DPR dalam UUD 1945 Amandemen Terakhir

HUKUM TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG DASAR
1945 AMANDEMEN TERAKHIR

NAMA:
INTAN YUTIKASARI

110110130330

DOSEN:
DR. HERNADI AFFANDI, S.H., LL.M.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN

JALAN DIPATI UKUR NO.35 BANDUNG

BAB I
PENDAHULUAN

1.


Latar Belakang

Sebagai salah satu wujud dari negara demokrasi adalah dengan adanya perwakilan rakyat di
pemerintahan. Di Indonesia, salah satu wujud demokrasi yaitu dengan adanya Dewan Perwakilan
Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat berperan sebagai penyambung lidah rakyat di pemerintahan.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi memberikan penjelasan-penjelasan
pokok mengenai lebaga-lembaga negara salah satunya mengenai Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1999,
pada tahun 2000, pada tahun 2001, dan yang terakhhir adalah tahun 2002. Disini akan coba dilihat
bagaimana Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan mengenai Dewan Perwakilan Rakyat.

BAB II
PEMBAHASAN

Pembahasan mengenai lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 setelah
amandemen ke-empat terdapat dalam BAB VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dari Pasal 19 sampai
Pasal 22B.
Pasal 19 Ayat (1)
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dipilih Melalui Pemilihan Umum”

Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, artinya semua anggota DPR dipilih langsung oleh
rakyat (direct popular vote)1.
Pasal 19 Ayat (2)
“Susuna Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang”
Telah dikemukakan, pemilihan umum pertama sejak kembali ke UUD 1945 baru diadakan pada
tahun 1971 (dua belas tahun setelah UUD 1945 berlaku kembali). Pemilihan umum 1971,
dilaksanakan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum. Setiap kali menghadapi
pemilihan umum, diadakan perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 1969. Pada Tahun 1999, undangundang tersebut dicabut, digantikan oleh UU No. 3 Tahun 1999 yang menjadi dasar pemilihan umum
tahun 1999. UU No. 3 Tahun 1999 harus diubah karena memuat aturan yang tidak sesuai dengan
ketentuan baru dalam UUD, misalnya mengenai anggota yang diangkat. Selain itu perubahan UUD
juga mengatur mengenai hal baru seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perubahan
kedudukan, tugas, dan wewenang MPR.
Di masa depan, untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang maksimal, undang-undang pemilihan
umum harus memperhatikan hal-hal berikut:
1.

Jumlah maksimal anggota DPR, walaupun ada pertambahan penduduk.

2.


keseimbangan antara perwakilan dari Jawa dan Luar Jawa.

3.

Sistem yang mendorong penyederhanaan jumlah partai, untuk memungkinkan keterpaduan
kekuatan politik di DPR.

4.

sistem pemilihan yang mendekatkan wakil dengan rakyat pemilih.

5.

Sistem yang mendorong keanggotaan yang bermutu secara politik, wawasan dan
pengetahuan.

6.

Sistem yang mencegah di satu pihak terjadinya pemusatan kekuatan politik pada satu partai,
dan di pihak lain sistem yang mencegah proses sentrifugal atau fragmentarisme antar

kekuatan politik.

1

Bagir Manan. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH-UII Press.2003, hlm 16

7.

Sistem yang menjamin pemilihan umum yang jujur, adil, benar dan terbuka.

8.

Sistem pemilihan yang menjamin pemilihan umum yang tertib, aman, dan damai, jauh dari
tekanan, baik atas dasar kekuasaan atau cara-cara lain yang bertentangan dengan hukum dan
kesusilaan.

9.

Sistem pemilihan umum yang menjamin hak-hak perwakilan minoritas yang tidak dapat diraih
melalui pemilihan umum.2

Pasal 19 Ayat 3
“Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”

Usep Ranawidjaja menyebut DPR sebagai badan perwakilan sehari-hari. Ketentuan baru ini serupa
dengan ketentuan mngenai MPR, yang menyebutkan: Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara (Pasal 2 Ayat 2). Penjelasan Pasal 2 Ayat 2
menyebutkan: badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit-dikitnya sekali dalam 5 tahun.
Sedikit-dikitnya, jadi bila perlu dalam 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan
mengadakan persidangan istimewa. Meskipun penjelasan mengatakan: ... tentu boleh bersidang
lebih dari sekali dalam lima tahun, tidak dapat diartikan MPR dapat bersidang sehari-hari
(perwakilan sehari-hari). Sidang lebih dari sekali dalam lima tahun diadakan jika perlu dan dalam
bentuk persidangan istimewa. Jadi menurut Penjelasan UUD 1945, MPR memang tidak dimaksudkan
sebagai badan perwakilan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan wewenang MPR yang terbatas, yaitu
hanya menetapkan UUD dan GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden dan mengubah UUD.
Wewenang tersebut bukanlah pekerjaan sehari-hari, melainkan menurut periode tertentu atau
hanya pasa saat diperlukan. Karena itu dapat pula dipahami penjelasan yang menyebutkan: ...
mengingat dinamika dalam masyarakat, sekali dalam lima tahun majelis memperhatikan segala yang
terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan hukum-hukum apa yang hendaknya
dipakai untuk dikemudian hari. Tidak demikian halnya dengan DPR. Fungsi-fungsi DPR membuat
undang-undang, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan merupakan pekerjaan seharihari. Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan yang berlaku, DPR telah menjalankan tugas-tugasnya

sebagai pekerjaan sehari-hari. Karena itu ketentuan Pasal 19 Ayat (3) tidaklah diperlukan.3
Pasal 20 Ayat (1)
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”
Pemegang kekuasaan undang-undang ada pada Dewan Perwakilan rakyat sebagai badan legislatif.

Pasal 20 Ayat (2)
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”

2
3

Ibid, hlm 18
Ibid, hlm 19

Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas (bersama) oleh DPR dan
Presiden. Setiap rancangan undang-undang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR. Ketentuan
pasal ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan. Berdasarkan sistem ketatanegaraan yang
berlaku, sudah dengan sendirinya setiap undang-undang akan dibahas (bersama) oleh DPR dan
Presiden. Tidak mungkin rancangan undang-undang dapat sampai menjadi undang-undang tanpa

dibahas (bersama) oleh DPR dan Presiden4.
Pasal 20 Ayat (3)
“Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”
Pasal ini dapat dirumuskan secara lebih sederhana menjadi: rancangan undang-undang yang tidak
disetujui bersama (tidak memperoleh persetujuan bersama) tidak boleh dimajukan lagi dalam masa
persidangan DPR yang sama.
Pasal 20 Ayat (4)
“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang”
Menurut ketentuan ini, pengertian mengesahkan atau disahkan hanya menunjukkan perubahan
status dari rancangan menjadi undang-undang, karena menurut ketentuan baru, suatu rancangan
undang-undang dapat sah menjadi undang-undang tanpa disahkan oleh presiden5.
Pasal 20 Ayat (5)
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”
Pasal ini sebagai pengganti ketentuan naskah asli, bermaksud menggeser balancing pembentukan
undang-undang. pergeseran ini timbul karena bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang
(dari Presiden ke DPR) dan konsep bersama dalam pembentukan undang-undang6.

Pasal 20 A Ayat (1)
“Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan”
Naskah asli UUD 1945 tidak memuat mengenai ketentuan ini. Berbagai fungsi tersebut biasanya
dikaitkan langsung dengan materi muatan mengenai pembuatan undang-undang dan penetapan
anggaran belanja. Fungsi pengawasan tidak pernah diatur secara eksplisit, karena dapat terkait
dengan fungsi pembuatan undang-undang, penetapan anggaran belanja, dan aturan mengenai hak
DPR seperti hak bertanya, hak amandemen, dan hak angket. Tidak dapat diketahui secara pasti

4

Ibid, hlm 25
Ibid, hlm 29
6
Ibid, hlm 32
5

maksud yang ingin dicapai dalam pasal ini, dengan menyebut fungsi-fungsi tersebut. Ketentuan
semacam ini bukan saja overlapping tapi juga dapat menimbulkan kerancuan7.
Pasal 20 A Ayat (2)

“Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat”
Secara keseluruhan hak-hak DPR yang dimuat dalam UUD ini meliputi: hak inisiatif, hak anggaran
(budget), hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu dimuat juga hak
anggota baik sendiri-sendiri atau sejumlah anggota: hak mengajukan pertanyaan, hak
menyampaikan usul dan pendapat, dan hak imunitas.
Pasal 20 A Ayat (3)
“Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang ini, setiap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat
serta hak imunitas”
Hak mengajukan pertanyaan dapat dilakukan secara tertulis atau lisan. Pertanyaan dapat diajukan
kepada presiden, menteri, atau pejabat lain yang mewakili pemerintah dalam rapat kerja (hearing).
Hak menyampaikan usul. Termasuk hak menyampaikan usul adalah usul mengenai orang untuk
mengisi jabatan kenegaraan yang memerlukan persetujuan atau pertimbanagn DPR.
Hak menyampaikan pendapat. Perlu dibedakan antara menyampaikan atau menyatakan pendapat
sebagai hak DPR dan sebagai anggota DPR. Hak anggota menyampaikan pendapat serupa dengan
hak mengajukan pertanyaan, dan hak menyampaikan usul. Menyampaikan pendapat dapat diajukan
secara lisan atau tertulis dan tidak harus kepada presiden, melainkan dapat diajukan kepada menteri
atau pejabat pemerintah lainnya.
Hak imunitas yaitu hak kekebalan anggota DPR dari proses hukum tertentu, kecuali imunitas

tersebut tanggal atau ditanggalkan. Ada dua macam imunitas anggota DPR. Pertama; imunitas dalam
persidangan. Anggota DPR tidak dapat diproses secara hukum (didakwa, dituntut, dihukum) atas
ucapan-ucapannya dalam persidangan DPR, kecuali membocorkan pembicaraan yang disepakati
sebagai sesuatu yang dirahasiakan. Kedua; imunitas yang berkaitan dengan kewajiban memberikan
keterangan sebagai saksi atau tersangka dalam suatu perkara. Kekebalan dari pemeriksaan, baik
dalam tingkat penyelidikan, penyidikan, sampai ke muka pengadilan, kecuali ada keputusan yang
menanggalkan atau menghapus kekebalan tersebut8.
Pasal 20 A Ayat (4)
“Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat akan diatur dalam undang-undang”

7
8

Ibid, hlm 33
Ibid, hlm 38

Ketentuan lebih lanjut dalam ketentuan ini harus dan hanya diartikan sebagai penjabaran dari hakhak yang dimuat dalam UUD. Penjabaran tersebut terutama menyangkut tata cara penggunaan hakhak tersebut. Undang-undang dilarang mengatur (menciptakan) hak-hak baru di luar ketentuan
UUD.


Pasal 21
“Anggota Dewan perwakilan rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”
Ketentuan ini harus dibedakan dengan hak inisiatif DPR sebagai hak mengajukan rancangan undangundang. Hak anggota menurut pasal ini adalah hak mengajukan usul untuk membuat rancangan
undang-undang. Apabila usul tersebut diterima, akan lahir rancangan undang-undang sebagai
inisiatif DPR.
Pasal 22 Ayat (1)
“Dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang”
Menurut pasal ini, peraturan darurat (noodsverondening) yang dibuat Presiden adalah Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan darurat, bukan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 5
Ayat (2). Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) dibuat untuk melaksanakan undangundang, sedangkan Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 22 sederajat sama dengan undangundang. Dalam praktik ketatanegaraan RI Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 22 diberi nama
Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang dan lebih populer disebut Perpu.
Pasal 22 Ayat (2)
“Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangna berikutnya”
Ketentuan pada ayat ini mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai pembatasan waktu berlaku Perpu
yaitu paling lama sampai masa persidangan DPR berikutnya. Kedua: Perpu harus diubah statusnya
menjadi undang-undang (kalau disetujui DPR), atau dicabut (apabila tidak mendapat persetujuan
DPR).
Pasal 22 Ayat (3)
“jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut”
Sebagai satu rangkaian dari ketentuan Ayat (1) dan (2), maka yang dimaksud dengan persetujuan
adalah persetujuan DPR, dan yang dimaksud Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah
sebagai pengganti undang-undang atau Perpu”

Pasal 22 A
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang”
Pasal 22 A merupakan salah satu ketentuan yang mengatur undang-undang organik yaitu undangundang yang dibuat karena perintah UUD. Disini sengaja digunakan istilah ‘karena’ bukan
‘berdasarkan’. Kata ‘karena’ menunjukkan hubungan langsung, sedangkan ‘berdasarkan’ tidak
langsung. Selain itu, semua undang-undang dan peraturan perundang-undangan pada umumnya
dibuat berdasarkan UUD. Tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang tidak berdasarkan
UUD9.
Pasal 22 B
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang”
Syarat-syarat dan tata cara memberhentikan anggota DPR diatur dengan undang-undang.

9

Ibid, hlm 47

BAB III
PENUTUP

1.

Kesimpulan

Jadi, sesuai dengan apa yang telah dimanahkan dalam Konstitusi, yakni dalam Undang-Undang
Dasar 1945 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara yang memiliki hak dan
wewenang, diantaranya hak menyampaikan pendapat, hak interpelasi hingga hak imunitas yaitu hak
kekebalan anggota DPR dari proses hukum tertentu. Dewan Perwakilan Rakyat berfungsi membuat
undang-undang dan juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, maka dari
itu sebagaimana yang dikatakan oleh Usep Ranawidjaja bahwa Dewan Perwakilan Rakyat juga
dikatakan sebagai lembaga sehari-hari, tidak seperti MPR. Namun Undang-Undang tidak
menjelasakan secara rinci mengenai bagaimana pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
karena akan dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945
Manan, Bagir. 2003. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH-UII Press