jiptummpp gdl mohammadar 50354 3 babii

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Trias Politica (Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan)
Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah
dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya25
Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi
dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama26. Teori
pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politica Montesquieu.
Dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des lois (The Spirit of Laws)
Montesquieu mengembangkan apa yang lebih dahulu di ungkapkan oleh John
Locke (1632-1755). Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu di ilhami
oleh pandangan John Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil
Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris.
Menurut Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu: (1)
kekuasaan perundang-undangan (legislative); (2) kekuasaan melaksanakan hal
sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan
Pengadilan; dan (3) kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna
kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh


25

Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI. Halaman 140.
26
Ibid,

19

Locke dinamakan federative power27. Montesquieu membuat analisis atas
pemerintahan Inggris yaitu : (1) ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif
disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang sama, maka
tidak ada kebebasan; (2) tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman
tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif; (3) dan pada akhirnya
akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga
yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum,
menjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau
perselisihan para individu28. Kondisi ini menyebabkan raja atau badan legislatif
yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya
dengan cara yang tiran sehingga kebebasan oleh masyarakat atau rakyat tidak

akan terasakan. Namun, menurut Montesquieu bila mana kekuasaan eksekutif
dan legislatif digabungkan, maka kita masih memiliki pemerintahan yang
moderat, asalkan sekurang-kurangya kekuasaan kehakiman dipisah.
Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van
Vollenhoven, Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi
kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia
biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu :
(i) fungsi regeling (pengaturan);
(ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);
(iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan

27

Prodjodikoro Wirjono, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta Timur:
Dian Rakjat. Halaman 16
28
Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik,
diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Bandung: Nusamedia

20


(iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan
keamanan29.
Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut van
Vollenhoven tidak hanya melaksanakan undang-undang saja tugasnya, karena
dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas
negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah
mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili
(menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling)30. Sedangkan
Donner dan Goodnow mempunyai pandangan yang hampir sama dalam melihat
pembagian kekuasaan negara. Menurut Donner, semua kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu;
(i) bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan
dilakukan; (ii) bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari
tujuan atau tugas yang ditetapkan itu31. Sementara Goodnow mengembangkan
ajaran yang biasa di istilahkan dengan dwipraja, yaitu (i) policy making function
(fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi
pelaksanaan kebijakan)32. Namun pandangan yang paling berpengaruh didunia
mengenai soal ini adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu
adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif

dan yudikatif.

29

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press. Halaman 33
30
Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI. Halaman 147
31
Ibid,
32
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press. Halaman 34

21

Negara yang konsekuen melaksanakan teori Montesquieu ini adalah
Amerika Serikat, tetapi inipun tidak murni, karena antara ketiga badan
kenegaraan yang masing-masing mempunyai pekerjaan sendiri-sendiri, dalam

menyelesaikan sesuatu pekerjaan tertentu diawasi oleh badan kenegaraan
lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebagai sistem “check and balance” atau
“sistem pengawasan”33. Menurut Kusnardi dan Bintan R. Saragih menguraikan
bahwa untuk mencegah jangan sampai suatu parlemen mempunyai kekuasaan
yang melebihi badan-badan lainnya, bisa diadakan suatu sistem kerjasama
dalam suatu tugas yang sama, yaitu membuat undang-undang antara parlemen
dengan pemerintah, atau dalam parlemen di bentuk dua kamar yang saling
mengimbangi kekuatan dan untuk mencegah kekuasaan eksekutif melebihi
daripada kekuasaan lainnya, maka perlu dibatasi kekuasaannya untuk tunduk
kepada badan legislatif34.
1. Trias Politica di Indonesia
Pemisahan ataukah Pembagian Kekuasaan yang dianut Indonesia dalam
UUD 1945? Untuk melihat itu semua tidaklah bisa lepas dari sejarah
pembentukan dan perubahan UUD 1945 yang dipahami menganut pemisahan
kekuasaan atau pembagian kekuasaan. UUD 1945 memang secara tegas tidak
menyebutkan mengenai trias politica tapi secara implisit bisa ditelaah bahwa
Indonesia menghendaki pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian bab
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab II tentang Majelis

33


Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
34
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta : PT Gramedia, halaman 31

22

Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara,
Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama
dengan DPR. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh
menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman35.
Pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia merupakan sebuah
konsekuensi dasar dari pemberlakuan sistem demokrasi. Dengan sistem
pemerintahannya adalah Presidensiil. Maka kabinet tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa jabatannya. Sebaliknya Presiden

juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, pada garis
besarnya, ciri-ciri azas Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan terlihat
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi pada masa Demokrasi
Terpimpin adausaha untuk meninggalkan gagasan Trias Politica. Hal tersebut
diutarakan Presiden Soekarno dikarenakan Presiden Soekarno menganggap
sistem Trias Politica bersumber dari liberalisme. Sehingga pada masa tersebut
terjadi kepincangan sistem Trias Politica36.
Jimly Assiddiqie berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat
horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang
tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling

35

Miriam Budiardjo, 2008. Dasar- dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Halaman 156.
36
Ibid, 157

23


mengimbangi (check and balances)37. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat
vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke
bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang
kedaulatan rakyat yang mana lembaga pemegang kedaulatan rakyat inilah yang
dulu dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
B. Teori Kedaulatan Rakyat
Kekuasaan tertinggi di dalam negara sering disebut dengan istilah
kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan atau sovereignty memiliki arti kekuasaan
yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap
orang maupun golongan yang ada di dalam masyarakat yang dikuasainya38.
Oleh karena itu kekuasan yang sah dan tertinggi harus dimiliki oleh negara agar
negara sebagai organisasi kumpulan masyarakat tersebut mempunyai kekuatan
sebagai sebuah negara sepenuhnya.
Teori kedaulatan rakyat pada pokoknya terkait dengan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat (democrtie)39. Demokrasi berasal dari perkataan ‘demos’
yang berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berarti kekuasaan40. Dengan
demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep
tentang pemerintahan tertinggi adalah di tangan rakyat. Pengertian yang sering
dipahami oleh masyarakat luas berhubungan dengan konsep demokrasi adalah


37
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, Yogyakarta: FH UII PRESS. Halaman 35
38
Juniarto, 1990, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta,
halaman 11.
39
Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar
Grafika. Halaman 132
40
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan: Demokrasi Versus Ekokrasi,
makalah, halaman 6, diakses dari www.jimly.com pada 10 April 2017.

24

prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia adalah salah satu
negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini secara tegas dirumuskan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen ataupun sesudah
amandemen. Namun, yang menjadi pergulatan pemikiran adalah tentang
bagaimana dan siapa yang menjalankan kedaulatan rakyat tersebut.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebelum
amandemen mengamanatkan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana disebutkan dalam pasal
1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) yang berbunyi “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Dengan demikian MPR adalah pemegang mandat atau amanah
sepenuhnya dari rakyat atau pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi dalam
sebuah negara.
Sebagai pemegang kedaulatan rakyat MPR mempunyai wewenang
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk jangka waktu 5
(lima) tahunan41 dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara42. Selain itu
MPR juga mempunyai wewenang untuk memberhentikan Presiden dan Wakil
Presiden sebelum masa jabatannya berakhir apabila Presiden dan Wakil
Presiden dianggap melanggar haluan negara.

41
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) berbunyi
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang
terbanyak”.
42

Pasal 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) berbunyi “Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan
negara”.

25

Terkait dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh MPR dipertegas
dalam penjelasan UUD 1945 dalam Sistem Pemerintahan Negara angka
Romawi III bahwa:
“Kekuasaan negara tertinggi ada di tangan MPR. Kedaulatan
rakyat dipegang oleh badan bernama MPR sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UndangUndang Dasar (UUD) dan menetapkan garis-garis besar
haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara
(Presiden) dan Wakil Kepala Negara (wakil Presiden). Majelis
inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi,
sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden
yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab
kepada Majelis. Ia adalah ’mandataris’ dari majelis, ia wajib
menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak ’neben’,
akan tetapi ’untergeordnet’ kepada Majelis”
Pelaksanaan kedaulatan rakyat berubah setelah amandemen UndangUndang Dasar 1945. Pasca amandemen konstitusi, pelaksanaan kedaulatan
rakyat tidak lagi dijalankan oleh MPR, tapi dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Perubahan ini merupakan konsekuensi dari berubahnya lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi
negara sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya.
Konsekuensi lain adalah semakin “sempitnya” kewenangan MPR. Pasca
amandemen Undang-Undang Dasar, MPR hanyalah memiliki satu kewenangan

26

rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan
umum43. Selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR.
C. Konsep Lembaga Perwakilan Rakyat
Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative
institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi
pengawasan dan fungsi legalisasi. Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal
sebagai parlemen dibagi kedalam berbagai system yaitu:
1. Sistem satu kamar (unicameralisme)
Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada satu
lembaga legislative tertinggi dalam struktur negara. Lembaga ini menjalankan
fungsi legislative dan pengawasan terhadap pemerintahan dan juga membuat
undang-undang. Isi aturan mengenai fungs dan tugas parlemen unicameral ini
beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi pada
pokoknya serupa secara kelembagaan fungsi legislative tertinggi diletakkan
sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.
2. Sistem dua kamar (bicameralisme)
Adapun sistem dua kamar adalah sistem yang parlemennya terbagi
menjadi dua lembaga legislative dalam suatu struktur negara dan dalam
menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas tertentu. Pada
prinsipnya kedua kamar majelis dalam bicameral ini memiliki kedudukan yang
sederajat. Satu sama lainnya tidak saling membawahi baik secara politik

43

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah
mandemen) berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden”.

27

maupun secara legislative. Segala keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa
persetujuan bersama.
2. Sistem tiga kamar (tricameralisme)
Sistem tiga kamar adalah sistem yang parlemennya terbagi menjadi tiga
lembaga legislative atau lembaga perwakilan dalam suatu struktur negara.
Trikameral adalah konsep dimana ketiga lembaga negara di lingkungan
legislative saling bersinergi dan berkontribusi dalam menjalankan tugasnya
untuk membuat undang-undang. keberadaan lembaga MPR itu merupakan
institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga sistem parlemen
Indonesia lebih cocok dinamakan sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme).
Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga
kamar seperti ini. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan satusatunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini 44.
D. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
1. Sebelum Amandemen UUD 1945
Sebelum membicarakan tentang kewenangan MPR dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui tentang
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam ketentuan UUD 1945
(sebelum amandemen) MPR merupakan penyelenggara tertinggi yang
memegang kedaulatan negara. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat
Indonesia yang memegang kedaulatan negara. Berkaitan dengan hal ini, Sri
Soemantri menyatakan, apabila dikaitkan dengan “the framework or structure
44

Jimly asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press.

28

of government” yang digunakan oleh Rosco J. Tresolini dan Martin Shapiro,
maka konsep kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR dapat
diilustrasikan sebagai berikut: “Bahwa kedaulatan rakyat yang merupakan
kedaulatan politik yang dimiliki oleh rakyat dilaksanakan oleh MPR. Lembaga
pelaksanaan kedaulatan rakyat ini memiliki otoritas untuk menetapkan UUD
yang menimbulkan kedaulatan hukum, yang pada dataran lebih jauh
diaktualisasikan oleh presiden bersama DPR di bidang legislasi. Kedaulatan
hukum ini menjadi dasar bagi MPR dan lembaga tinggi negara lainnya untuk
menyelenggarakan fungsi dan kekuasaan negara sebagai pemegang kedaulatan
negara”45.
Kewenangan MPR sebelum amandemen UUD 1945 telah diatur dalam
UUD dan di perjelas pula dengan TAP MPR mengenai tugas dan wewenang
dalam pemerintahan Indonesia. Tugas MPR tersebut terdapat dalam pasal 3 dan
pasal 6 UUD 1945 sebelum amandemen adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan Undang-Undang Dasar
2. Menetapkan GBHN
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
4. Mengambil sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden
5. Mengubah Undang-Undang Dasar
Kemudian dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Tata Tertib MPR disebutkan lebih luas tugas dan wewenang Majelis, antara
lain:

45

Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undangundang (Perpu), Malang: UMM Press.

29

a. Membuat peraturan-peraturan yang tidak dapat dibatalkan oleh
lembaga negara yang lain, termasuk menetapkan GBHN yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusanputusan Majelis.
c. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris mengenai
pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggung-jawaban tersebut.
d. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya

apabila

Presiden/Mandataris

sungguh-sungguh

melanggar haluan negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
e. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
f. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota
Majelis.
g. Memberikan keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah
janji angota46.
Tentunya pada masa tersebut kewenanangan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara sangatlah besar perannya dibandingkan dengan lembaga negara
lainnya. MPR seolah menjadi lembaga yang superbody karena kedudukannya
berada langsung dibawah UUD 1945. Hal ini karena UUD 1945 dengan tegas
memberikan kedaulatannya kepada MPR atas dasar kedaulatan rakyat.

46

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT Asdi
Mahastya, halaman 107

30

2. Setelah Amandemen UUD 1945
Tugas dan wewenang MPR memang sedikit yang berkurang setelah
perubahan UUD 1945 sampai keempat kali, akan tetapi dampaknya sangat besar
terhadap berjalannya sistem pemerintahan. Karena setelah amandemen ini
kedudukan MPR telah sama seperti lembaga negara lainnya. Tentunya ini akibat
dari dicabutnya kewenangan dasar MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 terkait kedudukan dan kewenangan
MPR maka berubah pula dengan tugas dan wewenang dari MPR dalam
ketatanegaraan Indonesia. Adapun kewenangan dan tugas yang ada adalah
sebagai berikut :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden (pasal 3 ayat 2 Perubahan ke 3 UUD 1945), adalah tugas
formal MPR dengan sebuah upacara untuk melantik Presiden dan
Wakil Presiden yang menang dalam proses pemilihan umum. Ini
merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan ketiga UUD
RI 1945 yang mewajibkan melakukan pemilihan umum untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
Melantik dalam hal ini bukanlah sebuah wewenang tapi merupakan
kewajiban yang harus dilakukan bila presiden dan wakil presiden
telah terpilih.
b. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal 1 aturan tambahan
perubahan keempat UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan
31

peninjauan materi dan status hukum TAP MPRS dan MPR
merupakan tugas yang sifatnya sementara. Pasal 1 aturan tambahan
menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2003”47. Dalam aturan ini jelas bahwa setelah putusan
pada sidang MPR tahun 2003 telah diambil maka tugas ini akan
berakhir dengan sendirinya.
Menjadi sebuah dilema ketika tugas dan wewenang MPR selaku
lembaga tinggi negara justru malah tidak dijelaskan secara jelas. Sedangkan
yang bisa ditemui mengenai wewenang MPR RI dalam UUD 1945 adalah
sebagai berikut :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 perubahan
ketiga UUD RI 1945).
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 3 perubahan ketiga UUD
RI 1945).

47

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat pada aturan tambahan

32

3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya
Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. (Pasal 8
ayat 3 perubahan keempat UUD RI 1945)48.
Dari adanya amandemen UUD ini telah jelas bahwa kewenangan MPR
telah berbeda dari sebelumnya. Selain terkait dengan kewenangan tersebut yang
berubah maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi juga ikut berubah
pula. MPR yang awalnya adalah lembaga tertinggi negara kemudian dengan
adanya amandemen UUD RI 1945 ini kedudukannya menjadi lembaga tinggi
negara saja yang setara dengan DPR, Presiden, MA dan lembaga tinggi lainnya.
Menurut Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan
produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari
yang lain. Dan MPR merupakan lembaga negara yang mengeluarkan peraturan
yang lebih tinggi49. Sehingga MPR masih bisa dikatakan sebagai lembaga
tertinggi versi fungsinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Karena MPR RI tetap mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan sebuah
peraturan yang berbentuk UUD. Selain itu di dalam pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
masih memuat adanya ketetapan MPR yang masih berlaku dan di tempatkan
dalam hierarki perundang-undangan. Bunyi dari pasal tersebut adalah :
(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

48

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945,
49
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Jakarta: Kanisius

33

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; Dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)50.
Eksistensi adanya ketetapan MPR dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia ini masih menjadi dilema bagi keberlangsungan hukum di
Indonesia. Hal ini juga di dukung dengan peristiwa-peristiwa pasca reformasi
yang membuat kedudukan dan kewenangan MPR sebagai lembaga negara
mempunyai fungsi yang kurang efektif. MPR yang keanggotaannya terdiri dari
DPR dan DPD sebagaimana yang di atur dalam UUD 1945 setelah
amandemen51, harusnya mempunyai fungsi legislasi dan berkedudukan sebagai
lembaga legislatif.

50

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
merupakan produk hukum terbaru yang mengatur mengenai hierarki perundang-undangan di
Indonesia yang sebelumnya telah di atur dalam TAP MPRS NO.XX/MPRS/1966, UU NO. 2 Tahun
1985, selanjutnya di perbarui dengan TAP MPR NO. III/MPR/2000, dan setelah amandemen UUD
1945 dibentuklah UU NO. 10 Tahun 2004 dan yang terbaru adalah UU NO. 12 Tahun 2011 keempat
aturan ini di dalamnya mengatur mengenai hierarki perundang-undangan yang ada di Indonesia.
51
Lihat pasal 2 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat menyatakan “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

34

E. Checks and Balances Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah awal
perubahan dari sebuah sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia pada masa
reformasi. Perubahan dalam lembaga-lembaga negara menghendaki adanya
sistem checks and balances antar masing-masing lembaga. Sikap saling
mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara seperti eksekutif, legislatif,
dan yudikatif merupakan sebuah terobosan melalui kebijakan negara untuk
menciptakan sistem ketatanegaran yang kuat. Checks and balances merupakan
sebuah jawaban atas pengalaman sebelumnya tentang kehidupan bertatanegara
yang telah dilakukan oleh Indonesia.
Sejarah ketatanegaran Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak
mengenal adanya checks and balances di antara lembaga Negara, karena
realitas kekuasaan terpusat pada eksekutif (Presiden)52. Selain pada lembaga
eksekutif (presiden) kekuasaan terpusat juga dimiliki oleh lembaga tertinggi
negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dibuktiannya dengan
kekuasaan penuh yang dimiliki oleh lembaga ini baik sebagai eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
melahirkan satu kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam
bentuk kelembagaan yang setara. Jika dihadapkan teori trias politica dengan
doktrin separation of powers, kekuasaan negara yang diberikan kepada
lembaga-lembaga yang terpisah satu dengan lainnya dalam rangka
menghindarkan terjadinya campur tangan yang satu terhadap yang lain, maka

52

MPR RI, 2014, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Tahun 1945, Sekretariat Jendral
MPR RI: Jakarta, halaman 9.

35

mekanisme checks and balances pasca perubahan UUD 1945 tampaknya dapat
juga dianggap satu pelunakan terhadap doktrin trias politica (separation of
powers).
Teori Trias Politica menghendaki adanya mekanisme checks and
balances dimana dalam hubungan antar lembaga negara terdapat saling menguji
karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang
sudah ditentukan atau masing-masing lembaga tidak mau dicampuri
kekuasaannya sehingga antarlembaga itu terdapat suatu perimbangan
kekuasaan53. Adanya hubungan yang saling melengkapi ini adalah sebuah
mekanisme ketatanegaraan yang mencegah adanya campur tangan antar
lembaga terkait kekuasaannya sebagai bentuk konsekuensi yang di dapatkan
melalui teori trias politica.
F. Kerangka Pikir Penulisan
Penulisan hukum ini memfokuskan kepada kewenangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
yang terjadi perubahan dari masa sebelum amandemen UUD 1945 dengan masa
setelah amandemen UUD 1945 sebagai bagian dari reformasi dan ditinjau
berdasarkan teori trias politica.

53

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Makasar: PUKAP, halaman. 28

36

Kewenangan MPR dalam
struktur ketatanegaraan RI

Sebelum Amandemen
UUD 1945

Setelah Amandemen UUD
1945 (Pasca Reformasi)

MPR sebagai lembaga Tertinggi
Negara. Kedudukannya berada
langsung di bawah UUD 1945,
dan membagi beberapa
kekuasaan negara kepada
lembaga-lembaga tinggi negara.

Kewenangan MPR hanya
bersifat isidentil dan terbatas.
Kedudukannya dalam struktur
ketatanegaraan sejajar dengan
lembaga tinggi negara
lainnya.

Trias Politica
(pembagian kekuasaan)

Trias Politica
(pemisahan kekuasaan)

Analisis yuridis kewenangan MPR

Prospek kewenangan MPR sebagai fungsi legislatif

Gambar 2 : Bagan Kerangka Pikir

37