Proses Pembentukan Komite Nasional Indon (1)
Proses Pembentukan Komite Nasional Indonesia
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI kembali mengadakan persidangan. Persidangan tersebut
membicarakan rencana pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan
Keamanan Rakyat. Komite Nasional dibentuk di seluruh Indonesia dan berpusat di Jakarta.
Komite Nasional dimaksudkan sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia
untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. KNIP
diresmikan dan anggotanya dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian
(Gedung Komedi), Pasar Baru, Jakarta. Dalam persidangan pertamanya, KNIP berhasil
menyusun staf pimpinan sebagai berikut:
a. Ketua : Mr. Kasman Singodimejo
b. Wakil Ketua I : Sutarjo Kartohadikusumo
c. Wakil Ketua II : J. Latuharhary
d. Wakil Ketua III : Adam Malik
Komite Nasional dibentuk dari tingkat pusat sampai daerah. Komite Nasional yang ada di
daerah disebut Komite Nasional Daerah. Sejak itu, KNIP berfungsi sebagai pembantu
presiden. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia mulai berjalan berdasarkan UUD
1945 karena presiden dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan negara
tertinggi telah dibantu oleh Komite Nasional Indonesia. Inilah perwujudan Aturan Peralihan
Pasal IV UUD 1945.
Sementara itu, masalah Partai Nasional Indonesia ditunda pembentukannya dengan maklumat
tanggal 31 Agustus 1945. Penundaan disebabkan segala kegiatan pemerintah dicurahkan ke
dalam Komite Nasional. Sejak saat itu gagasan satu partai ini tidak pernah dihidupkan lagi.
Partai Nasional Indonesia pada waktu itu diharapkan menjadi satu-satunya partai politik di
Indonesia.
Dalam perkembangannya, kelompok pemuda yang dipimpin oleh Syahrir merasa tidak puas
terhadap sistem kabinet presidensial sehingga berusaha memengaruhi para anggota KNIP
lainnya untuk mengajukan petisi kepada Sukarno-Hatta. Isi petisi itu berupa tuntutan
pemberian status Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada KNIP. Dengan adanya petisi itu,
KNIP mengadakan rapat pleno pada tanggal 16 Oktober 1945.
Atas desakan sidang KNIP tersebut, Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor
X Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan
DPR diserahi kekuasaan legislatif. Selain itu, KNIP ikut menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih di antara mereka dan
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.
Perubahan Otoritas KNIP dan Lembaga Kepresidenan
Keragaman ideologi dan partai politik sudah ada pada awal abad ke-20, yakni pada masa
pergerakan nasional. Ada yang berideologi nasionalis, agama, sosialis, dan komunis. Pada
masa pendudukan Jepang semua organisasi politik dinyatakan bubar. Kemudian, Jepang
membentuk organisasi-organisasi baru. Setelah proklamasi, organisasi-organisasi pada masa
kolonial
Belanda
itu
berkembang
kembali.
Pada tanggal 16 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengadakan rapat
pleno pertama. Dalam rapat itu, ke-lompok sosialis di dalam KNIP di bawah pimpinan Sutan
Syahrir mengusulkan dua hal kepada pemerintah, yaitu sebagai berikut:
a. Pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
b. Pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum
DPR/MPR hasil pemilu terbentuk.
Wakil Presiden Moh. Hatta yang memimpin sidang menerima usul kelompok sosialis itu
dengan mengeluarkan Maldumat Wakil Presiden No X. Dengan diterimanya kedua usul dari
kelompok sosialis, maka berubahlah otoritas KNIP dan lembaga kepresidenan.
Komite Nasional Indonesia Pusat yang sebelumnya hanya sebagai badan pembantu presiden
berubah menjadi pemegang kekuasaan legislatif. Sebaliknya kekuasaan presiden yang
sebelumnya sangat luas, kini mulai sangat terbatas. Dalam kegiatannya KNIP mengusulkan
kepada pemerintah untuk segera membentuk partai-partai politik. Usul itu dituangkan dalam
Pengumuman BP KNIP No. III tanggal 30 Oktober 1945 yang ditandatangani oleh Ketua BP
KNIP Sutan Syahrir. Usul BP KNIP dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Roda pemerintahan telah berputar sehingga BP KNIP merasa telah tiba saatnya untuk
mengusahakan pergerakan rakyat.
b. Dalam rangka asas demokrasi, BP KNIP tidak sependapat dengan PPKI tentang penetapan
PNI sebagai partai tunggal di Indonesia.
Atas usul BP KNIP tentang dibentuknya partai-partai politik, pemerintah mengeluarkan
Maklumat Pemerintah No. III tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden
RI Moh. Hatta. Maklumat berisi anjuran tentang pendirian partai politik untuk menampung
segala aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Pemerintah mengharap agar partaipartai politik terbentuk sebelum pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat yang
berlangsung pada bulan Januari 1946.
PNI adalah gabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat
Rakyat Indonesia yang masing-masing telah berdiri pada bulan November dan Desember
1945. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah partai politik terus bertambah. Dengan
memanfaatkan partai politik yang ada, para politisi berebut kursi dan jabatan dalam
pemerintahan.
BP KNIP bahkan mengusulkan kepada pemerintah agar menteri-menteri tidak lagi harus
bertanggung jawab kepada presiden, melainkan kepada KNIP sebagai pengganti fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat pada saat itu (perubahan menjadi kabinet parlementer). Usul BP
KNIP yang dimotori oleh Sutan Syahrir itu ternyata disetujui oleh pemerintah.
Persetujuan pemerintah itu diumumkan melalui Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945. Kabinet Presidentil berubah menjadi Kabinet Parlementer sejak bulan November 1945
dengan Perdana Menterinya Sutan Syahrir sehingga kabinet itu disebut Kabinet Syahrir.
Perubahan dari Kabinet Presidentil menjadi Kabinet Parlementer merupakan tindakan
penyimpangan pertama terhadap Undang-Undang Dasar Negara.
Kabinet presidensil pertama
Susunan kementrian pertama yang berhasil disusun sesuai dengan ketentuan UUD 1945
ditetapkan pada tanggal 2 september 1945. Susunan kabinet pertama RI adalah sebagai
berikut:
1. Perdana menteri
: presiden Soekarno
2. Menteri dalam negeri
: R.A.A wiranata kusumah
3. Menteri Luar Negeri
: Mr. Ahmad Soebardjo
4. Menteri Kehakiman
: Prof. Dr. Soepomo, SH
5. Menteri kemakmuran
: Ir. D.P Surahman
6. Menteri Keuangan
: Mr. A. A Maramis
7. Menteri kesehatan
: dr. R. Boentaran M
8. Menteri pengajaran
: Ki hajar dewantara
9. Menteri Sosial
: Mr. Iwa kusumasumantri
10. Menteri penerangan
: Mr. Amir syarifudin
11. Menteri perhubungan
: R. Abikusno Tjokrosujoso
12. Menteri Keamanan rakyat
: Soeprijadi
13. Menteri pekerjaan umum
: R. Abikusno Tjokrosujoso
14. Menteri Negara
: KH. Wachid Hasjim
15. Menteri Negara
: Dr. M Amir
16. Menteri Negara
: MR. R. M. Sartono
17. Menteri Negara
: R. Otto iskandardinata
18. Menteri Negara
: MR. A.A. Maramis
Disamping itu juga diangkat sejumlah pejabat tinggi negara sebagai berikut:
1)
Ketua Mahkamah Agung
: Dr. Mr. Kusumaatmaja
2)
Jaksa Agung
: Mr. Gatot Tarunamihardja
3)
Sekretaris Negara
: Mr. A. G. Pringgodigdo
4)
Juru Bicara Negara
: Sukardjo wirjopranoto
Karena pengaruh dari golongan sosialis dalam KNIP, maka usia kabinet ini tidak
berlangsung lama, yaitu sejak september 1945 sampai 14 November 1945 sistem
pemerintahan di Indonesia berubah menjadi sistem kabinet parlementer dengan perdana
menteri pertamanya Sutan Syahrir.
Badan Pekerja KNIP akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir dan wakilnya Amir
Syarifuddin. Dalam pemikiran saat itu, KNIP diartikan sebagai pengganti MPR. Sementara
itu, Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) disamakan dengan DPR. Badan Pekerja KNIP dalam
kegiatannya mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membentuk partai-partai politik.
Usul itu dituangkan dalam pengumuman BP-KNIP Nomor III Tanggal 30 Oktober 1945 yang
ditandatangani oleh Ketua BP-KNIP, Sutan Syahrir. Usul BP-KNIP dikeluarkan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Roda pemerintahan telah berputar sehingga BP-KNIP merasa telah tiba saatnya untuk
mengusahakan pergerakan rakyat.
Dalam rangka asas demokrasi, BP-KNIP tidak sependapat dengan PPKI tentang penetapan
PNI sebagai partai tunggal di Indonesia.
Proses Pembentukan Komite Nasional Indonesia
Karena usulan BP-KNIP tentang dibentuknya partai-partai politik, pemerintah kemudian
mengeluarkan Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh
Wakil Presiden RI. Isi Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945 isinya sebagai
berikut:
Maklumat Politik 3 November 1945
1.
Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk
menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang
terdapat di Indonesia.
2.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik
telah tersusun secara rapi sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan
Rakyat yang dilakukan pada Januari 1946.
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai
politik itu, segala aliran yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur.
Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilang-sungkan
pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1945.
Sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut, banyak partai politik yang berdiri di
Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), 7 November 1945;
Partai Komunis Indonesia (PKI), 7 Desember 1945;
Partai Buruh Indonesia (PBI) , 8 Novem-ber 1945;
Partai Rakyat Jelata, 8 November 1945;
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 10 November 1945;
Partai Sosialis Indonesia (PSI), 10 No-vember 1945;
Partai Rakyat Sosialis (PRS), 20 November 1945; Pada tanggal 12 Desember 1945,
PSI dan PRS bergabung dengan nama Partai Sosialis.
Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI), 8 Desember 1945;
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), 17 Desember 1945; Partai Nasional
Indonesia (PNI) 29 Januari 1946.
PNI merupakan fungsi (gabungan) dari Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia,
dan Serikat Rakyat Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, keadaan politik menjadi
tidak stabil. BP-KNIP telah banyak dikuasai oleh kelompok Sutan Syahrir.
Pada tanggal 11 November 1945, BP-KNIP mengeluarkan Pengumuman Nomor 5 tentang
Peralihan Pertanggung-jawaban Menteri-Menteri dari Presiden kepada BP-KNIP. Ini berarti
sistem kabinet presidensial dalam UUD 1945 telah diamandemen begitu saja menjadi sistem
kabinet parlementer.
Hal ini terbukti setelah BP-KNIP mencalonkan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri.
Akhirnya, kabinet presidensial Sukarno-Hatta jatuh dan digantikan oleh kabinet parlementer
dengan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri pertama.
Hasil Sidang KNIP 16 Oktober 1945
Dalam sidang ini Drs. Moh Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor X Tahun 1945
yang menetapkan bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislatif, ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa
pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah
badan pekerja yang diplih di antara mereka dan bertanggungjawab kepada KNIP. Badan
Pekerja KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir dan wakilnya
Amir Syarifuddin
.
Kemudian Drs. Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Politilk 3 November 1945 atas
desakan dari Sutan Syahrir selaku Ketua BP-KNIP. Akibat dari maklumat/kebijakan itu
adalan munculnya berbagai partai politik di Indonesia dengan ideologi yang beraneka ragam.
Contohnya: Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia, Partai
Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jakarta, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Indonesia,
Partai Nasional Indonesia.
Tanggal 11 November 1945 BP-KNIP mengeluarkan pengumuman Nomor 5 tentang
pertanggungjawaban Materi Kepada Perwakilan Rakyat. Anehnya, Presiden Sukarno
menyetujui usul tersebut dan mengeluarkan Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November
1945. dengan persetujuan tersebut sistem cabinet presidensial dalam UUD 1945 telah
diamandemen menjadi sistem cabinet parlementer.
Maklumat Politik 3 November 1945
1.
Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk
menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang
terdapat di Indonesia.
2.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik telah
tersusun secara rapi sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat
yang dilakukan pada Januari 1946.
A. Peran dan Fungsi KNIP
Tugas pertama KNIP adalah membantu tugas kepresidenan. Namun, kemudian diperluas
tidak hanya sebagai penasihat presiden, tetapi juga mempunyai kewenangan legislatif.
Wewenang KNIP sebagai DPR ditetapkan dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945.
Dalam rapat tersebut,wakil presiden Drs. Moh.Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI
No. X yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.
KNIP sebelum DPR/MPR terbentuk diserahi kekuasaan legislatif untuk membuat
undang-undang dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2.
Berhubung gentingnya keadaan, maka pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh
sebuah Badan Pekerja KNIP yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Komite Nasional Indonesia
disusun dari tingkat pusat sampai daerah. Pada tingkat pusat disebut Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP)dan pada tingkat daerah yang disusun sampai tingkat kawedanan
disebut Komite Nasional Indonesia.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang
mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Beberapa sidang yang dilaksanakan oleh KNIP antara lain sidang Pleno ke-2 di Jakarta
tanggal 16 - 17 Oktober 194, sidang Pleno ke-3 di Jakarta tanggal 25 - 27 November 1945,
sidang keempat di Kota Solo pada tahun 1946, sidang Pleno ke-5 di Kota Malang pada
tanggal 25 Februari - 6 Maret 1947, dan Yogyakarta tahun 1949.
Sidang KNIP pertama
Badan KNIP sesuai dengan UUD 1945 adalah hanya sekedar pembantu Presiden. Republik
Indonesia belum memiliki badan legislatif sebagaimana mestinya negara Demokrasi. Setelah
para anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dilantik tanggal 29 Agustus 1945 di
gedung kesenian Jakarta. Padatanggal 16 dan 17 Oktober 1945, sidang KNIP pertama
diadakan bertempat di Balai Muslimin jalan Kramat Raya Jakarta. Sidang dipimpin Kasman
Singodimedjo. Soekarno tidak hadir, tapi Hatta hadir. Demikian pula sebagaian besar menteri
hadir. Sidang hari pertama ini sangat gaduh tidak menentu. Nampaknya para pemudamahasiswa yang sudah tidak puas pada golongan tua yang membuat gaduh.
Meskipun demikian sidang bisa mengambil keputusan guna meminta hak legislatif
kepada presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk. Rapat berkali-kali ditunda guna
merumuskan apa yang diinginkan para hadirin. Karena keadaan masih tetap kacau, Kasman
yang tidak dapat menguasai keadaan menyerahkan pimpinan sidang kepada Adam Malik
sebagai wakil ketua III. Menanggapi semua kejadian diatas, akhirnya pada hari itu juga
selaku pimpinan pemerintah, Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan maklumat no X.
Isinya antara lain, kepada KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahkan kekuasaan
legislatif, ikut menetapkan Haluan Negara, serta untuk kegiatan sehari-hari ditunjuk sebuah
Badan Pekerja (BP) yang bertanggung jawab kepada KNIP. Keesokannya, tanggal 17
Oktober 1945 sidang dilanjutkan, dipimpin Latuharhary. Acaranya, mendengarkan pidato
Soekarni. Soekarni mengusulkan agar perjuangan RI menjadi lebihRevolusioner.
Katanya: “KNIP harus mempunyai pimpinan yang yang bertanggung jawab dan birokrasi
bertele-tele harus dihapuskan dari sistim kerja KNIP”.
Sekalipun ada usaha dari Sartono dan Latuharharyuntuk membela pimpinan KNIP lama
(Kasman) dan membela pemerintah, namun sebagian besar anggota sidang setuju agar
pimpinan KNIP lama mengundurkan diri dan diganti oleh orang baru. Saat itulah nama
Sjahrir dan Amir Sjarifudin disebut-sebut untuk menjadi pimpinan baru. Mereka dicari utusan
KNIP dan diundang datang ke Balai Muslimin serta ditunjuk selaku formatir pada
pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP. Itulah karir awal Sjahrir pasca Proklamasi dan
merupakan pembuka jalan menuju korsi Perdana Menteri. Gambar atas : Kasman tampak
sedang berpidato selaku ketua KNIP. Gambar bawah : Soekarni berpidato agar Republik
Indonesia lebih Revolusioner.
Sidang KNIP di Malang 1947
Pada tahun 1946 terjadi krisis kabinet dengan berhentinya Sutan Syahrir sebagai Perdana
Menteri. Dengan pengunduran tersebut pihak oposisi merasa berhak memperoleh mandat dari
presiden untuk menjadi formatur untuk dalam pembentukan kabinet yang baru karena
memiliki mayoritas suara di KNIP. Namun apa yang diinginkan oleh pihak oposisi tidak
ditindak lanjuti oleh Sukarno-Hatta selaku Kepala Negara. Justru Hatta mengangkat Syahrir
kembali menjadi Perdana Menteri dan politik diplomasi di lanjutkan.
Dalam perkembangan situasi politik tahun 1946 yaitu, mundurnya Sutan Syahrir karena
dianggap menjual negara dengan menyetujui perjanjian Linggarjati, terjadi keanggotaan
dalam tubuh KNIP dirasakan tidak sesuai lagi dengan konsep awal pembentukannya. Perlu
diadakan suatu perubahan dalam keanggotaannya supaya lebih dapat merangkup semua
lapisan dan golongan yang ada. Atas usul Presiden Sukarno maka sejak tanggal 10 Juli 1946
keangotaan KNIP ditambah dari 200 menjadi 512 anggota. Jika dirinci maka maksud
penambahan tersebut adalah guna mengimbangi suara yang ada didalam KNIP. Hal itu
selanjutnya ditetapkan sebagai dekrit presiden tanggal 29 Desember 1946.
Pada sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 6 Januari 1947 golongan PNI menolak dekrit
tersebut yang dianggap inkonstitusional. Pertanyaannya adalah dapatkah Presiden dalam
sistem parlementer mengeluarkan dekrit?. Menurut pihak pro-Sukarno hal itu merupakan hak
prerogatif Presiden, sedangkan pihak oposisi beranggapan yang dapat menerima dan menolak
dekrit tersebut adalah KNIP secara keseluruhan bukan hanya Badan Pekerja KNIP. Maka
diputuskan untuk mengadakan sidang pleno di Malang pada tanggal 25 Februari-5 Maret
1947.
Dalam sidang di Malang berlangsung dalam suasana yang panas dan tegang bahkan suara
pihak pemerintah dengan pihak oposisi berimbang. Selain membahas masalah dekrit presiden
sidang di malang juga membahas masalah perjanjian Linggarjati. Sidang tersebut dihadiri
oleh Presiden Sukarno bersama Wakilnya Hatta dan juga Sutan Syahrir selaku Perdana
Menteri.
Pada hari pertama sidang tidak menghasilkan keputusan apa-apa akibat suara antara pihak
pemerintah dan pihak oposisi berimbang. Maka pada hari kedua Hatta tampil kedepan sidang
untuk menyampaikan pidato. Pidato tersebut pada intinya membela keputusan Presiden
mengeluarkan dekrit tersebut. Jika dicermati sebenarnya Hatta secara konstitusional tidak
memiliki kekuasaan, bahkan yang bertanggung jawab memutuskan masalah dekrit tersebut
adalah Sutan Syahrir.
Pidato Hatta dilakukan dengan sangat berapi-api dan emosional. Sehingga para anggota
sidang, notulen, wartawan dan hadirin yang menyaksikan sangat kagum dan terpukau oleh
pidato tersebut. Dalam akhir pidatonya Hatta mengatakan “Kalau dekrit Presiden tidak
diterima, carilah Presiden dan Wakil Presiden lain”. Sidang yang semula riuh menjadi hening
sejenak sampai kemudian terdengar tepuk tangan dari para hadirin. Pada akhirnya dekrit
Presiden diterima oleh KNIP, namun pihak oposisi tidak memberikan suara.
Pada hari ketiga sidang Hatta kembali berpidato mengenai arti penting persetujuan
Linggarjati bagi Pemerintah. Sama seperti hari kedua, KNIP menyetujui penanda tanganan
perjanjian Linggarjati. Setelah menerima dekrit Presiden dan Penendatanganan perjanjian
Linggarjati, KNIP kemudian memberikan mosi percaya terhadap kabinet Sutan Syahrir yang
kedua.
Perubahan Otoritas KNIP dan Pengaruhnya
Pada masa awal setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kekuasaan Presiden dianggap
sangat luas. Menurut Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, selain menjalankan kekuasaan
eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan MPR dan DPR. Pada awaktu itu lembaga
negara yang ada selain Presiden adalah Wakil Presiden dan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang berkedudukan sebagai pembantu Presiden. Dengan demikian, Presiden dapat
menjalankan kekuasaannya seluas-luasnya tanpa diimbangi dan diawasi oleh lembaga negara
yang lain.
Sjahrir merasa tidak puas terhadap sistem kabinet presidensial berusaha memengaruhi
anggota KNIP lainnya untuk mengajukan petisi kepada Soekarno-Hatta agar memberi status
Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada KNIP. Akibat desakan Sjahrir tersebut, KNIP
mengadakan rapat pleno pada tanggal 16 Oktober 1945 Drs. Moh. Hatta mengeluarkan
Maklumat Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa Komite Nasional
Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif, ikut menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih di antara
mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Badan Pekerja
KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuknya dan diketuai oleh Sutan Sjahrir dan wakilnya Amir
Syarifuddin.
Pada tanggal 11 November 1945 BP-KNIP mengusulkan agar menteri-menteri bertanggung
jawab kepada BP-KNIP. Usulan itu dituangkan dalam Pengumuman BP-KNIP No. 5 Tahun
1945. Ternyata usulan ini disetujui Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Maklumat
Pemerintah Tanggal 14 November 1945. Akibat keluarriya maklumat pemerintah ini kabinet
presidensial di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno segera meletakkan jabatan dan
digantikan oleh kabinet parlementerdi bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Para
menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir bertanggung jawab kepada BPKNIP.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI kembali mengadakan persidangan. Persidangan tersebut
membicarakan rencana pembentukan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia, dan Badan
Keamanan Rakyat. Komite Nasional dibentuk di seluruh Indonesia dan berpusat di Jakarta.
Komite Nasional dimaksudkan sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia
untuk menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. KNIP
diresmikan dan anggotanya dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Kesenian
(Gedung Komedi), Pasar Baru, Jakarta. Dalam persidangan pertamanya, KNIP berhasil
menyusun staf pimpinan sebagai berikut:
a. Ketua : Mr. Kasman Singodimejo
b. Wakil Ketua I : Sutarjo Kartohadikusumo
c. Wakil Ketua II : J. Latuharhary
d. Wakil Ketua III : Adam Malik
Komite Nasional dibentuk dari tingkat pusat sampai daerah. Komite Nasional yang ada di
daerah disebut Komite Nasional Daerah. Sejak itu, KNIP berfungsi sebagai pembantu
presiden. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia mulai berjalan berdasarkan UUD
1945 karena presiden dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan negara
tertinggi telah dibantu oleh Komite Nasional Indonesia. Inilah perwujudan Aturan Peralihan
Pasal IV UUD 1945.
Sementara itu, masalah Partai Nasional Indonesia ditunda pembentukannya dengan maklumat
tanggal 31 Agustus 1945. Penundaan disebabkan segala kegiatan pemerintah dicurahkan ke
dalam Komite Nasional. Sejak saat itu gagasan satu partai ini tidak pernah dihidupkan lagi.
Partai Nasional Indonesia pada waktu itu diharapkan menjadi satu-satunya partai politik di
Indonesia.
Dalam perkembangannya, kelompok pemuda yang dipimpin oleh Syahrir merasa tidak puas
terhadap sistem kabinet presidensial sehingga berusaha memengaruhi para anggota KNIP
lainnya untuk mengajukan petisi kepada Sukarno-Hatta. Isi petisi itu berupa tuntutan
pemberian status Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada KNIP. Dengan adanya petisi itu,
KNIP mengadakan rapat pleno pada tanggal 16 Oktober 1945.
Atas desakan sidang KNIP tersebut, Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor
X Tahun 1945 yang menetapkan bahwa Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk MPR dan
DPR diserahi kekuasaan legislatif. Selain itu, KNIP ikut menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih di antara mereka dan
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.
Perubahan Otoritas KNIP dan Lembaga Kepresidenan
Keragaman ideologi dan partai politik sudah ada pada awal abad ke-20, yakni pada masa
pergerakan nasional. Ada yang berideologi nasionalis, agama, sosialis, dan komunis. Pada
masa pendudukan Jepang semua organisasi politik dinyatakan bubar. Kemudian, Jepang
membentuk organisasi-organisasi baru. Setelah proklamasi, organisasi-organisasi pada masa
kolonial
Belanda
itu
berkembang
kembali.
Pada tanggal 16 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengadakan rapat
pleno pertama. Dalam rapat itu, ke-lompok sosialis di dalam KNIP di bawah pimpinan Sutan
Syahrir mengusulkan dua hal kepada pemerintah, yaitu sebagai berikut:
a. Pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)
b. Pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum
DPR/MPR hasil pemilu terbentuk.
Wakil Presiden Moh. Hatta yang memimpin sidang menerima usul kelompok sosialis itu
dengan mengeluarkan Maldumat Wakil Presiden No X. Dengan diterimanya kedua usul dari
kelompok sosialis, maka berubahlah otoritas KNIP dan lembaga kepresidenan.
Komite Nasional Indonesia Pusat yang sebelumnya hanya sebagai badan pembantu presiden
berubah menjadi pemegang kekuasaan legislatif. Sebaliknya kekuasaan presiden yang
sebelumnya sangat luas, kini mulai sangat terbatas. Dalam kegiatannya KNIP mengusulkan
kepada pemerintah untuk segera membentuk partai-partai politik. Usul itu dituangkan dalam
Pengumuman BP KNIP No. III tanggal 30 Oktober 1945 yang ditandatangani oleh Ketua BP
KNIP Sutan Syahrir. Usul BP KNIP dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Roda pemerintahan telah berputar sehingga BP KNIP merasa telah tiba saatnya untuk
mengusahakan pergerakan rakyat.
b. Dalam rangka asas demokrasi, BP KNIP tidak sependapat dengan PPKI tentang penetapan
PNI sebagai partai tunggal di Indonesia.
Atas usul BP KNIP tentang dibentuknya partai-partai politik, pemerintah mengeluarkan
Maklumat Pemerintah No. III tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden
RI Moh. Hatta. Maklumat berisi anjuran tentang pendirian partai politik untuk menampung
segala aliran dan paham yang ada dalam masyarakat. Pemerintah mengharap agar partaipartai politik terbentuk sebelum pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat yang
berlangsung pada bulan Januari 1946.
PNI adalah gabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat
Rakyat Indonesia yang masing-masing telah berdiri pada bulan November dan Desember
1945. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah partai politik terus bertambah. Dengan
memanfaatkan partai politik yang ada, para politisi berebut kursi dan jabatan dalam
pemerintahan.
BP KNIP bahkan mengusulkan kepada pemerintah agar menteri-menteri tidak lagi harus
bertanggung jawab kepada presiden, melainkan kepada KNIP sebagai pengganti fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat pada saat itu (perubahan menjadi kabinet parlementer). Usul BP
KNIP yang dimotori oleh Sutan Syahrir itu ternyata disetujui oleh pemerintah.
Persetujuan pemerintah itu diumumkan melalui Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945. Kabinet Presidentil berubah menjadi Kabinet Parlementer sejak bulan November 1945
dengan Perdana Menterinya Sutan Syahrir sehingga kabinet itu disebut Kabinet Syahrir.
Perubahan dari Kabinet Presidentil menjadi Kabinet Parlementer merupakan tindakan
penyimpangan pertama terhadap Undang-Undang Dasar Negara.
Kabinet presidensil pertama
Susunan kementrian pertama yang berhasil disusun sesuai dengan ketentuan UUD 1945
ditetapkan pada tanggal 2 september 1945. Susunan kabinet pertama RI adalah sebagai
berikut:
1. Perdana menteri
: presiden Soekarno
2. Menteri dalam negeri
: R.A.A wiranata kusumah
3. Menteri Luar Negeri
: Mr. Ahmad Soebardjo
4. Menteri Kehakiman
: Prof. Dr. Soepomo, SH
5. Menteri kemakmuran
: Ir. D.P Surahman
6. Menteri Keuangan
: Mr. A. A Maramis
7. Menteri kesehatan
: dr. R. Boentaran M
8. Menteri pengajaran
: Ki hajar dewantara
9. Menteri Sosial
: Mr. Iwa kusumasumantri
10. Menteri penerangan
: Mr. Amir syarifudin
11. Menteri perhubungan
: R. Abikusno Tjokrosujoso
12. Menteri Keamanan rakyat
: Soeprijadi
13. Menteri pekerjaan umum
: R. Abikusno Tjokrosujoso
14. Menteri Negara
: KH. Wachid Hasjim
15. Menteri Negara
: Dr. M Amir
16. Menteri Negara
: MR. R. M. Sartono
17. Menteri Negara
: R. Otto iskandardinata
18. Menteri Negara
: MR. A.A. Maramis
Disamping itu juga diangkat sejumlah pejabat tinggi negara sebagai berikut:
1)
Ketua Mahkamah Agung
: Dr. Mr. Kusumaatmaja
2)
Jaksa Agung
: Mr. Gatot Tarunamihardja
3)
Sekretaris Negara
: Mr. A. G. Pringgodigdo
4)
Juru Bicara Negara
: Sukardjo wirjopranoto
Karena pengaruh dari golongan sosialis dalam KNIP, maka usia kabinet ini tidak
berlangsung lama, yaitu sejak september 1945 sampai 14 November 1945 sistem
pemerintahan di Indonesia berubah menjadi sistem kabinet parlementer dengan perdana
menteri pertamanya Sutan Syahrir.
Badan Pekerja KNIP akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir dan wakilnya Amir
Syarifuddin. Dalam pemikiran saat itu, KNIP diartikan sebagai pengganti MPR. Sementara
itu, Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) disamakan dengan DPR. Badan Pekerja KNIP dalam
kegiatannya mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membentuk partai-partai politik.
Usul itu dituangkan dalam pengumuman BP-KNIP Nomor III Tanggal 30 Oktober 1945 yang
ditandatangani oleh Ketua BP-KNIP, Sutan Syahrir. Usul BP-KNIP dikeluarkan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Roda pemerintahan telah berputar sehingga BP-KNIP merasa telah tiba saatnya untuk
mengusahakan pergerakan rakyat.
Dalam rangka asas demokrasi, BP-KNIP tidak sependapat dengan PPKI tentang penetapan
PNI sebagai partai tunggal di Indonesia.
Proses Pembentukan Komite Nasional Indonesia
Karena usulan BP-KNIP tentang dibentuknya partai-partai politik, pemerintah kemudian
mengeluarkan Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh
Wakil Presiden RI. Isi Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945 isinya sebagai
berikut:
Maklumat Politik 3 November 1945
1.
Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk
menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang
terdapat di Indonesia.
2.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik
telah tersusun secara rapi sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan
Rakyat yang dilakukan pada Januari 1946.
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai
politik itu, segala aliran yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur.
Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilang-sungkan
pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1945.
Sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tersebut, banyak partai politik yang berdiri di
Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), 7 November 1945;
Partai Komunis Indonesia (PKI), 7 Desember 1945;
Partai Buruh Indonesia (PBI) , 8 Novem-ber 1945;
Partai Rakyat Jelata, 8 November 1945;
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 10 November 1945;
Partai Sosialis Indonesia (PSI), 10 No-vember 1945;
Partai Rakyat Sosialis (PRS), 20 November 1945; Pada tanggal 12 Desember 1945,
PSI dan PRS bergabung dengan nama Partai Sosialis.
Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI), 8 Desember 1945;
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), 17 Desember 1945; Partai Nasional
Indonesia (PNI) 29 Januari 1946.
PNI merupakan fungsi (gabungan) dari Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia,
dan Serikat Rakyat Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, keadaan politik menjadi
tidak stabil. BP-KNIP telah banyak dikuasai oleh kelompok Sutan Syahrir.
Pada tanggal 11 November 1945, BP-KNIP mengeluarkan Pengumuman Nomor 5 tentang
Peralihan Pertanggung-jawaban Menteri-Menteri dari Presiden kepada BP-KNIP. Ini berarti
sistem kabinet presidensial dalam UUD 1945 telah diamandemen begitu saja menjadi sistem
kabinet parlementer.
Hal ini terbukti setelah BP-KNIP mencalonkan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri.
Akhirnya, kabinet presidensial Sukarno-Hatta jatuh dan digantikan oleh kabinet parlementer
dengan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri pertama.
Hasil Sidang KNIP 16 Oktober 1945
Dalam sidang ini Drs. Moh Hatta mengeluarkan Maklumat Nomor X Tahun 1945
yang menetapkan bahwa KNIP sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan
legislatif, ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa
pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah
badan pekerja yang diplih di antara mereka dan bertanggungjawab kepada KNIP. Badan
Pekerja KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuk dan diketuai oleh Sutan Syahrir dan wakilnya
Amir Syarifuddin
.
Kemudian Drs. Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat Politilk 3 November 1945 atas
desakan dari Sutan Syahrir selaku Ketua BP-KNIP. Akibat dari maklumat/kebijakan itu
adalan munculnya berbagai partai politik di Indonesia dengan ideologi yang beraneka ragam.
Contohnya: Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Komunis Indonesia, Partai
Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jakarta, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik Indonesia,
Partai Nasional Indonesia.
Tanggal 11 November 1945 BP-KNIP mengeluarkan pengumuman Nomor 5 tentang
pertanggungjawaban Materi Kepada Perwakilan Rakyat. Anehnya, Presiden Sukarno
menyetujui usul tersebut dan mengeluarkan Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November
1945. dengan persetujuan tersebut sistem cabinet presidensial dalam UUD 1945 telah
diamandemen menjadi sistem cabinet parlementer.
Maklumat Politik 3 November 1945
1.
Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk
menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang
terdapat di Indonesia.
2.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik telah
tersusun secara rapi sebelum dilaksanakannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat
yang dilakukan pada Januari 1946.
A. Peran dan Fungsi KNIP
Tugas pertama KNIP adalah membantu tugas kepresidenan. Namun, kemudian diperluas
tidak hanya sebagai penasihat presiden, tetapi juga mempunyai kewenangan legislatif.
Wewenang KNIP sebagai DPR ditetapkan dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945.
Dalam rapat tersebut,wakil presiden Drs. Moh.Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI
No. X yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.
KNIP sebelum DPR/MPR terbentuk diserahi kekuasaan legislatif untuk membuat
undang-undang dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2.
Berhubung gentingnya keadaan, maka pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh
sebuah Badan Pekerja KNIP yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Komite Nasional Indonesia
disusun dari tingkat pusat sampai daerah. Pada tingkat pusat disebut Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP)dan pada tingkat daerah yang disusun sampai tingkat kawedanan
disebut Komite Nasional Indonesia.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang
mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Beberapa sidang yang dilaksanakan oleh KNIP antara lain sidang Pleno ke-2 di Jakarta
tanggal 16 - 17 Oktober 194, sidang Pleno ke-3 di Jakarta tanggal 25 - 27 November 1945,
sidang keempat di Kota Solo pada tahun 1946, sidang Pleno ke-5 di Kota Malang pada
tanggal 25 Februari - 6 Maret 1947, dan Yogyakarta tahun 1949.
Sidang KNIP pertama
Badan KNIP sesuai dengan UUD 1945 adalah hanya sekedar pembantu Presiden. Republik
Indonesia belum memiliki badan legislatif sebagaimana mestinya negara Demokrasi. Setelah
para anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dilantik tanggal 29 Agustus 1945 di
gedung kesenian Jakarta. Padatanggal 16 dan 17 Oktober 1945, sidang KNIP pertama
diadakan bertempat di Balai Muslimin jalan Kramat Raya Jakarta. Sidang dipimpin Kasman
Singodimedjo. Soekarno tidak hadir, tapi Hatta hadir. Demikian pula sebagaian besar menteri
hadir. Sidang hari pertama ini sangat gaduh tidak menentu. Nampaknya para pemudamahasiswa yang sudah tidak puas pada golongan tua yang membuat gaduh.
Meskipun demikian sidang bisa mengambil keputusan guna meminta hak legislatif
kepada presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk. Rapat berkali-kali ditunda guna
merumuskan apa yang diinginkan para hadirin. Karena keadaan masih tetap kacau, Kasman
yang tidak dapat menguasai keadaan menyerahkan pimpinan sidang kepada Adam Malik
sebagai wakil ketua III. Menanggapi semua kejadian diatas, akhirnya pada hari itu juga
selaku pimpinan pemerintah, Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan maklumat no X.
Isinya antara lain, kepada KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahkan kekuasaan
legislatif, ikut menetapkan Haluan Negara, serta untuk kegiatan sehari-hari ditunjuk sebuah
Badan Pekerja (BP) yang bertanggung jawab kepada KNIP. Keesokannya, tanggal 17
Oktober 1945 sidang dilanjutkan, dipimpin Latuharhary. Acaranya, mendengarkan pidato
Soekarni. Soekarni mengusulkan agar perjuangan RI menjadi lebihRevolusioner.
Katanya: “KNIP harus mempunyai pimpinan yang yang bertanggung jawab dan birokrasi
bertele-tele harus dihapuskan dari sistim kerja KNIP”.
Sekalipun ada usaha dari Sartono dan Latuharharyuntuk membela pimpinan KNIP lama
(Kasman) dan membela pemerintah, namun sebagian besar anggota sidang setuju agar
pimpinan KNIP lama mengundurkan diri dan diganti oleh orang baru. Saat itulah nama
Sjahrir dan Amir Sjarifudin disebut-sebut untuk menjadi pimpinan baru. Mereka dicari utusan
KNIP dan diundang datang ke Balai Muslimin serta ditunjuk selaku formatir pada
pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP. Itulah karir awal Sjahrir pasca Proklamasi dan
merupakan pembuka jalan menuju korsi Perdana Menteri. Gambar atas : Kasman tampak
sedang berpidato selaku ketua KNIP. Gambar bawah : Soekarni berpidato agar Republik
Indonesia lebih Revolusioner.
Sidang KNIP di Malang 1947
Pada tahun 1946 terjadi krisis kabinet dengan berhentinya Sutan Syahrir sebagai Perdana
Menteri. Dengan pengunduran tersebut pihak oposisi merasa berhak memperoleh mandat dari
presiden untuk menjadi formatur untuk dalam pembentukan kabinet yang baru karena
memiliki mayoritas suara di KNIP. Namun apa yang diinginkan oleh pihak oposisi tidak
ditindak lanjuti oleh Sukarno-Hatta selaku Kepala Negara. Justru Hatta mengangkat Syahrir
kembali menjadi Perdana Menteri dan politik diplomasi di lanjutkan.
Dalam perkembangan situasi politik tahun 1946 yaitu, mundurnya Sutan Syahrir karena
dianggap menjual negara dengan menyetujui perjanjian Linggarjati, terjadi keanggotaan
dalam tubuh KNIP dirasakan tidak sesuai lagi dengan konsep awal pembentukannya. Perlu
diadakan suatu perubahan dalam keanggotaannya supaya lebih dapat merangkup semua
lapisan dan golongan yang ada. Atas usul Presiden Sukarno maka sejak tanggal 10 Juli 1946
keangotaan KNIP ditambah dari 200 menjadi 512 anggota. Jika dirinci maka maksud
penambahan tersebut adalah guna mengimbangi suara yang ada didalam KNIP. Hal itu
selanjutnya ditetapkan sebagai dekrit presiden tanggal 29 Desember 1946.
Pada sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 6 Januari 1947 golongan PNI menolak dekrit
tersebut yang dianggap inkonstitusional. Pertanyaannya adalah dapatkah Presiden dalam
sistem parlementer mengeluarkan dekrit?. Menurut pihak pro-Sukarno hal itu merupakan hak
prerogatif Presiden, sedangkan pihak oposisi beranggapan yang dapat menerima dan menolak
dekrit tersebut adalah KNIP secara keseluruhan bukan hanya Badan Pekerja KNIP. Maka
diputuskan untuk mengadakan sidang pleno di Malang pada tanggal 25 Februari-5 Maret
1947.
Dalam sidang di Malang berlangsung dalam suasana yang panas dan tegang bahkan suara
pihak pemerintah dengan pihak oposisi berimbang. Selain membahas masalah dekrit presiden
sidang di malang juga membahas masalah perjanjian Linggarjati. Sidang tersebut dihadiri
oleh Presiden Sukarno bersama Wakilnya Hatta dan juga Sutan Syahrir selaku Perdana
Menteri.
Pada hari pertama sidang tidak menghasilkan keputusan apa-apa akibat suara antara pihak
pemerintah dan pihak oposisi berimbang. Maka pada hari kedua Hatta tampil kedepan sidang
untuk menyampaikan pidato. Pidato tersebut pada intinya membela keputusan Presiden
mengeluarkan dekrit tersebut. Jika dicermati sebenarnya Hatta secara konstitusional tidak
memiliki kekuasaan, bahkan yang bertanggung jawab memutuskan masalah dekrit tersebut
adalah Sutan Syahrir.
Pidato Hatta dilakukan dengan sangat berapi-api dan emosional. Sehingga para anggota
sidang, notulen, wartawan dan hadirin yang menyaksikan sangat kagum dan terpukau oleh
pidato tersebut. Dalam akhir pidatonya Hatta mengatakan “Kalau dekrit Presiden tidak
diterima, carilah Presiden dan Wakil Presiden lain”. Sidang yang semula riuh menjadi hening
sejenak sampai kemudian terdengar tepuk tangan dari para hadirin. Pada akhirnya dekrit
Presiden diterima oleh KNIP, namun pihak oposisi tidak memberikan suara.
Pada hari ketiga sidang Hatta kembali berpidato mengenai arti penting persetujuan
Linggarjati bagi Pemerintah. Sama seperti hari kedua, KNIP menyetujui penanda tanganan
perjanjian Linggarjati. Setelah menerima dekrit Presiden dan Penendatanganan perjanjian
Linggarjati, KNIP kemudian memberikan mosi percaya terhadap kabinet Sutan Syahrir yang
kedua.
Perubahan Otoritas KNIP dan Pengaruhnya
Pada masa awal setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kekuasaan Presiden dianggap
sangat luas. Menurut Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, selain menjalankan kekuasaan
eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan MPR dan DPR. Pada awaktu itu lembaga
negara yang ada selain Presiden adalah Wakil Presiden dan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang berkedudukan sebagai pembantu Presiden. Dengan demikian, Presiden dapat
menjalankan kekuasaannya seluas-luasnya tanpa diimbangi dan diawasi oleh lembaga negara
yang lain.
Sjahrir merasa tidak puas terhadap sistem kabinet presidensial berusaha memengaruhi
anggota KNIP lainnya untuk mengajukan petisi kepada Soekarno-Hatta agar memberi status
Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada KNIP. Akibat desakan Sjahrir tersebut, KNIP
mengadakan rapat pleno pada tanggal 16 Oktober 1945 Drs. Moh. Hatta mengeluarkan
Maklumat Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa Komite Nasional
Pusat sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif, ikut menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari sehubungan
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih di antara
mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Badan Pekerja
KNIP (BP-KNIP) akhirnya dibentuknya dan diketuai oleh Sutan Sjahrir dan wakilnya Amir
Syarifuddin.
Pada tanggal 11 November 1945 BP-KNIP mengusulkan agar menteri-menteri bertanggung
jawab kepada BP-KNIP. Usulan itu dituangkan dalam Pengumuman BP-KNIP No. 5 Tahun
1945. Ternyata usulan ini disetujui Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Maklumat
Pemerintah Tanggal 14 November 1945. Akibat keluarriya maklumat pemerintah ini kabinet
presidensial di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno segera meletakkan jabatan dan
digantikan oleh kabinet parlementerdi bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Para
menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir bertanggung jawab kepada BPKNIP.