Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PERJANJIAN KEAGENEN

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

G

G

U

U

N

N

G

G

S

S

A

A

T

T

R

R

I

I

A

A

S

S

I

I

T

T

E

E

P

P

U

U

NIM. 040200329

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PERJANJIAN KEAGENEN

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

G

G

U

U

N

N

G

G

S

S

A

A

T

T

R

R

I

I

A

A

S

S

I

I

T

T

E

E

P

P

U

U

NIM. 040200329

Disetujui oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Pembimbing I

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Muhammad Hayat, SH NIP. 195008081980021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

Muhammad Husni, SH, M.Hum NIP. 195802021988031004


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Pembimbing II Penulis. - Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Pembimbing I Penulis.

- Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

iv

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Nopember 2011 Penulis

Agung Satria Sitepu NIM : 040200329


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan manfaat Penulisan ... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

F. Metodologi Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN ... 12

A. Syarat Sahnya Perjanjian ... 12

B. Wewenang Keagenan ... 20

C. Dasar Hukum Perjanjian Keagenen ... 26

D. Pelaksanaan Perjanjian Keagenan. ... 28

BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN KEAGENAN. .... 36

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen ... 36

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen ... 38


(6)

vi

BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KEAGENEN 44 A. Tanggung Jawab Perdata Terhadap Kemungkinan

Timbulnya Kerugian Berdasarkan Perbuatan Agen ... 44

B. Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi ... 58

C. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenan. ... 69

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KEAGENEN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga. Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat, tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk tersebut dapat disampaikan.

Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen, Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan dan bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pelaksanaan perjanjian keagenan dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh agen dengan pihak prinsipal yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut menghasilkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal secara bertimbal balik, perlindungan hukum perjanjian keagenan adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam kaitannya dengan kegiatan usaha para agen, karena kegiatan peragenan dapat saja melampauia suatu batas wilayah suatu daerah maupun suatu negara. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan oleh Pemerintah terhadap warganya yang menjadi agen dalam suatu persaingan usaha, Penyelesaian sengketa perjanjianan dapat dilakukan melalui mediasi dengan cara melakukan penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun demikian tetap terbuka bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian keagenan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di dalam pengadilan.

Dalam penelitian ini juga disarankan kepada pemerintah hendaknya dapat menyusunan suatu peraturan dasar bagi agen dan prinsipal dalam bentuk perundang-undangan. kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perjanjian keagenan hendaknya dapat menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan secara damai. Kepada agen dan prinsipal hendaknya mematuhi kesepakatan yang sebelumnya dibuat untuk menghindari terjadinya sengketa.


(8)

vii ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KEAGENEN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga. Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat, tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk tersebut dapat disampaikan.

Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen, Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan dan bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan.

Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui pelaksanaan perjanjian keagenan dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh agen dengan pihak prinsipal yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut menghasilkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal secara bertimbal balik, perlindungan hukum perjanjian keagenan adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam kaitannya dengan kegiatan usaha para agen, karena kegiatan peragenan dapat saja melampauia suatu batas wilayah suatu daerah maupun suatu negara. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan oleh Pemerintah terhadap warganya yang menjadi agen dalam suatu persaingan usaha, Penyelesaian sengketa perjanjianan dapat dilakukan melalui mediasi dengan cara melakukan penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun demikian tetap terbuka bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian keagenan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di dalam pengadilan.

Dalam penelitian ini juga disarankan kepada pemerintah hendaknya dapat menyusunan suatu peraturan dasar bagi agen dan prinsipal dalam bentuk perundang-undangan. kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perjanjian keagenan hendaknya dapat menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan secara damai. Kepada agen dan prinsipal hendaknya mematuhi kesepakatan yang sebelumnya dibuat untuk menghindari terjadinya sengketa.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang pengusaha atau produsen dalam rangka memperkenalkan produknya baik barang atau jasa dapat melakukan dengan berbagai cara, yaitu bekerjasama dengan pihak lokal/nasional atau pihak asing. Dengan kata lain seorang pengusaha/produsen tidak dapat bekerja sendiri, mereka memerlukan bantuan orang lain untuk membantu dalam pengelolaan perusahaannya.

Pembantu disini dapat dibagi dua yaitu pembantu dalam lingkungan perusahaan dan pembantu di luar perusahaan. Pembantu dalam lingkungan perusahaan misalnya pemegang prokurasi, pengurus filial, pelayan toko dan pekerja keliling. Sedangkan pembantu luar lingkungan perusahaan ada dua jenis yaitu:

1. Pembantu yang mempunyai hubungan kerja tetap dan koordinatif dengan pengusaha, termasuk jenis ini adalah perusahaan dan bank.

2. Pembantu yang mempunyai hubungan kerja tidak tetap dan koordinatif dengan pengusaha, termasuk jenis ini adalah agen, komisioner, notaris, pengacara.1

Mencermati hal tersebut ternyata perusahaan perdagangan tidak hanya dijalankan oleh pengusaha perdagangan sendiri, melainkan dengan bantuan pihak lain/perantara dagang untuk mengelola kegiatan perdagangan, mengingat besarnya volume usaha dan luasnya pemasaran. Kerjasama bisnis yang saling mendukung

1

Abdulkadir Muhammad. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal. 28.


(10)

ix

tersebut terjalin karena masing-masing pihak mempunyai suatu kepentingan yaitu untuk tercapainya suatu tujuan ekonomi tertentu berupa mendapatkan keuntungan ekonomis/kebendaan.2

Sebagai organ yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang maka pengusaha dan agen dalam melakukan aktivitasnya tentunya juga harus dilandasi oleh suatu hubungan kerja, baik itu hubungan kerja secara tertulis Selain itu mempunyai tujuan untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke konsumen.

Sebagai salah satu pembantu di luar perusahaan maka keberadaan agen ini sangat berperan dalam hal penyampaian suatu produk ke tangan pihak ketiga. Meskipun pada dasarnya seorang pengusaha memiliki pembantu-pembantu yang memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha dan dapat dipergunakan secara maksimal dalam hal penyampaian suatu produk ke tengah masyarakat, tetapi dalam hal keadaan-keadaan tertentu keberadaan agen sangat memberikan andil bagi suatu perusahaan. Dimisalkan pada suatu lokasi pemasaran produk suatu perusahaan tidak mencapai daerah tersebut, maka dengan peran agen produk tersebut dapat disampaikan.

Selain dapat memotong jalur distribusi suatu produk secara ringkas, sehingga suatu perusahaan tidak memerlukan jalur produksi yang panjang atau menempatkan agennya pada suatu wilayah dan harus mengeluarkan biaya untuk membayar ongkos dan agen maka dengan kebedaan agen hal tersebut dapat diatasi. Selain memotong saluran distribusi menjadi pendek, maka bagi seorang pengusaha berhubungan dengan agen akan menjadi lebih ekonomis dan efisien.


(11)

maupun tidak tertulis. Kenyataan ini juga menjadikan suatu hubungan antara pengusaha dan agen merupakan suatu hubungan hukum yang menempatkan hak dan kewajiban secara bertimbal balik antara kedua belah pihak.

Kajian yang menarik terhadap hal di atas adalah terjadinya hubungan tersebut dan akibat hukum jika salah satu pihak tidak mendapatkan haknya dan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji dalam bentuk skripsi. Dengan dasar tersebut maka diketengahkan pembahasan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenen?

2. Bagaimana perlindungan hukum perjanjian keagenan? 3. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian keagenen.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum perjanjian keagenan. 3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa perjanjian keagenan

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini

2

Sri Rejeki Hartono. 1980. Bentuk-Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal. 6.


(12)

xi

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum dagang perihal pengaturan perjanjian keagenen.

2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang perjanjian keagenen.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri, dan dari telaah kepustakaan belum didapatkan judul yang sama dengan judul penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perjanjian

Apabila membicarakan perjanjian, terlebih dahulu diketahui apa sebenarnya perjanjian itu dan dimana dasar hukumnya. Perjanjian yang penulis maksudkan adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus.

Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “ perjanjian “, sebab dalam Buku III itu ada juga diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatigedaat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarning). Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan


(13)

kepada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.3

Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata itu adalah: “Suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. 4

“Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

Perikatan, yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus itu, mengatur tentang persetujuan–persetujuan tertentu yang disebut dengan perjanjian bernama, artinya disebut bernama karena perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembuat undang-undang, dan di samping perjanjian bernama juga terdapat perjanjian yang tidak bernama, yang tidak diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian sewa beli dan lain sebagainya.

5

Perikatan seperti yang dimaksudkan di atas, paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan “ perjanjian yaitu suatu peristiwa yang berupa suatu rangkaian janji-janji. Dapat dikonstatir bahwa perkataan perjanjian sudah sangat populer di kalangan rakyat “.6

Demikian pula Wirjono Prodjodikoro mengemukakan: “Perjanjian adalah

3

R. Subekti, 1998, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hal. 101.

4Ibid

., halaman 101.

5


(14)

xiii

suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 7

Perikatan yang dilahirkan karena undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan orang, bukanlah merupakan perjanjian karena kedua macam

Menurut pasal 1233 KUH Perdata bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena undang-undang, maupun karena adanya suatu perjanjian. Dengan demikian maka harus terlebih dahulu adanya suatu perjanjian atau undang, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian dan undang-undang itu merupakan sumber suatu ikatan.

Dasar hukum dari persetujuan adalah pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan sumber perikatan yang lahir karena undang-undang dapat dibagi dua pengertian yaitu undang saja dan undang karena perbuatan orang. Karena undang-undang saja misalnya kewajiban atau hak orang tua terhadap anak, dan sebaliknya kewajiban anak terhadap orang tua apabila orang tua tidak berkemampuan.

Undang-undang karena perbuatan orang dapat pula di dalam dua pengertian yaitu perbuatan yang diperbolehkan undang-undang dan perbuatan yang melawan hukum. Yang diperbolehkan undang-undang misalnya : mengurus harta orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut, sedangkan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang merugikan orang lain.

6

R. Subekti, 1996, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, hal. 12.

7

Wirjono Prodjodikoro. 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,


(15)

perikatan tersebut tidak mengandung unsur janji. Seseorang tidak dapat dikatakan berjanji hal sesuatu, apabila sesuatu kewajiban dikenakan kepadanya oleh undang-undang belaka atau dalam hal perbuatan melawan hukum secara bertentangan langsung dengan kemauannya. Dalam hal ini penulis akan mem-fokuskan diri pada perikatan yang bersumberkan pada persetujuan atau perjanjian.

2. Pengertian Agen

Berbagai istilah untuk keagenan didapatkan dalam praktek, misalnya terdapat istilah Autthorized Agent, Sole Agent, Exclusive Agent dan sebagainya. Dari istilah tersebut yang lebih lazim dipakai dalam praktek adalah istilah Sole

Agent yang dalam bahasa Indonesia disebut Agent Tunggal yang sering pula

disebut pihak perantara.8

Adapun pengertian agen dalam kegaitan bisnis ini biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana sesorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain.

9

Menurut Muhammad Agen perusahaan adalah orang yang mewakilkan pengusaha untuk mengadakan dan melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha.10

8

Munir Fuady, 1997, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 152.

9

Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 67.

10

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 29.

Sedangkan menurut Encyclopedia Dictionary

Of Business (Prentice Hall Inc Englewood, New York) agen adalah “orang/pihak


(16)

xv

Mencermati defenisi tersebut, dapat dikatakan bahwa agen adalah seorang atau badan yang usahanya menjadi perantara, dia bertindak atas nama pemberi kuasa bukan bertindak atas namanya sendiri. Sehingga dalam keagenan terdapat 3 pihak yaitu :

a. Yang member perintah/kuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut prinsipal

b. Yang diberi perintah/menerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum disebut agen

c. Yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan, disebut pihak ketiga.

Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipal. Perbuatan apa saja yang harus dilakukan oleh agen untuk prinsipalnya, diatur dalam perjanjian keagenan yang dibuat oleh agen dan prinsipal.

3. Jenis-Jenis Agen

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Bisnis dalam Teori dan praktek, bahwa dalam praktek perdagangan ada 2 macam keagenan, yaitu :

a. Agen institusional

Agen institusional adalah seorang atau sebuah perusahaan yang memang bertugas semata-mata untuk menjadi agen dari pihak lain, misalnya suatu perusahaan nasional menjadi agen dari perusahaan asing untuk memasarkan produk-produk perusahaan asing di dalam negeri. Agen institusional yang lain adalah agen saham di pasar modal, atau yang lebih popular disebut “pialang”, agen penjualan tiket pesawat atau kapal laut. b. Agen insidental


(17)

Yang dimaksud dengan agen insidental adalah agen yang semata-mata bertugas atau mempunyai bisnis yang tidak semata-mata di bidang keagenan. Misalnya, dalam hal adanya suatu sindikasi kredit diantara beberapa bank yang ditunjuk sebuah bank untuk menjadi agen sindikasi (in casu agen insidental) yang akan mewakili dan bertindak untuk dan atas nama seluruh bank anggota sindikasi.11

F. Metodologi Penulisan

Metodologi penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Materi / Bahan penelitian

Materi / bahan penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersumber dari data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni undang-undang yang di dalamnya mengandung mengenai perjanjian keagenan, seperti KUH Perdata dan KUH Dagang.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, ensklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

11Ibid


(18)

xvii

2. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur atau studi kepustakaan.

3. Analisis Hasil penelitian

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metodologi Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Pelaksanaan Perjanjian Keagenan

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Syarat Sahnya Perjanjian, Wewenang Keagenan, Dasar Hukum Perjanjian Keagenen, serta Pelaksanaan Perjanjian Keagenan.


(19)

Bab III. Perlindungan Hukum Perjanjian Keagenan.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenen serta Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen.

Bab IV. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenen.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Tanggung Jawab Perdata Terhadap Kemungkinan Timbulnya Kerugian Berdasarkan Perbuatan Agen, Upaya Hukum Jika Terjadi Wanprestasi serta Tahapan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Keagenan.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(20)

xix BAB II

PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN

Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual .12

a. Syarat itikad baik,

Sedangkan syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari :

b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,

12


(21)

c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,

d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari :

a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu,

d. Syarat izin dari yang berwenang.13

Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.14

2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).

Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :

1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan)

2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi :

1). Suatu hal (objek) tertentu

15

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus

13

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 34.

14

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, , hal. 98.

15

Abdul R. Saliman, et. al. 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada, hal. 12-13.


(22)

xxi

dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat

perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.16

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

16

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasanny, Ibid, hal. 23.


(23)

dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang

sama namanya.17

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya

17


(24)

xxiii

ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.

b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Sedangkan perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :


(25)

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu

sendiri. Menurut pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale macht.

Walau, demikian, melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah


(26)

xxv

bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.


(27)

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.18

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.19

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang

18

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal. 94.

19


(28)

xxvii terlarang.

“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si

pembeli membunuh orang”20

Wewenang Keagenan

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Semua definisi keagenan yang dibuat senantiasa ada kekurangannya, akan tetapi pada intinya keagenan didefinisikan sebagai hubungan yang timbul dimana satu pihak yang disebut sebagai agen bertindak untuk pihak lainnya yang disebut prinsipal.

Berdasarkan tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga masuk ke dalam

hubungan kontraktual. Agen juga dapat memiliki kekuasaan untuk melepaskan harta kekayaan milik prinsipal kepada pihak ketiga. Umumnya, agen dapat bertindak demikian karena prinsipal telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan tindakan yang dimaksud dan agen menyetujui untuk

melakukannya. Agen sepertinya menjadi perpanjangan tangan dari prinsipal dan karenanya dapat mengubah kedudukan hukum prinsipal baik berupa mengikat prinsipal ke dalam suatu perjanjian atau melakukan pelepasan harta kekayaan milik prinsipal yang bersifat mengikat.


(29)

diberikan kepadanya oleh kontrak keagenan. Namun kekuasaannya untuk mengikat prinsipal melampaui wewenang kontraktual ini.

Cara yang paling jelas terlihat dalam hal terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah berdasarkan pemberian ijin atau kewenangan. Kewenangan secara tegas timbul ketika prinsipal berkata secara tegas bahwa ia memberikan ijin kepada agen untuk bertindak atas namanya dengan cara tertentu dan agen menyetujui untuk melakukannya. Prinsipal dan agen akan dianggap telah sepakat apabila mereka telah menyetujui apa akibat hukum atas hubungan tersebut, meskipun mereka tidak mengakuinya sendiri dan meskipun mereka menyatakan untuk menyangkalnya. Akan tetapi, masing-masing dari mereka harus memberikan persetujuan tersebut. Kebanyakan orang akan melihat apa yang dikatakan dan dilakukan pada saat timbulnya dugaan terbentuknya hubungan keagenan. Kata-kata dan tindakan sebelumnya dapat menjadi bukti adanya suatu hubungan yang pernah dilakukan sebelumnya pada saat itu dan umumnya dapat dipertimbangkan sebagai latar belakang historis. Kata-kata dan tindakan di kemudian hari dapat pula memiliki arti meskipun mungkin tidak terlalu penting.

Cara lain terbentuknya suatu hubungan keagenan adalah ketika adanya pemberian kewenangan secara tersirat. Dalam hal pemberian kewenangan secara tersirat, prinsipal tidak berkata secara tegas kepada agen bahwa agen telah diberikan kewenangan untuk bertindak dengan cara tertentu. Sementara sebaliknya, tindakan-tindakan dari prinsipal dan agen sedemikian jelasnya terlihat bahwa prinsipal telah mengijinkan agen untuk memiliki kewenangan tertentu, dan agen telah menyetujuinya. Dengan kata

20


(30)

xxix

lain, kesepakatan itu disimpulkan dari tindakan para pihak dan keadaan-keadaan dari kasus yang bersangkutan. Contoh yang paling umum dari pemberian kewenangan secara tersirat adalah ketika seseorang diangkat untuk menduduki suatu jabatan tanpa memberikan kewenangan secara tegas kepada orang itu, dan jabatan tersebut adalah jabatan yang biasanya memiliki kewenangan tertentu. Misalnya, ketika direksi mengangkat salah satu anggotanya untuk menduduki posisi managing director atau chief executive officer, maka direksi secara tersirat memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan segala sesuatu yang biasanya masuk dalam lingkup kewenangan jabatan itu. Orang akan berharap bahwa kebanyakan managing director biasanya akan memiliki sekurang-kurangnya kewenangan tersirat untuk menyetujui atau mengadakan perjanjian yang berada dalam lingkup usaha perusahaan sehari-hari.

Harus diperhatikan bahwa pemberian kewenangan secara tegas ataupun tersirat dianggap sebagai kewenangan yang sebenarnya atau sesungguhnya. Dengan kata lain, kewenangan itu sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, dalam situasi dimana tidak ada kewenangan yang diberikan baik secara tegas ataupun tersirat, seorang ‘agen’ tetap dapat mengikat ‘prinsipal’. Dalam hal ini, ‘agen’ dikatakan memiliki kewenangan yang terlihat. Meskipun kewenangannya tidak sungguh-sungguh ada, sepanjang tindakan ‘agen’ dapat mengikat ‘prinsipal’, suatu hubungan keagenan telah terbentuk.

Alasan mengapa prinsipal dapat terikat berdasarkan cara ini adalah karena hukum keagenan terutama berlaku dalam lingkup komersial dimana kepastian transaksi merupakan hal yang penting. Dengan demikian, hukum


(31)

keagenan tidak dapat terbatas pada kasus-kasus dimana agen memiliki kewenangan yang sesungguhnya, baik yang diberikan secara tegas ataupun tersirat. Apabila transaksi-transaksi komersial dalam perekonomian modern harus dilakukan secara cepat dan efisien, maka batas-batas tersebut akan sangat memberatkan biaya untuk bertransaksi. Penyelidikan harus dilakukan dan, dalam hal perusahaan, keputusan secara formal harus diperoleh. Hal ini akan sangat tidak sesuai dengan tujuan diperbolehkannya penggunaan agen-agen. Lebih lanjut, di dalam perdagangan modern, seringkali dirasa perlu untuk memberikan keleluasaan sampai batas tertentu kepada agen, misalnya untuk melakukan perundingan dan melakukan tahap finalisasi atas ketentuan-ketentuan dari suatu perjanjian, terutama jika agen adalah seorang karyawan senior dari organisasi usaha. Dengan keleluasaan tersebut, kadangkala terjadi dimana agen bertindak di luar lingkup kewenangannya yang sesungguhnya. Apabila terjadi demikian, maka agen akan bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas pelanggaran terhadap jaminan tentang kewenangan agen (lihat perkara Bagian 9 di bawah ini). Akan tetapi, hal ini mungkin tidak memuaskan pihak ketiga, yang seringkali lebih memilih untuk menghubungi prinsipal sehubungan dengan kontrak yang telah diadakannya.

Dengan demikian, apabila tidak ada keadaan-keadaan tertentu dimana hukum keagenan memperbolehkan kontrak-kontrak tersebut dapat dilaksanakan, maka kepercayaan terhadap penggunaan agen akan sangat terusik yang mana hal ini dapat menganggu kenyamanan dalam berdagang dan efisiensi dalam pengoperasian pasar. Apabila hukum mengatur sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun keadaan dimana prinsipal akan terikat oleh tindakan agen yang tidak diwenangkan, maka pihak ketiga akan


(32)

xxxi

selalu menghubungi prinsipal untuk memastikan pengadaan transaksi yang bersifat mengikat. Prinsipal dapat mengelak dari perjanjian yang diadakan oleh agennya tanpa wewenang, terlepas bagaimanapun pihak ketiga secara obyektif sebagaimana layaknya berpikir bahwa agen telah diberikan wewenang sebagaimana mestinya. Prinsipal juga tidak terdorong untuk memiliki prosedur untuk memastikan bahwa para agennya bertindak secara baik.

Dengan demikian, hukum keagenan telah mengembangkan suatu doktrin kewenangan yang terlihat, dimana seorang agen yang kelihatannya memiliki kewenangan dapat mengikat prinsipalnya ketika pihak ketiga bertindak dengan mengandalkan kewenangan yang terlihat tersebut, biasanya dengan mengadakan perjanjian dengan agen. Doktrin ini bukanlah doktrin yang tanpa syarat, doktrin ini timbul ketika, berdasarkan fakta, tampak atau terlihat seolah-olah seseorang (‘agen’) memiliki kewenangan yang sesungguhnya. Kewenangan yang terlihat ini timbul karena ‘prinsipal’ melakukan atau mengatakan sesuatu, dengan kata lain, karena suatu pernyataan dari ‘prinsipal’. Apabila pihak ketiga mengandalkan ini dan mengadakan perjanjian dengan ‘agen’ karena meyakini bahwa ‘agen’ bertindak atas nama ‘prinsipal’, maka ‘prinsipal’ menjadi terikat. Penjelasan yang paling umum untuk kewenangan yang terlihat adalah doktrin estoppe.

Kewenangan yang terlihat dapat timbul ketika seorang agen melampaui kewenangannya atau ketika seseorang yang bukan agen terlihat bertindak seperti agen karena apa yang dilakukan atau dikatakan oleh ‘prinsipal’. Misalnya, A telah ditunjuk untuk bertindak sebagai agen dari P. Hubungan keagenan kemudian diakhiri oleh P tetapi A terus bertindak seolah-olah ia adalah agen dari P dan mengadakan perjanjian dengan T


(33)

yang tidak tahu bahwa hubungan keagenan telah diakhiri. P dengan demikian terikat oleh tindakan A. Contoh lain adalah apabila P tidak pernah menunjuk A sebagai agen P tetapi P memperbolehkan A bertindak seolah-olah ia adalah agen, atau membuat T merasa yakin bahwa A adalah agen dari P. Dalam situasi-situasi tersebut, P akan terikat dengan T apabila T mengadakan transaksi dengan A yang dengan sengaja bertindak atas nama P dalam lingkup kewenangannya yang terlihat.

Perlu diperhatikan bahwa kewenangan yang terlihat harus timbul karena apa yang dilakukan oleh ‘prinsipal’. Seorang agen tidak dapat membuat pernyataan mengenai kewenangannya dan mengikat prinsipal berdasarkan apa yang dikatakan oleh agen itu sendiri. Apabila pendapat ini tidak ada, maka setiap orang yang memiliki suatu hubungan dengan prinsipal dapat mengaku bahwa ia memiliki kewenangan untuk mengikat prinsipal dan dapat membuat prinsipal memiliki kewajiban kepada pihak ketiga. Usaha-usaha dagang terpaksa harus mengambil langkah yang luar biasa guna memberitahukan semua orang dan menjelaskan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh karyawannya, meskipun seringkali tidak berhasil.

Kewenangan yang terlihat dapat timbul bahkan di perusahaan. Suatu perusahaan dapat membuat pernyataan-pernyataan penting melalui pejabatnya yang sah atau melalui salah satu organnya seperti direksi.

Kewenangan yang terlihat juga dapat membuat pihak ketiga mengajukan gugatan terhadap prinsipal. Apabila prinsipal ingin mengajukan gugatan terhadap pihak ketiga, ia tidak dapat mengandalkan kewenangan yang terlihat karena ia jelas-jelas mengetahui bahwa agennya tidak memiliki kewenangan yang seharusnya. Prinsipal juga tidak dapat memanfaatkan


(34)

xxxiii

doktrin estoppel yang timbul dari tindakan prinsipal itu sendiri. Agar dapat menggugat pihak ketiga, prinsipal harus mengesahkan tindakan agen.

Dasar Hukum Keagenan

Lembaga keagenan bukan merupakan lembaga baru dalam dunia perdagangan di Indonesia, hanya saja undang-undang yang secara khusus mengatur lembaga keagenan belum ada. Dengan demikian bukan berarti lembaga keagenan beraktivitas tanpa aturan. Pijakan yuridis untuk beraktivitas, pranata dagang yang disebut agen ini dapat dilihat dari :

1. Kitab undang-undang Hukum perdata

Hal ini karena pola hubungan hukum yang terjadi antara prinsipal dengan agen adalah perjanjian pemberian kuasa, maka ketentuan perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata berlaku sebagai dasar perjanjian keagenan. Selain itu, pranata hukum agen ini muncul dalam praktik bisnis, sehingga dasar hukum diantara mereka dibangun atas dasar perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Di dalam KUHDagang ada pengaturan yang berkaitan atau mirip dengan keagenan, yaitu pengaturan tentang makelar (pasal 62 s/d 73 KUHD) dan komisioner (pasal 76 s/d 85 KUHD), yang pada dasaranya berfungsi sebagai pranata dagang. Dengan demikian pengaturan KUHD tentang makelar dan komisioner secara yuridis berlaku terhadap masalah keagenan, selain itu agen


(35)

bukan saja merupakan pekerjaan selingan dan bagian dari perusahaan pemberi kuasa, tetapi merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Dengan demikian hukum perusahaan berlaku pada agen.

3. Pengaturan Administrasi

Walaupun agen, makelar, komisioner termasuk pranata, tetapi ketentuan-ketentuan tentang makelar dan komisioner dalam KUHD dan ketentuan-ketentuan pemberian kuasa dalam KUHPerdata tidaklah dapat diterapkan begitu saja untuk lembaga keagenan.21

Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1977 pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah No. 36 tahun 1997 yang menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya hanya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur/agen dengan membuat surat perjanjian. Dengan adanya peraturan pemerintah ini, lembaga keagenan baru berkembang dalam dunia perdagangan di Indonesia. Peraturan yang bersifat administratif lainnya dikeluarkan Menteri Perindustrian yaitu SK Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/1982 yang dalam pasal 22 menyebutkan bahwa pengangkatan/penunjukan suatu perusahaan nasional oleh prinsipal asing wajib dilakukan dengan suatu perjanjian yang berisfat akslusif untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan barang-barang modal dan Artinya selain undang-undang tersebut di atas, lembaga keagenan ini diperlukan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Peraturan yang bersifat administratif).


(36)

xxxv

barang-barang modal dan barang-barang industri tertentu yang menjadi obyek perjanjian. Selain peraturan tersebut masih ada beberapa peraturan administratif yang lain.

Pelaksanaan Perjanjian Keaganen

Perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disetujui oleh para pihak dalam bentuk tertulis berupa formulir perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak pertama yaitu pihak prinsipal, dimana dengan demikian kontrak yang diadakan merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar. Perjanjian baku adalah perjanjian yang dibuat secara kolektif dalam bentuk formulir. Pernyataan ini sejalan dengan memperhatikan fakta dari format kontrak yang telah ditandatangani oleh para pihak tersebut di atas secara awam dapat diketahui terdapat beberapa bagian yang memang sengaja dikosongkan sebagai reservasi apabila ternyata terdapat perbedaan antara kontrak distributor yang satu dengan kontrak yang lainnya. Adapun bagian-bagian yang sengaja dikosongkan antara lain adalah : 1. Kolom para pihak, khususnya kolom agen.

2. Kolom Territory

3. Kolom yang berkenan dengan masa berlaku perjanjian dan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu (baik dalam hitungan hari, bulan maupun tahun)

4. Kolom Agen (dalam hal ini adalah agen pembayaran dalam transaksi ini yang setiap saat dapat berubah)

21

I Ketut Oka Setiawan, 1995, Lembaga Keagenan Dalam Perdagangan dan Pengaturan di Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co, hal. 67.


(37)

5. Kolom harga objek yang didistribusikan

Identifikasi dapat dilakukan secara mudah dan cepat, dimana pihak prinsipal dalam hal ini telah terlebih dahulu memberikan kolom-kolom yang siap diisi setiap saat dengan menggantungkan agen, besaran nilai transaksi, dan hal-hal lain yang merupakan kewajiban dari pihak agen yang perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh prinsipal. Namun di lain pihak selain ditentukan lain oleh para pihak (khususnya oleh prinsipal) tidak terdapat suatu penambahan dan/atau perubahan yang sifatnya spesifik atau setidaknya terjadi penambahan atau perubahan, dan dapat dengan mudah diidentifikasi oleh penulis.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seharusnya dengan adanya azas kebebasan berkontrak tersebut, posisi kedua belah pihak adalah sama dan sederajat. Namun, dalam praktek sehari-hari kita bisa melihat bahwa sebenarnya kedua pihak tidak dalam posisi yang seimbang. Seringkali terjadi pihak distributor harus menerima persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh perusahaan produsen secara mutlak tanpa bisa menawar lagi. Hal ini disebabkan perusahaan prinsipal telah mempersiapkan standar formulir-formulir kontrak, berarti bagi distributor yang ingin mengadakan perjanjian dengan pihak produsen terkait dengan formulir-formulir kontrak yang sudah disediakan pihak produsen. Adapun hal yang melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak adalah untuk mempermudah perusahaan prinsipal dalam menjalankan usahanya, yang dalam lingkup usahanya perusahaan prinsipal telah mempersiapkan jaringan distributor produknya tidak secara ekslusif dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara, melainkan lebih dari itu. Oleh karenanya untuk mempermudah aspek pemahama


(38)

xxxvii

transaksi, pola administrasi dan permasalahan lainnya, maka perusahaan prinsipal cendrung menjaalankan pola pemberlakuan standar kontrak baku tersebut.

Perjanjian baku diadakan dengan maksud untuk mencapai tujuan efisiensi, kepastian dan lebih bersifat praktis meskipun kadang-kadang mengandung faktor negatif, karena dapat merugiksn pihak lain yaitu pihak konsumen yang lemah. Dalam perjanjian baku maka konsumen dalam hal ini hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya, yang artinya tidak terjadinya transaksi antara para pihak. Dalam bahasa Inggris perjanjian baku sering diungkapkan sebagai take it or leave it contract. Ada hal yang perlu digaris bawahi oleh penulis dalam menyikapi perjanjian baku ini adalah undang-undang tidak melarang siapun juga untuk membuat, memasuki, menandatangani dan/atau menjadi pihak dalam suatu kontrak dimaksud, sepanjang kontrak baku tersebut tidak memuat hal-hal yang secara tegas-tegas dilarang oleh undang-undang, yaitu perjanjian dibuat dengan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dimana oleh karenanya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pada umumnya kontrak yang dilakukan oleh dan antara prinsipal dengan distributornya, yang lazim terjadi isinya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya atau kedudukan ekonominya lebih kuat dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian demikian, lazim pembuat perjanjian atau pihak ekonomi yang kuat (pihak kreditur), lebih banyak menentukan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang lazimnya merupakan pihak ekonomi lemah (pihak distributor). Klausula yang bersifat demikian dinamakan klausula


(39)

eksonerasi atau exemplion clause.

Hal mana sebenarnya tidak semana-mana dikarenakan pihak tersebut secara ekonomi lebih kuat, yang sebenarnya faktor tersebut memang juga tidak dapat dipungkiri, tetapi apabila dilihat dari perspektif pihak prinsipal maka sudah barang tentu yang menjadi pemikiran adalah bagaimana pihaknya memperoleh resevasi dan/atau pihak terjamin untuk memasuki sebuah transaksi. Sebagaimana kendala yang mungkin timbul adalah prinsipal yang merupakan perusahaan yang tergolong dalam lingkup lembaga wholesaler, prinsipal beranggapan bahwa perusahaannya merupakan salah satu perusahaan yang bonafid dan memiliki jaringan pemasaran yang luas dan tersebar diseluruh penjuru dunia, dimana apabila masing-masing negara yang bersedia untuk mengadakan kerjasama distribusi memberikan draft perjanjiannya secara tersendiri, maka sudah barang tentu akan terjadi suatu kesulitan dalam pemahaman transaksi. Terlebih lagi terhadap permasalahan perbedaan sistem hukum, atau meskipun menggunakan sistem hukum yang sama tetapi sudah barang tentu kinerja dari sistem hukum yang sama tersebut antara satu negara dengan negara lainnya berbeda, yang dikarenakan oleh faktor sosiologis dan antropologis suatu masyarakat serta seberapa dekat masyarakat tersebut dekat dengan perkembangan dan globalisasi dibidang teknologi.

Apabila ditarik mundur sejarah menunjukan tentang latar belakang sistem hukum Belanda yang kemudian berlaku di Indonesia, yang mana salah satu alasan mendasarnya adalah pihak kolonial Belanda dalam mengadakan transaksi jual beli rempah-rempah dengan berbagai macam suku bangsa yang berbeda di Hindia Belanda, mengalami kesulitan dikarenakan pengetahuan mereka yang sangat


(40)

xxxix

minim tentang hukum adat yang berlaku pada masing-masing suku. Sementara itu dilain pihak kolonia Belanda tetap memerlukan rempah-rempah yang merupakan hasil bumi Hindia Belanda, maka untuk mempermudah jalannya transaksi pola yang diterapkan dan diberlakukan dalam transaksi jual beli dimaksud adalah dengan menggunakan hukum Belanda, dimana pada suatu pihak para kolonia Belanda lebih mengetahui hukum mereka dan di lain pihak tercipta suatu efesiensi, serta dikarenakan alasan-alasan lainnya. Seiring dengan perkembangan yang terjadi dan dengan terjadinya dominasi kolonial Belanda, maka masyarakat Hindia Belanda menjadi terpengaruh dan melihat bahwa perlu diadakan suatu kerangka hukum yang konstruktif agar tercipta efisiensi dan efektifitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga sampai sekarang sistem tersebut tetap berlaku namun banyak pihak yang berupaya untuk melakukan perubahan terhadap sistem hukum peninggalan kolonia Belanda dimaksud.

Sejarah menunjukan tentang faktor kekuatan ekonomi, faktor efisiensi dan efektifitas serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi penilian masyarakat dan dalam rangka menunjang untuk terjadinya suatu proses penciptaan atau setidaknya pemahaman/penyamaan perspektif dalam menyikapi suatu sistem hukum atau perjanjian. Sehingga tercipta suatu fleksibilitas antara keinginan dari para pihak yang memasuki dan menandatangani kontrak, termasuk dan tidak terbatas pada kontrak distributor dimaksud.

Jika diperhatikan lebih mendalam hal melatarbelakangi disepakatinya kontrak disbutor adalah kepentingan dari pada para pihak yang perlu untuk dijembatani. Prinsipal dalam sudah barang tentu bertindak dan/atau bersifat untuk


(41)

memproduksi barang-barang yang dilain pihak memiliki suatu kendala dalam memasarkan produk mereka, dimana asumsinya adalah bangsa pasarnya terbatas pada lingkup lokal dan sekitar dari domisili prinsipal. Tetapi dalam dunia bisnis tidaklah demikian, dimana agar perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang lebih, maka diperlukan suatu perluasan jaringan pasar. Pertanyaannya adalah apakah prinsipal dapat melakukan hal semacam itu mengingat kemungkinan untuk terjadinya monopoli dan biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal justru membengkak apabila prinsipal harus membuka cabang-cabang divisi pemasarannya baik domestik maupun internasional. Begitu banyaknya prosedur yang harus ditempuh, terutama prosedur hukum yang sudah barang tentu negara yang satu berbeda dengan negara lainnya, maka mengakibatkan kompleksitas usahnya semakin rumit dan tidak tertutup kemungkinan biaya operasional usahanya menjadi membengkak. Oleh karenanya dalam perkembangan dunia perdaganngan lahirlah lembaga-lembaga yang memiliki fungsi sebagai perpanjangan tangan dari prinsipal, yang seiring dengan perkembangan dikenal dengan istilah perusahaan penyaluran, agen, distributor dan sebagainya. Di lain pihak lembaga penyaluran ini ada tidak semata-mata terkungkung pada konteks keberadaannya yang diperlukan, tetapi juga dikarenakan adanya manfaat maupn keuntungan yang dapat diperoleh melalui kegiatan usaha penyaluran tersebut. Sehingga keberadaan kedua lembaga perdagangan tersebut sebenarnya menciptakan suatu sinergi perekonomian yang kondusif dan konstruksif. Namin demikian, perlu adanya suatu kerangka yang secara spesifik mengatur tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya. Kerangka


(42)

xli

tersebut berada dalam kerangka tatanan hukum, yaitu yang lazim dikenal dengan istilah kontrak.

Kontrak distributor pada umumnya tidak terdapat suatu format baku dan oleh karenanya tidak terdapat suatu bentuk keseragaman format, tetapi selayaknya sebuah kontrak, maka didalamnya diatur secara spesifik tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan para pihak. Dengan kata lain kontrak merupakan suatu sarana meeting of the minds among the parties thereto. Prinsip lain yang perlu diperhatikan dalam perjanjian baku adalah masalah pilihan. Psra pihak dalam kontrak tersebut telah menjatuhkan pilihannya untuk saling mengikatkan diri. Suatu ikatan pada umumnya tidak akan dapat dilaksanakan apabila melulu dalam perjanjian tersebut sangat berat sebelah dan tidak memberikan keuntungan/manfaat bagi pihak yang lainnya. Alasan untuk menciptakan iklim perekonomian yang baik memang merupakan konsep yang ideal, tetapi motivasi yang timbul adalah sebenarnya untuk memperoleh keuntungan finansial bagi perusahaan. Oleh karenanya meskipun perjanjian ini sifatnya baku tetapi secara finansial menguntungkan, maka sudah merupakan suatu hal yang logis apabila distributor memilih untuk mengikuti standar baku dimaksud.


(43)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN KEAGENEN

A. Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenan

Para pihak dalam perjanjian keagenan adalah: 1. Agen

2. Prinsipal 3. Pihak ketiga

Agen atau keagenan tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun KUHDagang. Dengan demikian dilapangan hukum perdata dan hukum dagang, perjanjian keagenan ini merupakan suatu bentuk perjanjian atau lembaga khusus yang timbul dalam praktek seperti halnya lembaga-lembaga yang timbul dalam praktik lembaga keagenan ini memperoleh dasar yuridis yang diterima ekistensinya melalui asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata. Dengan demikian ketentuan-ketentua perjanjian pada umumnya yang bersifat memaksa dalam KUHPerdata berlaku pula untuk perjanjian keagenan. Selain itu menurut R. Subekti menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai lastgeving, makelar dan komisioner juga peraturan-peraturan mengenai keagenan yang dikeluarkan pemerintah kemudian dapat diberlakukan sebagai ketentuan untuk perjanjian keagenan. Dengan kata lain terhadap perjanjian keagenan akan dibelakukan ketentuan-ketentua pokok yang menyangkut pemberian kuasa ditambah dengan beberapa ketentuan mengenai makelar dan komisioner dan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis. 22

22

R. Subekti, 1982, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, hal. 43. 36


(44)

xliii

Kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dipunyai agen yang bertindak untuk dan atas nama prinsipnya. Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan tertentu/mengadakan perjanjian dengan pihak ke tiga. Perjanjian dengan pihak ketiga dibuat agen untuk dan atas nama prinsipalnya berdasarkan pemberian wewenang/kuasa dan prinsipalnya akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen sepanjang tindakan tersebut dilakukan dalam batas wewenang yang diberikannya. Perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak agen untuk prinsipalnya dan hak kewajiban para pihak dituangkan dalam perjanjian keagenan yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian keagenan dapat pula merupakan bentuk khusus dari perjanjian pemberian kuasa, sehingga ketentuan pokok perjanjian pemberian kuasa berlaku terhadap perjanjian keagenan. Perjanjian pemberian kuasa ini menciptakan hubungan hukum yang bersifat koordinatif dan tetap berdasarkan alas an-alasan sebagai berikut :

1. Agen perusahaan adalah perusahaan yang berdiri sendiri bukan bagian dari perusahaan pemberi kuasa

2. Agen perusahaan adalah pemegang kuasa untuk menjalankan keagenan sebagai perusahaan perwakilan dari perusahaan pemberi kuasa

3. Agen perusahaan menjalankan keagenan secara terus menerus selama tidak dihentikan oleh perusahaan yang diageninya.23

23


(45)

Mencermati pola hubungan hukum maka akan terkait tiga pihak yaitu pihak pemberi kuasa (prinsipal), pihak penerima Kuasa (agen), dan pihak ketiga

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Keagenan

Seperti kita ketahui bahwa perjanjian keagenan didasari oleh kebebasan berkontrak dalam membuat isi perjanjian, namun sebagai pedoman dasar, Departemen perdagangan telah mengeluarkan draft yang berisi :

1. Pengangkatan Keagenan, antara lain berisi :

a. Penentuan agen tunggal atau bukan agen tunggal b. Jenis barang yang dipasarkan

c. Daerah pemasaran

2. Hak dan Kewajiban Prinsipal, antara lain berisi :

a. Kewajiban prinsipal memasok barang yang akan dipasarkan b. Larangan mengangkat agen lain diwilayah yang sama c. Memelihara mutu produk

d. Memberikan bantuan promosi produk e. Bantuan tenaga teknis kepada agen

f. Tunduk pada peraturan dimana produk dipasarkan

g. Terms dan conditions tentang pembayaran harga barang kepada prinsipal 3. Hak dan kewajiban Agen, antara lain :

a. Memproduksikan produk

b. Melindungi kepentingan prinsipal (hak paten, merek, rahasia dagang)

c. Mngembalikan semua data/informasi kepada prinsipal apabila perjanjian keagenan berakhir


(46)

xlv

d. Kewajiban menyampaikan laporan berkala

e. Larangan menjual produk di bawah harga minimum

f. Hak untuk memasarkan, membuat perjanjian jual beli, mengikuti tender dan hak untuk mencantumkan nama prinsipal atau merek produk di kantor agen, serta hak menerima komisi

C. Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenan

Usaha keagenan ini merupakan hubungan perdata, artinya hubungan antara pribadi dengan pribadi yang diatur dalam bidang hukum perdata. Hubungan hukum yang dilakukan antara pribadi dengan pribadi ini dapat terjadi dalam suatu wilayah negara ataupun melintasi batas-batas negara, hubungan hukum yang terjadi antara agen dan prinsipalnya atas dasar perjanjian yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Para pihak bebas membuat perjanjian apa saja/memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengingat usaha keagenan sudah melintasi batas-batas negara yang mana prinsipalnya di luar negeri, maka pemerintah perlu ikut campur tangan dalam kegiatan usaha keagenan yaitu dengan mengeluarkan peraturan-peraturan (lewat Departemen Teknis). Adanya campur tangan pemerintah dalam usaha keagenan ini merupakan konsekuensi logis dalam menyelenggarakan usaha-usaha untuk kesejahteraan rakyatnya dan upaya melindungi warganya yang berposisi dipihak yang lemah terhadap pihak yang kuat dalam suatu perjanjian yang mereka buat.


(47)

Dengan kata lain pemerintah perlu melakukan campur tangan dalam pelaksanaan “asas kebebasan berkontrak” yang diatur dalam hukum privat. Pertanyaan yang timbul dapatkah pemerintah mencampuri kebebasan individu untuk melakukan suatu perjanjian keagenan? Sejauh mana campur tangan tersebut dapat dilakukan? Menurut Setiawan ada beberapa hal pokok yang mendapatkan perhatian, antara lain :

a. Negara/Pemerintah mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari suatu persaingan yang dilakukan dalam bidang perdagangan, sebagai akibat dari adanya kebebasan untuk memilih sesuatu jenis kegiatan usaha berdasarkan pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

b. Negara/Pemerintah melakukan campur tangan semata-mata untuk menetralisir mekanisme pasar yang dapat merugikan masyarakat.

c. Memberikan kepastian usaha.

d. Kurangnya pengetahuan pengusaha Indonesia mengenai lembaga keagenan sehingga dapat menimbulkan kerugian24

Perwujudan ikut campur tangan pemerintah dapat kita lihat melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen/unit instansi yang mempunyai kewenangan, diantaranya :

1. Pengaturan oleh Departemen Perindustrian

Departemen perindustrian mengeluarkan peraturan yang menyangkut kendaraan bermotor dan alat-alat besar untuk kegiatan usaha agen tunggal. Pengaturan oleh Departemen Perindustrian ini menyangkut :

24


(48)

xlvii

a. Perusahaan yang dapat melaksanakan kegiatan agen tunggal di Indonesia yaitu perusahaan nasional.

b. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh agen tunggal, yaitu mengimpor, mempromosikan, mendistribusikan dan melaksanakan pelayanan purna jual atas barang-barang yang diageninya.

c. Hak agen tunggal yang telah memperoleh pengakuan Menteri Perindustrian yang antara lain memperoleh perlindungan dari pemerintah untuk menyelesaikan secara tuntas terhadap perusahaan yang timbul sebagai akibat dari ketidakwajaran prinsipal dalam memutuskan perjanjian.

d. Kewajiban agen tunggal yang telah memperoleh pengakuan dari Menteri Perindustrian, yaitu melaksanakan jaringan pemasaran barang yang diageninya untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, memberikan pelayanan purna jual, meningkatkan usaha keagenan tunggalnya (yang bersifat pedagang pengimpor) menjadi kegiatan produksi.

e. Kewajiban untuk memperoleh kegiatannya kepada Departemen perindustrian.

2. Pengaturan oleh Departemen Perdagangan

Pengaturan yang dilakukan oleh departemen perdagangan ini mengenai persyaratan untuk mendapat surat pendaftaran keagenan.

3. Departemen kesehatan

Mengatur antara lain mengenai pedagang besar tidak boleh menjual obat secara eceran.


(49)

Berdasarkan PP No. 36 tahun 1997, hanya perusahaan nasional yang dapat menjadi agen di Indonesia, baik untuk prinsipal yang berada di luar negeri, maupun untuk prinsipalnya yang berada di Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan oleh pemerintah untuk melindungi perusahaan nasional yang menjadi agen tunggal. Hanya saja, karena kesempatan menjadi agen hanya diberikan kepada perusahaan nasional saja hal ini tentu saja akan mengurangi investasi asing ke Indonesia melalui kegiatan keagenan.

Perusahaan yang menjalankan kegiatan sebagai agen yang mempunyai prinsipal di luar negeri, perlu mendapatkan kepastian berusaha. Dengan demikian usaha keagenan tersebut wajib diberikan legalisasi. Menurut Setiawan legalisasi tersebut meliputi :

1. Setiap perjanjian keagenan harus dibuat atau disahkan oleh pejabat perwakilan Republik Indonesia di negara prinsipal, sebelum memberikan pengesahaan ia harus meneliti terlebih dahulu bonafiditas dan kewenangan perusahaan yang menjadi prinsipal,

2. Semua agen yang mempunyai prinsipal di luar negeri di beri surat tanda pendaftaran di Departemen perdagangan sebagai cara pengawasan hubungan keagenan yang dilakukan oleh perusahaan nasional di Indonesia. Dengan penetapan persyaratan ini, pemerintah telah melakukan perlindungan perjanjian keagenan bagi perusahaan nasional. 3. Perusahaan yang dapat menjalankan kegiatan usaha agen yang

mempunyai prinsipal di luar negeri hanyalah agen yang telah didaftarkan. Departemen perdagangan melakukan pengawasan secara aktif terutama terhadap pelaksanaannya dan terhadap pemutusan hubungannya.25

Selain hal-hal tersebut upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi perusahaan nasional terutama kegiatan usaha agen berupa kepastian berusaha yaitu legalisasi terhadap eksistensinya, iklim berusaha yang stabil, jangka waktu menjalankan keagenan, persaingan yang tidak jujur dari sesama, dan juga

25Ibid


(50)

xlix

memberikan perlindungan dari persaingan impor yang bebas barang yang telah diageni dan juga diskriminasi perlakuan dari prinsipnya.


(51)

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KEAGANEN

A. Tanggung Jawab Perdata Terhadap Kemungkinan Timbulnya Kerugian

Berdasarkan Perbuatan Agen

Sebagai suatu hubungan yang diikat oleh hukum perjanjian maka apabila hubungan antara agen dengan pengusaha dapat saja agen berbuat hal-hal yang melanggar kesepakatan, atau perbuatan lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi pengsuaha.

Apabila agen melakukan perbuatan yang merugikan pengusaha, maka agen tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian dengan alasan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan juga wanprestasi.

1. Tanggung jawab perdata dengan sebab perbuatan melawan hukum

Untuk terjadinya suatu perbuatan melawan hukum oleh agen

terhadap pengusaha harus dipenuhinya adanya unsur kesalahan (schuld).

“Dengan mensyaratkan adanya kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa si pelaku perbuatan melawan hukum hanyalah bertanggung jawab atas kerugian

tersebut yang dipersalahkan padanya“.26

Kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan sebagai

lawan dari kesengajaan, demikian pula dibenarkan sebagai sinonim dari pada istilah perbuatan melawan hukum.

Kesalahan (schuld), mencakup kealpaan dan kesengajaan, biasanya kealpaan tersebut disebut dengan kesalahan. Dengan demikian pengertian kesalahan mencakup dua pengertian, yakni kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit dan kesengajaan. 44


(52)

li

Untuk kesengajaan adalah sudah cukup bilamana agen pada waktu ia melakukan perbuatan atau pada waktu melalaikan kewajibannya sudah mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya pengusaha pasti menderita kerugian, sekalipun ia sudah mengetahuinya masih juga melakukan perbuatannya atau masih melalaikan kewajibannya.

Bagaimana kesalahan itu diartikan. Vollmar sebagaimana dikutip oleh Rahmat Setiawan menyatakan : “dalam hal syarat kesalahan harus diartikan dalam arti subjektif (abstrak) dan arti yang objektif (konkrit).27

Seorang anak berumur 5 tahun secara mendadak menyeberang jalan, pengendara sepeda motor yang berusaha menghindari tabrakan dengan anak tersebut mengalami kecelakaan. Perusahaan asuransi pengendara sepeda motor menuntut ayah si anak untuk mengganti rugi atas premi yang dibayarkan pada pengendara motor. Menurut Pengadilan Tinggi anak tersebut dapat dipersalahkan melanggar lalu lintas. Hoge Raad membatalkan keputusan tersebut dan menyatakan

bahwa seharusnya diteliti apakah anak tersebut karena umurnya lebih

bersifat kurang hati-hati daripada yang dapat diterapkan dari orang yang telah dewasa.

Arrest HR.9-12-1966 (kesalahan subjektif).

28

Si Bello berjanji akan mengantar si Huyskamp ke suatu tempat. Perjalanan dilakukan dalam keadaan cuaca buruk dan jalanan licin. Selain kedua ban belakang gundul Bello juga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi meski kadang-kadang mobil selip hingga akhirnya mobil mengalami kecelakaan. Huyskamp menderita luka-luka berat, ia menuntut ganti rugi kepada Bello. Hoge Raad berpendapat bahwa pasal 1365 BW tidak membedakan antara kesengajaan dengan kelalaian, sekalipun Huyskamp hanya penumpang kendaraan, Bello tetap harus bertanggung jawab.

Arrest HR. 20-12-1957 (Kesalahan objektif).

29

Adapun mengenai syarat kesalahan yang diartikan dalam arti objektif maka persoalan adalah apakah bahwa si pelaku pada umumnya

26

Martiman Prodjohamidjojo, 1989, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 66.

27

Rahmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni, hal. 65.

28


(53)

dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu, dalam arti bahwa ia harus dapat mencegah timbulnya akibat-akibat daripada perbuatannya yang konkrit.

Maka akan ada kesalahan dalam arti konkrit atau dalam arti objektif bilamana si pelaku seharusnya melakukan perbuatan secara lain dari yang telah dilakukannya. Si pelaku telah berbuat secara lain dari pada yang seharusnya dilakukan dan dalam hal ini sedemikian itu kesalahan dan sifat melawan hak menjadi satu.

M.A. Moegni mengatakan “ mengenai unsur kesalahan yakni bahwa untuk adanya kesalahan tidak boleh mensyaratkan adanya syarat tentang

dapatnya dipertanggung jawabkan “. 30

a. Pertanggung jawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan itu.

Dalam hal mana suatu perbuatan adalah melawan hukum karena bertanggung jawab dengan ketentuan-ketentuan, moral atau lalu lintas, menurut pendapat Horman unsur kesalahan diserap oleh unsur sifat melawan hukum.

Bukanlah seorang anak kecil misalnya yang telah memecahkan kaca jendela rumah tetangganya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena menurut undang-undang pasal 1367 KUH Perdata orang tuanyalah yang bertanggung jawab atas perbuatan anak yang di bawah umur tersebut.

Pembuat undang-undang menerapkan istilah kesalahan dalam beberapa arti, yakni dalam arti :

b. Kealpaan sebagai lawan dari kesengajaan.

c. Sifat melawan hukum.31

29Ibid. 30

M.A. Moegni Djojodirjo, 1992, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hal. 65.

31

Chaidir Ali, 1997, Jurisprudensi Tentang Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Bina Cipta, hal. 21.


(54)

liii

Pertanggung jawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum.

Kalau seseorang yang dipersalahkan karena suatu perbuatan yang telah dilakukannya sehingga merugikan pihak lain maka itulah yang dimaksud dalam rumusan pasal 1365 KUH Perdata itu.

Bilamana seorang karena perbuatan melawan hukum telah menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka harus mengganti kerugian tersebut, karena perbuatan dan akibat-akibatnya dapat dipersalahkan kepada si pelaku.

Persoalan mengenai ajaran kesalahan (schuldleer) adalah sedari dulu tetap hangat. Dahulu harus dibedakannya pengertian kesalahan dengan sifat melawan hukum, maka kemudian yakni sejak tahun 1919, kedua pengertian tersebut harus dibedakan secara tegas.

Maka dalam Arrest Hooge Raad 31 Januari 1919 yang menghasilkan perumusan yang luas tentang pengertian perbuatan melawan hukum, pada akhir pertimbangannya tentang rumusan tersebut telah dilanjutkan dengan kata-kata sebagai berikut :

Barang siapa karena kesalahannya sebab akibat dari pada perbuatan tersebut telah menyebabkan orang lain menderita kerugian, harus memberi ganti kerugian atas kerugian tersebut.

Van Vollenhoven dan Van Haltum telah mengemukakan adagium “ tiada hukum tanpa kesalahan “ (geen staf zonder schuld), maka Rutten telah berusaha menerapkan adagium tersebut dalam bidang perdata dengan mengemukakan tiada pertanggungan gugat atas akibat dari

perbuatan yang melawan hukum tanpa kesalahan. 32

- Kealpaan Sebagai Lawan dari Kesengajaan

Seperti halnya dengan hukum pidana, maka dalam hukum perdata


(1)

lxxv Pihak Perusahaan.

3. Tahap Pemberhentian Secara Sepihak

Dalam Tahap Pemberhentian Secara Sepihak ini berkaitan dengan pengakhiran atau pembatalan perjanjian oleh Pihak Kesatu yang dalam hal ini adalah Pihak Perusahaan dalam bentuk sebagai berikut, yaitu :

- Lisensi keagenan baik Agen Korodinator, Agen Produksi maupun Agen Debit dibatalkan, diputuskan atau dicabut oleh perusahaan untuk Agen Koordinator sedangkan untuk Agen Produksi dan Agen Debit lisensi keagenannya dicabut oleh perusahaan.

- Semua dokumen, sarana prasarana penjualan dan atribut milik pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan yang dipergunakan oleh Pihak Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun Agen Debit harus dikembalikan kepada pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan.

- Pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan mengiklankan melalui media massa atau mengirimkan pemberitahuan kepada lembaga pemerintah dan atau lembaga non pemerintah, Pemegang Polis dan khalayak ramai bahwa pihak kedua (Agen) tidak lagi terikat perjanjian keagenan dengan pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan, karenanya Pihak Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun Agen Debit tidak berhak untuk melakukan kegiatan pemasaran asuarnsi jiwa atas nama pihak kesatu yaitu Pihak. Setelah dilakukan pemberhentian secara sepihak oleh pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan, maka penyelesaian terakhir yang dilakukan oleh pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan adalah tahap ganti rugi yang timbul dari perbuatan Agen.


(2)

lxxvi 4. Proses Ganti Kerugian

Dalam Tahap Ganti Rugi ini, pihak kesatu yaitu Pihak Perusahaan selain melakukan pemberhentian secara sepihak juga membebankan kepada Pihak Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun Agen Debit untuk melaksanakan dan menyelesaikan hutang piutang yang menjadi tanggung jawabnya selambat-lambatnya 2 x 24 jam hari kerja.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh pihak kesatu yaitu dalam hal ini Pihak Perusahaan dilakukan berdasarkan apa yang telah digariskan dan dituangkan dalam perjanjian yang telah disepakti oleh Pihak Agen baik Agen Koordinator, Agen Produksi maupun Agen Debit, selain itu Pihak Perusahaan dalam penyimpangan yang terkait dengan perkara pidana telah menyerahkannya kepada pihak Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya dimana perjanjian itu dibuat.


(3)

lxxvii BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan perjanjian keagenan dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh agen dengan pihak prinsipal yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut menghasilkan hak dan kewajiban antara agen dengan prinsipal secara bertimbal balik.

2. Perlindungan hukum perjanjian keagenan adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum dalam kaitannya dengan kegiatan usaha para agen, karena kegiatan peragenan dapat saja melampauia suatu batas wilayah suatu daerah maupun suatu negara. Perlindungan yang diberikan adalah perlindungan oleh Pemerintah terhadap warganya yang menjadi agen dalam suatu persaingan usaha.

3. Penyelesaian sengketa perjanjianan dapat dilakukan melalui mediasi dengan cara melakukan penyelesaian di luar pengadilan. Meskipun demikian tetap terbuka bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian keagenan untuk menyelesaikan sengketa tersebut di dalam pengadilan.

B. Saran

1. Kepada pemerintah hendaknya dapat menyusunan suatu peraturan dasar bagi agen dan prinsipal dalam bentuk perundang-undangan.


(4)

lxxviii

2. Kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam perjanjian keagenan hendaknya dapat menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan secara damai.

3. Kepada agen dan prinsipal hendaknya mematuhi kesepakatan yang sebelumnya dibuat untuk menghindari terjadinya sengketa.


(5)

lxxix

DAFTAR PUSTAKA

Abdul R. Saliman, et. al. 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada.

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.

____________. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Basrah, 1979, Ganti Rugi Menurut Ketentuan dalam Buku III KUH Perdata, Medan: Fakultas Hukum USU.

Chaidir Ali, 1997, Jurisprudensi Tentang Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Bina Cipta.

I Ketut Oka Setiawan, 1995, Lembaga Keagenan Dalam Perdagangan dan Pengaturan di Indonesia, Jakarta: Ind Hill Co.

M. Yahya Harahap, 1996, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.

M.A. Moegni Djojodirjo, 1992, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni.

Martiman Prodjohamidjojo, 1989, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Meliala A. Qirom Syamsuddin, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty.

Munir Fuady, 1997, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti.

____________, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti.

R. Subekti, 1975, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita. ____________, 1982, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni.


(6)

lxxx

____________, 1996, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni.

_____________, 1998, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.

Rahmat Setiawan, 1982, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung: Alumni.

Richard Burton Simatupang, 1996, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta.

Soediman Karto Hadiprojo, 1984, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Era Grafika.

Sri Rejeki Hartono. 1980. Bentuk-Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga. Semarang: IKIP Semarang Press.

Wirjono Prodjodikoro. 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN KEAGENAN Syarat Sahnya Perjanjian - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 11