Objektivitas Media dalam Gerakan Sosial

Objektivitas Media dalam Gerakan Sosial:
Mengurai Keterlibatan Media dalam Jejaring Gerakan Petani Vorstenlanden*
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
lubabunniam@yahoo.co.id

Prolog
Di permulaan reformasi, kemunculan protes petani menjadi bagian pokok
dari percik-percik perlawanan masyarakat akar rumput yang berkembang di
beberapa daerah. Protes tersebut tidak terkonsolidasi sebagai gerakan kolektif.
Protes tidak tersistematisasi dalam arti memiliki ikatan pengorganisasian
antardaerah. Tetapi, umumnya dapat ditemukan pola, setiap gerakan sosial yang
bermunculan dengan materi konflik yang beraneka ragam di tiap daerah tersebut
menghadapi konfrontasi dengan negara. Hal ini didasarkan pada akar persoalan
negara yang secara paksa mengambil alih surplus ekonomi dari petani.
Petani tembakau di Klaten, yakni mereka yang dipekerjakan PT
Perkebunan Nusantara X, juga menghadapi situasi sedemikain rupa. Puncaknya
terjadi pada 1998 sebagai titik di mana jejaring kekuatan petani dibangun untuk
memutus sistem kerjasama sebelumnya yang merugikan dan hegemonik
terhadap petani. Bangunan kekuatan petani kemudian dirancang sedemikian
rupa sebagai skema gerakan sosial yang terencana. Di dalamnya, media
menempati peran krusial sebagai pembentuk opini publik. Ini yang membedakan

protes petani di era modern dengan yang terjadi pada masa-masa sebelum
sekarang, yang melintang bahkan sejak masa kolonialisasi Belanda.
Di sisi lain, media di era kebebasan pers tengah menghadapi dilema yang
pelik. Ketika reformasi membukakan keran kebebasan berpendapat, termasuk di
dalamnya menuliskan berita, media turut terdorong pada ranah (perdebatan?)
“objektivitas”. Padahal, media dalam centang-perenang sosial memiliki peran
strategis dan signifikan, terutama dalam penyampaian keberpihakan dan
kebenaran temuan. Di sini, media mengartikulasikan kesempatan memihak dan
menyatakan argumentasi subjektif (pengelola media), yang dengan demikian
sangat mungkin berbenturan dengan pagar nilai objektivitas.
Pertanyaan intinya, bagaimana menempatkan objektivitas media di
tengah skema gerakan sosial di mana media masuk dalam jejering gerakan
* Naskah ini memperoleh penghargaan Juara I Lomba Esai Populer, Equality (Equilibrium’s Annual Activity)
2009, yang diselenggarakan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Equilibrium, Fakultas Ekonomika
dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

1

tersebut? Masih mungkinkah media mempertahankan pagar nilai objektivitas
dengan sikap yang tidak memihak? Dalam tulisan ini, penulis bermaksud

memberikan telaah dengan bercermin dari gerakan petani tembakau di Klaten
yang menyulam jejaring gerakan bersama elemen media, dalam hal ini surat
kabar Kontan.
Gerakan Petani Vorstenlanden
Tanah di Klaten merupakan berkah bagi petani setempat atas
pertumbuhan satu jenis tanaman tembakau yang tidak dapat ditemui di daerah
lain di belahan bumi manapun. Dari runutan sejarah diperoleh catatan bahwa
pada masa kolonialisasi Belanda, berhasil diujicobakan penanaman tembakau
(hasil penyilangan) di sebagian kawasan di Klaten (Padmo dan Djatmiko, 1991:
35). Penanaman tembakau tersebut di daerah lain tidak akan menghasilkan
kualitas daun yang lebih bermutu. Karena sebagian wilayah yang dimaksud
merupakan tanah bekas kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kerajaan
Yogyakarta (sekarang sebagian Klaten dan pinggiran Sleman), maka disebutlah
jenis tembakau tersebut dengan istilah “Vorstenlanden” (bahasa Belanda:
vorsten=raja, landen=tanah), yang berarti “tanah raja-raja” (Padmo dan
Djatmiko, 1991: 51).
Sejak masa kolonialisasi Belanda sampai Orde Baru, penanaman
tembakau Vorstenlanden selalu memakai sistem perkebunan dengan jalin
hubungan industrial antara perusahaan dan buruh petani-buruh gudang. Selama
Orde Baru, pembukaan lahan perkebunan harus berkerjasama dengan para

petani pemilik lahan, yang pada pelaksanaannya berlangsung secara otoriterbirokratik. Setiap tahun petani dipaksa menyerahkan lahan di bawah legitimasi
surat keputusan (SK) Bupati Klaten yang disusun tanpa keterlibatan petani dan
diputuskan sebelum masa tanam. Akibatnya, petani terpaksa menerima
ketentuan harga jual daun tembakau kepada PT Perkebunan Nusantara X, yang
terpaut lebih rendah dibandingkan harga jualnya saat dilelang di pasar tembakau
dunia di Bremen, Jerman.
Gejolak politik pada 1998 akhirnya memantik kesadaran petani untuk
menaikkan posisi tawar (bargaining position) di hadapan PT Perkebunan
Nusantara X. Sekelompok petani yang tergabung dalam Forum Petani Tembakau
Vorstenlanden (FPTV) mulai membangun jejaring gerakan dalam rangka
pendidikan dan advokasi petani. FPTV pun merancang strategi gerakan dengan
melibatkan beberapa pihak sebagaimana terilustrasikan dalam Bagan 1.

2

Formasi gerakan di atas merupakan pemetaan hasil rumusan gerakan
FPTV yang disepakati dalam sebuah workshop di Kaliurang, Yogyakarta, Juni
1998. Sebanyak 31 desa yang sebagian lahannya biasa difungsikan untuk areal
perkebunan tembakau Vorstenlanden mengirimkan perwakilan satu atau dua
orang (sesuai jumlah kelompok tani di masing-masing desa). Kelompok petani

perwakilan dari 31 desa inilah yang disebut tim inti, yang dibagi dalam tiga lini,
yakni Tim Penggalang Sekutu (TPS), Tim Perundingan (TP), dan Tim Penggalang
Logistik (TPL). TPS bertugas membangun koalisi (sekutu) dengan pihak lain
untuk ikut mengusung gagasan (tuntutan) yang ingin dicapai petani. TP
disiapkan untuk membuka perundingan langsung dengan PT Perkebunan
Nusantara X, termasuk menentukan poin-poin kerjasama penanaman tembakau
Vorstenlanden. Sedangkan, TPL menyediakan keperluan logistik.
Sementara itu, setidaknya terdapat empat elemen dalam jejaring
eksternal yang menyokong gerakan FPTV. Pertama, media massa. FPTV menjalin
kerjasama

dengan

wartawan

freelance

Bambang

Aji,


yang

kemudian

menurunkan laporannya di Kontan dan Kedaulatan Rakyat. Di Kontan,
Bambang menulis laporan berjudul “Kepulan Asap Tembakau, Derita Petani”.
Sayang, laporannya di Kadaulatan Rakyat belum sempat terlacak penulis.
Kedua, perguruan tinggi. FPTV melibatkan Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM
ihwal penelusuran akademik perdagangan tembakau Vorstenlanden. Oleh tim
peneliti yang terdiri dari Dr. Suhardi, Dr. P.M. Laksono, Drs. M. Baiquni, M.A.,
dan Drs. Imam Prakoso, dihasilkan laporan penelitian berjudul “Pemberdayaan
Kelompok Petani Tembakau dan Buruh Tani di Klaten dalam Mengantisipasi
Peluang Perdagangan Tembakau Internasional: Perspektif Fair Trade”. Hasil
penelitian tersebut sempat diseminarkan sekaligus dijadikan data penguat dalam
proses mediasi dan perumusan poin-poin kerjasama mengenai penanaman
tembakau antara petani dan PT Perkebunan Nusantara X. Ketiga, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa. Dari elemen LSM, terdapat Walhi
dan Lapera. Urban Development Program (UDP) Yogyakarta juga tercatat di
dalamnya dalam upaya penguatan isu melalui komentar yang dilansir media

massa. Bersama eleman mahasiswa, yang turut hadir dalam workshop di
Kaliurang, Walhi dan Lapera digandeng sebagai kelompok sipil penekan yang
siaga jika semisal diperlukan aksi demonstrasi.
Serangkaian manuver gerakan tersebut akhirnya berhasil memutus sistem
perkebunan yang otoriter-birokratik. Kini, terhitung sejak 1998, petani memiliki
posisi tawar untuk berunding langsung dengan PT Perkebunan Nusantara X.

3

Poin-poin kesepakatan kerja yang dirundingkan di dalamnya berpijak dari materi
tuntutan yang pertama kali disodorkan FPTV kepada PT Perkebunan Nusantara
X, Oktober 1998 (lihat Apendiks). Sebuah perundingan yang tanpa tersekat pihak
ketiga, yang rutin digelar sebelum kemarau menandai musim tanam tembakau
Vorstenlanden kembali tiba.
Bagan 1
Strategi Gerakan FPTV†

Wakil
Petani dari
31 Desa


Media Massa

LSM

Universitas

Mahasiswa

Tim Penggalang Sekutu

TIM INTI



Tim Perunding

PTPN X KLATEN

Tim Penggalang Logistik

KETERANGAN:
Garis Pembagian Peran

Garis Jaringan Eksternal

Garis Mandat Gagasan

Garis Negosiasi

 Juru Bicara

Pemberitaan Kontan
“Kepulan Asap Tembakau, Derita Petani”. Di baris bawah kalimat judul
tersebut, terdapat lead berikut: “Eksportir dan petani debat soal turunnya harga
tembakau”. Laporan jurnalistik yang ditayang di Kontan, No. 34, Tahun III, 24
Mei 1999 itu terdiri dari delapan belas paragraf. Di dalamnya, terdapat dua
subjudul: “Harga di tingkat petani ditentukan penciuman” dan “Permintaan
petani cuma empat kali dari harga gabah”. Laporan yang memenuhi halaman 3

† Hendra Try Ardianto, Yoga Putra Prameswari, dan Sigid Suryanto, Memutus Interaksi Patron-Klien di Lahan

Perkebunan: Studi Kasus Gerakan Petani Tembakau Vorstenlanden (FPTV) Pasca-Orde Baru, (Yogyakarta:
Fisipol UGM, 2008), hlm. 51. Penulis terlibat dalam penelitian ini menggantikan Sigid Suryanto, baik sebagai
peneliti lapangan maupun penulisan laporan.

4

kolom Fokus itu ditulis empat orang: Bambang Aji, Iwan Hidayat, R. Kristiawan,
dan Markus Sumartomdjon.
Turunnya pemberitaan tersebut merupakan bagian dari jejaring FPTV
dalam upaya perubahan sistemik kerjasama dengan PT Perkebunan Nusantara X.
Terdapat empat nama pentolan aktor dalam jejaring FPTV yang masuk dalam
pemberitaan. Selain Bambang Aji sebagai penulis, terdapat PM Laksono dari
PSAP UGM, Imam Baskoro dari Yayasan UDP, dan Wening Swasono yang
disebut sebagai “petani tembakau kawakan dari kecamatan Gantiwarno, Klaten”
sebagai Ketua FPTV.
Enam paragraf awal berita tersebut sekadar menulis tentang penyebab
merosotnya kualitas dan produksi daun tembakau. Di dalamnya dilansir data
harga dan jumlah produksi tembakau di level nasional. Alhasil, sekalipun dari
judul dan lead mengesankan pesan konflik, penulisan isu dibungkus rapi dengan
dikaitkan pada situasi depresi ekonomi yang memang sedang terjadi pada waktu

itu. Di sinilah teknik framing mulai dipakai dengan memulai awal penulisan dari
sisi negara, sebelum pada bagian selanjutnya berpindah dari sisi pihak ketiga dan
petani. Berikut ini kutipan enam paragraf awal yang dimaksud.
“Di musim tanam Juni mendatang tampaknya tak banyak
yang bisa dipetik petani tembakau jenis Na Oogst (NO) dan
Verstenlanden Bawah Naungan (VBN) di Klaten (Jateng) dan
Jember (Jatim). Panen terakhir tahun lalu boleh dibilang gagal.
Panen November 1998, misalnya, hujan yang berkepanjangan
akibat pengaruh La Nina disebut-sebut sebagai penyebab
merosotnya kualitas dan produksi daun tembakau di kedua
daerah tersebut.
Karena kualitasnya turun, harga tembakau jenis NO untuk
pembungkus cerutu kesohor itu jatuh menjadi US$ 5.942 per ton.
Padahal dua tahun lalu, ketika panenan bisa menghasilkan daun
bagus dengan panjang sekitar 60 cm, harga jual tembakau jenis
NO masih bisa mencapai US$ 6.263. Sementara tembakau
Besuki mengalami penurunan harga US$ 24 per ton, tembakau
jenis VBN justru mencatat kenaikan 67% dari US$ 6.245 tahun
1997 menjadi US$ 10.449 per ton.
Bukan hanya kualitas, ternyata hujan juga telah membuat

produksi tembakau menurun tajam. Di Jember, tahun lalu
tercatat penurunan dari 15.344 ton menjadi 13.600 ton. Begitu
pula di Deli Sumatera Utara. Di daerah ini menurunnya
mencapai 27,5% dibanding tahun 1997.
Akibatnya, produksi tembakau dari ketiga daerah tersebut
mngalami penurunan 11% lebih dari 17.624 ton jadi 15.626 ton.
PTP X, sebagai eksportir yang membeli tembakau dari
tangan petani, memebenarkan kemerosotan itu. Tahun lalu,
menurut Nanang Budiono, Pimpinan Proyek (Pimpro) PTP X,
kualitas jenis NO merosot karena terlalu banyak disiram hujan.
Akibatnya, banyak tembakau yang dibeli PTP—ketika itu—hanya

5

bisa dijadikan isi (filler) cerutu di negara pembeli. “Bahkan
tembakau yang diekspor ke Amerika ada penurunan kualitas
sampai 40%,” kata Nanang.
Hal serupa dikatakan Abdul Sadjat, Pelaksana Harian
Indonesia Tembacco Association (ITA). Kalau hujan bisa
dianggap gangguan alam yang berada di luar jangkauan
manajemen, menurut Abdul, penurunan kualitas tahun lalu juga
dikaitkan dengan penggunaan bibit oleh petani. Kondisi ini
makin buruk lagi setelah para petani menggantikan pupuk dari
Cekoslowakia dengan pupuk lain. “Sejak dolar menguat
terhadap rupiah, petani tak mampu mebeli pupuk impor,” kata
Abdul.”
Lima paragraf selanjutnya dikepalai subjudul “Harga di tingkat petani
ditentukan penciuman”. Sudut pandang yang dipakai adalah pihak ketiga
(kelompok penekan), yang ditandai dengan pengutipan komentar PM Laksono
(PSAP) dan Imam Baskoro (UDP). Keduanya merupakan aktor pemimpin dari
jaringan eksternal gerakan FPTV. Bagian tulisan yang diposisikan sebagai analisis
persoalan dari bagian pertama ini mulai memasukkan sejumlah agenda gerakan.
Seperti, kesejajaran antara petani dan PT Perkebunan Nusantara X. Selain itu,
disertakan pula kutipan sanggahan mengenai penyebab kemerosotan kualitas
daun tembakau. Dengan demikian, mulai terpetakanlah perbedaan pandangan
antara negara dan pihak ketiga (kelompok penekan). Berikut ini teks beritanya.
“Faktor-faktor itulah yang membuat kuantitas dan kualitas
daun tembakau sepanjang 1998 mengalami penurunan.
“Untungnya kita mempunyai persediaan tembakau yang siap
untuk diekspor,” kata Nanang. Meski demikian, ia mengaku
pada musim tanam tahun lalu PTP X masih sanggup membeli
tembakau dari petani dengan harga tinggi, sekitar Rp 4.100 per
kg. Ini berarti mengalami kenaikan 200% lebih dibanding harga
1996 yang hanya Rp 1.805 per kg.
Toh, tidak semua pihak berpendapat bahwa kualitas daun
tembakau panenan terakhir itu jelek. Untuk mengukur suatu
panenan yang menghasikan NO berkualitas bagus, misalnya,
setiap hektare lahan tembakau setidaknya harus mampu
menghasilkan 8,69 bal konol (termasuk tusuk dan sujen daun
tembakau). Sedangkan pada panen terakhir tahun lalu setiap
hektare ladang tembakau ternyata rata-rata menghasilkan 8,0
bal konol. Jadi, panenan tahun 1998 sesungguhnya tidak gagal
total, apalagi kalau dibandingkan dengan produksi dua tahun
sebelumnya.
Tapi, mengapa harga tembakau merosot? Kemerosotan
harga, menurut Direktur Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM,
PM Laksono, sesungguhnya banyak disebabkan oleh pola
permainan harga dari eksportir yang tampaknya sedang
menebus kerugian dua tahun silam. Ketika itu penerimaan
rupiah eksportir berkurang karena nilai Duetsch Mark (DM)
Jerman merosoot terhadap dolar. Bahkan Laksono menyebutkan

6

bahwa PTP telah mempermainkan kualitas tembakau yang
jumlahnya mencapai 30 peringkat itu untuk menaikkan harga di
tingkat petani.
Tembakau NO dan VBN, yang menjadi primadona di pusat
pelelangan tembakau di Bremen Jerman, tahun 1996/97 masih
laku dengan harga DM 60 atau sekitar 190.000 per kg. Padahal
ketika itu, menurut Laksono, PTP membeli dari petani dengan
harga sekitar Rp 1.605 dan Rp 1.735. Perbedaan harga yang
teramat besar antara tempat pelelangan di Bremen dengan
tempat produksi di Klaten dan Jember itu, agaknya,
menunjukkan adanya penekanan oleh eksportir. “Kualitas
tembakau hanya ditentukan oleh penciuman seorang yang amat
subjektif,” kata Laksono.
Dalam upaya memperbaiki kedudukan petani menghadapi
transaksi perdagangan itu, Kepala Yayasan Urban Development
Program (UDP) Yogyakarta, Imam Baskoro, menganjurkan
agar PTP X bersikap transparan. Ini terutama dalam penentuan
kualitas. “Di sini ada perbedaan visi antara PTP dengan petani,”
kata Imam. Dia juga menganggap perlunya kesadaran dari
pihak BUMN tersebut untuk menjadikan petani sebagai mitra
yang sejajar. “Sampai saat ini kesejajaran itu tak ada. Padahal,
ini sebenarnya adalah misi PTP,” kata Imam.”
Terakhir, empat paragraf yang mengakomodasi pesan dari kelompok
petani. Tulisan mencoba menerangkan kondisi ekonomi petani kaitannya dengan
harga beli dari PT Perkebunan Nusantara X. Dilaporkan pula salah satu bentuk
pembangkangan petani terhadap perusahaan, yakni dengan tidak bersedia
bekerjasama untuk menyerahkan lahan sebagai areal perkebunan. Tulisan
dipungkasi dengan harapan utama gerakan FPTV, yakni kesejajaran posisi antara
petani dan perusahaan eksportir (PT Perkebunan Nusantara X). Berikut ini tubuh
beritanya.
“Sementara itu, di hari-hari ketika masih ada persoalan
cukup besar, beberapa petani sudah mengambil sikap melawan.
Petani yang tidak ingin digorok terang-terangan oleh eksportir
jelas lebih suka tidak lagi mengontrakkan tanahnya kepada PTP
X. Di desa Ngering, Klaten, ada sekitar 44 petani. Sementara di
desa Towangsan jumlahnya mencapai 19 orang. Total di
kabupaten Klaten saja saat ini tercatat 75 petani yang tidak lagi
memperpanjang kontraknya.
Langkah ini terpaksa diambil karena para petani merasa
dirugikan jika tembakaunya dihargai Rp 4.100—Rp 4.300.
Menurut Wening, petani tembakau kawakan dari kecamatan
Gantiwarno, Klaten, dengan lahan seluas satu patok (2.000
m2—2.500 m2), setiap tahunnya petani tembakau paling banter
hanya memperoleh penghasilan Rp 1,2juta; sementara jika
ditanami padi akan memberikan penghasilan sekitar Rp 1,6juta.
“Ini pun dengan teknik yang paling sederhana,” kata Wening.
Karena itulah, kini banyak petani tembakau di Klaten dan

7

Jember yang mengalihkan perhatiannya dengan menanam padi
atau palawija.
Petani, yang umumnya tidak paham dengan gejolak kurs
dolar, selama ini selalu mengaitkan harga tembakau dengan
gabah. Menurut perhitungan Wening, harga yang ideal untuk
satu kilogram tembakau adalah empat kali harga gabah.
Dengan patokan tersebut, dan harga gabah sekitar Rp 1.700 per
kg, berarti PTP harus membeli tembakau dengan harga
Rp6.800. “Pada tingkat harga itu, hasil yang diperoleh petani
dari tembakau akan sama dengan menanam padi,” kata Wening.
Permintaan yang tidak berlebihan, memang. Sebab, harga
itu hanya seperdua belas harga lelang tembakau jenis VBN di
Bremen. Tahun lalu, tembakau jenis ini harganya mencapai US$
10,5 atau sekitar Rp 83.000 jika memakai patokan kurs Rp
8.000 per dolar. “Dengan sudut pandang trade fair, PSAP berniat
memosisikan petani sejajar dengan perusahaan eksportir,” kata
Laksono.”
Demikian pemberitaan Kontan telah coba dicacah dan diurai dalam
kaitannya dengan jejaring eksternal gerakan FPTV. Sebuah sajian yang bukan
dimaksudkan untuk menganalisis wacana, bukan pula membongkarnya dengan
analisis konstruksi sosial, tetapi tetap tanpa kehilangan greget teks (media)
tersebut dalam posisinya sebagai salah satu artikulasi strategi gerakan sosial.
Gerakan Sosial, Media, dan Objektivitas Media
Sepertinya, segenap protes petani kini tidak lagi memuaskan untuk
dijelaskan menuruti konsep perlawanan keseharian (every day resistance)
sebagaimana dipakai James Scott (2000). Percik-percik gerakan sosial
bertebaran dengan harapan perubahan sistemik yang lebih menjanjikan. Sidney
Tarrow (1998: 4-5) menilai bahwa gerakan sosial itu sebagai tantangan kolektif
yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang
sama (dalam konteks interaksi dengan kelompok elite, lawan, dan penguasa).
Secara ringkas, bagi Donatella della Porta dan Mario Diani (1999: 16),
tantangan kolektif tersebut merujuk pada empat karakteristik, yakni jaringan
interaksi informal, perasaan dan solidaritas bersama, konflik sebagai fokus
kolektif, serta mengedepankan bentuk-bentuk protes. Penulis tertarik masuk
pada babakan protes di mana disinggung della Porta dan Diani (1999: 169), “In
fact, protest mobilize a veriety of actors (Pada kenyataannya, protes
memobilisasi beragam aktor).” Protes yang dimaksud menunjuk ke arah
perwujudan nonconventional action (aksi di luar kebiasaan) yang dapat
dilakukan setiap aktor (termasuk media) secara kolektif. Hal inilah yang akan

8

menarik perhatian publik yang mendukung upaya protes. Media berperan dalam
menyebarkan pesan dari pentolan aktor gerakan kepada publik, yang termasuk di
dalamnya adalah sasaran protes: pengambil kebijakan (lihat Bagan 2).
Bagan 2
The Communication Process of Protest
(Lipski, 1965 dalam della Porta dan Diani: 1999, 169)
Symbolic rewards

Protest
Constituency

Leaders

Media

Reference Public

Targets of protest
Material rewards
Pada konteks ini, Hanspeter Kriesi (2004: 86) mengemukakan, “The
media […] are expected to create public controversy and reinforce the position of
sponsors of the movement’s concerns within the policymaking domain (Media
[…] berharap mampu menciptakan kontroversi publik dan memperkuat posisi
aktor di hadapan pengambil kebijakan).” Selarik pemeriksaan yang memperkuat
pendapat bahwa peran media tidaklah berada dalam domain abu-abu di tengah
pusaran gerakan sosial. Media masuk dalam jejaring aktor gerakan yang secara
tidak langsung (indirect) berhadapan dengan pengambil kebijakan. Dari
pengamatan Charles Tilly (2005: 3), pemanfaatan keberadaan media semacam
ini, semisal melalui pemberian komentar di media, merupakan “repertoar
gerakan sosial” yang sejauh penelusurannya sudah mulai berkembang di Barat
setelah 1750.
Dari situ, media sangat mungkin dipersepsikan tidak lagi menjaga
objektivitasnya. Media larut dalam peta konfrontasi yang justru memperkeruh
situasi. Benarkah demikian? Izinkan saya mengambil satu pernyataan untuk
membuka diskusi tentang arti objektivitas.
Michael Bugeja, pengajar di Iowa State, sebagaimana dikutipkan Luwi
Ishwara (2005: 44), menilai objektivitas sebagai “seeing the world as it is, not
how you wish it were (melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang
anda harapkan semestinya).” Pada kenyataannya, semakin banyak wartawan dan

9

termasuk ilmuwan, berseberangan dengan pendefinisian tersebut. Dalam studi
media sendiri, terekam catatan bagaimana dinamika perdebatan ihwal
objektivitas yang kerapkali berujung pada kebingungan (arti objektivitas). Sebab,
arah perdebatannya dinilai selalu merujuk ke wilayah filosofis, bukan berpijak
pada dunia nyata (Kovach dan Rosenstiel, 2004: 43).
Di Indonesia, diskusi serupa tidak dapat berkembang pada masa
pemerintahan Orde Baru. Media tidak mempunyai ruang untuk mendiskusikan
objektivitas pemberitaannya, karena justru keberadaan media dialih-terapkan
sebagai agen stabilitas politik (McCargo, 2003: 75-96). Memasuki era reformasi,
media malahan seperti terjerembab pada pengartian objektivitas sebagai
netralitas, semata-mata lantaran menengahi situasi politik yang dianggap
kehilangan musuh bersama (common enemy), yang pada masa Orde Baru tertuju
pada pemerintahan otoriter Soeharto. Apabila diandaikan sebagai garis grafik,
pergerakannya menurun setelah menyalak pada erupsi ketegangan politik tepat
pada 1998 (atau antara 1997 sampai 1998).
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Elemen-elemen Jurnalisme
(2004) menyimpan penjelasan historis bagaimana konsep objektivitas muncul di
dunia jurnalisme. Awalnya justru bukan objektivitas, melainkan realisme.
Realisme adalah pemikiran bila seorang reporter menggali fakta dan
meruntutkannya

secara

kronologis,

kebenaran

akan

dengan

sendirinya

terungkap. Perspektif tersebut mulai muncul pada akhir abad ke-19 ketika
konteks jurnalisme di Amerika terpisah dari partai politik. Tetapi, masuk di awal
abad ke-20, kecemasan mulai melanda seiring bertebarannya propaganda dan
agen penghubung pers. Semakin lama, kini, baik realisme terlebih lagi
objektivitas, bagi kebanyakan wartawan menganggapnya sebagai ilusi belaka.
Sekalipun, belajar dari pengalaman media di Amerika, didapati solusi bahwa
objektivitas dapat dicapai melalui metode (verifikasi), bukan dari diri seorang
wartawan. Meski, sampai hari ini belum ada satupun standar verifikasi
jurnalistik, yang mendekati aturan standar pembuktian seperti halnya dalam
ilmu hukum, atau metode observasi yang dipakai banyak ilmuwan, seperti dalam
eksperimen ilmiah yang terarah (Kovach dan Rosenstiel, 2004: 92).
Debat objektivitas tentu tidak bermakna apabila berkutat pada problema
metode, selain juga ternyata tidak merampungkan persoalan. Pasalnya, inti
kebingungannya justru terletak pada pengaruh objektivitas yang sedikit-banyak
mendorong persepsi supaya media berada pada “domain abu-abu”. Utamanya
dalam konteks gerakan sosial di mana situasi terpetakan secara konfrontatif,

10

media justru tidak diharapkan untuk bersikap “menengahi” yang selanjutnya
malah kontraproduktif dengan harapan akan perubahan sosial. Merujuk pada
pemaparan Susan Ekstein (dalam Wahyudi, 2005: 10), terdapat dua penyebab
munculnya arus gerakan sosial. Pertama, adanya ketidakadilan dan penindasan
yang tidak dapat ditolelir lagi sehingga memantik keberanian penuh resiko
dengan melakukan konfrontasi langsung terhadap negara. Kedua, lonjakan biaya
hidup akibat krisis ekonomi yang tidak dapat diatasi, sementara respons institusi
lokal, nasional, serta kultural tetap saja kurang kondusif. Dengan demikian,
gerakan sosial tidaklah serta-merta mengemuka tanpa sebab dan tanpa
goncangan keteraturan sosial, ekonomi, politik, dan kultural.
Senada dengan itu, Steve Bruce dan Stephen Yearley dalam The Sage
Dictionary of Sociology (2006: 217) menuliskan selarik pemeriksaan dengan
disertai seruan yang meruntuhkan objektivitas. “[…] true objectivity is impossible
because our view of reality is inevitably filtered through our fallible senses, our
equally fallible reasoning powers, and prevailing theories and concepts, which
shape the way we see the world. The precise way our brains have evolved may
also influence the kinds of knowledge we develop. We cannot see the world as it
truly is but only as creatures like us see it ([…] kebenaran objektif itu mustahil
karena pandangan kita atas realitas tersaring oleh indera yang tidak sempurna,
kemampuan berpendapat yang tidak mungkin seimbang, serta sejumlah besar
teori dan konsep, yang membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Otak kita
dipengaruhi oleh beragam pengetahuan yang kita kembangkan. Kita tidak dapat
lagi melihat dunia ini sebagaimana adanya, tetapi sebagai bentukan seperti
halnya kita melihat dunia).”
Dalam bahasa yang lebih sederhana, seperti diyakini para pengikut
Marxisme ortodoks (dalam van Peursen, 1989:72), “Objektivitas sejati adalah
pemihakan yang sejati.”
Epilog
Akhirnya,

dengan

tanpa

nada

“membesar-besarkan”

peranan,

pemberitaan Kontan di atas setidaknya mampu mengakomodasi pesan segenap
aktor dalam kerangka framing laporan jurnalistik. Kini, FPTV tinggal
meneruskan negosiasi ketika musim tanam akan digelar, karena perubahan
sistemik telah digapai, bahkan tanpa mobilisasi aksi demonstrasi. Model jejaring
gerakan seperti ini, yakni dengan melibatkan kekuatan aktor media dan
kelengkapan gerakan yang lain, mestinya menjadi pilihan baru di tengah era

11

reformasi dan keterbukaan sekarang. Protes di era modern tampaknya akan
makin massif dilancarkan dari rahim media, terlebih dengan semakin maraknya
jejaring sosial di dunia maya.
Tulisan ini tidak ingin mengakiri diri dengan ideal harapan yang justru
klise. Sebab, kini bukan soal signifikansi media dalam gerakan sosial yang masuk
meja diskusi atau pula debat objektivitas pemberitaan media, melainkan tekanan
bertubi yang menyerang media dari tangan negara. Setidaknya itulah yang
menyeruak

belakangan

ketika

sederet

peraturan

perundang-undangan

diberlakukan, mulai dari UU Pers, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
UU Rahasia Negara (belum disahkan). Adakah negara sekarang giliran
menyerang balik media (the state strike-backs the media)? [ ]
Daftar Pustaka
Bruce, Steve dan Yearley, Stephen. 2006. The Sage Dictionary of Sociology.
London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
della Porta, Donadella dan Diani, Mario. 1999. Social Moverments: An
Introduction. Oxford: Blackwell Publishers.
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Kovach, Bill dan Rosenstiel, Tom. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme: Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi.
McCargo, Duncan. 2003. Media and Politics in Pacific Asia. London dan New
York: Routledge Curzon.
Padmo, Soegijanto dan Djatmiko, Edhi. 1991. Tembakau: Kajian SosialEkonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Scott, James. 2000. Senjatanya Orang-orang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Snow, David A., Soule, Sarah A., dan Kriesi, Hanspeter (ed). 2004. The Blackwell
Companion to Social Movements. Oxford: Blackwell Publishing.
Tarrow, Sidney. 1998. Social Movements and Contentious Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Tilly, Charles. 2005. Social Movements, 1768-2004. London: Paradigm
Publishers.
van Peursen, C. A. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat
Ilmu. Jakarta: Gramedia

12

Wahyudi. 2003. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus
Reklaiming/Penjarahan atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar,
Malang Selatan. Malang: UMM Press.

13

Apendiks
Salinan Tabel Tuntutan Awal FPTV ke PT Perkebunan Nusantara X
No. Tuntutan awal FPTV ke PTPN
Adanya perjajian secara tertulis antara petani dengan pihak PTP X N
1.
syah secara hukum, sehingga tidak diperlukan SK Bupati untuk
melindungi kerja PTP X N.
Penanaman tembakau dilakukan secara blok, tidak hanya memilih
2.
lahan yang subur.
Dalam pengadaan los pengering tembakau, penentuan nilai sewa lahan
3.
dilakukan secara langsung antara petani pemilik lahan dengan pihak
PTP X N.
Harga tembakau kering setara 2 $ US dan ditentukan sebelum
4.
memasuki musim tanam
Ada jaminan kegagalan panen yang nilainya nominalnya setara dengan
5.
harga 12 Kw tembakau kering untuk setiap Ha sawah.
Ada beaya pemulihan lahan setelah penanaman tembakau yang nilainya
6.
setara dengan upah 60 HOK berdasarkan UMR yang berlaku untuk
setiap Ha sawah.
Melakukan pemuliaan tanah dengan menanam Clotalaria Juncea
sebanyak 15 Kg benih untuk setiap Ha sawah secara merata di akhir
7.
musim tanam tembakau.
Mengembalikan 5 % keuntungan bersih PTP X N dari usaha tembakau
8.
kepada petani.
Petani terlibat dalam pengawasan dalam seluruh proses produksi
9.
sampai pasca panen
10.
Buruh lahan diutamakan dari wilayah desa yang ditanami tembakau.
Upah buruh sesuai UMR yang berlaku dan tidak ada diskriminasi upah
11.
antara buruh laki-laki dengan perempuan, perbedaan didasarkan atas
jenis pekerjaan dan ketrampilan yang dikuasai buruh.
12.
Buruh mendapatkan jaminan kesehatan dan kecelakaan (askes).

14