengan demikian
menjadi keharusan yang harus terpenuhi dalam menjalin hubungan
keluarga.
Sebenarnya, hukum yang berlaku di Indonesia menetapkan
beragam usia kedewasaan. Hukum pidana menetapkan usia 16
Tahun, ketentuan Pemilu menetapkan usia 17 Tahun, sedangkan
Hukum Perdata menetapkan usia 21 tahun. Dalam UUP pasal 6
ayat (2) disebutkan:

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.16

13

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akamal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 69.

14

15

16

Ibid.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2).

67

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

Dalam kesejarahan pembentukan UUP dikatakan bahwa yang
menjadi pertimbangan batasan usia kawin adalah kematangan
secara biologis seseorang. Pembatasan usia perkawinan, menurut
Dyah Saptaningrum sebagaimana diungkap kembali oleh Ratna
Bantara Munti, pada saat itu dimaksudkan untuk mengantisipasi
maraknya perkawinan anak-anak yang isunya bergulir sejak tahun
1920-an.17
Sedangkan dalam hukum Islam, sebagaimana yang pendapat
mayoritas ulama, tidak ada pembatasan usia perkawinan secara
tertentu. Tiadanya batasan ini disebabkan oleh tiadanya ketentuan
dari Al-Qur’an dan al-Sunnah yang menetapkan batasan itu.
Landasan yuridis yang digunakan sebagai dasar pernikahan di
bawah usia perkawinan adalah perilaku keagamaan (sunnah
fi’liyyah) Nabi Muh}ammad SAW. sewaktu menikahi ‘Aishah yang
pada saat itu masih gadis belia berusia 6 tahun. Kisah pernikahan
ini terekam dengan sanad s{ah}i>h} dalam salah satu kitab terbaik
dalam kajian hadith, dan bahkan yang bertindak sebagai perawi
adalah sang mempelai perempuan sendiri, ‘Aishah ra.;

‚Nabi menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan hidup
bersamaku pada usia 9 tahun.‛ 18
Dalam kajian sejarah, perilaku pernikahan semacam di atas juga
merupakan salah satu tradisi di kalangan bangsa Arab, baik
sebelum ataupun sesudah kerasulan Muh}ammad SAW. Salah satu
contohnya adalah pernikahan kakek Nabi, ‘Abd al-Mut}allib yang
sudah berusia udzur dengan H{allah yang merupakan kakak sepupu
Ami>nah pada hari yang sama dengan pernikahan ‘Abdulla>h, anak
bungsu ‘Abd al-Mut}allib, dengan teman H{allah, yakni Ami>nah
binti Wah}ab> .19 Dan kelak ‘Umar bin Khat}t}a>b juga menikah dengan
putri ‘Ali> bin Abi> T{al> ib yang bernama Ummu Kulthum, sedangkan
usia ‘Umar pada saat itu lebih tua daripada ‘Ali>. Diriwayatkan
pula bahwa ‘Umar pernah mengusulkan kepada Abu> Bakr Untuk
menikahi putrinya, H{afs}ah yang masih muda. Perbedaan umur di
atara keduanya sama dengan perbedaan umur antara Nabi SAW.
17

Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam
di Indonesia (Jakarta: LBH-APIK, 2005), 53.
18
Muslim b. H{ajjaj, S{a>h}i>h} Muslim (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006), indeks
14222, j. 9, 176.
19
‘Aisyah Binti Syathi’, Nisa>’ al-Nabi>, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004),
121.

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

68

Moch. Nurcholis

dengan ‘Aishah.20 Namun demikian, hal yang perlu digaris bawahi
dari kenyataan sejarah ini adalah pada dasarnya ketiadaan batasan
minimal usia dalam pernikahan pada saat itu dikarenakan tujuan
utama dari perkawinan lebih dimaksudkan untuk menjalin
hubungan mus}a>harah yang sangat bermanfaat untuk menjalin
hubungan guna penyebaran agama, bukan untuk penyaluran hasrat
biologis semata.21
Bertolak dari pandangan di atas, Ibn Shubrumah, Abu> Bakr alAs}am dan Uthman al-Batti memiliki pandangan yang berbeda
dengan mayoritas ulama. Mereka berpandangan bahwa calon
mempelai, baik laki-laki atau pun perempuan di bawah umur tidak
sah untuk dikawinkan. Keduanya hanya boleh dinikahkan setelah
mencapai usia ba>ligh (sudah mencapai usia dewasa) dan melalui
adanya persetujuan yang disampaikan secara eksplisit.22 Dasar
yang dibuat pijakan pendapat hukum adalah firman Allah SWT.:

‚Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
menikah.‛ 23
Masih menurut pandangan kelompok yang mensyaratkan
adanya batasan usia perkawinan, disebutkan bahwa jika anak-anak
belia tersebut boleh untuk dinikahkan sebelum ba>ligh, maka apa
jadinya arti ayat ini? Selain itu, anak-anak yang masih belia
sebenarnya belum membutuhkan untuk menikah. Selanjutnya,
mengenai kasus perkawinan Nabi Muh>ammad SAW. dengan
‘Aishah yang masih berusia 6 tahun, Ibn Shubrumah berpendapat
bahwa hal itu merupakan previlige (hak istimewa) bagi Nabi
sendiri yang tidak bisa diberlakukan bagi umatnya.24
Jika mengamati pendapat di atas, kiranya kita juga perlu
melihat sabda Nabi SAW. yang menganjurkan seorang pemuda
untuk segera menikah. Nabi SAW bersabda:

‚Wahai para pemuda (al-shaba>b), barangsiapa di antara kalian
mampu untuk jima’ (sebab mempunyai biaya pernikahan),

20

Ibnu Qudamah, Al-Mughni> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1984), j. 9, 487.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2007), 67.

21

22

23

Ibid.

Al-Qur’an, 4: 6.
24
Ibnu H{azm, Al-Muh}alla, CD al-Maktabah al-Sha>milah, Vol. 9, 459.

69

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

maka nikahlah. Dan siapa tidak mampu maka, hendaknya ia
berpuasa sebab puasa baginya adalah sebuah perisai.‛ 25
Penggunaan redaksi al-shaba>b hadith tersebut berartikan orang
yang telah mencapai usia ba>ligh dan belum mencapai umur 30
tahun. Hal ini mengindikasikan adanya pertimbangan batasan usia
bagi orang yang hendak menikah. Hal ini juga diperkuat adanya
kriteria khusus yang ditetapkan oleh Nabi bagi yang hendak
menikah. Kriteria yang dimaksud adalah istit}a>’at al-ba>’ah. Ba>’ah
secara literal bermakna jima’ dan ada yang mengartikan biaya
pernikahan. Dengan demikian, hadith ini secara implisit
memberikan kompetensi khusus bagi mereka yang hendak
melaksanakan perkawinan. Nabi SAW. juga memberikan jalur
alternatif bagi orang yang tidak memenuhi kompetensi ini, yakni
dengan berpuasa.
Lebih lanjut, jika mengamati pendapat ulama fikih, sebenarnya
juga didapati pendapat adanya hukum sunnah bagi seorang ayah
yang tidak terburu menikahkan anak perempuannya sampai ketika
ia sudah mencapai usia ba>ligh, hal ini dilatarbelakangi
kekhawatiran terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara
suami dan isteri. Bahkan secara tegas mereka melarang bagi
seorang ayah menikahkan putrinya yang masih di bawah umur
apabila tidak ada ketakutan hilangnya kemaslahatan sebab
mengakhirkan perkawinan.26
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa sesungguhnya
permasalahan
pembatasan
usia
perkawinan
merupakan
permasalahan ijtiha>diyyah yang dalam penggalian hukumnya harus
selalu didasarkan pada ‘illat (causa hukum) yang
melatarbelakanginya serta mas}lah}ah yang ingin dihasilkan.
2. Nilai Filsafat dalam Pembatasan Usia Perkawinan Dalam Kajian
Filsafat Hukum Keluarga

a. Urgensi Filsafat dalam Aturan Pembatasan Usia Perkawinan
Agar dapat memahami secara mendasar dari nilai
perkawinan khusunya masalah pengaturan pembatasan usia
perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Undangundang yang berlaku, perlu adanya pemahaman tentang hakekat
dari pengaturan tersebut. Pengetahuan akan hakekat sebuah
25

Muslim bin H{ajjaj, S{a>h}i>h}….,148.
Yahya> bin Shar}af al-Nawa>wi>, Sharh Muslim, CD al-Maktabah al-Sha>milah, Vol.
9, 176.

26

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

70

Moch. Nurcholis

aturan dilakukan melalui unsur rasional manusia, guna
mendapatkan pengetahuan secara mendasar dan radikal.
Sehingga pengetahuan yang dihasilkan dapat menancap secara
kokoh dan tidak mudah tergoyahkan.
Dalam mengetahui hakekat pengetahuan maka digunakan
pemikiran filosofis melibatkan unsur ontologi (metafisik) dalam
menggali hakekat pengaturan pembatasan usia perkawinan
sebagai objek pembahasan.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam UUP Pasal 1
perkawinan adalah:

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.27
Selanjutnya dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan:

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.28
Perkawinan dilaksanakan untuk membentuk ikatan
kekeluargaan. Ikatan kekeluargaan dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan esensial manusia sebagai makhluk yang
secara pribadi adalah sebagai seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang berhasrat memenuhi kebutuhan biologisnya.
Disamping sebagai individu, manusia juga mempunyai relasi
sosial yang dalam kesehariannya membutuhkan unsur
ketenangan, ketertiban dan rasa saling peduli serta kasih
sayang. Dalam pada itu sebagai seorang makhluk, manusia juga
mempunyai hubungan dengan tuhannya sehingga pemenuhan
unsur religius mutlak juga harus terpenuhi. Perkawinan dengan
demikian, telah memenuhi seluruh unsur yang ada dalam diri
manusia, baik sebagai individu, makhluk sosial maupun makluk
berketuhanan. Dengan demikian, tinjauan ontologi tentang
pengaturan pembatasan usia perkawinan menunjukkan bahwa
pembatasan tersebut pada hakekat esensialnya merupakan
sebentuk upaya hukum yang difungsikan guna memenuhi
kebutuhan manusia sesuai kodratnya.
27
28

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).

71

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

Untuk memahami hakekat kebenaran yang telah dicapai oleh
rasional tentang aturan pembatasan usia perkawinan, aspek
epistemologi merupakan upaya filosofis untuk mengungkapnya.
Setidaknya terdapat tiga teori tentang kebenaran sebagaimana
yang dipedomi oleh para filosof, yakni (1) Teori Kebenaran
Koherensi yang mendasarkan pada kriteria tentang konsistensi
suatu argumen; (2) Teori Kebenaran Korespondensi yang
mendasarkan pada kriteria tentang kesesuaian antara materi
yang dikandung oleh suatu pernyataan tersebut; dan (3) Teori
Kebenaran Pragmatis yang mendasarkan diri pada kegunaan,
efisiensi dan kepuasan.29 Dari ketiga teori kebenaran,
keberadaan aturan pembatasan usia perkawinan mendapatkan
sisi kebenarannya. Pertama, secara koherensi, aturan tersebut
telah bersesuaian dengan tujuan dasar perkawinan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang hanya akan
terwujud jika para pelakuknya telah dapat mengetahui dan
melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Secara
korespondensi, aturan tentang pembatasan usia perkawinan
telah benar-benar dilaksanakan sesuai aturan oleh para aparatur
negara yang berwenang dan telah dilakukan secara nyata oleh
masyarakat sebagai objek yang diatur. Sedangkan secara
pragmatis, aturan tentang pembatasan usia perkawinan telah
berguna untuk menekan angka perceraian akibat tidak
harmonisnya keluarga, kekerasan rumah tangga, menekan
resiko angka kematian akibat kurang siapnya kematangan
secara biologis, serta menekan maraknya perkawinan anak-anak
usia dini.
Masih dalam pembahasan yang sama, aspek aksiologi
berupaya mengetahui hakekat esensial nilai yang terdapat
dalam aturan tentang aturan pembatasan usia perkawinan. Nilai
yang dimaksud di sini berkaitan dengan baik dan buruk, etika
dan moral serta manfaat yang terkandung dalam aturan
tersebut. Diungkapkan bahwa di antara dampak dari tidak
adanya pembatasan usia perkawinan dapat berakibat pada
bahaya kesehatan dan bahaya sosial.
Di antara bahaya kesehatan adalah resiko melahirkan bayi
prematur dan kerusakan organ tubuh ibu yang melahirkan.
29

Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum: Hukum Islam Hukum-Hukum Barat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 92.

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

72

Moch. Nurcholis

Sedangkan bahaya sosial yang timbul adalah meningkatnya
angka kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, perdagangan
manusia, jumlah anak yang terlantar, serta meningkatnya angka
perceraian dan pengangguran, meningkatnya penindasan
terhadap perempuan dan tentunya meningkatnya angka
perceraian.30 Dengan demikian, jika bahaya-bahaya sebagai
akibat praktik perkawinan yang tidak memenuhi kriteria usia
tersebut telah dapat berkurang, maka menunjukkan dengan jelas
adanya nilai manfaat yang terkandung dalam aturan
pembatasan usia perkawinan.

b. Pembatasan Usia Perkawinan Menurut Filsafat Hukum
Keluarga Islam
Filsafat hukum keluarga Islam bisa dikatakan sebagai anak
sulung dari filsafat hukum Islam. Dalam kajian filsafat hukum
Islam, para ahli membagi menjadi dua macam filsafat, pertama
adalah filsafat tashri>’ dan filsafat shari>’ah. Filsafat tashri>’
menekankan pembahasan atas da>im al-ah}ka>m (dasar-dasar
hukum Islam), maba>di al-ah}ka>m (prinsip-prinsip hukum Islam),
us}u>l al-ah}ka>m (pokok-pokok hukum Islam), maqa>s}id al-ah}ka>m
(tujuan-tujuan hukum Islam) serta qawa>id al-ah}ka>m (kaidahkaidah hukum Islam). Sementara filsafat shari>’ah berbicara
tentang asra>r al-ah}ka>m (rahasia-rahasia hukum Islam), khas}ai> s}
al-ah}ka>m (ciri khas hukum Islam), mah}as> in al-ah}ka>m
(keutamaan-keutamaan hukum islam) dan tawa>bi’ al-ah}ka>m
(karakteristik hukum Islam). Permasalahan pembatasan usia
perkawinan jika dikaitkan dengan filsafat tashri>’ maka domain
kajian berkait dengan maqa>s}id al-ah}ka>m (tujuan-tujuan hukum
Islam).
Tujuan utama shari>’ah adalah mewujudkan kebaikan kepada
manusia dalam urusan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Secara umum shari>’ah dalam semua bagiannya hendak
mengamankan kebaikan manusia baik berupa perintah untuk
mengamankan kebaikan atau larangan untuk menghindari
kerusakan dan kejahatan.31

30

M. Alfatih Suryadilaga, ‚Efek Pernikahan Dini‛, Musa>wa, Vol. 8, No. 2 (Juli,
2009), 256.
31
Mohammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah: Pergulatan Mangaktualkan
Islam, terj. Miki Salman (Jakarta: Mizan, 2013), 43.

73

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

Selain dengan memanfaatkan ajaran Al-Qur’an, al-Sunnah
serta ijma>’ dalam mewujudkan kemaslahatan yang dimaksud,
dalam hukum Islam penggunaan rasio sebagai alat interpretasi
tidak dapat dipungkiri. Penggunaan rasio dalam memahami
nas}s} adalah standar pemahaman yang benar dan itu sama halnya
mengamal-kan nas}s}, bukan mengamalkan rasio, demikian
ungkap al-Sarkhas}i> sebagaimana dikutip Ahmad Imam
Mawardi.32 Penggunaan rasio melalui qiyas berikut varian baru
seperti istis}h}ab> , istih}sa>n, istis{la>h{ dan al-mas}lah}ah al-mursalah,
betapa pun terdapat perbedaan pendapat terkait otoritasnya
sebagai metodologi hukum, nyatanya tetap cukup efektif dalam
mengatasi permaslahan-permasalahan hukum wa>qi’iyyah.
Rasionalisasi dan interpretasi hukum yang telah dilakukan
merupakan upaya menyelaraskan tujuan pensyariatan dan
realita yang ada. Upaya ini penting dilakukan, sebab
sebagaimana yang dikatan oleh al-Shahrasta>ni> sebagaimana
diungkapkan oleh Abd. Salam Arief bahwa:

Teks-teks nas}s} itu terbatas sedangkan problematika hukum
yang memerlukan solusi tidak terbatas, oleh karena itu
diperlukan ijtihad untuk menginterpertasi nas}s} yang terbatas
itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara
ekplisit dalam nas}s} dapat dicari pemecahannya.33
Aspek kemaslahatan hendaknya dijadikan sebagai ruh dan
pertimbangan utama yang dilakukan oleh para ahli hukum
dalam melakukan ijtihad. Sebab inti dari keseluruhan shari>’ah
mengarah hanya kepada dua hal, yakni mendatangkan
kemashlahatan dan menolak kerusakan. Penentuan terhadap
kemashlahatan dan kerusakan dapat diketahui dengan akal,
begitu pula terhadap sebagian besar urusan shari>’ah.34 Dalam
perkembangannya, jika terjadi kontradiksi antara kemaslahatan
dan kerusakan, maka yang diunggulkan untuk dilaksanakan
adalah menolak kerusakan. Terdapat satu kaidah terkenal:

32

Ahmad Imam Mawardi, Qiya>s dan Istih}sa>n Dalam Rasionalitas Us}u>l al-Sarkhasi>,

Islamica, Vol. 7, No. 1 (September, 2012), 95.
33
Abd. Salam Arief, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan
Realita (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 15.
34
‘Izzuddi>n bin ‘Abd al-Sala>m, Qawa>id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), 8.

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

74

Moch. Nurcholis

Menolak kerusakan lebih
mendatangkan kebaikan.35

diprioritaskan

daripada

Masalah perkawinan, dalam hukum Islam tidak didapati
adanya pembatasan usia perkawinan. Ketiadaan batasan usia
perkawinan mengandung beberapa manfaat yang di antaranya
dapat segera dilangsungkannya perkawinan di antara seorang
pria dan seorang wanita sehingga dapat segera menjalankan
sunnah Rasul berupa perkawinan, selain juga mempererat tali
persaudaraan di antara dua keluarga. Bahkan tradisi perkawinan
semacam ini juga pernah dicontohkan oleh Rasul dan para
sahabatnya.
Namun demikian, melihat ekses-ekses negatif yang muncul
akibat tiadanya batasan usia perkawinan, maka dianggap
penting adanya pembatasan usia tersebut. Pembatasaan usia
perkawinan tidak bermaksud untuk menghambat seseorang
melakukan perkawinan, namun lebih bertujuan untuk
menghindarkan diri dari bahaya dan kerusakan yang
ditimbulkan.
Sekalipun adanya pembatasan usia perkawinan dalam UUP
secara lahiriah tampak berlawanan dengan ketentuan hukum
fikih, namun secara filosofis tidaklah demikian, sebab telah
bersesuaian dengan ruh dan tujuan dari fikih itu sendiri, yakni
terpenuhinya
asas
kemashlahatan
dengan
berupaya
menghilangkan kerusakan-kerusakan.
Penutup
Pengaturan pembatasan usia perkawinan sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1)
dilakukan sebagai upaya pengaturan demi terwujudnya cita-cita
perkawinan sebagaimana termaktub dalam UUP Pasal 1. Pembatasan
usia perkawinan masih membuka peluang adanya pengecualian
sebagaimana diatur dalam UUP Pasal 7 ayat (2).
Nilai filosofis dari penyusunan aturan pembatasan usia perkawinan
dalam UUP dapat ditinjau melalui aspek ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Menurut filsafat hukum keluarga, pembatasan usia
perkawinan terkatagori sebagai filsafat tashri>’ terkhusus masalah
maqa>s}id al-ah}ka>m (tujuan-tujuan hukum Islam) berupa pemenuhan
kemashlahatan dan menolak kerusakan.
35

Muh}ammad ‘Azza>m, Al-Qawa>id al-Fiqhiyyah (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2005), 145.

75

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

Refleksi Pembatasan Usia Perkawinan dalam UUP No.1/1974

Memandang hukum keluarga khususnya berkaitan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hendaknya tidak hanya
terbatas sebagai realitas belaka dari hukum atau ilmu hukum,
sehingga hanya didekati melalui aspek normatif-yuridis saja.
Pendekatan secara filosofis dan sisologis juga harus dilakukan oleh
mereka yang berkonsentrasi dalam kajian hukum keluarga. Sebab
aturan hukum positif akan efektif berlaku bila memenuhi tiga syarat.
Ketiga syarat itu adalah berupa keabsahan secara sosiologis , absah
secara yuridis, dan absah secara filosofis.

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014

76

Moch. Nurcholis

Daftar Pustaka
‘Azza>m, Muh}ammad. Al-Qawa>id al-Fiqhiyyah. Kairo: Da>r al-H{adi>th,
2005.
‘Ubaidi> (al), H{amma>di. Al-Shat}ibi> wa Maqa>s}id al-Shari>ah. Beirut:
Da>r Qutaybah, 1992.
Arief, Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara
Fakta dan Realita. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
But}i (al), Muh}ammad Ramad}a>n. D{awa>bit} al-Mas}lahah. Beirut:
Muassasat al-Risa>lah, 2001.
H{ajjaj, Muslim b.. S{a>hi} >h} Muslim. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2006.
Hazm, Ibnu. Al-Muh}alla. CD al-Maktabah al-Sha>milah.
Kamali, Mohammad Hashim. Membumikan Syariah: Pergulatan
Mangaktualkan Islam, terj. Miki Salman. Jakarta: Mizan, 2013.
Mawardi, Ahmad Imam. Qiya>s dan Istih}sa>n Dalam Rasionalitas Us}u>l
al-Sarakhsi>, Islamica, Vol. 7, No. 1, September, 2012.
Munti, Ratna Batara dan Hindun Anisah. Posisi Perempuan Dalam
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: LBH-APIK, 2005.
Nawawi> (al), Yahya> b. Shar}af. Sharh Muslim. CD al-Maktabah alSha>milah
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akamal Taringan. Hukum Perdata Islam
di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni>. Beirut: Da>r al-Fikr, 1984
Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1990.
Sala>m (al), ‘Izzuddi>n b. ‘Abd. Qawa>id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih} al-Ana>m.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999.
Suryadilaga, M. Alfatih. ‚Efek Pernikahan Dini‛, Musa>wa, Vol. 8,
No. 2, Juli, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2007.
Syathi’, ‘Aisyah Binti. Nisa>’ al-Nabi>, terj. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2004.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam
Kontemporer. Bandung: Angkasa, 2005.
Yasid, Abu. Aspek-aspek Penelitian Hukum: Hukum Islam HukumHukum Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

77

Tafaqquh; Vol. 2 No. 1, Juni 2014