Maskulinitas Perempuan dalam Program Dok

Maskulinitas Perempuan dalam Program Dokumenter
(Analisis Isi Mengenai Maskulinitas Presenter Perempuan dalam Program Acara Jejak
Petualang Stasiun Televisi Trans 7)
Herlina Kusumaningrum
Abstract
Women in the media are usually attached with a feminine trait associated with
closed, affective, irrational. While, men in the media shown otherwise affixed to
the masculine nature associated with the open-ended nature, aggressive and
irrational. But today it deconstructed the women in the mass media began to
display a masculine figure. Similarly, an interesting thing to look at the nature of
masculinity that is attached to it. The results of the content analysis research
televisin program “Jejak Petualang Trans 7” of masculinity female presenters
illustrate that women's representation of masculinity displayed in various ways.
That is the most prominent is the representation of masculinity in the category of
ability to perform strenuous activities and how to dress.
Kata Kunci : Maskulinitas, Perempuan, Media massa.
Pendahuluan
Hegemoni laki-laki menjadi sebuah fenomena yang universal dalam sejarah peradaban
manusia.Secara tradisional manusia belahan dunia menata diri ke dalam bangunan masyarakat
patriarkhis. Idelogi patriarkhis sendiri merupakan salah satu bentuk variasi dari hegemoni atau
suatu ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lain. Praktek

budaya patriarkhis juga telah lama menggejala di Indonesia.Darwin (1999) mengemukakan
bahwa masyarakat Indonesia masa lalu maupun masa kini secara keseluruhan masih menggejala
paraktek ideologi patriarkhi baik pada masyarakat yang menganut sistem keluarga patrilineal,
bilateral maupun matrilineal. Oleh karenanya tata masyarakat patriarkhis banyak digugat oleh
kaum feminis karena cenderung memposisikan perempuan sebagai posisi sub ordinat atau bukan
subjek sentral di dalam masyarakat. Salah satu bentuk subordinasi perempuan adalah stereotype
maskulin dan feminin.
Pembagian dikotomis antara maskulin dan feminin dalam masyarakat telah menjadi suatu
hal yang taken for granted. Stereotype maskulin selama ini dilekatkan pada laki-laki sedangkan
stereotype feminin lebih dilekatkan kepada perempuan. Maskulin dan feminin merupakan dua

kutub sifat yang berlawanan dan membentuk suatu garis lurus dimana pada setiap titiknya
menggambarkan derajat kelaki-lakian (maskulinitas) atau keperempuanan (feminitas). Jika
karakteristik berlebihan disebut laki-laki super maskulin, jika kurang disebut laki-laki kurang
maskulin atau laki-laki feminin. Demikian sebaliknya jika dibaca variasi sifat seorang
perempuan. Pembagian dikotomis ini memberikan implikasi pada hubungan oposisi biner dimana
istilah maskulin dinilai lebih tinggi dari pada istilah feminin seperti baik-buruk, lelaki-perempuan
dan sebagainya. Seterotype maskulinitas dan feminitas mencakup berbagai karakteristik individu,
sepeti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan fisik ataupun orientasi
seksual.Seringkali laki-laki dilekatkan dengan watak yang terbuka, agresif dan rasional

sedangkan perempuan dilekatkan dengan watak yang tertutup, halus dan afektif dan emosional.
Dalam hubungan individu laki-laki diakui maskulinitasnya jika dilayani oleh perempuan,
sementara perempuan terpuaskan feminitasnya jika melayani laki-laki. Dalam hal okupasi
pekerjaan yang mengandalakan kekuatan dan keberanian seperti polisi, petinju, penjelajah dan
sebagainya, disebut sebagai pekerjaan yang maskulin, sementara pekerjaan yang memerlukan
kehalusan, ketelitian, dan perasaan seperti mencuci, menjahit, juru masak dan sebagainya
dinamakan pekerjaan feminin. Namun penting diperhatikan bahwa maskulinitas dan feminitas
bukanlah bukanlah dimensi kategori tunggal.Terdapat berbagai bentuk maskulinitas dan
feminitas.Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah konstruksi
sosial yang dapat diberi makna berbeda oleh setiap masyarakat bahkan dapat dipertukarkan
dalam hal pelekatannya pada jenis kelamin tertentu.Dengan menyadari maskulinitas dan
feminitas sebagai konsep yang multi dimensi terbuka ruang bagi kita untuk melakukan
dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap konsep tersebut.Tetapi di dalam hal ini lebih
memfokuskan pada dekonstruksi makna maskulinitas yang dianggap lebih tinggi dibandingkan
dengan feminitas.
Dengan demikian sangatlah menarik untuk melakukan telaah terhadap bentuk-bentuk
dekonstruksi makna maskulinitas. Salah satunya adalah bagaimana jika maskulinitas kemudian
dilekatkan pada sosok perempuan. Bagaimanakah bentuk maskulinitas yang akan dilekatkan
terhadapnya. Apalagi kini tidak sedikit media massa baik itu iklan, film, musikmulai
menampilkan sosok perempuan dengan ciri maskulinitasnya. Salah satu program yang

menampilkan sisi maskulinitas perempuan adalah program Jejak Petualang Trans 7. Program
Jejak Petualang merupakan salah satu segmen acara terlama Trans 7 sejak 2005 juga sering

mengadakan camp Jejak Petualang ditempat-tempat petualang seperti kawasan gunung Semeru
dan gunung Rinjani dan banyak tempat lainnya, disamping itu program acara ini merupakan
program dokumenter pelopor yang menjadikan perempuan sebagai pembawa acara utama. Bukan
seperti selama ini yang hanya memposisikan perempuan di dalam acara-acara televisi sebagai
pemanis semata, atau sebagai objek gombalan yang sering dilontarkan pada program-program
komedi. Terlebih lagi program ini benar-benar merombak pandangan terhadap perempuan yang
identik dengan kelembutan menjadi perempuan yang mandiri, memiliki jiwa petualang, bebas,
serta tidak takut bersinggungan dengan alam liar.
Penelitian dalam kajian media mengenai maskulinitas yang dilekatkan pada sosok
perempuan kini mulai dilirik oleh beberapa peneliti. Seperti penelitian yang dilakukan Wa Ode
Nuraini (2006) mengenai konstruksi maskulinitas dan feminitas dalam media massa (dalam
majalah Femina) serta Sumekar Tanjung (2012) yang mengkaji maskulinitas dalam media massa
(majalalah Cosmopolitan). Kedua penelitian di atas sama-sama mengkaji maskulinitas pada
majalah yang diperuntukkan kepada perempuan (Femina dan Cosmopolitan). Sedangkan acara
program dokumenter Jejak Petualang Trans 7 cenderung memiliki segmentasi khusus yakni
diperuntukkan kepada perempuan dan laki-laki yang memiliki jiwa kepetualangan. Dengan
segmentasi yang berbeda diharapkan penelitian ini mampu menghadirkan keragaman

maskulinitas yang ada pada media massa. Sehingga

peneliti ingin mengetahui bagaimana

representasi maskulinitas presenter perempuan dalam program acara Jejak Petualang Trans 7.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji “Maskulinitas Perempuan dalam Program
Dokumenter” (Analisis Isi Mengenai Maskulinitas Presenter Perempuan dalam Program Acara
Jejak Petualang Stasiun Televisi Trans 7). Demikian hasil penelitian ini memberikan manfaat,
yakni secara teoritis memberikan sumbangsih dalam bidang akademik dan pengembangan ilmu
pengetahuan terutama dalam kajian media dan studi feminis. Sedangkan manfaat praktis Hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi perempuan khususnya dan masyarakat umum dalam
memandang representasi maskulinitas perempuan di dalam media.
Kerangka Pemikiran
Maskulinitas
Kata masculine sendiri dekat dengan kata Mascle (otot) yang dapat segera diasosiasikan dengan
kekuatan, keperkasaan, kepahlawanan, kekerasan dan pekerjaaan militer.Disamping itu

Maskulinitas adalah suatu stereotype tentang laki-laki yang dapat dapat dipertentangka dengan
feminitas sebagai stereotype perempuan. Maskulin dan feminin adalah dua kutub sifat yang
berlawanan dan membentuk suatu garis lurus yang setiap titiknya menggambarkan derajat kelakilakian/maskulinitas atau keperempuanan/feminitas. Jika karakteristik berlebihan disebut laki-laki

super maskulin, jika kurang disebut laki-laki kurang maskulin atau laki-laki feminin
(Darwin,1999). Stereotype maskulinitas dan feminitas mencakup berbagai aspek karakteristik
individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan fisik maupun
oreintasi seksual. Misalnya laki-laki dilekatkan ciri-ciri watak yang terbuka, kasar, agresif, dan
rasional, sementara perempuan bercirikan tertutup, halus, afektif serta emosional.
Conell berpendapat bahwa maskulinitas tidak akan ada jika tidak dibedakan dengan
feminitas. Terminologi maskulinitas sebenarnya tidak memiliki makna apapun. Hanya saja,
dalam struktur sosial, perilaku masyarakat mencerminkan demikian. Conell kemudian melakukan
empat klasifikasi atas pemahaman maskulinitas dalam perspektif ilmiah. Pertama, dari pandangan
positivis,

maskulinitas

berupaya

menggambarkan

“what

man


actually

are”

dengan

menghubungkan antara hal biologis atau pengelompokkan sosial.Kedua pendekatan normatif,
masyarakat memiliki konsep sendiri terhadap “what men ought to be” .Ketiga, perspektif
esensialis memiliki pemahaman bahwa maskulinitas diperoleh dari kepribadian masing-masing
atau hormon yang dibawa. Keempat dalam pendekatan semiotika perbedaan maskulinitas dan
feminitas menjadikannya sebagai ruang simbolik (Conell, 1995: 68-70).
Menurut Badinter, Bayi laki-laki nantinya perlahan meninggalkan feminitas mereka dari
sang ibu ke diri yang maskulin. Sedangkan bayi perempuan menurunkan sikap feminitas mereka
layaknya seorang ibu.Tidak seperti feminitas yang diwariskan begitu saja dari ibu, tapi
maskulitinas harus diciptakan oleh seorang anak laki-laki. Dalam perspektif yang ditulisnya,
Badinter kemudian memberika kesimpulan bahwa tipe laki-laki dewasa yang tidak menurunkan
nilai-nilai keibuan disebut “tough guy” sedangkan mereka yang menurunkan perilaku dan nilainilai keibuan adalah “soft man” (Badinter, 1995: 43).
Maskulinitas pada diri laki-laki telah diatur semenjak kelahirannnya saat bayi. Setelah
dilahirkan, bayi segera diberikan batasan-batasan sesuai jenias kelamin, memperoleh hak tertentu,

dan orang tua mengantunggkan harapan kepadanya hingga dewasa nanti.Banyak orang
mengatakan “ini anak laki-laki” atau “ini anak perempuan” ketika bayi lahir.Pembedaan ini
membuat setiap orang mengasumsikan bahwa faktor biologis berpengaruh pada perilaku

gender.Padahal bukan demikian adanya, menurut Barker dalam Nasir (2007:1) laki-laki tidak
dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh
kebudayaan.Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan.Sehingga
sifat maskulinitas berbeda-beda pada setiap kebudayaan. Konsep maskulinitas dalam budaya
timur seperti Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Ketika seseorang anak laki-laki
lahir maka dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga kepadanya.
Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media yaitu ritual adat, teks
agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan, petuah dan filosofi hidup.
Dinamika Perkembangan Maskulinitas
Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman mengalami dinamika perkembangan.Beynon
dalam Nasir (2007) melakukan kajian tentang maskulinitas dalam bukunya Masculinities and
Culture, dalam buku tersebut menggambarkan sosok maskulin dalam setiap babak. Beynon
membagi bentuk maskulin dengan ide serta tren perkembangan jaman sebagai berikut :
pertama, maskulin sebelum tahun 1980-anSosok maskulin yang muncul adalah figurfigur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama
atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini kental dengan awal industrialisasi pada masa itu,
laki-laki bekerja di paik sebagai buruh berlengan baja.Terlihat sangat kebapakan, yakni sebagai

penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan pembuat keputusan
utama.Konsep maskulin semacam ini dinamakan konsep maskulin yang tradisonal dalam
pandangan kajian barat.Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai,
antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri,
kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Diantara yang dipandang rendah adalah hubungan
interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan
anak-anak (Barker, Nasir, 2007 :1). Selain itu karakteristik maskulin tradisional dapat dilihat dari
selera berpakaian, penampilan, bentuk aktifitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan
ekspresi verbal maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito & Curry,
1998 :1).
Kedua, maskulin tahun 1980-an sosok maskulin kemudian berkembang dengan cara yang
berbeda. Pada babak ini maskulin bukanlah laki-laki yang berbau woodspice lagi, maskulin
adalah sosok laki-laki sebagai new man.Beynon dalam Nasir (2007) menunjukkan dua buah

konsep maskulinitas pada babak ini dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan
new man as narcissist.Konsep pertama merupakan gelombang awal reaksi laki-laki terhadap
feminism.Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai mahluk yang
mempunyai rasa perhatian.Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya
untuk mengurus anak.Keinginan laki-laki dalam arena domestic.Kelompok ini biasanya berasal
dari kelas menegah, berpendidikan baik, dan intelek. Sedangkan konsep kedua hal ini berkaitan

dengan komersialisasi terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir Perang Dunia II.
New man as narcisstict adalah anak-anak dari generasi hippies yang tertarik pada fashion dan
musik pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki-laki yang bermunculan, bahkan laki-laki
sebagai objek seksual bisnis yang amat luar biasa. Di sisni laki-laki menunjukkan
maskulinitasnya dengan gaya hidup yang flamboyan.
Ketiga maskulin tahun 1990-an muncul kembali sosok laki-laki yang bersifat tidak peduli
lagi terhadap hal remeh-temeh seperti kaum maskulin yuppies di tahun 80-an, disini ditekankan
kepada sifat kelaki-lakian yang lebih macho, kekersan, dan hooliganism. Laki-laki kemudian
menyatakan dirinya dalam label konsumerisme yang lebih macho, seperti membangun
kehidupannya di sekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum,dan juga seks. Pada
babak ini kaum laki-laki mementingkan leisuretime sebagai waktu untuk bersenang-senang dan
menikmati hidup bebas seperti apa adanya.
Keempat, maskulin tahun 2000-an. Diluar perkembangan maskulin yang dikemukakan
oleh Jhon Beynon, perlu dicermati maskulin pada era 2000-an. Pada babak ini terdapat
terminolog-terminologi baru mengenai laki-laki. Homoseksual telah berkembang semenjak
dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki-laki sudah mengenal istilah metroseksual. Lakilaki metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menegah atas, mereka ijin
berdandan, dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang dalam masyarakat. Laki-laki
metroseksual semacam socialite.Mereka umumnya memiliki pandangan yang luas, atau mereka
yang disebut dengan laki-laki yang berbudaya.Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion,
mirip dengan tipe maskulin 80-an.

Dalam penelitian ini maskulinitas yang akan digunakan untuk melihat maskulinitas
perempuan adalah tipe maskulin tradisional, karena peneliti ingin melihat kontrasnya terhadap
sifat feminin yang telah lama dilekatkan kepada perempuan sedangkan tipe-tipe maskulin lainnya
tidak mencerminkan hal yang demikian. Untuk memudahkan dalam penentuan unit analisis maka

peneliti terlebih dahulu merumuskan karakteristik maskulinitas yang digunakan dalam penelitian
ini berdasarkan kerangka pemikiran di atas. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel1.1 dibawah ini.
Tabel 1.1. Unit Analisis
Content Unit
Bentuk
Maskulinitas
Perempuan

Recording Unit
Bentuk
Maskulinitas
Perempuan dalam
Acara Jejak
Petualang Trans 7


Kalsifikasi
Nilai
Maskulinita
s
Maskulinita
s Manifes

Kategori
Kekuatan
Kemandirian
Kesetiakawanan
Penampilan fisik

Indikator
1. Kemampuan melakukan aktifitas berat
2. Mengandalkan kemampuan diri sendiri.
3. Saling membantu
4. Cara berpakaian
5. Warna Kulit
6. Tidak Merias wajah

Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk mengukur presentasi maskulinitas presenter perempuan dalam
acara Jejak Petualang stasiun televisi Trans7 menggunakan analaisis isi kuantitatif. Analisis isi
merupakan metode yang tepat digunakan untuk membedah teks media seperti film, iklan, berita,
tajuk rencana maupun editorial . Untuk penelitian terhadap isi teks berita, jika yang diinginkan
adalah deskripsi, eksplorasi, komparasi atau investigasi maka analisis isi merupakan salah satu
metode yang efektif melakukannya (Kipperdorf, 1980: 21). Selain itu, metode analisis isi juga
bersifat sistematis, obyektif dan mendeskripsikan isi pesan yang tersirat secara kuantitatif
maupun kualitatif. Dengan demikian metode analisis isi dipilih karena analisis isi dapat
dipergunakan untuk menghitung dan menggelompokkan kata, kalimat, gambar bahkan ide
tertentu dalam suatu teks media (wimmer& Dominick, 2000: 150). Dengan pengembangan dan
kategorisasi yang terukur, analisis isi akan dapat menjawab pertanyaan penelitian ini. Analisis isi
adalah salah satu metode yang dipakai untuk membedah teks media. Akan tetapi, jenis teks yang
dapat dianalisis dengan analisis isi adalah teks yang maknanya termanifestasikan, dengan
perhatian bahwa analisis isi tidak mampu membedah makna teks yang laten atau tersembunyi.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tayangan acara televisi Jejak Petualang Trans
7 yang ditayangkan dari bulan Januari 2013 sampai Pebruari 2013.Dimana setiap minggu
terdapat tiga kali tayang yakni pada hari senin, selasa dan rabu pada pukul 15.15 WIB. Sehingga
dalam satu bulan terdapat 14 episode acara Jejak Petualang yang akan dianalisis.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini pertama-tama akan disusun unit analisis.
Menurut Carney (1972) menjelaskan ada tiga tipe unit yang penting diperhatikan dalam analisis
isi, yaitu: unit pengkodean (recording unit), unit konteks (context unit), dan kategori
(category).Unit pengkodean adalah the tings yang akan diukur. Unit konteks adalah unit dari teks

yang memberi batasan informasi untuk mendeskripsikan makna dari unit pengkodean
tadi.Misalnya jika kata menjadi unit pengkodeanya, maka kalimat menjadi unit konteksnya.Jika
ingin menilai apakah perkataan presenter perempuan di dalam membawakan acara bersifat
maskulin atau tidak, maka unit konteksnya bisa berupa keseluruhan perkataan yang diungkapkan
presenter tersebut. Unit pengkodean dan unit konteks dalam penelitian ini sama, yaitu item
berita.Selanjutnya

kategori-kategori

adalah

klasifikasi-klasifikasi

dimana

pengkodean

diukur/dihiting.Kategorisasi manjadi tolok ukur kesuksesan analisis isi. Berelson (1952) memberi
istilah lain untuk unit kategori, yaitu unit klasifikasi (unit of classification) untuk
membedakannya dari unit pengukuran ( unit of enumeration). Unit pengukuran ini merupakan
dasar dengan mana contentakan ditabulasi. Unit pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini
didasarkan pada frekuensi, intensitas dan kehadiran.Kategori-kategori disusun sejalan dengan
pertanyaan penelitian, teks dan unit pengkodeannya.Klasifikasi ini mengatur unit pengkodean ke
dalam kelas-kelas. Proses inilah yang menunjukkan ciri kuantifikasi analisis isi.Metode analisis
data dalam penelitian ini menggunakan tabel frekuensi.Dimana kemudian hasilnya dijelaskan
secara deskriptif dilakukan dengan menjelaskan dan mengambarkan bentuk-bentuk maskulinitas
presenter perempuan.
Hasil Penelitian
Uji realiabilitas terhadap instrumenn berdasarkan hasil koder menunjukkan angka 0.6 (60
%).Demikian berdasarkan koefesien realibilitas (CR) termasuk dalam kategori antara 0.41- 0.60
yaitu masuk dalam kategori Besar.Sehingga penelitian ini tealah teruji dan validitasnya secara
benar memenuhi syarat dalam penelitian analisis isi.
Tabel. 1.2
Distribusi Frekuensi Mepresentasi Maskulinitas

No
1
2
3
4
5
6

Indikator
Kemampuan melakukan aktifitas berat
Mengandalkan kemampuan diri sendiri.
Membantu Pekerjaan Orang Lain
Cara berpakaian
Warna kulit hitam (cokelat)
Tidak Merias Wajah
Total

Frekuens
i
14
11
10
14
8
8
65

Prosentas
e
21, 5
16,9
15,4
21,5
12,3
12,3
100,0 %

Tabel 1.2 menunjukkan distribusi frekuensi representasi maskulinitas presenter
perempuan program acara Trans 7.Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa

representasi maskulinitaspresenter perempuan yang ditampilkan dalam program acara Jejak
Petualang Trans 7 memiliki

presentasi yang beragam. Dari 14 sampel episode yang

diteliti,terdapat dua kategori representasi maskulinitas yang paling menonjol yakni kemampuan
melakukan aktifitas berat dan cara berpakaiam yakni keduannya memiliki frekuensi sebanyak 14
kali yakni sebesar 21.5%.Kemampuan aktifitas berat disini yakni presenter perempuan
melakukan pendakian gunung, diving, panjat tebing, serta susur gua sedangkan cara berpakaian
dalam hal ini meliputi memakai kaos oblong, kemeja, sepatu gunung dan celana kargo. Demikian
representasi maskulin dalam kedua kategori ini muncul pada semua sampel yang diteliti yakni 14
kali dimana menandakan pentingnya sosok yang kuat dan cara berpakaian dalam representasi
maskulinitas dalam program acara ini. Selanjutnyarepresentasi maskulinitas yangmengandalkan
kemampuan diri sendiri yakni memiliki frekuensi sebanyak 11 kali dengan presentase sebesar 16.
9%. Kemudian representasi maskulinitas yang menempati posisi selanjutnyaadalahmembantu
pekerjaan orang lain yakni memiliki frekuensi sebanyak 10 kali demikian presentasi keduanya
sebasar 10 %. Sedangkan representasi maskulinitas yang menempati posisi terakhir terdapat dua
kategori yakni tidak merias wajah dan warna kulit yakni memiliki frekuensi masing-masing
sebanyak 10 kali dengan presentasi sebasar 8 %.
Diskusi
Perempuan dalam

media massa biasa ditampilkan dengan sosok

feminin yang mencakup

berbagai karakteristik individu, sepeti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi,
penampakan fisik ataupun orientasi seksualdilekatkan dengan watak yang tertutup, halus dan
afektif dan emosional. Sedangkan seringkali laki-laki dilekatkan dengan watak yang terbuka,
agresif dan rasional.Perempuan.Demikian maskulinitas dan feminitas bukanlah dimensi kategori
tunggal.Terdapat berbagai bentuk maskulinitas dan feminitas.Sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa maskulinitas dan feminitas adalah konstruksi sosial yang dapat diberi makna berbeda oleh
setiap masyarakat bahkan dapat dipertukarkan dalam hal pelekatannya pada jenis kelamin
tertentu.
Dewasa ini perempuan dalam media massa mulai ditampilkan denga sosok maskulin yang
dulu dilekatkan pada laki-laki.Sehingga sangatlah menarik untuk melakukan telaah terhadap
bentuk-bentuk dekonstruksi makna maskulinitas. Salah satunya adalah bagaimana jika
maskulinitas kemudian dilekatkan pada sosok perempuan. Bagaimanakah bentuk maskulinitas

yang akan dilekatkan terhadapnya. Hasil penelitian ini menunjukkan representasi maskulinitas
presenter perempuan memiliki bentuk yang beragam di dalam tayangana program acara Trans 7.
Tetapi yang paling menonjol yakni kemampuan melakukan aktifitas berat dan cara berpakaian.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada kajian yang spesifik hanya melihat representasi
maskulinitas perempuan pada program Jejak Petualang Trans 7. Sehingga penelitian ini tidak
dapat digunakan untuk menarik generalisasi mengenai representasi maskulinitas yang dilekatkan
pada perempuan di dalam media massa.
Penutup
Penelitian ini mngukur representasi maskulinitas presenter perempuan yang ditampilkan dalam
program acara Jejak Petualang Trans 7. Hasilnya representasi maskulinitas memiliki presentasi
yang beragam. Dua kategori representasi maskulinitas yang paling menonjol yakni kemampuan
melakukan aktifitas berat dan cara berpakaian yakni keduannya memiliki frekuensi sebanyak 14
kali yakni sebesar 21.5%. Selanjutnya representasi maskulinitas yangmengandalkan kemampuan
diri sendiri yakni memiliki frekuensi sebanyak 11 kali dengan presentase sebesar 16. 9%. Posisi
selanjutnya adalah membantu pekerjaan orang lain yakni memiliki frekuensi sebanyak 10 kali
demikian presentasi keduanya sebasar 10 %. Sedangkan dua kategori yakni tidak merias wajah
dan warna kulit menenmpati posisi terrendahyakni memiliki frekuensi masing-masing sebanyak
10 kali dengan presentasi sebasar 8 %.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penelitian ini memiliki manfaat dalam melihat
representasi maskulinitas perempuan dalam sebuah program acara dokumenter. Sehingga dapat
dijadikan dasar dalam melakukan kajian dalam maskulinitas perempuan pada media massa
maupun program acara televisi lain yang belum diteliti. Atau juga dapat digunakan untuk
membandingkan representasi maskulinitas perempuan antara program acara satu dengan yang
lainnya sehingga diperoleh data yang lebih menyeluruh mengenai representasi maskulinitas
perempuan di dalam media massa dan dapat ditarik sebuah generalisasi.

Daftar Pustaka
Badinter, Elisabeth. 1995. XY :On Masculine Indentity. New York : Columbia University Press.
Connell, R.W. 1995. Masculinities.Cambrige :Polity Press
Craig, Steve. 1992. “Considering Men and the Media,” Men, Masculinity, and the Media, ed. Steve Craig.
London : Sage Publications.
Darwin, Muhadjir. 1999. Maskulinitas. Yogyakarta : Center of Population and Policy Studies. Gadjah
Mada University
Kippedorf, Klaus. 1980. Content Analysis: An Introduction to its Metodology. USA: Sega Publication,
Newbury Park.
Mosse, George L. 1996. The image of Man : the creation of Modern Masculinity. New York : Oxford
University Press.
Wimmer, Roger D. & Joseph R. Domonick.Mass Media Research.An Introduction. Thomson Wasdworth,
UK, 2000.
Vigorito Anthony J., & Curry Timothy J., 1999, marketingMasculinity : Gender Identity and Popular
Magazines, JJournal of Research, July 1998.