Beberapa Alat Musik Tradisional Lampung

Beberapa Alat Musik Tradisional Lampung

Lampung memiliki beraneka ragam jenis musik, mulai dari jenis
tradisional hingga modern. Adapun jenis musik yang masih bertahan
hingga sekarang adalah Klasik Lampung. Jenis musik ini biasanya diiringi
oleh alat musik gambus dan gitar akustik. Mungkin jenis musik ini
merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya asli itu sendiri.
Demikian juga dengan seni musiknya seperti gamolan balak atau talo
balak, gambus lunik atau gambus anak buha, serdam, tembangan,
gamolan pring atau lebih dikenal dengan cetik butabuh atau hadra.
A.

MUSIK BUTABUH ATAU HADRA.

Musik butabuh atau hadra merupakan salah satu musik tradisional
Lampung dan jenis musik tradisi ini lebih sering kita jumpai di daerah
Lampung yang letaknya di daerah pesisir, hal ini memiliki latar belakang
seiring dengan sejarah dan perkembangannya sebagai salah satu sarana
syiar agama Islam di Provinsi Lampung. Dengan sarana dan alat musik
seperti tembangan atau kerenceng serta lantunan lagu syair berdzanji
musik butabuh atau hadra ini ditampilkan.

Hadra terdiri dari 2 bagian atau kelompok yaitu hadra baru dan hadra
lama demikian juga dengan zikirnya yaitu zikir baru dan zikir lama.
Hadra lama atau zikir lama merupakan kesenian tradisional Lampung
yang bernafaskan Islam, di samping alat musik dan syair-syairnya pun
seutuhnya merupakan syair-syair berdzanji atau pujian-pujian terhadap
Rosul dan para Syekhnya.
Hadra atau zikir baru merupakan seni Islam yang sudah dikombinasikan
dengan syair-syair atau pantun daerah Lampung baik pantun melayu
ataupun pantun daerah Lampung itu sendiri.
Hadra dan zikir ini sering kita jumpai pada saat acara pesta adat atau
nayuh dan biasanya dilantunkan pada saat malam hari menjelang satu
hari dalam pelaksanaan pesta atau begawi dan yang membawakannya
pun orang tua atau bapak-bapak yang usianya sudah berumur (usia
lanjut).
B.
1.

ALAT MUSIK.
Gamolan Pekhing / Cetik.


KITA memang patut bergembira dan memberikan kepada panitia dari
Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL)
sebagai iniasi pertunjukan gamolan Lampung selama 25 jam oleh 25
grup, 7—8 Desember 2011. Pentas ini sukses tercatat dalam rekor
Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) kategori superlatif sebagai
pertunjukan gamolan terlama di Indonesia.
Tulisan ini hanya sedikit catatan mengenai (sejarah) gamolan, yang
populer dengan nama cetik, sering juga disebut gamolan peghing atau
kulintang peghing. Membaca berita seputar gawean akbar tersebut, ada
yang menggelitik dan saya merasa perlu meluruskan terutama terkait
dengan asal-usul gamolan.
Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari
perjalanan panjang peradaban Lampung dalam hal ini Kerajaan Sekala
Brak. Rupanya gamolan Lampung telah diteliti Margaret J. Kartomi dan
dicantumkan dalam bukunya Musical Instruments of Indonesia yang
diterbitkan Indonesian Art Society Association with The Department of
Music Monash University, 1985.
Margaret adalah seorang profesor musik dari Monash University Australia
yang telah menggeluti musik gamelan selama lebih dari 30 tahun. Ia
datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam bukunya, Margaret

menyebutkan bahwa gamolan berasal dari Liwa, daerah pegunungan di
bagian barat Lampung, "A Gamolan origin from Liwa in the montainous
nortwest area of Lampung.”
Hipotesis yang menyatakan bahwa seperangkat orkestra gamelan Jawa
adalah berasal dan merupakan pengembangan dan perkembangan dari
gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas.
Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesis ini. Pertama,
pertama, hal yang relatif sederhana adalah merupakan peradaban awal
dan adalah permulaan dari pengembangan hal yang lebih rumit dan
kompleks [H. Stewart]. Kedua, secara etimologi dalam konteks nama
relatif tidak berubah dari gamolan (Lampung) menjadi gamelan (Jawa).
Ketiga, gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa dan bermetamorfosis
sedemikian rupa menjadi seperangkat orkestra gamelan Jawa. Gamolan
Lampung dibawa ke Pulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara,
termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi
Borobudur (abad ke 8 M). Candi Borobudur sendiri dibangun Dinasti
Syailendra Sriwijaya, sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur
juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011].
Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan Maritim terbesar di Asia Tenggara
mempunyai perjalanan sejarah yang panjang dan pertautan yang sangat

erat dengan Kerajaan Sekala Brak. Kerajaan Sriwijaya didirikan Dapunta
Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Buddhis dari Ranau Sekala Brak.
Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan.

Pandangan ini didukung pendapat para ahli dan sejarawan sebagaimana
yang diungkapkan Lawrence Palmer Briggs dalam The Origin of Syailendra
Dinasty dalam Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950.
Lawrence menyatakan "Sebelum tahun 683 Masehi ibu negeri Sriwijaya
terletak di daerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu
dipayungi dua gunung dan dilatari oleh sebuah danau. Itulah sebabnya
Syailendra dan keluarganya disebut Raja Pegunungan."
Jelas, dua gunung yang dimaksud Lawrence adalah Gunung Pesagi dan
Gunung Seminung, sedangkan danau yang dimaksud adalah Danau
Ranau.
Setelah perpindahan dari Sekala Brak, Sriwijaya setidaknya tiga kali
berpindah ibu negeri, yaitu Minanga Komering, Palembang, dan
Darmasraya Jambi. Namun, para sejarawan juga ada yang berpendapat
bahwa Patthani di selatan Thailand adalah ibu negeri terakhir Sriwijaya.
***
Menurut Wirda Puspanegara, secara etimologi, gamolan berasal dari kata

gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu
dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran.
Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan)
Syapril Yamin mengatakan gamolan pada awalnya merupakan instrumen
tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai
tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul
bambu tua tegak yang sudah lama mati.
Gamolan yang merupakan instrumen xilofon yang berasal dari Lampung
Barat, dideskripsikan Margaret J. Kartomi dalam Musical Instruments of
Indonesia sebagai berikut: "Gamolan terdiri dari delapan lempengan
bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan bambu
tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan
melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di
bagian teratas lempeng, penyangga yang tergantung bebas di atas wadah
kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul sepasang
tongkat kayu. Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang
pemain duduk di belakang alat musik ini salah satu dari mereka
memimpin [begamol] memainkan pola pola melodis pada enam lempeng,
dan yang satunya [gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya,
lempeng lempeng pada gamolan distem dengan cara menyerut punggung

bambu agar berbentuk cekung. Gamolan dimainkan bersama-sama
dengan sepasang gong [tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul
[gindang] dan sepasang simbal kuningan [rujih]."
***
Namun, beberapa peneliti dari Taman Budaya Lampung (TBL) menyebut
instrumen musik ini sebagai kulintang. Demikianlah dinamika gamolan
dalam istilah dan penyebutan. Oleh sebab itu, saya sepakat untuk

kembali menyebut gamolan bagi instrumen musik ini karena terkait
dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan gamolan dalam tradisi
masyarakat adat Lampung.
***
Walaupun sebagian besar etnis Lampung dari berbagai buay dan marga
dari setiap konfederasi adat memiliki tambo sejarahnya masing-masing
dan mengakui puyang ulun Lampung berasal dari dataran tinggi Sekala
Brak di kaki Gunung Pesagi; tidak ada "origin Bersama" dari sebuah
produk kebudayaan. Keris misalnya, walaupun telah menjadi salah satu
produk kebudayaan besar Nusantara dan telah menjadi produk budaya
dan tradisi tidak saja Jawa, tetapi juga Bali, Sasak, Sunda, Bugis bahkan
Melayu namun tidak dapat dipungkiri bahwa Keris adalah produk dari

Kebudayaan Jawa yang merupakan daerah originnya.Pergeseran istilah
instrumen musik ini dari gamolan menjadi cetik, konon karena tampilan
suara yang dihasilkan gamolan, sehingga akhirnya gamolan juga dijuluki
sebagai cetik. Pergeseran istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90an. Demikianlah penyebutan gamolan menjadi cetik akhirnya menjadi
lumrah dan menjadi sebutan yang umum bagi gamolan. Bahkan, dalam
penulisan sekalipun seperti dalam penulisan buku Pelajaran Muatan Lokal
untuk Provinsi Lampung.
Saya agak kaget manakala mengetahui bahwa Way Kanan juga adalah
daerah asal dari gamolan, walaupun di Lampung, gamolan sebagai
instrumen musik juga digunakan sebagai piranti adat di Semaka
(Tanggamus) dan Way Kanan. Belum jelas seperti apa tepatnya informasi
yang menyatakan bahwa Way Kanan juga merupakan origin dari gamolan
peghing ini. Namun, sepertinya alasan politis dan kepentingan lebih
berperan di sini.
Demikianlah apa pun dan bagaimanapun dinamika dari sebuah
sebudayaan, tapi sejarah dan istilah harus diluruskan karena berkaitan
dengan tradisi, falsafah, dan perjalanan panjang sejarah dan peradaban
dari sebuah suku bangsa.

2.


SERDAM.

Serdam merupakan alat musik tiup tradisional yang terbuat dari buluh
bersuara merdu dan menyayat hati, dengan pembawaan nada dari sang
peniup untuk mengungkapkan isi hati. Alat musik tiup tradisional ini
begitu merakyat pada masyarakat. Menurut bapak Masykur Syafei, suara

serdam ini dapat membuat orang yang mendengarkan suaranya terpaut
hatinya karena kekhasan bunyinya yang sendu atau sedih.
Memiliki nada pentatonis. Berbeda dengan Seruling atau Suling, Serdam
umumnya menghasilkan nada dasar G = do, terdiri dari 5 lubang yang
menghasilkan tangga nada berirama do, re, mi, sol, la dan si (1, 2, 3, 5,
6 dan 7).
Instrumen ini terbuat dari buluh yang berbentuk bulat berdiameter + 1
cm dengan panjang + 25,5 cm. Diameter lubang peningkah + 4 mm,
jarak dari ujung buluh ke lubang peningkah + 4 cm, sedang jarak antara
masing-masing lubang peningkah + 2 cm. Jarak lubang klep I dan klep II
+ 1,5 cm sedangkan jarak peniup ke klep I + 4 cm.
Fungsi :

Kegunaan Serdam sebagai alat hiburan. Dalam memainkan Serdam
bersama-sama dengan instrument lainnya, Serdam biasanya untuk
mengambil suara atau solis dan untuk mengiringi solis yang ada
kaitannya dengan lagu.
Cara Memainkan :
Serdam biasanya dimainkan oleh seorang putra. Setiap satu Serdam
dimainkan oleh seorang putra. Cara memainkannya ujung lubang peniup
ditiup dan lubang-lubang penghasil nada ditutup dengan jari-jari. Seperti
telah diterangkan di atas untuk mencari nada rendah atau tinggi dengan
cara menutup atau membuka lubang-lubang jari yang ada di sepanjang
tubuh Serdam. Instrumen ini dapat dimainkan dengan duduk, berdiri
maupun berjalan.
Persebaran :
Mengenai persebaran alat ini, kiranya tidak akan mendapat kesulitan,
sebab hampir semua lapisan masyarakat, gemar akan mendengarkannya.
Dengan demikian alat ini mudah disebarluaskan sampai ke pelosok desa,
baik melalui perorangan maupun secara kelompok.
3.
GAMBUS.
Gambus merupakan salah satu alat musik yang dimainkan dengan cara

dipetik. Alat musik ini memiliki fungsi sebagai pengiring tarian zapin dan
nyanyian pada waktu diselenggarakan pesta pernikahan atau acara
syukuran. Alat musik ini identik dengan nyanyian yang bernafaskan
Islam. Bentuknya yang unik seperti bentuk buah labu siam atau labu air
(My) menjadikannya mudah dikenal.
Ada beberapa jenis gambus yang dapat diperoleh di mana saja, terutama
di kawasan tanah Melayu. Jenis-jenis tersebut, seperti gambus yang

hanya mempunyai tiga senar dan ada juga gambus yang mempunyai 12
senar. Jumlah senar biasanya terpulang pada yang memainkannya. Selain
dimainkan secara solo, alat musik ini dapat juga dimainkan secara
berkelompok.
4.

KOMPANG.

Kompang ialah sejenis alat musik tradisional yang sangat dikenal di
kalangan masyarakat Melayu. Ia termasuk dalam kategori musik
gendang. Kulit kompang biasanya terbuat dari kulit kambing.
Alat musik ini berasal dari Arab, ada juga yang mengatakan bahwa

kompang berasal dari Parsi dan digunakan untuk menyambut kedatangan
Rasulullah S.A.W. pada waktu itu. Selain itu, kompang juga digunakan
untuk memberi semangat kepada tentara-tentara Islam ketika berperang.
Kompang terdiri dari berbagai ukuran. Ada yang berukuran garis pusat
sepanjang 22.5 cm, 25 cm, 27.5 cm dan ada juga yang mencapai 35 cm.
Kompang dimainkan secara beregu dalam keadaan duduk, berdiri atau
berjalan. Jika kompang dimainkan dalam acara berzanji, pemain akan
duduk bersila atau duduk di atas kursi. Jika dimainkan dalam acara
pernikahan dan pawai menyambut pejabat daerah atau pejabat negara,
pemain kompang ini berjalan mengiringi pengantin atau pejabat daerah,
atau pejabat negara tersebut.
Kompang dimainkan dengan menggunakan kedua belah tangan. Sebelah
tangan memegang kompang, dan sebelah tangan lagi memukul kompang.
Terdapat tiga rentak dalam permainan kompang, yaitu rentak biasa,
rentak kencet, dan rentak sepulih. Rentak yang biasa dimainkan ialah
rentak biasa. Rentak kencet ialah rentak di tengah-tengah pukulan,
kemudian seolah-olah terhenti seketika. Sedangkan rentak sepulih
dimainkan untuk kembali pada rentak lagu pertama.
Alat musik kompang ini harus dijaga dengan baik. Sebagian masyarakat
Melayu percaya bahwa kompang harus diletakkan pada suatu tempat
tertentu, tidak boleh dilangkahi atau dipijak. Jika hal seperti itu tidak
diindahkan, maka orang tersebut akan dirasuki oleh ........, seperti tidak
sadarkan diri ketika memukul kompang. Pukulan tersebut terus dilakukan
oleh orang yang kesurupan itu, hingga ia cedera, atau terluka.

Dokumen yang terkait

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Perbandingan Indeks Glikemik Dan Beban Glikemik Antara Bubur Ayam Instan Dan Tradisional

2 37 68

ANALISIS TIPOLOGI PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN SISWA SMK SWASTA (Studi Pada Siswa SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, dan SMK Bhinneka di Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/2010)

2 34 119

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS BEBAS DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di SMA PGRI Seputih Mataram Lampung Tengah) Oleh

5 62 85

REALITY IN URBAN LIFESTYLE CLUBBERS (Studies in Space Lounge Clubbing at Bandar Lampung Enggal)

0 7 2

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 8 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014)

0 20 44

Hubungan Kejadian Pneumonia Neonatus dengan Beberapa Faktor Risiko di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 2010-2012

0 0 6