DETERMINAN INTENSI AUDITOR MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLE-BLOWING DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI VARIABEL MODERASI

DETERMINAN INTENSI AUDITOR MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLE-BLOWING DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI VARIABEL MODERASI

M. Wahyuddin Abdullah

[email protected]

Hasma

Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar

ABSTRACT

This research aims to examine factor influence organizational commitment, personal cost of reporting, seriousness of wrongdoing and professionalism to the intention auditor whistle-blowing action with legal protection as a moderating variable. This research is quantitative descriptive approach. The population in this study were all auditors working in the South Sulawesi Provincial Inspectorate with purposive sampling technique. The data used in the research is the primary data collected through a questionnaire survey directly. Analysis of data using multiple linear regression analysis and multiple linear regression analysis to test the absolute value of the difference to the hypothesis of organizational commitment, personal cost of reporting, seriousness of wrongdoing and professionalism are moderated by legal protection. The results of the study with multiple linear regression analysis showed that seriousness of wrongdoing and professionalism positive and significant effect whereas organizational commitment and personal cost of reporting and no significant negative effect to the intention of auditors act of whistle-blowing. Analysis of moderating variables to approach the absolute value of the difference indicates that legal protection is only able to moderate seriousness of wrongdoing and not able to moderate organizational commitment, personal cost of reporting and professional attitude to the intention auditor act of whistle-blowing.

Key words: whistle-blowing intention, organizational commitment, personal cost of reporting, seriousness of wrongdoing, professionalism, legal protection

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor komitmen organisasi, personal cost of reporting, tingkat keseriusan kecurangan, dan sikap profesionalisme terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle-blowing dengan perlindungan hukum sebagai variabel moderasi. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor yang bekerja di lingkungan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer yang dikumpulkan melalui survei kuesioner secara langsung. Analisis data menggunakan analisis regresi linear berganda dan analisis regresi linear berganda dengan uji nilai selisih mutlak untuk hipotesis komitmen organisasi, personal cost of reporting, tingkat keseriusan kecurangan, dan sikap profesionalisme yang dimoderasi oleh perlindungan hukum. Hasil penelitian dengan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa tingkat keseriusan kecurangan dan sikap profesionalisme berpengaruh positif dan signifikan sedangkan komitmen organisasi dan personal cost of reporting berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle-blowing. Analisis variabel moderating dengan pendekatan nilai selisih mutlak menunjukkan bahwa per- lindungan hukum hanya mampu memoderasi tingkat keseriusan kecurangan dan tidak mampu memoderasi komitmen organisasi, personal cost of reporting dan sikap profesionalisme terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle-blowing.

Kata kunci: intensi whistle-blowing, komitmen organisasi, personal cost of reporting, tingkat keseriusan kecurangan, sikap profesionalisme, perlindungan hukum

386 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

PENDAHULUAN

Skandal akuntansi dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar seperti Enron, World.com, Global, Crossing dan Typo me- nyebabkan “krisis dalam akuntansi” (Arens et al., 2008). Hal ini menyebabkan kepercaya- an masyarakat terhadap profesionalisme dan perilaku etis profesi akuntan saat ini dipertanyakan karena kasus-kasus skandal besar masalah keuangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar melibat- kan kantor akuntan besar serta tokoh-tokoh pelaku akuntansi. Seiring dengan ber- kembangnya kompleksitas bisnis dan se- makin terbukanya peluang usaha dan inves- tasi menyebabkan risiko terjadinya ke- curangan pada perusahaan dan lembaga pemerintahan semakin tinggi. Salah satu cara mencegah pelanggaran akuntansi se- hingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan menerapkan tek- nik pemeriksaan fraud dimana dalam akun- tansi forensik dikenal dengan tindakan whistle-blowing atau pemanfaatan whistle- blower (Merdikawati dan Andry, 2012).

Whistle-blowing adalah pelaporan yang dilakukan oleh anggota organisasi aktif maupun nonaktif mengenai pelanggaran, tindakan ilegal atau tidak bermoral kepada pihak di dalam maupun di luar organisasi (Khan, 2009). Whistle-blowing telah menarik perhatian dunia saat ini. Banyak perusahaan besar melakukan kecurangan dan akhirnya terungkap dengan bantuan whistle-blowing tersebut (Mustapha dan Siaw, 2012). Di Indonesia, kasus mengenai kecurangan yang akhirnya terbongkar juga terjadi pada insti- tusi pemerintahan. Seperti kasus Gayus Tambunan yang merupakan pegawai di Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat da- lam kasus penggelapan pajak dan akhirnya terungkap oleh pernyataan Susno Duadji (Sulistomo dan Prastiwi, 2012).

Whistle-blowing adalah masalah organi- sasi kontroversial. Seseorang yang berasal dari internal organisasi umumnya akan menghadapi dilema etis dalam memutuskan apakah harus “meniup peluit” atau mem- biarkannya tetap tersembunyi. Dibutuhkan

keberanian dan keyakinan untuk melaku- kannya sehingga beberapa whistleblower menerima pujian heroik (Johnson, 2003). Dimana sebagian orang memandang whistle- blower sebagai pengkhianat yang melanggar norma loyalitas organisasi, sebagian lainnya memandang whistleblower sebagai pelindung heroik terhadap nilai-nilai yang dianggap lebih penting dari loyalitas kepada organi- sasi (Rothschild dan Miethe, 1999). Selain itu, whistleblower dapat membantu organisasi memperbaiki produk yang tidak aman atau menyediakan sumber informasi penting dalam mempertahankan kinerja organisasi yang kompleks (Miceli dan Near, 1985). Whistleblower dapat bertindak dalam pe- negakan keadilan ketika mengekspos ke- salahan perusahaan (Miceli dan Near, 1985). Pandangan yang bertentangan tersebut kerap menjadikan calon whistleblower berada dalam kebimbangan menentukan sikap yang pada akhirnya dapat mendistorsi intensi melakukan tindakan whistle-blowing.

Whistle-blowing merupakan suatu tinda- kan ketidaksetiaan, tergantung juga pada hubungan antara pelaku dan whistleblower. Memang, sebagian besar pelapor perusaha- an menghadapi hasil negatif sebagai akibat dari tindakan mereka: balas dendam, pe- nugasan, menembak, dan pribadi distress Dyck et al. (2010) dan seperti "pemberontak moral" yang sering dikucilkan (Minson dan Monin, 2011). Seorang whistleblower tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan terror dari oknum-oknum yang tidak me- nyukai keberadaaanya (Sulistomo dan Prastiwi, 2012). Lainnya wistleblower meng- hadapi balas dendam dari komunitas me- reka (Dyck et al., 2010).

Tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindu- ngan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi apabila tidak mendapat per- lindungan yang memadai tidak akan mem- berikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan. Seorang

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 387

peniup peluit (whistleblower) atau peng- wards whistle-blowing) yang menurut pe- ungkap fakta kasus-kasus tertentu kepada

nelitian Sari dan Laksito (2014), Kreshastuti publik akan menanggung segala konse-

dan Prastiwi (2014) dan Joneta (2016) kuensinya. Bagi sebagian orang, hal itu

tersebut memiliki pengaruh positif terhadap menjadi sebuah siksaan pribadi yang mem-

intensi melakukan tindakan whistle-blowing. butuhkan keteguhan hati dan keberanian

Selain faktor individual, beberapa penelitian (Dempster, 2006). Para pengungkap fakta

juga mengaitkan faktor situasional seperti (whistleblowers) kerapkali menghadapi sera-

tingkat keseriusan kecurangan (Kaplan dan ngan balik dari pihak-pihak yang merasa

Whitecotton, 2001; Sabang, 2013; Winardi, dirinya diserang, maka sudah sepatutnya

2013) dan personal cost of reporting (Kaplan hukum memberikan penghargaan dan per-

dan Whitecotton, 2001; Winardi, 2013) se- lindungan kepada pengungkap fakta ini.

bagai faktor yang turut memengaruhi intensi Pengaduan dari whistleblower terbukti

whistle-blowing .

lebih efektif dalam mengungkap fraud di- Tindakan whistle-blowing juga dapat bandingkan metode lainnya seperti audit

dikaitkan dengan prosocial organizational internal, pengendalian internal maupun

behavior theory . Tindakan whistle-blowing me- audit eksternal (Sweeney, 2008). Pendapat

rupakan salah satu bentuk tindakan pro- tersebut sejalan dengan Report to The Nation

sosial anggota organisasi untuk menyampai- yang diterbitkan oleh Association of Certified

kan arahan, prosedur, atau kebijakan yang Fraud Examiners (ACFE) setiap dua tahun

menurutnya mungkin tidak etis, ilegal atau sekali yang senantiasa menempatkan tips

membawa bencana bagi tujuan jangka dalam peringkat teratas sumber peng-

panjang organisasi kepada individu atau ungkap kecurangan. Pentingnya keberadaan

badan lainnya yang memiliki posisi untuk whistle-blowing dalam mengungkapkan ke-

melakukan tindakan korektif. Prosocial curangan atau skandal keuangan telah

organizational behavior theory menegaskan banyak terbukti di awal dekade abad kedua

bahwa tindakan whistle-blowing seorang puluh satu (Dyck et al., 2010). Efektivitas

pegawai menunjukkan bentuk komitmen whistle-blowing dalam mengungkapkan ke-

pegawai tersebut untuk melindungi organi- curangan laporan keuangan tidak hanya

sasinya dari ancaman hal-hal yang tidak etis diakui oleh akuntan dan regulator di

atau ilegal. Faktor komitmen organisasi Amerika Serikat, namun juga di negara-

tersebut telah digunakan pula dalam pe- negara lain (Patel, 2003). Mengingat penting-

nelitian terdahulu (Ahmad et al., 2012). Ber- nya peran whistle-blowing dalam meng-

dasarkan uraian masalah di atas maka pe- ungkapkan kecurangan keuangan, maka

nelitian ini mengangkat 4 (empat) determi- pemahaman atas faktor-faktor yang men-

nan intensi whistle-blowing dengan perlindu- dasari niat untuk melaporkan kecurangan

ngan hukum sebagai variabel moderasi atau penyalahgunaan aset merupakan topik

yaitu, komitmen organisasi, personal cost of yang sangat penting (Bame-Aldred et al.,

reporting , tingkat keseriusan kecurangan, 2007).

dan sikap profesionalisme. Penelitian sebelumnya yang berkaitan

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok dengan faktor yang memengaruhi intensi

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: 1) tindakan whistle-blowing telah mengungkap

Apakah komitmen organisasi berpengaruh beberapa determinan. Penelitian yang di-

terhadap intensi auditor melakukan tinda- lakukan oleh (Winardi, 2013) dengan meng-

kan whistle-blowing? 2) Apakah personal cost gunakan kerangka theory of planned behavior

of reporting berpengaruh terhadap intensi untuk menjelaskan faktor-faktor individual

auditor melakukan tindakan whistle-blowing? yang membentuk minta atau intensi whistle-

3) Apakah tingkat keseriusan kecurangan blowing . Salah satu faktor individual tersebut

berpengaruh terhadap intensi auditor me- adalah sikap profesionalisme (attitude to-

lakukan tindakan whistle-blowing? 4) Apakah

388 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

sikap profesionalisme berpengaruh ter- organisasi disamping juga bermanfaat bagi hadap intensi auditor melakukan tindakan

whistleblower itu sendiri. whistle-blowing ? 5) Apakah perlindungan hukum memoderasi komitmen organisasi,

Theory of Planned Behavior

personal cost of reporting , tingkat keseriusan Theory of Planned Behaviour (TPB) adalah kecurangan, dan sikap profesionalisme ter-

teori psikologi yang dikemukakan oleh Icek hadap intensi auditor melakukan tindakan

Ajzen (1991) yang berusaha menjelaskan whistle-blowing ? Tujuan penelitian ini yaitu

hubungan antara sikap dengan perilaku. untuk menguji pengaruh komitmen organi-

TPB muncul sebagai jawaban atas kegagalan sasi, personal cost of reporting, tingkat ke-

determinan sikap (attitude) dalam mem- seriusan kecurangan, dan sikap profesiona-

prediksi tindakan/perilaku aktual (actual lisme terhadap intensi auditor melakukan

behavior ) secara langsung. TPB membuktikan tindakan whistle-blowing, dan untuk menge-

bahwa intensi (intention) lebih akurat dalam tahui perlindungan hukum memoderasi

memprediksi perilaku aktual dan sekaligus komitmen organisasi, personal cost of report-

dapat sebagai proxy yang menghubungkan ing , tingkat keseriusan kecurangan, dan

antara sikap dan perilaku aktual. sikap profesionalisme terhadap intensi audi-

Menurut Ajzen (1991), intensi (minat) tor melakukan tindakan whistle-blowing.

diasumsikan untuk menangkap faktor moti- vasi yang memengaruhi sebuah perilaku,

TINJAUAN TEORETIS

yang ditunjukkan oleh seberapa keras usaha

Prosocial Organizational Behavior Theory

yang direncanakan seorang individu untuk Prosocial organizational behavior merupa-

mencoba melakukan perilaku tersebut. kan perilaku/tindakan yang dilakukan oleh

Lebih lanjut, TPB mempostulatkan bahwa anggota sebuah organisasi terhadap indi-

secara konsep intensi memiliki tiga deter- vidu, kelompok, atau organisasi yang di-

minan yang saling independen yaitu, sikap tujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

terhadap perilaku (attitude towards beha- individu, kelompok, atau organisasi ter-

viour ), faktor sosial yang disebut norma sebut. Dengan demikian, perilaku prososial

subjektif (subjective norm), dan persepsi tidak seperti perilaku altruistik (Hazzi dan

kontrol perilaku (perceived behavioral control). Maldoan, 2012). Menurut Staub yang dikutip

Tingkatan relatif dari ketiga determinan oleh Bagustianto dan Nurkholis (2015),

tersebut dapat berbeda-beda dalam berbagai bahwa perilaku prososial adalah perilaku

perilaku dan situasi, sehingga dalam peng- sosial positif yang dimaksudkan untuk

aplikasiannya mungkin ditemukan bahwa memberikan manfaat pada orang lain,

hanya sikap yang berpengaruh pada intensi namun tidak seperti altruisme, pelaku

seseorang melakukan tindakan tertentu. prososial juga dapat memiliki maksud untuk

Kondisi lain, sikap dan persepsi kontrol mendapatkan manfaat/keuntungan untuk

perilaku cukup untuk menjelaskan intensi dirinya juga.

tersebut, atau bahkan ketiga-tiganya me- Prosocial organizational behavior menjadi

nunjukkan pengaruh sama. teori yang mendukung terjadinya whistle- blowing . Brief dan Motowidlo dalam Bagus-

Determinan Intensi Tindakan Whistle-

tianto dan Nurkholis (2015) menyebutkan

Blowing

whistle-blowing sebagai salah satu dari 13 Bouville (2007) mendefinisikan whistle- bentuk prosocial organizational behavior. Hal

blowing sebagai tindakan, dari seorang tersebut sejalan dengan pendapat yang

pegawai (atau mantan pegawai), untuk menyatakan bahwa tindakan whistle-blowing

mengungkap apa yang ia percaya sebagai dapat dipandang sebagai perilaku prososial

perilaku ilegal atau tidak etis kepada karena secara umum perilaku tersebut akan

manajemen yang lebih tinggi/manajemen memberikan manfaat bagi orang lain atau

puncak (internal whistle-blowing) atau kepada

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 389

otoritas/pihak berwenang di luar organisasi aktual karena intensi muncul sebelum maupun kepada publik (external whistle-

tindakan whistle-blowing aktual, atau dengan blowing ). Roa (2007) menyebutkan bahwa: A

kata lain diperlukan adanya intensi whistle- whistleblower is someone in an organization who

blowing untuk membuat tindakan whistle- witnesses behavior by members that is either

blowing aktual terjadi (Winardi, 2013). Depar- contrary to the mission of the organization, or

temen Pendidikan Nasional (2008:541) threatening to the public interest, and who

mengartikan intensi sebagai maksud, tujuan, decidesto speak out publicity about it .

atau keinginan atau permohonan khusus Uraian di atas menunjukkan bahwa

yang diajukan. Oxford dictionary of psycho- peniup peluit adalah seseorang dalam suatu

logy (Coleman; dikutip dalam Christanti, organisasi yang menyaksikan perilaku ang-

2008) mendefinisikan intensi sebagai suatu gota organisasi yang dapat bertentangan

kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan tujuan organisasi. Perilaku anggota

dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan. organisasi tersebut menjadi ancaman ter-

Sukirno dan Sutarmanto (2007) mengurai- hadap kepentingan umum atau organisasi,

kan bahwa intensi merupakan kompetensi dan peniup peluit memutuskan untuk me-

diri individu yang mengacu pada keinginan nyampaikan hal-hal yang dipandang tidak

untuk melakukan suatu perilaku tertentu. tepat tersebut. Sejalan hal tersebut, whistle-

Secara umum, jika individu memiliki intensi blowing system juga dipandang sebagai

untuk melakukan suatu perilaku maka indi- pencegahan dan identifikasi terhadap ke-

vidu cenderung akan melakukan perilaku curangan yang akan terjadi dalam organi-

tersebut. Sebaliknya, jika individu tidak sasi (Davis, 1996). Sistem whistle-blowing

memiliki intensi untuk melakukan suatu bekerja melalui dua saluran, yaitu internal

perilaku maka individu cenderung tidak whistle-blowing dan eksternal whistle-blowing.

akan melakukan perilaku tersebut. Internal whistle-blowing adalah whistle-blow-

Theory of planned behavior menguraikan ing pihak di dalam organisasi atau saluran

intensi lebih akurat dalam memprediksi yang tersedia dalam organisasi (Miceli et al.,

perilaku aktual (Ajzen, 1991). Teori tersebut 2009), sedangkan eksternal whistle-blowing

menjelaskan konsep sikap terhadap perilaku merupakan pengungkapan pihak di luar

(attitude towards behavior) dan norma subjek- organisasi (Kaptein, 2011).

tif (subjective norm) memprediksi intensi Dempster (2006:1) berpendapat bahwa

yaitu komitmen organisasi, personal cost of yang dimaksud dengan whistleblower adalah

reporting , tingkat keseriusan kecurangan, peniup peluit. Disebut peniup peluit karena

dan sikap profesionalisme. Selain itu, sikap seperti wasit dalam pertandingan sepak bola

profesionalisme juga mempunyai keter- atau olah raga lainnya yang meniupkan

kaitan dengan prosocial organizational behavior peluit sebagai pengungkapan fakta di

theory . Teori prosocial organizational behavior lapangan, atau polisi lalu lintas yang hendak

menegaskan bahwa tindakan/perilaku yang melakukan tilang kepada seseorang di jalan

dilakukan oleh anggota sebuah organisasi raya karena orang itu melanggar aturan,

terhadap individu, kelompok atau organi- atau seperti pengintai dalam peperangan

sasi yang ditujukan untuk meningkatkan zaman dahulu yang memberitahukan ke-

kesejahteraan individu, kelompok atau datangan musuh dengan bersiul, membocor-

organisasi tersebut (Brief dan Motowidlo, kan atau mengungkapkan fakta kejahatan,

1986). Dengan demikian, kedua teori ter- kekerasan atau pelanggaran. Intinya, Demp-

sebut mempunyai 4 (empat) determinan ster (2006) menyebut whistleblower sebagai

yang dapat memengaruhi intensi melakukan orang yang mengungkapkan fakta kepada

tindakan whistle-blowing, yaitu komitmen publik mengenai sebuah skandal, mala-

organisasi, personal cost of reporting, tingkat praktik, atau korupsi. Intensi whistle-blowing

keseriusan kecurangan, dan sikap profesi- berbeda dengan tindakan whistle-blowing

onalisme.

390 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

Komitmen Organisasi

yang diambil organisasi untuk melemahkan Mowday et al. (1979) mendefinisikan

proses pengaduan, isolasi whistle-blower, komitmen organisasi sebagai kekuatan

pencemaran karakter dan nama baik, mem- relatif identifikasi dan keterlibatan individu

persulit atau mempermalukan whistle-blower, dalam organisasi tertentu yang dapat di-

pengecualian dalam rapat, penghapusan tandai dengan tiga faktor terkait yaitu:

penghasilan tambahan, dan bentuk diskrimi- pertama, keyakinan yang kuat dan pe-

nasi atau gangguan lainnya (Parmerlee et al., nerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai

1982). Sabang (2013) juga menambahkan organisasi; kedua, kesediaan untuk me-

bahwa personal cost of reporting bukan hanya ngerahkan usaha yang cukup atas nama

dampak tindakan balas dendam dari pelaku organisasi; dan ketiga, keinginan yang kuat

kecurangan, melainkan juga keputusan men- untuk mempertahankan keanggotaan dalam

jadi pelapor dianggap sebagai tindakan organisasi (loyalitas). Karyawan yang ber

tidak etis, misalnya melaporkan kecurangan komitmen terhadap organisasi akan me-

atasan dianggap sebagai tindakan yang tidak nunjukkan sikap dan perilaku positif ter-

etis karena menentang atasan. hadap lembaganya, karyawan akan memili- ki jiwa untuk tetap membela organisasinya,

Tingkat Keseriusan Kecurangan

berusaha meningkatkan prestasi, dan me- Anggota organisasi yang mengamati miliki keyakinan yang pasti untuk me-

adanya dugaan wrongdoing /kecurangan wujudkan tujuan organisasi (Kuryanto,

akan lebih mungkin untuk melakukan 2012). Komitmen terhadap organisasi me-

whistle-blowing jika wrongdoing/ kecurangan rupakan sikap yang merefleksikan loyalitas

tersebut serius (Miceli dan Near, 1985). karyawan pada organisasi dan proses ber-

Organisasi akan terkena dampak kerugian kelanjutan dimana anggota organisasi meng-

yang lebih besar dari wrongdoing yang lebih ekspresikan perhatiannya terhadap organi-

serius dibandingkan dari wrongdoing yang sasi dan keberhasilan serta kemajuan yang

kurang serius (Winardi, 2013). Persepsi tiap berkelanjutan serta komitmen yang muncul

anggota organisasi terhadap tingkat ke- bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif,

seriusan kecurangan dapat saja berbeda tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif

antara satu dengan yang lainnya. Pem- dengan organisasikerja yang memiliki tuju-

bentuk persepsi tingkat keseriusan kecura- an memberikan segala usaha demi keber-

ngan selain berkaitan dengan besaran nilai hasilan organisasi yang bersangkutan.

kecurangan, juga tidak dapat dipisahkan dari jenis kecurangan yang terjadi. Miceli et

Personal Cost of Reporting

al. (1991) mengatakan bahwa anggota Personal cost of reporting adalah pandang-

organisasi mungkin memiliki reaksi yang an pegawai terhadap risiko pembalasan/

berbeda terhadap berbagai jenis kecurangan. balas dendam atau sanksi dari anggota organisasi, yang dapat mengurangi intensi

Sikap Profesionalisme

pegawai untuk melaporkan wrongdoing Profesi dan profesionalisme dapat di- ( Schutlz et al., 1993). Anggota organisasi

bedakan secara konseptual seperti di- yang dimaksud dapat saja berasal dari

kemukakan oleh Lekatompessy (2003). Se- manajemen, atasan, atau rekan kerja. Be-

cara sederhana, profesionalisme berarti berapa pembalasan dapat terjadi dalam

bahwa auditor wajib melaksanakan tugas- bentuk tidak berwujud (intangible), misalnya

tugasnya dengan kesungguhan dan ke- penilaian kinerja yang tidak seimbang,

cermatan. Profesionalisme merupakan suatu hambatan kenaikan gaji, pemutusan kontrak

atribut individual yang penting tanpa me- kerja, atau dipindahkan ke posisi yang tidak

lihat apakah suatu pekerjaan merupakan diinginkan (Curtis, 2006). Tindakan balasan

suatu profesi atau tidak. Arens et al. (2008:78) lainnya mungkin termasuk langkah-langkah

mendefinisikan profesionalisme sebagai

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 391

tanggung jawab individu untuk berperilaku merasa ragu untuk melakukan whistle- yang lebih baik dari sekedar mematuhi

blowing karena ia yakin tindakan tersebut undang-undang dan peraturan masyarakat

akan melindungi organisasi dari kehancur- yang ada. Setiap profesional berpegang pada

an. Beberapa penelitian terdahulu meng- nilai moral yang mengarahkan dan men-

hasilkan temuan yang berlawanan berkaitan dasari perbuatan luhur. Dalam melakukan

dengan pengaruh komitmen organisasi ter- tugas profesi, para profesional harus ber-

hadap intensi melakukan tindakan whistle- tindak objektif, artinya bebas dari rasa malu,

blowing . Penelitian (Somers dan Casal, 1994) sentimen, benci, sikap malas dan enggan

menemukan bahwa komitmen organisasi bertindak. Profesionalisme juga merupakan

berpengaruh terhadap intensi melakukan elemen dari motivasi yang memberikan

tindakan whistle-blowing pada anggota Natio- sumbangan pada seseorang agar mem-

nal Association of Accountant (NAA). (Bagus- punyai kinerja tugas yang tinggi.

tianto dan Nurkholis, 2015) mengemukakan bahwa penelitian tersebut responden yang

Perlindungan Hukum

diklasifikasikan dalam tingkatan berkomit- Para whistleblower sangat rentan akan

men organisasi moderat memiliki kecen- intimidasi dan ancaman bahkan cenderung

derungan untuk melaporkan wrongdoing menjadi sasaran kriminalisasi sebagai pelaku

paling tinggi dibandingkan yang memiliki kejahatan yang dikualifikasi sebagai tindak

komitmen organisasi rendah ataupun tinggi. pidana pencemaran nama baik dan per-

Hasil berbeda diperoleh pada penelitian buatan tidak menyenangkan, sehingga

Mesmer-Magnus dan Viswesvaran (2005) akhirnya mereka dituntut dan dihukum,

yang menemukan bahwa komitmen organi- padahal mereka adalah kunci dari pem-

sasi tidak memiliki korelasi/keterkaitan berantasan korupsi. Perlindungan hukum

dengan intensi whistle-blowing. Penelitian bagi pelapor (whistleblower) sangat penting

Ahmad et al. (2012) juga menunjukkan diberikan mengingat peran seorang pelapor

bahwa komitmen organisasi tidak mampu (whistleblower ) bisa mempermudah meng-

untuk menjelaskan intensi perilaku whistle- ungkap tindak pidana yang terjadi. Instru-

blowing internal auditor di Malaysia. Ber- men perlindungan terhadap pelapor (whistle

dasarkan penjelasan di atas dan hasil-hasil blower ) diatur dalam UNCAC (United Nation

penelitian sebelumnya, maka hipotesis per- Convention Against Corruption) , Undang-

tama yang diajukan:

Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

H 1 : Komitmen organisasi berpengaruh Perlindungan Saksi dan Korban Revisi

positif terhadap intensi auditor me- Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006,

lakukan tindakan whistle-blowing. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, Surat

Pengaruh Personal Cost terhadap Intensi

Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun

Tindakan Whistle-Blowing

2011, dan Peraturan Bersama Kemenkum- Semakin besar persepsi personal cost of ham, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK,

reporting seseorang maka akan semakin dan LPSK Nomor 4 Tahun 2011 tentang

berkurang intensi orang tersebut untuk Perlindungan Bagi Saksi Pelapor, Pelapor,

melakukan tindakan whistle-blowing. Personal dan Pelaku yang Bekerja Sama.

cost of reporting dapat saja didasarkan pada penilaian subjektif (Curtis, 2006), yang arti-

Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap

nya persepsi/ekspektasi personal cost of

Intensi Tindakan Whistle-Blowing

reporting antara pegawai dapat saja berbeda Pegawai yang memiliki komitmen

bergantung penilaian masing-masing. Ang- organisasi yang tinggi di dalam dirinya akan

gota organisasi yang kehilangan pekerjaan- timbul rasa memiliki organisasi (sense of

nya atau mendapatkan gangguan setelah belonging ) yang tinggi sehingga ia tidak akan

melaporkan wrongdoing mungkin akan

392 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

memandang pelaporan sebagai tindakan dilakukan oleh Curtis (2006) menggunakan yang harus dibayar mahal dan dihukum.

pendekatan kualitatif, seperti kemungkinan Oleh karena itu, tindakan whistle-blowing

wrongdoing dapat merugikan pihak lain. akan merupakan fungsi persepsi (ekspek-

Tingkat kepastian dan keterjadian wrong- tasi) individu bahwa kemungkinan tindakan

doing berkonsekuensi menimbulkan dampak whistle-blowing akan menghasilkan outcome

negatif.

seperti perhatian manajemen terhadap Hasil penelitian yang dilakukan Menk keluhan, upaya penghentian wrongdoing,

(2011) menghasilkan bukti bahwa faktor serta tidak ada pembalasan.

materialitas permasalahan berpengaruh Penelitian yang dilakukan oleh Mesmer-

positif terhadap posisi etis dan sifat ke- Magnus dan Viswesvaran (2005) menunjuk-

pribadian, dan melalui keduanya secara kan bahwa ancaman pembalasan memiliki

konsisten menciptakan perbedaan signifikan hubungan/korelasi negatif dengan intensi

pada intensi melaporkan permasalah ter- untuk melakukan tindakan whistle-blowing.

sebut. Hasil penelitian yang menyimpulkan Penelitian Kaplan dan Whitecotton (2001)

bahwa tingkat keseriusan wrongdoing secara juga menunjukkan bahwa personal cost of

signifikan berpengaruh positif terhadap reporting merupakan prediktor signifikan

intensi whistle-blowing juga ditemukan pada terhadap intensi auditor untuk melaporkan

penelitian yang menggunakan responden auditor lainnya yang melakukan pelanggar-

auditor internal (Inspektorat) Pemerintah an aturan profesional (dalam bentuk client

Provinsi Sulawesi Selatan (Sabang, 2013), employment ). Temuan mengejutkan datang

dan pegawai negeri tingkat bawah (Winardi, dari penelitian Winardi (2013) yang me-

2013). Hasil berbeda ditunjukkan dari nyimpulkan bahwa ternyata variabel per-

penelitian Kaplan dan Whitecotton (2001), sonal cost of reporting tidak mampu menjadi

bahwa persepsi penilaian keseriusan tidak faktor yang menjelaskan intensi tindakan

berhubungan dengan intensi auditor untuk whistle-blowing pada pegawai negeri tingkat

melaporkan perilaku mencurigakan (ques- bawah. Berdasarkan penjelasan di atas dan

tionable behaviour) dari rekan kerjanya. hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka

Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil- hipotesis kedua yang diajukan:

hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis

H 2 : Personal cost of reporting berpengaruh

ketiga yang diajukan:

negatif terhadap intensi auditor me-

H 3 : Tingkat kecurangan berpengaruh positif lakukan tindakan whistle-blowing.

terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle-blowing.

Pengaruh Tingkat Keseriusan Kecurangan terhadap Intensi Tindakan Whistle-

Pengaruh Sikap Profesionalisme terhadap Blowing

Intensi Tindakan Whistle-Blowing

Ukuran keseriusan kecurangan dapat Profesionalisme dilihat dari dimensi bervariasi. Beberapa penelitian terdahulu

kewajiban sosial disebutkan dalam teori menggunakan perspektif kuantitatif untuk

deontologi bahwa nilai moral hanya ada mengukur keseriusan kecurangan. Schultz el

ketika seorang bertindak berdasarkan rasa al. (1993) dan Menk (2011) menerapkan kon-

kewajiban, bukan karena tugas dan ke- sep materialitas dalam konteks akuntansi,

wajiban tersebut akan menimbulkan konse- sehingga keseriusan kecurangan diukur

kuensi yang baik, dan juga bukan karena hal- berdasarkan variasi besarnya nilai wrong-

hal tersebut dapat meningkatkan kesena- doing /kecurangan/kerugian akibat kecura-

ngan. Seorang yang profesional memiliki ngan. Perspektif kuantitatif tersebut me-

kesadaran akan tanggung jawab sosial yang rupakan pendekatan yang paling mudah

tinggi (Sari dan Laksito, 2014). Dengan dilakukan karena indikatornya yang jelas,

demikian, semakin tinggi profesionalisme terukur, dan mudah diamati. Penelitian yang

kewajiban sosial maka akan semakin tinggi

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 393

pula intensi melakukan tindakan whistle- blowing .

Penelitian yang terkait dengan sikap profesional, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan Curtis (2010) dengan menggunakan responden penelitian akuntan publik senior. Hasil penelitian tersebut me- nyatakan bahwa komitmen profesional, secara positif terkait dengan intensi pelapor- an. Penelitian Kreshastuti dan Prastiwi (2014) dengan responden auditor pada kan- tor akuntan publik di semarang, menunjuk- kan bahwa identitas profesional auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi melakukan whistle-blowing. Penelitian Joneta (2016) dengan responden penelitian auditor independen yang bekerja di KAP menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu komitmen profesional berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistle-blowing. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis keempat yang diajukan:

H 4 : Sikap profesionalisme berpengaruh positif terhadap intensi auditor me- lakukan tindakan whistle-blowing.

Komitmen Organisasi, Personal Cost of Reporting, Tingkat Keseriusan Kecura- ngan, dan Sikap Profesionalisme Dimode- rasi Perlindungan Hukum terhadap Intensi Tindakan Whistle-Blowing

Tidak banyak orang yang bersedia mengambil risiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindu- ngan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi apabila tidak mendapat per- lindungan yang memadai tidak akan mau memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan. Seorang peniup peluit (whistleblower) atau pengung- kap fakta kasus-kasus tertentu kepada pu- blik akan menanggung segala konsekuensi- nya. Bagi sebagian orang, hal itu menjadi sebuah siksaan pribadi yang membutuhkan keteguhan hati dan keberanian (Dempster, 2006:2). Seperti yang dikutip pada latar be- lakang bahwa sebagian besar pelapor meng-

hadapi hasil negatif sebagai akibat dari tindakan mereka. Seorang whistleblower tidak menutup kemungkinan akan mendapatkan teror dari oknum-oknum yang tidak me- nyukai kebaradaannya, bahkan dianggap sebagai pemberontak moral yang dikucil- kan. Dengan demikian, determinan komit- men organisasi, tingkat keseriusan kecura- ngan, dan sikap profesionalisme yang me- rupakan faktor yang dianggap berpengaruh positif terhadap intensi whistle-blowing ber- potensi mendapatkan dampak negatif ketika melakukan tindakan whistle-blowing tersebut, sehingga dibutuhkan adanya perlindungan hukum yang memadai.

Determinan personal cost of reporting yang menunjukkan ancaman pembalasan mempunyai hubungan/korelasi negatif de- ngan intensi malakukan tindakan whistle- blowing . Dengan adanya perlindungan hu- kum akan mendorong partisipasi masya- rakat ataupun karyawan perusahaan untuk lebih berani melaporkan suatu kecurangan kepada pihak yang dapat menanganinya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipo- tesis yang diajukan:

H 5 : Perlindungan hukum memoderasi komitmen organisasi terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle- blowing.

H 6 : Perlindungan hukum memoderasi per- sonal cost of reporting terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle- blowing.

H 7 : Perlindungan hukum memoderasi ting- kat keseriusan kecurangan terhadap intensi auditor melakukan tindakan whistle-blowing.

H 8 : Perlindungan hukum memoderasi sikap profesionalisme terhadap intensi audi- tor melakukan tindakan whistle-blowing.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis pe- nelitian kuantitatif yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan pro-

394 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

sedur statistik (Indriantoro dan Supomo, dan Diehl: 140-141; dalam Kuncoro, 2014: 1999:12). Berdasarkan karakteristik masalah

penelitian, maka penelitian ini diklasifikasi- kan ke dalam penelitian deskriptif dan

Teknik Pengumpulan Data

kausalitas yang merupakan penelitian ter- Metode pengumpulan data mengguna- hadap masalah-masalah, berupa fakta saat

kan kuesioner dari sumber primer, yaitu ini dari suatu populasi tertentu, dan ber-

sumber data yang langsung memberikan tujuan menunjukkan arah hubungan antara

data pada pengumpul data (Sugiyono, 2011: variabel independen dengan variabel

308), sehingga diperoleh data yang relevan, dependen.

dapat dipercaya, objektif, dan dapat di- jadikan landasan dalam proses analisis. Pe-

Populasi dan Sampel Penelitian

nyebaran kuesioner dilakukan dengan cara Populasi penelitian ini adalah auditor

mendistribusikan secara langsung kepada Inspektorat di Provinsi Sulawesi Selatan.

responden (sampel). Responden yang tidak Populasi atau auditor inspektorat tersebut

memahami (menanyakan) pernyataan-per- berjumlah 54 orang (data tahun 2016-2017).

nyataan tertentu dari kuesioner tersebut, Pengambilan sampel atas responden di-

maka peneliti memberikan penjelasan ten- lakukan secara purposive sampling. Purposive

tang maksud dari pernyataan-pernyataan sampling adalah pemilihan sampel berdasar-

tersebut.

kan penilaian terhadap beberapa karakter- istik anggota sampel yang disesuaikan

Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel

dengan maksud peneliti (Kuncoro, 2014:

Intensi Melakukan Tindakan Whistle-

blowing

Sampel dipilih berdasarkan kriteria Intensi melakukan tindakan whistle- tertentu sehingga dapat mendukung pe-

blowing didasarkan seberapa keras usaha nelitian ini. Kriteria sampel yang digunakan

yang direncanakan untuk mencoba me- dalam penelitian ini adalah: 1) memiliki

lakukan whistle-blowing (Ajzen, 1991). Usaha jabatan fungsional auditor atau jabatan

yang dilakukan calon whistleblower dapat fungsional auditor kepegawaian; 2) memiliki

berupa rencana melakukan whistle-blowing masa kerja sebagai auditor minimal 3 (tiga)

baik melalui saluran internal maupun tahun.

saluran eksternal (Bagustianto dan Nur- Auditor dengan masa kerja tiga tahun

kholis, 2015). Model pengukuran variabel dipandang telah mempunyai pengalaman

intensi ini mengikuti model kuesioner dan mengetahui lingkungan organisasinya,

penelitian Ajzen (1991), Park dan Blen- serta dipandang cakap menyampaikan

kinsopp (2009), Bagustianto dan Nurkholis informasi yang terkait dengan profesinya.

(2015), dan Winardi (2013) yang dimodifi- Karyawan yang berpengalaman memiliki

kasi. Intensi melakukan tindakan whistle- kecenderungan yang lebih tinggi untuk

blowing terdiri 5 item pernyataan, yaitu: melakukan whistle-blowing (Sugara, 2013).

1) niat untuk melakukan tindakan whistle- Dari populasi auditor inspektorat di Provinsi

blowing , 2) keinginan untuk mencoba me- Sulawesi Selatan sebanyak 54 orang, sampel

lakukan tindakan whistle-blowing, 3) ren- yang digunakan hanya 33 responden yang

cana untuk melakukan tindakan whistle- memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam

blowing , 4) usaha keras untuk melakukan penelitian ini.

internal whistle-blowing, dan 5) usaha keras Penetapan kriteria sampel pada jumlah

untuk melakukan eksternal whistle-blowing populasi yang kecil dan jenis penelitian ini

jika internal whistle-blowing tidak me- yang berkualifikasi deskriptif dan kausalitas

mungkinkan. Intensi melakukan tindakan maka dibutuhkan minimal 30 sampel (Gay

whistle-blowing diukur menggunakan skala

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 395

likert 5 poin, yaitu sangat tidak baik sampai dengan sangat baik.

Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan ke- kuatan relatif identifikasi dan keterlibatan individu dalam organisasi yang ditandai keyakinan kuat dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan mengerah- kan usaha yang cukup atas nama organisasi, dan keinginan kuat mempertahankan ke- anggotaan dalam organisasi (Mowday et al., 1979) Variabel komitmen organisasi meng- adopsi indikator komitmen organisasi yang dikemukan oleh Allen dan Mayer (1990), yang juga dimodifikasi dalam bentuk per- nyataan. Komitmen organisasi terdiri 3 indikator, yaitu komitmen afektif, komit- men berkelanjutan, dan komitmen normatif. Ketiga indikator komitmen organisasi ter- sebut dikembangkan menjadi 6 pernyataan. Komitmen organisasi diukur menggunakan skala likert 5 poin, yaitu sangat tidak baik sampai dengan sangat baik.

Personal Cost of Reporting

Personal cost of reporting merupakan pandangan pegawai terhadap risiko pem- balasan atau balas dendam atau sanksi dari anggota organisasi yang mengurangi intensi pegawai untuk melaporkan kecurangan (Schultz et al., 1993) Variabel personal cost of reporting menggunakan 4 kasus hipotesis occupation fraud . Kasus pertama (1) ber- kaitan dengan penyalahgunaan asset, kasus kedua (2) berkaitan dengan korupsi, kasus ketiga (3) berkaitan dengan fraud laporan keuangan, dan kasus keempat (4) berkaitan dengan pelanggaran kode etik. Kasus occupation fraud yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kondisi di Indonesia (Septianti, 2013). Personal cost of reporting diukur menggunakan skala likert

5 poin, yaitu sangat tidak baik sampai dengan sangat baik.

Tingkat Keseriusan Kecurangan

Tingkat keseriusan kecurangan meng- gunakan perspektif kuantitatif, seperti yang

telah dilakukan oleh Schultz et al. (1993), yang menerapkan konsep materialitas dalam konteks akuntansi. Dengan demikian, ke- seriusan kecurangan diukur berdasarkan variasi besarnya nilai wrongdoing/kecura- ngan/kerugian akibat kecurangan. Per- spektif kuantitatif merupakan pendekatan yang paling mudah dilakukan karena indi- katornya yang jelas, terukur, dan mudah diamati. Tingkat keseriusan kecurangan terdiri 4 Indikator. Peryataan berulang ter- hadap penilaian tingkat keseriusan kecura- ngan ditujukan untuk menilai konsistensi penilaian tingkat keseriusan kecurangan, dan untuk menghindari bias yang disebab kan perbedaan jenis kecurangan yang di- gambarkan. Tingkat keseriusan kecurangan diukur menggunakan skala likert 5 poin, yaitu sangat tidak baik sampai dengan sangat baik.

Sikap Profesionalisme

Profesionalisme merupakan sikap tang- gung jawab individu untuk berperilaku lebih baik, bukan sekedar mematuhi undang- undang dan peraturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat (Arens et al., 2008: 78). Variabel sikap profesionalisme meng- gunakan menggunakan 4 indikator yang dimodifikasi berdasarkan konsep yang di- kemukakan oleh Kalbers dan Forgaty (1995), yaitu: 1) afiliasi dengan komunitas, 2) tuntut- an untuk mandiri, 3) keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi, dan 4) kepentingan sosial. Sikap profesionalisme diukur menggunakan skala likert 5 poin, yaitu sangat tidak baik sampai dengan sangat baik.

Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum bagi whistle- blower yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindu- ngan hukum terdiri 5 indikator yang di- sesuaikan dengan pernyataan Tatawi (2015), bahwa perlindungan saksi dan korban harus mengacu pada kelima asas: 1) penghargaan atas harkat dan martabat manusia, 2) rasa

396 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 1, Nomor 3, September 2017 : 385 – 407

aman, 3) keadilan, 4) tidak diskriminatif, dan blowing dilakukan dengan menguji nilai t

5) kepastian hukum. Perlindungan hukum pada tingkat signifikansi (α) = 0,05. Demi- diukur menggunakan skala likert 5 poin,

kian halnya, pengujian hipotesis yang me- yaitu sangat tidak baik sampai dengan

nunjukkan interaksi (moderasi) perlindu- sangat baik.

ngan hukum dengan komitmen organisasi, personal cost of reporting, tingkat keseriusan

Teknik Pengujian Hipotesis

kecurangan, dan sikap profesionalisme ter- Teknik analisis yang digunakan untuk

hadap intensi melakukan tindakan whistle- menguji hipotesis penelitian ini adalah

blowing. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka analisis regresi linier berganda dan analisis

hipotesis diterima, sebaliknya jika nilai regresi moderasi dengan pendekatan nilai

signifikansi > 0,05 maka hipotesis ditolak selisih mutlak dengan persamaan sebagai

(tidak dapat diterima).

berikut:

Y=α+β 1 X 1 +β 2 X 2 +β 3 X 3 +β 4 X 4 + e ….... (1)

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Y=α+β 1 X 1 + β 2 X 2 +β 3 X 3 +β 4 X 4 +β 5 X 5 +

Gambaran Unit Analisis

Responden penelitian ini adalah audi- +β 8 |X 4 X 5 ............................................... (2)

β 5 |X 1 –X 5 |+β 6 |X 2 –X 5 |+β 7 |X 3 –X 5 |

tor Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan. Kuesioner yang didistribusikan sebanyak 44

Keterangan: kuesioner, namun hanya 33 kuesioner yang Y

: Intensi melakukan tindakan dapat dijadikan data penelitian (sampel). whistle-blowing

Tingkat pengembalian kuesioner (respon α

: Konstanta rate) sebesar 75%. Sebanyak 11 kuesioner β 1 …β n : Koefisien arah regresi

tidak bersyarat dijadikan data penelitian,

X 1 : Komitmen organisasi diantaranya sebanyak 7 tidak kembali dan 4

X 2 : Personal cost of reporting kuesioner lainnya tidak diisi oleh responden

X 3 : Tingkat keseriusan kecurangan dengan lengkap. Responden penelitian ini

X 4 : Sikap profesionalisme sebagian besar berjenis kelamin perempuan,

X 5 : Perlindungan hukum yaitu sebanyak 20 responden (60,60%) dan |X 1 –X 5 | : Interaksi yang diukur dengan

yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 13 nilai absolut perbedaan antara

responden (39,40%). Usia responden sebagi-

X 1 dan X 5 an besar berkisar antara 36-45 tahun se- |X 2 –X 5 | : Interaksi yang diukur dengan

banyak 15 responden (45,45%), selanjutnya nilai absolut perbedaan antara

berusia antara 46-55 tahun sebanyak 12

X 2 dan X 5 responden (36,36%), usia 25-35 tahun yaitu |X 3 –X 5 | : Interaksi yang diukur dengan

sebanyak 3 responden (9,09%), dan berusia nilai absolut perbedaan antara

lebih dari 55 tahun juga sebanyak 3 res-

X 3 dan X 5 ponden (9,09%). Tingkat pendidikan respon- |X 4 –X 5 | : Interaksi yang diukur dengan

den sebagian besar telah menempuh pen- nilai absolut perbedaan antara

didikan S2 sebanyak 19 responden (57,58%)

X 4 dan X 5 dan pendidikan S1 sebanyak 14 responden

e : Error Term, yaitu tingkat ke- (42,42%). Masa kerja responden sebagian salahan penduga dalam peneliti-

besar telah bekerja selama 3-10 tahun se- an

banyak 11 responden (33,33%), selanjutnya Hipotesis diuji dengan menggunakan

telah bekerja selama 20 tahun keatas se- tingkat signifikansi (α) = 0,05 atau 5%. Untuk

banyak 13 responden (39,40%), dan telah menguji pengaruh komitmen organisasi,

bekerja selama 11-20 tahun sebanyak 9 personal cost of reporting, tingkat keseriusan

responden (27,27%). Adapun profil res- kecurangan, dan sikap profesionalisme ter-

ponden, kategori, dan persentasenya di- hadap intensi melakukan tindakan whistle-

tunjukkan pada tabel 1.

Determinan Intensi Auditor Melakukan Tindakan ... – Abdullah, Hasma 397

Tabel 1 Profil Responden

Profil Responden

Jenis Kelamin

25 - 35 Tahun

36 - 45 Tahun

45 - 55 Tahun

33 100 Masa Kerja

Total

3 - 10 Tahun

11 - 20 Tahun

Sumber: Data diolah, 2016 Deskriptif Variabel

kecurangan sebesar 15,94, dan personal cost Deskripsi variabel penelitian ber-

of reporting sebesar 13,30. Variabel komit- dasarkan perolehan data 33 responden

men organisasi, sikap profesional, dan ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2 me-

perlindungan hukum menunjukkan nilai nunjukkan bahwa nilai rata-rata tertinggi

rata-rata sebesar 24,52, 16,79, dan 20,79 berada pada variabel komitmen organisasi

yang lebih mendekati angka maksimum- sebesar 24,52, selanjutnya perlindungan

nya masing-masing, dibandingkan varia- hukum sebesar 20,79, intensi tindakan

bel personal cost of reporting, tingkat ke- whistle-blowing sebesar 20,42, sikap profesi-

seriusan kecurangan, dan intensi tindakan onalisme sebesar 16,79, tingkat keseriusan

whistle-blowing.

Tabel 2 Deskriptif Variabel

Minimum

Maximum

Mean Std. Deviation

Komitmen Organisasi 33 18 30 24.52 2.830 Personal Cost of Reporting

33 7 20 13.30 3.779 Tingkat Keseriusan Kecurangan

33 13 20 15.94 1.968 Sikap Profesionalisme

33 12 20 16.79 2.162 Perlindungan Hukum