ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

  

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN

PAJAK

  

(Jurnal)

Oleh:

Fabriant

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2017

  

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN PIDANA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN

PAJAK

  

Oleh

Fabriant, Dr. Maroni S.H., M.H, Firganefi, S.H.,M.H

  (Email: Fabriant00@gmail.com) Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana adalah tahap menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/ pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang- undang. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana legislative dalam merumuskan suatu ketentuan pidana. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah

  

kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam undang-undang pengampunan pajak,

dan apakah kebijakan formulasi ketentuan pidana dalam undang-undang

pengampunan pajak telah memenuhi rasa keadilan substantif. Dengan menggunakan

  pendekatan masalah yuridis normative dan yuridis empiris disimpulkan bahwa formulasi kriminalisasi didalam undang-undang pengampunan pajak adalah perbuatan membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi wajib pajak kepada pihak lain. Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang pengampunan pajak adalah Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak. Sanksi bagi para diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Ketentuan pidana didalam undang-undang pengampunan pajak dirasa sudah adil karena sudah dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang diatur. Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu perumusan ketentuan pidana

  

dalam undang-undang pengampunan pajak seharusnya menganut double track

system.

  Kata kunci : Kebijakan Formulasi, Ketentuan pidana, Pengampunan Pajak.

  

ABSTRACT

  Policy Formulation Criminal Provisions are stage sets or formulate what conduct may be liable oriented underlying problems in the criminal law covers acts that are against the law, error / criminal liability and what sanctions may be imposed by the legislator. Issues to be discussed is how the policy formulation criminal provisions in the tax amnesty law, and whether the policy formulation criminal provisions in the tax amnesty legislation has met the substantive fairness. By using the approach of juridical normative and juridical problems empirically concluded that the formulation of laws criminalizing in tax forgiveness is an act divulge, distribute, and / or notify the taxpayer of data and information to other parties. Parties can be held accountable in a criminal tax amnesty legislation is the Minister, Deputy Minister, employees of the Ministry of Finance, and other parties related to the implementation of the Tax Forgiveness. Penalties for punishable by imprisonment of 5 (five) years. Penal provisions in the tax amnesty legislation is deemed unfair because it can accommodate all the things that are relevant to the field or the subject matter. As for suggestions that can give authors namely the formulation of criminal provisions in the tax amnesty legislation should embrace double trrck system.

  Keywords: Policy Formulation, penal provisions, tax forgiveness.

I. PENDAHULUAN

  Memajukan kesejahteraan umum bangsa Indonesia dapat pula berati upaya nyata bagi pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari ketidaksejahteraan rakyat Indonesia dalam bidang ekonomi dengan cara pihak legislatif membuat kebijakan-kebijakan yang berguna untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, yang berkaitan dengan manifestasi atas kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia maka lahirlah suatu undang-undang pengampunan pajak yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016. Perbuatan yang dilarang di dalam undang-undang pengampunan pajak, tertuang di dalam Pasal 21 ayat (2) yaitu “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain”.

  Pengaturan mengenai ketentuan pidana pada undang-undang pengampunan pajak tertuang di dalam Pasal 23 ayat : (1)

  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2)

  Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Ketentuan pidana di dalam undang- undang pengampunan pajak melarang setiap pihak yang terlibat dalam program pengampunan pajak untuk membocorkan rahasia dari setiap wajib pajak yang mengikuti program ini, apabila salah satu pihak yang terlibat yang didaftarkan oleh wajib pajak tersebut merupakan harta yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi maka dapatkah pihak tersebut memberitahukan kepada aparat penegak hukum bahwa telah terjadi tindak pidana. Mengingat hal tersebut merupakan kewajiban dari setiap orang yang tertuang didalam KUHAP Pasal 108 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik dan penyidik” sedangkan ketentuan pidana didalam undang- undang pengampunan pajak dengan tegas melarang pembocoran rahasia dari setiap wajib pajak.

  Sehubungan dengan itu maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh, pemformulasian ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan mengambil judul.

  ” Analisis Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Undang-undang No.

  11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak”.

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka ada beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu : 1)

  Bagaimanakah Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Undang- Undang Pengampunan Pajak ?

  2) Apakah

  Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Undang- undang Pengampunan Pajak telah memenuhi rasa keadilan substantif ? penelitian ini dititik beratkan pada penelitian yang bersifat normatif namun didukung dengan data empiris yaitu kebijakan legislatif dalam memformulasikan ketentuan pidana yang ada di dalam Undang-undang pengampunan pajak. Lingkup penelitian Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dimana data-data yang diperoleh dosajikan dan diuraikan secara sistematis dalam bentuk kalimat, kemudian diinterprestasikan berdasarkan teori yang ada dan perundang-undangan yang relevan untuk memperoleh kejelasan dan mempermudah pembahasan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

  Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). 1 B.

  C. Ketentuan Pidana dalam Undang- Undang Administrasi

  78-79. 3 Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2003.

  Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Op.Cit. Hlm.

  Undang-undang Pengampunan Pajak adalah undang-undang yang baru disahkan pada tanggal 1 July 2016. Undang-undang ini berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan 2 Barda Nawawi Arif. Masalah Penegakan

   Undang-undang pengampunan pajak

  hukum administrasi. 3 D.

  fungsionalisasi/operasionalisasi/instrum entalisasi hukum pidana di bidang

  Penggunaan hukum/sanksi pidana dalam hukum administrasi pada hakikatnya termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana”. Barda Nawawi Arif mengemukakan, hukum pidana administrasi merupakan hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi. Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi merupakan

  3) tahap perumusan sanksi

   Tahap-tahap dalam kebijakan hukum pidana nasional, tujuan penyusunan Undang- Undang tentang Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut: 1) mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;

  Tahap formulasi ketentuan pidana sendiri meliputi 3 tahap yaitu : 1) tahap kriminalisasi, 2) tahap formulasi pertanggungjawaban, dan

  3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

  2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

  Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

  dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni : 2 1)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan hukum pidana

  Kebijakan Hukum Pidana. Op.Cit. Hlm. 23-

  Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) 1 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai

  2) mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan

  memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain”.

  Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah. (2)

  Pasal 322 KUHP telah merumuskan tindak pidana pembukaan rahasia sebagai berikut : (1)

  XVII KUHP yang mengkriminalisasi perbuatan membuka rahasia merupakan sebuah kejahatan,

  Berdasarkan Pasal tersebut perbuatan yang merupakan tindak pidana atau kriminalisasi didalam undang-undang ini adalah membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi. Formulasi kriminalisasi pada UU No. 11 Tahun 2016 mirip seperti ketentuan pada BAB

  Perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana, maka perbuatan tersebut harus dinyatakan terlebih dahulu oleh suatu UU sebagai suatu tindak pidana. Formulasi kriminalisasi dalam undang- undang pengampunan pajak terdapat dalam Pasal 21 UU No.11 Tahun 2016 yang menyatakan : “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain”.

  1) Formulasi kriminalisasi dalam Undang-undang Pengampunan Pajak

  Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang

  3) meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. 4 III.

  Pasal 23 tersebut merujuk ke Pasal 21 ayat (2) yang menyatakan “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau 4 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik

  Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2)

  Pasal 23 : (1)

  Ketentuan Pidana didalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak tertuang di dalam

   HASIL PEMBAHASAN A. Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.

  Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang, maka perbuatan itu dapat dituntut hanya atas pengaduan orang itu. Berdasarkan ketentuan formulasi kriminalisasi dalam Pasal 21 UU No. 11 Tahun 2016, dapat terlihat jelas bahwa unsur kejahatan dalam undang-undang ini yaitu menyebarluasan data dan informasi wajib pajak. Subjek dari kriminalisasi pengampunan pajak adalah Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak. selanjutnya, yang dikatakan sebagai Menteri ditentukan

  Pasal 1 yang menerangkan bahwa Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan Negara. Berdasarkan Pasal 1 tersebut berarti Menteri yang menjadi Subjek didalam UU No.11 Tahun 2016 adalah Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Pegawai Kementrian Keuangan, pihak lain yang terakit, hal ini berarti yang menjadi subjek ketentuan pidana dalam undang-undang ini merupakan orang pribadi dan pihak lain yang terlibat didalam program pengampunan pajak. Diformulasikannya kriminalisasi seperti yang disebutkan sebelumnya berguna untuk jalannya pelaksanaan program pengampunan pajak, formulasi yang seperti ini membuat pelaksaan program pengampunan pajak berjalan dengan baik dikarenakan rahasia wajib pajak yang dijamin kerahasiaanya dan jika terjadi kebocoran informasi maka pelaku pembocoran dapat dikenakan sanksi pidana. Kriminalisasi dalam Undang-undang pengampunan pajak menurut Herman sangat tepat dikarenakan pelaksanaan program pengampunan pajak memerlukan suatu kepastian untuk memberikan kenyamanan bagi para Wajib Pajak, dengan adanya kriminalisasi yang melarang pembocoran rahasia didalam undang- meningkatkan minat Wajib Pajak untuk mengikuti program ini 5 atau dengan kata lain kriminalisasi dan sanksi pidana sangat diperlukan dalam rangka penegakan hukum terhadap perbuatan- perbuatan yang menyimpang dari norma hukum khususnya yang dirumuskan dalam undang-undang pengampunan pajak dalam rangka memperlancar pelaksanaan pembangunan nasional. Peraturan-peraturan hukum administrasi yang mengandung ketentuan pidana menurut penulis diadakan dimaksudkan untuk memperkokoh berlakunya aturan- aturan tersebut. Namun ukuran untuk melakukan kriminalisasi tidaklah mudah, Sudarto menyatakan sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief bahwa ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengkriminalisasikan sesuatu hal tersebut dalam rumusan peraturan perundang-undangan yang dibuat, yaitu: 1. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiel spiritual berdasrkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

  2. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiel dan atau spiritual ) atas warga masyarakat.

  3. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya 5 Wawancara pada tanggal 17 febuari 2017,

  Herman Saidi Adam selaku kepala bidang penyuluhan pelayanan dan hubungan masyarakat kantor wilayah direktorat dan hasil (cost

  and benefit principle ).

  4. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan- badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). 6 Perlu tidaknya suatu formulasi kriminalisasi dalam Undang-undang terutama Undang-undang yang mengatur aspek administrasi suatu Negara menurut Maradona terletak pada rasa keadilan (sence of justice) dan kepentingan hukum dalam masyarakat itu sendiri yang harus diselidiki oleh badan pembentuk perundang-undangan.

  Dengan demikian eksistensi Undang- undang dapat menjadi sarana yang efektif dalam mendukung pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. 7 Kriminalisasi dalam undang-undang pengampunan pajak melarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. Bagaimana jika pihak yang memanajemen data tersebut mengetahui bahwa data harta yang diberitahukan oleh wajib pajak tersebut merupakan harta yang berasal dari tindak pidana korupsi, apakah dapat dilaporkan kepada aparat penegak hukum bahwa telah terjadi tindak pidana mengingat pelaporan tersebut merupakan kewajiban yang terdapat di dalam KUHAP Pasal 108 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan 6 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Op.Cit. Hlm. 30. 7 Wawancara pada tanggal 20 febuari 2017, Maradona S.H M.H. selaku Kepala Sub

  Bagian Persidangan Dewan Perwakilan

  hal itu kepada penyelidik dan penyidik” Sedangkan didalam undang-undang pengampunan pajak, membocorkan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepada pihak lain merupakan suatu tindak pidana.

  Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilihat kedudukan dari kedua ketentuan ini, kedua ketentuan ini mempunyai kedudukan yang sama yaitu keduanya merupakan undang-undang. oleh sebab itu asas yang diberlakukan adalah asas

  lex specialis derogat legi generalis ,

  secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generally). Apabila dihubungkan dengan kasus diatas maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan pidana di dalam undang-undang pengampunan pajak yang berarti bahwa para pihak yang terlibat tidak boleh membocorkan rahasia dari wajib pajak.

  Kriminalisasi untuk tidak membuka rahasia dari setiap wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak dengan adanya asas lex specialis

  derogat legi generali, maka akan

  mengesampingkan kewajiban untuk memberitahukan tentang adanya kejahatan yang sudah diatur didalam KUHAP, sehingga jika para pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan undang-undang ini mengetahui adanya tindak pidana berdasarkan rahasia dan data yang diberitahukan oleh wajib pajak dengan adanya ketentuan ini hal tersebut tidak boleh diberitahukan kepada aparat penegak hukum.

  Kriminalisasi dalam undang-undang pengampunan pajak dapat pula dikaitkan dengan ketentuan yang ada didalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pada Pasal 21 dan

  Pasal 22. Pasal 21 menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).” Kemudian Pasal 22 menyatakan bahwa “ Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,

  Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).”

  Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bila dikaitkan dengan kriminalisasi undang-undang pengampunan pajak maka terjadi pertentangan diantara kedua undang-undang ini dalam hal terjadi harta yang didaftarkan oleh wajib pajak merupakan harta yang diindikasikan merupakan harta yang berasal dari tindak pidana korupsi, disatu sisi undang-undang pengampunan pajak melarang setiap orang yang berkaitan dengan pelaksanaan undang- undang pengampunan pajak untuk membocorkan data dari Wajib Pajak, disisi lain undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi mewajibkan setiap orang untuk memberikan keterangan yang benar dalam proses penegakkan hukum dalam kasus korupsi. Solusi untuk masalah tersebut ada dalam

  Pasal 22 undang-undang pengampunan pajak, Pasal ini menyatakan bahwa “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Jadi walaupun undang- undang pengampunan pajak melarang setiap perbuatan pembocoran rahasia wajib pajak, tetapi dengan adanya ketentuan dalam Pasal 22 tersebut maka pembocoran rahasia dapat dilakukan, Pasal tersebut menentukan bahwa dalam memanagement data terkait proses pengampunan pajak jika didasarkan pada “itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan” maka tidak dapat dilakukan penuntutan kepada pihak yang mengelola data tersebut.

  Kriminalisasi seperti ini menurut penulis untuk mendongkrak minat dari para wajib pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak, dikarenakan rahasia wajib pajak terjamin oleh undang-undang ini hal tersebut membuat rasa aman bagi para wajib pajak untuk mendaftarkan hartanya dan tidak perlu takut jika kerahasiaannya dilanggar mengingat harta yang didaftarkan didalam program ini merupakan harta dalam jumlah yang besar.

  Berdasarkan penjelasan yang sudah dijelaskan sebelumnya penulis berpendapat bahwa formulasi kriminalisasi didalam undang-undang pengampunan pajak kurang tepat dikarenakan formulasinya hanya sebatas kejahatan membuka rahasia, dikarenakan krminalisasi untuk melarang seseorang untuk membuka rahasia didalam undang-undang pengampunan pajak akan menyulitkan aparat penegak hukum untuk menjalankan tugasnya, walaupun tujuan diformulasikannya kriminalisasi yang seperti ini untuk menambah keinginan dari wajib pajak untuk mengikuti program tetapi seharusnya diformulasikan juga jenis harta yang tidak ada harta yang berasal dari uang haram didaftarkan dalam program pengampunan pajak.

  Penentuan subjek hukum dalam hukum pidana terkait dengan penentuan pertanggungjawaban pidana. Subjek tindak pidana dalam undang-undang pengampunan pajak merupakan pihak yang terlibat didalam pelaksanaan program pengampunan pajak, Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2016 menentukan “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain”. Berdasarkan Pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana didalam undang-undang ini merupakan pihak yang terlibat pelaksanaan program pengampunan pajak yang dalam hal ini yaitu Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. Undang-undang pengampunan pajak memformulasikan subjek tindak pidana dengan kata- kata “pihak lain”. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dalam Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2016, Hal tersebut bisa saja merujuk pada orang atau badan hukum.

  Subjek tindak pidana undang-undang ini menurut penulis tidak hanya orang melainkan juga badan hukum termasuk didalamnya, dikarenakan dapat terjadi kejahatan membuka rahasia yang hukum itu sendiri. Sedangkan kata

  “pihak lain” didalam undang-undang ini tidak menjelaskan apakah itu orang atau badan hukum. Jadi menurut penulis tindak pidana dalam undang-undang ini dapat saja dilakukan oleh pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses pengampunan pajak.

2) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Undang-undang Pengampunan Pajak

  Pasal 59 KUHP telah menentukan “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komsaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.” Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, dalam hal jika terdapat tindak pidana didalam pelaksanaan Undang-undang pengampunan pajak yang dilakukan oleh badan hukum. Maka pertanggung jawaban tindak pidana tidak dijatuhkan kepada badan hukum tersebut melainkan kepada pengurus didalam badan hukum tersebut yang melakukan tindak pidana, sedangkan pengurus yang lain tidak dipidana.

  Pertanggungjawaban pidana pada ketentuan pidana yang dilakukan pada pelaksanaan program pengampunan pajak menurut penulis sudah sesuai, pertanggungjawaban tindak pidana mayoritas ada pada pihak dari kementrian keuangan selaku pihak yang memanajemen data dan informasi terkait pengampunan pajak.

  3) Formulasi Sanksi Pidana dalam Undang-undang Pengampunan Pajak

  Pedoman pembuatan ketentuan pidana didalam undang-undang terdapat didalam lampiran UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa dalam batang tubuh perundang-undangan jika diperlukan untuk membuat ketentuan pidana, maka dalam perumusannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan: “Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab UU Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan peruuan lain (Pasal 103 Kitab UU Hukum Pidana). Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku” Berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Pengampunan Pajak dapat diketahui Ketentuan Pidana dalam Undang- undang Pengampunan Pajak yaitu : (1)

  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2)

  Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Berdasarkan Pasal 23 tersebut dapat diketahui bahwa sanksi bagi para pelaku tindak pidana didalam undang-undang pengampunan pajak diancam dengan hukuman paling lama 5 (lima) tahun penjara. Formulasi sanksi pidana undang-undang pengampunan pajak mirip dengan perumusan sanksi kejahatan membuka rahasia yang ada di KUHP dalam hal menentukan jenis sanksi, perumusan sanksi dan bobot sanksinya. Ketentuan pidana terhadap orang yang membuka rahasia pada Pasal 322 KUHP menurut Sanusi Husain merupakan ketentuan yang berlaku umum dan untuk semua orang yang berguna meminimalisir terjadinya kejahatan pembukaan rahasia seseorang, Namun didalam undang-undang Pengampunan Pajak diformulasikan lagi suatu yang terlibat dalam pelaksanan program pengampuan pajak supaya tidak membuka kerahasiaan data milik Wajib Pajak yang harus disimpannya. 8 Sanksi pidana menegenai kejahatan membuka rahasia yang ada didalam

  KUHP menggunakan Double Track

  System , Double track system merupakan

  sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana yang digunakan pada perundang-undangan, jenis sanksi pidana disatu sisi dan jenis sanksi tindakan dilain sisi. Sedangkan sanksi pidana yang ada didalam Undang- undang pengampunan pajak menggunakan Single Track System, hanya ada ancaman pidana penjara bagi para pelanggarnya, tidak ada alternatif hukuman lain didalam perumusannya. Batas maksimum pidana penjara didalam UU No. 11 Tahun 2016 dibandingkan dengan ketentuan membuka rahasia didalam KUHP terjadi pemberatan dalam hal bobot sanksinya, pada KUHP ketentuan mengenai kejahatan membuka rahasia ancaman penjaranya maksimal 9 bulan sedangkan didalam UU No.11 Tahun 2016 ancaman penjaranya maksimal 5 tahun penjara. Menurut Sanusi Husain, Pajak merupakan sumber pendapatan Negara dan bisa membantu perekonomian warga Negara oleh sebab itu diperlukan suatu kepastian hukum yang dapat melindungi setiap wajib pajak, maka diformulasikanlah suatu ketentuan khusus didalam perpajakan yang bobot sanksinya lebih berat jika dibandingkan dengan KUHP. 9 Selanjutnya Maradona menyatakan bahwa formulasi sanksi pidana yang dirumuskan lebih berat seperti itu merupakan hal yang tepat 8 Wawancara pada tanggal 16 maret 2017,

  Prof. Dr. Sanusi Husin S.H M.H selaku Guru Besar Minat Pidana Fakultas hukum Universitas Lampung. 9 Wawancara pada tanggal 16 maret 2017, Prof. Dr. Sanusi Husin S.H M.H selaku Guru Besar Minat Pidana Fakultas hukum agar para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang pengampunan pajak tidak melakukan tindak pidana seperti yang sudah ditentukan dikarenakan bobot pidana yang lebih berat yaitu 5 tahun. 10 Kedua ketentuan ini memberlakukan delik aduan, Delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya, Artinya jika terjadi pelanggaran ketentuan pidana didalam Undang-undang Pengampunan Pajak, maka orang pribadi yang kerahasiaanya dilanggar dalam proses pelasanaan Pengampunan Pajak inilah yang dapat melakukan pengaduan dan setelah adanya pengaduan dari korban tersebut barulah ketentuan pidana didalam Undang-undang Pengampunan Pajak ini diterapkan.

  Perumusan sanksi pidana didalam undang-undang pengampunan pajak yang diformulasikan lebih berat dari yang ada didalam KUHP menurut herman akan memacu para Wajib Pajak untuk mendaftarkan hartanya yang ada diluar negeri untuk dialihkan kedalam Negara Indonesia, dengan adanya sanksi pidana bagi para pelanggar maka akan memberikan rasa aman bagi wajib pajak dikarenakan mereka tidak akan takut rahasia dari hartanya tersebut akan dibocorkan kepada pihak lain. Dengan adanya ancaman maksimal 5 tahun akan membuat pelaku tindak pidana dalam undang-undang ini berfikir berulang kali untuk melanggarnya dikarenakan sanksi yang cukup berat. 11

  Maradona S.H M.H. selaku Kepala Sub Bagian Persidangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandar Lampung. 11 Wawancara pada tanggal 17 febuari 2017, Herman Saidi Adam selaku kepala bidang penyuluhan pelayanan dan hubungan masyarakat kantor wilayah direktorat

  Perumusan sanksi pidana didalam UU No. 11 Tahun 2016 tidak menyimpang dari pola sanksi minimum yang ditetapkan oleh KUHP. Pasal 12 ayat (2) KUHP menentukan Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Batas maksimum penjara yang ditentukan didalam UU No. 11 Tahun 2016 paling lama adalah 5 tahun.

  Perumusan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Pengampunan Pajak menurut analisis penulis sudah tepat dengan tujuan dari diformulasikannya suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan Ketentuan Pidana dalam undang-undang Pengampunan Pajak sudah dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang diatur, mulai dari perumusan ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan ancaman pidana yang ada didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sampai pemberlakuan delik aduan didalam ketentuan ini. Perumusan yang seperti itu menurut penulis sudah tepat dan membantu para pihak yang terlibat dalam pengaplikasian undang-undang pengampunan pajak ini.

  B. Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Undang-undang Pengampunan Pajak telah memenuhi keadilan substantif.

  Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya

10 Wawancara pada tanggal 20 febuari 2017,

  Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu atau masyarakat. Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Berikut pandangan ahli tentang keadilan. 12 Hans

  Kelsen, berpendapat keadilan tentu saja digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang- undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma 'adil' hanya kata lain dari'benar'. Aristoteles, mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Keadilan substansif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan- aturan hukum substansif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substansif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah, bisa saja dibenarkan jika secara materil substansinya sudah cukup adil ( hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substansif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan dengan keadilan substansif berarti hukum bisa mengabaikan undang- undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. 13 Artinya hakim dituntut memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normative undang-

   13

  undang, sehingga keadilan substansif selalu saja sulit dilakukan melalui putusan hakim, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal. Herman menjelaskan ketika berbicara tentang keadilan, kita berbicara sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang dianggap adil menurut seseorang belum tentu dianggap adil oleh orang lain. Disitulah peran hakim dalam memutuskan hukuman bagi para pelaku pelanggar ketentuan pidana didalam undang- undang pengampunan pajak. 14 Tidak semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu ditanggapi dengan baik oleh masyarakat, menurut Maradona terdapat pro dan kontra dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, contohnya pada formulasi ketentuan pidana dalam undang-undang pengampunan pajak ini. Tidak semua masyarakat setuju dengan kebijakan ini, namun disisi lain kebijakan ini sangat diperlukan bagi Negara kita guna pembangunan nasional. Jadi apa yang dianggap seseorang adil maka belum tentu hal tersebut adil bagi orang lain, semua itu tergantung bagaimana cara kita melihat dan menyikapi keadilan tersebut, namun secara garis besar kebijakan yang diambil pemerintah itu berguna bagi Negara Indonesia. 15 Ketentuan pidana membuka rahasia sudah ada didalam KUHP, menurut sanusi Husain berarti substansi dari ketentuan pidana didalam undang- undang pengampunan pajak tidak bertentangan dengan aturan norma yang sudah ada yang dalam hal ini yaitu 14 Wawancara pada tanggal 17 febuari 2017,

  Herman Saidi Adam selaku kepala bidang penyuluhan pelayanan dan hubungan masyarakat kantor wilayah direktorat jenderal pajak Bengkulu dan Lampung. 15 Wawancara pada tanggal 20 febuari 2017, Maradona S.H. M.H selaku Kepala Sub Bagian Persidangan Dewan Perwakilan

  penjara saja maka hal itu dinilai belum cukup untuk memberikan efek jera bagi pelanggar dan dibutuhkan pidana tambahan agar dapat mengganti kerugian materil bagi si korban. 2)

  Semua pihak yang terlibat didalam program pengampunan pajak agar menjaga rahasia dari setiap wajib pajak yang mendaftarkan hartanya kedalam program pengampunan pajak agar terlaksananya undang- undang dengan baik.

  Menurut penulis keadilan bagi setiap orang berbeda-beda, dalam konteks pelaksanaan program pengampunan pajak dengan diberlakukan ketentuan ini penulis rasa sudah adil bagi para pihak yang terlibat, undang-undang ini sudah dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang diatur.

IV. PENUTUP A. Simpulan

  1) Formulasi kriminalisasi didalam undang-undang pengampunan pajak adalah perbuatan membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi wajib pajak kepada pihak lain.

  2) Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam undang-undang pengampunan pajak adalah Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak.

  Nawawi, Barda Arief, 2002, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Cet II, Bandung: Citra Aditya.

  DAFTAR PUSTAKA Buku

  1) Diharapkan kepada anggota legislatif sebagai pihak pembuat suatu perundang-undangan agar merumuskan suatu sanksi pidana dengan menggunakan double track

  system sebab jika hanya pidana

  KUHP 16 , dan bisa dikatakan bahwa formulasi ketentuan pidana didalam undang-undang pengampunan pajak ini sudah adil karena dalam perumusannya sudah berdasarkan norma yang sudah ada sebelumnya.

  • , 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • , 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
    • keadilan-para-ahli.html

  Prof. Dr. Sanusi Husin S.H M.H selaku Guru Besar Minat Pidana Fakultas hukum B. Saran

  4) Ketentuan pidana didalam undang- undang pengampunan pajak dirasa sudah adil karena sudah dapat menampung semua hal yang relevan dengan bidang atau masalah yang diatur.

  Internet

  https://makalahkomplit.blogspot.co.id/2 012/08/pengertian-keadilan- substantif.html http://hadisti.blogspot.com/2012/11/teori

  Perundang-undangan

  Penjelasan Undang-undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

  3) Sanksi bagi para pelaku yang melanggar ketentuan pidana didalam undang-undang pengampunan pajak diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.