BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN Syarat Sahnya Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN Syarat Sahnya Perjanjian Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan

  yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

  a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

  b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

  c. Mengenai suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara

   timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual .

  Sedangkan syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari : a.

  Syarat itikad baik, b.

  Syarat sesuai dengan kebiasaan, 12 Subekti, Op.Cit, hal. 17.

  c.

  Syarat sesuai dengan kepatuhan, d.

  Syarat sesuai dengan kepentingan umum, Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri

  12

  dari : a.

  Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, b.

  Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu, c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu,

   d.

  Syarat izin dari yang berwenang.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman: Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua

   syarat yang terakhir.

  Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

  a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi : 1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

  b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi : 1). Suatu hal (objek) tertentu

   13 Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 34. 14 Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya , Bandung: Alumni, , hal. 98. 15 Abdul R. Saliman, et. al. 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus , Jakarta: Prenada, hal. 12-13.

  dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan. Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak- kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya. Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat

   perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.

  Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar. Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang 16 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasanny, Ibid , hal. 23.

  dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian. Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap. Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang

   sama namanya.

  Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya 17 Ibid, hal. 24.

  ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata. Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:

  a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

  b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri. Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh

  Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

  a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

  b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

  c. Wanita yang bersuami Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht. Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap

  Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi. Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah

  bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu. Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

  Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak

   dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.

  Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya

   perjanjian itu”.

  Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang 18 19 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal. 94.

  Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36.

  terlarang. “Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang”

20 Wewenang Keagenan

  Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal. Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

  Semua definisi keagenan yang dibuat senantiasa ada kekurangannya, akan tetapi pada intinya keagenan didefinisikan sebagai hubungan yang timbul dimana satu pihak yang disebut sebagai agen bertindak untuk pihak lainnya yang disebut prinsipal.

  Berdasarkan tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga masuk ke dalam hubungan kontraktual. Agen juga dapat memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan milik prinsipal kepada pihak ketiga. Umumnya, agen dapat bertindak demikian karena prinsipal telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan tindakan yang dimaksud dan agen menyetujui untuk melakukannya. Agen sepertinya menjadi perpanjangan tangan dari prinsipal dan karenanya dapat mengubah kedudukan hukum prinsipal baik berupa mengikat prinsipal ke dalam suatu perjanjian atau melakukan pelepasan harta kekayaan milik prinsipal yang bersifat mengikat.

  Wewenang seseorang agen terutama terletak pada wewenang yang diberikan kepadanya oleh kontrak keagenan. Namun kekuasaannya untuk mengikat prinsipal melampaui wewenang kontraktual ini.

  Cara yang paling jelas terlihat dalam hal terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah berdasarkan pemberian ijin atau kewenangan. Kewenangan secara tegas timbul ketika prinsipal berkata secara tegas bahwa ia memberikan ijin kepada agen untuk bertindak atas namanya dengan cara tertentu dan agen menyetujui untuk melakukannya. Prinsipal dan agen akan dianggap telah sepakat apabila mereka telah menyetujui apa akibat hukum atas hubungan tersebut, meskipun mereka tidak mengakuinya sendiri dan meskipun mereka menyatakan untuk menyangkalnya. Akan tetapi, masing-masing dari mereka harus memberikan persetujuan tersebut. Kebanyakan orang akan melihat apa yang dikatakan dan dilakukan pada saat timbulnya dugaan terbentuknya hubungan keagenan. Kata-kata dan tindakan sebelumnya dapat menjadi bukti adanya suatu hubungan yang pernah dilakukan sebelumnya pada saat itu dan umumnya dapat dipertimbangkan sebagai latar belakang historis. Kata-kata dan tindakan di kemudian hari dapat pula memiliki arti meskipun mungkin tidak terlalu penting.

  Cara lain terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah ketika adanya pemberian kewenangan secara tersirat. Dalam hal pemberian kewenangan secara tersirat, prinsipal tidak berkata secara tegas kepada agen bahwa agen telah diberikan kewenangan untuk bertindak dengan cara tertentu. Sementara sebaliknya, tindakan-tindakan dari prinsipal dan agen sedemikian jelasnya terlihat bahwa prinsipal telah mengijinkan agen untuk memiliki kewenangan tertentu, dan agen telah menyetujuinya. Dengan kata 20 Subekti, Op.Cit, hal. 20.

  lain, kesepakatan itu disimpulkan dari tindakan para pihak dan keadaan- keadaan dari kasus yang bersangkutan. Contoh yang paling umum dari pemberian kewenangan secara tersirat adalah ketika seseorang diangkat untuk menduduki suatu jabatan tanpa memberikan kewenangan secara tegas kepada orang itu, dan jabatan tersebut adalah jabatan yang biasanya memiliki kewenangan tertentu. Misalnya, ketika direksi mengangkat salah satu anggotanya untuk menduduki posisi managing director atau chief executive officer, maka direksi secara tersirat memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan segala sesuatu yang biasanya masuk dalam lingkup kewenangan jabatan itu. Orang akan berharap bahwa kebanyakan managing director biasanya akan memiliki sekurang-kurangnya kewenangan tersirat untuk menyetujui atau mengadakan perjanjian yang berada dalam lingkup usaha perusahaan sehari-hari. Harus diperhatikan bahwa pemberian kewenangan secara tegas ataupun tersirat dianggap sebagai kewenangan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Dengan kata lain, kewenangan itu sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, dalam situasi dimana tidak ada kewenangan yang diberikan baik secara tegas ataupun tersirat, seorang ‘agen’ tetap dapat mengikat ‘prinsipal’. Dalam hal ini, ‘agen’ dikatakan memiliki kewenangan yang terlihat. Meskipun kewenangannya tidak sungguh-sungguh ada, sepanjang tindakan ‘agen’ dapat mengikat ‘prinsipal’, suatu hubungan keagenan telah terbentuk. Alasan mengapa prinsipal dapat terikat berdasarkan cara ini adalah karena hukum keagenan terutama berlaku dalam lingkup komersial dimana kepastian transaksi merupakan hal yang penting. Dengan demikian, hukum

  keagenan tidak dapat terbatas pada kasus-kasus dimana agen memiliki kewenangan yang sesungguhnya, baik yang diberikan secara tegas ataupun tersirat. Apabila transaksi-transaksi komersial dalam perekonomian modern harus dilakukan secara cepat dan efisien, maka batas-batas tersebut akan sangat memberatkan biaya untuk bertransaksi. Penyelidikan harus dilakukan dan, dalam hal perusahaan, keputusan secara formal harus diperoleh. Hal ini akan sangat tidak sesuai dengan tujuan diperbolehkannya penggunaan agen-agen. Lebih lanjut, di dalam perdagangan modern, seringkali dirasa perlu untuk memberikan keleluasaan sampai batas tertentu kepada agen, misalnya untuk melakukan perundingan dan melakukan tahap finalisasi atas ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian, terutama jika agen adalah seorang karyawan senior dari organisasi usaha. Dengan keleluasaan tersebut, kadangkala terjadi dimana agen bertindak di luar lingkup kewenangannya yang sesungguhnya. Apabila terjadi demikian, maka agen akan bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas pelanggaran terhadap jaminan tentang kewenangan agen (lihat perkara Bagian 9 di bawah ini). Akan tetapi, hal ini mungkin tidak memuaskan pihak ketiga, yang seringkali lebih memilih untuk menghubungi prinsipal sehubungan dengan kontrak yang telah diadakannya. Dengan demikian, apabila tidak ada keadaan-keadaan tertentu dimana hukum keagenan memperbolehkan kontrak-kontrak tersebut dapat dilaksanakan, maka kepercayaan terhadap penggunaan agen akan sangat terusik yang mana hal ini dapat menganggu kenyamanan dalam berdagang dan efisiensi dalam pengoperasian pasar. Apabila hukum mengatur sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun keadaan dimana prinsipal akan terikat oleh tindakan agen yang tidak diwenangkan, maka pihak ketiga akan

  selalu menghubungi prinsipal untuk memastikan pengadaan transaksi yang bersifat mengikat. Prinsipal dapat mengelak dari perjanjian yang diadakan oleh agennya tanpa wewenang, terlepas bagaimanapun pihak ketiga secara obyektif sebagaimana layaknya berpikir bahwa agen telah diberikan wewenang sebagaimana mestinya. Prinsipal juga tidak terdorong untuk memiliki prosedur untuk memastikan bahwa para agennya bertindak secara baik. Dengan demikian, hukum keagenan telah mengembangkan suatu doktrin kewenangan yang terlihat, dimana seorang agen yang kelihatannya memiliki kewenangan dapat mengikat prinsipalnya ketika pihak ketiga bertindak dengan mengandalkan kewenangan yang terlihat tersebut, biasanya dengan mengadakan perjanjian dengan agen. Doktrin ini bukanlah doktrin yang tanpa syarat, doktrin ini timbul ketika, berdasarkan fakta, tampak atau terlihat seolah-olah seseorang (‘agen’) memiliki kewenangan yang sesungguhnya. Kewenangan yang terlihat ini timbul karena ‘prinsipal’ melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan kata lain, karena suatu pernyataan dari ‘prinsipal’. Apabila pihak ketiga mengandalkan ini dan mengadakan perjanjian dengan ‘agen’ karena meyakini bahwa ‘agen’ bertindak atas nama ‘prinsipal’, maka ‘prinsipal’ menjadi terikat. Penjelasan yang paling umum untuk kewenangan yang terlihat adalah doktrin estoppe. Kewenangan yang terlihat dapat timbul ketika seorang agen melampaui kewenangannya atau ketika seseorang yang bukan agen terlihat bertindak seperti agen karena apa yang dilakukan atau dikatakan oleh ‘prinsipal’. Misalnya, A telah ditunjuk untuk bertindak sebagai agen dari P. Hubungan keagenan kemudian diakhiri oleh P tetapi A terus bertindak seolah-olah ia adalah agen dari P dan mengadakan perjanjian dengan T

  yang tidak tahu bahwa hubungan keagenan telah diakhiri. P dengan demikian terikat oleh tindakan A. Contoh lain adalah apabila P tidak pernah menunjuk A sebagai agen P tetapi P memperbolehkan A bertindak seolah- olah ia adalah agen, atau membuat T merasa yakin bahwa A adalah agen dari P. Dalam situasi-situasi tersebut, P akan terikat dengan T apabila T mengadakan transaksi dengan A yang dengan sengaja bertindak atas nama P dalam lingkup kewenangannya yang terlihat. Perlu diperhatikan bahwa kewenangan yang terlihat harus timbul karena apa yang dilakukan oleh ‘prinsipal’. Seorang agen tidak dapat membuat pernyataan mengenai kewenangannya dan mengikat prinsipal berdasarkan apa yang dikatakan oleh agen itu sendiri. Apabila pendapat ini tidak ada, maka setiap orang yang memiliki suatu hubungan dengan prinsipal dapat mengaku bahwa ia memiliki kewenangan untuk mengikat prinsipal dan dapat membuat prinsipal memiliki kewajiban kepada pihak ketiga. Usaha-usaha dagang terpaksa harus mengambil langkah yang luar biasa guna memberitahukan semua orang dan menjelaskan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh karyawannya, meskipun seringkali tidak berhasil. Kewenangan yang terlihat dapat timbul bahkan di perusahaan. Suatu perusahaan dapat membuat pernyataan-pernyataan penting melalui pejabatnya yang sah atau melalui salah satu organnya seperti direksi. Kewenangan yang terlihat juga dapat membuat pihak ketiga mengajukan gugatan terhadap prinsipal. Apabila prinsipal ingin mengajukan gugatan terhadap pihak ketiga, ia tidak dapat mengandalkan kewenangan yang terlihat karena ia jelas-jelas mengetahui bahwa agennya tidak memiliki kewenangan yang seharusnya. Prinsipal juga tidak dapat memanfaatkan

  doktrin estoppel yang timbul dari tindakan prinsipal itu sendiri. Agar dapat menggugat pihak ketiga, prinsipal harus mengesahkan tindakan agen.

  Dasar Hukum Keagenan

  Lembaga keagenan bukan merupakan lembaga baru dalam dunia perdagangan di Indonesia, hanya saja undang-undang yang secara khusus mengatur lembaga keagenan belum ada. Dengan demikian bukan berarti lembaga keagenan beraktivitas tanpa aturan. Pijakan yuridis untuk beraktivitas, pranata dagang yang disebut agen ini dapat dilihat dari : 1.

  Kitab undang-undang Hukum perdata Hal ini karena pola hubungan hukum yang terjadi antara prinsipal dengan agen adalah perjanjian pemberian kuasa, maka ketentuan perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata berlaku sebagai dasar perjanjian keagenan. Selain itu, pranata hukum agen ini muncul dalam praktik bisnis, sehingga dasar hukum diantara mereka dibangun atas dasar perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

  Di dalam KUHDagang ada pengaturan yang berkaitan atau mirip dengan keagenan, yaitu pengaturan tentang makelar (pasal 62 s/d 73 KUHD) dan komisioner (pasal 76 s/d 85 KUHD), yang pada dasaranya berfungsi sebagai pranata dagang. Dengan demikian pengaturan KUHD tentang makelar dan komisioner secara yuridis berlaku terhadap masalah keagenan, selain itu agen bukan saja merupakan pekerjaan selingan dan bagian dari perusahaan pemberi kuasa, tetapi merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Dengan demikian hukum perusahaan berlaku pada agen.

3. Pengaturan Administrasi

  Walaupun agen, makelar, komisioner termasuk pranata, tetapi ketentuan- ketentuan tentang makelar dan komisioner dalam KUHD dan ketentuan pemberian kuasa dalam KUHPerdata tidaklah dapat diterapkan begitu saja untuk lembaga

  

  keagenan. Artinya selain undang-undang tersebut di atas, lembaga keagenan ini diperlukan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Peraturan yang bersifat administratif).

  Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1977 pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah No. 36 tahun 1997 yang menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya hanya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur/agen dengan membuat surat perjanjian. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, lembaga keagenan baru berkembang dalam dunia perdagangan di Indonesia. Peraturan yang bersifat administratif lainnya dikeluarkan Menteri Perindustrian yaitu SK Menteri Perindustrian No.

  295/M/SK/1982 yang dalam pasal 22 menyebutkan bahwa pengangkatan/penunjukan suatu perusahaan nasional oleh prinsipal asing wajib dilakukan dengan suatu perjanjian yang berisfat akslusif untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan barang-barang modal dan barang-barang modal dan barang-barang industri tertentu yang menjadi obyek perjanjian. Selain peraturan tersebut masih ada beberapa peraturan administratif yang lain.

  Pelaksanaan Perjanjian Keaganen

  Perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak dalam bentuk tertulis berupa formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak pertama yaitu pihak prinsipal, dimana dengan demikian kontrak yang diadakan merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara kolektif dalam bentuk formulir. Pernyataan ini sejalan dengan memperhatikan fakta dari format kontrak yang telah ditandatangani oleh para pihak tersebut di atas secara awam dapat diketahui terdapat beberapa bagian yang memang sengaja dikosongkan sebagai reservasi apabila ternyata terdapat perbedaan antara kontrak distributor yang satu dengan kontrak yang lainnya. Adapun bagian-bagian yang sengaja dikosongkan antara lain adalah :

  1. Kolom para pihak, khususnya kolom agen.

  2. Kolom Territory 3.

  Kolom yang berkenan dengan masa berlaku perjanjian dan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu (baik dalam hitungan hari, bulan maupun tahun) 4. Kolom Agen (dalam hal ini adalah agen pembayaran dalam transaksi ini yang setiap saat dapat berubah) 21 I Ketut Oka Setiawan, 1995, Lembaga Keagenan Dalam Perdagangan dan Pengaturan di Indonesia , Jakarta: Ind Hill Co, hal. 67.

5. Kolom harga objek yang didistribusikan

  Identifikasi dapat dilakukan secara mudah dan cepat, dimana pihak prinsipal dalam hal ini telah terlebih dahulu memberikan kolom-kolom yang siap diisi setiap saat dengan menggantungkan agen, besaran nilai transaksi, dan hal-hal lain yang merupakan kewajiban dari pihak agen yang perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh prinsipal. Namun di lain pihak selain ditentukan lain oleh para pihak (khususnya oleh prinsipal) tidak terdapat suatu penambahan dan/atau perubahan yang sifatnya spesifik atau setidaknya terjadi penambahan atau perubahan, dan dapat dengan mudah diidentifikasi oleh penulis.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seharusnya dengan adanya azas kebebasan berkontrak tersebut, posisi kedua belah pihak adalah sama dan sederajat. Namun, dalam praktek sehari-hari kita bisa melihat bahwa sebenarnya kedua pihak tidak dalam posisi yang seimbang. Seringkali terjadi pihak distributor harus menerima persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh perusahaan produsen secara mutlak tanpa bisa menawar lagi. Hal ini disebabkan perusahaan prinsipal telah mempersiapkan standar formulir-formulir kontrak, berarti bagi distributor yang ingin mengadakan perjanjian dengan pihak produsen terkait dengan formulir- formulir kontrak yang sudah disediakan pihak produsen. Adapun hal yang melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak adalah untuk mempermudah perusahaan prinsipal dalam menjalankan usahanya, yang dalam lingkup usahanya perusahaan prinsipal telah mempersiapkan jaringan distributor produknya tidak secara ekslusif dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara, melainkan lebih dari itu. Oleh karenanya untuk mempermudah aspek pemahama transaksi, pola administrasi dan permasalahan lainnya, maka perusahaan prinsipal cendrung menjaalankan pola pemberlakuan standar kontrak baku tersebut.

  Perjanjian baku diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat merugiksn pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Dalam perjanjian baku maka konsumen dalam hal ini hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya, yang artinya tidak terjadinya transaksi antara para pihak. Dalam bahasa Inggris perjanjian baku sering diungkapkan sebagai take it or leave it contract. Ada hal yang perlu digaris bawahi oleh penulis dalam menyikapi perjanjian baku ini adalah undang-undang tidak melarang siapun juga untuk membuat, memasuki, menandatangani dan/atau menjadi pihak dalam suatu kontrak dimaksud, sepanjang kontrak baku tersebut tidak memuat hal-hal yang secara tegas-tegas dilarang oleh undang-undang, yaitu perjanjian dibuat dengan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dimana oleh karenanya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  Pada umumnya kontrak yang dilakukan oleh dan antara prinsipal dengan distributornya, yang lazim terjadi isinya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya atau kedudukan ekonominya lebih kuat dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian demikian, lazim pembuat perjanjian atau pihak ekonomi yang kuat (pihak kreditur), lebih banyak menentukan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang lazimnya merupakan pihak ekonomi lemah (pihak distributor). Klausula yang bersifat demikian dinamakan klausula eksonerasi atau exemplion clause.

  Hal mana sebenarnya tidak semana-mana dikarenakan pihak tersebut secara ekonomi lebih kuat, yang sebenarnya faktor tersebut memang juga tidak dapat dipungkiri, tetapi apabila dilihat dari perspektif pihak prinsipal maka sudah barang tentu yang menjadi pemikiran adalah bagaimana pihaknya memperoleh resevasi dan/atau pihak terjamin untuk memasuki sebuah transaksi. Sebagaimana kendala yang mungkin timbul adalah prinsipal yang merupakan perusahaan yang tergolong dalam lingkup lembaga wholesaler, prinsipal beranggapan bahwa perusahaannya merupakan salah satu perusahaan yang bonafid dan memiliki jaringan pemasaran yang luas dan tersebar diseluruh penjuru dunia, dimana apabila masing-masing negara yang bersedia untuk mengadakan kerjasama distribusi memberikan draft perjanjiannya secara tersendiri, maka sudah barang tentu akan terjadi suatu kesulitan dalam pemahaman transaksi. Terlebih lagi terhadap permasalahan perbedaan sistem hukum, atau meskipun menggunakan sistem hukum yang sama tetapi sudah barang tentu kinerja dari sistem hukum yang sama tersebut antara satu negara dengan negara lainnya berbeda, yang dikarenakan oleh faktor sosiologis dan antropologis suatu masyarakat serta seberapa dekat masyarakat tersebut dekat dengan perkembangan dan globalisasi dibidang teknologi.

  Apabila ditarik mundur sejarah menunjukan tentang latar belakang sistem hukum Belanda yang kemudian berlaku di Indonesia, yang mana salah satu alasan mendasarnya adalah pihak kolonial Belanda dalam mengadakan transaksi jual beli rempah-rempah dengan berbagai macam suku bangsa yang berbeda di Hindia Belanda, mengalami kesulitan dikarenakan pengetahuan mereka yang sangat minim tentang hukum adat yang berlaku pada masing-masing suku. Sementara itu dilain pihak kolonia Belanda tetap memerlukan rempah-rempah yang merupakan hasil bumi Hindia Belanda, maka untuk mempermudah jalannya transaksi pola yang diterapkan dan diberlakukan dalam transaksi jual beli dimaksud adalah dengan menggunakan hukum Belanda, dimana pada suatu pihak para kolonia Belanda lebih mengetahui hukum mereka dan di lain pihak tercipta suatu efesiensi, serta dikarenakan alasan-alasan lainnya. Seiring dengan perkembangan yang terjadi dan dengan terjadinya dominasi kolonial Belanda, maka masyarakat Hindia Belanda menjadi terpengaruh dan melihat bahwa perlu diadakan suatu kerangka hukum yang konstruktif agar tercipta efisiensi dan efektifitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga sampai sekarang sistem tersebut tetap berlaku namun banyak pihak yang berupaya untuk melakukan perubahan terhadap sistem hukum peninggalan kolonia Belanda dimaksud.

  Sejarah menunjukan tentang faktor kekuatan ekonomi, faktor efisiensi dan efektifitas serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi penilian masyarakat dan dalam rangka menunjang untuk terjadinya suatu proses penciptaan atau setidaknya pemahaman/penyamaan perspektif dalam menyikapi suatu sistem hukum atau perjanjian. Sehingga tercipta suatu fleksibilitas antara keinginan dari para pihak yang memasuki dan menandatangani kontrak, termasuk dan tidak terbatas pada kontrak distributor dimaksud.

  Jika diperhatikan lebih mendalam hal melatarbelakangi disepakatinya kontrak disbutor adalah kepentingan dari pada para pihak yang perlu untuk dijembatani. Prinsipal dalam sudah barang tentu bertindak dan/atau bersifat untuk memproduksi barang-barang yang dilain pihak memiliki suatu kendala dalam memasarkan produk mereka, dimana asumsinya adalah bangsa pasarnya terbatas pada lingkup lokal dan sekitar dari domisili prinsipal. Tetapi dalam dunia bisnis tidaklah demikian, dimana agar perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang lebih, maka diperlukan suatu perluasan jaringan pasar. Pertanyaannya adalah apakah prinsipal dapat melakukan hal semacam itu mengingat kemungkinan untuk terjadinya monopoli dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal justru membengkak apabila prinsipal harus membuka cabang-cabang divisi pemasarannya baik domestik maupun internasional. Begitu banyaknya prosedur yang harus ditempuh, terutama prosedur hukum yang sudah barang tentu negara yang satu berbeda dengan negara lainnya, maka mengakibatkan kompleksitas usahnya semakin rumit dan tidak tertutup kemungkinan biaya operasional usahanya menjadi membengkak. Oleh karenanya dalam perkembangan dunia perdaganngan lahirlah lembaga-lembaga yang memiliki fungsi sebagai perpanjangan tangan dari prinsipal, yang seiring dengan perkembangan dikenal dengan istilah perusahaan penyaluran, agen, distributor dan sebagainya. Di lain pihak lembaga penyaluran ini ada tidak semata-mata terkungkung pada konteks keberadaannya yang diperlukan, tetapi juga dikarenakan adanya manfaat maupn keuntungan yang dapat diperoleh melalui kegiatan usaha penyaluran tersebut. Sehingga keberadaan kedua lembaga perdagangan tersebut sebenarnya menciptakan suatu sinergi perekonomian yang kondusif dan konstruksif. Namin demikian, perlu adanya suatu kerangka yang secara spesifik mengatur tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya. Kerangka

tersebut berada dalam kerangka tatanan hukum, yaitu yang lazim dikenal dengan istilah kontrak.

  Kontrak distributor pada umumnya tidak terdapat suatu format baku dan oleh karenanya tidak terdapat suatu bentuk keseragaman format, tetapi selayaknya sebuah kontrak, maka didalamnya diatur secara spesifik tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. Dengan kata lain kontrak merupakan suatu sarana meeting of the minds among the parties thereto. Prinsip lain yang perlu diperhatikan dalam perjanjian baku adalah masalah pilihan. Psra pihak dalam kontrak tersebut telah menjatuhkan pilihannya untuk saling mengikatkan diri. Suatu ikatan pada umumnya tidak akan dapat dilaksanakan apabila melulu dalam perjanjian tersebut sangat berat sebelah dan tidak memberikan keuntungan/manfaat bagi pihak yang lainnya. Alasan untuk menciptakan iklim perekonomian yang baik memang merupakan konsep yang ideal, tetapi motivasi yang timbul adalah sebenarnya untuk memperoleh keuntungan finansial bagi perusahaan. Oleh karenanya meskipun perjanjian ini sifatnya baku tetapi secara finansial menguntungkan, maka sudah merupakan suatu hal yang logis apabila distributor memilih untuk mengikuti standar baku dimaksud.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

8 151 149

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

2 82 81

Analisis Klasula Force Majeure Dalam Suatu Perjanjian (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010)

4 123 130

Sikap Pengadilan Terhadap Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/Pdt/2006)

3 51 151

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

0 6 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 3. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Kredit Perumahan Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Studi Pada Perumahan Alamanda Indah Medan

0 0 29

BAB II HAK KEBENDAAN ATAS SAHAM PERSEROAN A. Pengertian dan Konsep Yuridis Saham - Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

0 0 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

0 0 20

Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

0 0 9