BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Nyeri 1.1 Defenisi Nyeri - Intensitas Nyeri Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Nyeri

1.1 Defenisi Nyeri

  Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer & Bare 2002).

  Nyeri adalah sebuah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut (definition of the taxonomy committee of the international association for the study of pain), ( Alexander and Hill, 1987).

  Mouncastle mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori

  yang dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan jaringan, dapat disimpulkan adalah ketika seorang terluka (secara fisis).

  Defenisi di atas merupakan defenisi yang diterima sebagai defenisi medis, meskipun begitu defenisi diatas hanya membatasi nyeri sebagai bentuk dari kerusakan jaringan tubuh (Prasetyo, 2010).

  Ardinata (2007) dalam jurnal keperawatan Rufaidah Sumatera Utara volume 2, mengemukakan bahwa nyeri sering diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, akan tetapi nyeri dapat saja timbul tanpa adanya injury dimana nyeri timbul tanpa berhubungan dengan sumber yang diidentifikasi. Ardinata melanjutkan bahwa nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut.

  Konsep nyeri secara psikologis di kemukakan oleh strenbach yaitu nyeri merupakan suatu hal yang abstrak , dimana nyeri terdapat padanya : a.

  Personality, dimana sensasi terhadap nyeri yang dirasakan individu satu bersifat pribadai (subjectif), artinya antara individu satu dengan yang lainnya mengalami sensasi nyeri yang berbeda.

  b.

  Adanya stimulus yang merugikan sebagai peringatan terhadap kerusakan jaringan.

  c.

  Pola respon dari indvidu terhadap nyeri, sebagai alat proteksi untuk melindungi dirinya dari kerugian yang ditimbulkan oleh nyeri.. Dalam ilmu keperawatan, defenisi yang dikemukaan oleh

  McCaffery (1980) sering menjadi pedoman dalam mengartikan nyeri, yaitu segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan merasakan nyeri. Defenisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan , sehingga hanyalah orang yang merasakan yang paling akurat dan tepat dalam mendefenisikan nyeri (Prasetyo, 2010).

  Peran utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien bahwa itu ada. (Smeltzer & Bare, 2002).

1.2 Klasifikasi Nyeri

  Kategori dasar dari nyeri yang secara umum diketahui ada dua kategori, yaitu nyeri akut dan nyeri kronik (Smeltzer & Bare, 2002).

  Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (meinhart & McCafery, 1983). Nyeri akut mengidentifikasi bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi, hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

  Nyeri akut berlangsung beberapa jam dalam sehari, dan sering disertai dengan tanda-tanda fisik seperti detak jantung cepat, berkeringat, pucat, dan gangguan tidur. Contoh nyeri akut termasuk rasa sakit dari lengan yang patah atau operasi (Bonica, 1990) diambil dari Suza (2007).

  Nyeri akut berdurasi singkat, memiliki onset yang tiba-tiba, dan terlokalisir. Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi. Hampir semua individu pernah merasakan nyeri ini, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri oto, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan (Prasetyo, 2010).

  Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan prilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai. Klien akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan (Prasetyo, 2010). Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan. (Smeltzer & Bare, 2002).

  Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkiran dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobatinya karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri kronik berlangsung lebih lama dari pada nyeri akut, intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (Prasetyo, 2010).

  Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronik maligna dan nyeri kronik nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan , nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2006), diambil dari wardani (2011).

  Berikut dibawah ini perbedaan antara nyeri akut dan nyeri kronis, yang dikutip dari Port CM. Pathophysiologi ; Concepts of Altered health State, ed. Ke- 4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995.

  Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

  Tujuan Memperingatkan klien terhadap adanya cedera/masalah

  Memberikan alasan pada klien untuk mencari, informasi berkaitan dengan perawatan dirinya.

  Awitan Mendadak Terus menerus/intermittent Durasi Intensitas

  Durasi singkat (dari beberapa detik sampai 6 bulan) Ringan sampai berat

  Durasi lama (6 bulan/lebih) Ringan sampai berat

  Respon

  • Frekuensi jantung • Tidak terdapat respon
Otonom meningkat, volume sekuncup meningkat

  • Vital sign dalam batas normal
  • >Tekanan darah meningkat
  • Dilatasi pupil meningkat
  • Tegangan otot meningkat
  • Motilitas gastrointestinal menurun
  • Alira saliva menurun otonom
  •   Respon Psikologis

      Anxietas

    • Depresi • Keputusasaan • Mudah tersinggung/marah

      Respon Fisik/Prilaku

    • Menangis/mengerang
    • Mengerutkan dahi
    • Menyeringat • Mengeluh s
    • Keterbatasan gerak
    • Kelesuan • Penurunan libido
    • Kelelahan/kelemahan
    • Mengeluh sakit hanya ketika dikaji Contoh Nyeri bedah, Trauma Nyeri kanker, arthritis, euralgia.

      Tabel.1. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis

    1.3 Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.

      Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu- abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel- sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dikutip dari Potter & Perry 2005).

    1.3.1 Stimulus Nyeri

      Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus dan reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010).

      Terdapat beberapa jenis sitimulus nyeri menurut Prasetyo (2010), diantaranya:

      Faktor penyebab Contoh

      Mikroorganisme (virus, Meningitis bakteri, jamur dll) Kimia Tersiram air keras Tumor Ca. Mamae Iskemia jaringan Jaringan miokard yang mengalami iskemia karena gangguan aliran darah pada arteri koronaria

      Listrik Terkena sengatan listrik Spasme Spasme otot Obstruksi Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus Panas Luka bakar Fraktur Fraktur femur Salah urat Keseleo, terpelintir Radiasi Radiasi untuk pengobatan kanker Psikologis Berduka, konflik dll

      Tabel 2. Stimulus nyeri

      Dikutip dari : Sjamsuhidrajat (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC

    1.3.2 Reseptor Nyeri

      Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan-perubahan particular disekitarnya, kaitannya dengan proses terjadinya nyeri maka resptor- reseptor inilah yang menangkap stimulus-stimulus nyeri.reseptor ini dapat terbagi menjadi : 1.

      Exteroresptor Yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap perubahan pada lingkungan eksternal, antara lain : a.

      Corpusculum miessineri, corpus merkel : untuk merasakan stimulus taktil (sentuh/rabaan).

      b.

      Corpusculum Krausse, untuk merasakan rangsangan dingin c.

      Corspusculu Ruffini, untuk merasakan rangsangan panas, merupakan ujung saraf bebas yang terletak di dermis dan sub kutis.

      2. Telereseptor Merupakan reseptor yang sensitive terhadap stimulus yang jauh.

      3. Propioseptor Merupakan reseptor yang menerima impuls primer dari organ otot, spindle dan tendon golgi.

    4. Interoseptor

      Merupakan reseptor yang sensitif terhadap perubahan pada organ-organ visceral dan pembuluh darah. Beberapa penggolongan lain dari resptor sensori : 1.

      Termoreseptor, reseptor yang menerima sensasi suhu (panas atau dingin).

    2. Mekanoreseptor, reseptor yang menerima stimulus- stimulus nyeri.

      Kemoreseptor, reseptor yang menerima stimulus kimiawi.

    1.3.3 Pathways Nyeri

      Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/ transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/ perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999).diambil dari Ardinata (2007).

      Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan (Ardinata, 2007).

      Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu serabut A-Delta), sedangkan slow pain (nyeri lambat) biasanya dicetuskan oleh serabut saraf C. serabut saraf A-delta mempunyai karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi, dan serabut C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi tajam, teralokasi, dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan implus yang tidak terlokalisasi (bersifat difusi), visceral dan terus-menerus (Prasetyo, 2010).

      Tahapan selanjutnya adalah transmisi, Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber- axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. (Ardinata, 2007).

      Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui traktus paleospinothalamus pada bagian tengah medulla spnilasis.

      Impuls ini memasuki formatio retikularis dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan emosi, sehingga timbul respon terkejut, marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebar-debar (Prasetyo, 2010).

      Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociseptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor (Ardinata, 2007).

    1.4 Teori Nyeri

    1.4.1 Teori Spesifik

      Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke- 17. teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri, 2006)

      1.4.2 Teori Pattern Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantarkan nyeri secara capat dan serabut yang menghantarkan nyeri secara lambat. Stimulasi dari serabut saraf ini membentuk sebuah “pattern/pola”. Teori ini juga mengenalkan konsep “Central Summation” dimana impuls perifer dari kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana hasil penyatuan impuls diteruskan ke otak untuk diinterprestasikan (Prasetyo, 2010).

      1.4.3 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control) Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulkan teori mekanisme nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjel askan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri (Tamsuri, 2006).

      Melzack & Wall (1965), teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interaksi dari dua sistem, dua sistem tersebut adalah : a.

      Substansia gelatinosa pada dorsal horn dimedulla spinalis.

      b.

      Sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang otak.

      Teori gate control menggambarkan bahwa ada mekanisme pintu gerbang pada ujung syaraf ruas tulang belakang (spinal cord) yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat.

      Mekanisme pintu gerbang ini dipengaruhi oleh aktifitas A- Beta berdiameter besar, A-Delta berdiameter kecil dan serabut c serta pengaruh dari otak. Bila pintu tertutup berakibat tidak ada nyeri; pintu terbuka, nyeri ; sebagian pintu terbuka, nyeri kurang.

      Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di spinal cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari (Reeder - Martin, 1984 ; Flynn & Heffron, 1984). Sereblum dan thalamus disebut sebagai pusat control nyeri oleh melzak & Wall (1965). Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung ke serebrum. Pusat control memproses informasi dari 3 sumber, yakni informasi sensori - diskriminatif, informasi motivasi- afektif dan informasi kognitif- evaluatif. Karena rangsangan nyeri diproses dalam konteks yang individual, variasi yang luas dari respon nyeri dapat diamati (Flynn & Heffron, 1984 ; marie, 2002).

      Teori ini menjelaskan bagaimana aktivitas tertentu menurunkan persepsi nyeri. Respons pertama individu yang terpukul ibu jarinya dengan palu adalah memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut atau dalam air dingin. Aksi ini menstimulasi serabut tidak nyeri dalam tempat reseptor yang sama dengan serabut perasa nyeri diaktifkan. Stimulasi sejumlah besar serabut tidak nyeri, yang bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu dorsalis, menghambat (sampai suatu tingkat) transmisi sensasi nyeri dalam jaras asenden.

    1.5 Faktor yang mempengaruhi nyeri

      McCaffery dan Pasero (1999) mneyatakn bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Oleh karena itu dikatakan klien sebagai expert tentang nyeri yang ia rasakan. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi masing-masing individu terhadap nyeri. Seorang perawat harus menguasai dan memahami faktor-faktor tersebut agar dapat memberikan pendekatan yang tepat dalam pengkajian dan perawatan terhadap klien yang mengalami masalah nyeri (Prasetyo, 2010). Faktor-faktor tersebut antara lain :

      1.5.1 Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak- anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak- anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005).

      Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata- kata juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua orang tuanya ataupun pada perawat. Sebagian anak-anak terkadang segan untuk mengungkapkan keberadaan nyeri yang ia alami, mereka takut akan tindakan perawatan yang harus mereka terima nantinya (Prasetyo, 2010). Pada lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri.

      Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakitnya berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama. (Prasetyo, 2010).

      1.5.2 Jenis Kelamin Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri

      (Gil, 1990 dikutip dari Potter & Perry, 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki- laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

      Penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormone seks testosterone menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Bagaimanapun, pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, social, budaya dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

    1.5.3 Kebudayaan

      Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda (Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002).

      Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger, 1992).

      1.5.4 Makna Nyeri Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi tehadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul oleh pasangannya (Prasetyo, 2010).

      1.5.5 Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat, dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

      1.5.6 Perhatian Tingkat perhatian seorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan penurunan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing dan masase (Prasetyo, 2010).

      1.5.7 Ansietas Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).

      1.5.8 Keletihan Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Prasetyo, 2010).

      1.5.9 Pengalaman Sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri (Prasetyo, 2010).

    1.5.10 Dukungan Keluarga dan sosial

      Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Prasetyo, 2010).

    1.6 Pengkajian Nyeri

      Pengkajian nyeri yang factual (terkini), lengkap dan akurat akan memudahkan dalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan diagnosa keperawatan yang tepat, merencanakan pengobatan yang tepat dan memudahkan dalam mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang diberikan (Prasetyo, 2010).

      Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh klien. Donovan & Girton (1984) mengidentifikasi komponen-komponen tersebut, diantaranya : a.

      Penentuan ada tidaknya nyeri Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika klien melaporkan adanya nyeri, walaupun dalam observasi tidak ditemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata.

      b.

      Karakterisitik nyeri (Metode P, Q, R, S, T) Faktor Pencetus ( P: provocate)

       Perawat dalam mengkaji tentang penyebab atau stimulus- stimulus nyeri ada klien, dalam ini perawat juga dapat melakukan observasi bagian-bagian tubuh yang mengalamai cedera. Apabila dicurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan apa yang mencetuskan nyeri.

       Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat-kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti ditindih, perih, tertusuk, dan lain- lain, dimana tiap-tiap klien mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakannya.

      Kualitas (Q: Quality)

       Untuk mengkaji lokasi nyeri, maka klien diminta untuk menunjukkan semua bagian yang dirasakan tidak nyaman

      Lokasi (R: Region) oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, minta klien untuk melacak nyeri dari titik yang paling nyeri.

       Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau nyeri berat. Namun kesulitannya adalah makna dari istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien serta tidak adanya batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan berat. Hal ini juga bisa disebabkan karena memang pengalaman nyeri pada masing-masing individu berbeda-beda.

      Keparahan (S: Severe)

    1.7 Nyeri Post Operasi

      Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbeda- beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri post operasi.

      Nyeri post operasi biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri post operasi merupakan topik yang menarik untuk dibahas dalam lingkup keperawatan. Dengan menggali nyeri post operasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan nyeri post operasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari nyeri post operasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).

      Toxonomi Comitte of the international Association untuk pembelajaran tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan terminology suatu kerusakan (Alexander, 1987 ).

      Nyeri post operasi adalah suatu reaksi yang kompleks pada jaringan yang terluka pada proses pembedahan yang dapat menstimulasi hypersensitivitas pada system syaraf pusat, nyeri ini hanya dapat dirasakan setelah adanya prosedur operasi (www.surgeryencyclopedia.com). Nyeri post operasi dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi persepsi pasien tentang perkembangan dan kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri yang dirasakan pasien, maka makin rendah harapan sembuh menurut pasien berdasarkan sifat subjektif nyeri, sulit mendapatkan hubungan langsung antara intensitas nyeri dengan tingkat komplikasi post operasi secara fisik dan psikologis. Walaupun intensitas nyeri berhubungan dengan peningkatan kolaps beberapa alveoli di paru - paru (atelektasis) pada pasien bedah jantung (Puntillo & Weiss, 1994, diambil dari Torrance & surginson, 1997).

      Operasi pembedahan, seperti luka karena kecelakaan atau penyakit, menghasilkan kerusakan jaringan lokal dengan akibat pelepasan zat alogenic dan dari rentetan rangsangan berbahaya, yang transduser oleh nociceptor ke impuls yang ditransmisikan ke neuraxis dengan A delta dan C serat. Alogenic zat seperti kalium dan ion hidrogen, asam laktat, serotonin, bradikinin dan prostaglandin yang merangsang dan nociceptors sensitif yang bertahan setelah operasi (Suza, 2007).

      Menurut Mc. Caffery (Diambil dari Tamsuri, 2006). Teknik yang diterapkan dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmalogis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa pengobatan).

      Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti- Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate sepertu mu, delta, dan alpa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat.

      Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat. Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid Anti- InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2006).

      Terapi pada nyeri post operasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR, 1992 dikutip dar Potter & Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992 dikutip dari Potter & Perry 2005).

    2. Fraktur

      2.1 Defenisi

      Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2005).

      Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Brunner & Suddarth, 2002). Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya.

      Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupatrauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula dan juga dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

      2.2 Klasifikasi Fraktur

      Sjamsuhidajat (2005) mengatakan Fraktur dapat dibagi menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka yang memungkinkan kuman dari luar masuk ke luka sampai ke tulang yang patah.

      Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang, derajat fraktur terbuka dapat dilihat pada tabel berikut :

      Derajat Luka Fraktur

      I Laserasi < 2 cm Sederhana, dislokasi fragmen minimal

      II Laserasi > 2 cm. kontusi otot Dislokasi fragmen jelas sekitarnya

      III Luka kebar, rusak hebat atau Kominutif, segmental, hilangnya jaringan di sekitarnya fragmen tulang ada yang hilang

      Tabel 3. Derajat fraktur terbuka

      Dikutip dari : Sjamsuhidrajat (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC

      Fraktur juga dapat dibagi menurut garis frakturnya, misalnya patah tulang sederhana, patah tulang kominutif pengecilan, patah tulang segmental, patah daun hijau, fraktur impaksi, fraktur kompresi, fraktur impresi. Ada juga fraktur yang tidak disebabkan oleh trauma, tetapi disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang dan disebut fraktur patologis (Sjamsuhidajat, 2005).

      Fraktur lainnya adalah fraktur fisura, yang disebabkan oleh beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur kelelahan, akan tetapi fraktur fisura lebih sering disebabkan cedera (Sjamsuhidajat, 2005). Berikut tabel yang menjelaskan fraktur menurut garis frakturnya

      Jenis Contoh Fisura Diafisis Metatarsal Serong sederhana Diafisis metacarpal Lintang sederhana Diafisis tibia Kominutif Diafisis femur Segmental Diafisis tibia Dahan hijau Diafisis radius pada anak Kompresi Korpus vertebra Th XII Impaksi Epifisis radius distal Impresi Tulang tengkorak Patologis Tumor diafisis humerus

      Tabel 4. Jenis fraktur

      Dikutip dari : Sjamsuhidrajat (2005). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : EGC

    2.3 Jenis fraktur ekstremitas bawah

      Menurut Lewis et al (2000) jenis-jenis fraktur pada bagian ekstremitas bawah, antara lain :

      2.3.1 Fraktur collum femur (fraktur hip) Mekanisme fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung (direct) dan trauma tidak langsung (indirect). Trauma langsung (direct) biasanya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras. Trauma tidak langsung (indirect) disebabkan gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala femur terikat kuat dengan ligamen didalam acetabulum oleh ligamen iliofemoral dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur didaerah collum femur. fraktur leher femur kebanyakan terjadi pada wanita tua (60 tahun keatas) dimana tulang sudah mengalami osteoporosis.

      2.3.2 Fraktur subtrochanter femur Fraktur subtrochanter femur ialah dimana garis patah berada 5 cm distal dari trochanter minor. Mekanisme fraktur biasanya trauma langsung dapat terjadi pada orang tua biasanya disebabkan oleh trauma yang ringan seperti jatuh dan terpeleset dan pada orang muda biasanya karena trauma dengan kecepatan tinnggi.

      2.3.3 Fraktur batang femur Mekanisme trauma biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak sehingga menimbulkan shock pada penderita. Secara klinis penderita tidak dapat bangun, bukan saja karena nyeri tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi keluar, terlihat lebih pendek dan bengkak pada bagian proximal akibat perdarahan kedalam jaringan lunak.

      2.3.4 Fraktur patella Mekanisme Fraktur dapat disebabkan karena trauma langsung atau tidak langsung. Trauma tidak langsung disebabkan karena tarikan yang sangat kuat dari otot kuadrisep yang membentuk muskulotendineus melekat pada patella. Hal ini sering disertai pada penderita yang jatuh dimana tungkai bawah menyentuh tanah terlebih dahulu dan otot kuadrisep kontraksi secara keras, untuk mempertahankan kestabilan lutut. Fraktur langsung dapat disebabkan penderita jatuh dalam posisi lutut fleksi, dimana patella terbentur dengan lantai.

      2.3.5 Fraktur proximal tibia Mekanisme trauma biasanya terjadi trauma langsung dari arah samping lutut, dimana kakinya masih terfiksir ditanah. Gaya dari samping ini menyebabkan permukaan sendi bagian lateral tibia akan menerima beban yang sangat besar yang akhirnya akan menyebabkan fraktur intraartikuler atau terjadi patahnya permukaan sendi bagian lateral tibia, dan kemungkinan yang lain penderita jatuh dari ketinggian yang akan menyebabkan penekanan vertikal pada permukaan sendi. Hal ini akan menyebabkan patah intra artikular berbentuk T atau Y.

    2.3.6 Fraktur tulang tibia dan fibula

      Mekanisme trauma biasanya dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian lebih dari 4 cm, fraktur yang terjadi biasanya fraktur terbuka. Sedangkan yang tidak langsung diakibatkan oleh gaya gerak tubuh sendiri. Biasanya fraktur tibia fibula dengan garis patah spiral dan tidak sama tinggi pada tibia pada bagian distal sedang fibula pada bagian proksimal. Trauma tidak langsung dapat disebabkan oleh cedera pada waktu olah raga dan biasanya fraktur yang terjadi yaitu tertutup.

      Gambaran klinisnya berupa pembengkakan dan karena kompartemen otot merupakan sistem yang tertutup, dapat terjadi sindrom kompartemen dengan gangguan vaskularisasi kaki.

    2.4 Tahap penyembuhan tulang

      Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

      2.4.1 Proses hematom.

      Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya (Sjamsuhidajat, 2005).

      2.4.2 Proses proliferasi.

      Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah (Pakpahan, 1996).

    2.4.3 Proses pembentukan callus

      Pada orang dewasa pembentukan callus antara 6-8 minggu, sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat terbentuk diluar tulang (subperiosteal callus) dan didalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang dibentuk dengan tidak teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga membentuk suatu callus tulang (Smeltzer & Bare, 2002).

      2.4.4 Proses konsolidasi (penggabungan) Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12 minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut dengan penggabungan atau penggabungan secara terus- menerus (Smeltzer & Bare, 2002).

      2.4.5 Proses remodeling.

      Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang, dan proses pengembalian bentuk seperti semula. Proses terjadinya remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Smeltzer & Bare, 2002).

    2.5 Penatalaksanaan fraktur

      Prinsip penatalaksanaan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula dan mempertahankan posisi tersebut selama masa penyembuhan (Sjamsuhidajat, 2005).

      Pada kasus fraktur ringan penatalaksaan hanya dengan metode reposisi, traksi, imobilisasi dengan cara membidai bagian tulang yang fraktur. Namun pada fraktur yang berat, metode reposisi dan fikasasi dilakukan dengan cara operatif (Sjamsuhidajat, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2002) Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien fraktur meliputi :

      1. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation/ORIF). Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukkaan paku, sekrup atau pin kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. Sasaran pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri dan disabilitas.

      2. Fiksasi eksternal, digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur comminuted (hancur & remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif. Fraktur complicated pada femur dan tibia serta pelvis diatasi dengan fiksator eksterna, garis fraktur direduksi, disejajarkan dan diimmobilsasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan kedalam fragmen tulang. Pin yang telah terpasang dijaga tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada kerangkanya, Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien, mobilisasi dini dan latihan awal untuk sendi disekitarnya.

      3. Graft Tulang yaitu penggantian jaringan tulang untuk stabilisasi sendi, mengisi defek atau perangsangan untuk penyembuhan.

      Tipe graft yang digunakan tergantung pada lokasi fraktur, kondisi tulang dan jumlah tulang yang hilang karena injuri.

      Graft tulang mungkin dari tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft). Graft tulang dengan autograft biasanya diambil dari bagian atas tulang iliaka, dimana terdapat tulang kortikal dan cancellous bone. Cancellous graft mungkin diambil dari ileum, olecranon, atau distal radius; cortical graft mungkin diambil dari tibia, fibula atau iga. Graft tulang dengan allograft dilakukan ketika tulang dari pasien itu tidak tersedia karena kualitas tidak baik atau karena prosedur sekunder tidak diinginkan pada pasien.