Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

BAB II
PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Narkotika secara etimologi berasal dari bahsa Yunani Narkoum, yang
berarti membuat lumpuh atau membuat mati rasa.Pada dasarnya narkotika
memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam bidang kedokteran, kesehatan
dan pengobatan serta berguna bagi penelitian perkembangan ilmu pengetahuan
farmasi atau farmakologi itu sendiri.Sedangkan dalam bahasa Inggris Narcotic
lebih mengarah keobat yang membuat penggunanya kecanduan.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan tersebut.

85

.Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang


menyebabkan kelompok masyarakat terutama di kalangan remaja ingin
menggunakan narkotika meskipun tidak menderita apa-apa.Hal inilah yang
mengakibatkan

terjadinya

penyalahgunaan

narkotika

(obat).Bahaya

bila

menggunakan narkotika bila tidak sesuai dengan peraturan dapat menyebabkan
adanya adiksi/ketergantungan obat (ketagihan). Adiksi adalah suatu kelainan obat

85

https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses tanggal 26 Oktober 2016


71
Universitas Sumatera Utara

yang bersifat kronik/periodic sehingga penderita kehilangan control terhadap
dirinya dan menimbulkan kerugian terhadap dirinya dan masyarakat. Orang-orang
yang sudah terlibat pada penyalahgunaan narkotika pada mulanya masih dalam
ukuran (dosis) yang normal.
Lama-lama pengguna obat menjadi kebiasaan, setelah biasa menggunakan
narkotika, kemudian untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang
lebih tinggi (toleransi). Setelah fase toleransi ini berakhir menjadi ketergantungan,
merasa tidak dapat hidup tanpa narkotika. 86
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. 87 WHO sendiri
memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: “Narkotika merupakan
suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan memengaruhi fungsi fisik
dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau oksigen).” Narkotika secara

farmakologik aalah opioida.Seiring berjalannya waktukeberadaan narkotika bukan
hanya sebagai penyembuh namun justru menghancurkan.Awalnya narkotika
masih digunakan sesekali dalam dosis kecil dan tentu saja dampaknya tidak
terlalu berarti. Namun perubahan zaman dan mobilitas kehidupan membuat
narkotika menjadi bagian dari gaya hidup, dari yang tadinya hanya sekedar

86

Juliana Lisa FR & Nengah Sutrisna W, Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa

Tinjauan Kesehatan dan Hukum, Nuha Medika,Yogyakarta, 2013, hal.2
87

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

72
Universitas Sumatera Utara

perangkat medis, kini narkotika mulai tenar diagungkan sebagai dewa dunia
penghilang rasa sakit. 88

Dengan perkembangan teknologi dan industri obat-obatan, maka kategori
jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti yang tertera dalam Lampiran
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika
berkembang pula cara pengelolahannya dan peredarannya. Namun belakangan
diketahui bahwa zat-zat narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa
menimbulkan ketergantungan.Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang
cukup panjang bagi si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan dan
pengendalian guna bisa disembuhkan.
Melihat begitu besarnya, efek negatif yang ditimbulkan dari narkotika
apabila tidak digunakan sesuai dengan peruntukkannya, maka pemerintah perlulah
mengawasi peredarannya di masyarakat. Agar narkotika tersebut tidak
dipersalahgunakan oleh sebagian kalangan yang akan merugikan diri mereka
sendiri. Oleh karenanya dikeluarkanlah Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Tentang Narkotika agar peredarannya di masyarakat dapat diawasi secara ketat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Undang-undang tentang Narkotika bertujuan :
a.

Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b.

Mencegah,

melindungi,

dan

menyelamatkan

bangsa

Indonesia

dari

penyalahgunaan narkotika;


88

Juliana Lisa FR & Nengah Sutrisna W, Op.Cit.

73
Universitas Sumatera Utara

c.

Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan

d.

Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna
atau pecandu narkotika;
Sedangkan untuk pengertian narkotika sering diistilahkan sebagai drugs

yaitu sejenis zat yang dapat mempengaruhi tubuh si pemakai. Pengaruh-pengaruh
tersebut berupa: 89
1) Pengaruh menenangkan

2) Pengaruh rangsangan (rangsangan semangat dan bukan rangsangan seksual)
3) Menghilangkan rasa sakit
4) Menimbulkan halusinasi atau khayalan
Sudarto mengatakan bahwa: 90 “Kata narkotika dari perkataan Yunani
“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.” Smith Kline dan
Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa:

91

obat-obatan

ketidaksadaran

yang

dapat

mengakibatkan

“Narkotika adalah zat-zat atau

atau

pembiusan

dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam
definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu
(morphine, codein, methadone).”
2. Tindak Pidana Narkotika
Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah UndangUndang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang

89

Soedjono Dirjosisworo, Kriminologi, Citra Aditya, Bandung, 1995, hal.157

90

Taufik Makaro, Suhasril, dan H.Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalian

Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 17

91

Ibid, hal.18

74
Universitas Sumatera Utara

termasuk dan/atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.Tindak
pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredran narkotika
yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar undangundang narkotika). 92 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal anatara
lain: 93
a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;
b. Pengedaran narkotika;
c. Jual beli narkotika
Dari ketiga tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu sebab
terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang
secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi
muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:
a. Pembunuhan;
b. Pencurian;

c. Pendongan;
d. Penjambretan;
e. Pemerasan;
f. Pemerkosaan;
g. Penipuan;
h. Pelanggaran rambu lalu lintas;
i.

Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.

92

Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh Zakky A.S., Op.Cit, hal. 45

93

Ibid, hal.47

75
Universitas Sumatera Utara


Tindak pidana yang berhubungan dengan nerkotika termasuk tindak
pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum
acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus,
karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar
pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009. 94 Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu
pada tata cara yang dipergunakan oleh KUHAP, akan tetapi terdepat beberapa
pengecualian sebagaimana ditentukan oleh undang-undang narkotika.
Adapun pengaturan tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. Di dalam Undang-Undang Narkotika No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan
kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini
tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan masingmasing golongan;
b. Mayoritas tindak pidana narkotika dirumuskan sebagai dengan konsep
delik formil. Tidak ditemukan akibat konstitusif yang dilarang dalam
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hanya pasal
116, pasal 121 dan pasal 126 yang dirumuskan dengan rumusan delik
dengan akibat yang dikualifikasir. Pasal-pasal tersebut mengatur
tentang larangan pemberian narkotika golongan I, golongan II, maupun
golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang
94

Ianbachruddin.blogspot.co.id/2011/11/tindak-pidana-narkotika-dan.html?m=1 (diakses

tanggal 4 Desember 2016 pukul 21.00 Wib)

76
Universitas Sumatera Utara

lainuntuk digunakan. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat akibat yang
dilarang yaitu mati ataupun cacat pemanen. Apabila akibat yang
dilarang terjadi maka akan dikenakan pemberatan.
c. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam undang-undang ini apakah
tergolong pada kejahatan ataupun pelanggaran;
d. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan
adanya pasal 145 Undang-Undang No.35 Tahun 2009. Pasal tersebut
mengatur bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang ini berlaku
bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau
tindak pidana precursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal
11, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117,
pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasl 123, pasal
124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1) dan
pasl 129 diluar wilayah Negara Republik Indonesia. Kententuan ini
mengandung asas nasionalis pasif terkait dengan berlakunya hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang
kepentingan hukum Negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga
negara Indonesia atau bukan, yang dilakukan diluar Indonesia;
e. Perbuatan tanpa hak melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam
bentuk tanaman dan bukan tanaman, narkotika golongan II, narkotika
golongan III (pasal 111,112,117,122);

77
Universitas Sumatera Utara

f. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika
golongan II, narkotika golongan III (pasal 113,118,123);
g. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan
II, narkotika golongan III (pasal 114,119,124);
h. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, narkotika
golongan II, narkotika golongan III (pasal 115,120,125);
i.

Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika
golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk
digunakan orang lain narkotika golongan I, narkotika golongan II,
narkotika golongan III (pasal 116,121,126);

j.

Setiap penyalahguna narkotika golongan I untuk digunakan orang lain
narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III
bagi diri sendiri (pasal127) ;

k. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak
melapor (pasal 128);
l.

Memilki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan, menawarkan untuk dijual.
Menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan precursor narkotika untuk perbuatan

78
Universitas Sumatera Utara

narkotika

membawa,

mengirim,

mengangkut,

atau

mentransito

precursor narkotika untuk perbuatan narkotika (pasal 129);
m. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adnya tindak pidana yang
diatur dalam pasal 111-119 (pasal 131);
n. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal 111-126 dan pasal 129.
(pasal 133);
o. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur, keluarga pecandu narkotika
yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut
(pasal 134);
p. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut
pasal 45 (pasal 135);
q. Pencucian uang terkait tindak pidana narkotika (pasal 137);
r. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan dan pemeriksaan perkara tindakn pidana narkotika dan/atau
tindak pidana prekusor narkotika di muka sidang pegadilan (pasal 138);
s. Nahkoda atau kapten penerbangan yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 127 atau
pasal 128. (pasal 139);
t. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 (pasal 140-142);
u. Sanksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika dalam precursor narkotika di muka
sidang pengadilan (pasal 143);

79
Universitas Sumatera Utara

v. Perbuatan pimpinan Ruma Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai
Pengobatan, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Milik Pemerintah,
dan Apotek yang mengedarkan narkotika golongan II, golongan III
bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan (pasal 147 huruf a);
w. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf b);
x. Perbuatan pimpinan industri Farmasi tertentu yang memproduksi
narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan (pasal 147 huruf c);
y. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
golongan I bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau
mengedarkan narkotika golongan II dan narkotika golongan III bukan
untuk

kepntingan

pelayanan

kesehatan

dan/atau

bukan

untuk

pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf d);
Tujuan pengaturan Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain : 95
a. Menjamin ketersediaan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengenmbangan ilmu pengetahuan;
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. Memberantas peredaran gelap narkotika.

95

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Atas Tindk Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press,

Malang, 2009, hal. 18

80
Universitas Sumatera Utara

Dalam tindak pidana narkotika yang menjadi objek hukum adalah
perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum yang memenuhi asas legalitas
formil dan materiil. Legalitas Formil yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada, sedangkan Legalitas Materiil yaitu hukum yang berlaku di dalam kehidupan
masyarakat.
Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku (heteromon).Unsur
dari luar diri pelaku tindak pidana narkotika dapat kita kaji yaitu perbuatan
manusia, akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, keadaan-keadaan
tertentu, sifat melawan hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum. 96
Unsur Subjektif, unsur yang berasal dari dalam diri pelaku tindak pidana.
Unsur dari dalam diri pelaku tindak pidana narkotika dapat diketahui unsur
kesengajaan sebagai maksud, unsur kesengajaan kemungkinan, unsur kesengajaan
keinsafan pasti, ataupun kesadaran secara penuh dalam melakukan tindak pidana.
Dimana pelaku sadar akan perbuatannya dan perbuatannya dapat dipertanggung
jawabkan. Kemampuan bertanggung jawab sebagai keadaan batin orang normal
dan yang sehat. Dalam tindak pidana narkotika subjek hukum yang dapay
dipidana terbagi atas:
a. Setiap orang;
b. Badan Hukum atau Korporasi;

96

http://zain-informasi.blogspot.com/2013/11/pasal-111-uu-no-35-tahun-2009-

tentang_3719.html (diakses pada tanggal 5 December 2016 pukul 13.00 Wib)

81
Universitas Sumatera Utara

c. Pegawai negeri.
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 4
(empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang
dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni 97
a.

Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika.

b.

Kategori

kedua,

yakni

perbuatan-perbuatan

berupa

memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor
narkotika.
c.

Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar
atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika.

d.

Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa mengirim,
mengangkut, atau mentransit narkotika dan precursor narkotika.
3. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Narkotika
KUHP sebagai induk atau sumber data utama hukum pidana telah merinci

jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.Menurut
stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kekompok antara pidana pokok
dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari98 :

97

H Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU No.35 Tahun

2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 256
98

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus,Chaedar, Jakarta, 1991, hal. 25-

26

82
Universitas Sumatera Utara

a. Pidana mati
Pidana ini merupakan pidana yang terberat, yang pelaksanaannya
berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang
sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak
heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan
kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana
mati itu sendiri.

99

Hukuman mati merupakan salah satu jenis

hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang merupakan
hukum positif. Terlepas dari landasan yang sifatnya legalistic,
secara realistis pun kondisi hukum di Indonesia, masih sangat
membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi
kejahatan-kejahatan spesifik.Penjatuhan hukuman mati hanya
diputuskan oleh Hakim, kalua kejahatan si terdakwa memang
benar-benar terbukti sangat meyakinkan. 100
b. Pidana penjara
Berdasarkan

sifatnya

menghilangkan

dan/atau

membatasi

kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam
suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak
bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk,
menaati dan menjalankan semua tata tertib yang berlaku.101
Menurut Pasal 12 ayat (1) pidana penjara dibedakan menjadi :

99

Ibid, hal. 29

100

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 179-180
101

Andi Hamzah,Op.Cit., hal. 34

83
Universitas Sumatera Utara

a)
b)

Pidana penjara seumur hidup

Pidana penjara sementara waktu
Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan
yang sangat berat, yakni 102
1)

Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal

104, Pasal 365 ayat (1), Pasal 368 ayat (2).
2)

Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana

mati tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana pen jara sementara
setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, Pasal 108 KUHP.
Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 (satu) hari dan
paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun (12 ayat 2).Pidaa
pennjara sementara dapat (mungkin) dijatuhkan melebihi sari 15
tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam
Pasal 12 ayat (3).
c. Pidana kurungan
Merupakan bentuk dari hukuman perampasan kemeerdekaan bagi si
terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup
masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama
dengan

hukuman

penjara

yaitu

merupakan

perampasan

kemerdekaan seseorang. Pidana kurungan sebagai ganti pidana
denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu

102

Ibid, hal. 34

84
Universitas Sumatera Utara

membayar denda yang harus dibayarnya, dalam hal perkara tidak
berat. 103
d. Pidana denda
Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik
ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu
pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul
oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan
terhadap pidana pribadi, tidak ada larangan jika denda tersebut
secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. 104
e. Pidana tutupan
Dimaksud oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan
pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi
pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut
oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang
patut dihormati. 105
Pidana tambahan terdiri dari :
a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
Dalam Pasal 35 KUHP ditentukan bahwa yang boleh dicabut dalam
putusan hakim dari hak si bersalah ialah:
1) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu

103

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 23
104

Ibid, hal.24

105

Ibid.

85
Universitas Sumatera Utara

2) Hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata Republik
Indonesia, baik udara, darat, laut, maupun kepolisian
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan berdasarkan
undang-undang dan peraturan umum
4) Hak menjadi penasihat, penguasa dan menjadi wali
5) Kekuasaan orangtua, perwalian dan pengampuan atas anak
6) Hak untuk mengerjakan tertentu
b. Pidana perampasan barang-barang tertentu
Dalam hal perampasan barang-barang tertentu tertancum dalam Pasal
39, 40, 41, 42 KUHP:
a)

Barang-barang milik hukum yang diperoleh dari kejahatan

b)

Barang-barang

milik

terhukum

yang

dipakai untuk

melakukan kejahatan
c. Pidana pengumuman keputusan hakim
Semua putusan hakim sebenarnya sudah diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum, hukuman tambahan yang berupa pengumuman
putusan hakim disini dimaksudkan agar putusan itu disiarkan istimewa
secara jelas menurut apa yang ditentukan oleh hakim dan biayanya
ditanggung oleh terhukum.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sanksi
pidana terbagi atas:
1. Pidana Mati
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat
beberapa pasal yang menggunakan pidana mati, antara lain: Pasal 113 ayat

86
Universitas Sumatera Utara

(2), Pasal 114 ayat (2), Pasl 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119
ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana
dapat dpidana dengan pidana mati atau penjara, yang artinya tidak
menutup kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum mati apabila
melakukan tindak pidana yang telah diatur oleh undang-undang itu sendiri.
2. Pidana Penjara
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat
beberapa pasal yang menggunakan pidana penjara, anatara lain: Pasal 113
ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal
119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang
NO.35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan alternatif dari
pidana mati yaitu berupa penjara seumur hidup.
3. Tindak Pidana Berupa Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk pengambilan kehormatan dan
pemulihan nama baik. Dalam arti mengisolasikan seseorang kesuatu
tempat tertentu untuk dipulihkan, karena suatu penyakit atau keadaan.Hal
ini merupakan salah satu strategi pemberatasan masalah narkotika.
Rehabilitasi semata-mata tidak untuk mengisolasikan pasien dari
lingkungan masyarakat umum agar terasing dari orang lain, melainkan
untuk memulihkan pasien yang ketergantungan. 106
Para pecandu narkotika tidak jarang memberikan dampak terhadap rasa aib
bagi anggota keluarganya.Mereka sembunyi-bunyi untuk melakukan perawatan
106

Ballen Kennedy, Djaman Siregar, Budaya Malu Solusi Memberantas Masalah

Narkoba, Gramedium, Jakarta, 2004, hal.142

87
Universitas Sumatera Utara

medis sendiri (suamedikasi), padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan tindak
pidana.Oleh sebab itu, peranan masyarakat untuk membangun fasilitas sarana
rehabilitasi medis amat diperlukan dalam rangka rehabilitasi sosial. 107
Disisi lain para terpidana narkotika diharapkan mendapatkan fasilitas
lembaga pemasyarakatan khusus, yang dijauhkan dengan para pelaku tindak
pidana lainnya. Para terpidana selama menjalani hukuman, dapat pula dimanfaat
oleh aparat penegak hukum untuk dilakukan pelatihan tentang kewajiban
memberikan

informasi,

pelatihan keterampilan dalam tehnik

pembelian

terselubung sehingga dapat menunjang peranan penegak hukum 108.
Ketentuan umum Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menjelaskan rehabilitasi medis merupakan kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.Rehabilitasi pecandu
narkotika dapat

dilakukan dirumah sakit

yang ditunjuk oleh Menteri

Kesahatan.Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah, maupun
masyarakat.Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses
penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui
pendekan keagamaan dan tradisional 109.
Rehabilitasi sosial merupakan kegiatan pemulihan secara terpadu, sebaik
fisik, mental maupun sosial,agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat 110.

107

Siswantoro Sunarso, Op.Cit., hal.197

108

Ibid, hal 197.

109

http://www.psikologimania.com-2012-08-pengertian-rehabilitasi-narkoba.html

(diakses tanggal 8 Desember 2016 Pukul 23.00)
110

Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika

88
Universitas Sumatera Utara

Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga
rehabilitasi sosial yang ditunjukkan Menteri Sosial, yaitu lembaga rehabilitasi
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, salah satu
tujuannya yang tercantum dalam Pasal 4 adalah menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika namun fakta di lapangan, ara penyalahguna dan pecandu narkotika
dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di lembaga pemasyarakatan. Hal ini
terjadi karena penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai,
membawa narkotika dibawa ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam
pasal sebagai pengedar sehingga sangat jarang pasal penyalahguna berdiri sendiri.
Di sisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalahguna narkotika jarang
melakukan langkah-langkah secara medis dan psikis untuk menentukan seseorang
sebagai penyalahguna atau pengedar, serta tidak pernah melakukan pemeriksaan
terhadap tingkat kecanduan dan rencana terapi rehabilitasinya, sehingga hakim
merasa sulit dalam mumutuskan tindakan berupa rehabilitasi 111
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk “pengedar”
dan “pengguna” dikenal adanya dua jenis sistem perumusan jenis sanksi pidana
(straaftsoort) yaitu sistem perumusan kumulatif-alternatif (campuran garis
gabungan) antara-antara mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
dan pidana denda (Pasal 114, 115, 118,119 UU Narkotika). Kemudian untuk
sistem perumusan sanksi pidananya “straaftmaat” dalam UU Narkotika terdapat 2
111

http://dedihumas.bnn.go.id/red/sekjen/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-

penyalah-guna-narkotika-dalam-

konstruksi-hukum-positif-di-indonesia

(Diakses

tanggal

8

Desember 2016 Pukul 23.30)

89
Universitas Sumatera Utara

(dua) perumusan yaitu fixed/indefinitesense system atau sistem maksimum dan
determinatesense

sentence

system(Pasal

111,112,113,115,116,117,118,119,120,121,122,123,124,125 UU Narkotika).
Pasal 136 Undang-Undag No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil
yang diperoleh dari tindak pidan narkotika, baik itu asset bergerak atau tidak
bergerak maupun berwujud dan tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan
yang digunakan untuk tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara. Pasal 146
juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah melakukan
tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana narkotika, yakni dilakukan
pengusiran wilayah Negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke
wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 148, bila putusan denda
yang diatur dalam undang-undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana
narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun sebagai
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

B. Pengaturan Hukum Mengenai Hakim
1. Sejarah Hakim
Istilah hakim berasal dari bahasa Arab, ahkam yang artinya bukan hakim
tetapi yang bersangkutan dengan tugas hakim yakni hukum.Hukum dalam bahasa
Arab ialah qadhi. Dalam bahasa Inggris hakim disebut judge, yang kemudian
Black’s Law Dictionary mendefinisikannya sebagai berikut:

90
Universitas Sumatera Utara

Judge is a public officer, appointed to preside and to administer the lawa
in a court oj justice; the chief member of a court, and charged with a control of
proceedingsand the decision of question of law or discretion.
Terjemahannya kira-kira sebagai berikut, seorang petugas publik, ditunjuk
untuk memimpin dan mengelola hukum di pengadilan; anggota kepala
pengadilan, dan dibebankan dengan control dari proses dan keputusan pertanyaan
hukum atau kebijaksanaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hakim adalah orang
yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah). Dan kehakiman
adalah:
a. Urusan hakim dan pengadilan;
b. Segala sesuatu

yang

berkenaan dengan

hukum (undang-undang,

pengadilan, dan sebagainya).
Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)
menyatakan bahwa:
“Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili.”
Dimana

mengadili

merupakan serangkain tindakan

hakim untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut acara yang diatur
dalam undang-undang (KUHAP), ditegaskan dalam Pasal 1 butir 9 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981.

91
Universitas Sumatera Utara

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, hakim adalah hakim
poada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim
pada pengadilan khusus yang beraada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Sedangkan hakim agung adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Menurut Bismar Siregar, apapun istilah yang setepatnya, karena menyebut
hakim sudah tidak diragukan yaitu mereka yang mengucapkan dan menetapkan
keadilan atas diri seseorang.
Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung
bersama-sama badan peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, fungsi
Mahkamah Agung antara lain sebagai berikut:
1) Melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2) Dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, predisen diberi
hak untuk memberi grasi dan rehabilitasi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membentuk suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial diatur dalam Pasal
24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang di
dalamnya berbunyi sebagai berikut:

92
Universitas Sumatera Utara

a. Komisi

Yudisial

bersifat

mandiri

yang

berwenng

mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
b. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela.
c. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
d. Susunan, kedudukan, dan kenggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
Penerapan daripada Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut diatas, diundangkanlah Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan
penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui
pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan
partisipatif guna menegakkan martabat dan keluhuran hakim, serta perilaku
hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan
pelaksanaannya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Komisi
Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada
DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), mengakkan kehormatan
dan keluhuran martabat, dan menjaga perilaku hakim.
Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama
peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
93
Universitas Sumatera Utara

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan
putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus
dapat bekerja dengan baik atas tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusanputusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi
hukum dan keadilan. Dengan demikian badan ini harus bebas dari pengaruh
kekuasaan lain.
Kekuasaan kehakiman merupakam kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan perdailan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari
kekuasaan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan diatur dalam konstitusi sebagai salah satu bukti bahwa Negara
Republik Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum.Di
dalam Undang-Undang Negara Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
juga dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum. 112
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu condition
sinequanon guna terwujudnya negara hukum.Kekuasaan yang merdeka dapat
dikatakan sebagai suatu refleksi dari Universal Declaration of Human Rights dan

112

Vide Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

94
Universitas Sumatera Utara

International Covenant on Civil and Political Rights 113, yang didalamnya diatur
mengenai “independent and impartial judiciary”.
Di dalam Universal Declaration of Human Right114s, dinyatakan dalam:
Article 10
“Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing
by in independent and impartial tribunal in the determination of
his rights and obligations and any criminal charge against
him”.
Yang artinya: “Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya
didengarkan suaranya dimuka umum dan secara adil oleh pengadilan yang
merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya
dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya”. 115
2. Perkembangan Pengaturan Kehakiman
Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita.
Dalam amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa

113
114

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal.251;
International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for

signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16
Desember 1966, Entry Into Force: 23 March 1976, inaccordance with Article 49.
115

Diimplementasikan dalam Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, yang menyatakan: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil
untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

95
Universitas Sumatera Utara

kekuasaan

kehakiman

merupakan

kekuasaan

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 116
Semenjak tahun 1948 hingga saat ini, setidaknya ada 4 Undang-undang yang
mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia, yaitu:
a) UU No.19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman;
Setelah Indonesia merdeka, kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan
pengembangan kekuasaan kehakiman adalah didasari pada prinsip
“unifikasi”, sebagai lawan dari prinsip “pluralistis” yang diterapkan pada
masa pemerintah kolonial Belanda”. Prinsip “unifikasi” itu kemudian
muncul dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948. Pasal 6
menyatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga
lingkungan peradilan yaitu: 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Tata Usaha
Pemerintahan 3. Peradilan Ketentaraan Sementara Pasal 7 UU itu
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Umum
dilaksanakan oleh: 1. Pengadilan Negeri 2. Pengadilan Tinggi 3.
Mahkamah Agung Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 itu ternyata
keberadaan Peradilan Agama tidak tercakup di dalamnya. Juga tidak ada
ketentuan yang tegas dalam UU itu yang menghapuskan keberadaan
116

http://www.birousaha...Op.cit.

96
Universitas Sumatera Utara

Peradilan Agama itu. Dalam ketidakjelasan itu, ketentuan yang dapat
dipakai sebagai pegangan adalah Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan
bahwa perkaraperkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum
yang hidup, harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang
Hakim yang beraga Islam sebagai Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama
Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri
Agama dengan persetujuan Meteri Kehakiman. Ketidakjelasan juga
terlihat pada eksistensi Peradilan Adat yang selama ini diakui
keberadaannya. Ketentuan yang berkaitan dengan hal itu diatur dalam
Pasal 10 yang menyatakan bahwa perkara-perkara yang menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus diperiksa dan
diputus oleh pemegang kekuasaan yang tinggal tetap dalam masyarakat
itu9. Tentang Peradilan Tata Usaha Pemerintahan Pasal 66 menyatakan
bahwa sepanjang dalam suatu Undang-undang tidak disebut dengan tegas
perkara tata usaha pemerintahan harus diadili oleh peradilan tertentu maka
Pengadilan Tinggi berwenang memeriksa dalam tingkatan pertama dan
Mahkamah Agung berwenang memeriksa dalam tingkatan kedua.
Sementara tentang Peradilan Ketentaraan Pasal 68 menyatakan bahwa
Peradilan Ketentaraan akan diatur dengan undang-undang.
b) UU No.19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman
Penjelasan umum UU No. 19 tahun 1964 menyatakan bahwa pembentukan
UU itu didasarkan pada Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tentang

97
Universitas Sumatera Utara

Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek. Salah satu ciri jiwa Manipol
Usdek adalah menempatkan Presiden sebagai Pimpinan Nasional dan
sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan superior
terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk terhadap kekuasaan
kehakiman. Sebagai suatu UU yang berjiwa Manipol Usdek, Pasal 3 dari
UU itu dengan tegas menyebutkan bahwa Pengadilan adalah alat revolusi.
Senada dengan itu Pasal 14 dan Pasal 20 menekankan bahwa hukum dan
hakim juga merupakan alat revolusi. Oleh karena pengadilan, hukum dan
hakim merupakan alat revolusi, maka Presiden adalah sebagai pemimpin
besar bangsa dan negara, demikian isi Pasal 19 UU itu.
Berkenaan dengan jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU tersebut
mengaturnya dalam Pasal 7 yang secara garis besar berisi empat hal yaitu:
1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis peradilan yaitu:
a) Peradilan Umum;
b) Peradilan Agama;
c) Peradilan Militer;
d) Peradilan Tata Usaha Negara.
2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan
pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.
3) Keempat jenis peradilan itu secara teknis berada di bawah pimpinan
Mahkamah Agung sedang secara organisatoris, administratif dan finansial
berada di bawah Departemen terkait.

98
Universitas Sumatera Utara

4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup kemungkinan
penyelesaian perkara perdata secara damai dapat dilakukan di luar
peradilan.
c) UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diubah menjadi UU No. 35 Tahun
1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pada awal kemunculannya, pemerintah orde baru bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk itu
pemerintah segera melakukan “Legislative Review” (penilaian materi
perundang-undangan oleh lembaga legislatif) dengan menciptakan empat
buah Undang-undang yang sangat erat hubungannya dengan kekuasaan
kehakiman, keempat Undang-undang tersebut adalah:
a) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang pernyataan tidak
berlakunya berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang.
c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak
berlakunya Undangundang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang.
Khusus tentang jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU Nomor 14 Tahun
1970, mengaturnya dalam Pasal 10 ayat (1). Menurut Pasal itu, kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh:
a) Peradilan Umum;
b) Peradilan Agama;
c) Peradilan Militer ;

99
Universitas Sumatera Utara

d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Tentang Peradilan Umum lebih jauh diatur dengan UU Nomor 2 Tahun
1986 yang sekaligus mencabut UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1986 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi, masing-masing berkedudukan di Ibu Kota
Kabupaten (Kotamadya) dan Ibu Kota Propinsi (Pasal 4). Pengadilan
Negeri merupakan pengadilan Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi
merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Perihal Peradilan Agama,
keberadaannya lebih jauh diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989. Sebagai Peradilan Khusus, Pasal 1 ayat (1) menegaskan Peradilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota
Kabupaten dan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota
Propinsi. Sama halnya dengan Peradilan Umum, Kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung.Berkenan
dengan Peradilan Militer, lebih jauh peradilan ini diatur dengan
Undangundang Nomor 31 tahun 1997.Sebagai peradilan khusus. Pasal 9
UU tersebut menyatakan; Peradilan Militer berwenang mengadili pidana
militer dan perkara pidana militer:
a) prajurit;

100
Universitas Sumatera Utara

b) mereka yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan
prajurit;
c) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang;
d) seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c,
tetapi atas keputusan Penglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman
harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Selain kewenangan itu, Peradilan Militer berwenang menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana atas permintaan pihak
yang dirugikan dan sekaligus memutus dua perkara pidana dan perdata itu
dalam satu putusan.

d) UU No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi UU No.48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

101
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP PUTUSAN NO. 64/PID.SUS/2013/PN.JKT.BAR TENTANG NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 64/PID.SUS/2013/PN.JKT.BAR)

0 8 29

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

1 1 9

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

0 0 1

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

1 1 20

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR) Chapter III V

1 2 33

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

0 0 3