Posisi Taiwan dalam Politik Luar Negeri

TUGAS RESUME KELOMPOK 8
Anggota

: Redita Adenisty (2011230006)
: Rizko Prihandono
: Fransisca Shintawati K. (2011230072)
: Dwi Mulwanti (2011230081)
: Annisa Cinde K. (2011230084)

Posisi Taiwan dalam Politik Luar Negeri China
1. Latar Belakang Sejarah China-Taiwan
Menurut kelompok kami, presentasi dari kelompok lima tidak menjabarkan
hubungan China dengan Taiwan pada masa sebelum diadakannya proses unifikasi.
Dalam review kelompok, kami menjelaskan latar belakang sejarah Cina dan Taiwan
dimana dahulu Taiwan pernah bersatu dengan Cina dalam aspek topografi. Dalam
sejarahnya, kelompok lima tidak menjelaskan bagaimana awal mula konflik antara
China dengan Taiwan dan bagaimana hubungan antara Taiwan dengan China saat
konflik.
Dalam aspek topografi di masa zaman kuno, Pulau Taiwan memang menyatu
dengan China daratan. Akan tetapi, karena disebabkan oleh pergerakan bumi, bagian
yang menjadi penghubung itu turun dan berubah menjadi selat, maka Taiwan turut

menjadi pulau. Pulau kecil di timur pulau Hainan ini lebih dikenal sebagai China
Taipei. Sebutan China Taipei ini sendiri sebenarnya untuk menggambarkan lebih
jelas akan posisi Taiwan itu sendiri.
Kata “China”, untuk menggambarkan bahwa pulau tersebut merupakan bagian
dari China, dan kata “Taipei” untuk menunjukkan identitas Taiwan yang beribukota
di Taipei. Terdapatnya banyak benda budaya yang ditemukan di berbagai tempat di
Taipei, Taiwan, yang diantaranya alat dari batu, keramik hitam dan keramik
berwarna membuktikan bahwa kebudayaan Taiwan sebelum adanya catatan sejarah,
memang sama dengan kebudayaan yang ada di China daratan.

Sejarah Taiwan mulai dicatat pada pertengahan abad ke-17, yaitu pada saat
Taiwan dijajah oleh Belanda. Pulau yang lebih dikenal sebagai pulau Formosa ini
menjadi salah satu pulau tempat pangkalan militer Belanda. Akan tetapi, penjajahan
Belanda tidaklah bertahan lama setelah seorang loyalis Dinasti Ming bernama Cheng
Cheng-Kung membebaskan Taiwan dan mendirikan Kerajaan Tungning (1662-1683)
yang beribukota di Tainan. (Kemenhan Taiwan: Militer Latihan Serangan Gaya
Hari-H China: http://kompas.com )
Selanjutnya, Taiwan kembali menjadi rebutan. Dinasti Qing atau biasa disebut
sebagai Dinasti Manchuria berusaha untuk menjadikan Taiwan sebagai bagiannya.
Serangan Dinasti Qing yang berasal dari daratan Tiongkok di bawah pimpinan

Laksamana Shi Lang, terus menerus dijalankan. Sampai Akhirnya Dinasti Qing
berhasil merebut Taiwan dari Kerajaan Tungning, dan menguasainya hingga Jepang
menyerang pada tahun 1895.
Taiwan terus berada di bawah protektorat Jepang hingga Perang Dunia II
berakhir. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Taiwan kemudian dikembalikan
kepada pemerintah Republik China, pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Dr. Sun Yat Sen yang
juga merupakan ketua partai Kuomintang, merupakan pendiri Republik China di
Nanjing.
Akan tetapi, posisi Taiwan kembali berubah ketika terjadi perang saudara di
China daratan antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis. Perang
yang berakhir di tahun 1949 ini dimenangkan oleh kubu komunis yang kemudian
membuat Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan, Kuomintang yang
dipimpin oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap
diberi nama Republik China. Chiang Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan
tujuan untuk tetap mempertahankan filosofis nasionalis, dan berusaha membangun
kekuatan untuk pada akhirnya kembali merebut China daratan.

1. Konflik China-Taiwan
Sebelumnya, Taiwan lebih dikenal dengan nama Pulau Formosa. Formosa
sempat jatuh ke masa pendudukan Jepang hingga tahun 1945. Jepang kemudian

mengembalikan Formosa kepada China karena harus menerima hukuman kekalahan
Perang Dunia II. Pada tahun 1949, ketika Mao Zedong meresmikan berdirinya

People’s Republic of China (PRC), Taiwan termasuk sebuah provinsi di dalamnya
(Dumbaugh, 2009: 1).
Masalah yang kemudian muncul adalah ketika terjadi perselisihan politik di
China antara Mao Zedong dari partai Komunis dan Chiang Kai Shek dari partai
Kuomintang. Ketika Mao memenangkan pemilu pada 1 Okober 1949, Chiang Kai
Shek pergi ke Taiwan dan mendirikan Republic of China (ROC) di Taipei dan
berjanji akan merebut China dari tangan Komunis suatu hari nanti (Dumbaugh,
2009: 1).
Di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek inilah Taiwan mulai melakukan
kerjasama dengan Amerika Serikat, yang pada tahun 1950 menghasilkan US-ROC
Mutual Defense of Treaty untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dan
menjadi basis anti sino-soviet communism. Sayangnya, pada tahun 1972, US justru
mengakui PRC sebagai negara yang berdaulat akibat adanya perjanjian Shanghai
Communiqué (Dumbaugh, 2009: 2-3). Inilah yang pada akhirnya membuat Taiwan
hanya diakui sebagai provinsi bagian dari China. Akibatnya, tensi antara China dan
Taiwan semakin meningkat dan kerap terjadi kontak militer di selat Taiwan. Dalam
hal ini, Taiwan bersikukuh untuk tidak bersedia menyatukan dirinya dengan China.

Sementara itu, China terus melakukan tekanan-tekanan terhadap Taiwan untuk
menyetujui adanya reunification one-China.
Ketegangan kemudian sedikit mereda ketika Taiwan mulai memberikan
lampu hijau untuk perdamaian keduanya. Presiden Ma Ying Jeou berusaha
meningkatkan interaksi dan integrasi ekonomi Taiwan Strait dengan harapan
tercapainya pendekatan politik dan persetujuan perdamaian antara Taipe dan
Beijing (Keng and Schubert, 2010: 287). Ini merupakan kelanjutan dari adanya
perjanjian untuk mengurangi kekerasan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak
pada tahun 2005 (Rigger, 2006: 1). Desakan China untuk melakukan reunifikasi
tidak terlepas dari kepentingan ekonomi yang tumbuh cukup pesat di Taiwan. China
mungkin menyadari akan terjadi kehilangan yang luar biasa apabila melepaskan
Taiwan begitu saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Keng dan Schubert (2010:
289).
Mengenai proses reunifikasi Taiwan dan China, Keng dan Schubert (2010:
310) berpendapat bahwa hal ini memang berdampak sangat baik bagi China.

Namun, di sisi lain dapat memberikan efek positif dan negatif bagi Taiwan. Efek
negatif yang mungkin terjadi adalah apabila diskusi mengenai integrasi ekonomi
dan sosial tidak terkontrol, maka banyak investasi masyarakat Taiwan di China
daratan, yang tidak bisa diprediksikan masa depannya. Apabila nantinya di China

terjadi pemampatan pasar kapital domestik, hal ini akan berdampak pada inflasi
yang tinggi di Taiwan karena tentunya akan terjadi migrasi pekerja China ke Taiwan
yang akan membuat pekerja Taiwan terdesak. Sehingga, selain menimbulkan efek
ekonomi yang berbahaya, akan berujung pula gesekan sosial di masyarakat.
Hubungan Taiwan-China yang masih menggantung ini tentunya
memberikan dampak pada hubungan luar negeri Taiwan, dimana hubungan tersebut
kemudian tidak diakui sebagai hubungan diplomatik tetapi hanya sebagai hubungan
dagang atau ekonomi biasa. Hal ini dikarenakan Taiwan masih dipandang sebagai
wilayah bagian dari China dan tidak memiliki kedaulatan negara sendiri. Selain
akibat hubungan fluktuatifnya dengan China, dinamika perpolitikan Taiwan tidak
terlepas dari peran pihak asing utamanya Jepang dan Amerika Serikat yang sempat
menjalin hubungan dengan Taiwan dalam jangka waktu yang lama. Pengaruh
Amerika Serikat kepada Taiwan ini jelas sekali terlihat dalam sistem politik dan
ekonomi Taiwan yang berbasis Demokrasi Liberal. Pembagian kekuasaan di
Taiwan, yakni kepala pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden dengan masa
jabatan 4 tahun yang mengawasi Yuan Eksekutif (terdiri dari Perdana Menteri dan
anggota kabinet), Yuan Perwakilan, Yuan Kehakiman dan Yuan Pengawas; dan
memiliki dewan Perwakilan dengan masa jabatan selama 3 tahun, dengan proses
pembuatan konstitusi yang dilakukan oleh Yuan Perwakilan dan pemilih dari
kalangan rakyat (Triharso, nd). Dengan sistem politik ini, maka Taiwan memiliki

potensi untuk mengembangkan industri, manufaktur, teknologi informasi dan
memperbesar Foreign Direct Investment (FDI), sebagaimana yang dikatakan
Eriksson (2005: 58)

2. Hubungan China-Taiwan Pasca Konflik

Disini kami menambahkan bagaiman hubungan China dan Taiwan pasca
konflik, karena kelompok 5 tidak menjelaskan bagaimana hubungan China dan
Taiwan pasca konflik. Sejak berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet
awal 1990-an, ketegangan politik antara China dan Taiwan tetap menjadi isu panas
dan serius di level mondial atau secara khusus di kawasan Asia Timur.
Pada tahun 2008, China-Taiwan telah menorehkan sejarah penting dengan
adanya peristiwa penerbangan sebuah pesawat asal Guangzhou, China, yang
mendarat secara langsung di Taipei, Taiwan, untuk pertama kali setelah 60 tahun
vakum. Penerbangan itu juga menepis kecemasan akan pecahnya konflik di antara
kedua negara. Skenario politik Republik China di Taiwan sekarang terbagi antara
dua pihak dengan pihak Pan-Biru diketuai partai KMT dan dianggotai Partai Rakyat
Utama (PFP) dan Partai Baru (NP) yang berpendirian pro-penyatuan semula dengan
China sementara pihak Pan-Hijau diketuai Parti Progresif Demokrat (DPP) dan
dianggotai Uni Persekutuan Taiwan (TSU) yang berpendirian pro-Merdeka. Para

penyokong pihak Pan-Hijau menuntut kemerdekaaan Taiwan secara total dan
formal dan menekankan Taiwan sebagai entitas berlainan dari China. Nama
'Republik China' juga dicemooh dan dikatakan tidak ada. Kendatipun begitu,
anggota Pan-Hijau yang lebih progresif mengatakan tidak perlu untuk menyatakan
kemerdekaan secara formal karena Taiwan sekarang 'telah menjadi sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat'. Sebagian anggota kelompok Pan-Hijau ini telah
bertindak dengan lebih ekstrem dan menerbitkan paspor untuk negara yang
didakwa bernama "Republik Taiwan" itu.
Bagi warga Tionghoa di Indonesia, konflik China-Taiwan juga ada
dampaknya. Ada sebagian kecil warga Tionghoa yang bisa diprovokasi untuk
ekstrem mendukung salah satu. Misalnya, amat memuja China antipati kepada
Taiwan atau sebaliknya menyukai Taiwan dan membenci China. Intinya, banyak
yang tak ingin China-Taiwan berkonflik. Buktinya di seluruh dunia ada ratusan
organisasi atau forum yang dibentuk untuk mencegah konflik China-Taiwan. Di
Surabaya, didirikan Forum Perdamaian Tiongkok pada 19 Maret 2007.
Namun, tidak pernah ada kecemasan akan meledaknya konflik atau perang
antara China versus Taiwan. Ini didukung fakta meski di tataran politik ChinaTaiwan bermusuhan, tetapi jangan lupa di sektor ekonomi, khususnya dalam hal

bisnis dan investasi, keduanya justru bisa saling bermitra. Ini tidak boleh dilupakan.
Sejak tahun 2002, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi Taiwan.

Hubungan perdagangan kedua pihak selama tahun 2006 naik 15,4 persen menjadi
88,12 miliar dollar AS.
Dalam tataran budaya, Pemerintah China tidak pernah menutup pintu bagi
warga Taiwan yang ingin berkunjung ke tanah leluhur, demikian juga sebaliknya.
Jadi dalam level ekonomi atau kebudayaan, seolah tidak pernah ada konflik diantara
keduanya.
3. Peran Presiden Ma Ying-jeou
Apalagi dengan tampilnya sosok Ma Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan
sejak 20 Mei 2008 lalu. Ma dan rekannya, Vincent Siew—kini menjabat wakil
presiden—menang dalam pemilihan presiden, 22 Maret lalu. Mereka mengantongi
58,45 persen suara. Sebagai presiden ketiga yang dipilih secara demokratis, Ma
sejak awal kampanye bertekad memulihkan hubungan Taiwan dan China daratan
serta merevitalisasi perekonomian. Pembukaan rute penerbangan langsung ChinaTaiwan merupakan realisasi janji Ma yang agaknya sudah muak dengan segala hal
yang bersifat politik terkait relasi China-Taiwan. Agaknya Ma belajar banyak dari
presiden yang digantikan, Chen Shui-bian. Meski bertahan delapan tahun, sepak
terjang Chen yang prokemerdekaan justru tidak membawa kesejahteraan bagi
rakyat Taiwan. Sebaliknya, sikap keras pemerintahan Chen kerap memicu konflik
dengan China daratan.
Maka, bagi Ma, China-Taiwan lebih baik bekerja sama, mengingat
keduanya mewarisi filosofi, tradisi, dan nilai kebudayaan yang sama. Sejak kecil

Ma, yang kelahiran Hongkong amat doyan ajaran dan filosofi para filsuf klasik
China, seperti Lao Tse, yang begitu menekankan pentingnya harmoni dalam
kehidupan. Namun, upaya Ma menjalin kerja sama dalam harmoni dengan China
daratan membuat sebagian kecil warga Taiwan diliputi kecemasan. Yang
ditakutkan, para pelaku ekonomi asal China akan kembali menguasai Taiwan lewat
jalur ekonomi. Tetapi Ma menjamin dia tidak akan menggadaikan Taiwan. Ma
hanya yakin jika China dan Taiwan bisa bermitra secara sejajar, otomatis martabat
Taiwan akan terangkat dengan sendirinya di mata dunia internasional.

Menurut Ma, dalam pidato pertamanya, normalisasi hubungan ekonomi dan
budaya antara China dan Taiwan merupakan solusi paling masuk akal dan samasama menguntungkan. Konflik atau ketegangan politik terbukti tak pernah
memberikan kontribusi apa pun.
4. Kesimpulan
Menurut kelompok kami, hingga saat ini, dunia internasional masih
memandang Taiwan sebagai sebuah wilayah yang menjadi bagian dari negara
China. Padahal, masyarakat Taiwan sendiri sudah lama mengklaim dirinya
merupakan wilayah merdeka yang berada di luar China. Hal ini dikarenakan Taiwan
tidak menghendaki pemberlakuan sistem pemerintahan otoriter yang diterapkan
oleh Mao Zedong kepada China, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Taiwan. Akibat adanya clash tersebut,

political forces di Taiwan terbagi menjadi dua, yakni kelompok radikal dan moderat
(Sutter, 2008: 201).
Kesejahteraan ekonomi pada akhirnya membentuk pola pikir masyarakat
Taiwan yang bebas dan menghargai pluralitas. Inilah yang membuat masyarakat
secara perlahan hidup di bawah pemerintahan yang jauh lebih demokratis (Lau,
2002 dalam stanford.edu, diakses pada 9 Mei 2013). Seiring berkembangnya waktu,
AS tidak hanya berpengaruh pada perkembangan ekonomi politik dalam intern
Taiwan. Keberadaan AS yang masih dipandang sebagai hegemon juga hadir di
tengah-tengah usaha reunifikasi Taiwan dan China. Beberapa pihak di China justru
memandang oposisi Amerika dalam usaha reunifikasi tersebut dengan alasan
apabila Taiwan telah resmi menyatukan diri dengan China maka Amerika akan
mengalami kesulitan untuk mengakses investasi di Taiwan.
Sehingga dalam hal ini, Amerika dianggap lebih mendukung Taiwan untuk
merdeka yang tentunya menjadi resistensi bagi hubungan China dan Taiwan
(Kennedy, 2007: 286). Adanya pandangan ini, membuat Amerika lebih berhati-hati
dalam bertindak. Kennedy (2007: 287) juga menyatakan,”Before undertaking a
comprehensive effort to reduce Chinese anxieties the U.S. government should
develop a clearer view of its long-term goals on the Taiwan issue.”. Oleh karena itu,
the U.S. has a policy, but not a strategy, toward Taiwan (Kennedy, 2007: 287).


Adanya pandangan ini, membuat Amerika lebih berhati-hati dalam
bertindak. Kennedy (2007: 287) juga menyatakan,
”Before undertaking a comprehensive effort to reduce Chinese anxieties the U.S.
government should develop a clearer view of its long-term goals on the Taiwan
issue.”. Oleh karena itu, the U.S. has a policy, but not a strategy, toward Taiwan
(Kennedy, 2007: 287).
Sementara itu, pengaruh Jepang terhadap Taiwan sejatinya lebih banyak
berdampak pada perkembangan ekonomi daripada politik. Masyarakat Taiwan yang
pada mulanya memberikan konsentrasi pada hasil pertanian mengalami pergeseran
menuju perkembangan industri pada kisaran tahun 1895 hingga 1845. Jepang
kemudian membangun infrastruktur di Taiwan untuk mempermudah dan
memperlancar kelangsungan produksi yang nantinya juga akan berpengaruh pada
peningkatan ekonomi di Jepang (Triharso, n.d.). Pendudukan Jepang ini juga
menjadikan ekonomi Taiwan yang mengarah pada sistem Kapitalis.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa berdirinya Taiwan
sebagai entitas hubungan internasional tidak terlepas dari negara-negara yang
pernah dan masih menjalin hubungan dengan Taiwan. Beberapa diantaranya adalah
China, yang hingga saat ini sedang mengusahakan rekonsiliasi dan reunifikasi
dengan Taiwan. Ada juga Amerika Serikat yang mempengaruhi Taiwan melalui
ideologi demokratis liberalisnya sehingga membentuk pola pikir dan ekonomi
masyarakat yang pluralis, bebas dan kapitalis. Sementara itu Jepang lebih memperi
pengaruh pada kapitalisasi ekonomi selama masa pendudukannya pada abad ke 19
dan 20.
Terlihat banyak sekali kepentingan asing yang ada dalam dinamika politik
Taiwan. Secara ekonomi Taiwan telah berkembang pesat dan mampu memberikan
kesejahteraan pada masyarakatnya. Selain itu, Taiwan juga memperoleh
kepercayaan internasional atas potensi investasi di dalam Taiwan. Namun, Taiwan
juga perlu untuk segera menentukan status perpolitikannya agar segala sistem dapat
berjalan sesuai dengan harapan. Mengenai reunifikasi ini, Taiwan dan China
diyakini mampu berdiskusi lebih dalam untuk tidak saling egois dan saling
menghargai kepentingan masing-masing.

Daftar Pustaka

1. Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China Relations?" dalam China
Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World Security Institute.
2. Dumbaugh, Kerry.2008. "Tibet: Problems, Prospects, and U.S. Policy dalam
CSR Report for Congress. Diakses dari www.cfr.org
3. Kennedy, Bingham. 2007. China's Perceptions of U.S. Intentions toward
Taiwan: How Hostile a Hegemon? dalam Asian Survey, Vol. 47, No. 2.
California: University of California Press.,, pp. 268-287.
4. Lau, Lawrence J. 2002. Taiwan as a Model for Economic Development.
Stanford: Stanford University, diakses pada 17 Oktober 2013 dari
5. http://www.stanford.edu/~LJLAU
6. nn. 2011. Kemenhan Taiwan: Militer Latihan Serangan Gaya Hari-H China:
http://kompas.com
7. Rigger, Shelley. 2006. Taiwan Rising Rationalism: Generations, Politics and
“Taiwanese Nationalism”. Washington: East-West Center., pp. 1-73.
8. Sutter, Robert G. 2008. Chinese Foreign Relation: Power and Policy since the
Cold War. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher.inc.
9. Triharso, Ajar. n.d. Republic China-Taiwan.