Pengambilan Keputusan dalam keluarga minangkabau (1)

PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
FIRMANANDA RAHMANDIKA
LAZUARDI
(111211132005)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2017
i

Lembar Hak Cipta
Pengambilan Keputusan
oleh Firmananda Rahmandika Lazuardi
Hak cipta © 2017
Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga

Ilustrasi sampul oleh Firmananda Rahmandika Lazuardi

Website

E-mail
Whatsapp

: firmananda-r-l-fpsi12.web.unair.ac.id
: firmananda.r.l-12@psikologi.unair.ac.id
: +6285735767177

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Buku ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau
sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara
lain yang sejenis tanpa izin dari penulis.

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
Rahmat dan Hidayahnya sehingga tulisan ini dapat
terselesaikan sesuai harapan penulis. Terima kasih
kepada kedua orang tua yang telah mendukung setiap
harinya, dan juga kepada Prof. Hadi sebagai pembimbing,

serta teman-teman dengan segala bentuk dukungannya.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat menjadi
berguna bagi pembaca.
Dengan segala kekurangan pada tulisan ini,
penulis

meminta

maaf

sebesar-besarnya.

Penulis

berharap semoga tulisan ini dapat membantu, menambah
wawasan, pengetahuan bagi para pembaca. Dengan
demikian penulis akan termotivasi untuk membuat karya
tulisan yang jauh lebih baik lagi kedepannya. Saran dan
kritik sangat diperlukan penulis untuk membuat karya
tulis ini menjadi lebih baik lagi.

Surabaya, Januari 2017

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................ iii
Daftar Isi ..........................................................iv
Pendahuluan ..................................................... 2
Pengambilan Keputusan ................................... 3
Identifikasi Masalah ......................................... 9
Analisis Berdasarkan Teori .............................. 13
Hal-Hal Lain Yang Berhubungan .................... 15
Potensi Manusia .............................................. 16
Hal-Hal Lain Yang Mendukung ....................... 17
Proses Pengambilan Keputusan ....................... 19
Nilai-Nilai Kebenaran .............................. 19
English Version ............................................... 25
Preface ............................................................ 26

Decision Making ............................................. 27
Idintifying Problem ......................................... 33
Theory-Based Analysis .................................... 36
iv

Related Things ................................................ 38
Human Potential .............................................. 39
Another Supporting Things ............................. 40
Decision Making Process ................................ 42
Value Of Righteousness ........................... 42
Tentang Penulis ............................................... 47

v

PENDAHULUAN
Sering terdapat keadaan – keadaan yang ambigu.
Dimana jika mengikuti satu aturan, aturan lain akan
menyalahkan. Satu contoh adalah berada di lingkungan
yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak pernah
mengindahkan aturan lalu lintas. Jika mengikuti aturan

lalu lintas, kita akan berakhir menghalangi jalan mereka
karena berhenti saat lampu merah; tapi jika mengabaikan
lampu merah dan terus jalan, itu berarti melanggar
peraturan.
Terkadang hal-hal yang tumpang tindih seperti itu
terjadi dikeseharian hingga kita tidak benar-benar
menyadarinya.

Seperti

mengikuti

ajakan

saudara

memakan es krim yang disimpan di dalam kulkas,
dimana seharusnya itu disimpan dan hanya boleh
dimakan usai makan malam. Mungkin hal-hal seperti itu
hanya berakhir oleh kemarahan orang tua atau bisa

dibilang ringan. Tapi, ada juga keadaan dimana nilai-nilai
yang tumpang tindih itu akan memberikan beban secara
psikologis. Salah satu contoh yang dialami penulis adalah
perbedaan nilai – nilai yang dianut antara kedua orang
tua.
2

PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Nama saya adalah Firmananda, biasa dipanggil
Firman. Pria kelahiran tahun 1995, anak kedua dari dua
bersaudara. Saya terlahir dalam keluarga yang dapat
dikatakan kurang harmonis. Kedua orang tua saya jarang
bertengkar, tapi mereka memiliki pemikiran yang
berbeda satu sama lain. Sehingga dari kecil saya sering
dihadapkan pada suatu keadaan dimana harus memilih
menuruti perintah ibu atau ayah.
Ayah dan ibu tidak pernah memberi perintah yang
bertentangan secara norma sosial maupun agama. Hanya
saja, mereka sering mengharapkan hal yang berbeda dari
perilaku saya. Salah satu contohnya adalah ayah saya

berharap saya memiliki banyak teman, aktif di luar
rumah bermain bersama teman-teman, dimana disaat
yang bersamaan, ibu saya mengharapkan saya untuk
menjadi seorang anak yang baik, diam di rumah, rajin
belajar, tidak sering bermain bersama teman. Hal tersebut
saya alami saat masih duduk di bangku sekolah dasar
kelas 3.
Dampak dari perbedaan pendapat ayah dan ibu
terasa disaat saya berpamitan ingin bermain bersama
3

teman-teman, dimana ayah mendukung saya bermain
bersama teman, tapi ibu saya tidak menyetujuinya.
Semua ini belum menjadi beban fikiran bagi saya, hingga
pada suatu titik saya menyadari bahwa ayah dan ibu saya
sering

berdebat

mengenai


saya,

bagaimana

saya

seharusnya. Sejak saat itulah saya mulai merasakan
beban, dimana jika mengikuti perkataan ibu, perilaku
saya tidak cocok dengan harapan ayah, jika mengikuti
perkataan ayah, perilaku saya tidak cocok dengan
harapan ibu. Akhirnya saya mulai mengambil keputusan
untuk berdiri sendiri. Saya tidak ingin memihak satupun
diantara mereka, jadi mulai saat itu saya memacu
pemikiran saya untuk mengambil jalan yang saya anggap
benar, dengan konsekuensi-konsekuensi yang telah saya
pikirkan.
Saya betul-betul menyadari bahwa kedua orang
tua saya pastinya lebih pintar dari saya yang masih SD
pada saat itu, sehingga yang saya lakukan adalah sebisa

mungkin mencari alasan dibalik setiap keputusan yang
saya ambil. Sampai pada suatu ketika saya menyadari
satu hal yang tidak saya perkirakan sebelumnya, yakni
budaya yang pada saat itu saya anggap sebagai sebuah
4

„anggapan‟ bahwa anak yang harus menurut kepada
orang tua, membuat saya semakin terbebani. Semakin
saya percaya pada diri saya sendiri untuk mengambil
keputusan sendiri, semakin saya dianggap sebagai anak
yang tidak nurut kepada orang tua. Namun hal itu secara
sadar tetap saya lakukan, dengan satu tujuan saya tidak
ingin ada pertikaian diantara kedua orang tua saya, jadi
saya berpikir biar saya yang disalahkan. Sekalipun ada
pertikaian diantara mereka, setidaknya itu bukan karena
saya.
Pengambilan keputusan atau lebih tepatnya
memaksa diri untuk mengambil keputusan sendiri
memang tidak semudah itu, apalagi awal pemikiran itu
muncul sejak SD. Saya sadar bahwa untuk suatu

keputusan diakui oleh orang lain terutama orang tua saya
pada waktu itu, haruslah memiliki alasan yang „benar‟.
„Benar‟ yang saya maksud pada saat itu adalah mengarah
pada ilmiah atau rasional, hanya saja saya belum
mengenal istilah-istilah tersebut. Sering saya diragukan
karena anggapan bahwa saya adalah anak yang tidak
nurut pada orang tua, juga karena alasan saya yang saya
rasa kurang tepat bagi mereka pada saat itu. Sehingga
5

saya sering mengoreksi, memodifikasi pemikiran saya,
membenarkan suatu pemikiran yang awalnya saya
anggap tepat namun ternyata tidak dianggap tepat oleh
kedua orang tua saya, ini sudah saya lakukan sejak SD.
Perubahan pola pikir yang sering saya lakukan,
termasuk sering memodifikasi nilai-nilai kebenaran
sehingga diakui orang tua saya, berimbas pada pelajaran
saya. Semua nilai-nilai saya turun sejak kelas 4 SD, dari
sebelumnya kelas 1 hingga 3 saya selalu ranking 10 besar,
kelas 4 SD dan seterusnya saya tidak lagi ranking 10

besar di kelas. Hingga titik perubahan terbesar dalam
hidup saya, adalah penjurusan IPA/IPS saat jenjang SMA.
Saya bilang terbesar, karena berdampak pada jurusan
kuliah yang saya pilih, juga karena saat SD sebagian
besar waktu saya masih mencari nilai-nilai kebenaran
yang diakui orang tua saya, dan SMP saya mampu masuk
salah satu SMP favorit di region Surabaya Barat.
Saya pada saat itu merasa menonjol di bidang
IPA, karena saya sangat menyukai matematika, juga
karena fisika dan kimia karena ada perhitungannya.
Hingga suatu ketika saya diajar oleh salah satu guru
kimia yang secara jelas melakukan kesalahan, namun
6

disaat saya ingatkan beliau menolak, dimana saat itu
pembuktian ada dari berbagai sumber di internet. Selain
itu, saya juga pernah diremehkan karena menggunakan
cara hitungan saya sendiri yang seharusnya sama, tidak
mengerjakan PR, yang sebenarnya saya menguasai
pelajaran

kimia.

Hingga

akhirnya

saya

dihukum

mengerjakan soal di papan tulis cukup banyak dan
memakan waktu lama, dimana saya bisa mengerjakan
semuanya, beliau tetap meyakini saya sebagai anak
bodoh dan pemalas. Selain kebencian saya terhadap salah
satu guru kimia tersebut, bukti lain bahwa saya menonjol
di bidang IPA pada rapor saya, nilai IPA jauh lebih baik
dibanding IPS.
Alasan akhir keputusan saya mengambil jurusan
IPS adalah banyak guru yang meyakini bahwa anak IPS
adalah anak-anak terbuang, yang isinya anak-anak nakal
dan pemalas. Dianggap anak-anak terbuang karena
sistem pada saat itu yang mana jika anak memilih jurusan
IPS, dia langsung masuk tanpa pertimbangan apapun.
Sebaliknya, jika ingin masuk IPA, ada prasyarat yang
harus dipenuhi seperti total minimun nilai-nilai bidang
IPA yang harus dipenuhi, juga lulus tes psikologi
7

semacam minat-bakat yang mengarahkan minat-bakat
anak di IPA atau di IPS. Sehingga disaat itu, sekali lagi
saya mengambil keputusan saya sendiri yang saya
anggap benar.
Hingga puncaknya masuk ke perguruan tinggi,
jurusan yang saya pilih (S1 Psikologi) merupakan salah
satu pilihan saya sendiri yang saya anggap benar, dengan
pertimbangan ilmu-ilmu terapan lain, maupun ilmu eksak,
dapat dipelajari diluar perkuliahan meski memang tidak
mendetail saat berkuliah. Di titik ini saya benar-benar
merasa senang, bahagia, tidak percaya campur jadi satu.
Bahkan saya masih mengingat apa yang terjadi di sekitar
saya pada waktu itu, awal mengetahui bahwa saya
diterima di Unair jurusan S1 Psikologi. Saya langsung
sujud syukur saat mengetahuinya.

8

IDENTIFIKASI MASALAH
Apa

Kedua orang tua yang memiliki

masalahnya?

pemikiran berbeda dan selalu kekeuh
pada pemikirannya masing-masing,
membuat saya merasa harus
mengambil keputusan sendiri.

Dimana

Di rumah, di dalam keluarga.

permasalahan itu
terjadi?
Kapan itu

Masalah itu ada sebelum saya lahir,

terjadi?

namun baru saya sadari semenjak
kelas 4 SD.

Siapa saja yang

Ibu, Bapak, dan diri saya sendiri.

berperan dalam
masalah itu?
Mengapa itu

Karena jika saya mengikuti salah satu

menjadi

dari kedua orang tua saya, maka yang

masalah?

tidak saya ikuti pada saat itu akan
menyalahkan, mengkritik, bahkan
memarahi saya karena apa yang saya
lakukan tidak sesuai dengan
pemikirannya.
9

Sebagai contoh jika saya mengikuti
konsep ibu saya sebagai anak baik
yang selalu di rumah belajar dengan
rajin, ayah selalu menegur karena
seolah saya tidak punya teman karena
tidak pernah bermain keluar rumah
bersama teman.
Bagaimana saya

Saya mengambil keputusan-

menghadapi

keputusan dalam hidup saya sendiri,

masalah itu?

dengan harapan tidak menimbulkan
pertikaian diantara kedua orang tua.
Namum menyadari jika keputusankeputusan itu saya ambil tanpa
pertimbangan yang matang, justru
saya akan disalahkan oleh kedua
orang tua saya. Sehingga semenjak
saya menyadari adanya masalah itu,
saya selalu belajar tentang dasar-dasar
pengambilan keputusan, nilai-nilai
kebeneran pada norma sosial, agama,
hingga mempunya nilai-nilai saya
sendiri terhadap sosial. Jadi saya
10

harus mampu mengambil keputusan
sendiri dengan pertimbangan terbaik.
Bahkan alasan pengambilan
keputusan yang saya anut dibenarkan
oleh orang lain, belum tentu
memuaskan untuk saya. Saya harus
terus mengevaluasi diri saya, apa
yang seharusnya saya lakukan dan
tidak.

Untuk lebih jelasnya, masalah tersebut

dapat

digambarkan dengan pemetaan seperti berikut:
Saya

Mengikuti Keinginan Bapak

Mengikuti Keinginan Ibu

Ibu Kecewa Karena Saya

Bapak Kecewa Karena

Tidak Memenuhi

Saya Tidak Memenuhi

Harapannya

Harapannya
11

Sehingga, saya memutuskan untuk menentukan
jalan saya sendiri.

12

ANALISIS BERDASARKAN TEORI
Salah

satu

teori

yang

dapat

menjelaskan

pengalaman saya di atas adalah teori dari Privette (2001)
dalam Handbook of Humanistic Psychology, mengenai
Peak experiences atau pengalaman puncak. Privette

(2001) menjelaskan bahwa pengalaman puncak adalah
sebuah pengalaman yang merupakan puncak tertinggi
dari sebuah kebahagiaan, bahkan menakjubkan. Dari
pengalaman yang dialami oleh penulis, peak experience–
nya adalah saat diterima di Universitas Airlangga jurusan
S1 Psikologi. Selain pengalaman diterima di Universitas
Airlangga, terdapat pengalaman puncak lain juga, yaitu
diterimanya peneliti di salah satu SMP favorit di
wilayahnya dan masuk SMA negeri. Dari pengalamanpengalaman puncak tersebut, menghasilkan sebuah
kemampuan intelektual pada diri penulis, sehingga lebih
mampu

memprioritaskan

mana

yang

sebaiknya

didahulukan dan mana yang tidak (Privette, 2001).
Leach (dalam Privette, 2001) mendefinisikan
peak experience sebagai “highly valued experience

which is characterized by such intensity of perception,
depth of feeling, or sense of profound significance as to
13

cause it to stand out, in the subject's mind, in more or less
permanent contrast to the experiences that surround it in
time and space” Yaitu pengalaman yang ditandai oleh
perasaan yang mendalam, atau perasaan yang begitu
hebat hingga menjadi benar-benar signifikan dan terekam
jelas dalam pikiran subjek. Sehingga kurang lebih
ingatan itu akan menetap secara permanen. Pengalaman
itulah yang dialami oleh penulis disaat diterima menjadi
mahasiswa Psikologi.
Selain peak experience, Privette (2001) juga
membahas mengenai inner process. Dikatakan inner
process berbeda dari proses yang biasanya. Proses

identifikasi yang benar-benar terfokus pada objek dan
diri sendiri, yang menjadi awal dari pengalaman yang
optimal (Privette, 2001). Dari cerita di atas, terdapat
proses-proses

dari

terbentuknya

pengalaman

yang

berharga bagi penulis.

14

HAL-HAL LAIN YANG BERHUBUNGAN
Setiap manusia memiliki potensi yang tidak
terbatas. Hal ini didasari oleh pengalaman penulis, meski
sibuk

mempelajari

tentang

alasan-alasan

dalam

pengambilan sebuah keputusan yang benar, hal-hal yang
sebelumnya tidak dimengerti sama sekali dapat dipelajari.
Mempelajari setiap hal bergantung pada waktu yang
dialokasikan. Namun tidak dapat dipungkiri adanya bakat,
yang membuat seseorang dapat mempelajari bidangbidang tertentu lebih cepat dibanding orang lain.

Manusi

15

Potensi Manusia
Manusia

„tidak

memiliki

batasan‟

dalam

berkembang. Tidak memiliki batasan di sini berarti
khusus karena tidak ada batas jelas dalam manusia
mempelajari suatu hal secara mendalam. Olah raga
misalnya, yang paling terlihat adalah body building
dimana semakin dilatih maka otot semakin menonjol.
Semakin dilatih otot akan semakin bertambah besar dan
besar, dengan suplai protein tertentu. Dari contoh body
building ini, meski secara samar seolah tidak mungkin

menjadi raksasa dengan kekuatan super jika dilatih terusmenerus,

tapi tidak

ada

batas

spesifik

terhadap

kemampuan manusia membesarkan ototnya.
Dalam mengembangkan potensi, ada 2 hal umum
yang mempengaruhi, yaitu bakat (turunan) dan fasilitas
(lingkungan).

Bakat

akan

membuat

seseorang

mempelajari hal-hal khusus (sesuai bakatnya) dibanding
orang lain yang tidak berbakat pada bidang tersebut.
Kedua adalah fasilitas, seseorang tidak perlu fasilitas
khusus dalam mempelajari sesuatu hal, hanya saja
dengan adanya fasilitas akan memberikan dorongan besar
yang membantunya belajar bidang tersebut.
16

Bakat dan fasilitas akan membuahkan hasil yang
optimal jika keduanya hadir dalam proses pembelajaran
seseorang.

Orang

yang

berbakat

sebagai seorang

pengemudi, akan lebih cepat menguasai dibanding yang
tidak berbakat. Dalam hal ini, jika dia difasilitasi secara
optimal, akan sangat membantu proses pembelajarannya
dalam mengemudi.
Sudah menjadi perdebatan lama mengenai mana
yang lebih berpengaruh antara nature (bakat) dengan
nurture (fasilitas), namun penulis menegaskan keduanya

saling

berkaitan

Daripada

dalam

memikirkan

porsinya
lebih

masing-masing.

berpengaruh

mana,

sebaiknya diketahui sejak dini apa bakatnya dan
difasilitasi se-optimal mungkin untuk mencapai hasil
yang optimal.

Hal-hal lain yang mendukung
Orang yang memiliki bakat dan difasilitasi tidak
akan semata-mata mencapai hasil maksimal, jika dalam
kondisi khusus, dia tidak melakukannya. Seseorang harus
mau melakukannya untuk dapat mempelajari suatu hal.
Kemauan ini dipengaruhi oleh motivasi, yang dapat
17

berasal dari dalam diri, atau luar. Disamping kemauan,
penulis juga meyakini adanya proses pengambilan
keputusan sebelum melakukannya,

mencari

alasan

kenapa harus melakukan/mempelajarinya dan kenapa
tidak, yang penulis golongkan menjadi motivasi internal.
Kemauan dipengaruhi oleh motivasi. Dikatakan
motivasi terkuat datang dari dalam diri, karena biasanya
didasari oleh alasan-alasan yang kuat dan tidak cepat
pudar. Yang dimaksudkan adalah sebelum memutuskan
untuk melakukan suatu tindakan atau tidak, selayaknya
orang

akan

memikirkan

alasan-alasan,

mempertimbangkannya hingga mendapat kesimpulan
yang dianggap benar. Proses pengambilan keputusan atau
pencarian

alasan-alasan

hingga

mencapai

suatu

kesimpulan ini akan dibahas lebih mendetail di bagian
lain. Poin pentingnya adalah dengan dasar atau alasan
yang

kuat,

seseorang

akan

melakukan

sesuatu/mempelajari sesuatu dengan yakin dan dalam
jangka waktu lama.
Salah satu alasan motivasi eksternal tidak
bertahan begitu lama adalah lingkungan luar yang diluar
kendali individu, dan lingkungan yang begitu cepat
18

berubah. Salah satu contoh adalah jika seseorang
membuatkan rumah-rumahan untuk seekor anak kucing.
Faktor eksternal yang tidak terkontrol begitu banyak,
salah satunya jika anak kucing tersebut mati sebelum
rumah-rumahan itu jadi, motivasi untuk membuat rumahrumahan akan hilang, sehingga besar kemungkinan
proses pembuatannya akan berhenti di tengah jalan.

Proses pengambilan keputusan
Selain dibutuhkan potensi, fasilitas, dan motivasi,
untuk berkembang individu perlu memutuskan untuk
melakukannya. Bukan tidak mungkin individu memiliki
potensi/bakat, fasilitas tersedia, dan motivasi yang besar,
namun tidak melakukannya. Contoh nyata adalah penulis
yang memilih jurusan IPS pada waktu SMA, karena
beberapa pertimbangan, walaupun nilai IPA jauh lebih
baik dibanding IPS, minat awal juga IPA dan baik
keluarga, guru maupun teman mendukung untuk masuk
jurusan IPA.
Nilai-nilai kebenaran
Salah satu pertimbangan yang jelas dalam
mengambil

sebuah

keputusan

adalah

nilai-nilai
19

kebenaran. Sedangkan kebenaran itu sendiri tidak ada
yang mutlak. Sesuatu bernilai benar karena ada tolok
ukurnya, ada taraf, ada perbandingan sehingga sesuatu
hal dikatakan benar atau salah. Satu contoh kecil adalah
„anak kecil melompat‟, tidak ada kebenaran di dalamnya,
hingga disandarkan pada suatu norma. Jika anak kecil
yang melompat itu kakinya sedang cidera, ia salah
melompat, karena itu bisa memperparah cideranya.
1. Hukum
Satu pertimbangan yang jelas untuk menentukan
suatu nilai kebenaran adalah hukum. Hukum merupakan
suatu pertimbangan yang paling mudah karena sudah
tertulis secara jelas. Terdapat berbagai jenjang hukum,
mulai dari negara hingga suatu aturan dalam sebuah
organisasi. Penulis tidak membahas secara detail karena
dirasa sudah jelas.
2. Budaya
Setiap budaya memiliki nilai-nilainya tersendiri.
Seperti budaya jawa tempat penulis dibesarkan, seorang
wanita dipandang baik jika pintar memasak dan jarang
keluar rumah, dipandang buruk jika masakannya tidak
20

seberapa enak. Budaya dipandang penulis sebagai suatu
pertimbangan

yang

samar,

kurang

jelas,

karena

penyampaiannya secara lisan. Berbeda dengan hukum
yang disampaikan secara jelas, tertulis, dengan sanksi
yang jelas pula. Sanksi tidak mematuhi norma budaya
adalah dicap oleh masyarakat.
3. Agama atau keyakinan
Tiap-tiap agama memiliki pedomannya masingmasing. Untuk beberapa agama yang memiliki pedoman
tertulis, akan lebih mudah untuk menentukan mana yang
benar dan mana yang salah. Jika keyakinan yang dianut
bukanlah agama yang diakui, bahkan tidak memiliki
pedoman tertulis, biasanya akan meminta jawaban dari
orang yang dipandang lebih ahli dalam menentukan nilai
kebenaran dari suatu masalah. Bahkan untuk agama yang
dianut penulis, meski sudah ada pedoman tertulis, masih
ada perbedaan golongan dengan perbedaan norma untuk
hal-hal yang tidak tertulis pada kitab.
Dari berbagai pertimbangan mulai dari hukum,
norma, bahkan aturan agama, tidak jarang kita menemui
aturan atau nilai yang overlap satu sama lain. Seperti
21

budaya yang pernah ditemui penulis sewaktu KKN
(Kuliah

Kerja

Nyata),

dimana

selalu

ada

acara

mengkonsumsi minuman keras setelah konser dangdut.
Hal tersebut tidak menjadi masalah jika semua yang ikut
acara adalah usia 18 tahun ke atas, namun nyatanya tidak
sedikit yang masih dibawah umur, sehingga secara
hukum seharusnya dilarang. Namun, jika tidak mematuhi,
masyarakat sekitar yang menganut budaya tersebut akan
mengucilkan yang tidak mengikuti acara tersebut,
dipandang aneh, penakut, atau julukan lain dengan tujuan
mengucilkan.
Disaat menemui aturan-aturan yang tumpang
tindih seperti itu, sebaiknya diprioritaskan kembali, ingin
menjadi manusia seperti apa. Apakah menjadi manusia
yang taat pada agama? Atau pandangan baik masyarakat
lebih penting? Ataukah hukum negara yang menjadi
nomor 1? Atau bahkan memiliki suatu cara lain yang
dianggap benar, itu pilihan tiap individu. Yang perlu
ditekankan alur berpikir yang jelas dan runtut, sehingga
jika ada kekurangan dalam pengambilan yang telah
dilakukan di masa lampau, dapat menjadi pelajaran untuk

22

dievaluasi dan didapat hasil yang lebih sesuai dengan
harapan kedepannya.

23

24

DECISION MAKING

FIRMANANDA RAHMANDIKA
LAZUARDI
(111211132005)

FACULTY OF PSYCHOLOGY
AIRLANGGA UNIVERSITY
2017
25

PREFACE

There are always ambiguous conditions, where if
we follow only one rule, others‟ will arraign it. One
example is in a neighborhood that was filled by people
who have never obeyed traffic rules. If we follow the
traffic rules, we will end up blocking their path due to
stop when the red light; but if we ignore red lights and
keep going, it means we are breaking the rules.
Sometimes things like that often happened in our
daily activity until we don‟t really aware about it. It is
like we followed our cousin to eat ice cream that stored
in the refrigerator, where it should be stored and should
only be eaten after dinner. Maybe things like that just
ended by the anger of our parents or practically just a
little problem in a family. But, there are also conditions
where the values that overlap will provide psychological
burden. One example is experienced by the writers
himself are values differences that shared between both
writer‟s mother and father.

26

DECISION MAKING
My name is Firmananda, usually called as Firman.
I was born in 1995, second child from 2 relative. I was
born in a family that which can be said to be less
harmonious. Both of my parents rarely argue, but they
had different ideas from each other. My parents rarely
arguing but they have their own perspective, so since I
was a child I often face a condition where I should
choose between „im on my mother‟s side‟ or „I‟m on my
father‟s side‟ condition.
My parents never give me an order that will
contradictory the social norm and religion norm.
However, they often expect something difference from
my behavior. In example is my father expects that I
should have a lot of friends, active outside, and play
together with my friends. Meanwhile, my mother expects
me to become a good boy, stay at home for study, and
not too often plays outside with my friends. Those things
always happen to me when I was in 3 rd grade of
elementary school.
The impact from that situation is felt when I
asking for permission to my parents to go play outside
27

with my friends where my father gives support for me,
but my mother doesn‟t. All of this has not become a
burden to my mind, until at some point I realized that my
father and mother often argue about me, how I should be.
Since then I begin to feel the burden, which if I followed
my mother's words, my behavior does not match with
what my father expect, and if I followed my father‟s
words, my behavior will not accepted by my mother.
Finally I begin to take my own decision to stand alone. I
do not want to be in my mother or my father‟s side, so
from then on I spurred my mind to take the way that I
think is right, with consequences that I have think before.
I realized that both my parents certainly smarter
than me when i was in elementary school at the time, so
what am I doing is looking for a reason behind every
decision I took. Until one day I realized one thing that I
never thought before, that the culture that I believe at that
time was regarded as a 'presumption' that children should
obey their parents, makes me more burdened. The more I
believe in myself to make the decision by myself, the
more I reputed as a rebel. But it consciously kept me do
that, with the goals that I do not want any conflict
28

between my parents, so I thought let me be the blamed
one. Even if there are conflicts between them, at least it is
not because of me.
Decisions or maybe forced myself to take the
decision is not that easy, especially that early thinking
emerged since elementary school. I am aware that a
decision to be recognized by others, especially my
parents at that time, should have a reason as a true'. 'True'
which I mean at the time was leading to a scientific or
rational, it's just I am not familiar with these terms. Often
I am being doubt because of the assumption that I was a
rebel from my parents, another reason is my reason in
that time is not satisfied enough for them. So I often
correcting, modifying my thinking, justify an initially
thought that I believe it was appropriate but it was not
considered appropriate by both my parents, I've done this
since elementary school.
The changing of mindset that I often do, including
frequently modify the values of truth so that my parents
recognized it, impact on my studies. All my grades
dropped since the 4th grade, from grade 1 to 3 previously
I always ranked top 10, the 4th grade and furthermore I
29

am no longer become ranking of the top 10 in the class.
Until it comes to the biggest change in my life, is of
majors IPA / IPS when in the senior high school. I say
most, because the impact on my chosen subject, as well
as current SD most of the time I was looking for truth
values recognized by my parents, and when I am on my
junior high school age, i was able to enter a favorite
junior high school in the region of West Surabaya.
Me at that time was prominent in the field of
science, because I really like math, physics and chemistry
as well as for existing calculations. Until one when I was
taught by one of the chemistry teacher who clearly made
a mistake, but when I remind him refused to be corrected,
at which there is evidence from various sources on the
internet. In addition, I also was being underestimated by
using my own way that should count equally, never do
homework, that in fact I am able to do chemistry. Until
finally I punished do a work on the blackboard quite a lot
and takes a long time, where I can do everything, he still
believes me as stupid and lazy. In addition to my hatred
towards one of the chemistry teacher, another proof that I

30

stand out in the field of IPA is on my report card, IPA
much better value than the IPS.
My final reason why finally I choose social
department is that many teachers believe that students
who choose Social department is wasted, which contain
of naughty students and idlers. Considered as an exile
students because the system at that moment where if the
student chose the Social department, they immediately
entered without any consideration. Conversely, if you
want to enter Science department, there are some
requirements that must be fulfill, such as the total
minimum values that must be fulfill in Science, also pass
psychological tests sort of interest-talents that direct
interest of students in science or social studies. So when
it was, once again I take my own decision that I think it is
right.
Until come to a peak of admission to college, I
chose (S1 Psychology) is one of my own choice that I
think is right, with consideration of other applied
sciences, as well as an inexact science, can be learned
outside although it would not become as detail as when
studying in college. At this point I really feel happy, and
31

I cannot believe in myself that I can enter faculty of
Psychology. In fact, I still remember what happened
around me at that time, beginning to know that I received
at Airlangga University majoring in Psychology S1. I
immediately prostration of gratitude when i found out
that I enter Faculty of Psychology.

32

IDINTIFYING PROBLEM
What‟s the

Both father and mother have different

problem

thinking and always stick to their
believe, make me think that I should
make my own decision.

Where the

In my house, in my family.

problem
happened
When it

The problem was there before I was

happened

born, but I just realized it since 4th
grade in elementary school.

Who‟s involved

Mother, Father, And I.

in the problem
Why is it

Because when I follow one of their

considered as a

(father or mother) decision, then the

problem

other one could blame me, criticize, or
blamin me for doing things not like
his/her wants.
For example, when I follow my mother
like always stay at home and study,
father will be disappointed like I don‟t
have any friends because I never play
33

outside.
How I solve the

I make my own decisions in my life,

problem

without making dissension between
my father and my mother. But, I
realized that bad decision will make
me wrong in front of them. So right
after I know there‟s a problem like
that, I always thinking about how to
make decisions, with social‟s value
and religion‟s value in mind, until I
have my own frame about what is right
and what‟s not about the social. So I
have to make my own decision with
the best reasoning. Although people
acknowledge my decisions, it won‟t
make me satisfied. I should evaluate
myself better and better, so I know
what to do and what not to.

To be cleared to see the problem, it‟s ilustrated
this way:

34

I

Do What Dad Wants

Do What Mom Wants

Mom Disappointed For

Dad Disappointed For

Not Fulfilling Her Hope

Not Fulfilling Her Hope

So I decided to make my own decision in order to
not making them disappointed in me.

35

THEORY-BASED ANALYSIS
One theory that can describe my experience is the
theory of Privette (2001) in Handbook of Humanistic
Psychology, about Peak experiences or peak experiences.
Privette (2001) explains that the peak experience is an
experience which is the highest peak of happiness, even
stunning. From author‟s experience, his peak experience
is when he received at Faculty of Psychology Airlangga
University. Beside that, there were another peak
experience. Those were being received in good
(considered popular) Junior High School and Senior High
School. From those experience, writer gained intellectual
prowess. Since then, writer could prioritize things better
(Privette, 2001).
Leach (in Privette, 2001) defines a peak
experience as "highly valued experience which is
Characterized by such intensity of perception, depth of
feeling, or a sense of profound significance as to cause it
to stand out, in the subject's mind, in more or less
permanent contrast to the experiences that surround it in
time and space "that experience marked by a deep feeling,
or feeling so great to be really significant and vivid in the
36

mind of the subject. With the result that the memory will
settle permanently. That was the experience that
experienced by the author when he accepted as a
psychology student.
In addition to a peak experience, Privette
(2001) also discussed the inner process. It said an inner
process is different from the usual process. The
identification process is completely focused on the object
and ourselves, which became the beginning of an optimal
experience (Privette, 2001). From the story above, there
are processes of formation of precious experience for the
writer.

37

RELATED ISSUES
Every human being has unlimited potential. This
is based on the author's experience, though the writer is
busy learning about the reasons in making a right
decision, things that were previously not understood at all,
can be learned. Learn everything depends on the time
that has been allocated. But it cannot be denied the
existence of talent, which can made a man study certain
areas more quickly than others.

Manusi

38

Human Potential
Humans 'have no limits' in developing theirselves.
Have no restrictions here means specifically because
there are no clear boundaries in humans to learn
something deeply. Exercise, for example, the most
visible is the body building where the more we trained
the muscles it increasingly prominent. The more we
trained our muscles, it will be grow bigger and bigger,
with the supply of certain proteins. From the example of
body building, although vaguely as if it is impossible to
become a giant with super powers if trained constantly,
but there are no specific limits on the ability of man
raising his muscles.
In developing the potential, there are two
common

things

that

affect,

namely

the

talent

(derivatives) and facilities (environment). Talent will
make someone learn specific things faster (according to
their talents) than others who are not talented in that field.
Second is the facility, one does not need a special facility
to learn something; it's just, by the facility will provide a
huge boost that helps human learn the field.
39

Talent and facilities will produce optimal results
if both are present in one's learning processes. People,
who are gifted as a driver, will be faster to master than
the untalented one. In this case, if they facilitated
optimally, would greatly assist in his learning.
It has become an old debate about which is more
influential among nature (talent) and nurture (the facility),
but the author insists the two are interrelated in their
respective portions. Instead of thinking about where the
more influential, should be known early what his talent
and facilitated as optimal as possible in order to achieve
optimal results.

Another Supporting Things
People who have talent and facilitated not be
solely to achieve maximum results, if under special
circumstances, he did not. Someone must be willing to do
so to be able to learn something. Willpower is influenced
by motivation, which can come from inside or outside.
Besides the will, the author also believes the decisionmaking process before you do, look for reasons to do /

40

learn it and why not, the authors classified into internal
motivation.
Willpower is influenced by motivation. Said to be
the strongest motivation comes from within, because
usually based on strong reasons and does not quickly
fade. What is meant is before deciding to perform an
action or not, people should be thinking of reasons,
consider it to come to the conclusion that is considered
correct. The decision making process or finding reasons
for reaching this conclusion will be discussed in more
detail in another part. The important point is to base or
good reason, someone will do something / to learn
something with certainty and in the long term.
One of the reasons the external motivation does
not last so long is the external environment which is
beyond the control of the individual, and the rapidly
changing environment. One example is if someone made
playhouse for a kitten. External factors are not controlled
so much, if the kittens die before the houses were
finished, the motivation to make the houses will be lost,
so it is likely the manufacturing process will stop halfway.

41

Decision Making Process
In addition potential, facilities, and motivation, to
develop individuals need to decide to do so. It is not
impossible for an individual may have the potential /
talent, available facilities, and a great motivation, but
they did not do. A concrete example is the writer himself
who majored in social studies at the high school, due to
several considerations, although the value of exact
science much better than social science, the first interest
also exact sciences and even writer‟s family, teachers and
friends support to major in exact science.
Value of Righteousness
One obvious consideration in making a decision
is truth values. While the truth itself is not absolutes.
Something can be called as true because there are
criterions, levels and a comparison that something is said
to be right or wrong. One small example is the 'little boy
jump', there is no truth in it, to rest on a norm. If the
children whom his leg are being injured are jumping, he
was wrong, because it could aggravate his injuries.
4. Law
42

One obvious consideration to determine a truth
value is the law. Law is a consideration of the most
convenient because it is written clearly. There are various
law levels, ranging from the state to a rule in an
organization. The author does not discuss in detail
because it is already obvious.
5. Culture
Every culture has its own values. Like the
Javanese culture where the author grew up, a woman is
considered as good women when she is able on cooking
and rarely leaves the house, it is considered bad if the
taste of her food is not delicious. Culture is seen by the
author of a judgment that is vague, unclear, because it is
oral delivery. In contrast to the law that submitted clearly,
written, with clear sanctions anyway. Sanctions do not
adhere to cultural norms are labeled by society.
6. Religion or Belief
Each religion has its guidance respectively. For
some religions have written guidelines, it will be easier to
determine what is right and what is wrong. If the belief
held is not a recognized religion, even haven‟t any
43

written guidelines, typically will demand answers from
those who are seen as more expert in determining the
truth value of a problem. Even for the religion that
affiliated by the authors, despite a written guidelines,
there are still differences groups with different norms for
things that are not written in the book.
From various considerations ranging from laws,
norms, rules and even religion, is not rare to see the rules
or values that overlap one another. As a culture that never
met the author when KKN (Field Work Experience/
Kuliah kerja Nyata), where there is always an event to
consume liquor after dangdut concert. It does not matter
if everyone who joined the show are aged 18 years and
over, but it's not a few who are still under 18 th, so that
legally should be banned. However, if they does not obey
the traditions, they will be seen as strange, fearful, or
another title with the aim of isolating by their
surroundings.
While we meet overlapping rules, we should
make a priority again, what human we want to be. Is
being human who obedient to the religion? Or a nice
view of society is more important? Or the law that
44

became number 1? Or even have another way that is
considered correct, the choice of each individual. What
should be emphasized reasoning was clear and coherent,
so that if there is a shortage in the decision that has been
done in the past. It could be a lesson to be evaluated and
obtaining results closer to expectation in the future.

45

Reference:
Schneider, K. J., Bugental, J. F. T. & Pierson, J. F.
(2001).

The

Handbook

of

Humanistic

Psychology: Leading Edges in Theory, Research,
and Practice. London: Sage Publications.

46

TENTANG PENULIS
Nama saya adalah Firmananda Rahmandika
Lazuardi. Saya lahir di Surabaya, 15 Februari 1995. Saat
ini saya sedang menjalani studi sebagai mahasiswa di
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Saya
anak kedua dari dua bersaudara.
Saya memiliki ketertarikan terhadap ilmu-ilmu
pasti, terutama matematika. Sempat menjadi panutan
dalam

menjawab

soal

matematika

diwaktu

SD.

Ketertarikan terhadap matematika berkembang pada
waktu SMP, sehingga saya juga mencintai kimia dan
fisika, hingga beralih jalur ke ilmu sosial saat jenjang
sekolah menengah atas. Pada waktu SMA saya memilih
jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) karena menemui
guru fisika dan kimia yang tidak mau disalahkan, juga
karena jurusan IPS selalu dikenal dengan jurusan anak
nakal, sehingga saya merasa tertantang untuk memasuki
jurusan IPS.

47