Budaya Latah Bangsa di Indonesia

Budaya Latah Bangsa di Indonesia
Joged Caesar Vs. Pendidikan Karakter Bangsa
Melihat fenomena “Joged Caesar” akhir-akhir ini sangat miris sekali pengaruhnya
terhadap budaya latah di Indonesia. Dalam hitungan hari, stasiun TV lain berebut menciptakan
acara dengan tema yang sama, namun dengan joged yang berbeda. Sungguh berbanding terbalik
dengan digembar-gemborkannya pendidikan karakter di sekolah. Apa kaitan keduanya? Mari kita
analisa bersama.
1. Budaya latah mendidik siswa untuk berkepribadian meniru bukan menciptakan
Mengkomersilkan acara dengan rating tinggi adalah kemauan produser, namun meniru acara
sejenis secara tidak langsung hanya menimbulkan kejenuhan saja. Bayangkan saja pagi,
siang, sore, dan malam kita menyaksikan acara sejenis dari berbagai stasiun TV yang
berbeda. Budaya seperti ini yang kemungkinan tertanam dalam konsep pola pikir mereka,
bahwa meniru itu sah-sah saja dan bahkan di Indonseai digemari.
2. Terlepas dari segi seni yang diciptakan “Joged Caesar” acara sejenis hanya mengumbar
fenomena hidup hura-hura, humor yang berlebihan dengan guyonan yang tak bermutu.
Karakter semacam ini jika dibiarkan tumbuh dalam jati diri anak bangsa, akan menjadikan
anak sebagai pribadi yang tidak berkualitas. Kita ambil contoh dari acara yang menaburkan
tepung di wajah orang lain secara sengaja. Meskipun dalam konteks “guyon” bukankah kita
mendidik anak-anak didik kita untuk menghormati orang lain? Pengaruh acara yang terlalu
bebas dalam bercanda, tanpa batasan norma dan etika menanamkan karakter tidak
menghargai privasi orang lain.

3. Dengan adanya acara-acara serupa di TV yang banyak digandrungi anak-anak muda/ anakanak usia produktif menimbulkan budaya konsumerisme. Cenderung membuang-buang

waktu, dan “kecanduan” hanya untuk bersenang-senang. Jika ada yang berpendapat acara ini
masih punya tingkatan pada level tidak membahayakan dibanding dengan narkoba, misalnya.
Tentu iya, namun tidak menutup kemungkinan untuk menuju kesana, karena anak cenderung
hanya ingin bersenang-senang. Generasi seperti ini nantinya tidak akan terbiasa menghadapi
masalah, apalagi menyusun alternatif pemecahan masalah.
4. Budaya serba instan dan anarkis
Anak-anak dengan budaya latah akan lebih suka segala sesuatu yang serba instan, terbiasa
dengan pemikiran praktis, tidak ada konsep untuk menemukan sendiri. Ingin semua
kebutuhan terpenuhi serba praktis. Sehingga jika menemui sedikit saja permasalahan, anak
cenderung emosional, dan anarkis. Pelariannya bisa jadi pada tawuran antar pelajar, bisa juga
budaya copy-paste. Ketika membuat tugas anak tidak mau repot membuat laporan, analisa,
penelitian, pengamatan, mereka lebih suka berselancar di dunia maya. Sangat jauh berbeda
dengan metode inquiry yang kita praktekkan di kelas.
Budaya meniru dalam hal-hal tertentu bisa jadi ada baiknya, tergantung sudut pandang
dan tujuannya. Bagaimanapun juga, sebagai pendidik kita dituntut untuk menanamkan
pendidikan karakter kepada anak didik kita. Menanamkan konsep-konsep pemikiran yang positif
sebagai pribadi yang cerdas. Memberikan motivasi serta menumbuhkan rasa ingin tahu akan
ilmu pengetahuan. Mengenai hasil biar mereka yang menentukan jalan hidup mereka masingmasing.