Analisis Klasula Force Majeure Dalam Suatu Perjanjian (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010)

(1)

TESIS

Oleh

JEFFRY

107011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JEFFRY

107011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011010

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Mahmul Siregar SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. Dedi Harianto SH, MHum


(5)

Nama : JEFFRY

Nim : 107011010

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Judul Tesis : ANALISIS KLAUSULA FORCE MAJEURE

DALAM SUATU PERJANJIAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 587 PK/ PDT/ 2010

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya seniri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : JEFFRY


(6)

i

apa yang telah diperjanjikan dan apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan disebut sebagai prestasi. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika para pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/wanprestasi. Untuk melepaskan dirinya dari tuntutan membayar ganti rugi, Pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat memberikan pembelaan di depan hakim. Salah satunya adalah dengan membuktikan telah terjadiforce majeure. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana pentingnya mencantumkan klausula force majeure dalam suatu perjanjian, bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia dan bagaimana penerapan klausulaforce majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dan analisis data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian merupakan hal yang penting karena ketiadaan klausulaforce majeuredalam kontrak dianggap sebagai ketidakcermatan dalam pembuatan kontrak yang dapat menyebabkan sengketa diantara para pihak. Dikarenakan ruang lingkup force majeure yang sangat luas, untuk menetapkan suatu keadaan memaksa (force majeure) bisa dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dariforce majeureyaitu peristiwa tersebut merupakan hal yang tidak terduga, di luar kemauan, kemampuan dan kendali para pihak, tidak dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, tidak ada itikad buruk, para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut, menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak, terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak diaksanakannya prestasi para pihak, dan kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc merupakanforce majeureatau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausulaforce majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/ diduga akan terjadi.


(7)

ii

agreement, the parties involved in the agreement must perform what has been promised and what has been agreed to be their obligations in the agreement. The obligation to perform what has been promised is called achievement. But, what is always found in implementation of an agreement is that the parties involved do not obey and do what they have promised /breach of contract. To avoid from the claim to pay compensation, the party who is accused of breaching of contract can depend him/herself before the judge. One of the ways used is to prove that there has been a force majeure. The problems discussed in this study were: how important to include the clause of force majeure in an agreement is, how a force majeure meets the concept of civil law in Indonesia, and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010.

This analytical descriptive study employed normative juridical approach by studying the materials of secondary data obtained through library research. characteristic of this research is descriptive analysis and analysis data conducted in qualitative.

The result of this study showed that the inclusion of the clause on force majeure in a contract agreement is important because the absence of the clause on force majeure in a contract agreement is regarded as negligence that can result in dispute between the parties involved. Since the scope of force majeure is very broad, a condition can be called a force majeure if it meets the elements of force majeure such as an incident which occurs unexpectedly and outside the will, capability and control of the parties involved. There is no bad faith of the parties involved and even, the parties involved have done anything they could do to avoid from the incident that inflicts loss to both or one of the parties involved in the agreement. This incident can delay, inhibit, prevent the implementation of the achievements made by the parties, and this incident influences the implementation of agreement very much. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No. 587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about “flood” (whether blood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that “flood” stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the “flood” in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure thatthe flood can be predicted / expected.


(8)

iii

segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian tesis seperti sekarang ini di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini diberi judul “ANALISIS KLASULA FORCE MAJEURE

DALAM SUATU PERJANJIAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO. 587 PK/PDT/2010)”.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung Penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-II Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

iv

arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan ini. 4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing Utama

penulis dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak memberikan masukan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga Dosen Pembimbing III penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.

8. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu per satu


(10)

v

Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen administrasi yang diperlukan.

10. Kedua Orang Tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Ke Kai Cuan dan Siaw Hui Tjokroahdymulya serta juga kepada adik yang tersayang, Jennifer.

11. Dokter Fran Efendy yang selalu memberikan semangat bagi penulis. 12. David Lau, Edo Wijaya yang selalu memberikan semangat bagi penulis.

13. Muhammad Yusuf Sihite, SH, MH, atas masukan mengenai penulisan tesis ini dan Lesly Xaviera SH, MH yang memberikan semangat bagi penulis.

14. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010-Group A, Group B dan Group C yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjasamanya selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita semua.

15. Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, perpustakaan pusat USU, dan juga staf di pusat dokumen dan informasi hukum atas segala bantuannya.

Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena di dalamnya masih terdapat


(11)

kekurangan-vi

lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2012 Hormat Penulis,


(12)

vii

1. Nama : Jeffry

2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 3 Maret 1989 3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Status : Belum menikah

5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat : Jalan Wahidin Nomor 81i, Medan. 7. No. Handphone : 0819617303

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Ke Kai Cuan

2. Nama Ibu : Siaw Hui Tjokroahdymulya

3. Nama Adik : Jennifer

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD WIYATA DHARMA, Medan (1994-2000) 2. SMP : SMP WIYATA DHARMA, Medan (2000-2003) 3. SMA : SMA WIYATA DHARMA, Medan (2003-2006)

4. Strata I: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2006-2010) 5. Strata II: Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (2010-2012)


(13)

viii

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

1. Kerangka Teori ... 9

2. Kerangka Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 16

2. Sumber Data ... 17

3. Teknik Pengumpulan Data ... 18

4. Analisis Data ... 19

H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN ………....……... 22

A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian ... 22

1. Syarat sah perjanjian ... 22

2. Prestasi ... 31


(14)

ix

3. Alasan Pentingnya Mencantumkan Klausula

Force Majeuredalam perjanjian ... 57

BAB III SUATU KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) YANG MEMENUHI KONSEP HUKUM PERDATA DI INDONESIA ... 61

A. Unsur-UnsurForce Majeuredi Indonesia ... 61

B. Ruang lingkupForce Majeuredi Indonesia... 65

C. Akibat dariForce Majeuredi Indonesia ... 72

D. Sistem PembuktianForce Majeuredi Indonesia ... 75

E. Force Majeuredalam sistemCommon Law... 76

BAB IV PENERAPAN MENGENAI FORCE MAJEURE OLEH MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PUTUSAN MARI NO. 587 PK/PDT/2010 ... 82

A. Kasus Posisi ... 82

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung .... 92

C. Analisis Kasus ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109 LAMPIRAN


(15)

i

apa yang telah diperjanjikan dan apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan disebut sebagai prestasi. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika para pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/wanprestasi. Untuk melepaskan dirinya dari tuntutan membayar ganti rugi, Pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat memberikan pembelaan di depan hakim. Salah satunya adalah dengan membuktikan telah terjadiforce majeure. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana pentingnya mencantumkan klausula force majeure dalam suatu perjanjian, bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia dan bagaimana penerapan klausulaforce majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dan analisis data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian merupakan hal yang penting karena ketiadaan klausulaforce majeuredalam kontrak dianggap sebagai ketidakcermatan dalam pembuatan kontrak yang dapat menyebabkan sengketa diantara para pihak. Dikarenakan ruang lingkup force majeure yang sangat luas, untuk menetapkan suatu keadaan memaksa (force majeure) bisa dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dariforce majeureyaitu peristiwa tersebut merupakan hal yang tidak terduga, di luar kemauan, kemampuan dan kendali para pihak, tidak dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, tidak ada itikad buruk, para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut, menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak, terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak diaksanakannya prestasi para pihak, dan kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc merupakanforce majeureatau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausulaforce majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/ diduga akan terjadi.


(16)

ii

agreement, the parties involved in the agreement must perform what has been promised and what has been agreed to be their obligations in the agreement. The obligation to perform what has been promised is called achievement. But, what is always found in implementation of an agreement is that the parties involved do not obey and do what they have promised /breach of contract. To avoid from the claim to pay compensation, the party who is accused of breaching of contract can depend him/herself before the judge. One of the ways used is to prove that there has been a force majeure. The problems discussed in this study were: how important to include the clause of force majeure in an agreement is, how a force majeure meets the concept of civil law in Indonesia, and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010.

This analytical descriptive study employed normative juridical approach by studying the materials of secondary data obtained through library research. characteristic of this research is descriptive analysis and analysis data conducted in qualitative.

The result of this study showed that the inclusion of the clause on force majeure in a contract agreement is important because the absence of the clause on force majeure in a contract agreement is regarded as negligence that can result in dispute between the parties involved. Since the scope of force majeure is very broad, a condition can be called a force majeure if it meets the elements of force majeure such as an incident which occurs unexpectedly and outside the will, capability and control of the parties involved. There is no bad faith of the parties involved and even, the parties involved have done anything they could do to avoid from the incident that inflicts loss to both or one of the parties involved in the agreement. This incident can delay, inhibit, prevent the implementation of the achievements made by the parties, and this incident influences the implementation of agreement very much. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No. 587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about “flood” (whether blood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that “flood” stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the “flood” in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure thatthe flood can be predicted / expected.


(17)

1 A. Latar Belakang

Pada zaman modern ini, perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama di segala bidang berkembang sangat pesat. Dampak yang dirasakan akibat dari perkembangan tersebut salah satunya adalah di sektor ekonomi. Arah kebijakan bidang ekonomi adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang diprioritaskan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, dilakukan antara lain melalui pembangunan dibidang ekonomi.1

Dengan perkembangan yang sangat pesat di sektor ekonomi maka berdampak pada berkembang pesatnya hukum perjanjian dimana masyarakat semakin banyak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan masyarakat lainnya, yang kemudian menimbulkan berbagai macam perjanjian, diantaranya adalah perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa dan sebagainya.

Penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum perjanjian adalah karena pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan pesatnya transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Pada dasarnya

1

Propenas 2000-2004, UU No. 25 tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hal 21.


(18)

suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.2

Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.3

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.4 Melalui perjanjian maka terciptalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian.

2

Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1

3Ibid . 4

Suharnoko,Hukum Perjanjian (Teori Analisa dan Kasus), (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.1


(19)

Dalam dunia bisnis sangat penting mewujudkan kesepakatan mengenai suatu transaksi dengan menuangkannya kedalam suatu penjanjian. Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari menuangkan isi kesepakatan ke dalam perjanjian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari timbulnya masalah baik pada saat pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Sehingga pembuatan suatu perjanjian itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian kadang terjadi permasalahan dimana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian atau disebut juga sebagai wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu:

"penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya."

Akan tetapi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti kerugian, karena apabila tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak bukan karena kelalaiannya maka pihak tersebut dapat terbebas dari pembayaran ganti kerugian. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan :

"Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya"


(20)

Dan dalam Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan :

"Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang".

Keadaan seperti yang tersebut diatas disebut juga keadaan memaksa (force

majeure). Di dalam suatu perjanjian pada umumnya selalu memasukkan klausula

mengenai force majeure ini agar para pihak mengerti pembatasan antara kelalaian yang disebabkan oleh para pihak itu sendiri dan kelalaian yang terjadi karena adanya keadaan yang memaksa. Akan tetapi walaupun telah dimasukkan ke dalam suatu perjanjian klausula mengenaiforce majeure ini, tetap saja timbul masalah mengenai sejauh mana dan bagaimana suatu keadaan bisa dimasukkan kedalam keadaan memaksa (force majeure) seperti yang terjadi dalam perkara antara Transenergy Grinding, Inc melawan CV.Borco Utama.

Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/Pdt/2010 diterangkan bahwa Transenergy Grinding, Inc yang berkedudukan di Houston, Texas menganggap CV.Borco Utama yang berkedudukan di Jakarta Selatan tidak mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kewajiban yang tertera dalam perjanjian jual beli batu bara yang telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, sehingga Transenergy Grinding, Inc mengalami kerugian yang sangat besar yang disebabkan oleh CV.Borco Utama sehingga kemudian Transenergy Grinding, Inc mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti kerugian. Kemudian kasus ini bergulir panjang dan sampai


(21)

pada tahapan peninjauan kembali yang diajukan oleh CV.Borco Utama kepada Mahkamah Agung.

CV. Borco Utama sebagai pihak yang dianggap melakukan wanprestasi, memakai alasanforce majeure yaitu terjadinya banjir sebagai salah satu alasan untuk melakukan peninjauan kembali sebagai usaha terakhir untuk terlepas dari tanggung jawabnya dalam membayar ganti kerugian. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 587 PK/Pdt/2010 menolak permohonan peninjauan kembali CV.Borco Utama dan juga mendefenisikan batas ruang lingkup klasulaforce majeure banjir yang berbeda dengan batas ruang lingkup klasulaforce majeure yang jelas tertera dalam perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak, dimana menurut Mahkamah Agung, banjir bukan termasuk sebagai force majeure di dalam perkara ini sehingga gugatan tetap dimenangkan oleh Transenergy Grinding, Inc.

Meskipun menurut Mahkamah Agung perbedaan persepsi mengenai

pembatasan force majeure dalam kasus ini bukan merupakan alasan untuk permohonan peninjauan kembali, Kasus ini sangat menarik untuk diteliti karena menjadi suatu pertanyaan sebenarnya bagaimana batasan dan penerapan suatu keadaan dapat disebut sebagai keadaan memaksa (force majeure).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul "Analisis Klausula Force Majeure dalam suatu Perjanjian (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/PDT/2010)".


(22)

B. Perumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pentingnya pencantuman klausula keadaan memaksa (force

majeure)dalam suatu perjanjian?

2. Bagaimanakah suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia?

3. Bagaimanakah penerapan klausula keadaan memaksa (force majeure) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis5. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan pentingnya mencantumkan klausula keadaan memaksa (force majeure)dalam suatu perjanjian.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis suatu keadaan memaksa (force majeure)

yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia.

5


(23)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan klausula keadaan memaksa

(force majeure) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan

MARI No. 587 PK/Pdt/2010. D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut:

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya hukum perjanjian, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya dalam hal klausula mengenai force

majeuredalam suatu perjanjian.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.


(24)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan sudah pernah dilakukan oleh program S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara:

1. Edi Santa Sembiring dengan judul skripsi "Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Perusahaan Apabila Terjadi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pada Saat Melaksanakan Pekerjaan Pemborongan (PT. Medan Smart Jaya)".

2. Mansur Sidauruk dengan judul skripsi "Analisis Yuridis Tentang Berlakunya

Force MajeureTerhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing".

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara umumnya dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis klasula keadaan memaksa

(force majeure) dalam suatu perjanjian berdasarkan studi kasus pada putusan

Mahkamah Agung, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul, permasalahan serta metode penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya.


(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.6

M.Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan:

"Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti".7

Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut di atas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang Analisis klausula Force

Majeure dalam suatu perjanjian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587

PK/PDT/2010), dalam ilmu hukum dikenal adanya 2 (dua) macam ajaran atau teori yang berkaitan dengan force majeure, yakni ajaran atau Teori Ketidakmungkinan, dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).

Teori Ketidakmungkinan, dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan Kesalahan (afwesigheid van schuld) ini dijadikan acuan dalam penelitian ini sebagai

6

W. Friedman,Teori dan Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal.2. 7


(26)

tolak ukur menganalisis klausula force majeure dengan permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:8

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Menurut J.Satrio di dalam Teori Ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang subjektif; 2) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang objektif.9

8

Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal.121. 9


(27)

Ajaran keadaan memaksa yang subjektif diartikan bahwa tidak di penuhinya prestasi oleh debitur sifatnya relatif. Artinya barangkali hanya pihak debitur sendiri yang tidak dapat memenuhi prestasi, sedangkan bila orang lain yang mengalami peristiwa dimaksud ada kemungkinan orang tersebut dapat memenuhi prestasinya. Sehingga untuk ajaran keadaan memaksa yang subjektif atau relatif ini dapat pula dikatakan sebagai “difficultas”. Pada keadaan memaksa yang subjektif ini, perikatan atau perjanjian tersebut tidak berarti menjadi batal, akan tetapi hanya berhenti berlakunya untuk sementara waktu. Apabila keadaan memaksa tersebut sudah tidak ada, maka perikatan atau perjanjian tersebut berlaku kembali.10Jadi teori subjektif ini memperhatikan pribadi daripada debitur pada waktu terjadinya overmacht, misalnya kesehatan, kemampuan keuangan debitur, dan lain-lain.

Teori subjektif yang bersifat relatif disamakan dengan ini Inspanning theory/ teori upaya. Teori Upaya yang dikemukakan oleh Houwing yaitu jika debitur telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan ukuran yang wajar dalam masyarakat, maka tidak dipenuhi prestasinya dan ia tidak dapat dipersalahkan.11

Kemudian dalam teori keadaan memaksa yang objektif, debitur baru bisa mengemukakan adanyaovermachtkalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). Disini ketidak mungkinan berprestasi bersifat absolut, siapun tak bisa. Kalau setiap orang tak bisa, maka hal itu

10

Purwahid Patrik,Hukum Perdata I (Azas-Azas Hukum Perikatan), (Semarang: Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986), Hal.21.

11

Taufik Rahman,Hukum Perikatan, diakses dari www.slideshare.net/taufiksrahman/hukum-perikatan-11576087,pada tanggal 13 Juni 2012.


(28)

berarti ketidakmungkinan untuk memberikan prestasi di sini bersifat mutlak (permanen).12

Teori atau ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheidvan

schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau

overmachtpeniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi

tidak boleh atau bisa dipertanggung jawabkan.13

Teori-teori yang disebutkan diatas dipandang tepat untuk menganalisis rumusan permasalahan karena tidak ada pengaturan secara umum dalam perundang-undangan mengenai keadaan memaksa (force majeure) sehingga teori-teori diatas dijadikan tolak ukur dalam dalam menetapkan suatu keadaan memaksa (force

majeure), yang mana dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana suatu

peristiwa banjir dapat didefenisikan sebagai keadaan memaksa (force majeure).

2. Kerangka Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.14

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.15Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali

12

J.Satrio,op.cit, hal.254. 13

M.Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986),hal.84. 14

Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34. 15


(29)

bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.16

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat di bawah ini:

a. Perjanjian

Pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal17.

Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam buku ketiga tentang perikatan. Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.18

b. Klausula

Klausula (clause) dalam suatu perjanjian adalah kalimat atau bagian dari kalimat yang merupakan bagian dari substansi dokumen hukum tertulis yang tercantum dalam suatu pasal, atau ketentuan terpisah dari pasal atau ketentuan lain.

16

Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003), hal.5. 17

R. Subekti,Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hal.1. 18


(30)

c. Prestasi

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah

performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal

yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.19

d. Wanprestasi

Wanprestasi, artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian.20

e. Force majeure

Black’s Law Dictionary, 2nd Pocket Edition, defines Force Majeure as “An event or effect that can be neither anticipated nor controlled. The term includes both acts of nature (e.g., floods and hurricanes) and acts of people (e.g., riots, strikes, and

wars).”21(Suatu peristiwa yang tidak dapat diantisipasi maupun dikontrol. Termasuk

kejadian alam maupun tindakan manusia).

Force majeure merupakan istilah yang sama dengan overmacht dan juga

keadaan yang memaksa.

f. Kerugian

19

Munir Fuady,Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 87.

20

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.99.

21

Ari Brumer, Force Majeure – A Trap to Avoid in a Data Center Contract, diakses dari http://datacentermarketplace.com/portals/11/documents/force_majeure_article.pdf, pada tanggal 18 Juli 2012.


(31)

Pengertian kerugian adalah penurunan nilai benda atau barang, atau biaya tambahan yang perlu dikeluarkan, atau kehilangan peluang untuk melakukan sesuatu aktifitas yang bernilai ekonomis.22

g. Ganti Rugi

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUH Perdata). Dengan demikian pada dasarnya, ganti-kerugian itu adalah ganti-kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.23

h. Banjir

Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan yang mana diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya.24

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna

22

Heni Suhaeni, Kerugian Sosial Pendudukan Kawasan Pemukiman Pantai, diakses dari http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/11-HEN.docpada tanggal 16 Pebruari 2012.

23

Rohma Dijawi, Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak, Kontrak Bisnis (Perjanjian), diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ pada tanggal 16 Pebruari 2012.

24

Wahyu Budi Setyawan, Banjir 1, diakses dari http://wahyuancol.wordpress.com/2009/ 03/23/banjir-1-pengertian-penyebab/, pada tanggal 11 Agustus 2012.


(32)

terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.25

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.26

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya yang relevan dengan perumusan penelitian.27

Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran

25

Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal.2.

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, PenelitianHukum Normatif-suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal.1.

27

Ibrahim Johni, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2005), hal.336.


(33)

fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.28

2. Sumber Data

Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari :

1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

3) Putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010; 4) Putusan MARI No. 1787K/Pdt/2005

5) Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi; 6) Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

7) Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

8) Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

9) Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

10) Keppres nomor 80 Tahun 2003, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden nomor 32

28

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung: Alumni, 1994), hal.101.


(34)

Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden nomor 95 Tahun 2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;

11) Peraturan Bank Indonesia nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat;

12) Peraturan Bank Indonesia nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum;

13) Peraturan Bank Indonesia nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat;

14) Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat;

15) Prinsip UNIDROIT.

b. Bahan Hukum sekunder yang terdiri dari pendapat para ahli yang termuat dalam literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum, atau ensiklopedia yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan


(35)

penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang pemikiran tentang klasulaforce majeure.

Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, makalah ilmiah, ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada website dan sebagainya maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,29 yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.30

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, yang kemudian akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif dan diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

29

Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), hal. 15-20.

30


(36)

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.31

Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut ke dalam satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara menjadi teori substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yaitu dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus.

H. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang pentingnya pencantuman klausula force majeure

dalam perjanjian yang terdiri dari pelaksanaan suatu perjanjian, force majeure, dan alasan pentingnya pencantuman klausulaforce majeuredalam Perjanjian.

Bab III membahas tentang bagaimana suatu keadaan memaksa (force

majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia yang terdiri dari

unsur-unsur force majeuredi Indonesia, ruang lingkup force majeure di Indonesia, sistem

31

Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), hal.190


(37)

pembuktian force majeure di Indonesia, dan force majeure dalam sistem common law.

Bab IV membahas tentang penerapan force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara dengan putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010 yang terdiri dari kasus posisi, pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung, dan analisis kasus.

Bab V merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap data yang ada.


(38)

22 A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian.

1. Syarat sah perjanjian

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:32 a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai

subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum.

Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi33;

b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;

32

Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), Hal 5-6.

33

Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh.blogspot.com/2012/02 /syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.


(39)

c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak


(40)

masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.34

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.35

Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.36 Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.37

b. Cakap untuk membuat perikatan;

34

Ridhuan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), Hal. 214.

35

SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/Perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari 2012.

36

J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 165.

37

Kontrak, diakses dari http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_hukum_kontrak_2.pdf, pada tanggal 11 Agustus 2012.


(41)

Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:38

1) Syarat materiil (menurut doktrin)

a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya. b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial)

c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut

d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga.

2) Syarat Formal

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya pengesahan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengesahan yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang

38


(42)

nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, dimana agar perseroan terbatas dan yayasan dapat berstatus sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian perseroan terbatas dan yayasan yang telah dibuat oleh notaris harus mendapat pengesahan dari menteri.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.39

Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, dia harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : 1) Orang-orang yang belum dewasa;

Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:40 a) seorang baru dikatakan dewasa jika ia:

(1) telah berumur 21 tahun; atau (2) telah menikah;

Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

39

Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 13. 40

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Hal 130.


(43)

b) anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

(1) orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

(2) walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di bawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).41

Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.42

41

Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 16. 42


(44)

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat setelah perkawinan, dan lain-lain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).43

c. Suatu hal tertentu;

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.44

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang

43

SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit. 44


(45)

yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.45

d. Suatu sebab atau causa yang halal;

Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum.46

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.47

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:48

1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan;

2). dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

45

SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit. 46

Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan,(Citra Adtya Bakti: Bandung,1992), Hal 95. 47

SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit. 48


(46)

Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya49.

Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.50

49Ibid , Hal 94. 50

Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 11 Agustus 2012.


(47)

2. Prestasi

Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.51

Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:52

a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).53

Prestasi dapat berwujud sebagai :54

51

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal 67.

52

M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto.blogspot.com/ 2009/07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli 2012

53

Djaja S. Meliala,op.cit,hal 98. 54


(48)

a. Benda

Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak-pihak yang menjual tenaga atau keahliannya.

Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.

b. Tenaga atau keahlian

Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama,


(49)

sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.

Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya.

c. Tidak berbuat sesuatu

Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.

Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:55

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang;

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan;

55

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal.79.


(50)

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.

Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi.

3. Wanprestasi

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :

“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya“bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan–

56


(51)

bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.57

Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.58

Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).59

Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

57

J. Satrio,Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I),diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-, pada tanggal 16 juli 2012`

58

PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambata, 1999), Hal.340.

59Somasi atau Teguran

, diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atau-teguran.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.


(52)

Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:60

a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;

c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya.61

Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :62

a. Menuntut pemenuhan perikatan;

b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menuntut pembatalan perikatan;

c. Menuntut ganti rugi;

d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;

e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan di hadapan hakim.

Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:63

60

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Hal.70.

61Ibid . 62


(53)

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmachtatauForce majeure); b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non

adimpleti contractus);

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda:rechtsverwerking).

Menurut Subekti, ada 4 akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu :64

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;

b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan Risiko;

d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi diatas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :65

a. Ganti rugi

Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.

Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu

63

Subekti,op.cit, hal.55. 64Ibid,

hal 45. 65Ibid


(54)

penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut.

Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.66Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1246 KUHPerdata yang mana menyatakan bunga sebagai "...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.."

Pasal 1247 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan:

“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”

Dan Pasal 1248 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan:

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”

Dari dua pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

b. Pembatalan perjanjian

Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak


(55)

dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi.

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.

Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan:

“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata–nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.

c. Peralihan risiko

Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Yang dimaksudkan dengan “risiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.


(56)

Peralihan risiko dapat digambarkan demikian:

Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia.

d. Pembayaran biaya perkara

Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim.

Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa (Force majeure), maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian.

B. Force Majeure

1. PengertianForce Majeure

Di dalam KUH-Perdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namun hanya memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat


(57)

melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.67

Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah :68

a. R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur.

b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar: overmacht

adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi

67

Handri Raharjo,op.cit, hal 104. 68

Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 7.


(1)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Adolf, Huala, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Badrulzaman, Mariam Darus, et al., Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti : Bandung, 2001.

Emanuel, Steven,Contracts, New York : Aspen Publishers, 2008.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

Friedman, W.,Teori dan Filsafat Umum, Jakarta:Raja Grafindo, 1996.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Waris Adat, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003.

Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta : Liberty, 1984.

Harahap, M.Yahya,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986. _______________,Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, Bandung: Alumni, 1994.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008.

H.S, Salim, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Johni, Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing, 2005.

Kusumohamidjojo, Budiono, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: PT. Grasindo, 2004.


(2)

Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2008.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.

Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002.

Muhammad, Abdulkadir,Hukum Perikatan,Citra Adtya Bakti: Bandung,1992. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT.

RajaGrafindo Persada, 2004.

_________________________________, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Patrik, Purwahid,Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 1994. _____________, Hukum Perdata I (Azas-Azas Hukum Perikatan), Semarang:

Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,1986.

Propenas 2000-2004, UU No. 25 tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

_____________,Hukum Perusahaan, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

Rahman, Hasanuddin, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003.

Rai Widjaya, I.G.,Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting Teori dan Praktek, Jakarta: Kesaint Blanc, 2003.


(3)

_______, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1994.

Simanjuntak, PNH, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambata, 1999.

Singarimbun, Masri, dkk,Metode Penelitian Survei, Jakarta:LP3ES, 1989. Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 2008.

________________ dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Soemadipradja, Rahmat S.S., Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.

Subagyo, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, 1997.

Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori Analisa dan Kasus), Jakarta: Prenada Media, 2004.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, Jakarta:Pembimbing Masa, 1980. ______,Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2002.

______,Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2003.

Suryabrata, Sumadi,Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.

Syahrani, Ridhuan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992.

Syamsuddin, Mohd.Syaufii, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005.

Wiwoho, Jamal, Pengantar Hukum Bisnis, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2007.


(4)

INTERNET

Al‐Emadi, Talal Abdulla A. Q., The Hardship and Force Majeure Clauses in International Petroleum Joint Venture Agreements, diakses dari http://ssrn.com/abstract=1878558 pada tanggal 4 Agustus 2012.

Bin Khafid, Zamroni, Perbandingan Prinsip Hardship dan Force Majeure dalam Unidroit 2010 , diakses dari http://khafidsociality.blogspot.com/2011/11/ perbandingan-prinsip-hardship-dan-force.html pada tanggal 2 Agustus 2012. Brumer, Ari,Force Majeure – A Trap to Avoid in a Data Center Contract, diakses

dari http://datacentermarketplace.com/ portals/ 11/ documents/ force_majeure article.pdf, pada tanggal 18 Juli 2012.

Damang,Risiko,diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/risiko.html , pada tanggal 13 Juni 2012.

Dijawi, Rohma, Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak, Kontrak Bisnis (Perjanjian), diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com/ hukum-kontrak/,pada tanggal 16 Pebruari 2012.

Hariyanto, M., Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto. blogspot.com/2009/07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli 2012. Hartono, Budi, Overmacht, diakses dari http://notariat-unpad.blogspot.com/2008

/04/overmacht.html , pada tanggal 11 Juni 2012.

Kontrak, diakses dari http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_hukum_kontrak_2.pdf, pada tanggal 11 Agustus 2012.

Kurniawan, Chandra, Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dde03e58c21b/ antara- syahrini-- karaha-bodas –dan -kemacetan- merak- broleh— chandra kurniawan-, pada tanggal 11 Juni 2012.

Kusumasari, Diana, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 11 Agustus 2012.

Michiko, Seputar Hukum Kontrak Komersial, diakses dari http://michiko60.blogspot.com/2012/02/seputar- hukum- kontrak- komersial. Html, pada tanggal 2 Agustus 2012.


(5)

Patrik, Jusuf, Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT , diakses dari http:// notarissby. blogspot. com/ 2009/ 03/ prinsip- kontrak- komersial international.htmlpada tanggal 2 Juli 2012.

Rahman, Taufik, Hukum Perikatan, diakses dari

www.slideshare.net/taufiksrahman/hukum-perikatan-11576087,pada tanggal 13 Juni 2012.

Rasyid, Herman, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh.blogspot.com/ 2012/02/syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Agustus 2012. Satrio, J., Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari

http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-, pada tanggal 16 juli 2012 Setyawan, Wahyu Budi, Banjir 1, diakses dari http://wahyuancol.wordpress.com

/2009/03/23/banjir-1-pengertian-penyebab/, pada tanggal 11 Agustus 2012. Somasi atau Teguran, diakses dari

http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atau-teguran.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.

SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian,diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/Perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari 2012.

Suhaeni, Heni, Kerugian Sosial Pendudukan Kawasan Pemukiman Pantai, diakses darihttp://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/11-HEN.doc pada tanggal 16 Pebruari 2012.

Supriyadi, Force Majeure, diakses dari http://excellent-lawyer.blogspot.com /2010/04/force-majeure.html, pada tanggal 2 Agustus 2012.

Satrio, J., Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-, pada tanggal 16 juli 2012

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010.


(6)

Putusan MARI No.1787K/Pdt/2005

Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian .

Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

Keppres nomor 80 Tahun 2003, yang telah diubah beberapa kali berturut-turut dengan Kepres nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden nomor 32 Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor. 79 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden nomor 95 Tahun 2007 tentang pengadaan barang dan jasa.

Peraturan Bank Indonesia nomor 8/20/PBI/2006 tentang transparansi kondisi keuangan bank perkreditan rakyat.

Peraturan Bank Indonesia nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan

Kegiatan Alat pembayaran dengan menggunakan kartu oleh perkreditan rakyat.

Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas maksimum pemberian kredit bank perkreditan rakyat.

Prinsip UNIDROIT MAKALAH

Kadir Mappong, H.A., “Tentang Peninjauan Kembali”, Makalah Rakernas 2011, Mahkamah Agung dengan pengadilan seluruh Indonesia, Jakarta, 18-22 September 2011.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122