Catch Up Seberapa Jauh Indonesia Memilik

Catch up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju

Tim Penulis: Akhmad Akbar Susamto

Nanang Pamudji Mugasejati Tri Widodo Ma’ruful Musthofa

Amiadji Nur Kamil Martha Hindriyani

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala bahwa kami dapat mempublikasikan laporan “Catch Up: Seberapa Jauh Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-negara Maju”

2013/2014. Laporan ini merupakan laporan pertama Kelompok Kerja Daya Saing Indonesia, Universitas Gadjah Mada yang insya Allah akan segera disusul dengan laporan-laporan lain terkait dengan daya saing Indonesia.

Tentu saja bukan tanpa alasan bila kami memilih laporan Catch Up sebagai laporan yang pertama. Ibarat perjalanan, kami ingin mengawalinya dengan pemahaman tentang di mana posisi berpijak saat ini dan baru kemudian memetakan arah dan jalan terbaik untuk mencapai lokasi tujuan. Sebelum melangkah dengan laporan-laporan lain tentang strategi dan kebijakan untuk mengejar negara-negara maju, kami ingin terlebih dahulu memastikan di mana posisi Indonesia di tengah perekonomian global.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta mendukung penulisan laporan ini.

Harapan kami, semoga laporan ini dapat bermanfaat. Selamat membaca.

Yogyakarta, 18 Maret 2014

Akhmad Akbar Susamto Koordinator KKDSI

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Meskipun berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 6 persen per tahun, tetapi Indonesia masih termasuk kelompok negara berpendapatan menengah bawah (World Bank, 2013). Berdasarkan prediksi sejumlah ekonom, Indonesia akan segera masuk dalam jebakan pendapatan menengah atau middle income trap (Felipe, Abdon dan Kumar, 2012). Jebakan pendapatan menengah adalah fenomena yang terjadi ketika sebuah negara berpendapatan rendah berhasil masuk ke kelompok pendapatan menengah, tetapi kemudian tertahan di kelompok tersebut dalam kurun waktu lama dan tidak dapat melakukan lompatan untuk masuk ke kelompok negara-negara berpendapatan tinggi.

Pada saat yang sama, Indonesia tengah memasuki arus besar keterbukaan ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas. Indonesia telah meratifikasi keikutsertaan dalam World Trade Organization (WTO) dan organisasi-organisasi perdagangan lain yang lebih spesifik. Indonesia, dengan demikian, harus menerima prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang disepakati dalam organisasi-organisasi tersebut, termasuk aturan-aturan tentang penghapusan proteksi dan hambatan perdagangan.

Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh Indonesia siap mengatasi middle income trap di tengah keterbukaan ekonomi dan perdagangan bebas? Lebih khusus lagi, seberapa jauh Indonesia memiliki bekal berupa faktor-faktor yang memungkinkannya mengejar negara-negara maju?

Laporan ini bertujuan untuk mengukur dan memetakan catch up enabling factors yang dimiliki Indonesia. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif menggunakan catch up index yang juga melibatkan 49 negara lain sebagai pembanding. Indeks tersebut mencakup sembilan komponen, yaitu: (1) Capaian dasar kesejahteraan sosial; (2) Capaian makroekonomi; (3) Kapasitas infrastruktur; (4) Kapasitas teknologi; (5) Kapabilitas inovasi; (6) Kapabilitas kelembagaan; (7) Kinerja dunia usaha; (8) Keberlanjutan; dan (9) Kemandirian. Komponen-komponen tersebut selanjutnya mencakup sub-subkomponen dan sejumlah indikator.

Perhitungan indeks dilakukan dengan terlebih dahulu membagi bobot total secara merata kepada setiap komponen. Kemudian, bobot untuk masing-masing komponen tersebut dibagi lagi secara merata kepada tiap-tiap subkomponen. Melalui cara ini, semua komponen atau subkomponen akan memiliki kontribusi yang sama, meskipun jumlah indikator yang tercakup di dalamnya berbeda- beda. Untuk kepentingan agregasi, nilai setiap indikator distandardisasi menggunakan rumus yang relevan. Nilai indeks untuk subkomponen tertentu merupakan rata-rata nilai standar dari semua indikator yang tercakup dalam subkomponen tersebut. Begitu juga, nilai indeks untuk komponen tertentu merupakan rata-rata nilai indeks dari subkomponen-subkomponen di dalamnya. Terakhir, nilai indeks secara keseluruhan merupakan rata-rata dari nilai indeks semua komponen.

Berdasarkan hasil perhitungan indeks secara keseluruhan, Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 50 negara. Di antara 20 negara anggota G-20 selain Uni Eropa, Indonesia hanya unggul atas satu negara, yaitu India. Di antara negara-negara Asia selain anggota G-20, Indonesia juga masih unggul atas Filipina. Namun, Indonesia kalah jauh dari negara-negara Asia yang lain, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

CATCH UP: SEBERAPA JAUH INDONESIA MEMILIKI BEKAL UNTUK MENGEJAR NEGARA-NEGARA MAJU?

PENDAHULUAN

telah meratifikasi Perjanjian Marrakech tentang pembentukan dan keikutsertaan

Meskipun berhasil mempertahankan tingkat dalam World Trade Organization (WTO).

pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 6 Melalui beberapa peraturan perundang-

persen per tahun dalam beberapa tahun undangan yang lain, Indonesia juga telah

terakhir, tetapi dengan pendapatan nasional meratifikasi keikutsertaan dalam organisasi-

per kapita (GNI per capita) antara US$ 1,036 organisasi perdagangan yang lebih spesifik, hingga US$ 4,085, Indonesia masih termasuk seperti Association of Southeast Asian Nations

kelompok negara berpendapatan menengah

1 bawah (World Bank, 2013). (ASEAN), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN Indonesia berada Korea Free Trade Area dan ASEAN-Australia-

pada kelompok tersebut bersama sejumlah New Zealand Free Trade Area. Indonesia,

negara lain, seperti Filipina, Vietnam, Mesir dengan demikian, harus menerima prinsip-

dan Nigeria. prinsip dan aturan-aturan yang disepakati

Berdasarkan prediksi sejumlah ekonom, dalam organisasi-organisasi tersebut, termasuk Indonesia akan segera masuk dalam jebakan

aturan-aturan tentang penghapusan proteksi pendapatan menengah atau middle income

dan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif trap (Felipe, Abdon dan Kumar, 2012). Jebakan

dan non tarif.

pendapatan menengah adalah fenomena yang Pertanyaan yang muncul adalah seberapa jauh

terjadi ketika sebuah negara yang pada Indonesia siap mengatasi middle income trap di

awalnya berpendapatan rendah berhasil tengah era keterbukaan ekonomi dan per- masuk ke kelompok pendapatan menengah, dagangan bebas? Lebih khusus lagi, seberapa

tetapi kemudian tertahan di kelompok ter- jauh Indonesia memiliki bekal berupa faktor-

sebut dalam kurun waktu yang lama dan tidak faktor yang akan memungkinkannya me-

bisa melakukan lompatan untuk masuk ke ngurangi ketertinggalan dari negara-negara

kelompok negara-negara berpendapatan

maju?

tinggi. Laporan ini bertujuan untuk mengukur dan

Pada saat yang sama, Indonesia tengah me- memetakan catch up enabling factors yang

masuki arus besar keterbukaan ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia. Pengukuran bersifat

mengarah pada perdagangan bebas. Melalui komparatif dan dilakukan secara kuantitatif

Undang-undang No. 7 Tahun 1994, Indonesia

1 Menurut klasifikasi World Bank, negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) Negara- negara berpendapatan rendah; (2) Negara-negara berpendapatan menengah bawah; (3) Negara-negara ber-

pendapatan menengah atas; dan (4) Negara-negara berpendapatan tinggi.

menggunakan sebuah indeks komposit yang stabil yang dikenal sebagai steady state. Saat juga melibatkan 49 negara lain sebagai

itu, akumulasi kapital tak lagi menentukan. pembanding. Sesuai fungsinya, indeks

Rasio kapital-tenaga kerja konstan sepanjang komposit tersebut selanjutnya diberi nama

waktu dan, sesuai hukum diminishing return, Indonesia catch up index.

kontribusi kapital dalam produksi akan semakin kecil. Karena negara-negara ter-

belakang pada umumnya mempunyai rasio

KERANGKA TEORI

kapital-tenaga kerja yang jauh lebih kecil dibandingkan tingkat optimal jangka panjang

Di dalam laporan ini, terminologi catch up mereka, maka tingkat pengembalian investasi merujuk pada kemampuan suatu negara untuk

kapital di negara-negara terbelakang akan mengejar negara-negara lain yang telah maju

lebih tinggi dari tingkat pengembalian di dengan meningkatkan produktivitas dan pen-

negara-negara maju. Oleh karena itu, negara- dapatan per kapita. Pengertian tersebut mirip

negara terbelakang akan tumbuh lebih cepat dengan pengertian yang diberikan oleh Fager-

mengejar produktivitas dan pendapatan per berg dan Godinho (2005, hal. 514), tetapi

kapita negara-negara maju. Dengan kata lain, berbeda dengan pengertian yang diberikan

akan terjadi proses catch up yang memungkin- oleh Gomulka (1987, hal 379) yang me-

kan konvergensi antara negara-negara ter- ngidentikkan catch up hanya dengan isu

belakang dan negara-negara maju. teknologi.

Temuan-temuan dari riset-riset empiris me- Terdapat paling tidak dua kerangka teori yang

nunjukkan bahwa prediksi Solow (1956) di atas dapat digunakan untuk menjelaskan ke-

salah (Barro dan Sala-i-Martin, 1992; Mankiw, mampuan negara-negara terbelakang me-

Romer dan Weil, 1992). Alih-alih konvergensi, ngejar negara-negara maju. Pertama, teori

yang terjadi adalah divergensi produktivitas pertumbuhan ekonomi. Sejak awal tahun

dan pendapatan per kapita di antara negara- 1950-an hingga beberapa dekade kemudian,

negara ter-belakang dan negara-negara maju analisis pertumbuhan ekonomi didominasi

(Barro, 1997; Pritchett, 1997; Jones 1997). oleh model pertumbuhan ekonomi neoklasik

Tidak mengherankan bila kemudian model yang dipopulerkan oleh Solow (1956). Model

pertumbuhan neoklasik ditinggalkan oleh para ini mengasumsikan bahwa tingkat output

ekonom. Terlebih, dengan berkembangnya ditentukan oleh kapital dan tenaga kerja, di

pandangan-pandangan alternatif yang di- mana keduanya saling berinteraksi pada ting-

dasarkan pada model pertumbuhan ekonomi

kat teknologi tertentu. 2 Dalam jangka pendek,

baru atau pertumbuhan endogen. tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat

dicapai dengan meningkatkan efisiensi peng- Model pertumbuhan endogen (Romer, 1986; gunaan kapital dan tenaga kerja. Dalam jangka

Lucas, 1988) mengkoreksi cara pandang neo- panjang, tiap-tiap negara akan diuntungkan

klasik dengan memberikan penekanan pada oleh akumulasi kapital hingga suatu saat

pentingnya teknologi endogen sebagai pe- mencapai jalur pertumbuhan optimal dan

nentu pertumbuhan ekonomi dalam jangka

2 Teknologi dalam hal ini tidak memiliki makna fisik (misalnya alat atau mesin produksi tertentu), tetapi lebih merupakan pengetahuan tentang bagaimana melakukan atau memproduksi sesuatu dengan cara yang paling efisien.

panjang. Berbeda dengan kapital yang dalam mengambil kebijakan (Stiglitz, 2009; mengikuti hukum diminishing return, teknologi

Rajan, 2010). Sementara, pendidikan dasar dan bersifat non-rivalry sehingga mengikuti hukum

menengah merupakan fondasi bagi sebuah increasing return. Penambahan tenaga kerja

perekonomian untuk tumbuh dan berkembang hingga berapa pun tidak akan menghalangi

(Mincer, 1974; Psacharopoulos, 1994; Hanu- kemungkinan pemanfaatan teknologi oleh

shek dan Kimko, 2000).

tenaga kerja sebelumnya. Penambahan tenaga Fischer (1993), Bruno dan Easterly (1998) dan kerja, dengan demikian, tidak mengurangi banyak pakar lain pernah menekankan kontribusi teknologi, tetapi sebaliknya, justru pentingnya capaian makroekonomi, seperti melipatgandakan tingkat output. produk domestik bruto (PDB), stabilitas harga

Hanya saja, tidak semua teknologi terwujud dan tingkat pengangguran bagi pertumbuhan secara eksplisit. Sebagian besar teknologi

jangka panjang. Total PDB menunjukkan bukan hanya tidak terdokumentasi, melainkan

ukuran perekonomian. Stabilitas harga mem- juga tacit (Nonaka dan Takeuchi, 1995)

berikan kepastian bagi para pelaku ekonomi, sehingga biaya transfer atau pengalihannya

baik dalam menyusun rencana ekonomi kepada individu-individu atau negara-negara

maupun mengalokasikan sumberdaya. Ke- lain bisa sangat mahal (Antonelli, 1995). Oleh

tidakstabilan akan meningkatkan ketidak- karena itu, menurut model pertumbuhan

pastian investasi dan menimbulkan biaya yang endogen, baik negara-negara terbelakang

tinggi sehingga menghalangi pertumbuhan maupun negara-negara maju tumbuh sesuai

(Barro, 2013). Lebih dari itu, ketika per- jalur masing-masing. Konvergensi, meskipun

tumbuhan didasarkan pada proses learning by mungkin (Ortigueira dan Santos, 1996), tetapi

doing, ketidakstabilan jangka pendek juga tidak akan terjadi dengan sendirinya dan

dapat mengurangi akumulasi sumberdaya bergantung pada kemampuan tiap-tiap negara

manusia dan, oleh karenanya, juga mengurangi memajukan dan mengkombinasikan teknologi

laju pertumbuhan ekonomi (Martin dan dengan faktor-faktor lain.

Rogers, 2000). Tingkat pengangangguran bu- kan hanya menunjukkan banyaknya sumber

Dengan kata lain, seberapa jauh negara-negara daya yang tidak produktif (Pissarides, 1992), terbelakang mampu tumbuh lebih cepat dan melainkan juga permintaan agregat yang lebih mengejar negara-negara maju akan tergantung rendah. Ketika tingkat pengangguran rendah, pada banyak aspek. Di antaranya adalah banyak orang yang bekerja dan memperoleh capaian kesejahteraan sosial saat ini, seperti pendapatan sehingga mampu membeli barang tingkat harapan hidup dan kesehatan, dan jasa yang diinginkan. Di samping itu, keterbebasan dari kelaparan, kemiskinan dan tingkat pengangguran yang rendah juga me- kesenjangan, pendidikan dasar dan menengah. naikkan jumlah tabungan dan menambah dana Tingkat harapan hidup dan kesehatan yang tersedia untuk investasi (Bean dan merupakan kunci keberlangsungan sebuah

Pissarides, 1993).

negara. Keterbebasan

dari kelaparan,

kemiskinan dan kesenjangan tidak hanya me- Kapasitas infrastruktur dan teknologi juga nunjukkan terpenuhinya kebutuhan dasar,

mempengaruhi kemampuan perekonomian tetapi juga berkurangnya masalah-masalah

sebuah negara untuk tumbuh lebih cepat yang dapat membatasi ruang gerak pemerintah

(Barro, 1990). Infrastruktur transportasi, baik (Barro, 1990). Infrastruktur transportasi, baik

Peran penting inovasi telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi (Aghion dan Howitt, 1992; Griliches, 1994). Inovasi yang ber- langsung terus-menerus bukan hanya akan menciptakan peluang-peluang keuntungan baru, melainkan juga memberikan rongrongan bagi keseimbang-an perekonomian sehingga perekonomian dapat terus bergerak dan tumbuh (Schumpeter, 1942). Temuan-temuan empiris membuktikan bahwa negara-negara yang memiliki kapabilitas inovasi lebih tinggi cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara lain yang memiliki kapabilitas inovasi rendah (Jones dan Williams, 1998; Griffith, Redding dan Van Reenen, 2000).

Seberapa jauh negara-negara terbelakang mampu tumbuh lebih cepat juga bergantung pada kemampuan mereka untuk menciptakan kelembagaan yang baik (North, 1990). Stabilitas politik dan keamanan, penegakan hukum, tata pemerintahan yang efektif dan regulasi yang tepat akan memfasilitasi pembangunan sektor bisnis dan pertumbuhan

makroekonomi (Knack and Keefer, 1995; Easterly, 2001). Kualitas kelembagaan yang baik juga akan menarik investasi, terutama di negara berkembang dan negara dalam transisi perekonomian (Globerman dan Shapiro, 2002; Stern, 2003) sehingga dapat mempercepat laju pertumbuhan.

Kelembagaan sebagaimana dimaksud North (1990) tidak hanya merujuk pada sektor publik, tetapi juga sektor swasta. Sebagai contoh adalah kewirausahaan. Negara-negara yang berhasil membangun tradisi kewirausahaan akan memperoleh keuntungan dapat bentuk penciptaan lapangan pekerjaan, penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi (Chell dan Ozkan, 2010; Chang, 2011). Di samping itu, juga ada kelembagaan ketenagakerjaan. Ke- lembagaan ketenagakerjaan yang baik akan menciptakan hubungan yang harmonis antara pengusaha dan buruh dan menopang peningkatan produktivitas (Freeman, 2003; Chen, Chen dan Wang, 2011). Kelembagaan pasar juga sangat penting, terutama karena karakteristik pasar menentukan bagaimana para pelaku ekonomi berinteraksi satu dengan yang lain. Ukuran pasar yang besar akan memungkinkan tercapainya economies of scale. Sebaliknya, ukuran pasar yang kecil akan mengurangi minat pengusaha untuk ber- investasi dan berproduksi.

Kelembagaan jasa keuangan juga berperan besar dalam menentukan kemajuan per- ekonomian (Beck, Levine dan Loayza, 2000; Levine, 2005). Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan seperti bank, asuransi dan perusahaan pembiayaan mem- bantu masyarakat dalam menyimpan uang, mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan efisiensi. Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat Kelembagaan jasa keuangan juga berperan besar dalam menentukan kemajuan per- ekonomian (Beck, Levine dan Loayza, 2000; Levine, 2005). Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan seperti bank, asuransi dan perusahaan pembiayaan mem- bantu masyarakat dalam menyimpan uang, mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan efisiensi. Jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan tersebut juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat

Di luar semua aspek di atas, kemampuan negara-negara terbelakang untuk tumbuh dalam jangka panjang juga bergantung pada kemampuan mereka untuk memperhatikan aspek lingkungan (Bovenberg dan Smulders, 1995; Taylor dan Brock, 2006). Tanpa mem- perhatikan keselarasan antara manusia dengan alam dan keseimbangan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang, maka kemajuan ekonomi apapun yang dicapai tidak akan berkelanjutan.

Kerangka teori kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemampuan negara-negara terbelakang mengejar negara-negara maju berasal dari literatur tentang industrialisasi yang terlambat. Pakar sejarah ekonomi, Gerschenkron (1962), berpendapat bah- wa negara-negara yang berbeda akan meng- alami pengalaman industrialisasi yang berbeda tergantung pada tingkat keterbelakangan eko- nomi mereka ketika industrialisasi dimulai. Pendapat ini merupakan bantahan terhadap teori Rostow (1960) yang membagi proses pertumbuhan ekonomi menjadi lima tahap, yaitu masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas, tinggal landas, menuju ke- dewasaan dan masa konsumsi tinggi.

Negara-negara terbelakang yang masih tradi- sional memang pada umumnya tak memiliki prasyarat untuk tinggal landas. Bukan hanya kapital, mereka juga kekurangan tenaga kerja terampil, pengetahuan dan teknologi. Namun, tak berarti bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai peluang untuk maju. Menurut Gerschenkron (1962), negara-negara ter- belakang dapat mengkompensasi prasyarat yang tak mereka miliki melalui penguasaan teknologi dan penataan kelembagaan yang efektif yang memungkinkan mereka untuk

melompat ke tahap-tahap pertumbuhan se- lanjutnya dan mengejar negara-negara maju.

Dalam hal ini, kemampuan tiap-tiap negara untuk menguasai teknologi dan membangun kelem-bagaan yang efektif akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain terkait dengan dua konsep utama, yaitu kesesuaian teknologi dan kapabilitas sosial (Abramovitz, 1994). Tiap- tiap negara perlu mempertimbangkan posisi mereka, apakah sebagai leader atau follower, dan memilih teknologi yang tepat sesuai dengan karakteristik negara yang ber- sangkutan. Pemilihan teknologi yang sesuai akan memudahkan upaya suatu negara untuk menguasai teknologi sekaligus mengem- bangkannya di masa datang. Sementara, kapa- bilitas sosial menyangkut banyak aspek, mulai dari capaian sosial ekonomi saat ini, kapasitas infrastruktur, kapasitas teknologi, kapabilitas inovasi dan kelembagaan, hingga kinerja dunia usaha.

METODOLOGI

Konsisten dengan kerangka teori di atas, Indonesia catch up index di dalam laporan ini

mencakup delapan komponen, yaitu: (1) Capaian dasar kesejahteraan sosial; (2) Capaian makroekonomi; (3) Kapasitas infrastruktur; (4) Kapasitas teknologi; (5) Kapabilitas inovasi; (6) Kapabilitas kelembagaan; (7) Kinerja dunia usaha; dan (8) Keberlanjutan. Di samping itu, Indonesia catch up index juga mencakup satu komponen tambahan, yaitu: (9) Kemandirian. Komponen-komponen tersebut selanjutnya mencakup beberapa subkomponen dan sejumlah indikator.

Seperti tampak pada Gambar 1, capaian dasar kesejahteraan sosial terdiri dari tiga subkom- ponen, yaitu: (1) Tingkat harapan hidup dan Seperti tampak pada Gambar 1, capaian dasar kesejahteraan sosial terdiri dari tiga subkom- ponen, yaitu: (1) Tingkat harapan hidup dan

Kapasitas teknologi terdiri dari subkomponen penguasaan teknologi baru. Kapabilitas inovasi mencakup dua subkomponen, yaitu: (1) Keter- sediaan sumberdaya manusia ahli; dan (2) Intensitas penelitian dan pengembangan. Kapabilitas kelembagaan mencakup empat sub komponen, yaitu: (1) Penciptaan stabilitas politik dan keamanan; (2) Penegakan hukum; (3) Tata pemerintahan; dan (4) Efisiensi biro- krasi. Kinerja dunia usaha terdiri dari enam sub- komponen, yaitu: (1) Bisnis dan Kewira- usahaan; (2) Hubungan ketenagakerjaan; (3) Produktivitas; (4) Karakteristik pasar; dan (5)

Layanan keuangan; dan (6) Beban pajak. Sementara, keberlanjutan meliputi empat subkomponen, yaitu: (1) Pelestarian sumber- daya udara; (2) Pelestarian sumberdaya air; (3) Pelestarian sumberdaya lahan; (4) Pelestarian sumberdaya energi. Terakhir, kemandirian meliputi empat subkomponen, yaitu: (1) Ke- tidakbergantungan terhadap bantuan luar negeri; (2) Ketidaktergantungan terhadap utang luar negeri; (3) Ketidaktergantungan terhadap produk impor; dan (4) Daya pengaruh diplomasi. Jumlah indikator untuk masing- masing komponen ditentukan oleh karak- teristik komponen yang bersangkutan dan ketersediaan data. Dalam hal ini, data yang digunakan berasal dari berbagai sumber sekunder, di antaranya World Bank, In- ternational Monetary Funds (IMF), World Eco- nomic Forum (WEF), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), United Nations Industrial De- velopment Organization (UNIDO), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), dan United Nation Development Programme (UNDP).

Gambar 1: Penjabaran Komponen dan Subkomponen Penyusun Indonesia Catch Up Index

Perhitungan indeks dilakukan dengan terlebih nilai indeks secara keseluruhan merupakan dahulu membagi bobot total secara merata

rata-rata dari nilai indeks semua komponen. kepada setiap komponen. Kemudian, bobot

Nilai indeks untuk subkomponen dan untuk masing-masing komponen tersebut komponen tersebut kemudian disajikan dalam dibagi lagi secara merata kepada sub- skala 0-100 menggunakan teknik rescaling. subkomponen. Melalui cara ini, semua kom- Transformasi rescaling dilakukan sesuai rumus ponen atau subkomponen akan memiliki kon-

tribusi yang sama di dalam indeks, meskipun

jumlah indikator yang tercakup di dalamnya 𝑚𝑖𝑛 ))

(𝐼 𝑚𝑎𝑥 −𝐼 min ) . (𝐼 − (𝐼 berbeda-beda.

𝐼 merupakan nilai indeks sehingga negara Untuk kepentingan agregasi, nilai setiap

dengan nilai indeks tertinggi akan memiliki nilai indikator distandardisasi menggunakan rumus

100, sedangkan negara yang memiliki nilai indeks terendah akan memiliki nilai 0.

POSISI INDONESIA SECARA UMUM

dan

Berdasarkan hasil perhitungan indeks secara (𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟) 𝑖 =

keseluruhan, Indonesia berada pada peringkat Di mana

ke-44 dari 50 negara. Peringkat pertama hingga 𝑠 = standar deviasi

ketiga ditempati oleh Amerika Serikat, Jepang 𝑥 = nilai indikator

dan Swedia, sementara peringkat keempat 𝑥̅= nilai rata-rata indikator seluruh negara yang

hingga ketujuh masing-masing ditempati oleh diteliti

Norwegia, Finlandia, Jerman dan Korea 𝑁 = jumlah negara yang diteliti

Selatan.

Di antara 20 negara dengan perekonomian Disamping Indonesia, 49 negara lain yang

dilibatkan dalam perhitungan indeks adalah terbesar di dunia atau G-20, Indonesia berada negara dengan leader di kawasan masing-

pada peringkat ke-19, atau unggul atas satu masing dan termasuk negara-negara dengan

negara, yaitu India. Di antara negara-negara perekonomian utama di dunia.

Asia selain anggota G-20, Indonesia juga unggul atas Filipina. Namun, Indonesia kalah jauh dari

Untuk kasus-kasus khusus di mana data sebuah negara-negara Asia yang lain, termasuk negara- negara tidak tersedia, nilai standar negara

negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. tersebut diganti dengan rata-rata nilai standar

Singapura berada pada peringkat kesembilan, pada indikator terkait. Nilai indeks untuk

Malaysia berada pada peringkat ke-29, subkomponen tertentu merupakan rata-rata

Thailand berada pada peringkat ke-34, dan nilai standar dari semua indikator yang

Vietnam berada pada peringkat ke-41. tercakup dalam subkomponen tersebut. Begitu

juga, nilai indeks untuk komponen tertentu

merupakan rata-rata nilai indeks dari subkom-

ponen-subkomponen di dalamnya. Terakhir,

Gambar 2: Peringkat Index Catch Up Secara Keseluruhan

Peringkat Negara

Nilai

1 Amerika Serikat

0,873

2 Jepang

0,709

3 Swedia

0,661

4 Norwegia

0,659

5 Finlandia

0,655

6 Jerman

0,601

7 Korea Selatan

0,545

8 Swiss

0,542

9 Singapura

0,524

10 Australia

0,520

11 Denmark

0,503

12 Kanada

0,472

13 Austria

0,453

14 Selandia Baru

0,430

15 Perancis

0,411

16 Inggris

0,387

17 Belanda

0,386

18 Belgia

0,340

19 Republik Ceko

0,298

20 Hong Kong

0,292

21 Spanyol

0,196

22 Italia

0,139

23 Polandia

0,086

24 Portugal

-0,017

25 Arab Saudi

-0,037

26 Chili

-0,043

27 Rusia

-0,095

28 Rumania

-0,140

29 Malaysia

-0,146

30 Kazakhstan

-0,159

31 Ukraina

-0,200

32 Turki

-0,225

33 RRC (China)

-0,226

34 Thailand

-0,228

35 Argentina

-0,319

36 Mesir

-0,325

37 Brasil

-0,366

38 Iran

-0,395

39 Meksiko

-0,426

40 Aljazair

-0,470

41 Vietnam

-0,480

42 Venezuela

-0,492

43 Afrika Selatan

-0,523

44 Indonesia

-0,530

45 Filipina

-0,539

46 Peru

-0,577

47 Kolombia

-0,614

48 India

-0,670

49 Nigeria

-1,036

50 Kenya

-1,380

15

31,51

33,99

35,63

37,31

37,72

38,04

39,42

39,95

40,38

42,34

43,71

44,99

46,83

47,09

51,14

51,22

51,27

52,36

54,20

54,80

55,06

57,05

59,36

59,60

60,51

65,07

67,41

69,96

74,22

74,48

76,33

78,37

78,44

79,50

80,34

81,35

82,20

83,59

84,34

84,53

85,31

85,44

87,92

90,31

90,49

90,60

92,74

100

0 20 40 60 80 100

DETAIL POSISI INDONESIA UNTUK TIAP-TIAP KOMPONEN DAN SUBKOMPONEN

Dilihat dari masing-masing komponen, capaian dasar kesejahteraan sosial Indonesia berada pada peringkat ke-41 dari 50 negara. Peringkat tersebut mencerminkan agregasi tiga subkom- ponen, yaitu harapan hidup dan kesehatan di mana Indonesia menempati urutan ke-45, keterbebasan dari kelaparan, kemisikinan, dan kesenjangan di mana Indonesia menempati urutan ke-41, dan pendidikan dasar dan me- nengah di mana Indonesia menempati urutan ke-42.

Permasalahan utama terkait dengan kesejah- teraan antara lain tingginya angka kematian bayi yaitu 25 bayi per 1000 kelahiran (WHO, 2013) serta persentase penduduk yang kurang gizi mencapai sekitar 8,6 persen (World Bank, 2011). Kebutuhan dasar seperti ketersediaan air minum yang berkualitas menurut standar

MDG’s baru dapat diakses oleh 84 persen penduduk (United Nations, 2011). Indikator

fasilitas sanitasi yang memadai juga tidak lebih baik, persentase penduduk yang dapat meng- akses sanitasi masih dibawah 60 persen (Uni- ted Nations, 2011).

Sementara dibidang pendidikan, untuk pendi- dikan dasar sudah menunjukkan persentase yang baik, dengan angka partisipasi pendidikan dasar sebesar 95,8 persen (WEF, 2013) dan angka melek huruf 92,8 persen (UNDP, 2013). Tetapi angka partisipasi pendidikan menengah dan penduduk dengan lulusan pendidikan me- nengah masih tergolong rendah yakni masing- masing 80,7 (WEF, 2013) dan 41,4 persen (UNDP, 2013). Hal ini berimplikasi pada rendahnya peringkat subkomponen pendidik- an dasar dan menengah secara keseluruhan.

Gambar 3: Peringkat Capaian Dasar Kesejahteraan Sosial

Peringkat Negara

Indeks Skala 0 - 100

1 Jepang

2 Norwegia

3 Finlandia

4 Swedia

5 Republik Ceko

6 Jerman

7 Austria

8 Denmark

9 Belgia

10 Ukraina

11 Belanda

12 Perancis

13 Swiss

14 Spanyol

15 Kanada

16 Korea Selatan

17 Australia

18 Selandia Baru

19 Polandia

20 Italia

21 Inggris

22 Singapura

23 Kazakhstan

24 Hong Kong

25 Mesir

26 Portugal

27 Amerika Serikat 0.357 77.74

28 Arab Saudi

29 Rumania

30 Iran

31 Turki

32 Argentina

33 Rusia

34 Malaysia

35 Chili

36 Thailand

37 Vietnam

38 Venezuela

39 Aljazair

40 Meksiko

41 Indonesia

42 RRC (China)

43 Brasil

44 Filipina

45 Peru

46 Kolombia

47 India

48 Afrika Selatan

49 Nigeria

50 Kenya

Capaian makroekonomi Indonesia berada pada

Gambar 4:Peringkat Capaian Makroekonomi

peringkat ke-36. Peringkat ini ditopang ter- utama oleh subkomponen Produk Domestik

Peringkat Negara

Nilai Skala 0 - 100

1 Norwegia

Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, di

2 Swiss

mana untuk subkomponen tersebut Indonesia

3 Amerika Serikat

0.590 berada pada urutan ke-19. Data menunjukkan 95.84

4 Jepang

5 RRC (China)

bahwa Indonesia adalah negara dengan PDB

6 Jerman

terbesar ke-16 di dunia. Tahun 2013, nilai PDB

7 Australia

nominal Indonesia mencapai US$ 867,47 miliar

0.358 86.22 (IMF).

11 Hong Kong

0.334 Indonesia juga merupakan negara dengan 85.24

12 Denmark

13 Belanda

tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi ke-7 di

14 Perancis

dunia, dengan laju pertumbuhan PDB riil per

15 Brasil

16 Kanada

tahun mencapai 5,3 persen (IMF, 2013). Hanya

17 Korea Selatan

saja, mengingat jumlah penduduk yang besar,

PDB per kapita Indonesia masih sekitar US$

0.201 79.74 3.498,51 (IMF, 2013) dan menempati urutan

0.094 ke-44 dari 50 negara. 75.31

22 Meksiko

23 Selandia Baru

Untuk subkomponen stabilitas ekonomi,

25 Republik Ceko

Indonesia berada pada peringkat ke-24.

26 Rumania

0.038 Stabilitas ekonomi Indonesia ditunjukkan oleh 73.00

27 Inggris

28 Chili

laju inflasi tahunan yang terjaga dalam koridor

29 Arab Saudi

-0.041 single digit sebesar 7,2 persen (IMF, 2013) dan 69.70

30 Polandia

32 Italia

31 Thailand

perubahan nilai tukar riil efektif tahunan yang

-0.055 hanya sekitar -1,3 persen 69.11 (Moody’s, 2011).

33 Kenya

34 Filipina

-0.167 Sementara, untuk subkomponen tingkat 64.48

35 Ukraina

36 Indonesia

pengangguran, Indonesia berada pada pe-

37 Aljazair

-0.240 ringkat ke-46. Berdasarkan data International 61.45

38 Vietnam

39 Peru

Labor Organization (2013), rasio jumlah pe-

-0.272 60.14 ngangguran terhadap total angkatan kerja di

42 Afrika Selatan

Indonesia hanya sekitar 6,6 persen dan berada

43 Kolombia

pada peringkat ke-22. Namun, rasio jumlah

44 Turki

-0.473 tenaga kerja rentan menganggur terhadap 51.82

45 Nigeria

46 Mesir

total orang bekerja mencapai 57,2 persen dan

47 Spanyol

-0.558 menempati peringkat ke-42. 48.31

48 India

49 Venezuela

Kapasitas Infrastruktur Indonesia berada pada

50 Iran

urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini merupakan konsekuensi dari rendahnya pe-

Gambar 5: Peringkat Kapasitas Infrastruktur

komponen, yaitu ke-47 untuk infrastruktur

Peringkat Negara

Nilai Skala 0 - 100

perhubungan, ke-45 untuk infrastruktur ko-

1 Singapura

1.291 100

munikasi dan informasi, dan ke-48 untuk in-

2 Hong Kong

1.157 95.53

3 Swedia

4 Kanada

0.900 86.99

frastruktur energi.

0.829 84.64

6 Belgia

5 Amerika Serikat

0.777 82.91

Kapasitas infrastruktur perhubungan Indo-

0.739 81.65

nesia, baik perhubungan darat, laut, maupun

7 Finlandia

0.653 78.79

8 Belanda

0.541 75.08

udara sejauh ini belum sebanding dengan luas

9 Jerman

0.532 74.76

wilayah dan jumlah penduduk. Data me-

10 Inggris

nunjukkan bahwa rasio panjang jalan terhadap

12 Norwegia

0.462 72.45

luas wilayah Indonesia sekitar 25 km per 100

13 Perancis

0.438 71.64

0.432 km 71.46 (World Bank, 2009) dan panjang jalan per

14 Australia

15 Korea Selatan

0.407 70.62

populasi sekitar 0,002 km per seribu penduduk.

16 Denmark

0.387 69.95

Dengan rasio dan panjang jalan per populasi

17 Selandia Baru

0.377 69.63

18 Austria

0.365 69.23

tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-

19 Republik Ceko

0.331 68.10

31 dan ke-43. Rasio panjang rel kereta api

0.293 66.82

20 Arab Saudi

21 Rusia

0.269 66.04

terhadap luas wilayah Indonesia sekitar 2

0.169 62.70 meter per km 2 dan panjang rel kereta api per

0.154 populasi sekitar 10 meter per seribu penduduk. 62.22

24 Jepang

25 Spanyol

0.110 60.74

Dengan nilai-nilai tersebut, Indonesia berada

26 Polandia

0.011 57.46

-0.012 pada peringkat ke-43 dan ke-48. Rasio jumlah 56.68

27 Portugal

28 Argentina

-0.074 54.62

bandara terhadap luas wilayah Indonesia

29 Malaysia

-0.088 54.18

sekitar 4 perseribu per km 2 dan jumlah bandara

30 Chili

-0.103 53.68

31 Ukraina

-0.182 51.05

per populasi sekitar 0,003 per seribu penduduk

32 Rumania

-0.232 49.39

menempatkan Indonesia pada urutan ke-29

33 Brasil

-0.260 48.46

-0.305 dan ke-35. Sementara, nilai indeks konektivitas 46.95

34 RRC (China)

35 Venezuela

-0.325 46.30

laut Indonesia sebesar 27,41 (UNCTAD, 2013)

36 Iran

-0.418 43.19

-0.453 dan berada pada peringkat ke-35. 42.02

37 Meksiko

38 Afrika Selatan

-0.460 41.80

40 Vietnam

39 Turki

-0.474 41.33

Terkait dengan infrastruktur komunikasi dan

-0.477 41.24

informasi, hingga tahun 2012, jumlah jaringan

41 Kolombia

-0.492 40.75

42 Mesir

-0.507 telepon kabel aktif di Indonesia mencapai 15,5 40.25

43 Thailand

-0.626 36.29

jaringan per seratus penduduk (WEF, 2013),

44 Aljazair

-0.682 34.41

-0.744 pengguna telepon selular mencapai 115,20 32.36

45 Peru

46 Filipina

-0.824 29.70

pengguna per seratus penduduk (World Bank,

47 Indonesia

-0.919 26.54

2013), dan pengguna internet mencapai 15,4

48 India

per seratus penduduk (World Bank, 2013).

50 Kenya

-1.718 0

Dengan angka-angka tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-39, ke-28 dan ke-48

dalam tangga masing-masing indikator.

Kecepatan international internet bandwich Indonesia saat ini sekitar 17,2 kbps per-

12

13

pengguna (WEF, 2013) dan berada pada peringkat ke-36.

Kapasitas infrastruktur energi Indonesia yang rendah ditunjukkan oleh terbatasnya ke- tersediaan jaringan listrik dan total energi primer per kapita. Dengan 25 persen penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap ja- ringan listrik (world Bank, 2010), dan input energi yang tersedia secara keseluruhan hanya 900 toe per seribu penduduk (IEA, 2013), Indonesia berada pada urutan ke-48 dan ke-43.

Kapasitas teknologi Indonesia berada pada urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini terutama disebabkan oleh rendahnya posisi Indonesia untuk indikator penerbitan hasil pe- nelitian. Dengan jumlah publikasi ilmiah hanya mencapai 1 makalah per sejuta penduduk, Indonesia menempati urutan terbawah kedua dari 50 negara. Di luar itu, pendaftaran paten oleh penduduk Indonesia mencapai 21 berkas per sejuta penduduk dan berada pada peringkat ke-35. Pendapatan yang diterima Indonesia dari ijin pendapatan kekayaan intelektual juga berada pada peringkat ke-35 dengan nominal mencapai US$ 58,05 juta (World Bank, 2012) .

Kapabilitas inovasi Indonesia berada pada urutan ke-47. Peringkat yang rendah ini merupakan refleksi dari masing-masing sub- komponen penyusunnya, yaitu ke-47 untuk ketersediaan sumberdaya manusia ahli dan ke-

48 untuk intensitas penelitian dan pe- ngembangan.

Ketersediaan sumberdaya manusia ahli yang terbatas tampak dari kurangnya tingkat parti- sipasi pendidikan tinggi dan rendahnya rasio sarjana sains dan teknologi. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya sekitar 24,9 persen dari total penduduk usia perguruan tinggi (WEF, 2013). Dari seluruh

Gambar 6: Peringkat Kapasitas Teknologi

Peringkat Negara Nilai Skala 0 - 100

1 Amerika Serikat

2.720 100

2 Korea Selatan

14 Selandia Baru

21 Republik Ceko

23 Hong Kong

-0.216 10.05

24 RRC (China)

26 Nigeria -0.306 7.31

27 Turki

-0.310 7.19

28 Rusia -0.320 6.86

29 Iran

-0.326 6.69

30 Arab Saudi

36 Brasil -0.466 2.39

39 Afrika Selatan

43 India -0.509 1.07

44 Mesir -0.514 0.93

48 Kenya -0.539 0.17

49 Peru

-0.541 0.09

50 Filipina

-0.544 0

14

lulusan perguruan tinggi, hanya 22,70 persen di antaranya yang merupakan ahli sains dan teknologi (WIPO, 2013). Intensitas penelitian dan pengembangan ditunjukkan oleh jumlah peneliti, besarnya alokasi dana untuk pe- nelitian dan keberadaan kerjasama penelitian. Berdasarkan data WIPO, jumlah peneliti yang dimiliki Indonesia hanya sekitar 173,3 peneliti per satu juta penduduk (2013). Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 50 negara. Alokasi dana untuk penelitian di Indonesia juga masih rendah. Jumlah dana penelitian yang dikelola oleh lembaga-lembaga pemerintah Indonesia hanya mencapai 0,05 persen dari PDB, sedangkan yang dikelola oleh perguruan tinggi hanya mencapai 0,03 persen dari. Jumlah dana penelitian yang dikelola oleh dunia usaha Indonesia bahkan nyaris mendekati nol persen (UNESCO, 2009).

Kapabilitas kelembagaan Indonesia berada pada posisi ke-37. Peringkat ini merupakan gambaran dari posisi Indonesia untuk masing- masing subkomponen, yaitu urutan ke-36 untuk penciptaan stabilitas politik dan ke- amanan, urutan ke-40 untuk penegakan hu- kum, urutan ke-41 untuk tata pemerintahan, dan urutan ke-40 untuk efisiensi birokrasi. Tata pemerintahan yang kurang optimal di- tunjukkan oleh rendahnya persepsi para pakar tentang efektivitas pemerintahan dan pe- ngawasan korupsi. Berdasarkan data yang dipublikasikan World Bank, Indonesia berada pada peringkat ke-40 dan ke-43 dari 50 negara. Sementara, efisiensi birokrasi yang rendah di- tunjukkan antara lain oleh banyaknya prosedur dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi atau mengurus ijin pembukaan usaha, ijin mendirikan bangunan, melengkapi pendaftaran properti, mengurus pembayaran pajak, dan ijin kegiatan ekspor-impor. Data me- nunjukkan bahwa peringkat Indonesia untuk indikator-indikator ini bervariasi, mulai dari

Gambar 7: Peringkat Kapabilitas Inovasi

Peringkat Negara Nilai Skala 0 - 100

1 Finlandia

1.491 100

2 Korea Selatan

6 Amerika Serikat

12 Selandia Baru

20 Hong Kong

22 Republik Ceko

27 Arab Saudi

30 Italia -0.179 33.96

34 RRC (China)

37 India -0.516 20.64

38 Mesir -0.551 19.25

39 Afrika Selatan

44 Kenya -0.706 13.12

45 Peru

-0.707 13.10

46 Brasil -0.778 10.27

49 Nigeria -0.846 7.58

50 Vietnam

-1.038 0

15

urutan ke-10 hingga urutan ke-48. Kinerja dunia usaha Indonesia berada pada peringkat ke-30.

Peringkat ini ditopang terutama oleh subkomponen bisnis dan kewirausahaan, di mana untuk subkomponen tersebut Indonesia berada pada urutan ketujuh. Data menunjuk- kan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat kepemilikan usaha terbesar kedua di antara 50 negara. Tahun 2013, persentase penduduk usia produktif Indonesia yang memiliki usaha mencapai 21,2 persen (GEM, 2013). Namun, sebagian besar usaha tersebut merupakan usaha mikro, kecil atau menengah yang tak pernah berinteraksi dengan bursa efek. Menurut data World Bank, jumlah perusahaan Indonesia yang terdaftar di bursa efek hanya mencapai 1,8 perusahaan per satu juta penduduk (2012) dan Indonesia berada pada peringkat ke-42. Selain itu, hanya ada sembilan perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia tahun 2013 versi Majalah Forbes, yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-31.

Untuk subkomponen hubungan ketenaga- kerjaan, Indonesia berada pada peringkat ke-

46. Rendahnya peringkat Indonesia ini tidak dapat dilepaskan dari tingginya nilai upah minimum per pekerja, di mana Indonesia me- nempati urutan ke-36, dan rasio antara upah minimum terhadap nilai tambah per pekerja yang hanya 0,53 (World Bank, 2014) dan berada pada urutan ke-40. Untuk sub- komponen produktivitas, Indonesia berada pada peringkat ke-41. Meskipun proporsi nilai tambah manufaktur Indonesia dalam PDB menempati urutan ke-6 dan proporsi nilai tambah manufaktur Indonesia terhadap nilai tambah manufaktur dunia berada pada peringkat ke-15, tetapi nilai output riil per pe- kerja di Indonesia hanya menempati posisi ke-

Gambar 8: Peringkat Kapabilitas Kelembagaan

Peringkat Negara Nilai Skala 0 - 100

4 Selandia Baru

14 Hong Kong

17 Amerika Serikat

20 Republik Ceko

24 Korea Selatan

0.069

52.58

25 Italia -0.063 44.99

26 Malaysia

-0.118 41.85

27 Brasil -0.149 40.07

28 Afrika Selatan

32 Arab Saudi

34 India -0.435 23.66

35 Turki -0.508 19.46

36 RRC (China)

44 Rusia -0.725 7.03

45 Aljazair

-0.734 6.50

46 Peru -0.741 6.08

47 Kenya -0.789 3.36

48 Iran

-0.814 1.94

49 Mesir -0.837 0.61

50 Nigeria -0.847 0

45 dan nilai total factor productivity Indonesia hanya berada pada urutan ke-43.

Untuk subkomponen karakteristik pasar, Indonesia berada pada peringkat ke-32 . Dilihat dari tingkat persebaran produk dan negara tujuan ekspor, dunia usaha Indonesia juga menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan menempati peringkat ke-24 dan ke-17.

Hal ini didukung tidak saja oleh pasar domestik Indonesia yang termasuk dalam kelompok 16 besar (dihitung dari selisih antara PDB dan net export), tetapi juga ukuran pasar ekspor yang secara relatif berada pada peringkat ke-27.

Namun, secara relatif, persentase nilai ekspor barang dan jasa terhadap PDB Indonesia hanya berada pada urutan ke-41 dan pangsa ekspor manufaktur Indonesia terhadap total ekspor berada pada urutan ke-34.

Untuk subkomponen layanan keuangan, Indo- nesia berada pada peringkat ke 40. Meskipun bank-bank sebagai elemen penyedia jasa keuangan di Indonesia memperlihatkan kinerja yang baik dengan return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) yang masuk ke peringkat enam besar, tetapi akses masyarakat terhadap jasa keuangan masih terbatas. Jumlah cabang bank di Indonesia Indonesia hanya mencapai 8,52 bank per 100.000 orang dewasa (World Bank, 2012) sedangkan jumlah anjungan tunai mandiri (ATM) hanya mencapai 16,47 (World Bank, 2012). Dari puluhan juta penduduk usia dewasa, hanya 19,58 persen di antaranya yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal (World Bank, 2011). Dengan angka-angka tersebut, secara relatif posisi Indonesia berkisar antara urutan ke-41 hingga ke-47.

Indonesia berada pada urutan ke-43 komponen keberlanjutan. Peringkat ini di- pengaruhi oleh rendahnya posisi Indonesia

Gambar 9: Peringkat Kinerja Dunia Usaha

Peringkat Negara Nilai Skala 0 - 100

1 Amerika Serikat

5 Hong Kong

7 Korea Selatan

8 RRC (China)

22 Selandia Baru

25 Italia -0.029 33.30

26 Chili

27 Arab Saudi

29 Republik Ceko

31 Afrika Selatan

35 Brasil -0.210 22.45

36 India -0.214 22.22

37 Rusia -0.222 21.78

40 Nigeria -0.336 14.95

41 Venezuela

42 Mesir -0.379 12.32

45 Kenya -0.411 10.44

46 Portugal

47 Aljazair

48 Kolombia

49 Iran

50 Ukraina

-0.585 0 -0.585 0

Gambar 10: Peringkat Keberlanjutan

sumberdaya lahan, di mana untuk kedua

Peringkat Negara Nilai

Skala 0 - 100

subkomponen tersebut Indonesia berada pada

1 Rumania

0.899 100

peringkat ke-46 dan ke-47. 97.52

2 Selandia Baru

Data menunjukkan bahwa Indonesia meng- 82.79

hadapi keterbatasan yang serius dalam

6 Italia

0.541

7 Australia

pengolahan air limbah. Dari total air limbah, 77.28

hanya 0,02 persen di antaranya yang dapat

9 Afrika Selatan

0.349

69.66

diolah dan diproses kembali (Yale University,

11 Norwegia

0.331

61.26

2013). Dengan angka tersebut, secara relatif

Indonesia menempati peringkat terakhir dari

13 Turki

50 negara. Di samping itu, Indonesia juga

59.41

15 Republik Ceko

0.159

59.06

menghadapi keterbatasan dalam pengelolaan

sumber air terbarukan, pembatasan polutan air

17 Denmark

organik dan pemeliharaan hutan. Untuk

19 Singapura

0.123

masing- masing indikator ini, Indonesia berada 56.45

pada peringkat ke-19, ke-32 dan ke-43.

22 Perancis

Untuk dua subkomponen lain, yaitu pelestarian

24 Inggris

0.058

52.97

sumberdaya udara dan sumberdaya energi,

25 Kanada

0.042

Indonesia 52.68 masing-masing berada pada

26 Kolombia

peringkat ke-20. Kecenderungan intensitas

28 Mesir

-0.074 46.61

karbon Indonesia secara relatif berada pada

29 Brasil

-0.097 45.36

urutan ke-26 dari 50 negara, sedangkan untuk

30 RRC (China)

-0.128 43.68

-0.139 laju perubahan intensitas karbon, Indonesia 43.06

31 Iran

32 Belanda

-0.151 42.38

berada pada peringkat ke-16. Intensitas energi

33 Belgia

-0.217 38.80

yang dikonsumsi dalam pembentukan PDB

34 Rusia

-0.248 37.10

Indonesia mencapai 0,22 juta BTU per US$ PDB

35 Korea Selatan

-0.269 35.92

36 Amerika Serikat -0.270 (World Energy Council, 2013) dan berada pada 35.85

37 Thailand

-0.288 34.88

urutan ke-38, sedangkan rasio energi ter-

-0.291 34.69 barukan terhadap total kebutuhan energi men-

38 Hong Kong

39 India

-0.294 34.58

capai 34,50 persen (International Energy

-0.311 33.63

40 Venezuela

-0.313 Agency, 2012) dan berada pada urutan ke-8. 33.54

43 Indonesia

Kemandirian ekonomi Indonesia berada pada

45 Vietnam

-0.430 27.11

-0.436 peringkat ke-20. Peringkat ini terutama di- 26.77

46 Arab Saudi

47 Kazakhstan

-0.473 24.73

dukung oleh subkomponen ketidaktergan-

48 Aljazair

-0.525 21.91

tungan terhadap produk impor, di mana untuk

49 Ukraina

subkomponen tersebut Indonesia berada pada

posisi ke-14. Data menunjukkan bahwa ke- tidaktergantungan Indonesia terhadap impor pangan menempati peringkat ke-24, sedang-

17

kan impor energi bersih (net energy import) berada pada peringkat ke-9. Proporsi nilai impor Indonesia yang berasal dari tiga negara pensuplai utama mencapai 40,8 persen (International Trade Center, 2012) dan, secara relatif, berada pada urutan ke-25. Untuk subkomponen ketidaktergantungan terhadap bantuan luar negeri, Indonesia berada di posisi ke-36.

Berdasarkan data World Bank, proporsi bantuan pembangunan luar negeri bersih (net official development assistance) yang diterima Indonesia mencapai 0,05 persen dari pen- dapatan nasional (2011).

Untuk subkomponen ketidaktergantungan terhadap utang luar negeri, Indonesia me- nempati urutan ke-23. Untuk subkomponen daya pengaruh diplomasi, Indonesia berada pada peringkat ke-27. Total hak suara Indo- nesia di World Bank mencapai 0,99 persen dan di International Monetary Funds mencapai 0,89 persen yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-19 dan ke-24. Indonesia juga memiliki kontribusi reguler sebesar 0,35 persen di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang me- nempatkan Indonesia pada urutan ke-34 dari

50 negara.

KESIMPULAN

Berdasarkan pengukuran dan pemetaan di atas, dapat disimpulkan bahwa catch up enabling factors yang dimiliki Indonesia masih terbatas. Secara umum, Indonesia hanya ber- ada pada urutan ke-44 dari 50 negara. Oleh karena itu, pemerintah dan segenap kom- ponen bangsa yang lain perlu segera me- rumuskan strategi terbaik dan mengimplemen- tasikannya secara sungguh-sungguh agar Indo- nesia dapat mengurangi ketertinggalan dari

negara-negara lain. Namun, seperti apa stra- tegi tersebut dan bagaimana implementasinya merupakan pertanyaan lain di luar jangkauan laporan ini.

Gambar 11: Peringkat Kemandirian

Peringkat Negara

Nilai Skala 0 - 100

1 Amerika Serikat

7 Arab Saudi

14 RRC (China)

15 Korea Selatan

18 Selandia Baru

22 Republik Ceko

32 Afrika Selatan

44 Hong Kong

45 Meksiko

46 Portugal

47 Ukraina

48 Rumania

49 Vietnam

50 Kenya

DAFTAR PUSTAKA

Abramovitz, M. 1994. The Origins of the Growth in China. National Bureau of Economic Postwar Catch-Up and Convergence Boom.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1