MODUL 2 PANCASILA PERSPEKTIF SEJARAH PER (1)

MODUL 2
PANCASILA PERSPEKTIF SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA
Dr. Sarbaini, M.Pd FKIP UNLAM
Modul 2
Kegiatan Belajar 1

: PANCASILA PERSPEKTIF
BANGSA INDONESIA
: Era Masyarakat Prasejarah
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 1

SEJARAH

PERJUANGAN

Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3


: Era Era Perjuangan Bangsa Melawan Penjajah
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 3

Kegiatan Belajar 4

: Perumusan Rancangan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar
Negara
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 4

Kegiatan Belajar 5

: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Latihan
Rangkuman
Tes Formatif 5


Kunci Jawaban Tes Formatif
Daftar Pustaka
Glosarium

PENDAHULUAN
Pemilihan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, bukanlah
hanya terjadi pada saat sidang-sidang BPUPK dan PPKI saja, tetapi “the founding father”
telah melakukan telaah, studi, analisis, renungan dan refleksi yang mendalam dan lama
terhadap nilai-nilai esensial yang hidup dalam masyarakat dan budaya luhur bangsa Indonesia
di masa lalu. Kajian-kajian terhadap pasang-surutnya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di jaman kerajaan-kerajaan yang pernah tersohor di Indonesia,
terutama terhadap kejayaan kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mataram, dan kerajaan Majapahit,
telah melahirkan konsepsi yang cerdas dan luhur tentang strategi mengelola negara, termasuk
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, untuk meredam secara arif dan bijaksana terhadap
potensi konflik yang bisa muncul dari keragaman yang begitu kompleks dalam masyarakat
Indonesia.
Uraian tentang Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, diawali dengan
paparan Pancasila dalam era masyarakat Prasejarah, dengan pertimbangan untuk memberikan
jawaban terhadap pertanyaan benarkah bahwa tiap-tiap sila dari Pancasila, yaitu sila KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial merupakan unsur-unsur

yang hidup di kalangan masyarakat nenek moyang bangsa Indonesia semenjak zaman
prasejarah sehingga membentuk pola kebudayaan atau kepribadian bangsa Indonesia. Setelah
itu unsur-unsur dari sila-sila Pancasila mengalami dinamika degradasi dan keemasan dalam
perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, hingga dilahirkan kembali dalam kehidupan
bangsa Indonesia secara formal-konstitusional melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Dalam modul ini kalian akan diajak untuk menelaah perjalanan nilai-nilai Pancasila
dalam titian sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sehingga diharapkan kalian memahami
bahwa nilai-nilai Pancasila secara esensial merupakan unsur-unsur yang hidup dalam
kehidupan bangsa Indonesia, kemudian dalam aktualisasinya mengalami pasang-surut dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari pemahaman demikian, diharapkan
kalian memiliki keyakinan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan filsafat adalah
berbasis pada nilai-nilai yang berakar dari masyarakat Indonesia.
Tujuan yang diharapkan dapat diperoleh dari penyajian modul 2. Pancasila Perspektif
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, terdiri dari :
1. Mahasiswa dapat memahami bahwa nilai-nilai Pancasila memang berakar pada
kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia.
2. Mahasiswa dapat memahami bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami masamasa kejayaan karena menerapkan nilai-nilai Pancasila.
3. Mahasiswa dapat memahami bahwa bangsa Indonesia mengalami penjajahan karena
tidak diterapkannya nilai-nilai Pancasila, dan berjuang untuk mewujudkan nilai-nilai

Pancasila melalui perjuangan melawan penjajah.
4. Mahasiswa memahami proses perumusan Rancangan Dasar Negara dan UndangUndang Dasar Negara
5. Mahasiswa memahami proses Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Penetapan
Pancasila sebagai Dasar Negara sebagai Kesepakatan Nasional.

1

Kegiatan Belajar 1
Era Masyarakat Prasejarah
Pada kegiatan belajar dalam bagian 1, kalian akan diajak untuk menelaah apakah
nilai-nilai atau unsur-unsur dari Pancasila ada dalam pertumbuhan alam kehidupan manusia
Indonesia dari sudut historis, sosio-kultural dan antropologi.
Eksistensi unsur dari sila-sila Pancasila dalam masyarakat prasejarah telah
dikemukakan oleh Ismaun (1981) berdasarkan analisa terhadap pertumbuhan alam kehidupan
manusia Indonesia dari sudut historis, sosio-kultural dan antropologi.
1. Unsur Sila Ketuhanan
Manusia ditinjau dari aspek pengetahuan maupun ajaran agama merupakan manusia
biasa, dan umumnya dalam hati nurani percaya kepada Tuhan sesuai dengan fitrah sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, sehingga selalu bersifat “hanief” (condong, dengan sendirinya/tanpa
dibuat-buat) mencari dan memihak kebenaran serta atas kesadaran sendiri percaya dan

tunduk kepada Tuhan sebagai Khaliknya.
Nenek moyang bangsa Indonesia sebagai makhluk manusia ditakdirkan oleh Tuhan
hidup mendiami wilayah Nusantara. Faktor-faktor alamiah ini turut membentuk sifat-sifat
manusia nenek moyang tersebut, dalam harmonisasi kehidupan di atas “tanah” daratan
(agraris) dan di permukaan “air” (maritim). Manusia-manusia demikian senantiasa
merenungkan dan percaya kepada adanya kekuatan yang Maha di luar dirinya dan alam
sekitarnya, yakni Tuhan. Dahulu sebelum agama besar berkembang di Nusantara, maka
Tuhan dinamai dengan istilah Sang Hiang dan Dang Hiang; malahan perkataan Tuhan adalah
perpaduan zat Tuh, yaitu zat Wa-Tu, zat Tumbuhan dan zat Tubuh.
Ditinjau dari sudut bahasa, baik secara etimologis maupun filologis perkatan “Tuhan”
adalah benar-benar berasal dari kata Indonesia asli. Bahasa-bahasa di seluruh Nusantara yang
dinamakan bahasa Austronesia menurut para ahlinya mempunyai persamaan akar kata (kata
asal) satu suku kata, seperti : tu(h), ra(h), tah, tih dan sebagainya. Akar kata itu kemudian
mendapat awalan (prefiks) atau imbuhan (sufi) ataupun sisipan (infix). Hal ini diperkuat pula
oleh R.Ng. Poerbatjaraka yang mengemukakan perkataan Tuhan itu berasal dari kata “Tuha”
(tua).
Menurut sarjana filologi dan linguistik, H.Kern dan Wilhelm Smith, diikuti R.Ng
Poerbatjaraka dan St. Takdir Alisyahbana, dengan menggunakan hipotesa dwisuku, bahwa
akar kata Tuhan berasal dari kata Tuhan + en, Tuhan atau Tua, artinya, Yang harus dihormati
dan didengar; Pemimpin yang harus dipatuhi. Bahkan Takdir Alisyahbana mengemukakan

bahwa kata Tuhan berasal dari kata Tu(h)a artinya tuah, bermakna kudus, keramat.
Berdasarkan temuan para arkeologi, diduga sejak zaman prasejarah, manusia purba
yang fosil-fosilnya telah ditemukan, sekitar 600.000 tahun yang lalu (Homo Mojokertensis)
maupun sekitar 435.000 tahun yang lalu (Homo Erectus) telah mempunyai kepercayaan
kepada Tenaga Alam dan berkebudayaan. Dalam zaman antara 150.000-100.000 tahun yang
lalu Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, menurut penyelidikan Von Koenigswald, mayat
Homo Soloensis dan Homo Wajakensis telah dikubur (Soekmono, 1958:30-31).
Penguburan mayat manusia itu merupakan manifestasi alam pikiran manusia purba
Indonesia akan adanya ruh, pandangan hidup bahwa ruh manusia itu akan hidup terus di alam
lain, setelah meninggal dalam alam dunia fana ini, dan mengimplikasikan pada kepercayaan

2

kepada adanya Tuhan. Kepercayaan demikian nampaknya masih melekat pada suku Toraja,
suku Dayak dan suku lainnya di Indonesia. Hal demikian sejalan dengan pendapat Kern yang
menyatakan bahwa sebelum masuknya pengaruh Hindu, telah terdapat tujuh macam
kebudayaan Indonesia asli yang disebutnya “Keindahan Austronesia”, di antaranya
kepercayaan terhadap Zat sakti yang teratur (M.Yamin: 1958:122).
Bukti-bukti peninggalan material sebagai ungkapan kepercayaan terhadap Tuhan dari
bangsa Indonesia purba dapat dilihat dalam zaman Neolithicum (sekitar 2000 SM) dan zaman

Megalithicum, antara lain berupa; menhir, tiang atau tugu dari batu, kubur batu, dan punden
berundak-undak. Menhir, diletakkan di tengah-tengah puncak punden berundak-undak,
sebagai sebuah tiang batu merupakan manifestasi lahiriah jiwa manusia Indonesia saat itu,
bahwa yang mula-mula ada dan yang tertinggi dan yang maha kuasa adalah Hyang Tunggal,
Yang Maha Esa, hanya satu saja, yang disebut Tuhan.
Di pelbagai daerah, unsur-unsur kepercayaan dan keagamaan yang diwariskan dari
zaman prasejarah ini masih bertahan atau mengalami proses sinkretik dengan agama-agama
sejarah, antara lain, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes,
Banten; agama Cigugur di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di
Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di
Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi
Selatan; dan Naurus di Pulau Seram (Latif, 2011: 59).
2. Unsur Sila Kemanusiaan
Secara historis dan antropologis, bangsa Indonesia semenjak zaman prasejarah, yakni
sejak Manusia Mojokertensis terus sampai manusia atau bangsa Austronesia hingga bangsa
Indonesia sekarang senantiasa memiliki perasaan kemanusiaan yang luas. Hal ini dapat
dibuktikan dengan realitas terjadinya percampuran darah antar ras. Penduduk kepulauan
Nusantara zaman telah didiami oleh berbagai ras jenis manusia purba, seperti Meganthropus
Palaeojavanicus, Homo Mojokertensis, Pithecanthropus Robustus, Pithecantropus (Homo)
Erectus, Homo Soloensis dan Homo Wajakensis. Kemudian muncul induk bangsa Palaeo

Mongoloid yang berkulit kekuning-kuningan atau sawomatang, berambut licin dan bertubuh
sedang; indung bangsa Papua Melanosoide yang berkulit hitam, berambut keriting.
Selanjutnya bercampur darah dengan penduduk asli, munculah jenis orang orang-orang
Negrito, seperti orang Semang di Malaka, orang Aeta di Filipina, berkulit hitam, bertubuh
pendek, berambut keriting; orang Weddoide, berkulit sawo matang, rambut bergelombang,
dan bertubuh pendek. Sisanya tampak pada orang Senoi di Malaka, orang Sekai di Siak,
orang Kubu di Palembang dan Jambi, dan di antara orang-orang Lubu, Ulu, Mamak, Batak
dan Gayo (Satyawati Suleiman, 1958: 15-18).
Menurut Paul Sarasin, Frits Sarasin, Kern dan Von Heine-Geldern, ditinjau secara
etnologis, filologis, dan arkeologis, maka manusia-manusia yang mendiami seluruh
Nusantara itu mempunyai persamaan asal-usul dan percampuran-keturunan serta dasar-dasar
kebudayaan, yaitu penduduk asli dengan orang-orang pendatang yang berasal dari daratan
Asia seperti Vietnam, Thailand, Laos, Kamboja, India, India, Arab, dan Cina, sehingga dapat
diklasifikasikan dalam rumpun garis besar bangsa Proto-Melayu dan Deutro Melayu. Dari
percampuran demikian akhirnya bangsa Indonesia mempunyai bentuk tubuh yang umumnya
sedang dan banyak variasinya, warna kulit variasi kuning langsat dan sawo matang, variasi
rambut lurus dan keriting.
Dapat dikatakan secara historis, antropologis, sosio-kultural, religius dan geografis,
manusia sejak dahulu kala telah memiliki unsur kemanusiaan yang bersifat terbuka terhadap
sesama manusia, tidak mengenal diskriminasi ras, dan menganggap semua ras sederajat. Ini

substansi dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak berlebihan kiranya pernyataan
dari Stephen Oppenheimer (2004,2010, Latif, 2011:127), bahwa konsentrasi manusia

3

prasejarah dalam lingkungan geografi, klimatologi, dan kekayaan alam Nusantara yang
berlimpah memberi alasan mengapa Nusantara (khususnya Dataran Sunda yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dari daratan Asia Tenggara) menjadi pelopor cikal-bakal peradaban
di muka bumi. Ditempa oleh alam kepulauan yang dikepung lautan, nenek moyang bangsa
Indonesia merespon tantangan lingkungannya dengan mengembangkan keahlian berlayar,
bermula dari pelayaran antar pulau, hingga berkembang jauh menuju penaklukan samudera.
Nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dan penarik arus-arus pelayaran
internasional yang membuka jalan ke arah globalisasi.
Sekurang-kurangnya sejak awal Masehi, bahkan menurut Oppenheimer (2010) jauh
sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu sistem “cadik”
(penyeimbang di sisi kiri dan kanan), telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk
mencapai Australia, lantas menemukan hampir semua pulau tidak dikenal di Lautan Pasifik;
berlayar ke arah Barat, mengarungi Samudera Hindia hingga menjangkau Afrika dan
Madagaskar. Pelayaran nenek moyak bangsa Indonesia mendahului jelajah pelaut Mesir,
India, Yunani, Romawi, Persia dan Arab (Dick-Read, 2008:9-14)

3. Unsur Sila Persatuan
Membicarakan unsur sila persatuan tidaklah bisa dipisahkan dengan nasionalisme.
Unsur-unsur nasionalisme Indonesia telah berakar di masa lampau Indonesia, yaitu adanya
faktor-faktor persamaan keturunan rumpun bangsa, kepercayaan, nasib, kesejarahan dan
tempat tinggal berupa tanah air, juga diliputi oleh persamaan dalam mengejar cita-cita.
Sejarah Nasional Indonesia mempunyai peranan dalam menjelaskan latar belakang historis
pertumbuhan nasionalisme Indonesia guna memperkuat posisi unsur sila Persatuan Indonesia,
yakni menjelaskan tentang pentingnya kesadaran nasional, dan untuk menelusuri akar-akar
nasionalisme Indonesia.
Ditinjau dari pertumbuhan sejarahnya, nasionalisme Indonesia berakar dari dua
macam inti susunan persekutuan masyarakat, yaitu persekutuan consanguineal dan
persekutuan territorial.
Persekutuan consanguineal adalah persekutuan manusia yang berdasarkan hubungan
darah, misalnya susunan keluarga. Keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, atau
saudara-saudara merupakan inti bentuk persekutuan masyarakat. Keluarga kemudian tumbuh
menjadi keluarga besar, sib/marga, gens, klan, stam, bubuhan, dan akhirnya suku bangsa.
Tiap-tiap bentuk persekutuan masyarakat itu mempunyai beraneka ragam corak yang disebut
susunan keluarga bilateral, unilateral, atau matrilineal, patrilineal serta parental. Persekutuan
masyarakat jenis ini telah ada pada jaman jenis-jenis manusia purba pernah mendiami
Indonesia. Hal demikian dapat dibuktikan pada temuan-temuan kehidupan mereka di guagua.

Persekutuan teritorial adalah bentuk susunan masyarakat yang berdasarkan persamaan
tempat tinggal. Pesekutuan ini sering kali timbul, karena kebutuhan manusia akan suatu
daerah pencaharian hidup tertentu. Berdasarkan cara orang hidup mencari nafkah, maka
persekutuan teritorial dapat menjadi kelompok, yaitu kelompok berburu, dan nomaden.
Persekutuan hidup bersama yang menetap tinggal di suatu tempat tertentu, dengan pola hidup
bercocok tanam, berburu, mencari ikan, atau mengumupulkan buah-buahan. Tempat tinggal
persekutuan itu disebut desa.
Desa merupakan inti atau akar-akar pertumbuhan organisasi negara. Desa
sesungguhnya merupakan perpaduan antara unsur-unsur persekutuan masyarakat yang
bersifat consanguineal (genealogis) dan teritorial, serta diperkuat oleh sifat-sifat magis
spiritual-religius. Jenis dan corak ragam desa banyak sekali dan tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia, antara lain, desa (Jawa), nagari (Minangkabau), gampong (Aceh), kampung
(Banjar). Menrut pendapat Van Vollenhoven, Louter, Brande, Liefrinck (Ismaun, 1981: 45)

4

daerah hukum di Jawa, Madura, dan Bali yang dinamakan “desa” adalah ciptaan orang
Indonesia asli, bukan bikinan orang karena pengaruh Hindu.
Bahkan Soetardjo Kartohadikoesomo (1954:77-94) menyatakan desa berfungsi
sebagai sumber kekuatan nasional, sumber kekuatan dan tenaga kebangsaan. Karena adanya
sifat ikatan batin yang kuat di dalam persekutuan hidup masyarakat desa. Susunan
persekutuan hidup yang memiliki ikatan batin yang kuat di antara para anggota di dalam
masyarakat yang berbentuk desa, secara sosiologis dinamakan masyarakat paguyuban. Ikatan
batin yang kuat di dalam masyarakat paguyuban ini, nampak masih terdapat dalam
masyarakat-masyarakat yang terdapat di daerah-daerah pedesaan dan yang terpencil.
Unsur sila Persatuan berakar sebagai akar dari Nasionalisme Indonesia tumbuh dari
persekutuan hidup manusia Indonesia dalam pancang perjalanan sejarahnya yang berakar dan
bermula dari inti keluarga dan desa, kemudian menjadi kerajaan setelah masuknya peradaban
Hindu. Menurut Latif (2011:258; Koentjaraningrat, 1971:20) gerak menuju zaman sejarah
Nusantara dimulai sejak sekitar abad I Masehi, ketika masyarakat kota dan sistem
pemerintahan yang lebih luas dari masyarakat desa telah berkembang di Asia Tenggara,
termasuk di Kepulauan Nusantara. Kota-kota tua ini kebanyakan berkembang di lembahlembah daerah hilir sungai-sungai besar. Kebudayaan dan sistem pemerintahan tua di
Nusantara terpengaruh oleh percampuran antara unsur-unsur kebudayaan pribumi dan unsurunsur Cina.
4. Unsur Sila Kerakyatan
Secara historis menurut pendapat Brandes, Kern, Krom, Heine-Geldern dan Bosch
bahwa salah satu unsur peradaban Indonesia asli sebelum datangnya pengaruh asing adalah
tata-masyarakat dan tata negara yang teratur, hal masih nampak terlihat tatanan masyarakat
desa di Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Dayak.
Susunan tata masyarakat dan tata negara nenek moyang bangsa Indonesia dimulai dari
kesatuan inti, yaitu keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga, di bawah pimpinan bapa,
bopo, atau abah. Persekutuan masyarakat yang lebih besar ialah keluarga besar. Persekutuan
masyarakat berbasis keluarga merupakan akar dari masyarakat paguyuban yang berdasarkan
susunan keluarga yang disebut persekutuan concanguinal (hubungan darah). Dalam bahasa
daerah tertentu disebut dengan sebut marga (batak), atau bubuhan (banjar).
Jika persekutuan itu kemudian berkembang menjadi persekutuan teritorial (wilayah),
karena persekutuan masyarakat berbasis keluarga telah berinteraksi dan bercampur dengan
persekutuan masyarakat berbasis keluarga lain, atau melakukan migrasi ke daerah, maka
berkumpulan mereka dalam satu wilayah tertentu, sehingga menjadi persekutuan masyarakat
berbasis teritorial, maka diperlukan seorang pemimpin yang tidak sepenuhnya berbasis
keluarga, tetapi membutuhkan kecakapan-kecakapan lain yang diperlukan oleh
masyarakatnya, bisa dalam bentuk keterampilan berperang, mengobati orang sakit,
pengetahuan tentang adat isitiadat, kelebihan dalam strata sosial dan ekonomi, sehingga
memancarkan kekuatan gaib (karisma).
Persekutuan teritorial selanjutnya berkembang menjadi kampung (Banjar), gampong
(Aceh), desa (Jawa), nagari (Minang) atau negara. Lazimnya dalam masyarakat demikian,
bahkan dalam masyarakat asli Indonesia, baik kepala suku, demang, pembakal, lurah, raja
adalah paa pemimpin yang dipilih melalui proses musyawarah-mufakat. Dalam masyarakat
asli Indonesia, kepemimpinan dipegang oleh Ka-tua atau ketua di antara sesamanya dalam
tata kehidupan masyarakat. Pimpinan dalam suku-suku bangsa di Indonesia didasarkan atas
kesadaran bahwa manusia itu sama tinggi dan rendahnya, sehingga pemimpin masyarakat
suku bangsa seperti kepala suku yang dipilih oleh anggota-anggotanya merupakan seorang

5

“primus inter pares”, yakni orang yang pertama di antara sesamanya (Ismaun, 1981: 65;
Iman Soetikno, 1962:38).
Musyawarah adalah kegiatan untuk merundingkan segala hal yang menyangkut
kepentingan umum secara bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat berbasis
permufakatan. Unsur Kerakyatan berbasis prinsip musyawarah terlihat dalam peribahasa:
“Bulat aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air dalam pembuluh, bulat kata
dalam mufakat). Prinsip persamaan hakikat dan harkat manusia dalam rapat, terdapat dalam
peribahasa “ Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, dan prinsip bekerja sama dalam
memecahkan masalah termuat dalam peribahasa “Seayun-selangkah, berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing” atau “ Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun”.
Unsur kerakyatan pada dasarnya bersumber pada pandangan hidup asli Indonesia
yang terdapat dalam peribahasa, pepatah dan pantun serta keputusan-keputusan adat bangsa
Indonesia. Sistem kerakyatan demikian dalam perspektif kekuasaan seseorang atas orang lain
atau oleh sesuatu golongan atas orang atau golongan lain, atau dalam istilah memerintah
menurut pandangan hidup bangsa Indonesia adalah memimpin dalam arti membimbing
(Ismaun, 1981:66). Hal demikian termaktub dalam adat Minangkabau, dalam tamzil:”Anak
buah menyembah lahir, penghulu menyembah batin” (Rakyat pada lahirnya menyembah
kepada pemimpin, tetapi dalam batinnya adalah pemimpin menyembah rakyat), tamzil
lainnya, yaitu: ”Mamak badaging taba, Kemenakan bapisau tajam” (mamak mempunyai
daging tebal, kemenakan mempunyai pisau tajam, artinya sungguhpun pemimpin
berkedudukan baik, tetapi kedudukan dan keadaannya yang baik itu adalah untuk seluruh
rakyat).
Dalam pandangan Tan Malaka, paham kedaulatan rakyat, sebenarnya sudah tumbuh
sejak lama di bumi Nusantara. Di alam Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh
ketundukkannya pada keadilan dan kepatutan, sebagaimana pepatah “Rakyat ber-raja pada
Penghulu, Penghulu ber-raja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”.
Maknanya adalah raja sejati dalam kultur Minangkabau adalah berbasis pada alur (logika)
dan patut (keadilan). Alur dan patut inilah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan
seorang raja akan ditolak, bila bertentangan dengan pikiran akal sehat dan prinsip-prinsip
keadilan (Malaka, 2005; 15-16; Latif, 2011:387).
Dalam rangka mencapai tujuan bersama, seorang pemimpin, kepala suku,
pambangkal, demang, raja maupun datuk, tidak dapat memimpin atau memerintah menurut
kehendak sang pemimpin sendiri, tetapi harus melalui lembaga yang disebut rapat, tempat
bermusyawarah untuk memperoleh kesepakatan. Corak kerakyatan Indonesia asli dalam
bentuk musyawarah dan mufakat itu terpimpin dan dipimpin oleh norma-norma kebenaran,
keadilan dan kebaikan yang merupakan Hukum tertinggi dalam kehidupan bersama yang
disebut Adat.
Menurut M. Hatta, prinsip kerakyatan dari bangsa Indonesia adalah berakar dalam
pergaulan hidup bangsa Indonesia sendiri, yakni tradisi kolektivisme dari pemusyawaratan
desa (Hatta, 1992:121). Demokrasi Indonesia harus pula merupakan perkembangan dari
demokrasi asli Indonesia yang terdiri dari lima unsur demokrasi asli Indonesia, yakni;
musyawarah, mufakat, gotong-royong, hak mengadakan protes dan hak menyingkir dari
daerah kekuasaaan raja (Hatta, 1992: 123; Ismaun, 1981:71). Nilai-nilai demokrasi pada taraf
tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit
politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, kampung di
Kalimantan Selatan.
5. Unsur Sila Keadilan

6

Unsur keadilan sebagai cita-cita dan harapan bangsa Indonesia pada dasar dapat digali
dalam khasanah kebudayaan asli Indonesia, baik dari bukti di zaman prasejarah maupun
dalam prasasti, cerita wayang, pepatah maupun peribahasa dari suku-suku bangsa Indonesia.
Akar kemakmuran Indonesia bisa dilacak hingga zaman prasejarah. Bukti-bukti
terbaru dikemukakan oleh Oppenheimer dalam bukunya Eden in the East (1999,2010; Latif,
2011:494-495) yang memperlihatkan bahwa sebelum zaman es terakhir berakhir, sekitar
8000 tahun yang lalu, Dataran Sunda (menyatukan Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan
kawasan Asia Tenggara lainnya) merupakan pusat kehidupan dunia dan perintis peradaban
dunia dengan mempelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah bisa membuat perahu. Sejak
sekitar 7000 tahun yang lalu telah berkembang jaringan perdagangan maritim pulau dan
pesisir di seluruh cincin Pasifik dan kepulauan Asia Tenggara.
Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada
kerajaan Sriwijaya, (Sulaiman, tanpa tahun, 53) yaitu berbunyi: “marvuat vanua Criwijaya
siddhayatrasubhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur)
Dalam cerita wayang yang menggambarkan suasana Negara Darawati, yang
diucapkan dalam, seperti :”Negara Darawati, negara ingkang panjang-punjung, panjang
poca-panne, punjung kawibawaane” (Negara Darawati, negara yang demikian termasyhur,
diceritakan orang panjang lebar sampai keluar negeri, dan negara itu sangat berwibawa).
Disusul pula oleh ucapan-ucapan tentang kondisi ideal negara, yaitu susunan masyarakatnya
yang “tata-tentrem kerta-raharja, gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur,
murah kang sarwea tinuku” (Negara dalam keadaan teratur, rakyatnya tenteram, orang-orang
yang bekerja aman, sifat masyarakatnya ramah-tamah dan berjiwa kekeluargaan, tanahtanahnya yang subur, semuanya dapat ditanami dengan hasil yang baik, sehingga
perekonomian negara makmur harga barang-barang kebutuhan hidup murah).
Cita-cita dan harapan terhadap tata-negara dan tata-masyarakat yang adil dan makmur
terdapat juga dalam ujar-ujar masyarakat Sunda, seperti Negara yang “ gemah ripah wibawa
mukti” dan “gemah ripah repeh-rapih” serta “tata-tentrem kerta raharja” dengan suasana
rakyat dan pemerintahnya “silih-asah, silih-asih, dan silih-asuh”. Dalam pepatah suku
Banjar, mungkin dapat dihubungkan dengan istilah “Ruhui-rahayu, Saraba-kawa, RakatMufakat”.
Kehidupan bersama dan kerja sama dengan pedoman keadilan sosial sebagai
kelanjutan adat warisan nenek moyang, kenyataannya masih terdapat juga dalam peribahasa
suku Minang, yakni: “Saciok bak ayam, sadanciang bak basi, serumpun bak padi” (Seciap
seperti ayam, sedancing seperti besi, serumpun seperti padi), atau peribahasa berikut: “nan
buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan kuat paangkuit baban, nan cadiak
tampaik” ( yang buta pengembus lesung, yang pekak meletuskan bedil, yang kuat pengangkat
beban, yang cerdik dilawan berunding, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sama
besar diikutsertakan).
M.Hatta menegaskan bahwa masyarakat Indonesia adalah berbasis kolektivisme.
Sejak dahulu kala milik tanah adalah masyarakat desa, Segala usaha yang berat, tidak
dikerjakan sendiri-sendiri tetapi dikerjakan secara gotong royong. Tidak hanya pada hal-hal
yang bersifat publik menurut sistem yuridis Barat, tetapi juga hal-hal pribadi, seperti
mendirikan rumah, mengerjakan sawah, maupun mengantar mayat ke kubur (M.Hatta,
1960:25).
Unsur-unsur dari sila-sila Pancasila secara esensial merupakan perwujudan dari nilainilai objektif yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum
mendirikan negara. Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia sebenarnya melalui
perjalanan waktu yang panjang yaitu sejak zaman prasejarah, hingga jaman sejarah bangsa
Indonesia dimulai yaitu sejak timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad IV.

7

Latihan
Untuk memperdalam pemahaman kalian mengenai materi yang telah dipaparkan
dalam kegiatan belajar 1, maka kerjakanlah latihan berikut !
1. Buatlah bagan tentang unsur-unsur dari sila-sila Pancasila dalam masyarakat prasejarah
berdasarkan kreativitas kalian.
2. Amati dan buat laporan tentang unsur-unsur dari sila-sila Pancasila di dalam kehidupan
masyarakat kalian tinggal, apa kesan dan tindakan yang kalian lakukan ?
Rangkuman
Bukti-bukti peninggalan material sebagai ungkapan kepercayaan terhadap Tuhan dari
bangsa Indonesia purba merupakan manifestasi lahiriah jiwa manusia Indonesia saat itu,
bahwa yang mula-mula ada dan yang tertinggi dan yang maha kuasa adalah Hyang Tunggal,
Yang Maha Esa, hanya satu saja, yang disebut Tuhan. Secara historis, antropologis, sosiokultural, religius dan geografis, manusia Indonesia sejak dahulu kala telah memiliki unsur
kemanusiaan yang bersifat terbuka terhadap sesama manusia, tidak mengenal diskriminasi
ras, dan menganggap semua ras sederajat. Ini substansi dari sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Unsur sila Persatuan berakar dari Nasionalisme Indonesia tumbuh dari persekutuan
hidup manusia Indonesia dalam pancang perjalanan sejarahnya yang berakar dan bermula
dari inti keluarga dan desa, kemudian menjadi kerajaan, hingga karena penjajahan
menumbuhkan keinginan mendirikan negara berbasis kebangsaan. Paham kedaulatan rakyat
mengajarkan, kekuasaan pemimpin dibatasi oleh ketundukkannya pada keadilan dan
kepatutan, dan memerintah harus melalui lembaga yang disebut rapat, tempat bermusyawarah
untuk memperoleh kesepakatan. Corak kerakyatan Indonesia asli dalam bentuk musyawarah
dan mufakat itu terpimpin dan dipimpin oleh norma-norma kebenaran, keadilan dan
kebaikan. Unsur keadilan sebagai cita-cita dan harapan bangsa Indonesia pada dasar dapat
digali dalam khasanah kebudayaan asli Indonesia, dan akar kemakmuran Indonesia bisa
dilacak hingga zaman prasejarah yang menunjukkan sebagai pusat kehidupan dunia dan
perintis peradaban dunia dengan mempelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah bisa
membuat perahu.
Tes Formatif 1
1. Ditinjau dari sudut bahasa, baik secara etimologis maupun filologis perkataan ………

adalah benar-benar berasal dari kata Indonesia asli.
a. Hanief
b. Tuhan
c. Sang Hiang
d. Dang Hiang
2. Penguburan mayat manusia itu merupakan manifestasi alam pikiran manusia purba

Indonesia akan adanya ruh, dan mengimplikasikan pada kepercayaan kepada adanya
Tuhan. Kepercayaan demikian nampaknya masih melekat pada suku Toraja, suku Dayak
dan suku lainnya di Indonesia, kecuali
a. menhir, tiang atau tugu dari batu, kayu ulin
b. kubur batu
c. punden berundak-undak
d. pusara

8

3. Secara historis dan antropologis, bangsa Indonesia semenjak zaman prasejarah, yakni
sejak Manusia Mojokertensis terus sampai manusia atau bangsa Austronesia hingga
bangsa Indonesia sekarang senantiasa memiliki perasaan kemanusiaan yang luas. Hal ini
dapat dibuktikan dengan
a. Ras bangsa Indonesia adalah ras asli yang tidak bercampur dengan ras lain
b. Terjadi percampuran darah antar ras.
c. Terjadi pemusnahan ras tertentu
d. Terjadinya percampuran dengan satu ras tertentu saja
4. Ditinjau secara etnologis, filologis, arkeologis, historis, antropologis, sosio-kultural,

religius dan geografis, maka manusia-manusia yang mendiami seluruh Nusantara itu,
a. Tidak mempunyai persamaan asal-usul dan percampuran-keturunan serta dasar-dasar
kebudayaan,
b. Menjadi pelopor cikal-bakal peradaban di muka bumi sebagai petani agraris
c. Memiliki unsur kemanusiaan yang bersifat terbuka terhadap sesama manusia, tidak
mengenal diskriminasi ras, dan menganggap semua ras sederajat.
d. Pelayaran nenek moyak bangsa Indonesia tertinggal jauh dari jelajah pelaut Mesir,
India, Yunani, Romawi, Persia dan Arab.
5. Membicarakan unsur sila persatuan tidaklah bisa dipisahkan dengan nasionalisme. Unsur-

unsur nasionalisme Indonesia telah berakar di masa lampau Indonesia, yaitu adanya
faktor-faktor persamaan, kecuali
a. keluarga
b. keturunan rumpun bangsa,
c. kepercayaan, nasib, kesejarahan dan tempat tinggal berupa tanah air,
d. persamaan dalam mengejar cita-cita
6. Unsur sila Persatuan berakar dari Nasionalisme Indonesia tumbuh dari persekutuan hidup

manusia Indonesia dalam pancang perjalanan sejarahnya yang berakar dan bermula dari
a. Individu, inti keluarga, desa, kerajaan dan negara
b. Negara, kerajaan, desa, keluarga
c. Inti keluarga, desa, kerajaan dan negara nasional
d. Kebangkitan Nasional dan Proklamasi
7. Susunan tata masyarakat dan tata negara nenek moyang bangsa Indonesia dimulai dari

keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga, di bawah pimpinan bapa, bopo, atau abah.
Persekutuan masyarakat yang lebih besar ialah keluarga besar. Persekutuan masyarakat
berbasis keluarga merupakan akar dari masyarakat paguyuban yang berdasarkan susunan
keluarga yang disebut persekutuan hubungan darah (concanguinal). Dalam bahasa daerah
Banjar disebut
a. Bubuhan
b. Papadaan
c. Kulawarga
d. Paguyuban
8. Musyawarah adalah kegiatan untuk

merundingkan segala hal yang menyangkut
kepentingan umum secara bersama-sama dan keputusan diambil dengan kata sepakat
berbasis permufakatan. Prinsip-prinsip dalam musyawarah mufakat adalah
a. Tidak menghargai hakikat dan harkat manusia

9

b. Mengutamakan kepentingan sendiri, kelompok dan agama saja dalam memecahkan
masalah kemasyarakatan, kenegaraan, dan kebangsaan.
c. Memimpin musyarawah adalah dalam arti menguasai forum dan kourum rapat
d. Didasari atas prinsip-prinsip pada kebenaran, kepatutan, keadilan, dan kebaikan.
9. Unsur keadilan dan akar kemakmuran Indonesia bisa dilacak hingga zaman prasejarah.

Bukti-bukti terbaru dikemukakan dalam buku Eden in the East yang memperlihatkan
bahwa Dataran Sunda (menyatukan Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan kawasan
Asia Tenggara lainnya) merupakan pusat kehidupan dunia dan perintis peradaban dunia
dengan mempelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah bisa membuat perahu.
a. Brandes
b. Oppenheimer
c. Kern
d. Bosch
10. Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada seloka

yang berbunyi: “marvuat vanua Criwijaya siddhayatrasubhiksa” (suatu cita-cita negara
yang adil dan makmur)
a. Negara Darawati
b. ujar-ujar masyarakat Sunda
c. Kerajaan Sriwijaya
e. peribahasa suku Minang

Setelah kalian mengerjakan Tes Formatif 1 di atas, cocokanlah jawaban kalian dengan Kunci
Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir Modul 2 ini. Hitunglah jawaban anda
yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini, untuk mengetahui tingkat penguasaan
kalian terhadap materi Kegiatan Belajar 1.
Rumus :
Jumlah jawaban kalian yang benar
Tingkat penguasaan =

X 100 %

10

Arti tingkat penguasaan yang kalian capai :
90 %
80 %
70 %

<

100%
89%
79%
70%

=
=
=
=

baik sekali
baik
cukup
kurang

Apabila tingkat penguasaan kalian mencapai 80% ke atas, Bagus ! Kalian dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 2. Tetapi bila tingkat penguasaan kalian masih di bawah 80%,
kalian harus mengulang Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum kalian kuasai.

10

Kegiatan Belajar 2
Era Kejayaan Nasional
Dalam materi kegiatan belajar 2 tentang era kejayaan nasional, kalian diajak untuk
mengamati bentang sejarah dari kerajaan-kerajaan di Indonesia yang mampu mengangkat
nama harum bangsa, dan dalam kehidupan kerajaan dapat diungkap unsur-unsur Pancasila
yang menjadi spirit dari gerak kerajaan-kerajaan tersebut.
1. Kerajaan Kutai

Sejarah suatu bangsa dimulai ketika ditemukan adanya bukti tertulis tentang kehidupan
bangsa tersebut. Zaman sejarah bangsa Indonesia ditandai oleh kehadiran prasasti-prasasti berhuruf
Pallawa dan Pranagari yang muncul bersamaan dengan kehadiran kerajaan-kerajaan asli Nusantara.
Sejarah bangsa Indonesia diduga dimulai dengan temuan bukti tertulis pada tahun 400 M,
dengan ditemukannya prasasti berupa 7 yupa (tiang batu) di Kutai, Kalimantan Timur. Isi prasasti
pada intinya menginformasikan bahwa raja Mulawarman sebagai keturunan dari raja Aswawarman,
yang juga keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman mengadakan kenduri dan memberi sedekah
kepada para Brahmana, dan para Brahmana membangun yupa sebagai tanda terima kasih raja yang
dermawan. Berdasarkan isi prasasti tersebut, dapat diduga bahwa Kerajaan Kutai telah membuka
sejarah bangsa Indonesia dan menggambarkan khususnya kerajaan dan masyarakat Kutai tentang
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, pemerintahan dan keadilan dalam bentuk kerajaan,
kenduri, sedekah kepada para Brahmana.
Nampak sekali kerajaan Kutai merupakan jenis kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat
kewibawaan raja, yakni raja menghormati kaum agamawan. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan
selanjutnya seperti kerajaan Taruma Negara dengan Purnawarman, sebagai raja di daerah Bogor.
Pada perkembangan berikutnya, munculah kerajaan-kerajaan lain bercorak Hindu-Budha di
Nusantara yang bertahan paling tidak hingga abad ke-15 M. Kerajaan-kerajaan tersebut tersebut
antara lain meliputi kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dari abad ke-8
sampai ke-12 dan Kerajaan Dinasti Syailendra, dan Kediri, Singasari maupun Majapahit di Jawa
Timur, dari abad ke-12 sampai ke-15M.
Monumen terpenting dari era Kerajaan Hindu-Budha adalah kerajaan Budha Sriwijaya dan
Kerajaan Hindu Majapahit. Karena keduanya menunjukkan kejayaan bahari Nusantara yang secara
politik menjadi dua imperium besar sepanjang abad 7 hingga abad 15 (Latif, 2011:131,259,260).
Oleh karena itu kedua kerajaan ini tidak dapat dipisahkan dengan berdirinya negara kebangsaan
Indonesia, sehingga menurut M.Yamin negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap,
yaitu; pertama, zaman Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400) bercirikan kesatuan.
Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525). Kedua tahap ini merupakan negara
kebangsaan Indonesia lama. Kemudian, ketiga adalah negara kebangsaan modern, yaitu negara
Indonesia merdeka (Sekretariat Negara RI,1995:11; Kaelan, 2000:29-30).
2. Kerajaan Sriwijaya

11

Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera pada abad 7-13M. Sriwijaya
menguasai sebagian besar Jawa, Sumatera, hampir seluruh semenanjung Malaka dan
sekitarnya, menjadikannya sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara dengan
kekuataan angkatan laut pertama yang diorganisasi secara baik di kawasan tersebut.
Kebesaran Sriwijaya sepadan dengan imperium lain yang sezaman dengannya,
Kekhalifahan Islam Abasiyyah di Baghdad dan Dinasti Tang di Cina.
Sejak abad ke-7, kerajaan Sriwijaya telah menjadi kekuatan dagang dan budaya
yang mengagumkan. Walaupun bahasa Sansekerta digunakan kerajaan ini, namun bahasa
yang umum dipakai secara luas adalah bahasa Melayu. Salah satu warisan Sriwijaya yang
dinilai amat penting adalah konsolidasi suatu zona yang berjangkauan besar dengan
penduduknya berbahasa melayu di kedua sisi Selat Malaka. Dalam sistem
pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rokhaniawan
yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci,
sehingga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat
dilepaskan dengan nilai Ketuhanan (Suwarno, 1993:10; Kaelan, 2000:30).
Selain itu berdiri juga suatu Universitas agama Budha yang sangat terkenal di
Asia. Banyak musafir dari negara lain, misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di
universitas itu, terutama tentang agama Budha dan bahasa Sansekerta, sebelum
melanjutkan studinya ke India. Bahkan banyak guru-guru besar tamu dari India yang
mengajar di Sriwijaya, misalnya Dharmakitri (Sulaiman, tanpa tahun:53; Kaelan,
2000:30).
3. Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada,
dibantu laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai Nusantara.
Kerajaan Majapahit melanjutkan kejayaan Nusantara sebagai kekuatan bahari dengan
memanfaatkan jejak-jejak yang diwariskan oleh Sriwijaya. Kerajaan Majapahit
menguasai sebagian besar wilayah pantai Nusantara, bahkan meluas ke arah Barat hingga
bagian tertentu di Vietnam Selatan dan ke arah Timur sampai bagian Barat Papua
(Mulyana, 2008: Latif, 2011:260).
Meluasnya kekuasaan Majapahit diduga tidak terlepas dari Sumpah Palapa yang
diucapkan Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1331, yakni: “Saya baru akan berhenti
berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara,
jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang, dan
Tumasik telah dikalahkan” (Yamin, 1960:60; Kaelan, 2000:32). Isi sumpah Gajah Mada
tersebut memuat cita-cita untuk mempersatukan seluruh nusantara raya.
Semasa kerajaan Majapahit, kehidupan beragama antara agama Hindu dan Budha
berlangsung damai. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365), di dalam buku
tersebut diungkapkan istilah "Pancasila Krama" sebagai "Lima dasar tingkah laku", yakni
tidak boleh melakukan kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berjiwa dengki, tidak
boleh berbohong, dan tidak boleh mabuk minuman keras (Darmodiharjo, 1983: 17-18).
Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, yang menulis juga tentang seloka, yang
sekarang menjadi motto persatuan nasional bangsa Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal
Ika”, yang seloka lengkapnya adalah “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua” artinya walaupun berbeda, namun satu jua adanya, sebab tidak ada agama yang

12

memiliki Tuhan yang berbeda. Bahkan salah satu daerah kekuasaan Majapahit, yaitu
Pasai, justru memeluk agama Islam. Toleransi positif dalam bidang agama dijunjung
tinggi sejak masa bahari. Bhinneka Tunggal Ika merupakan konsep pengelolaan
keragaman bangsa Indonesia, konsep ini telah 600 tahun mendahului konsep
multikulturalisme yang sekarang diperkenalkan Barat.
4. Kerajaan-kerajaan Islam
Pengaruh Islam dari Timur Tengah dibawa masuk oleh para pedagang dari
pelbagai ras, seperti Arab, India, Cina, dan lain-lain. Penyebaran ajaran Islam mulai
sekitar abad ke-7 dan tersebar luas setidaknya sejak abad ke-13. Dari ujung Barat
Nusantara, pengaruh Islam secara cepat meluas ke bagian Timur meresapi wilayahwilayah yang sebelumnya dipengaruhi Hindu-Budha, dan akselerasinya dipercepat justru
oleh penetrasi kekuatan-kekuatan Erofa di Nusantara sejak abad ke-16 (Latif, 2011:58,
135).
Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos
masyarakat Nusantara, terutama pada awalnya bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam
meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan
konsepsi “kesetaraan”dalam hubungan antarmanusia, konsepsi “pribadi” yang mengarah
pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang “linear”,
menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1969:II,149-242; Latif,
2011,135).
Pengaruh Islamisasi mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan
bermunculan kerajaan-kerajaan Islam awal, seperti Kerajaan Samudera-Pasai di sekitar
Aceh dan Kerajaan Demak di Jawa sejak abad ke-15, disusul oleh kerajaan-kerajaan
Islam lainnya seperti Giri, Pajang, Mataram Islam, Banten dan Cirebon (di Jawa).
Kerajaan Islam Aceh, Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, Kerajaan Islam di Maluku
(Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) dan Kerajaan Banjar di Kalimantan.
Latihan
Guna memperdalam pemahaman kalian terhadap materi yang telah diuraikan
dalam kegiatan belajar 2 ini, maka kerjakanlah latihan berikut !
1. Buat tanda di peta Indonesia terhadap tempat-tempat yang menjadi pusat kerajaankerajaan yang disebutkan dalam materi kegiatan belajar 2, makna apa yang bisa kalian
ambil dari posisi kerajaan-kerajaan dilihat dari perasaan berbangsa dan bernegara?
2. Telaah dari paparan tentang kehidupan kerajaan-kerajaan Indonesia di masa lalu,
makna apa yang bisa kalian ambil untuk diterapkan pada masa kini, khususnya
kaitannya dengan penerapan sila-sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara?
Rangkuman
Sejarah bangsa Indonesia dimulai dengan temuan bukti tertulis pada tahun 400 M,
dengan ditemukannya prasasti berupa 7 yupa (tiang batu) di Kutai, Kalimantan Timur. Isi
prasasti tersebut, membuka sejarah bangsa Indonesia dan menggambarkan khususnya

13

kerajaan dan masyarakat Kutai tentang nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
pemerintahan dan keadilan dalam bentuk kerajaan, kenduri, sedekah kepada para Brahmana.
Nampak agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja, yakni raja menghormati kaum
agamawan. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan selanjutnya seperti kerajaan Taruma
Negara, kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dari abad ke-8
sampai ke-12 dan Kerajaan Dinasti Syailendra, dan Kediri, Singasari maupun Majapahit di
Jawa Timur, dari abad ke-12 sampai ke-15M.
Sejak abad ke-7, kerajaan Sriwijaya telah menjadi kekuatan dagang dan budaya yang
mengagumkan. Walaupun bahasa Sansekerta digunakan kerajaan ini, namun bahasa yang
umum dipakai secara luas adalah bahasa Melayu, dan kerajaan dalam menjalankan sistem
negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai Ketuhanan. Kerajaan Majapahit melanjutkan
kejayaan Nusantara sebagai kekuatan bahari dengan memanfaatkan jejak-jejak yang
diwariskan oleh Sriwijaya. Meluasnya kekuasaan Majapahit diduga tidak terlepas dari
Sumpah Palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada. Isi sumpah tersebut memuat citacita untuk mempersatukan seluruh nusantara raya.Semasa kerajaan Majapahit, kehidupan
beragama antara agama Hindu dan Budha berlangsung damai, karena berdasarkan pada
"Pancasila Krama" dan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan konsep pengelolaan keragaman
bangsa Indonesia, 600 tahun mendahului konsep multikulturalisme yang sekarang
diperkenalkan Barat.
Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos
masyarakat Nusantara, yakni meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan
masyarakat perkotaan dengan konsepsi “kesetaraan”dalam hubungan antarmanusia, konsepsi
“pribadi” yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah)
yang “linear”, menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar .Pengaruh Islamisasi mulai
dirasakan secara kuat pada abad ke-13, dengan bermunculan Kerajaan Samudera-Pasai,
Kerajaan Demak,Giri, Pajang, Mataram Islam, Banten, Cirebon, Aceh, Goa,Ternate, Tidore,
Bacan, Jailolo dan Banjar.
Tes Formatif 2
1.

Bukti tertulis tentang kehidupan bangsa Indonesia ditandai oleh kehadiran prasastiprasasti berhuruf Pallawa dan Pranagari dalam bentuk yupa diperkirakan pada tahun
400m di Kutai
a. Tugu
b. Tugu batu
c. Tiang batu
d. Tiang kayu

2.

Isi prasasti pada intinya menginformasikan bahwa raja Mulawarman mengadakan
kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana, dan para Brahmana
membangun yupa sebagai tanda terima kasih raja yang dermawan. Berdasarkan isi
prasasti Kerajaan Kutai telah membuka sejarah bangsa Indonesia dan
menggambarkan khususnya kerajaan dan masyarakat Kutai tentang nilai-nilai
Pancasila, khususnya :
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
e. Keadilan

14

3.

Kerajaan Kutai merupakan jenis kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat
kewibawaan raja, yakni raja menghormati kaum agamawan, begitu pula dengan
kerajaan Taruma Negara, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singasari maupun
Majapahit di Jawa Timur. Hal demikian menunjukkan bahwa alam kehidupan
bernegara nilai-nilai .....................telah menjadi pilar utama dalam kehidupan
bernegara dan pemerintahan:
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
f. Keadilan

4.

Sejak abad ke-7, kerajaan Sriwijaya telah menjadi kekuatan dagang dan budaya
yang mengagumkan. Walaupun bahasa Sansekerta digunakan kerajaan ini, namun
bahasa yang umum dipakai secara luas adalah bahasa Melayu. Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila telah diaplikasikan kehidupan
berbangsa dan bernegara, bahkan bermasyarakat, yakni utamanya nilai :
a.
Ketuhanan
b.
Kemanusiaan
c.
Persatuan,
d.
Pemerintahan
e.
Keadilan

5.

Dalam sistem pemerintahannya, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci, sehingga pada saat itu
kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dari nilainilai:
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
e. Keadilan

6.

Adanya Universitas agama Budha di kerajaan Sriwijaya dan sangat terkenal di
Asia, serta banyak musafir dari negara lain, misalnya dari Cina belajar terlebih
dahulu di universitas itu, terutama tentang agama Budha dan bahasa Sansekerta,
sebelum melanjutkan studinya ke India, bahkan banyak guru-guru besar tamu dari
India yang mengajar di Sriwijaya, misalnya Dharmakitri. Fenomena demikian selain
diaktualisasikannya nilai Ketuhanan dalam kehidupan bernegara dan keilmuan, juga
menunjukkan kualitas aktualisasi dari nilai ................yang mendunia.
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
e. Keadilan

15

7.

Meluasnya kekuasaan Majapahit diduga tidak terlepas dari Sumpah Palapa yang
diucapkan Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1331. Isi sumpah Gajah Mada
tersebut memuat cita-cita untuk mempersatukan seluruh nusantara raya. Hal
demikian sesuai dengan nilai-nilai :
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
e. Keadilan

8.

Semasa kerajaan Majapahit, kehidupan beragama antara agama Hindu dan Budha
berlangsung damai, karena berpedoman pada "Pancasila Krama" dan “Bhinneka
Tunggal Ika”. Kedua konsepsi ini merupakan aktualisasi dari perilaku :
a. Saling menghargai
b. Toleransi positif
c. Saling menghormati
d. Toleransi aktif

9.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan konsep pengelolaan keragaman bangsa
Indonesia, konsep ini telah 600 tahun mendahului konsep multikulturalisme yang
sekarang diperkenalkan Barat. Hal demikian merupakan pengelolaan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan nilai-nilai :
a. Ketuhanan
b. Kemanusiaan
c. Persatuan,
d. Pemerintahan
e. Keadilan

10. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos

masyarakat Nusantara, yakni meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan
masyarakat perkotaan dengan konsepsi, kecuali
a.
Kesetaraan dalam hubungan antarmanusia,
b.
Pribadi yang mengarah pada pertanggungjawaban individu,
c. Waktu (sejarah) yang “linear”
d.
Waktu (sejarah) yang melingkar

Setelah kalian mengerjakan Tes Formatif 2 di atas, cocokanlah jawaban kalian dengan Kunci
Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir Modul 2 ini. Hitunglah jawaban anda
yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini, untuk mengetahui tingkat penguasaan
kalian terhadap materi Kegiatan Belajar 2.
Rumus :
Jumlah jawaban kalian yang benar
Tingkat penguasaan =

X 100 %

16

10

Arti tingkat penguasaan yang kalian capai :
90 %
80 %
70 %

<

100%
89%
79%
70%

=
=
=
=

baik sekali
baik
cukup
kurang

Apabila tingkat penguasaan kalian mencapai 80% ke atas, Bagus ! Kalian dapat meneruskan
dengan Kegiatan Belajar 3. Tetapi bila tingkat penguasaan kalian masih di bawah 80%,
kalian harus mengulang Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum kalian kuasai.

17

Kegiatan Belajar 3
Era Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah
Dalam kegiatan belajar pada bagian 3 ini, kalian diajak untuk memahami latar
belakang kedatangan bangsa-bangsa penjajah, dan bagaimana strategi dan taktik mereka,
yang pada mulanya hanya sebatas perusahaan dagang, tapi kemudian mampu menguasai
bangsa Indonesia yang dulunya besar, hingga porak-poranda menjadi jajahan sebuah negara.
Dampaknya membawa kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan, hingga akhirnya disadari
bahwa pendidikan, organisasi yang diikat oleh persatuan dan kesatuan, maka bangsa
Indonesia mampu mencapai kemerdekaan.
1. Perjuangan Berbasis Kedaerahan
Kekayaan rempah-rempah di Nusantara dan potensi keuntungan yang besar dari
perdagangan komoditi ini di Erofah mendorong bangsa-bangsa Erofah menjelajahi
samudera, untuk mendatangi Nusantara. Kedatangan mereka yang semula berdagang,
ternyata menumbuhkan keser