BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Sosial - Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar (Studi Deskriptif di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Organisasi Sosial

  Organisasi adalah institusi masyarakat yang dominan di dalam kehidupan manusia. Seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal, mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial dengan aktif di organisasi kemasyarakatan, mengikuti perkumpulan yang menyalurkan hobi tertentu, mengikuti salah satu partai politik, dan pada saat meninggal kematiannya diatur oleh organisasi tertentu. Organisasi telah meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap hari seseorang hampir selalu berhubungan dengan berbagai organisasi dan sebagian besar waktunya dihabiskan dalam aktivitas organisasi. Hanya masyarakat primitif dan terasing saja yang tidak mempunyai organisasi (Ibrahim, 2003:63).

  Menurut Stephen Robbins (dalam Sobirin, 2007:5) organisasi adalah unit sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang terstruktur, dan didirikan untuk mencapai tujuan bersama atau satu set tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Organisasi sosial dapat diartikan sebagai perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Organisasi sosial merupakan tata cara yg telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang disebut dengan Asosiasi. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tata tertib, anggota dan tujuan yang jelas, sehingga berwujud kongkrit.

  Menurut Schein (dalam Ibrahim, 2003:67) bahwa di dalam organisasi ada koordinasi, tujuan bersama, pembagian kerja, dan integrasi. Koordinasi muncul dari adanya kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapannya seorang diri, setelah beberapa orang mengkoordinir usaha bersama maka mereka merasa lebih banyak berhasil daripada kalau mereka melakukan sendiri-sendiri. Tentu saja organisasi sudah mendarah daging menjadi suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi dan tujuan kelompok masyarakat yang nantinya akan menimbulkan keharmonisan dalam bermasyarakat.

  Alvin L. Bertrand (1980:25) mengemukakan pengertian organisasi sosial dalam arti luas adalah tingkah laku manusia yang berpola kompleks serta luas ruang lingkupnya di dalam setiap masyarakat. Organisasi sosial dalam arti khusus adalah tingkah laku dari para pelaku di dalam sub-sub unit masyarakat misalnya keluarga, bisnis dan sekolah. Selanjutnya Robin Williams (dalam Bertrand, 1980:26) mengemukakan bahwa organisasi sosial menunjuk pada tindakan manusia yang saling memperhitungkan dalam arti saling ketergantungan. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa pada saat individu melakukan interaksi berlangsung terus dalam jangka waktu tertentu, maka akan timbul pola-pola tingkah laku. JBAF Maijor Polak (1985:254) mengemukakan bahwa organisasi sosial dalam arti sebagai sebuah asosiasi adalah sekelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu, kepentingan tertentu, menyelenggarakan kegemaran tertentu atau minat-minat tertentu.

  Masalah organisasi terletak pada keberadan tujuan sebuah organisasi. Thompson (dalam Liliweri:1997), tujuan organisasi adalah suatu objek yang bersifat abstrak dari organisasi, dia merupakan cita-cita ideal yang harus dicapai oleh semua anggota organisasi. Tujuan organisasi merupakan pikiran yang mendominasi masa depan, dominasi itu yang mendorong anggota organisasi mengadakan koalisi. Tanpa adanya sebuah tujuan dalam pembentukan organisasi maka tidak akan ada manfaat dari sebuah organisasi. Karena tujuan organisasi merupakan bentuk mutlak yang ada dalam struktur keorganisasian agar dapat berdiri tegak sesuai dengan keinginan para anggotanya.

  Berdasarkan definisi organisasi sosial seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Sobirin (2007) organisasi pada dasarnya mempunyai lima karakteristik utama yaitu sebagai berikut :

  1. Unit atau entitas sosial, meski bukan sebagai realitas fisik, bukan berarti bahwa organisasi tidak membutuhkan fasilitas fisik. Fasilitas fisik seperti gedung, peralatan kantor, maupun mesin-mesin masih tetap dibutuhkan (meski tidak harus dimiliki) karena dengan fasilitas fisik inilah sebuah organisasi bisa melakukan kegiatannya. Di samping itu dari fasilitas fisik ini pula orang luar mudah mengenali adanya entitas sosial.

  2. Beranggotakan minimal dua orang, siapapun yang mendirikan organisasi atau berapapun banyaknya, yang pasti manusia dianggap sebagai unsur utama dari organisasi. Sebab tanpa keterlibatan unsur manusia sebuah entitas sosial tidak bisa dikatakan sebagai organisasi.

  Dengan kata lain salah satu persyaratan agar sebuah entitas sosial disebut sebagai organisasi adalah harus beranggotakan dua orang atau lebih agar kedua orang tersebut bisa saling bekerja sama, melakukan pembagian kerja dan agar terdapat spesialisasi dalam pekerjaan.

  3. Berpola kerja yang terstruktur, untuk dikatakan sebagai organisasi sebuah unit sosial harus bernaggotakan minimal dua orang di mana keduanya bekerja secara terkoordinasi dan mempunyai pola kerja yang terstruktur. Penjelasan ini menegaskan bahwa berkumpulnya dua orang atau lebih belum dikatakan sebuah organisasi manakala berkumpulnya dua orang atau lebih tersebut tidak terkoordinasi dan tidak mempunyai pola kerja yang terstruktur. Tanpa koordinasi dan pola kerja yang terstruktur, kumpulan dua orang atau lebih hanyalah sekedar kumpulan orang bukan organisasi.

  4. Mempunyai tujuan, organisasi didirikan bukan untuk siapa-siapa dan bukan tanpa tujuan. Organisasi didirikan karena manusia sebagai makhluk sosial, sukar mencapai tujuan individualnya jika segala sesuatu harus dikerjakan sendirian. Kalau dengan bekerja sendiri tujuan individual tersebut bisa tercapai tetapi akan lebih efisien dan efektif jika cara pencapaiannya dilakukan dengan bantuan orang lain melalui organisasi. Artinya tujuan didirikannya sebuah organisasi adalah agar sekelompok manusia yang bekerja dalam satu ikatan kerja lebih mudah mencapai tujuannya ketimbang mereka harus bekerja sendiri-sendiri.

  5. Mempunyai identitas diri, jika sekelompok manusia diorganisir untuk melakukan kegiatan maka jadilah sekelompok manusia tersebut entitas sosial yang berbeda dengan entitas sosial lainnya. Identitas diri sebuah organisasi secara formal misalnya bisa diketahui melalui akte pendirian organisasi tersebut yang menjelaskan siapa yang menjadi bagian dari organisasi dan siapa yang bukan, kegiatan apa yang dilakukan, bagaimana organisasi tersebut diatur atau siapa yang mengaturnya. Di samping itu organisasi juga dapat diidentifikasikan melalui variabel yang sifatnya informal dan sulit dipahami tetapi keberadaannya tidak diragukan. Variabel tersebut biasa disebut sebagai budaya. Organisasi sosial disebut juga dengan lembaga kemasyarakatan, pranata sosial atau institusi sosial. Menurut Koentjaraningrat (dalam Ibrahim, 2003:87), lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah suatu sistem dan norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Soerjono Soekanto (dalam Ibrahim, 2003:87) mendefenisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat.

  Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:99) dalam bukunya General

  

Features Of Social Institutions mengatakan bahwa ciri umum lembaga

  kemasyarakatan adalah sebagai berikut :

  1. Merupakan suatu organisasi yang berisi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan dalam hal ini berisi tata kelakuan, adat istiadat, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan yang secara langsung atau tidak tergabung dalam satu unit fungsional.

  2. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Dalam hal ini sistem kepercayaan dan tindakan yang lain baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama.

  3. Mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Sebagai contoh, suatu lembaga persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi yang bertujuan agar produksi berjalan secara efektif oleh karena para individu akan terpaut pada keuntungan yang akan diperolehnya kepada orang-orang yang mempunyai pengaruh serta mengetahui cara-caranya.

  4. Mempunyai alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, misalnya peralatan penggunaannya biasanya akan berlainan untuk masing-masing masyarakat.

  5. Mempunyai lambang-lambang yang berbeda, yang menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga tersebut. Misalnya sekolah-sekolah mempunyai lambang yang merupakan ciri khas sekolah tersebut.

6. Mempunyai tradisi yang tertulis maupun tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku.

  Selanjutnya Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:100) juga mengklasifikasikan lembaga kemasyarakatan sebagai berikut :

  1. Dari sudut perkembangannya, dibedakan menjadi crescive institution dan

  enacted institution. Crescive institution disebut sebagai lembaga primer, yaitu lembaga yang tak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat.

  Enacted institution, yaitu lembaga kemasyarakatan yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu.

  2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat dibagi menjadi

  basic institution dan subsidiary institution. Basic institution adalah

  lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, misalnya keluarga dan sekolah, sedangkan subsidiary institution adalah lembaga kemasyarakatan yang dianggap kurang penting, misalnya rekreasi.

  3. Dari sudut penerimaan masyarakat, dibagi menjadi social sanctioned-

  

institutions (approved) dan unsanctioned-institutions. Social sanctioned-

institutions adalah lembaga yang diterima masyarakat, misalnya sekolah.

  Dan unsanctioned-institutions adalah lembaga yang ditolak masyarakat, misalnya kelompok penjahat.

  4. Dari sudut penyebarannya, dibagi menjadi general institutions dan

  restricted institution. General institution adalah lenbaga kemasyarakatan yang dikenal hampir semua masyarakat di dunia, misalnya agama.

  Sedangkan restricted institution adalah lembaga yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu, misalnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

  5. Dari sudut fungsinya, dibagi menjadi operative institutions dan regulative

  institutions. Operative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang

  berfungsi untuk menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya lembaga industrialisasi. Sedangkan regulative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian yang mutlak dari lembaga tersebut, misalnya pengadilan.

  Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996) menyebutkan bahwa lembaga sosial memiliki dua fungsi yaitu :

  1. Fungsi manifes, yaitu fungsi yang diharapkan oleh banyak orang akan dipenuhi oleh lembaga itu sendiri, misalnya lembaga keluarga harus memelihara anak, lembaga pendidikan harus mendidik siwa-siswanya. Fungsi manifes ini bersifat jelas dan diakui.

  2. Fungsi laten, merupakan dampak atau akibat dari adanya fungsi manifes, seperti efek samping dari suatu kebijakan, program, lembaga-lembaga atau asosiasi yang tidak dikehendaki. Misalnya, lembaga ekonomi tidak hanya memproduksi dan mendistribusikan kebutuhan pokok, tetapi terkadang juga meningkatkan pengangguran dan perbedaan kekayaan.

2.2. Interaksi Sosial

  Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang sejak dilahirkan sudah membutuhkan pergaulan dengan orang-orang untuk memenuhi kebutuhannya (Gerungan, 2000:24). Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran. Interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, maka kegiatan-kegiatan antar satu individu dengan yang lain tidak dapat disebut interaksi (Soerjono Soekanto, 2001).

  Interaksi Sosial menurut menurut Shaw (dalam Ali, 2004:87) merupakan suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka dan masing- masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan seseorang dalam suatu interaksi merupakan stimulus bagi individu lain yang menjadi pasangannya. Dan pada akhirnya mereka akan saling berperilaku sama lain untuk menunjukkan adanya kegiatan timbal balik yang saling berhubungan.

  Menurut Narwoko (2007:20) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses komunikasi di antara orang- orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan. Interaksi sosial akan berlangsung apabila seorang individu melakukan tindakan dan dari tindakan tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi persaingan dan pertikaian. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang sepanjang hidupnya bersosialisasi dengan orang lain dalam proses interaksi. Interaksi sosial menghasilkan banyak bentuk sosialisasi.

  Menurut Soerjono Soekanto (2001:71), interaksi sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

  1). Kontak Sosial Kata “kontak” (Inggris: “contact") berasal dari bahasa Latin con atau cum yang artinya bersama-sama dan tangere yang artinya menyentuh. Jadi, kontak berarti bersama-sama menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, kontak sosial tidak selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa melakukan kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya bicara melalui telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu, hubungan fisik tidak menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial memiliki sifat-sifat berikut.

  a. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.

b. Kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara langsung.

  Misalnya, kontak antara guru dan murid di dalam kelas, penjual dan pembeli di pasar tradisional, atau pertemuan ayah dan anak di meja makan.

  Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui suatu perantara. Misalnya, percakapan melalui telepon. Kontak sekunder dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kontak sekunder langsung misalnya terjadi saat ketua RW mengundang ketua RT datang ke rumahnya melalui telepon. Sementara jika Ketua RW menyuruh sekretarisnya menyampaikan pesan kepada ketua RT agar datang ke rumahnya, yang terjadi adalah kontak sekunder tidak langsung. 2). Komunikasi

  Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial. Hal terpenting dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu sebagai berikut.

  a). Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau pikiran kepada pihak lain.

  b). Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan, pikiran, atau perasaan.

  c). Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat berupa informasi, instruksi, dan perasaan.

  d). Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi dapat berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.

  e). Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan, setelah mendapatkan pesan dari komunikator.

  Proses komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin proses interaksi sosial. Ada tiga tahap penting dalam proses komunikasi. Ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut.

  a. Encoding

  Pada tahap ini, gagasan atau program yang akan dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar. Dalam tahap ini, komunikator harus memilih kata, istilah, kalimat, dan gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.

  b. Penyampaian Pada tahap ini, istilah atau gagasan yang sudah diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaikan. Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan, dan gabungan dari keduanya.

  c. Decoding

  Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta gambar yang diterima menurut pengalaman yang dimiliki.

  Komunikasi-komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana menurut Johnson (dalam Narwoko, 2007:16) adalah bentuk paling elementer dan yang paling pokok dalam komunikasi. Tetapi, pada masyarakat ‘isyarat’ komunikasi yang dipakai tidaklah terbatas pada bentuk komunikasi ini. Hal ini disebabkan karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendiri (dan juga sebagai subjek yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain dapat melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandangan orang lain. Sebagai akibatnya mereka dapat mengonsentrasikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respon tertentu dari orang lain.

  Dalam sebuah organisasi komunikasi menjadi sangat penting karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu manusia. Nimran (dalam Komang dkk:2008) mengatakan bahwa ada bermacam- macam paradigma atau cara pandang yang dapat dipakai untuk membedakan berbagai bentuk komunikasi.

1. Dari aspek lingkup organisasi.

  a. Komunikasi intern, komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak internal.

  b. Komunikasi ekstern, komunikasi antara suatu organisasi dengan pihak eksternal.

2. Dari aspek sudut arahnya.

  a. Komunikasi searah, komunikasi yang ditandai oleh adanya satu pihak yang aktif yaitu penyampai informasi sedangkan pihak lainnya pasif dan menerima.

b. Komunikasi dua arah, komunikasi yang ditandai peran aktif kedua belah pihak baik pemberi atau penerima informasi.

3. Dari aspek tingkatan organisasi.

  a. Komunikasi vertikal adalah komunikasi yang berlangsung antara bawahan dengan atasan dalam hirarki organisasi.

  b. Komunikasi horisontal adalah komunikasi yang terjadi di antara pejabat yang sederajat.

4. Dari aspek aliran komunikasi dalam organisasi.

  a. Komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi yang mengalir dari manajer ke bawah atau ke para karyawan.

  b. Komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi yang mengalir ke atas yakni dari karyawan ke manajer.

  c. Komunikasi horizontal yaitu komunikasi yang terjadi di anatara semua karyawan di tingkatan organisasi yang sama.

  d. Komunikasi diagonal, komunikasi antara orang-oranng yang mempunyai hirarki berbeda dan tidak memiliki hubungan wewenang secara langsung.

5. Dari aspek media atau alat yang digunakan.

  a. Komunikasi visual, komunikasi yang memakai alat tertentu untuk mengirim pesan yang dapat ditangkap oleh mata.

  b. Komunikasi audial, komunikasi yang menggunakan alat tertentu yang dapat ditangkap oleh telinga.

  c. Komunikasi audio visual, komunikasi yanng memakai alat tertentu yang pesannya ditangkap oleh mata dan telinga secara bersamaan.

6. Dari aspek cara penyampaian.

  a. Komunikasi verbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan dengan memakai kata-kata yang dapat dimengerti baik lisan maupun tulisan.

b. Komunikasi nonverbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan melalui simbol, isyarat, atau perilaku tertentu.

7. Dari aspek strategi atau teknik.

a. Komunikasi koersif, komunikasi yang dengan cara memaksa agar komunikan dapat menerima pesan yang disampaikan.

  b. Komunikasi persuasif, komunikasi dengan melibatkan aspek psikologis komunikan, sehingga ia tidak saja menerima dan menyetujui tetapi mau melaksanakannya dalam bentuk kegiatan atau tindakan sebagaimana yang dikehendaki oleh komunikator.

8. Dari aspek jaringan di mana informasi mengalir.

  a. Komunikasi informal, komunikasi yang tidak resmi sumber dan maksudnya.

  b. Komunikasi formal, komunikasi yang berkaitan denga tugas dan mengikuti rantai wewenang.

9. Dari aspek manajerial.

  a. Komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi antara dua orang atau lebih.

  b. Komunikasi organisasi, yaitu semua pola,jaringan, dan sistem komunikasi dalam suatu organisasi .

  Konsep lain yang juga perlu diperhatikan mengenai interaksi sosial ialah konsep definisi situasi. Menurut W. I. Thomas (dalam Kamanto:2004) definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat itu merupakan aturan yang mengatur interaksi manusia. Selanjutnya Hall (dalam Kamanto:2004) dalm bukunya The Hidden

  

Dimension mengemukakan bahwa di dalam interaksi dijumpai aturan tertentu

  dalam hal penggunaan ruang. Pengamatan terhadap penggunaan ruang beserta teori-teorinya oleh Hall dinamakan Proxemics. Dari penelitiannya Hall menyimpulkan bahwa dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak yaitu :

  1. Jarak intim, berkisar antara 0-18 inci (0-45 cm), keterlibatan dengan tubuh orang lain disertai keterlibatan intensif dari pancaindera.

  2. Jarak pribadi berkisar antara 4-12 kaki (45 cm-1.22 m), interaksi pada tahap dekat dalam jarak ini cenderung dijumpai di antara orang-orang yang hubungannya dekat, misalnya suami isteri.

  3. Jarak sosial berkisar antara 4-12 kaki (1.22 m-3.66 m), orang yang berinteraksi dapat berbicara secara normal dan tidak saling menyentuh.

  4. Jarak publik (di atas 12 kaki atau 3.66 m) dipelihara oleh orang yang harus tampil di depan umum seperti politikus dan aktor.

  Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto, 2001:144-146) bahwa suatu masyarakat memiliki hubungan-hubungan positif satu sama lainnya.

  Adapun bentuk hubungan tersebut dibedakan atas dua yaitu paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (Gesellschaft). Paguyuban (Gemeinschaft) adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan.

  Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya. Sebaliknya patembayan (Gesellschaft) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam fikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk Gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau industri dan lain sebagainya.

  Di dalam Gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota suatu paguyuban, maka pertentangan tersebut tidak akan dapat dibatasi dalam suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatau pertentangan yang kecil diatasi, oleh karena pertentangan tersebut, akan menjalar ke bidang-bidang lainnya.

  Keadaan yang sedikit berbeda akan dijumpai pada patembayan atau Geselschaft, dimana terdapat public life yang artinya bahwa hubungannya bersifat untuk semua orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” kabur. Pertentangan- pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang tertentu, karena suatu persoalan dapat dilokalisasi (Basrowi, 2005:54). Menurut Tonnies (dalam Soekanto, 2001:146), di dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban, yaitu:

a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu

  Gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan

  pada ikatan darah atau keturunan, contohnya keluarga, dan kelompok kekerabatan.

  b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong, contohnya rukun tetangga, rukun warga, dan arisan.

  c. Paguyuban karena jiwa fikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama dan ideologi yang sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidak sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.

  Dari teori yang dikemukakan Ferdinand Tonnies tersebut terlihat bahwa hubungan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya baik itu dari ikatan darah, keluarga, maupun saudara jauh. Begitu juga dengan lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang berperan sebagai suatu kelompok sosial dalam bidang keagamaan yang dapat mendekatkan masyarakat perkebunan dari berbagai status sosial dan ekonominya.

2.3. Masyarakat Perkebunan

  Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia memang sangat ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda. Kebijaksanaan- kebijaksanaan yang diterapkan dari waktu ke waktu telah mewarnai wajah perkebunan di Indonesia hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini. Dimulai dari sejak berkuasanya VOC yang menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa terhadap usaha kebun di Indonesia, kemudian Daendels dan Raffles dengan pandangan liberal, disusul kemudian oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Van den Bosch yang menerapkan sistem tanam paksa dalam mengembangkan perkebunan di Indonesia, hingga dikeluarkannya Agrarische wet tahun 1870 (Mubyarto, 1992:16).

  Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekuensi lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola kehidupan saling mempengaruhi.

  Secara umum pembagian tenaga kerja perkebunan dibedakan dalam empat golongan yaitu administratur, pegawai staf, pegawai nonstaf, dan terakhir adalah buruh perkebunan. Dalam struktur organisasi perkebunan terdapat pembagian tugas yang jelas dengan penempatan tenaga kerja menurut golongan.

  Pengelompokan berdasarkan perbedaan bangsa, warna kulit dan ras, ternyata juga sangat mewarnai startifikasi pekerja perkebunan. Di dalam pengelompokannya, kelompok pertama selalu terdiri dari pegawai berkebangsaan Belanda dan Inggris serta beberapa orang Cina, sedangkan kelompok di bawahnya adalah pegawai pribumi. Pejabat administratur, pegawai staf dan nonstaf perkebunan biasanya termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan bangsa pribumi senantiasa hanya menempati posisinya sebagai buruh rendahan. Dalam satu unit perkebunan, tanggung jawab terbesar dipegang oleh seorang administratur. Sebagai pucuk pimpinan, administratur dibantu oleh seorang penasihat dan kontrolir yang lazim disebut pegawai staf karena kedudukan mereka yang tidak terjun langsung mengawasi aktifitas di kebun. Seorang kontrolir membawahi beberapa kepala bagian antara lain kepala bagian tanaman, bagian teknik, bagian pabrik dan staf administrasi, yang masih termasuk pegawai staf. Masing-masing kepala bagian membawahi seorang asisten yang langsung diberi wewenang di lapangan. Dalam melaksanakan tugas dan pengawasan langsung di lapangan, seorang asisten dibantu oleh beberapa orang mandor sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan mereka, misalnya mandor tanam, panen, pengolahan, sortasi, pengepakan, dan sebagainya.

  Lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan adalah para buruh, baik buruh kebun maupun buruh pabrik. Di samping itu di setiap perkebunan dipekerjakan polisi- polisi khusus penjaga perkebunan yang bertanggung jawab langsung dengan kontrolir. Para mandor biasanya adalah penduduk pribumi yang berasal dari keluarga penguasa desa yang bekerja di perkebunan (Mubyarto, 1992:115-116).

  Dalam tradisi kolonialis, sistem ini memang sengaja dibangun untuk mengefektifkan proses produksi dan untuk mengakumulasikan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sistem semacam ini merupakan perpaduan antara sistem kapitalisme yang menghambakan pada pemupukan modal dan sistem feodalisme yang menghambakan ketaatan pada sang penguasa. Sistem masyarakat semacam ini masih banyak menjadi fenomena di masyarakat perkebunan sekarang ini.

  Tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan dalam masyarakat perkebunan dari masa kolonial hingga sekarang. Secara geografis mereka terisolir, akses untuk informasi dan pendidikan sangat minim. Pagar pembatas atau palang pintu untuk masuk dan keluar perkebunan dijaga ketat oleh security. Letak perumahan yang masih sangat membedakan antara kelas administratur dengan buruh perkebunan. Perilaku elit adiministratur yang kurang manusiawi yang masih memandang rendah dan sebelah mata para golongan kaum buruh.

2.4. Defenisi Konsep

  Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang merujuk ke kenyataan nyata ke alam empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna. Dalam sosiologis, konsep menegaskan dan menetapkan apa yang akan di observasi (Suyanto, 2005:49). Defenisi konsep adalah rangkuman peneliti dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti nantinya. Konsep yang digunakan sesuai konteks penelitian ini antara lain:

  1. Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Fungsi merupakan manfaat dari suatu sistem terhadap sistem lainnya yang saling berkaitan.

  2. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah sebuah lembaga sosial keagamaan milik masyarakat perkebunan PT. Socfindo yang bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi antar sesama karyawan, pegawai staf, pegawai nonstaf, dan buruh di perkebunan PT. Socfindo.

  3. Hubungan sosial adalah suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan antarindividu, individu dengan kelompok atau antar kelompok yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan rasa saling pengertian dan kerja sama yang cukup tinggi, keakraban, keramahan, serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.

  4. Masyarakat perkebunan adalah sekumpulan orang atau warga yang merupakan karyawan perkebunan yang tinggal dan menetap di wilayah yang disediakan oleh perkebunan serta melakukan interaksi secara terus- menerus.

  5. Masyarakat sekitar perkebunan adalah masyarakat yang bukan merupakan karyawan perkebunan atau pensiunan perkebunan dan tinggal di sekitar wilayah perkebunan tetapi bukan di tanah milik perkebunan, sehingga mereka memiliki banyak ruang untuk saling berinteraksi dengan warga perkebunan.

Dokumen yang terkait

Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar (Studi Deskriptif di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)

21 352 107

Persepsi Lansia Terhadap Pelayanan Kesehatan Posyandu Usila Pasca Pemekaran Kecamatan (Studi Deskriptif di Posyandu Usila Kecamatan Aek Ledong Kabupaten Asahan)

0 31 118

Peran Ganda Istri Yang Bekerja Sebagai Buruh/Karyawan Perkebunan Dalam Menunjang Perekonomian Keluarga (Studi Deskriptif Pada PT. Socfindo Indonesia, Kebun Mata Pao, Kabupaten Serdang Bedagai)

20 160 141

Gambaran fungsi Paru Pekerja Bagian Produksi Lateks Yang Terpajan Amoniak Di PT Socfindo Kebun Aek Pamienke Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2010

2 44 80

Gambaran Sikap Kerja dan Keluhan Kesehatan pada Pekerja Bagian Produksi Lateks PT. Socfindo Kebun Karet Aek Pamienke Rantau Prapat Tahun 2010

9 106 77

Peran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dalam Pembangunan Desa” (Studi di Desa Aek Song-Songan, Kecamatan Aek Song-Songan, Kabupaten Asahan)

16 123 123

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Peristiwa Banjir Medan - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 28

BAB II TINAJUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan - Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan

0 0 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

0 2 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Masyarakat - Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Berbasis Komunitas Perempuan” (Studi Deskriptif Pada Komunitas Serikat Perempuan Independen (SPI) di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang).

0 0 14