Etika Saksi dalam Perkara menurut Perjan

Etika Saksi dalam Perkara menurut Perjanjian Lama (Kitab Pentateukh)
1.

Pendahuluan
Dalam konteks hukum di Indonesia pada saat ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHAP) No 8 Tahun 1981 dalam Pasal 1 angka 26, saksi dibutuhkan untuk
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Saksi adalah
seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau
kejadian dramatis melalui indera mereka (misalnya penglihatan, pendengaran, penciuman,
sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu
kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal
juga sebagai saksi mata. Saksi sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan
kesaksiannya dalam suatu proses peradilan.1 Pentingnya peranan saksi dalam sebuah perkara
mengundang minat penulis untuk membahas hal tersebut dan di dalam paper ini penulis
mencoba memaparkan etika saksi dalam perkara menurut Perjanjian Lama.
2.

Pembahasan
a. Terminologi

Dalam bahasa Ibrani, saksi terambil dari kata ‘ana (harfiah=menjawab), ‘ud, ‘ed:

Yunani martureo, dan kata-kata yang berakar padanya martus, marturia dan marturion. Saksi
ialah orang yang memberi kesaksian tentang sesuatu yang ia sendiri telah melihatnya. 2
Seseorang yang memberi kesaksian untuk membuktikan/menegakkan kebenaran terhadap
sebuah tuduhan atau sebuah pernyataan fakta. Dalam masyarakat Perjanjian Lama, memberi
kesaksian sebagai saksi merupakan pengesahan formal berdasarkan kepercayaan bersama di
dalam masyarakat. Dokumen legal ditandatangan oleh saksi.3 Sembarang warga Israel dapat
dipanggil menjadi saksi, maka oleh karena itu tiap warga Israel menyadari betapa beratnya
tanggung jawab yang terletak pada bahunya bila ia menjadi saksi.4

1 www.wikipedia.org
2 Enslikopedia Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003),
340
3 W.H. Gispen, et al., The Eerdmans Bible Dictionary, ed. Allen C. Myers (Michigan: William B.
Eerdmans Publishing Company, 1987), 1061
4 I.J Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1997), 123

1


b. Dasa titah ke-9 sebagai dasar Saksi (Keluaran 20:16, Ulangan 5:20)
Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
Menurut rekonstruksi E. Nielsen, bentuk asli dasa titah ke-9 tidak mengalami
perubahan dalam versi Ulangan 5:20 dan versi Keluaran 20:16. Perbandingan anara versi
Ulangan dengan versi Keluaran memperlihatkan perbedaan sebagai berikut, yaitu bahwa
Ulangan memakai istilah “saksi sia-sia” (Ibrani: “syaw”), sedangkan Keluaran memakai
istilah “saksi dusta” (Ibrani: “syeker”). Secara formal ada perbedaan sedikit antara syaw dan
syeker, yakni bahwa syaw menekankan unsur kosong, tak bermakna, sedangkan syeker
menekankan unsur tipuan, dusta. Akan tetapi lapangan arti kedua istilah ini agak meluas,
sampai menjadi kira-kira sinonim. Kemungkinan versi Keluaran lebih asli dibandingkan
dengan versi Ulangan karena syeker merupakan istilah yang biasa, sedangkan Ulangan
terkena pengaruh bahasa dari Ulangan 5:11. “Mengucapkan saksi dusta”, kata Ibrani anah
yang diterjemahkan dengan mengucapkan, berarti secara harfiah menjawab. Kata itu
termasuk bahasa teknis yang berkenaan dengan proses pengadilan, dan dapat berarti membela
atau mendakwa. Kenyataan ini mengingatkan bahwa di dunia kuno (khususnya di Israel)
kesaksian palsu dapat membahayakan nyawa orang terdakwa.

Kata ini bukan hanya

mencakup kepalsuan saja, melainkan meliputi juga tiap-tiap usaha untuk menutupi kebenaran

dengan jalan memberikan kesaksian secara efektif, menciptakan kesan yang berat sebelah,
memupuk distorsi, dan sebagainya.5 Robert M. Patterson menambahkan apa yang diucapkan
saksi-saksi sangat bermakna. Oleh karena itu kesaksian yang jujur dan benar sangat
dibutuhkan, karena saksi dusta sangat merugikan bahkan merugikan banyak orang karena
masyarakat menjadi tidak stabil, aman, dan damai.6

5 I.J Cairns, 123-124
6 Robert M. Paterson, 271

2

c. Teks-teks yang membahas Saksi dalam Perkara menurut Kitab Pentateukh


Keluaran 23:1-2
Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang
bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar.
Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan, dan dalam

memberikan kesaksian mengenai sesuatu perkara janganlah engkau turut-turut kebanyakan

orang membelokkan hukum.
Kabar bohong yang dimaksud di sini yaitu kabar yang kosong, tanpa bukti atau tuduhan
yang tidak berdasarkan fakta. Kabar bohong merugikan reputasi orang dalam semua situasi
dan sering menyebabkan perselisihan serta kekerasan. Mengucapkan apa yang benar selalu
sangat penting, terlebih-lebih di pengadilan. Tujuan peraturan-peraturan dalam ayat 1-2 ialah
mencegah kesaksian palsu. Saksi-saksi tidak bisa membuat atau mengabarkan laporan yang
tidak benar di depan hakim. Dia juga tidak bisa menguatkan bukti seorang saksi yang
berdusta supaya orang yang tidak bersalah dihukum. Di samping itu, mereka tidak bisa
mengikuti pendapat mayoritas dari antara orang-orang yang hadir, jika mereka tahu bahwa
pendapat itu tidak benar, bahkan jika tidak cukup bukti. Mengikuti pendapat mayoritas yang
demikian dapat menyebabkan ketidakadilan. Segala sesuatu dalam pengadilan harus
dilaksanakan secara tepat dan benar. Saksi-saksi bertanggung jawab untuk menjaga
integritasnya supaya diberikan keputusan-keputusan yang adil.7


Imamat 5:1

Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang mengutuki, dan ia dapat
naik saksi karena ia melihat atau mengetahuinya, tetapi ia tidak mau memberi keterangan,
maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri.

Sesudah zaman mazhab Ulangan, mazhab Imamat meringkaskan Ulangan 19:15-21 dan
Bilangan 35:30, den menambahkan bahwa setiap orang yang mempunyai bahan kesaksian,
wajiblah mengutarakannya, mazhab Imamat menuliskannya dalam Imamat 5:1 ini. 8 Ayat ini
berbicara mengenai orang yang tidak mau bersaksi dalam pengadilan meskipun dia
mempunyai keterangan. Robert M. Patterson menambahkan ini berkaitan juga dengan dasa
7 Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 315-317
8 I.J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Ulangan 2 Pasal 12-34 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 116

3

titah ke-9, dimana orang yang tidak mengucapkan saksi sama sekali termasuk juga di
dalamnya.9 Ada banyak pandangan mengenai orang yang tidak mau memberi keterangan,
namun John E. Hartley menyatakan bahwa orang itu dapat dinyatakan bersalah 10 dan dia
berdosa. Di dalam Israel Kuno, tidak ada polisi, sehingga keamanana masyarakat berdasarkan
pada setiap informasi penduduk kepada pemimpin terkait dengan perbuatan salah atau
kegiatan-kegiatan gelap. Pengabaian melaporkan kegiatan menyimpang/kejahatan akan
membahayakan keamanan masyarakat dan solidaritas. Siapa pun yang berdosa dalam hal ini
harus menanggung tanggung jawab atas perbuatan salahnya11 dan harus mempersembahkan
korban penghapus dosa untuk memperoleh pendamaian dengan Allah.12



Bilangan 35:30

35:30 Setiap orang yang telah membunuh seseorang haruslah dibunuh sebagai pembunuh
menurut keterangan saksi-saksi, tetapi kalau hanya satu orang saksi saja tidak cukup untuk
memberi keterangan terhadap seseorang dalam perkara hukuman mati.
Ayat ini didasari oleh Ulangan 17:6 (terkait perkara penyembahan berhala) dan juga
Ulangan 19:15 (terkait dengan semua perkara)13 dimana menurut tradisi Timur Dekat Kuno
memang membutuhkan lebih dari seorang saksi dalam memperoleh tuntutan hukuman mati.14


Ulangan 17:6-7

Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati;
atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati.
Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia,
kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengahtengahmu.
Mengingat bahwa beban pembuktian dalam perkara di Israel Kuno adalah terletak pada
orang terdakwa dan bukan pada pendakwanya, makanya soal kesaksian sangat menentukan.
Kesaksian yang tidak benar langsung membahayakan nyawa orang yang tidak bersalah, maka

9 Robert M. Patterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Imamat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 72
10 Robert M. Patterson melihat ungkapan ia harus menanggung kesalahannya sendiri kadang-kadang
berarti “dihukum”, tetapi dalam konteksnya dalam teks tersebut, ungkapan ini mempunyai arti yang sama
dengan kata “bersalah” dalam ayat 2, 3, 4 dan 5.
11 John E. Hartley, Word Biblical Commentary: Leviticus (Dallas: Word Books, Publisher, 1992), 68
12 Robert M. Patterson, Tafsiran... Kitab Imamat, 72
13 Philip J. Budd, Word Biblical Commentary: Numbers (Waco: Word Books, Publisher, 1984), 338
14 Timothy R. Ashley, The New International Commentary On The Old Testament: The Book of
Numbers (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1993),655

4

oleh karena itu adalah penting bahwa kesaksian tunggal harus didukung paling sedikit oleh
kesaksian satu orang lagi ataupun dua orang lagi. Sanksi-sanksi berat harus dikenakan kepada
pihak yang sengaja memalsukan kesaksiannya. Hukuman mati di sini menunjuk kepada
pelemparan batu, dimana menurut Keluaran 8:26 hukuman ini sudah berlaku sebelum Israel
keluar dari Mesir, mula-mula dipakai sebagai menghukum tanpa menyentuh pihak yang
bersalah tersebut. Pelemparan batu merupakan penghukuman yang mengikut-sertakan
segenap masyarakat, dengan alasan bahwa segenap masyarakatlah yang kena bahaya
kenajisan yang dibuat oleh pihak yang bersalah itu. Maka dalam hal ini, saksi-saksi yang

kesaksiannya menyebabkan jatuhnya vonis itu harus bertindak sebagai pelaksana pertama,
seolah-olah dengan demikian saksi-saksi tersebut mengaku bahwa tanggung jawab hinggap
ke atas bahu mereka, bila ternyata akhirnya terdakwa itu bersalah. 15 Di sini proses pengadilan
menuntut kejujuran tidak hanya dari mereka yang mengelolanya tetapi juga dari semua yang
terlibat di dalamnya. Para saksi harus disiapkan untuk menghadapi hukuman yang sangat
berat bila kesaksian mereka terbukti palsu. Semua orang Israel hendaknya bertanggung jawab
terhadap kejujuran dari sistem pengadilan. Tujuan utama dari sistem ini ialah untuk
membersihkan Israel dari praktek-praktek merusak yang mengancam keberadaan
masyarakat.16


Ulangan 19:15-21
Kejujuran dari suatu sistem peradilan tergantung pada dapat dipercayanya saksi-saksi.

Bagian ini merupakan perluasan dari pasal 17:6 dimana di sini diperluas untuk semua kasus.
Jika kejujuran saksi diragukan, orang hendaknya naik banding ke pengadilan pusat (ay 17).
Perhatian di sini adalah pada hukuman bagi mereka yang dituduh sumpah palsu. Hukuman
untuk sumpah palsu sesuai dengan hukuman bagi kesaksian palsu yang dituduhkan kepada
teman sebangsanya Israel. Akhirnya kejahatan akan menimpa mereka yang merencanakan
kejahatan bagi orang lain. Mereka yang membahayakan kehidupan orang yang tidak bersalah

dengan sumpah palsunya akan menemukan hidupnya sendiri menderita.17 “Lex Talionis”
(mata ganti mata, ayat 21) dikutip berfungsi sebagai ilustrasi, dan bukan sebagai keputusan
hakim secara formal. Hukum yang mengatur kesaksian ini, mempunyai akar-akar kuno, baik
di Asia Barat daya kuno, maupun di Israel. Lex talionis ini merupakan rumusan kuno yang
dipakai di sini untuk menguatkan kesan bahwa soal kesaksian dusta itu memang berat sekali.
15 I.J. Cairns, Tafsiran... Pasal 12-34, 81-82
16 Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
215
17 Dianne Bergant & Robert J. Karris, 218

5

Hukuman yang bersifat pembalasan demikian memang kedengarannya kejam. Tetapi dalam
hal ini ada segi-segi positif yang patut diingat, yaitu sebagai berikut:
-

Menurut keyakinan dunia kuno, hukuman berupa pembalasan itu sungguh berhasil
mencegah perkelahian dan pembunuhan.

-


Lex talionis mencerminkan suatu langkah kemajuan, dibanding dengan berlakunya
hukum rimba. Karena Lex talionis menegaskan bahwa pembalasan tidak boleh
melebihi kerugian yang diderita oleh pihak penuduh. Prinsip yang ditegaskan oleh
lex talionis ialah bahwa hidup dan nyawa manusia harus dihargai oleh sesama
manusia, karena nyawa itu berharga di hadapan Tuhan, Sang Pemberi Hukum.18

d. Proses pengadilan dalam Perjanjian Lama
Pengadilan dalam Perjanjian Lama itu terjadi di pintu gerbang kota, suatu tempat
pertemuan yang cukup luas dan semua orang Israel yang bebas bisa hadir dan seharusnya
memang semuanya hadir.19 Selama persidangan hakim duduk, tetapi ia berdiri ketika
mengucapkan kalimat. Dan orang banyak berdiri di depan hakim (Ulangan 19:17) dalam arti
menghadap pengadilan. Pendakwa20 berdiri di sebelah kanan. Pembela juga berdiri di sebelah
kanan, tetapi ia disebut saksi pembela bukan dipanggil pengacara, karena tidak kata kata
pengacara dalam bahasa Ibrani. Secara umum, dakwaan disampaikan secara lisan, namun ada
indikasi juga bahwa dakwaan dapat ditulis. Kedua kelompok (pendakwa dan pembela)
tersebut disebut saksi-saksi. Ada saksi sebagai pihak penuntut dan ada saksi sebagai pembela.
Namun perannya tidak begitu jelas dapat didefenisikan. Pendakwa memberi keterangan dan
didengar oleh para tua-tua dan juga hakim. Untuk hukuman mati, hukum membutuhkan
paling sedikit dua saksi sebagai pendakwa (Ulangan 17:6), dan memungkinkan juga untuk

setiap kasus (Ulangan 19:15). Para saksi ini menerima tanggungjawab untuk pernyataannya,
itulah sebabnya mereka yang melemparkan batu pertama kali jika orang banyak memberi
hukuman/mengutuki hukuman rajam (Ulangan 17:7). Tetapi keterangan mereka harus
dibuktikan oleh hakim terlebih dahulu. Tetapi saksi palsu akan dihukum kembali seperti apa
yang telah ia tuduhkan (Ulangan 18:18-19), kemungkinan ini kelihatannya tidak mencegah
18 I.J. Cairns, Tafsiran... Ulangan 2 Pasal 12:34, 116-118
19 Robert M. Paterson, 271
20 Roland De vaux menyebut pendakwa sebagai lawan/musuh, dimana Iblis berdiri di sebelah kanan
pendakwa (Mazmur 109:6)

6

kegagalan dari keadilan. Berdasarkan penuturan ahli sejarah Josephus, wanita dan budak
tidak dapat memberi kesaksian, jika ini adalah peraturan kuno, maka kebiasaan Israel ini
berbeda dengan Mesopotamian dan kredibilitas seorang saksi juga ditentukan oleh masa lalu
kehidupannya.21 Jika bukti fakta telah dihasilkan sebelum pengadilan seperti contoh dalam
Ulangan 22:13-17 dimana seorang isteri dituduh oleh suaminya telah kehilangan
keperawanannya sebelum menikah, setelah semuanya secara menyeluruh telah diperiksa,
pengadilan menyatakan bersalah atau menyatakan tidak bersalah, putusannya memberi
hukuman atau membebaskan. Peran dari hakim, bagaimana pun juga, bukanlah hanya sekedar
untuk memutuskan hukuman seperti menyudahi sebuah perkara. Dia lebih dari seorang
pembela kebenaran daripada seorang penghukum kejahatan.22
3.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa saksi memiliki peranan sangat penting

di dalam sebuah pengadilan terlebih menyangkut keamanan dari keseluruhan masyarakat,
melihat bahwa tidak ada petugas keamanan khusus seperti polisi yang melihat secara
langsung setiap kejadian menyimpang/kejahatan di dalam masyarakat. Setiap warga menjadi
penjaga keamanan di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan bersedia memberi
keterangan/kesaksian tentang hal-hal menyimpang/kejahatan yang ia ketahui. Dari penjelasan
di atas juga kita dapat menemukan nilai-nilai dasar etika saksi dalam Perjanjian Lama, yaitu:
1. Etika Saksi berdasarkan pada dasa titah ke-9, jangan mengucapkan saksi dusta
tentang sesamamu. Saksi tidak boleh memberikan keterangan yang kosong, tanpa
bukti atau tuduhan yang tidak berdasarkan fakta. Oleh karena itu kesaksian yang jujur
dan benar sangat dibutuhkan di dalam pengadilan. (Keluaran 20:16, Ulangan 5:20 dan
Keluaran 23:1-2)
2. Seorang saksi harus didukung oleh satu atau dua orang lagi. Hal ini mengingat
beratnya tuduhan kepada terdakwa yang bisa saja berupa hukuman mati, maka
kesaksian tunggal harus didukung oleh satu atau dua orang lagi. (Ulangan 17:6,
Ulangan 19:15 dan Bilangan 35:30)
3. Setiap orang yang mempunyai bahan kesaksian, wajiblah mengutarakannya karena ini
menyangkut

keamanan

dari

seluruh

masyarakat. Apabila

ia

mengabaikan

kesaksiannya, maka ia bersalah dan berdosa, ia harus menanggung kesalahannya itu
sendiri. (Imamat 5:1)
21 George Arhur Bttrick, et al, The Interpreter’s Dictionary Of The Bible (Nashville: Abingdon Press,
1962), 864
22 Roland de Vaux, Ancient Israel: It’s Life and Institution (London: DLT, 1968), 156-157

7

4. Saksi tidak boleh mengucapkan saksi dusta. Hukuman untuk sumpah palsu sesuai
dengan hukuman bagi kesaksian palsu yang dituduhkan kepada saudaranya tersebut.
(Ulangan 19:18-20). Soal saksi dusta memang menjadi urgen di dunia kuno,
mengingat bahwa pada prinipnya, beban pembuktian terletak pada pihak tertuduh.
Bila dia tertuduh dalam perara yang menyangkut hukuman mati, maka saksi dusta
sangat membahayakan nyawa tertuduh. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa di
belakang perhatian terhadap soal saksi dusta itu, adalah prinsip bahwa nyawa manusia
sangat berharga, bahkan menjadi milik Tuhan secara khsusus.23
Semuanya ini sudah ditetapkan, diatur dan ditata dalam berbagai peraturan, ketetapan
dan hukum (terkhusus dalam Hukum Deuteronomis=kitab Ulangan) untuk mewujudkan kasih
kepada Allah dan sesama serta memelihara ciptaan lain. Dengan demikian berbagai
peraturan, ketetapan merupakan wujud kasih Allah dalam kehidupan yang konkrit dan
relevan dengan tuntutan zamannya.24
4.

Relevansi
Secara umum, sebetulnya nilai-nilai etika saksi dalam Perjanjian Lama sudah terwujud

dalam konteks saksi di Indonesia pada saat ini. Adapun saksi dalam konteks Indonesia
yaitu25:
Saksi mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
2.

Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167
KUHAP);

3. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).
Ada juga hukuman bagi saksi yang menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan
sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Adapun
ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal
224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

23 I.J. Cairns, Tafsiran... Ulangan 2 Pasal 12:34, 116-117
24 Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1 (Bandung: BMI, 2009), 128
25 www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalam-perkarapidana

8

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam: 1.

dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan.
R. Soesilo juga menjelaskan bahwa orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak
memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia
dikenakan Pasal 522 KUHP.
Di sini kita melihat bahwa sudah ada unsur bahwa saksi harus memberikan keterangan
sejujur-jujurnya dan benar dan juga tidak boleh mengucap saksi dusta (Pasal 160 ayat (3)
KUHAP) sebagaimana juga yang terkandung dalam nilai etika saksi menurut Perjanjian
Lama. Saksi juga harus menghadiri sidang untuk memberikan kesaksiannya (Pasal 167
KUHAP) dan ada sanksi bagi yang tidak menghadiri/mengabaikannya sesuai denganPasal
224 ayat (1) KUHP. Esensi nilai etika saksi dalam Perjanjian Lama ternyata sudah terdapat
di dalam konteks saksi di Indonesia dan disesuaikan dengan konteks Indonesia pada saat ini.
Nilai etika saksi dalam PL mengenai saksi tunggal dan diperkuat dengan saksi lain mungkin
bisa ditambahkan ke dalam peraturan hukum di Indonesia, supaya tidak ada saksi tunggal
yang berat sebelah. Kita juga perlu menyadari dan mengahayati lagi betapa pentingnya
peranan kita sebagai warga negara untuk menjaga keamanan dan stabilitas negara kita dengan
berperan aktif di dalam memberikan keterangan dengan berani dan jujur apabila kita
mengetahui ada hal yang menyimpang/kejahatan di tengah-tengah masyarakat kita.

9

Daftar Pustaka
Ashley, Timothy R. 1993. The New International Commentary On The Old Testament: The
Book of Numbers. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Bergant, Dianne & Robert J. Karris. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta:
Kanisius.
Bttrick, George Arhur, et al. 1962. The Interpreter’s Dictionary Of The Bible. Nashville:
Abingdon Press.
Budd, Philip J. 1984. Word Biblical Commentary: Numbers. Waco: Word Books, Publisher.
Cairns, I.J. 1997. Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Cairns, I.J. 1986. Tafsiran Alkitab: Ulangan 2 Pasal 12-34. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Enslikopedia Alkitab Masa Kini, Jilid 2 M-Z. 2003. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF.
Gispen, W.H. et al., The Eerdmans Bible Dictionary, ed. Allen C. Myers. 1987. Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company.
Hartley, John E. 1992. Word Biblical Commentary: Leviticus. Dallas: Word Books, Publisher.
Ludji, Barnabas. 2009. Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1. Bandung: BMI.
Paterson, Robert M. 2006. Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Patterson, Robert M. 1997. Tafsiran Alkitab: Kitab Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Vaux, Roland de. 1968. Ancient Israel: It’s Life and Institution. London: DLT, 1968.
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalamperkara-pidana
www.wikipedia.org

10