PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURALISME dalam SE

Indra Tjahyo
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik Unitomo Surabaya
9 April 2015
PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURALISME
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KESADARAN
SIKAP PLURAL KEBANGSAAN
1.1 Pendahuluan
1.1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan

ranah

pendidikan

di

Indonesia

mengalami

perubahan yang hampir dapat dikatakan maju, walaupun belum

sepenuhnya memenuhi target dari tujuan sebagaimana dimanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Berangkat dari penekanan tenatang
pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang hadir di tengah-tengah
masyarakat, dimana memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk
mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

tetapi

juga

berfungsi

sebagai

pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Surakhmad & Sularto (2009) bahwa

semangat filosofi pendidikan yang terkait dengan amanah mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai metode berpikir reflektif memiliki esensi
kebenaran

dalam

kehidupan

dan

dengan

merumuskan

tujuan

memberdayakan manusia menghadapi tantangan kehidupan berdasarkan
strategis dan praktis pendidikan yang memanusiakan manusia sepanjang
manusia.
Fenomena yang kemudian mengemuka akan amanah pendidikan

mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut, salah satunya adalah realitas
transaksi pengetahuan dan pengalaman yang digunakan oleh anggota
masyarakat untuk menginterpretasikan pandangan dunia mereka yang
berbeda-beda untuk menuju ke arah kebaruan budaya dalam konteks
pendidikan madani. Hal ini, yang kemudian dikenal dengan konsep
multikulturalisme (Saefulloh, 2009; Machfud, 2005; Widisuseno, 2012;
Daulay, 2011;

Suparlan, 2002;

Kasdi, 2012; dan Wasino, 2011).

Multikulturalisme disebut-sebut sebagai keanekaragaman yang amat
kompleks dari ras dan suku yang beragam dan tersebar dalam beribu-ribu
pulau yang ada, agama yang beragam, baik itu agama global (Islam,

1

2


Kristen, Katholik, Budha, Hindu) hingga agama-agama lokal, semisal
Kejawen di Jawa. Bahasa, lingkungan, adat, kebiasaan, hingga makanan
yang sangat bervariasi dalam wilayah Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah
salah bila Indonesia disebut sebagai negara multi-budaya, multi-etnis, dan
multi-agama.
Namun

demikian,

permasalahan

yang

menggejala

atas

multikulturalisme tersebut adalah dinamika perubahan dalam kehidupan
masyarakat yang kompleks memunculkan konflik, yang sendirinya akan
mengguncang tatanan multikulturalisme. Di samping itu, apabila konflik itu

melebar menjadi perebutan hegemoni kekuasaan politik, ekonomi,
wilayah, harga diri yang berbasis pada suku, ras, agama, maka
multikulturalisme akan dipandang sebagai kearifan yang sia-sia, yang
tidak bertanggungjawab dan cermin dari lemahnya solidaritas (Daulay,
2011; Suparlan, 2002).
Untuk itu, pendidikan sebagai pusat pembudayaan berbagai
kemampuan, nilai dan sikap, khususnya sikap ilmiah, penguasaan IPTEK,
etos kerja, sikap demokratis, berkepribadian mantap, bermoral dan
memiliki rasa tanggungjawab dan paham toleransi serta solidaritas
kebangsaan, perlu diselenggarakan untuk membangun kebudayaan
Indonesia yang maju berdasarkan proses pendidikan multikulturalisme.
Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam ketetapan MPR RI tahun 1999
jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Senada dengan hal tersebut, Machfud (2005);
Widisuseno

(2012)

dan


Daulay

(2011)

menekankan

pendidikan

multikulturalisme yang memiliki konsep yang sangat relevan dengan
adopsi dan modifikasi ke dalam konsep dasar pendidikan yang beragam
dalam ranah pendidikan Indonesia saat ini.
Pendidikan multikultural dimaksudkan sebagai sarana startegis
dalam upaya membangun jati diri bangsa berdasarkan fungsi pendidikan
sebagaiman

langkah

yang bagus,

relatif tepat,


dan

menjanjikan

pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk
membangun bangsa. Dengan kata lain, fungsi pendidikan secara eksplisit

3

dapat dipersepsikan dalam dua paradigma, yakni: secara sempit,
pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan
jasmani dan rohani para peserta didik. Sementara itu, secara luas,
pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan
warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa
(Wasino, 2011). Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat
penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta
inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia.
Konteks pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif,
pendekatan ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang

termaktub dalam UU dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003
pasal 4 ayat 1, bahwa:
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asai
manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan
bangsa”.
Dari paparan kutipan di atas, jelas bahwa pentingnya pendidikan
multikulturalisme berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan
juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas
kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya
berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan
bernegara. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Machfud (2005)
bahwa pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal
balik (reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan
memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat multikultural,
disisi lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya memiliki
potensi signifikan untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu
berarti penguatan disatu sisi, langsung atau tidak langsung, akan memberi
penguatan pada sisi lain.

Adapun untuk mensukseskan fungsi dan peran pendidikan
multikulturalisme tersebut, dapat dilakukan keluaran berupa memperbaiki
sistem dan mengefektifkan kegiatan belajar dengan membangun sikap

4

plural. Sikap plural ini dibangun diantara komunitas kultural atau kelompok
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih
meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara (Tilaar, 2005).
Sikap plural menjadi bagian dari strategi pendidikan multikulturalisme
dengan

langkah

berupa

pembangunan

karakter


dan

semangat

kebangsaan (Suparlan, 2002). Pengembangan karakter dimaksudkan
sebagai pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang pernah dikenal
sebagai

bangsa

yang

ramah,

sopan,

toleran,

dan


sebagainya.

Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat
mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter
dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun
kultural, menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa (Hanum,
2011).
Berdasarkan
bagaimana

upaya

pemaparan
untuk

uraian

melakukan

di

muka,

kajian

perlu

dipahami

multikulturalisme

dan

masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan untuk dapat menstimuli dan
melibatkan untuk secara bersama-sama, dalam mengembangkan dan
memantapkan

serta

menciptakan

model-model

penerapan

multikutlralisme melalui sikap pluralis dalam masyarakat Indonesia.
1.1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di muka, maka
rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penulisan karya tulis ilmiah ini
dapat diajukan dalam question research sebagai berikut:
1. Bagaimana

paradigma

pentingnya

pendidikan

berbasis

multikulturalisme dalam membangun kesadaran sikap plural
berbangsa?
2. Apa upaya dalam membangun kesadaran sikap plural berbangsa
yang inklusif melalui pendidikan berbasis multikulturalisme?

5

1.1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana pemaparan rumusan masalah yang telah disebutkan
di atas, maka secara jelas dan tereksplisit, tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan karya tulis ilmiah ini diantaranya adalah:
1. Mengetahui dan memahami pentingnya pendidikan berbasis
multikulturalisme dalam membangun kesadaran sikap plural
berbangsa.
2. Mengetahui dan memahami pendidikan berbasis multikulturalisme
dapat dijadikan upaya membangun kesadaran sikap plural yang
inklusif dalam kehidupan berbangsa.
1.1.4 Manfaat Penulisan
Secara spesifik penulisan karya tulis ilmiah ini memuat beberapa
manfaat yang hendak diharapkan, diantaranya meliputi:
1. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan informasi
mengenai pentingnya pendidikan multikultural dan upaya apa yang
dapat dilakukan bagi para pemegang kebijakan pendidikan maupun
praktisi penidikan dalam menyampaikan pentingnya sikap plural
berbangsa.

2. Manfaat teoritis
Hasil

penelitian

perbendaharaan

ini

diharapkan

keilmuan,

menambah

khususnya

wacana

mengenai

dan

pendidikan

multikultural dalam mengajarkan kehidupan sikap plural (sosial)
kemasyarakatan.
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pendidikan
Pendidikan dalam tataran Bahasa Indonesia berasal dari kata
pembentuknya, yakni kata “didik”. Karena mendapat imbuhan “pe” dan

6

akhiran “an”, maka kata pendidikan secara tersirat memiliki arti sebagai
“proses cara” atau “perbuatan mendidik” (Prayitno, 2011). Sementara itu,
dalam bahasa Yunani disebutkan bahwa pendidikan berasal dari kata
padegogik yaitu ilmu menuntun anak, yakni melihat pendidikan sebagai
educare atau sebagai mengeluarkan dan menuntun, serta tindakan
merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Dalam bahasa Jerman pendidikan dilihat sebagai Erziehung yang setara
dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau
mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Di sisi lain, dalam bahasa
Jawa, pendidikan diartikan sebagai panggulawentah (pengolahan),
mengolah,

mengubah

kejiwaan,

mematangkan

perasaan,

pikiran,

kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak (Koesoema,
2007). Tidak jauh berbeda, secara kebahasaan dalam kamus Oxford
(Baldick,

2008)

kata

pendidikan

dapat

diartikan

sebagai

proses

pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan,
dimana:
1. Pendidikan sebagai suatu proses pelatihan dan pengajaran,
terutama bagi anak-anak dan remaja di sekolah, perguruan tinggi
maupun di lingkungan sekitar yang dirancsang untuk memberikan
pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan
2. Pendidikan sebagai bidang studi yang berhubungan dengan cara
mengajar
3. Pendidikan sebagai proses mengajar seseorang tentang sesuatu
atau bagaimana melakukan sesuatu.
Ki Hajar Dewantara (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI,
2011) mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi
pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan
masyarakatnya. Terlepas dari pengertian pendidikan tersebut, UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yang mana
menyatakan bahwa:

7

“Pendidikan ialah aktivitas perkembangan dan penyuburan
pemikiran serta kuasa-kuasa semula jadi melalui pembelajaran
yang sudah dirancang, meliputi pendidikan formal dan pendidikan
bukan formal”
Berdasarkan

pemaparan

di

atas,

dapat

dikatakan

bahwa

pendidikan adalah:
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran secara aktif dalam mengembangkan
potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”.
Dengan kata lain, pendidikan memiliki esensi sebagai masalah
yang menentukan berhasil tidaknya bangsa tersebut dalam pertumbuhan
dan

perkembangannya.

menegaskan

bahwa

bidang

pendidikan

merupakan salah satu faktor yang sangat fundamental dalam upaya
meningkatkan kualitas kehidupan, di samping juga merupakan faktor
penentu bagi perkembangan sosial dan ekonomi, pendidikan juga
dipandang sebagai sarana paling strategis untuk mengangkat harkat dan
martabat suatu bangsa (Shukri, Nain, & Yusoff, 2003).
Pendidikan sebagai sebuah aktivitas tidak lepas dari fungsi dan
tujuan. Fungsi utama pendidikan mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang bermartabat dalam
hidup dan kehidupan atau dengan kata lain pendidikan berfungsi
memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang benar sesuai dengan
norma yang dijadikan landasannya (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan
FIP – UPI, 2011). Sementara itu, pendidikan diinsinyalir memiliki tujuan
dalam

membangun

kehidupan

bangsa

yang

lebih

baik

berupa

peningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui
peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, PBB melalui
lembaga UNESCO (Singh, 2011) mencanangkan empat pilar pendidikan
baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to
know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.
Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan
IQ, EQ dan SQ.

8

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fungsi dan tujuan
pendidikan dibutuhkan dan diperlukan sebagai bentuk:
“Untuk membentuk karakter seseorang, dimana pendidikan akan
timbul dalam diri seseorang untuk berlomba-lomba dan memotivasi
diri untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan
merupakan salah satu syarat untuk lebih memajukan peradaban
guna membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
2.1.2 Multikuturalisme
Secara etimologis istilah multikulturalisme (multiculturalism) berasal
dari kata multi (banyak) kultur (budaya) dan isme (pandangan/paham)
atau

paham

budaya

plural

dan

sebagai

lawannya

adalah

monokulturalisme atau paham budaya tunggal. Secara hakiki dari istilah
tersebut mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup
dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing. Dimana,
setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab
untuk hidup bersama komunitasnya. Dengan kata lain, multikulturalisme
merupakan pemaknaan dari ideologi atau paham tentang multi budaya
atau keragaman kebudayaan (Wasino, 2011).
Kebudayaan dianggap keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya

dan

yang

menjadi

pedoman

tingkah

lakunya.

Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaktu: bahasa, teknologi,
sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan
kesenian (Daulay, 2011). Koentjaraningrat (2000) juga memerinci
kebudayaan atas tiga wujud, yakni: ideal, aktifitas, dan benda budaya.
Dengan kata lain, setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang dijadikan
pedoman

dalam

perilaku.

Oleh

karenanya,

dasar

berpikir

yang

melatarbelakangi kebudayaan mereka juga dianggap berbeda-beda, maka
wujud perilaku yang tampak dalam keseharian mereka juga tidak sama.
Hal itulah yang mempengaruhi adanya multibudaya dalam masyarakat,
termasuk Indonesia.

9

Dari konsepsi akan kebudayaan dan masyarakat di atas, secara
implikatif pada dasarnya dipandang sebagai suatu sistem yang saling
berkorelasi (Sachari, 2007). Masing-maing memiliki jangkauan pengertian
sendiri-sendiri. Kebudayaan mengacu pada hal-hal yang bersifat abstrak
berupa sistem nilai, gagasan, kepercayaan, simbol-simbol, ideologi yang
dibayangkan oleh suatu komunitas atau masyarakat tertentu. Sementara,
masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang hidup menetap pada
klan-klan kecil hingga sebuah kumpulan besar manusia yang hidup dalam
wilayah yang lebih luas yang disebut suku bangsa atau bangsa. Hal ini,
sebagaimana dikemukakan oleh Kuper (2000) bahwa kebudayaan juga
merupakan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang digunakan
sebagai pedoman dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka,
menentukan tindakan, dan memilih alternatif yang ada.
Dengan

demikian,

dapat

dikatakan

bahwa

multikulturalisme

merupakan:
“Kebudayaan dan masyarakat yang memiliki pengakuan atas
konsepsi dan tampilan kebudayaan yang berbeda-beda
berdasarkan ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkatan sosial,
kekayaan, dan tingkat pendidikan. Pengakuan tersebut merupakan
kebutuhan untuk diakui (politics of recognition).
Dari penarikan kesimpulan multikulturalisme tersebut, diharapkan
ideologi multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada
dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan, mencakup kehidupan sosial,
kehidupan ekonomi, bisnis dan politik (Widisuseno, 2012). Dimana,
multikulturalisme terlihat pada kearifan untuk melihat keanekaragaman
budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.
Kearifan itu segera muncul jika masyarakat maupun secara personal
mampu membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan
melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam
kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan
masyarakat yang lebih kompleks. Akhirnya muncul kesadaran bahwa
keanekaragaman dalam realitas dinamik, keniscayaan yang tidak bisa
ditolak.

10

2.1.3 Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Pendidikan multikulturalisme dianggap sebagai salah satu sarana
startegis dalam upaya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah
yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan
kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa berasaskan
model pendidikan sikap plural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan
konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang
ada di masyarakat, khususnya yang ada pada person seperti keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur
dan ras.
Relevansi pendidikan berwawasan multikultural teradopsi dan
termodifikasi ke dalam konsep dasar pendidikan sebagamaimana amanat
dalam UU. No. 20 Tahun 2003 dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Hal
ini, dimaksudkan untuk merespon dampak perkembangan globalisasi, dan
fenomena konflik etnis, sosial budaya, yang sering muncul di kalangan
masyarakat Indonesia yang berwajah multikultural. Kerawanan konflik ini
sewaktu – waktu bisa timbul akibat iklim politik, agama, sosio budaya yang
memanas. Penyebab konflik sangat kompleks namun sering disebabkan
karena perbedaan etnis, agama, ras (SARA).
Pelaksanaan otonomi daerah tersebut secara langsung atau pun
tidak, memberi dampak bagi dunia pendidikan untuk menciptakan otonomi
pendidikan. Dengan demikian pendidikan multikultural yang ditawarkan ini
sejalan dengan pengembangan demokrasi yang berjalan seiring dengan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini sebagaimana
ditekankan oleh Kasdi (2012), jika kebijakan otonomi daerah tidak
dilaksanakan dengan hati–hati, kebijakan ini justru akan menggiring ke
arah jurang perpecahan bangsa atau disintegrasi bangsa. Adapun

11

kerangka konsep yang hendak dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan
multikultural ini yakni:
1. Tujuanya

membentuk

“manusia

budaya”

dan

menciptakan

“masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai

bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan

dan

keberagaman

budaya

bangsa

dan

kelompok

etnis

(multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak

didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap
budaya lainnya (Tilaar, 2005).
Dari keempat paparan konsep pendidikan multikultural tersebut,
dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah:
“Untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati
terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Hal ini
sebagaiman dikemukakan bahwa yang terpenting dari strategi
pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya
personal mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan
tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu
berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi.”
2.1.4 Sikap Plural
Sikap didefinisikan sebagai bentuk reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap ini
dibentuk berdasarkan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanan motif tertentu. Sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan “pre-disposisi”
tindakan atau perilaku (Saifudin, 2005). Ivancevich, Konopaske &
Matteson (2006) memberikan implikasi dari sikap yang merupakan
penentu dari perilaku, karena keduanya berhubungan dengan persepsi,
kepribadian, perasaan dan motivasi. Di mana sikap merupakan keadaan
mental

yang

dipelajari

dan

diorganisasikan

melalui

pengalaman,

menghasilkan pengaruh spesifik pada respon seseorang terhadap orang
lain objek, situasi yang berhubungan, atas dasar bahwa:

12

“(1) Sikap sebagai sesuatu yang dipelajari, (2) Sikap menentukan
pandangan awal seseorang terhadap berbagai aspek di
lingkungannya, (3) Sikap membangun dasar emosional
berhubungan interpersonal seseorang dan identifikasi dengan
orang lain, dan (4) Sikap diorganisasikan dan dekat dengan inti
kepribadian”.
Dari keempat esensi sikap tersebut, sikap merupakan bagian
instrinsik dari kepribadian seseorang, dimana beberapa sikap bersifat
konsisten dan bertahan dalam waktu yang lama. Namun demikian, sikap
dapat berubah apabila psikologis menjadi dominan untuk “mencari
kesesuaian anatara keyakinan dan perasaan mereka terhadap objek”
serta menyatakan bahwa modifikasi sikap dapat dilakukan dengan
mengubah sisi perasaan atau keyakinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh Saifudin (2005) bahwa, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang, yakni: (1) Kognitif (apa yang diketahui person mengenai
dirinya sendiri dan lingkungannya, (2) Afektif (perasaan individu terhadap
objek sikap dan menyangkut masalah emosional subjektif seseorang
terhadap suatu objek sikap) dan (3) Konatif (perilaku yang menunjukkan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya).
Dengan dasar beberapa teori sikap tersebut, maka sikap pluralis
dibangun dari banyak nilai. Nilai-nilai yang digunakan untuk membangun
dan mempengaruhi sikap pluralis berakar pada nilai-nilai multikultural
yang telah didapatkannya di lingkungan person berada. Nilai multikultural
menjadi dasar kepercayaan (kognisi) person terhadap suatu objek. Jika
nilai multikultural sudah menunjukan sikap positif pada awalnya, maka
untuk struktur sikap berikutnya yang berkaitan dengan emosional (afeksi)
dan perilaku awal person terhadap suatu objek juga akan menunjukkan
sikap yang positif (Hall & Lindzey, 2012).. Hal ini, sebagaimana
dikemukakan

oleh

Tilaar (2005)

bahwa

multikulturalisme

menjadi

pendukung pluralisme, yaitu keberadaan budaya yang sama tinggi dan
sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang pluralistis. Jika dikaitkan
dengan pembahasan di bagian terdahulu tentang penggunaan istilah

13

multikulturalisme, maka nilai-nilai multikultural adalah menjadi pendukung
terhadap sikap pluralis.
3.1 Pembahasan
3.1.1

Pentingnya

Pendidikan

Berbasis

Multikulturalisme

dalam

Membangun Kesadaran Sikap Plural Berbangsa
Pendidikan multikulturalisme yang mengembangkan kesadaran
atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one home
nation) diidentifikasikan berdasarkan perkembangan sikap pluralis dalam
kaitan dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat lokal
sampai dengan masyarakat global. Tilaar (2005) mengemukakan
beberapa tipologi pendidikan multikulturalisme yang mencerminkan sikap
pluralis seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:
1. Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi, dan
teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The knowledge construction process, yaitu membawa pelajar untuk
memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3.

An equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran
dengan cara belajar dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik
yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial.

4.

Prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa
dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih
kelompok

untuk

berpartisipasi

dalam

kegiatan

olahraga,

berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan
ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan
inklusif.
Berdasarkan enam tipologi sikap pluralis cultural identity diatas,
dapat dikatakan bahwa pengembangan pendidikan multikultural jika
dilakukan secara tepat yaitu sesuai dengan azas filosofi bangsa
Indonesia, searah dengan semangat Bhineka Tunggal Ika (unity in
diversity) untuk mewujudkan sikap pluralis persatuan yang diinginkan

14

rakyat kebanyakan, dan mediasinya adalah toleransi, sikap saling
menghargai, sikap percaya, interdependensi/saling membutuhkan dan
apresiasi pluralitas budaya (Munawar, Rachman, & Shofan, 2010). Untuk
mengatasi

konsekuensi

perubahan

paradigma

pendidikan

multikulturalisme di atas, Hanum (2011) menawarkan konsepsi keluaran
dari sikap pluralitas multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya
Dalam hal ini, kesadaran yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran
akan karakteristik memiliki kesempatan yang sama karena usia,
agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya
tertentu yang melekat pada diri masing-masing.
2. Gerakan pembaharuan pendidikan
Dalam hal ini, pendidikan multikultural bukan sekedar merupakan
praktik aktual atau bidang studi atau program pendidikan semata,
namun mencakup seluruh aspek-aspek pendidikan.
3. Proses.
Dalam hal ini, pendidikan multikultural menjadi proses menjadi,
proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai
sesuatu yang langsung tercapai. Tujuan pendidikan multikultural
adalah untuk memperbaiki prestasi secara untuh bukan sekedar
meningkatkan skor. Proses pendidikan multikultural dapat dimulai
dari persiapan pengajar, partisipasi sekolah dalam dalam segala
bentuknya, serta pendidikan berpusat pada pelajar secara personal
dengan meperhatikan aspirasi dan pengalaman.
Dari paparan uraian di muka, maka dapat dikatakan bahwa
paradigma

pentingnya

pendidikan

berwawasan

multikulturalisme

membawa konsekuensi perubahan manajemen dan kurikulum pendidikan.
Masalah manajemen pendidikan di sini adalah bagaimana mengubah
orientasi;

(a)

dari

penyelenggaraan

pendidikan

dengan

dominasi

kekuasaan birokrasi menjadi dominasi kekuasaan akademi; (b) dari
pendekatan seragam ke pendekatan beragam (multikultural), demokrasi
terbuka; (c) dari serba pusat ke distribusi daerah; (d) dari kecenderungan

15

berorientasi global beralih ke orientasi kepentingan nasional dan regional.
Sedangkan masalah kurikulum adalah bagaimana menyusun institusional
kurikulum di semua jenjang pendidikan dapat mengadopsi nilai-nilai
pluralitas kedaerahan, dengan prinsip menjunjung tinggi khasanah budaya
nasional dan kearifan lokal.
Upaya Membangun Kesadaran Sikap Plural Berbangsa yang

3.1.2

Inklusif Melalui Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Upaya untuk membangun kesadara sikap plural, pada dasarnya
dapat

dilakukan

melalui

berbagai

pendekatan-pendekatan

yang

mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam manajemen
dan

kurikulum

pendidikan

yang

bila

dicermati

relevan

untuk

approach),

yakni

diimplementasikan di Indonesia, yakni:
1. Pendekatan

kontribusi

(the

contributions

pendekatan yang paling sering dilakukan dan paling luas dipakai
dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya adalah
dengan memasukkan pahlawan/pahlawan dari suku bangsa/etnis
dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai.
2. Pendekatan aditif (aditif approach), yakni pendekatan yang
dilakukan penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap
kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karakteristik
dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan buku,
modul, atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubah
secara substansif.
3. Pendekatan

transformasi

(the

transformation

approach).

Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dengan
pendekatan

kontribusi

dan

aditif.

Pendekatan

transformasi

mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi
dasar dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis.
4. Pendekatan aksi sosial (the sosial action approach) mencakup
semua elemen dari pendekatan transformasi, namun menambah

16

komponen yang mempersyaratkan membuat aksi yang berkaitan
dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit.
Tujuan uama dari pembelajaran dan pendekatan ini adalah
mendidik melakukan kritik sosial dan mengajarkan keterampilan
membuat

keputusan

untuk

memperkuat

dan

membantu

memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu menjadi kritikus
sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan
sosial.
Berdasarkan

keempat

implikasi

pendekatan

pendidikan

multikulturalisme tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa upaya dalam
membangun kesadaran sikap pural diantaranya dapat berupa: (1)
mencegah terjadinya diskriminasi; (2) melakukan riset kebijakan mengenai
pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multietnik; (3) melakukan
pertemuan, pertukaran dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi
miskomunikasi;
pentingnya

(4)

menumbuhkan

pengembangan

kesadaran

masyarakat

masyarakat

multikultur;

(5)

tentang

melakukan

pendidikan mengenai hak-hak azasi manusia dan mendorong saling
pemahaman antarbudaya; (6) memperkuat kapasitas masyarakat lokal
(endogenous people) sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang
lainnya.
4.1 Penutup
4.1.1 Kesimpulan
1. Pendidikan

multikulturalisme

pemecahan

konflik

sosial.

merupakan
Spektrum

sarana
kultur

alternatif

masyarakat

Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia
pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu
aset, bukan sumber perpecahan.. Jika dikaitkan dengan
pembahasan di bagian dimuka tentang penggunaan istilah
pluralitas dan nilai-nilai multikultural, maka nilai-nilai multikultural
adalah menjadi pendukung terhadap sikap pluralis berdasarkan:
hidup

dalam

perbedaan

(sikap

toleransi),

sikap

saling

17

menghargai, membangun saling percaya, interdependen (sikap
saling membutuhkan/saling ketergantungan) serta apresiasi
terhadap pluralitas budaya. Di mana, konsekensi utama
pendidikan adalah bertumpu pada konsep sikap pluralis
berdasarkan tiga hal, yaitu: (a) ide dan kesadaran akan nilai
penting

keragaman

budaya,

(b)

gerakan

pembaharuan

pendidikan, dan (c) proses.
2. Upaya untuk membangun sikap pluralis melalui pendidikan
berbasis multikulturalisme dapat dimulai dari pencegahan
diskriminasi, riset kebijakan pengelolaan masyarakat yang
multibudaya dan multietnik, melakukan pertemuan, pertukaran
dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi;
menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pengembangan masyarakat multikultur; melakukan pendidikan
mengenai hak-hak azasi manusia dan mendorong saling
pemahaman

antarbudaya;

serta

memperkuat

kapasitas

masyarakat lokal (endogenous people) sehingga mampu
mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.
4.1.2 Saran
1. Diperlukan paradigma manajemen dan kurikulum pendidikan
multikulturalisme yang relevan bagi khalayak dalam hal
pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan multikultural.
2. Diperlukan dukungan antar secara bersama-sama, tetapi
melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing,
upaya-upaya

untuk

menuju

masyarakat

Indonesia

yang

multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil
dilaksanakan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Baldick, C. (2008). The Oxford Dictionary of Literary Terms. New York,
USA: Oxford University Press.
Daulay, P. (2011). Membangun Masyarakat Harmonis Berbasis Kearifan
Lokal: Dari Keseragaman Menuju Keberagaman. Temu Ilmiah
Nasional Guru (TING) IV, Jakarta, 25 November 2011 (p. 231).
Surabya: Universitas Terbuka Surabaya Press.
Hall, C. S., & Lindzey, G. (2012). Psikologi Kepribadian 3: Teori-Teori Sifat
dan Behavioristik, Cet. Ke-17. Yogyakarta: Kanisius.
Hanum, P. D. (2011). Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa.
Jurnal Humanika.
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. T. (2006). Perilaku dan
Manajemen Organisai Ed. 7, (1). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kasdi, A. (2012). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN:
Membangun Kesadaran Keberagamaan yang Inklusif. Jurnal AdDin, Vol. 4, No. 2, Juli-Desember 2012.
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koesoema, D. (2007). Pendidikan karakter. Jakarta: Grasindo.
Kuper, A. (2000). Culture: The Anthropologists' Account. USA: Havard
University Press.
Machfud, C. (2005). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawar, B., Rachman, & Shofan, M. (2010). Sekularisme, liberalisme,
dan pluralisme. Jakarta: Grasindo.
Prayitno, P. D. (2011). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta:
Grasindo.
Prof. Dr. Wasino. (2011). Multikulturalisme dalam Perspektif Sejarah
Sosial. Seminar Multikulturalisme dan Integrasi Bangsa dalam
Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata di Semarang.
Semarang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sachari, A. (2007). Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Saefulloh, A. (2009). Membaca “Paradigma” Pendidikan dalam Bingkai
Multikulturalisme. Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan
(INSANIA), Vol. 14|No. 3|Sep-Des 2009|547-559.
Saifudin, A. (2005). Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shukri, A., Nain, M., & Yusoff, R. (2003). Konsep, Teori, Dimensi dan Isu
Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Singh, J. (2011). United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization (UNESCO). New York: Routledge.

19

Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3.
Surakhmad, W., & Sularto, S. (2009). Pendidikan nasional, strategi, dan
tragedi . Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sutarno. (2007). Pendidikan Multikultural. Jakarta: Ditjen Dikti.
Tilaar, H. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional tinjauan dari perspektif
postmodernisme dan studi kultural. Jakarta: Kompas Gramedia.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI. (2011). Ilmu & Aplikasi
Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Widisuseno, I. (Volume 15, Tahun IX, Januari-Juni 2012). Pendidikan
Berbasis Multikulturalisme Suatu Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa.
Jurnal Humanika.