BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam (Studi Terhadap Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Mahasiswa merupakan kelompok kecil dari generasi muda yang berkesempatan mengenyam pendidikan formal di perguruan tinggi. Ia memiliki peran dan tanggung jawab sebagai mahasiswa yakni; tanggung jawab ideologis sebagai pewaris utama perjuangan bangsa, maupun tanggung jawab profesional yang dipersiapkan untuk menjadi ahli dalam bidang-bidang tertentu agar dapat berperan aktif dalam proses pembangunan.

  Pada umumnya keberadaan mahasiswa telah menjadi sorotan di mata masyarakat. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa merupakan puncak status bagi para pelajar yang nanti akan dapat memperbaiki kehidupan perekonomian keluarga. Selain itu mahasiswa di Indonesia khususnya juga telah mengambil arti penting dalam sejarah perkembangan bangsa. Peran mahasiswa dalam perubahan di Indonesia tidaklah terlepas dari peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi.

  Peran tersebut ditunjukkan melalui berbagai rangkaian aktifitas yang dilakukan mahasiswa, atau dengan kata lain rangkaian kegiatan mahasiswa tersebut dapat

  1 disebut dengan kata gerakan mahasiwa .

  Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa setiap gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap penguasa yang mengarahkan pada bergantinya rezim 1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gerakan mengandung arti (1) perbuatan

  atau keadaan bergerak ; (2) pergerakan, usaha, atau kegiatan dl lapangan sosial (politik dsb): ~ kaum buruh yang berkuasa pada saat itu, tidaklah terlepas dari kehadiran peran dan fungsi mahasiswa. Seperti peristiwa lengsernya kepemimpinan orde lama pada tahun 1966 menuju kepemimpinan orde baru, dan berakhirnya rezim orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun dengan peristiwa yang masih segar dalam ingatan yaitu reformasi tahun 1998.

  Peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Indonesia mengidentifikasikan bahwa mahasiswa memiliki peranan dalam perubahan. Keterlibatan mahasiswa dalam peristiwa yang dimaksud bukanlah merupakan gerakan yang diperankan secara individu-individu mahasiswa, melainkan peran mahasiswa hadir secara berkelompok atau kolektif. Gerakan seperti ini dapat terlihat dengan adanya segerombolan mahasiswa yang menentang kebijakan pada saat itu.

  Perjuangan mahasiswa juga tidaklah lepas dari peran dan fungsi organisasi mahasiswa. Hal itu dikarenakan organisasi dapat menjadi wadah untuk berinteraksi mahasiswa dengan sesama untuk memperluas pengetahuan dan pemahamannya. Selain itu organisasi mahasiswa secara khusus dapat menjadi kekuatan pemersatu di tataran mahasiswa untuk mempermudah mencapai tujuan. Kembali merujuk sejarah Indonesia, maka dapat disaksikan bahwa perjuangan

  2

  mahasiswa saat itu diwujudkan melalui organisasi mahasiswa . Seperti hal-nya juga pada tahun 1998 (peristiwa reformasi), di waktu itu organisasi-organisasi 2 Seperti gerakan mahasiswa angkatan tahun 1966 yang mengakibatkan lengsernya rezim

  orde lama dengan terbentuknya satu kekuatan besar yang terhimpun dari beberapa organisasi mahasiswa. Sejarah membuktikan pada saat itu mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasiMunculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain (http://www.scribd.com/doc/3262926/Sejarah-Perjuangan-Mahasiswa- Indonesia-1908). mahasiswa juga mengambil peran strategis dalam perlawanan terhadap rezim orde baru di antaranya; KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi), FORKOT (Forum Kota), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), KOMRAD (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi)

  „Prasetyantoko & Indriyo (2001:9)‟. Berdasarkan sejarah tersebut organisasi mahasiswa telah menjadi sarana mahasiswa untuk mengawal perubahan.

  Secara khusus di Universitas Sumatera Utara (USU) yaitu tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) terdapat beberapa organisasi mahasiswa yang masih menjalankan peran dan fungsinya untuk mengawal perubahan. Salah satu dari organisasi mahasiswa yang penulis maksud adalah organisasi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat (HMI) FISIP USU. Alasan penulis mengatakan HMI Komisariat FISIP USU adalah karena penulis melihat organisai tersebut aktif dalam merespon berbagai isu yang tidak pro terhadap kepentingan mahasiswa maupun masyarakat secara umum. Keaktifan tersebut dapat dilihat dari aksi-aksi yang dimotori HMI Komisariat FISIP di lapangan.

  Salah satu contohnya adalah aksi mengenai penolakan kenaikan uang SPP USU 2010, dan aksi penolakan kenaikan BBM bersubsidi yang direncanakan oleh pemerintah pada awal April 2012.

  Berdasarkan uraian dan paparan sebelumnya mengenai gerakan mahasiswa, maka secara khusus peran HMI Komisariat FISIP USU sebagai organisasi gerakan mahasiswa akan menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini penulis dapat mendeskripsikan setiap rangkaian kegiatan organisasi HMI Komisariat FISIP USU yang dapat mendukung terwujudnya aksi-aksi di lapangan. Hal tersebut juga dapat menjelaskan orientasi gerakan HMI Komisariat FISIP USU, isu dan wacana yang berkembang di tataran mahasiswa, dan tata cara organisasi menyampaikan aspirasinya. Adapun yang akan menjadi fokus tempat penelitian saya adalah kampus FISIP USU dan sekretariat organisasi HMI Komisariat FISIP USU .

  Kajian terhadap gerakan HMI Komisariat FISIP USU tersebut akan dilihat dalam sudut pandang antropologis. Antropologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kompleksitas kehidupan secara komprehensif, maka aktifitas HMI Komisariat FISIP USU akan ditelusuri dengan pendekatan Antropologi. Kaitan permasalahan di atas dengan antropologi dapat dilihat dari tata cara pelaksanaan organisasi, fungsi organisasi, individu yang menjalankan peran di organisasi dan tata cara organisasi memaksa tujuannya. Hubungan tersebut juga dapat dilihat dari nilai yang terkandung di organisasi, dan tata cara nilai tersebut disosialisasikan sehingga adanya identitas bagi organisasi.

1.2. Rumusan Masalah.

  Berdasarkan uraian di latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana gerakan mahasiswa yang diperankan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU? Rumusan masalah tersebut akan dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai ruang lingkup penelitian yakni :

1. Apa Visi dan Misi didirikan HMI Komisariat FISIP USU? 2.

  Apa nilai yang terkandung di HMI Komisariat FISIP USU? 3. Bagaimana organisasi HMI Komisariat FISIP USU membangun gerakan mahasiswa di lingkungan kampus maupun di luar lingkungan kampus? 4. Seperti apa aksi-aksi mahasiswa yang diperankan HMI Komisariat

  FISIP USU untuk mempengaruhi kebijakan pihak yang memiliki otoritas?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

  Penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan tentang gerakan mahasiswa di organisasi HMI Komisariat FISIP USU. Oleh karena itu, penulis akan mendeskripsikan visi dan misi organisasi berdiri, nilai yang terkandung di komisariat, serta aksi-aksi yang dilakukan komisariat untuk mempengaruhi kebijakan. Secara akademis penelitian ini dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya Antropologi. Secara praktis penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan atau masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal membuat kebijakan, dan hal-hal yang terkait dengan organisasi gerakan mahasiswa.

1.4. Tinjauan Pustaka

  Mahasiswa merupakan sekelompok generasi muda yang terdaftar secara administratif di perguruan tinggi. Keterikatan generasi muda tersebut terhadap perguruan tinggi telah mengharuskan generasi muda itu untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai akademisi (menuntut pengetahuan serta menggali dan mengembangkan khasanah keilmuan atau belajar). Konsumsi pengetahuan yang didapatkan secara terus menerus memunculkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir secara sistematis dan komprehensif dalam melihat sesuatunya. Hal ini menjadikan mahasiswa orang-orang yang memiliki kemampuan intelektulitas.

  Terdapatnya kemampuan tersebut akan menjadikan mahasiswa semakin kritis ketika ada pandangan yang tidak lazim menurut pemikirannya (idealisme).

  Implementasi dari sikap kritis tersebut akan menuju pada pola-pola tindakan mahasiswa yang berusaha mengembalikan suatu kondisi pada kondisi yang ideal. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Syari‟ati (1998:42) bahwa orang yang memiliki intelektualitas adalah orang mempunyai tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang dimaksud seperti mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya, dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya.

  Sejarah perkembangan Indonesia telah membuktikan bahwasannya mahasiswa ikut mengambil peran dalam perubahan. Seperti apa yang dipaparkan Suharsih & Kusuma (2007:37-38), mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang kritis dan memiliki intelektualitas. Mahasiswa sering dianggap sebagai agent of change dan control karena mahasiswa merupakan kelompok yang mampu

  agent of sosial mengenyam pendidikan sampai taraf tinggi.

  Kemampuan intelektualitas yang dimiliki mahasiswa mengarahkan mahasiswa untuk peka dengan kondisi. Kemampuan intelektualitas pada dasarnya berbasis pada teori-teori untuk menemukan suatu kebenaran dari pengetahuan, sehingga dengan teori-teori yang dimiliki mahasiswa dapat menilai suatu kondisi.

  Berdasarkan penilaian dari kondisi tersebut mahasiswa dapat menyimpulkan tepat atau tidaknya suatu keadaan dengan ide yang dimiliki. Ketika kondisi yang diketahui tidak sesuai dengan ide yang dimiliki, maka mahasiswa berusaha untuk menyesuaikan ide tersebut dengan kondisi. Dalam kaitannya dengan kondisi masyarakat, penyesuaian ide tersebut telah menagarahkan mahasiswa untuk melakukan aksi-aksi dalam berbagai tindakan yang dapat merubah kondisi atau lebih dikenal dengan gerakan mahasiswa

  Menurut Harapan & Basril (2000:3-4), gerakan mahasiswa merupakan seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subyektif mereka. Acapkali gerakan mahasiswa dimulai dari tuntutan-tuntutan menentang kebijakan pendidikan, terutama otoritas perguruan tinggi, kemudian bergerak menuju kebijakan nasional, kemudian kekuasaan pemerintah yang sedang berlangsung.

  Menurut Sanit (1999:32), ada lima faktor yang menjadikan mahasiswa peka dengan masalah kemasyarakatan, sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan yang terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah di masyarakat. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya jika mahasiswa mampu melakukan gerakan-gerakan yang solid untuk menciptakan suatu perubahan kearah yang lebih baik.

  Gerakan yang diperankan mahasiswa saat menyuarakan aspirasinya bukanlah merupakan gerakan individualis, melainkan gerakan kolektif. Sesuai dengan apa yang dikatakan Sunarto (2004:203) bahwa gerakan yang diperankan mahasiswa diklasifikasikan sebagai bentuk perilaku kolektif, maka dapat disebut sebagai gerakan sosial (social Movement). Gerakan sosial ditandai dengan adanya tujuan kepentingan bersama. Gerakan sosial dilain pihak ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya.

  Sejarah perlawanan mahasiswa di Indonesia khususnya merupakan gerakan kolektif. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa peristiwa sejarah Bangsa Indonesia yang telah dilalui. Seperti yang diketahui pada saat itu, keterlibatan organisasi mahasiswa telah menjadi faktor penentu dengan membawa wacana bersama untuk menolak rezim yang berkuasa.

  Organisasi-organisasi mahasiswa dan kelompok pemersatu (aliansi) mahasiswa telah menjadi kendaraan mahasiswa dalam gerakan mahasiswa seperti; Tanggal 25 Oktober 1966, pada saat itu mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi (http://www.scribd.com). Tahun 1998, beberapa organisasi terhimpun yang memberikan perlawanan di tahun 1998 adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kampus), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi), FORKOT (Forum Kota), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), KOMRAD (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi) „‟Prasetyantoko & Indriyo (2001:9)‟‟.

  Organisasi adalah sekumpulan individu yang tergabung dalam satu wadah. Bisa dipastikan sekumpulan orang ini memiliki kesamaan ide, keinginan dan kebutuhan, serta tujuan yang diwujudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bersama. Sesuai dengan definisi organisasi menurut Robbins (2001:4) bahwa organisasi diartikan sebagai suatu unit (satuan) sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, organisasi terdiri dari 2 orang atau lebih yang berfungsi atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama.

  Tujuan organisasi terdiri dari kumpulan nilai-nilai, nilai yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi acuan ideal bagi individu-individu dalam menentukan aturan hidupnya. Seperti halnya menurut Koentjaraningrat (1974), nilai merupakan konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran masyarakat dan organisasi mengenai hal-hal yang berarti dalam hidup. Dalam konteks nilai budaya organisasi, hal ini berarti pedoman atau kepercayaan yang dijadikan acuan dalam menjalankan tugas organisasi.

  Proses organisasi dalam rangka mencapai tujuan telah mewujud pada karakteristik organisasi sebagai identitas dari organisasi atau dapat disebut dengan budaya organisasi. Hal inilah yang membedakan antara setiap organisasi yang ada. Menurut Schein (dalam Sobirin, 2007:132), budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang. Setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi. Interaksi komisariat dengan setiap individunya mengharuskan individu tersebut berubah sesuai dengan inginnya komisariat. Sesuai dengan yang dikatakan oleh H Bonner (dalam Santoso, 1999:15) bahwa dalam interaksi sosial, kelakuan individu yang satu akan mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Interaksi yang dimaksud adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia.

  Perubahan yang diinginkan komisariat dari individu yang didekati adalah perubahan cara berpikir dan perubahan dalam berperilaku. Perubahan cara berpikir yang dimaksud yakni mahasiswa yang awalnya di kampus hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai dari dosen, menamatkan kuliah, dan meraih kerja yang layak berubah menjadi mahasiswa yang memiliki tanggung jawab sosial. Perubahan juga dapat dilihat dari mahasiswa yang awalnya hanya beranggapan proses belajar hanya di ruang-ruang kuliah, berubah menjadi sebaliknya dengan menganggap di mana saja dapat belajar. Perubahan-perubahan pola pikir tersebut telah mempengaruhi perilaku mahasiswa yang berinteraksi secara berkelanjutan dengan komisariat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Kurt Lewin (dalam Santoso 1999:5) bahwa tingkah laku individu sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Jadi jelaslah bahwa kelompok itu memang benar

  • –benar mempunyai pengaruh terhadap kehidupan individu.

  Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang masih melaksanakan perannya di kampus. Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU dalam menjalankan perannya di kampus tidaklah terlepas dengan nilai-nilai yang telah menjadi identitas kelompok atau dengan kata lain budaya organisasi. Kesamaan pola asumsi dasar di tubuh organisasi terbentuk karena adanya kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan secara bersama.

  Menurut Koenjaraniggrat (1982:140), adanya kesamaan antara individu satu dengan individu yang lainnya. Hal inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia dalam kelompok tersebut. Selanjutnya menurut Mutis (2007:106-121), sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan ini disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan.

  Menurutnya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal yang dimiliki manusia tersebut sifatya :

  1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada dikelompoknya.

  2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat (evolusi) maupun (cepat).

  Hal tersebut dikarenakan adanya proses sharing terjadi di antara sesama anggota. Proses sharing terjadi baik dalam bentuk formal maupun non formal. Seperti apa yang dikatakan Sunarto (2004:31), apabila hasil dari proses sharing ini terus disosialisasikan dan dimantapkan akhirnya akan membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu, relatif memiliki kesamaan kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif memiliki artefak atau meterial yang sama.

  Dalam kondisi tertentu HMI Komisariat FISIP USU saat melakukan aksi tidaklah tunggal, melainkan melibatkan jaringan jaringan-jaringan sosial yang dimilikinya. Menurut Andrian Mayer (dalam Sokadijo, 1987;36-37), jaringan merupakan suatu keseluruhan hubungan-hubungan antar manusia. Dalam teori jaringan itu tak terbatas, karena selera kehendak ego dari keseluruhan kehendak itu sejumlah orang tertentu dapat diklasifikasikan menjadi satu berdasarkan sesuatu kriterium. Kelompok- kelompok yang demikian itu disebut dengan „set‟.

  Sebagai contoh disebutnya kelas. Apabila seseorang mempunyai hubungan sementara tampa lebih lanjut, kelompok ini merupakan „set aksi‟ (action set).

  Yang demikian kelompok orang-orang yang ingin memilih calon tertentu sebagai anggota DPRD. Aksi atau kegiatan itu sementara, hanya sampai pemilihan, kemudian bubar. Di antara anggota-anggota tidak ada ikatan, hak atau kewajiban lain. Dalam suatu “aksi” yang biasanya memegang peranan ialah “para patron dan makelar‟”. Patron ialah orang yang dapat memberi sesuatu (misal, pimpinan aksi, koordinator aksi). Sumbernya sudah pasti terbatas dan ia bertanggung jawab atas perannya. Makelar adalah dia yang menjadi perantara antara pihak yang terkait. Bentuk terakhir antara individu dan kelompok yang ditunjuk oleh Mayer ialah “kelompok semu‟‟ (quasi group). Ini terbentuk kalau yang termasuk suatu sek aksi itu berulang kali orang-orang yang sama. Jadi dalam pola yang diusulkan oleh Mayer itu dapat ditentukan perkembangan dari jaringan kelompok.

  Selanjutnya menurut Boissevain (1974), beberapa konsep-konsep itu dikembangkan lebih lanjut. Mula-mula pengertian jaringan dianalisisnya lebih teliti lagi. Ia membedakan tiga bentuk jaringan:

  a. Jaringan intim, terdiri atas dengan orang-orang yang dihubungkan dengan ego.

  b. Jaringan efektif, terdiri atas orang-orang yang mengenal ego, dan tetapi hubungannya tidak mendalam; c. Jaringan luas, terdiri atas orang-orang yang tidak dikenal oleh ego, akan tetapi memang dapat berhubungan dengan dia: para „teman dari teman (Friends of Friends)

  Boissevain secara umum menjabarkan koalisi sebagai „kebersamaan sementara dari berbagai pihak untuk mencapai tuju an terbatas tertentu‟.

  Gerakan penolakan mahasiswa dapat termanifestasi melalui aksi-aksi politik, aksi tersebut dimulai dari yang bersifat sangat lunak hingga bersifat sangat keras yaitu: penyebaran poster, selebaran, tulisan di medai massa, diskusi-diskusi politik, lobby, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga negara, turun ke jalan secara massal, pendudukan fasilitas lembaga negara dan lain-lain. Ragam metode aksi-aksi di lapangan sesuai kondisi dan kesepakatan, hal tersbut memungkinkan aksi-aksi yang dimainkan mahasiswa bukanlah suatu kondisi yang statis melainkan dinamis.

  Dalam hal untuk mempengaruhi kebijakan, lobi dikenal dengan metode aksi yang paling lunak. Seperti yang dikatakan Robert Saliburry (dalam Lofland, 2003;287), Lobi merupakan bentuk paling dangkal dalam mempengaruhi kebijakan yang melibatkan usaha-usaha yang vulgar. Tiga variasinya adalah lobio professional, mobilisasi konstitusi dan interaksi informal antara elit kelompok dengan elit target. Dalam sebuah representasi, juru bicara kelompok dianggap telah mewakili (kepentingan kelompok secara terbuka menurut mekanisme lembaga yang menentukan kebijakan kelas. Mobilisasi komprehensif juga dilakukan untuk menyatukan kelompok-kelompok kepentingan dengan organisasi lain yang tujuan jangka panjangnya untuk mobilisasi dukungan masyarakat luas. Sebagai usaha untuk mengendalikan mekanisme kebijakan pemerintah dengan kata lain perjuangan diplomatis atau santun melibatkan persuasi tawar-menawar.

  Selanjutnya demontrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan bersama dengan melibatkan massa yang dimobilisasi untuk turun kepermukaan publik. Tujuan demontrasi juga pada intinya untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi dari kelompok. Sesuai dengan apa yang dikatakan Turner (dalam Lofland, 2003;287) bahwa aksi untuk menunjukkan atau membuktikan sesuatu dengan cara-cara yang nyata, dan mencolok, dan serta pengungkapan aspirasi kelompok secara publik.

  Seperti apa yang dikatakan Koentjaraninggrat (1980:96) bahwasannya manusia sebagai mahluk yang mengandung kemampuan akal, ia memiliki kemampuan untuk membentuk gagasan-gagasan, dan konsep yang makin lama makin tajam dalam memilih tindakan alternatif yang menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya. Gagasan dan konsep itu dapat dikomunikasikan dengan lambang-lambang vokal yang kita sebut bahasa, tidak hanya kepada individu- individu lain dalam kelompoknya, melainkan juga kepada keturunannya

  Saat ingin mempengaruhi kerbijakan, maka HMI Komisariat FISIP USU melakukan aksi-aksi. Bentuk dari aksi yang dilakukan HMI Komisariat FISIP USU cukup bervariasi. Pembagian aksi menurut Ralp Turner (dalam Lofland, 2003:289), aksi penolakan dibedakan menjadi persuasi, bargaining dan koersif.

  Lofland juga mengurutkan aksi aksi penolakan dimulai dari tingkat ketengangan yang terendah sampai pada tingkat ketegangan yang tinggi. Pertama kelas aksi penolakan yang berada pada tingkatan ketegangan terendah adalah „aksi simbolik‟ yaitu cara-cara yang teratur, tidak merusak dan kurang begitu aktraktif yang dilakukan secara kolektif untuk mengemukakan keluhan (misal: aksi jalan, parade). Aksi simbolik seperti ini, tergolong pada aksi yang bersifat persuasif.

  

Kedua aksi anti kerja sama/ noncooperation yaitu penolakan untuk meneruskan

  tatanan sosial yang telah ada (misal; pemogokan, penggembosan, boikot). Ketiga aksi intervensi yang dapat menghancurkan pola-pola, kebijakan dan hungan perilaku serta lembaga yang dianggap sebagai penghambat. Aksi ini cenderung melibatkan kekerasan. Aksi intervensi dapat dibagi menajdi empat pola intervensi sebagai berikut: 1.

  Harrasment (pelecehan), dilakukan melalui kegiatan-kegiatanb yang menentang orang dengan cara yang tidak lazim.

2. System overloading, karena terlalu banyaknya proses-proses yang diintervensi.

  3. Blockade, pemprotes secara temporer menghambat gerakan orang atau properti dari pihak yang ditentang

  4. Occupation/ pendudukan, yang dilakukan dengan „memasuki atau menolak meninggalkan tempat-tempat yang tidak diinginkan atau dari tempat yang terlarang.

1.5. Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bertipe deskriptif. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamanati (dalam Moleong, 2005:4). Penelitian ini berusaha menjelaskan tentang gerakan mahasiswa yang diperankan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU.

1.5.1. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi Berpartisipasi

  Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi

  3

  berpartisipasi . Observasi tersebut dilakukan dibeberapa titik lokasi penelitian seperti; Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, sekretariat HMI Komisariat FISIP USU, lokasi-lokasi yang menjadi titik aksi mahasiswa (Bundaran SIB, Kampus USU, DPRD). Pilihan-pilihan lokasi tersebut sesuai dengan informasi yang ingin didapatkan.

  Informasi mengenai aktifitas organisasi yang dapat mendukung komisariat sebagai organisasi gerakan mahasiswa dapat didapatkan di kampus, dan sekretariat HMI Komisariat FISIP USU. Informasi yang dimaksud tersebut seperti; informasi mengenai proses perekrutan dan pembinaan anggota, proses manajemen aksi, informasi mengenai aktifitas setiap bidang di kepengurusan komisariat, dan informasi mengenai agenda-agenda yang bertujuan memprofokasi pikiran mahasiswa. Sementara itu, informasi mengenai pola-pola aksi di lapangan didapatkan saat HMI Komisariat FISIP USU melakukan aksi di titik-titik lokasi yang dimaksud.

3 Observasi berpartisipasi dilakukan oleh peneliti dengan mengamati suatu gejala dalam

  kedudukannya sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan sosial dari orang-orang atau masyarakat yang ditelitinya. Dengan kata lain peneliti berpartisipasi dengan kegiatan-kegiatan yang diamanati oleh peneliti. Si peneliti mengamati dan mencoba memahami yang diamatinya tersebut dengan menggunakan kaca mata orang-orang yang ditelitinya

  ’emic view’ (Lubis, 2007.

  Artikel mengenai Modal Penelitian Metode Kualitatif).

  Selama melakukan observasi berpartisipasi, penulis tidak memiliki kendala untuk mendapatkan infomasi. Hal tersebut dikarenakan penulis adalah bagian dari keanggotaan HMI Komisariat FISIP USU. Status penulis tersebut sangatlah membantu penulis untuk mendapatkan informasi sesuai dengan yang dibutuhkan. Penulis dalam hal ini juga mendokumentasikan hasil dari observasi. Hal tersebut untuk menguatkan hasil dari observasi. Dalam hal mendapatkan infomasi tersebut penulis menggunakan kamera sebagai alat bantu.

b. Wawancara

  Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara

  4

  mendalam (depth interview) . Saat melakukan wawancara peneliti juga menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara ini sangat diperlukan sebagai poin-poin pertanyaan penting yang diajukan di lapangan. Peneliti juga menggunakan alat bantu bantu lainnya seperti buku tulis, pena, dan alat perekam saat melakukan proses wawancara. Informan tidak meresa terganggu dengan alat yang digunakan tersebut, karena saat proses berlangsug peneliti sudah meminta izin sebelumnya. Hal ini untuk memudahkan peneliti mengingat kembali saat penulisan dalam satu bentuk karya ilmiah. Peneliti melakukan hal tersebut dikarenakan peneliti sadar akan kekurangan peneliti untuk mengingat semua proses yang berlangsung, hal tersebut juga untuk menghindari wawancara yang berulang.

4 Wawancara Mendalam (depth interview) biasanya dilakukan dengan menggunakan

  pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yaitu, berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya (Lubis, 2007. Artikel mengenai Modal Pelatihan Metode Kualitatif).

  Wawancara yang dilakukan pada saat pelaksanaan bersifat kondisional. Penulis melakukan wawancara terbuka ataupun tertutup, terencana ataupun tidak terencana. Peneliti mewawancarai informan di berbagai tempat seperti; kantin FISIP USU, sekretariat HMI Komisariat FISIP, rumah-rumah senior atau alumni yang menjadi informan, dan lokasi-lokasi yang menjadi tempat kunjungan aksi HMI komisariat FISIP USU. Saat ingin mewawancarai senior atau alumni, maka penulis sebelumnya menghubungi senior ataupun alumni yang dimaksud untuk membuat janji bertemu, dan menjelaskan perihal maksud penulis. Dalam proses membuat janji tersebut, biasanya tempat yang disepakati untuk melakukan proses wawancara adalah rumah senior ataupun alumni dan warung nongkrong yang mudah dikunjungi. Sementara itu untuk melakukan proses wawancara bersama dengan pengurus HMI Komisariat FISIP USU, penulis tidak membuat janji sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pengurus komisariat dapat dengan mudah dijumpai di kampus dan di sekretariat HMI Komisariat FISIP USU.

  Wawancara juga dilakukan disaat komisariat melakukan aksi, untuk hal ini penulis sebelumnya harus terus meng-update informasi terkait dengan aksi-aksi yang dilakukan komisariat. Saat penulis mendapatkan informasi mengenai komisariat akan melakukan aksinya, maka penulis juga ikut menyertai massa aksi dan begitu mendapat kesempatan penulis langsung melakukan proses wawancara. Penulis tidak memiliki masalah untuk mendapatkan informasi, baik dari kalangan senioren, alumni ataupun anggota. Hal ini dikarenakan status penulis adalah angggota komisariat dan pernah menjadi pengurus komisariat.

  Di kepengurusan HMI Komisariat FISIP USU penulis pernah menjadi Departemen, Wakil Sekretaris Umum dan Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) HMI Komisariat FISIP USU. Pengalaman yang penulis miliki tersebut sangat membantu untuk mengumpulkan data sesuai dengan topik penelitian. Wawancara yang dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi seperti; sejarah HMI Komisariat FISIP USU, konstruksi nilai HMI Komisariat FISIP USU, peran pengurus komisariat selama satu periodesasi dari setiap bidangnya, wacana yang berkembang di HMI Komisariat FISIP USU, strategi gerakan komisariat, dan makna dari bentuk-bentuk aksi yang dilakukan.

1.5.2. Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian dalam hal ini adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU dan Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU.

  Alamat FISIP USU adalah Jalan Dr. Ahmad Sofyan No. 1, sedangkan alamat sekretariat HMI komisariat FISIP USU saat ini adalah Jalan Intisari No.16 Tanjung Rejo, Medan.

1.6. Analisa Data

  Penelitian ini menggunakan analisa data interpretatif kualitatif, yakni menganalisa data tentang gerakan mahasiswa di HMI Komisariat FISIP USU.

  Analisis data dilakukan dengan mengklasifikasikan data-data yang diperoleh dari lapangan ke dalam tema-tema, kategori-kategori. Peneliti melakukan pengecekan ulang atau check and recheck terhadap data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Keseluruhan data yang diperoleh dari lapangan kemudian diolah secara sistematis, sehingga peneliti kemudian menemukan tema-tema yang saling berkaitan. Kemudian diuraikan ke dalam bagian-bagian sub judul pada bab sesuai dengan temanya masing-masing, sehingga ditemukan sebuah konsep dan sebuah kesimpulan yang dapat menjawab persoalan penelitian.