Determinan Kanker Leher Rahim pada Penderita yang Datang Berobat di RSUP H. ADAM MALIK Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Leher Rahim
2.1.1 Definisi
Kanker adalah istilah yang digunakan untuk pertumbuhan sel dan jaringan
yang ganas, otonom dan tidak terkontrol. Pertumbuhan tersebut membentuk tumor,
yang dapat menyerang jaringan disekitarnya dan jika berlanjut dapat menyerang
bagian tubuh yang lainnya, menghancurkan jaringan normal dan bersaing untuk
nutrisi dan oksigen (WHO, 2006). Kanker selalu diberi nama sesuai dengan bagian
tubuh dimana ia mulai terjadi, bahkan jika itu menyebar ke bagian tubuh lainnya
nanti. Ketika kanker mulai terjadi di leher rahim, hal itu disebut kanker serviks
(kanker leher rahim) (CDC, 2014).
Kanker leher rahim disebabkan oleh HPV yang menular secara seksual, yang
merupakan infeksi virus paling umum dari saluran reproduksi. Hampir semua
individu yang aktif secara seksual akan terinfeksi HPV di beberapa titik dalam hidup
mereka dan beberapa mungkin berulang kali terinfeksi. Puncak waktu infeksi segera
setelah menjadi seksual aktif (WHO, 2013).
2.1.2 Anatomi dan Histologi
a. Anatomi
Sistem reproduksi wanita terdiri dari dua bagian yaitu: genitalia eksterna dan

genitalia interna. Genitalia eksterna meliputi: labia mayor dan minor, klitoris,

Universitas Sumatera Utara

pembukaan kemih (uretra), dan pembukaan vagina atau introitus. Daerah antara vulva
dan anus disebut perineum. Bartholin kelenjar dua tubuh kecil di kedua sisi introitus.
Genitalia interna meliputi: tuba fallopi, rahim, ovarium, endometrium, serviks (leher
rahim) dan vagina (Syaifuddin, 2006).

Gambar 2.1. Genitalia Eksterna Wanita
Sumber : http://kankerleherrahim.com/wp-ontent/uploads/2012/05/leher-rahim.jpg
Serviks uteri atau biasa disebut serviks terdapat di setengah hingga sepertiga
bawah uterus, berbentuk silindris, dan menghubungkan uterus dengan vagina melalui
kanal endoservikal. Serviks uteri terdiri dari portio vaginalis, yaitu bagian yang
menonjol ke arah vagina dan bagian supravaginal. Panjang serviks uteri kira-kira 2,5
– 3cm dan memiliki diameter 2 - 2,5cm.

Universitas Sumatera Utara

Pada serviks terdapat zona trasformasi (transformation zone), yaitu: area

terjadinya perubahan fisiologis sel-sel skuamos dan kolumnar epitel serviks. Terdapat
2 ligamen yang menyokong serviks, yaitu ligamen kardinal dan uterosakral. Ligamen
kardinal adalah jaringan fibromuskular yang keluar dari segmen bawah uterus dan
serviks ke dinding pelvis lateral dan menyokong serviks. Ligamen uterosakral adalah
jaringan ikat yang mengelilingi serviks dan vagina dan memanjang hingga vertebra.
Serviks memiliki sistem limfatik melalui rute parametrial, kardinal, dan uterosakral
(Saladin, 2007).
b. Histologi
Serviks adalah bagian inferior uterus yang struktur histologinya berbeda dari
bagian lain uterus. Struktur histologi serviks dalam Saladin (2007) terdiri dari:


Endoserviks : Epitel selapis silindris penghasil mukus



Serabut otot polos hanya sedikit dan lebih banyak jaringan ikat padat (85%).




Ektoserviks : Bagian luar serviks yang menonjol ke arah vagina dan memiliki
lapisan basal, tengah, dan permukaan. Ektoserviks dilapisi oleh sel epitel
skuamos nonkeratin.
Pertemuan epitel silindris endoserviks dengan epitel skuamos eksoserviks

disebut taut skuamokolumnar (squamocolumnar junction, SCJ). Epitel serviks
mengalami beberapa perubahan selama perkembangannya sejak lahir hingga usia

Universitas Sumatera Utara

lanjut.

Sehingga,

letak

taut

skuamokolumnar


ini

juga

berbeda

pada

perkembangannya.


Saat lahir, seluruh serviks yang “terpajan” dilapisi oleh epitel skuamos.



Saat dewasa muda, terjadi pertumbuhan epitel silindris yang melapisi
endoserviks. Epitel ini tumbuh hingga ke bawah ektoserviks, sehingga epitel
silindris terpajan dan letak taut berada di bawah eksoserviks.




Saat dewasa, dalam perkembangannya terjadi regenerasi epitel skuamos dan
silindris. Sehingga epitel skuamos kembali melapisi seluruh ektoserviks dan
terpajan, dan letak taut kembali ke tempat awal.
Area tempat bertumbuhnya kembali epitel skuamos atau tempat antara letak

taut saat lahir dan dewasa muda disebut zona transformasi (Saladin, 2007).
Sel kanker pada awalnya berasal dari sel epitel serviks yang mengalami
mutasi genetik sehingga mengubah perilakunya. Sel yang bermutasi ini melakukan
pembelahan sel yang tidak terkendali, immortal dan menginvasi jaringan stroma
dibawahnya. Keadaan yang menyebabkan mutasi genetik yang tidak dapat diperbaiki
akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan kanker ini (Edianto, 2006).
2.1.3 Gejala dan Tanda
Perlu dimasyarakatkan upaya pengenalan kasus kanker leher rahim secara dini
melalui program skrining. Tingkat keberhasilan pengobatan sangat baik pada stadium
dini dan hampir tidak terobati bila kanker telah sampai dinding panggul atau organ
disekitarnya seperti rektum dan kandung kemih. Pemeriksaan Pap smear bertujuan

Universitas Sumatera Utara


untuk mengenali adanya perubahan awal sel epitel serviks, sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan terjadinya kanker invasif. Pap smear ini menjadikan kanker
leher rahim sebagai suatu penyakit yang dapat dicegah.
Sebagaimana lazimnya pencegahan terhadap sesuatu jenis penyakit, perlu
diwaspadai adanya faktor risiko dan ketersediaan sarana diagnostik serta
penatalaksanaan kasus sedini mungkin. Lesi kanker leher rahim yang sangat dini ini
dikenal sebagai servikal intraepitelial neoplasia (Cervical Intraepithelial Neoplasia
= CIN) yang ditandai dengan adanya perubahan displastik epitel serviks.
Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker leher rahim
masih mungkin tidak menimbulkan gejala. Tanda dini kanker leher rahim tidak
spesifik seperti adanya sekret vagina yang agak banyak dan agak berbau, kadangkadang dengan bercak perdarahan. Pada umumnya tanda yang sangat minimal ini
sering diabaikan oleh penderita.
Tanda yang lebih klasik adalah perdarahan bercak yang berulang, atau
perdarahan bercak setelah bersetubuh atau membersihkan vagina. Dengan makin
tumbuhnya penyakit tanda menjadi semakin jelas. Perdarahan menjadi semakin
banyak, lebih sering, dan berlangsung lebih lama. Namun, terkadang keadaan ini
diartikan penderita sebagai perdarahan haid yang sering dan banyak. Juga dapat
dijumpai secret vagina yang berbau terutama dengan massa nekrosis lanjut. Nekrosis
terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi pertumbuhan
pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran yang cukup. Nekrosis ini

menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan non spesifik.

Universitas Sumatera Utara

Pada stadium lanjut ketika tumor telah menyebar keluar dari serviks dan
melibatkan jaringan di rongga pelvis dapat dijumpai tanda lain seperti nyeri yang
menjalar ke pinggul atau kaki. Hal ini menandakan keterlibatan ureter, dinding
panggul, atau nervus skiatik. Beberapa penderita mengeluhkan nyeri berkemih,
hematuria, perdarahan rectum sampai sulit berkemih dan buang air besar. Penyebaran
ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat menimbulkan oedema tungkai bawah,
atau terjadi uremia bila telah terjadi penyumbatan kedua ureter (Edianto, 2006).
2.1.4 Perjalanan Penyakit
Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel
skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel
baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini
berlanjut maka terbentuklah lesi prakanker dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian
besar kasus displasia sel serviks sembuh dengan sendirinya, sementara hanya sekitar
10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus displasia berat
berubah menjadi karsinoma. Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia
menjadi keganasan adalah 10-20 tahun.

Kanker leher rahim invasif berawal dari lesi displasia sel-sel leher rahim yang
kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker
adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya
akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara displasia tingkat
rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi spontan (Depkes, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Perjalanan Penyakit Kanker Leher Rahim
Sumber : http://penyakitkankerserviks.com/wp-content/uploads/2012/05/perjalanankanker-serviks.jpg
2.2Epidemiologi Kanker Leher Rahim
2.2.1 Distribusi Frekuensi Kanker Leher Rahim
Sampai saat ini, kanker leher rahim masih merupakan masalah kesehatan
perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya
yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang
lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan
sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis penderita.
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker leher rahim di Singapore sebesar

25,0 pada ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000

Universitas Sumatera Utara

penduduk. Insidens dan angka kematian kanker leher rahim menurun selama
beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer
dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif (Rasjidi,
2009).
Penelitian yang dilakukan Foruozanfar et al.,(2011) terhadap 187 negara di
dunia antara tahun 1980-2010 menghasilkan bahwa incidence kanker leher rahim
meningkat dari 378.000 kasus pada tahun 1980 menjadi 454.000 kasus pada tahun
2010 dimana setiap tahunnya terjadi peningkatan 0,6% dan untuk kasus baru lebih
banyak terjadi di Negara yang sedang berkembang dari pada di Negara maju.
Disebutkan juga pada tahun 2010 terdapat 200.000 perempuan meninggal karena
kanker leher rahim, sebanyak 46.000 berada diantara usia 15 sampai 49 tahun
(Dumesty, 2012).
Menkes RI menyampaikan dalam acara Gerakan Perempuan Melawan Kanker
leher rahim kerjasama PT Pertamina (Persero) dengan Female Cancer Program
(FCP)-FKUI/RSCM di Jakarta (6/10), berdasarkan data dari Sistem Informasi RS
tahun 2008 kanker leher rahim menempati urutan kedua (10,3%) pada pasien rawat

inap di seluruh RS di Indonesia.
Menurut penelitian Vet. J.N.I., et al (2012) yang dilakukan di tiga kota,
prevalensi kanker leher rahim yang ditemukan adalah 199,6 kasus kanker leher rahim
per 100.000 perempuan , 120,0 per 100.000 perempuan di Jakarta , 324,0 per 100.000
perempuan di Tasikmalaya , 137,0 per 100.000 perempuan di Bali . 31,8 % dari

Universitas Sumatera Utara

penderita kanker leher rahim berusia di kisaran 40-49 tahun , 27,3 % di kisaran > 60
tahun.
2.2.2 Faktor Risiko Kanker Leher Rahim
Penyebab kanker leher rahim belum jelas diketahui, namun ada beberapa
faktor risiko dan predisposisi yang menonjol :
a. Infeksi
Infeksi HPV (Human Papillomavirus) risiko tinggi merupakan awal dari
patogenesis kanker leher rahim. HPV risiko tinggi merupakan karsinogen kanker
leher rahim, dan awal dari proses karsinogenesis kanker leher rahim uteri. Proses
karsinogenesis melalui tahap lesi prakanker yang terdiri dari Neoplasia intraepitelial
serviks (NIS) I, II, dan III. Lesi prakanker NIS I sebagian besar akan mengalami
regresi, sebagian kecil yang berlanjut menjadi NIS II, dan kemudian berlanjut

menjadi kanker invasif serviks uterus (Andrijono, 2007).
Virus HPV termasuk famili Papovavirus suatu virus DNA. Virus ini
menginfeksi membran basalis pada daerah metaplasia dan zona transformasi serviks.
Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk berkembang biak, virus
ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang.
Edianto (2006) menyebutkan penyebab utama kanker leher rahim adalah
infeksi HPV (Human Papiloma Virus). Lebih dari 90 kanker leher rahim jenis
skuamosa mengandung DNA Virus HPV dan 50 % kanker leher rahim berhubungan
dengan HPV Tipe 16. Infeksi virus HPV telah terbukti menjadi penyebab lesi

Universitas Sumatera Utara

prakanker, kondiloma akuminatum dan kanker. Hasil penelitian Melva (2008) juga
menyebutkan bahwa infeksi kelamin merupakan faktor risiko untuk terjadinya kanker
leher rahim, dengan nilai RP 2,528 (CI 95%).
Faktor risiko utama dari infeksi HPV adalah hubungan seksual termasuk
diantaranya: hubungan seks dini, pasangan seksual yang banyak, dan berganti-ganti
pasangan. Infeksi HPV risiko tinggi paling sering terjadi pada wanita muda, dengan
prevalensi puncak setinggi 25-30% pada wanita usia di bawah 25 tahun (WHO,
2006).
Sebenarnya sebagian besar HPV akan menghilang dengan sendirinya oleh
kekebalan tubuh alami, tetapi ada beberapa tipe HPV yang tidak hilang oleh karena
kekebalan tubuh alami dan justru menetap. Tipe inilah yang menetap dan
menyebabkan perubahan sel normal serviks menjadi tidak normal. Perjalanan kanker
serviks dari infeksi HPV, tahap pra kanker, hingga menjadi kanker serviks memakan
waktu sekitar 10-20 tahun (WHO, 2006).
Menurut WHO (2006), walaupun infeksi dengan HPV risiko tinggi adalah
penyebab kanker leher rahim, banyak perempuan yang terinfeksi dengan HPV risiko
tinggi tidak berkembang menjadi kanker. Kebanyakan infeksi HPV serviks,
menghilang dengan sendirinya, hanya sedikit yang bertahan dan bahkan lebih sedikit
menjadi lesi prakanker atau kanker invasif. Kondisi atau kofaktor yang menyebabkan
berkembangnya infeksi HPV menjadi kanker tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada
beberapa faktor yang mungkin berperan, sebagai berikut;

Universitas Sumatera Utara





Faktor HPV :
-

Jenis virus

-

Infeksi simultan dengan beberapa jenis onkogenik

-

Jumlah tinggi virus (virus beban tinggi).

Faktor tuan rumah:
-

Status kekebalan: orang dengan imunodefisiensi (seperti yang disebabkan
oleh HIV infeksi) memiliki infeksi HPV lebih tinggi dan kemajuan yang
lebih cepat untuk prakanker dan kanker.



Paritas: risiko kanker serviks meningkat dengan paritas tinggi.

Faktor eksogen:
-

Merokok tembakau

-

Koinfeksi dengan HIV atau agen menular seksual lain seperti herpes
simplex virus 2 (HSV-2), Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorhoeae

-

Penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang (> 5 tahun).
Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research on

Cancer (IARC) terhadap 1.000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya infeksi
HPV pada sejumlah 99,7% kanker leher rahim. Penelitian meta-analisis yang meliputi
10 000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45,
31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2.500 kasus karsinoma serviks
dan 2.500 perempuan yang tidak menderita kanker leher rahim sebagai kontrol,

Universitas Sumatera Utara

deteksi infeksi HPV pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total
prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker leher rahim jenis karsinoma sel
skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker leher rahim
jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS II/III
mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresivitas
menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun (Munoz, dkk.,
2006 dan Parkin, dkk., 2006; Andrijono, 2007).
b. Umur
Usia Insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan
menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional

Dr.

Ciptomangunkusumo,

dan

45-54

tahun

di

Indonesia

(Wiknjosastro,2008).
Menurut Aziz M.F.(2006), umumnya insidens kanker leher rahim sangat
rendah di bawah umur 20 tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat dan menetap
pada usia 50 tahun. Menurut Arifuddin (2000), kanker leher rahim terjadi pada wanita
yang berumur lebih 40 tahun tetapi bukti statistik menunjukkan kanker leher rahim
dapat juga menyerang wanita antara usia 20- 30 tahun.
Periode laten dan fase pra invasif untuk menjadi invasif memakan waktu
sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita < 35 tahun menunjukkan Kanker leher rahim
yang invasif pada saat didiagnosa.
Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar;
kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang

Universitas Sumatera Utara

letaknya tergantung pada umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan
aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi
otot oleh prostaglandin. Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis
pada epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang
diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar
menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH
vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa
pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK,
yaitu SSK asli dan SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa
baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah
transformasi (Wiknjosastro,2008).
Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke
atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling
rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan
sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum
matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan. Sehingga tidak siap menerima
rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu
berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa
tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi.
Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila

Universitas Sumatera Utara

hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi
terlalu rentan terhadap perubahan (Khasbiyah, 2004).
c. Pendidikan
Penelitian yang dilakukan oleh Surbakti E (2004), pendidikan mempunyai
hubungan bermakna dengan kejadian kanker leher rahim (OR=2,012) dengan kata
lain penderita kanker leher rahim yang berpendidikan rendah merupakan faktor risiko
yang mempegaruhi terjadinya kanker leher rahim. Tinggi rendahnya pendidikan
berkaitan dengan sosio ekonomi, kehidupan seks dan kebersihan.
d. Usia Pertama Kali Kawin/ Melakukan Hubungan Seks
Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda merupakan
faktor risiko utama. Semakin muda seorang perempuan melakukan hubungan seks,
semakin besar risiko terkena kanker leher rahim. Berdasarkan penelitian para ahli,
perempuan yang melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 17 tahun
mempunyai risiko 3 kali lebih besar daripada yang menikah pada usia lebih dari 20
tahun. Keadaan ini dikaitkan dengan keadaan sel-sel serviks yang masih sedang
berkembang dan kemudian dipacu oleh sel mani yang berasal dari hubungan seksual
(Rasjidi, 2007; Bustan, 2007; Gant, 2010).
Hasil penelitian Yuniarto & Burham Warsito (2005) menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara umur pertama kali kawin dengan risiko kanker leher rahim.
Semakin dini umur pertama kali kawinnya (kurang dari 20 tahun) maka semakin
besar pula risiko untuk menderita karsinoma serviks di kisaran umur antara 40 hingga
49 tahun. Penelitian Melva (2008) di RSUP H. Adam Malik juga menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

bahwa faktor melakukan hubungan seksual pertama < 20 tahun mempunyai pengaruh
terhadap kejadian kanker leher rahim (RP= 2,330; CI= 95%). Artinya, umur pertama
kali melakukan hubungan seks kemungkinan merupakan faktor risiko terjadinya
kanker leher rahim pada tingkat kepercayaan 95%.
Saia et, al (1997) mengatakan hal ini disebabkan karena pada usia sebelum 20
tahun organ reproduksi belum matang fungsi secara fisiologis sehingga rentan
terhadap trauma baik pada koitus ataupun pada saat persalinan. Kurun reproduksi
sehat adalah keadaan seorang wanita untuk dapat melahirkan yaitu usia 20 – 30
tahun. Ditambahkan juga bahwa pada organ genitalia yang terlalu muda akan lebih
mudah terkena trauma dan pulihnya lambat, sehingga keadaan ini merupakan suatu
kondisi prakanker (Yuniarto & Burham Warsito, 2005).
e. Paritas
Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi resiko kanker
leher rahim, hamil di usia muda, jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang
tidak tepat dapat meningkatkan resiko. Kanker leher rahim sering diasosiasikan
dengan kehamilan pertama pada usia muda, jumlah kehamilan yang banyak dan jarak
kehamilan yang pendek (Rasjidi I.,2008).
Kanker leher rahim lebih banyak ditemukan pada ibu dengan banyak anak
(Bustan, 2007). Menurut penelitian Melva (2008) di RSUP H. Adam Malik
menunjukkan bahwa paritas (jumlah anak) mempunyai pengaruh dengan kejadian
kanker leher rahim (RP= 1,473; CI= 95%). Artinya, paritas yang tinggi merupakan
faktor risiko terhadap kejadian kanker leher rahim. Hal ini dikuatkan lagi dengan

Universitas Sumatera Utara

penelitian Surbakti (2004) yang mengatakan bahwa faktor risiko jumlah anak
mempunyai pengaruh terhadap kejadian kanker leher rahim (OR= 4,375; CI 95%).
f. Jumlah Perkawinan
Ibu dengan suami yang mempunyai lebih dari satu atau banyak istri lebih
berisiko kanker leher rahim (Bustan, 2007). Jumlah perkawinan adalah jumlah atau
banyaknya perkawinan yang pernah dilakukan oleh seorang ibu selama hidupnya, di
mana risiko tinggi jika ibu tersebut kawin lebih dari satu kali dan risiko rendah jika
perkawinan dilakukan hanya satu kali. Setiap berhubungan seksual dengan satu
pasangan baru, kesempatan untuk terkena penyakit akibat hubungan seksual semakin
besar.
Berdasarkan hasil analisis faktor risiko jumlah perkawinan terhadap kejadian
kanker leher rahim diperoleh nilai OR 12,048 (CI 95%). Hal ini berarti ibu yang
jumlah perkawinan lebih dari satu kali berisiko menderita kanker leher rahim 12,048
kali lebih besar dibanding ibu yang jumlah perkawinan hanya satu kali dan memiliki
hubungan yang bermakna (Tira, 2008).
g. Riwayat Pemakaian Kontrasepsi
Penelitian menunjukkan bahwa risiko kanker serviks semakin meningkat
selama seorang wanita menggunakan kontrasepsi oral, tetapi risikonya kembali turun
lagi setelah kontrasepsi oral dihentikan. Dalam penelitian terbaru, risiko kanker
serviks adalah dua kali lipat pada wanita yang mengambil pil KB lebih dari 5 tahun,
namun risiko kembali normal 10 tahun setelah mereka dihentikan. American Cancer
Society percaya bahwa seorang wanita dan dokter harus mendiskusikan apakah

Universitas Sumatera Utara

manfaat menggunakan kontrasepsi oral lebih besar daripada potensi resiko. Seorang
wanita dengan beberapa mitra seksual harus menggunakan kondom untuk
menurunkan resikonya penyakit menular seksual lainnya tidak peduli apa bentuk
kontrasepsi ia menggunakan (Depkes,2007).
Hasil penelitian Tira (2008) diperoleh bahwa proporsi kejadian kanker leher
rahim lebih banyak pada kelompok kasus yang memakai alat kontrasepsi hormonal
sebesar 63,8% dibandingkan dengan yang tidak memakai alat kontrasepsi hormonal
sebesar 36,2%. Hasil analisis faktor risiko pemakaian alat kontrasepsi hormonal
terhadap kejadian kanker leher rahim diperoleh nilai OR sebesar 1,244 (CI 95%) hal
ini berarti bahwa ibu yang memakai alat kontasepsi hormonal berisiko menderita
kanker leher rahim 1,244 kali lebih besar dibanding ibu yang tidak memakai alat
kontrasepsi hormonal meskipun hubungannya tidak bermakna. Penelitian Rohana
(2009) juga menyebutkan pengaruh antara pemakaian alat kontrasepsi dengan
kejadian kanker leher rahim (OR= 1,127; CI 95%).
h. Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada
getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahanbahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat
menjadi kokarsinogen infeksi virus (Sjamsuddin, 2001). Tembakau mengandung
bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok maupun yang dikunyah.

Universitas Sumatera Utara

Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah serviks wanita
perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus (Rasjidi, 2007).
Wanita yang merokok kemungkinan menderita Ca Cerviks 2 kali
dibandingkan yang bukan perokok untuk menderita kanker leher rahim. Selain paruparu pada perokok banyak zat kimia yang mempengaruhi organ-organ tubuh. Zat-zat
berbahaya yang diserap melalui paru-paru dan di bawa ke aliran darah seluruh tubuh.
Tembakau telah ditemukan dalam lendir serviks perempuan yang merokok. Para
peneliti percaya bahwa zat ini merusak DNA sel serviks dan dapat memberikan
kontribusi pada perkembangan kanker serviks. Merokok juga membuat sistem
kekebalan tubuh kurang efektif dalam memerangi infeksi HPV (Depkes, 2007).

2.3Penanggulangan Kanker Leher Rahim
2.3.1 Pencegahan
Pencegahan kanker leher rahim dimulai dari penyampaian informasi tentang
faktor risiko dan bagaimana menghindari faktor risiko yang dimaksud, deteksi dini
untuk mendapatkan lesi pra kanker leher rahim dan melakukan pengobatan segera.
Apabila ditemukan kelainan pada penapisan, segera dilakukan rujukan secara
berjenjang sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
Dalam Kepmenkes No. 796, pencegahan kanker leher rahim meliputi tiga
tingkatan pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier yang diperjelas sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi
pajanan penyebab dan faktor risiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu
terhadap efek dari penyebab kanker. Selain faktor risiko, ada faktor protektif yang
akan mengurangi kemungkinan seseorang terserang kanker. Pendekatan pencegahan
ini memberikan peluang dan sangat cost-effective dalam pengendalian kanker tetapi
membutuhkan waktu yang lama.
Kegiatan pencegahan primer meliputi:
1. Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup sehat.
2. Mempromosikan anti rokok termasuk menurunkan risiko terpajan asap rokok.
3. Perilaku seksual yang aman
4. Pemberian vaksin HPV.
b. Pencegahan Sekunder
Deteksi Dini dan Pengobatan Segera
Diagnosis kanker leher rahim diperoleh melalui pemeriksaan histopatologi
jaringan biopsi. Pada dasarnya bila dijumpai lesi seperti kanker secara kasat mata
harus dilakukan biopsi walau hasil pemeriksaan

Pap smear masih dalam batas

normal. Sementara itu, biopsi lesi yang tidak kasat mata dilakukan dengan bantuan
kolposkopi.
Kecurigaan adanya lesi yang tidak kasat mata didasarkan dari hasil
pemeriksaan sitologi serviks (Pap smear). Diagnosis kenker serviks hanya
berdasarkan pada hasil pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi. Hasil pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

sitologi tidak boleh digunakan sebagai dasar penetapan diagnosis. Bila hasil biopsi
dicurigai adanya mikroinvasi, dilanjutkan dengan konisasi (Edianto, 2006).
Deteksi dengan penyaringan (screening) dapat dilakukan dengan pemeriksaan
Pap-smear, IVA dan Kolposkopi. Kolposkopi jarang dilakukan karena memerlukan
biaya yang lebih mahal, kurang praktis, dan memerlukan biopsi (Bustan, 2007).
Penyaringan (screening) adalah upaya pemeriksaan atau tes yang sederhana
dan mudah yang dilaksanakan pada populasi masyarakat sehat, yang bertujuan untuk
membedakan masyarakat yang sakit atau berisiko terkena penyakit diantara
masyarakat yang sehat. Upaya penyaringan dikatakan adekuat bila tes dapat
mencakup seluruh atau hampir seluruh populasi sasaran, untuk itu dibutuhkan jenis
pemeriksaan yang mampu dilaksanakan pada kondisi sumber daya yang terbatas
seperti di Indonesia.
1. PAP SMEAR
Pap smear adalah suatu metode dimana dilakukan pengambilan sel dari mulut
rahim kemudian di periksa di bawah mikroskop. Pada pemerikaan biasanya dapat
ditentukan apakah sel yang ada di mulut rahim masih normal, berubah menuju
kanker, atau telah berubah menjadi sel kanker.
Bentuk pemeriksaan yang paling utama dan dianjurkan untuk deteksi dini
kanker leher rahim adalah pemeriksaan pap smear. Pemeriksaan ini sederhana, cepat
dan tidak sakit.
Setiap wanita yang telah berumur 18 tahun, atau wanita yang telah aktif secara
seksual selayaknya mulai memeriksakan Pap smear. Pemeriksaan ini sebaiknya

Universitas Sumatera Utara

dilakukan setiap tahun walaupun tidak ada gejala kanker. Pemeriksaan dilakukan
lebih dari setahun jika sudah mencapai umur 65 tahun atau tiga pemeriksaan berturutturut sebelumnya menunjukkan hasil normal. Pemeriksaan lebih sering dilakukan
pada wanita yang mempunyai lebih dari satu pasangan, telah berhubungan seksual
sejak remaja, mempunyai penyakit kelamin, merokok, dan ada infeksi HPV.
Jika pada pap smear ditemukan gambaran sel yang tidak normal maka akan
dilakukan biopsi (pengambilan edikit jaringan

mulut rahim) untuk pemeriksaan

mikroskop lebih lanjut (Bustan, 2007).
Di beberapa Negara maju, skrining kanker seviks dengan Pap smear secara
lua terbukti mampu menurunkan angka kejadian kanker leher rahim invasive hingga
90% dan menurunkan mortalitas hingga 70-80%. Keberhasilan ini diraih berkat
kemampuan pemeriksaan skrining pap smear yang mengenai adanya lesi prakanker
leher rahim (Nuranna, 2006).
2. IVA
Penyelenggaraan skrining kanker leher rahim dengan tes Pap smear adala
sesuatu yang sudah ideal, tapi penyelenggaraannya secara luas apalagi secara nasional
sangat sulit dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan terkendala oleh faktor
belum tersedianya sumber daya, khususnya spesialis Patologi Anatomik dan skinner
sitologi di semua ibu kota provinsi, apalagi di kabupaten di Indonesia.
Untuk mengatasi hal di atas, perlu upaya pemecahan masalah dengan metode
skrining lain yang lebih mampu laksana, cost effective dan dimungkinkan dilakukan
di Indonesia. Salah satu metode alternatif skrining kanker leher rahim yang dapat

Universitas Sumatera Utara

menjawab ketentuan-ketentuan tersebut adalah inspeksi visual dengan pulasan asam
asetat (IVA).
IVA adalah pemeriksaan skrining kanker leher rahim dengan melihat secara
langsung perubahan pada serviks setelah dipulas dengan asam asetat 3-5%. Dengan
metode IVA, juga dapat diidentifikasi lesi prakenker serviks, baik Lesi Intraepitel
Serviks Derajat Tinggi (LISDT), maupun Lesi Intraepitel Serviks Derajat Rendah
(LISDR). Adanya tampilan bercak putih setelah pulasan asam asetat mengindikasikan
kemungkinan adanya lesi prakanker leher rahim.
Metode skrining IVA ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh dokter
umum, bidan atau perawat yang telah dilatih. Jumlah profesi bidan di Indonesia yang
potensial dapat dilatih agar dapat melakukan skrining kanker leher rahim. Kelompok
ini

merupakan

pasukan

pemeriksa

yang

dapat

diandalkan

dalam

upaya

penanggulangan kanker leher rahim di Indonesia (Nuranna, 2007).
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tertier dapat dilakukan berupa penyuluhan terhadap pasangan
penderita kanker leher rahim khususnya yang telah menjalani histerektomi total agar
tetap memperlakukan pasangannya sebagaimana biasanya, sehingga keharmonisan
hubungan suami istri tetap terjaga. Konseling dapat dilakukann terhadap penderita
stadium lanjut agar faktor psikologis tidak memperburuk keadaan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Pengendalian
a. Kebijakan di Indonesia
Pengendalian kanker leher rahim di Indonesia berada di bawah Kementerian
Kesehatan RI yaitu Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) Sub
Direktorat Penyakit Kanker berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1575 tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit kanker leher rahim yang secara umum bertujuan untuk
menurunkan

angka

kesakitan

dan

kematian

akibat

kanker

leher

rahim,

memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita
(Depkes, 2007).
Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit PTM telah diatur di dalam
Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalam Pasal 161 dikatakan
bahwa manajemen pelayanan kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitative dititik beratkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak
menular. Rencana strategis Kementerian Kesehatan pada tahun 2010-2014
menargetkan pencapaian 100% terhadap deteksi dini di dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit tidak menular (Kemenkes, 2011)
Secara tekhnis, peraturan yang digunakan mengenai pelaksanaan deteksi dini
kanker leher rahim adalah Kepmenkes Nomor 430 tahun 2007 tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Kanker yang menjabarkan hal-hal yang berhubungan dengan
nilai-nilai, tujuan, kebijakan, strategi, pokok-pokok kegiatan dan pengorganisasian
dalam pengendalian penyakit kanker termasuk kanker leher rahim. Selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

digunakan juga Kepmenkes Nomor 769 tahun 2010 tentang Pedoman Tekhnis
Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker leher rahim yang ditujukan kepada
pengelola program Pengendalian PTM Pusat, Daerah, dan Unit Pelaksana Tekhnis.
b. Tujuan
Tujuan pengendalian penyakit kanker leher rahim dapat diuraikan sebagai
berikut (Depkes, 2007) :
Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kanker,
memperpanjang umur harapan hidup serta meningkatkan kualitas hidup.
Tujuan Khusus
1. Menggerakkan masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian faktor risiko
penyakit kanker leher rahim.
2. Menyelenggarakan surveilans faktor risiko, surveilans kasus dan kematian
melalui registrasi kanker leher rahim yang terpadu, akurat, berkelanjutan,
untuk memberikan informasi yang dapat mendukung pengambilan kebijakan
upaya pengendalian penyakit kanker leher rahim.
3. Melaksanakan deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko penyakit
kanker leher rahim.
4. Melaksanakan penegakan diagnosis dan tatalaksana penderita penyakit kanker
leher rahim yang berkualitas sesuai dengan standar profesi.
5. Mewujudkan jejaring kerja di setiap tingkat administrasi baik lintas program,
lintas sektor serta mitra potensi di masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

6. Mengkoordinasikan kegiatan pengendalian penyakit kanker leher rahim secara
nasional dan berjenjang.
7. Menyediakan kebijakan system pembiayaan pelayanan kesehatan penyakit
kanker leher rahim yang berpihak pada kelompok masyarakat miskin dan
berisiko.
c. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pengendalian kanker leher rahim,
kegiatan-kegiatannya dilaksanakan berdasarkan pada kebijakan operational sebagai
berikut (Depkes, 2007) :
1. Pengendalian penyakit kanker leher rahim didasari pada partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing daerah (local area specific), dengan mengoptimalkan
kemampuan daerah.
2. Pengendalian

penyakit

kanker

leher

rahim

dilaksanakan

melalui

pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas
program dan lintas sektor.
3. Pengendalian penyakit kanker leher rahim dilaksanakan secara terpadu
terhadap pencegahan primer, sekunder dan tersier.
4. Pengendalian penyakit kanker leher rahim dikelola secara professional,
berkualitas, merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui penguatan seluruh
sumber daya.

Universitas Sumatera Utara

5. Penguatan penyelenggaraan surveilans faktor risiko dan registry penyakit
kanker leher rahim sebagai bahan informasi bagi pengambil kebijakan dan
pelaksanaan program.
6. Pelaksanaan kegiatan pengendalian penyakit kanker leher rahim harus
dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengawasan yang terus
ditingkatkan intensitas dan kualitasnya melalui pemantapan system dan
prosedur pengawasan. Pelaksanaan pengawasan tersebut dilaksanakan secara
komprehensif dan berbasis kenerja.
d. Strategi
Strategi operasional dalam pengendalian penyakit kenker leher rahim meliputi
(Depkes, 2007) :
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga
dapat terhindar dari faktor risiko penyakit kanker leher rahim.
2. Mendorong pelaksanaan pembangunan berwawasan kesehatan sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terkena paparan faktor risiko penyakit kanker leher
rahim terhadap masyarakat.
3. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat untuk penyebar luasan informasi kepada masyarakat tentang
penyakit kanker leher rahim dan pendampingan terhadap pasien dan
keluarganya.
4. Mengembangkan kegiatan deteksi dini penyakit kanker leher rahim yang
efektif dan efisien terutama bagi masyarakat berisiko.

Universitas Sumatera Utara

5. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan institusi
serta standarisasi pelayanan.
6. Mendorong sistem pembiayaan kesehatan bagi pelayanan kesehatan paripurna
penderita kanker leher rahim sehingga dapat terjangkau bagi penduduk
miskin.
7. Meningkatkan

penyelenggaraan

surveilans

faktor

risiko

dengan

mengintegrasikan dalam sistem surveilans terpadu di puskesmas dan di rumah
sakit dan surveilans penyakit melalui pengembangan registry kanker leher
rahim terpadu.
8. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan vaksin untuk kuman penyebab
kanker leher rahim yang dapat dicegah melalui imunisasi yang aman, efektif,
dan terjangkau bagi masyarakat.
e. Pokok-pokok Kegiatan
Terdapat lima pokok kegiatan di dalam pengendalian penyakit kenker leher
rahim yaitu (Depkes, 2007) :
1. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko.
2. Peningkatan imunisasi.
3. Penemuan dan tatalaksana penderita
4. Surveilans epidemiologi penyakit kanker leher rahim.
5. Peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) pengendalian
penyakit kanker leher rahim.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Landasan Teori
Hubungan antara determinan-determinan diatas tentang kejadian Kanker leher
rahim digambarkan dalam kerangka teori berikut ini (WHO, 2006; Rasjidi, 2007).

Faktor risiko ekstrinsik:
− Usia pertama kali kawin/
melakukan
hubungan
seks< 20 tahun
− Paritas
− Jumlah perkawinan
− Riwayat
Pemakaian
Kontrasepsi
− Merokok

Karakteristik Sosiodemografi:
- Umur
- Pendidikan

-

Kanker Leher
Rahim

Faktor instrinsik:
Biologik

Gambar 2.3. Kerangka Teori Kejadian Kanker Leher Rahim

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran
yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep
dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut:
Faktor yang mempengaruhi:







Usia pertama kali kawin/
melakukan
hubungan
seks
Paritas
Riwayat Infeksi Kelamin
Jumlah perkawinan
Riwayat
Pemakaian
Kontrasepsi
Merokok

KejadianKanker
Leher Rahim

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Determinan Kanker Leher Rahim
pada Penderita yang Datang Berobat di RSUP. H. Adam Malik Medan

Universitas Sumatera Utara