MEDIA BARU PARTISIPASI POLITIK DAN KUALI (1)

MEDIA BARU, PARTISIPASI POLITIK
DAN KUALITAS DEMOKRASI1
Salim Alatas
Program Studi Digital Communication, Surya University
Jl. Boulevard Scientia Blok U/7, Summarecon Serpong
e-mail: salim.alatas@surya.ac.id
blog : salimalatas.wordpress.com

Perkembangan teknologi media baru menghasilkan perubahan besar dalam pengalaman
politik masyarakat. Media baru yang dirancang untuk meningkatkan jangkauan, kecepatan
dan efisiensi komunikasi manusia, memiliki potensi untuk memperkuat dan meningkatkan
mutu demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, media baru pernah memiliki peran besar dalam usaha para aktivis
pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Kini,
seiring dengan kehadiran sosial media, seperti Facebook dan Twitter, partisipasi politik
masyarakat khususnya kaum muda melalui internet meningkat pesat.
Sebagian ahli sampai pada kesimpulan bahwa media baru membawa dampak yang
siginifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para
teoretisi demokrasi selama ini percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada
partisipasi politik warga negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan
(civic affairs). Para Sarjana yang mempelajari partisipasi politik – bahkan – percaya bahwa

partisipasi politik adalah inti demokrasi.
Makalah ini mencoba untuk melihat secara kritis fenomena partisipasi politik masyarakat
melalui internet serta hubungannya dengan kualitas demokrasi. Apakah tingginya pastisipasi
politik melalui internet telah berhasil meningkatkan kualitas demokrasi, atau sebaliknya,
meskipun partisipasi politik meningkat namun tidak memiliki dampak terhadap kualitas
demokrasi. Makalah ini juga akan melihat hubungan media baru dan demokrasi dari dua
perspektif yang berbeda; baik optimis maupun pesimis dalam memandang hubungan
keduanya.
Kata Kunci : Media Baru, cyberdemokrasi, partisipasi politik, demokrasi.

I.

Pendahuluan
Perkembangan teknologi media baru (new media) menghasilkan perubahan besar

dalam pengalaman politik masyarakat. Media baru yang dirancang untuk meningkatkan

1

Makalah. Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi 2014, Batam 11 Maret 2014


jangkauan, kecepatan dan efisiensi komunikasi manusia, memiliki potensi untuk
memperkuat dan meningkatkan mutu demokrasi. Bahkan menurut Alwi Dahlan2,
komunikasi adalah tulang punggung demokrasi; seluruh proses demokrasi dilangsungkan
dengan komunikasi. Kemajuan teknologi yang sangat cepat akhir-akhir ini telah mendorong
globalisasi informasi, yang pada gilirannya membawa tekanan yang intens terhadap negara
berkembang untuk reformasi ke arah demokrasi Barat. Teknologi media baru, menurut
Dahlan, makin banyak diterapkan dalam proses demokrasi di Asia – meskipun tidak selalu
berhasil baik dan kadang-kadang dapat juga menimbulkan akibat yang justru tidak
membantu pertumbuhan demokrasi.
Dalam pandangan para ahli yang memiliki perhatian terhadap hubungan media baru
dan demokrasi, internet atau media digital memiliki potensi untuk

meningkatkan

komunikasi publik dan memperkaya (enrich) demokrasi3. Penelitian awal mengenai potensi
internet untuk membentuk kembali demokrasi, menurut Aeron Davis4, sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai normatif yang disajikan dalam karya langsung para pembela demokrasi dan
ruang publik seperti Habermas, Bohman, Dryzek, Putnam. Mereka berpendapat bahwa
Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) menawarkan perangkat untuk menerapkan teori

mengenai demokrasi dan ruang publik, khususnya mengenai partisipasi masyarakat yang
lebih inklusif dan pertukaran deliberatif antara warga negara biasa dan elit politik. Dengan
demikian, secara teorits, internet memiliki potensi untuk pembaharuan dan pengembangan
demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, media baru pernah memiliki peran besar dalam usaha para
aktivis pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk menjatuhkan rezim Soeharto.
Krisna Sen dan David Hill5 dalam bukunya Media, Culture and Politics in Indonesia
mengatakan bahwa sejak setidaknya dua tahun terakhir pemerintahan Soeharto, Internet6
digunakan secara luas oleh kelompok oposisi dari golongan kelas menengah untuk
menyiasati sensor media oleh rezim Soeharto. Pada saat itu, mahasiswa menggunakan
Internet untuk merencanakan pergerakan dan mengukur dukungan internasional dalam
2

Dahlan, 1999 : 3
Lihat Coleman dan Blumler, 2009; Gibson dkk, 2004
4
Davis, 2010 : 746
5
Lihat Sen dan Hill (2000 : 194)
6

Media Baru (new media) dalam makalah ini merupakan istilah yang bisa dipertukarkan dan memiliki makna
yang sama dengan kata “internet”, “media digital”, maupun “media online”. Media baru, seringkali juga
dipertukarkan dengan istilah-istilah yang lebih teknis dan spesifik seperti “Information and Communication
Technology (ICT)” “cyber” dan “social media”
3

membangun demonstrasi secara nasional yang akhirnya menyebabkan runtuhnya rezim
Soeharto. Dalam konteks ini, Internet di tangan sekelompok kecil aktivis yang memiliki
komitmen terhadap demokratisasi telah dijadikan sebuah media komunikasi yang relatif
aman dari sensor, untuk mereka berkomunikasi dengan kelompok mereka ataupun dengan
kelompok-kelompok lain, baik didalam maupun diluar negeri.
Seiring dengan kehadiran sosial media, seperti Facebook, Twitter, YouTube serta
Blog, partisipasi politik masyarakat khususnya kaum muda melalui internet meningkat
pesat. Partisipasi politik melalui sosial media di Indonesia merupakan satu hal yang sempat
menjadi fenomena beberapa saat lalu, ketika warga melancarkan desakkan politik dan
memobilisasi opini publik secara online. Meskipun gerakan politik tersebut tidak selalu
berhasil dalam mengusung isu-isu politik tertentu untuk menekan pemerintah, namun tidak
jarang gerakan melalui sosial media berhasil mendesak pemerintah untuk mengubah
kebijakan-kebijakan yang kontroversial tersebut. Seperti misalkan dalam kasus, KPK VS
POLRI, kasus Primata Mulyasari, dan skandal Bank Century yang cukup lama menyita

perhatian publik. Dala
uaya

isalka ,

kasus KPK s POL‘I atau ya g le ih dike al de ga

i ak s

e jadi kasus ya g sangat aktual dan fenomenal karena mampu

melibatkan lebih dari sejuta facebooker dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari
sebulan)7. Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Idy Subandi Ibrahim8, peristiwa
tersebut merupakan sebuah bentuk dari cyberdemocracy, cyberpolitic, atau cyberprotest di
Indonesia.
Sebagian ahli sampai pada kesimpulan bahwa media baru membawa dampak yang
siginifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para
teoretisi demokrasi selama ini percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada
partisipasi politik warga negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan
(civic affairs). Disamping itu, dalam pandangan Terri L. Towner9 penggunaan media massa

merupakan prediktor positif (a positive predictor) dari partisipasi politik, dan sebagaimana
lanskap media telah berubah, Internet telah memainkan peran yang semakin besar dalam
politik. Sebagian pengamat membesarkan peran internet sebagai alat yang dapat
membantu proses demokrasi dengan memberikan ekspos warga terhadap informasi politik
7

Dalam kasus POLRI vs KPK (cicak vs buaya) menjadi kasus yang sangat fenomenal karena mampuMengenai
kasus KPK vs POLRI, lihat Idy Subandy Ibrahim, (2011 : 97-120)
8
Ibrahim, (2011 : 97)
9
Towner, 2013 : 528

dan menyediakan alat untuk partisipasi. Namun demikian, dalam pandangan Towner,
hubungan antara penggunaan Internet dan tingkat partisipasi masih menjadi perdebatan
dikalangan para ahli. Beberapa ahli berpendapat bahwa penggunaan internet memiliki
pengaruh positif terhadap partisipasi politik, dan pengetahuan dan keterlibatan warga
(knowledge and civic engagement) melalui modal sosial, sementara sebagian lain
berpendapat bahwa penggunaan internet memiliki pengaruh yang kecil dan tidak signifikan
pada partisipasi politik10

Perdebatan tersebut mungkin merupakan hal yang wajar, mengingat bahwa
demokrasi adalah sebuah istilah yang kompleks. Sebagaimana dikatakan oleh Henry Jenkins
dan David Thorburn11, kita harus mengakui bahwa "demokrasi" sendiri adalah istilah yang
sering diperdebatkan. Apakah demokrasi merupakan struktur tertentu dari pemerintahan
atau demokrasi merupakan budaya kewarganegaraan atau merupakan gabungan yang
kompleks dari keduanya? Berapa banyak kekuasaan harus bergeser kepada para pemilih
untuk membenarkan argumen bahwa masyarakat menjadi lebih demokratis? Berapa banyak
pemahaman kita tentang demokrasi berhubungan erat dengan konsep "informed citizen"?
Dalam era komputasi jaringan, kita mulai melihat perubahan tidak hanya dalam bagaimana
politik dilakukan, tetapi dalam apa yang dianggap sebagai politik. Akibatnya, mungkin
diperlukan beberapa waktu untuk melihat pengaruh penuh dari Internet pada kualitas
demokrasi.
Mempertimbangkan hal-hal diatas, Makalah ini mencoba untuk melihat secara kritis
fenomena partisipasi politik masyarakat melalui internet serta hubungannya dengan
kualitas demokrasi. Apakah tingginya pastisipasi politik melalui internet telah berhasil
meningkatkan kualitas demokrasi, atau sebaliknya, meskipun partisipasi politik meningkat
namun tidak memiliki dampak terhadap kualitas demokrasi.
Untuk melihat hubungan antara partisipasi politik dan demokrasi dalam media baru,
makalah ini mengambil posisi teoritis dengan menghubungkan kajian ini dengan nilai-nilai
normatif ruang publik (public sphere) dari seorang pemikir Jerman, Jurgen Habermas. Hal

yang cukup penting untuk melihat peran ruang publik secara normatif dalam pembentukan
demokrasi melalui media baru, sebagaimana dikatakan oleh F. Budi Hardiman12, diskursus
mengenai ruang publik dalam politik banyak memasuki wilayah normatif. Ruang publik yang
10

Ibid, 528
Jenkins dan Thorn, 2003 : 2
12
Hardiman, 2010 : 185
11

utuh dan otonom dari imperatif-imperatif pasar dan negara dianggap syarat terpenting bagi
demokrasi. Dan demokrasi, sebagaimana dikatakan Hardiman, selalu mengandaikan
kebebasan untuk berpikir, berbicara, dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan
represi. Disamping itu, Makalah ini juga akan melihat hubungan media baru dan demokrasi
dari dua perspektif yang berbeda; baik optimis maupun pesimis dalam memandang
hubungan keduanya.

II. Cyberdemokrasi: Mencari Hubungan Media Baru dan Demokrasi
Cyberdemokrasi13 adalah sebuah konsep yang melihat Internet sebagai teknologi

yang memiliki pengaruh sosial transformatif dan memperluas partisipasi demokrasi.
Menurut John Hartley14, Cyberdemokrasi adalah sebuah konsep optimis yang muncul sejak
awal-awal kehadiran internet. Asal mula konsep ini berkaitan dengan konsep awal dari
ele tro i de o ra

. Pada tahun 1970 Robert Paul Wolf menegaskan bahwa hambatan

untuk demokrasi langsung dapat diatasi melalui elektronik demokrasi, yang mana mesin
pemungutan suara dapat dibentuk secara elektronik disetiap rumah dan melekat pada
televisi.
Sebagai sebuah konsep yang merupakan perpaduan dari

erspa e

dan

de o ra y , yberdemokrasi mengandalkan sebagian besar pada prinsip-prinsip akses dan
pertukaran informasi yang bebas. Media baru, dengan karakteristiknya yang mudah diakses
dan partisipatif, menjadikannya sebuah ruang demokrasi yang ideal di mana orang dapat
berkomunikasi secara bebas dan berpartisipasi dalam forum yang dibangun untuk

pengambilan keputusan kolektif. Cyberdemokrasi juga mendorong adopsi teknologi Internet
dan mendorong terjadinya etos pertukaran bebas informasi, yang akan memudahkan orang
untuk mengakses informasi, dan mendorong terjadinya demokratisasi. Sebagaimana
Nicholas Negroponte15, ya g pada tahu 1995

e yataka

ah a akses,

o ilitas da

kemampuan untuk melakukan perubahan adalah apa yang akan membuat masa depan
berbeda dengan saat ini, dan bahwa informasi digital akan menjadi e po eri g for e –
diluar harapan banyak orang.

Istilah “cyberdemokrasi” dikelompokkan kedalam litreratur dibawah payung “demokrasi elektronik”,
“teledemocracy” dan “digital demokrasi”. Lihat Hague dan Loader (ed). 1999
14
Hartley, 2002 : 57
15

Lihat Ibid, 2002 : 57
13

Para

pendukung

cyberdemokrasi

melihat

Internet

sebagai

sarana

untuk

menyediakan kontrol konstituen yang lebih besar atas wakil-wakil mereka16. Menurut Barry
Hague dan Brian Loader, ada dua hal yang menjadi justifikasi utama untuk meninjau kembali
praktek demokrasi di era informasi (information age): pertama, menyangkut persepsi yang
berkembang bahwa lembaga-lembaga politik saat ini, aktor maupun praktek demokrasi
liberal yang sudah maju berada dalam kondisi lemah dan diselenggarakan dengan cara yang
buruk. Kedua, berkaitan dengan keyakinan bahwa periode perubahan sosial, ekonomi dan
politik yang cepat, yang menandakan kemunculan abad informasi, memberikan kesempatan
kesempatan sampai untuk memikirkan kembali dan, jika perlu, secara radikal merombak
atau mengganti lembaga-lembaga tersebut; baik aktor maupun praktek demokrasi17.
Dalam konteks inilah kita melihat bawa gagasan mengenai cyberdemokrasi
menjadi suatu yang penting dan menjadi kajian yang menarik saat ini. Model demokrasi
representatif yang menjadi ciri masyarakat abad kedua puluh, telah mulai kehilangan
pesonanya. Antony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori strukturasi,
dalam bukunya Runway World, menyebut femonena seperti ini sebagai fenomena
paradoks de okrasi . Dala

uku kecil yang awalnya disiapkan untuk BBC Reith Lecturers

tahun 1999 tersebut, Giddens menyebutkan bahwa paradoks demokrasi adalah situasi
ketika sebuah negara telah mengalami proses demokratisasi, yang demokrasinya telah
mapan, muncul kekecewaan dan ketidak puasan terhadap demokrasi. Paradoks demokrasi
ini, dalam pandangan Giddens, ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan kepada
partai politik dan para elit-elitnya. Sebagian besar warga masyarakat memandang sinis
terhadap demokrasi, dan menganggap politik sebagai sesuatu hal yang korup dimana
pemimpin

politik

lebih

mementingkan

dirinya

sendiri

ketimbang

benar-benar

mementingkan kepentingan warganya.
Alasan lain mengapa fokus pada cyberdemokrasi adalah sebuah pandangan bahwa
masyarakat sedang mengalami perubahan paradigma. Dalam masyarakat yang sedang
berubah itu peran potensi teknologi komunikasi dan informasi (ICT) terhadap musyawarah
(deliberation) dalam pembentukan lembaga politik dan praktik demokrasi menjadi sangat
penting18. Menurut Barry Hague dan Brian Loader19, ada beberapa fitur kunci dari media
16

Ferber, dkk. 2008 : 391
Hague dan Loader (ed). 1999 : 4
18
Lihat Hague dan Loader (ed). 1999 : 5
19
Hague dan Loader (ed). 1999 : 6
17

interaktif yang diklaim menawarkan potensi untuk pengembangan varietas baru demokrasi,
yaitu : interactivity, global network, free speech, free Aassociation, Construction and
dissemination of information, Challenge to professional and official perspectives, Breakdown
of nation-state identity.
Cyberdemokrasi dengan segala macam utopianya bukanlah tanpa kritik. Paul Virilio,
seorang teoritikus budaya dari Prancis, adalah yang salah satu yang melihat cyberdemokrasi
de ga

ara pa da g ya g ertolak elaka g, dia ahka

e ilai

ereka para pe

ela

cyberdemokrasi sebagai orang yang terlalu optimis.
Dalam Pandangan Virilio20 ide mengenai kemungkinan menggunakan teknologi
untuk meningkatkan demokrasi adalah hal yang keliru. Teknologi media baru, yang memiliki
karakteristik interaktif dan kecepatan arus informasi, dalam pandangan Virilio memiliki
sejumlah konsekuensi : Pertama, kecepatan menghancurkan pemikiran dan kemungkinan
musyawarah demokratis. Kecepatan teknologi menghasilkan budaya di mana komunikasi
digunakan untuk mengkondisikan tanggapan dari masyarakat. Kedua, penyebaran global
teknologi komunikasi dan informasi menciptakan terbentuknya ter i al itize . Dengan
menghancurkan hubungan temporal antara dekat dan jauh, manusia menjadi lebih peduli
dengan realitas layar daripada realitas fisik. Ketiga, paradoks masyarakat informasi adalah
bahwa peningkatan mobilitas virtual disatu sisi, namun menyebabkan kelemahan fisik disisi
lain. ter i al itize

tidak perlu bergerak, sehingga tidak begitu banyak kemungkinan aksi

publik, tapi yang terjadi adalah i te si e ess of se satio s . Keempat, mempercepat
realitas
se aki

se ara real time memiliki dampak individualistis dimana informasi menjadi
erfokus pada diri. Proses i i, dita

irtual ,

e

uat

a usia kura g

ah de ga pe gga tia realitas real

e perhatika li gku ga

yata ya g

e jadi

e duku g

semua bentuk kehidupan.
Meskipun memiliki keterbatasan, namun analisis Virlo mengenai hubungan media
baru dan demokrasi dapat digunakan untuk melakukan analisis mengenai dampak
perkembangan demokrasi melalui internet. Analisisnya mengenai media komunikasi massa
telah menambah suara skeptis dalam hal inovasi teknologi, dan untuk memusatkan
perhatian kita pada dimensi temporal sistem komunikasi.

20

Lihat Stevenson. 2002 : 204-206

III.

Partisipasi Politik dan Digital citizenship .
Para sarjana yang mempelajari pasrtisipasi politik percaya bahwa partisipasi politik

adalah inti demokrasi. Dalam pandangan George Moyser21, partisipasi warga negara adalah
jantungnya demokrasi, karena tanpa suara mereka tidak ada demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasi, dengan kata lain, secara substansial adalah keterlibatan (engagement) aktif
warga negara dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi
kehidupan mereka.
Partisipasi politik mungkin tampak terlihat sederhana, yaitu bagaimana warga negara
mengambil bagian dalam proses perumusan dan penerapan kebijakan publik. Pandangan
tersebut berguna untuk menunjukkan menunjukkan persyaratan bahwa partisipasi politik
harus melibatkan beberapa derajat efektivitas dan intensionalitas minimal dalam
memberikan kontribusi bagi pembuatan kebijakan publik. Namun demikian, dalam
pandangan Moyser22, aktivitas politik yang dimobilisasi oleh elit politik, seperti yang dapat
terjadi dengan aksi politik dan demonstrasi, tidak dapat dianggap sebagai partisipasi politik.
Peran warga negara dalam partisipasi politik sebenarnya telah menjadi perdebatan, apakah
ya g se e ar ya dise ut se agai partisipasi politik ? agai a a seseora g individu telah
dianggap ikut terlibat dalam partisipasi politik?
Sebagai contoh, misalkan apakah partisipasi politik merupakan keterlibatan individu
atau kelompok? Apakah mengungkapkan kepentingan politik, atau bahkan diskusi politik di
kalangan keluarga atau teman, merupakan bagian dari partisipasi politik? Apakah
mengungkapkan dukungan atau penolakan secara verbal terhadap kebijakan pemerintah
merupakan partisipasi politik? Serta pertanyaan mengenai bagaimana dengan tindakan yang
tampaknya melanggar prinsip-prinsip demokrasi, seperti kekerasan politik, atau aksi diam,
atau ahka

jahit

ulut ? apakah aktifitas-atifitas tersebut menjadi bagian dari apa yang

kita sebut sebagai partisipasi politik?
Tidak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ahli
yang berbeda memiliki kesimpulan yang berbeda-beda mengenai apa yang disebut sebagai
partisipasi politik, di Amerika partisipasi bahkan dikaitkan dengan peningkatan tingkat
pengetahuan politik. Namun demikian mengikuti padangan George Moyser23, untuk

21

Moyser. 2003 : 174
Moyser, 2003 : 175
23
Moyser, 2003 : 182

22

menjawab persoalan mengenai apakah yang dapat digolongkan sebagai partisipasi politik
dapat dijawab pada dua tingkatan (level) : pertama, apa yang disebut partisipasi politik
selalu melibatkan informasi yang baik yang digunakan oleh warga negara yang bertanggung
jawab dan dan terbuka untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini, partisipasi politik
hanya – dan hanya – terjadi jika dilakukan secara bertanggung jawab untuk menghasilkan
informasi yang baik. Dengan demikian, partisipasi berkaitan dengan upaya untuk
meningkatkan pengetahuan politik (polical knowledge). Kedua, berkaitan dengan dampak
yang muncul dari partisipasi politik terhadap pengambilan kebijakan publik. Mungkin agak
sulit untuk mengukur dampak yang muncul dari partisipasi poliitk, mengingat kita menganut
sistem demokrasi perwakilan. Namun demikian, setidaknya kita dapat membuat semacam
batasan minimal, bahwa partisipasi politik harus memiliki dampak, setidaknya untuk
meningkatkan kesadaran politik dan serta memberikan pengetahuan kepada publik.
Media baru, dengan sifatnya yang terbuka dan interaktif, merupakan bentuk baru
dari partisipasi politik. Internet bahkan memiliki potensi untuk meningkatkan partisipasi
yang lebih besar dalam mayarakat demokratis. Teknologi informasi (ICT) memiliki banyak
aspek yang disebut se agai positi e e ter alities , yaitu manfaat sosial sa pi ga
yang didapat oleh individu yang menggunakan teknologi.

ya g

Dan ini dapat mendorong

terjadinya partisipasi politik jika informasi yang tersedia secara online membantu warga
mendapatkan lebih banyak informasi tentang politik dan lebih cenderung untuk
berpartisipasi, dan masyarakat mendapatkan keuntungan dari partisipasi deliberatif yang
lebih luas dalam proses demokrasi24.
Partisipasi di dunia maya inilah yang kemudian menciptakan terciptanya
digital

arga

(digital citizenship), yang oleh Karen Mossberger25 dkk, didefinisikan sebagai

kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat online. Secara lebih luas dapat juga
dikatakan bahwa

warga digital

mereka yang sering menggunakan teknologi, yang

menggunakan teknologi untuk informasi politik untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai
warga negara, dan yang menggunakan teknologi di tempat kerja untuk keuntungan
ekonomi. Dengan demikian apa yang disebut partisipasi politik online mencakup diskusi
politik melalui email grup, dan posting komentar di Blog. Sementar itu, bentuk-bentuk sosial
media lain, seperti facebook ataupun twitter dinilai juga menjadi sara partisipasi politik
24
25

Lihat Mossberger,dkk. 2008 : 3
Mossberger, dkk. 2008 : 5

online, ketika media ini digunakan untuk memberikan informasi politik, atau setidaknya
mengandung informasi politik26.
Partisipasi melalui memang berbeda dalam banyak hal dengan partisipasi yang
dilakukan melalu media-media tradisional. Salah satunya adalah melalui internet Individu
dapat membangun hubungan yang lebih aktif dan signifikan terhadap lembaga-lembaga
resmi, dan pada akhirnya mereka merasa diberdayakan untuk mengekspresikan pendapat
mereka secara lebih terbuka dan bebas. Pada saat yang sama, sebagaimana dikatakan
Homero Gil de Zúñiga, dkk27, internet juga dapat membawa elit politik dan masyarakat lebih
dekat bersama-sama, sehingga lebih mudah untuk mengekspresikan pandangan kepada
para pejabat terpilih maupun kepada jurnalis.
kemudahan komunikasi di Internet yang paling penting adalah menurunkan biaya
partisipasi online. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut setiap warga bisa dengan
mudah untuk terlibat aktif dalam partisipasi online, mengirim e-mail ke seorang politikus
ataupun menandatangani petisi online, dengan harapan bahwa pesan-pesan politik mereka
akan sampai untuk bisa merubah keputusan-keputusan yang terkait dengan kebijakan
publik.

Dengan kemudahan ini juga setiap orang dapat membuat pesan politik dan

mempostingnya ke YouTube, kadang-kadang menghasilkan penonton hingga jutaan. Hal-hal
inilah yang tidak bisa dilakukan ketika orang hendak melakukan partisipasi politik melalui
media tradisional, seperti televisi, radio, ataupun media cetak.

IV.

Ruang Publik, Media baru dan Demokrasi.
Istilah rua g pu lik

iasa ya

erujuk kepada dua arti : pertama, istilah ini

mengacu pada suatu ruang yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya
secara spasial dari adanya ruang lain, yaitu ruang privat. Kedua, istilah ruang publik memiliki
arti normatif, yakni mengacu pada peranan masyarakat warga dalam demokrasi. Ruang
publik dalam arti normatif itu – ya g dise ut juga rua g pu lik politis – adalah suatu ruang
komunikasi para warga negara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan28.
Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informalnya dan inklusifnya,
kare a istilah rua g pu lik atau offentlichkeit, dala

26

Lihat Towner, 2013 : 529
Homero Gil de Zúñiga, dkk. 2010 : 38
28
Hardiman, 2010 : 10-11
27

ahasa Jer a

erarti keadaa

dapat diakses se ua ora g da

e ga u pada iri ter uka da i klusif rua g i i 29. Ruang

publik, dalam pandangan Alan McKee30, bukanlah sebuah ruang fisik (sphere), istilah ini
hanya metafora untuk menggambarkan ruang virtual di mana orang dapat berinteraksi
Sepanjang tahun 1990-an dan awal 2000-an, kepentingan akademik terhadap isu
mengenai ruang publik mulai tumbuh. Hal ini, menurut Veronika Koller dan Ruth Wodak31,
seecara signifikan didorong oleh terjemahan bahasa Inggris pertama buku buku Jürgen
Ha er as berjudul “tru tural Tra sfor atio of the Pu li “phere penelitian tentang
ruang publik telah memberikan berbagai pendekatan teoritis yang baik mengenai kematian
segera ruang publik dalam akhir demokrasi modern. Dalam bukunya tersebut, Habermas
menggambarkan kehancuran transformasi dan virtual sepanjang abad kesembilan belas dan
kedua puluh dari cita-cita sebuah ruang publik yang rasional yang tumbuh dari lembaga
kebudayaan abad kedelapan belas borjuis di Inggris, Perancis, dan Jerman. Sebagai asisten
Adorno sepanjang tahun 1950, Habermas bersimpati dengan diagnosis karakter paradoks
proses modernisasi yang rasional teknis kemajuan ternyata memberikan ketidakbebasan
dan dominasi32.
Isu mengenai ruang publik adalah jantung dari setiap rekonseptualisasi demokrasi 33.
De okratisasi rua g-a tara pe iliha -pemilihan umum itu berarti bahwa warga negara
memiliki kemungkinan untuk mengungkapkan pendapat mereka sendiri secara publik dan
mempeersoalkan segala temayang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang
sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang demokratis seperti
itu, tempat warganegara dapat menyatakan opini, kepentingan dan kebutuhan mereka
secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik yang menjadi inti gagasan Habermas34.
Ruang publik dalam pandangan Habermas, memungkinkan warganegara untuk bebas
menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan warganegara untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis
itu – sebagai kondisi-kondisi komunikasi – bukanlah istitusi dan juga bukan organisasi
dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat35
29

Hardiman, 2011 : 17
McKee, 2005 : 4
31
Koller dan Wodak, 2008 : 1
32
Johnson, 2006 : 19
33
Mark Poster. CyberDemocracy: Internet and the Public Sphere.
http:// acloudofdust.typepad.com/files/cyberdemocracy.doc. [diunduh pada 01 Februari 2014]
34
Hardiman, 2011 : 16
35
Hardiman, 2011 : 17
30

Akhir-akhir ini, seiring dengan peningkatan penggunaan internet, tema mengenai
Internet dan ruang publik memiliki tempat permanen pada agenda penelitian dan
penyelidikan intelektual, bahkan sudah memasuki arus utama studi komunikasi politik36.
Sebagaimana dikatakan oleh Peter Dahlgren37, bahwa selama sekitar satu dekade, banyak
peneliti dan pengamat telah mengajukan pertanyaan, apakah internet memiliki dampak
terhadap ruang publik? Pertanyaan seperti ini, dalam pandangan Dahlgren menjadi sangat
penting dalam konteks konsensus umum, sejak awal 1990-an, mengenai demokrasi yang
sedang mengalami masa-masa sulit. Disamping itu, setiap pengamat memiliki harapan
bahwa internet kemungkinana akan memiliki dampak positif pada demokrasi dan
membantu meringankan penyakitnya.
Pada masa sekarang kita memang melihat bahwa, politik dimediasikan oleh media
massa, pers, media elektronik dan komputer. Dalam pandangan, Sastrapredja, Media politik
i i telah

e

a a du ia pu lik ke dala

layar ka a

Sastrapredja38 mendefinisikan ini sebagai

do esti atio

ahka

layar se tuh . M.

of pu li

sphere . Terjadi

pergeseran ruang publik ke ruang privat. Media komunikasi, menurut Sastrapredja, telah
menjadi media dialog.
Fungsi ruang publik dipahami sebagai konstelasi ruang komunikatif dalam
masyarakat. Ruang ini, di mana internet sebagai media baru memainkan perannya, juga
berfungsi untuk memfasilitasi hubungan komunikatif antara warga dan pemegang
kekuasaan masyarakat39. Dalam konteks ini, internet dengan fitur interaktifnya menjadi
wadah bagi warganegara untuk berdialog, baik mengenai isu tentang kebijakan publik dan
isu-isu politik kontemporer. Inilah yang dapat kita sebut sebagai ruang publik didunia maya.
Dalam pandangan Habermas40, sekelompok orang menjadi suatu publik sesudah mereka
e ggu aka rasio ya da dialog se diri

erupaka suatu proses

e ggu aka rasio .

Peter Dahlgren41, menjelaskan bahwa ada tiga dimensi konstitutif yang dapat kita
gunakan untuk menganalisis ruang publik dalam media baru, dimensi tersebut adalah :
structures, representation, and interaction. Dimensi Strukturural berhubungan dengan fitur
kelembagaan formal. Dimensi struktural, mengarahkan perhatian kita seperti masalah
36

Untuk isu-isu mengenai peningkatan kajian internet dan ruang publik dalam ranah akademik, lihat Dahlgren,
2005 : 147
37
Dahlgren, 2005 : 148
38
Sastrapredja, 2010 : 271
39
Dahlgren, 2005 : 148
40
Lihat Sastrapredja, 2010 : 271
41
Dahlgren, 2005 : 148-150

demokrasi klasik sebagai kebebasan berbicara, akses, dan dinamika inklusi / eksklusi. Di luar
organisasi media itu sendiri, dimensi struktural juga menunjukkan institusi politik
masyarakat, yang berfungsi sebagai semacam "ekologi politik" untuk media dan batas-batas
yang ditetapkan untuk sifat informasi maupun cara-cara berekspresi. Sebuah masyarakat di
mana kecenderungan demokrasi yang lemah tidak akan menimbulkan struktur kelembagaan
yang sehat untuk ruang publik, yang pada gilirannya berarti bahwa dimensi representasi
akan memadai.
Sementara itu dimensi representasi mengacu pada output dari media, media massa
serta "minimedia" yang menargetkan kelompok-kelompok kecil tertentu melalui, misalnya,
newsletter atau promosi bahan kampanye. Dan mengingat meningkatnya "massifikasi"
komunikasi di Internet, representasi menjadi sangat relevan untuk konteks online ranah
publik. Dimensi terakhir, interaksi, berkaitan dengan pendapat Ha er as ah a pu lik
haurs dikonseptualisasikan sebagai sesuatu yang berbeda dari sekadar

edia audie s .

Dengan demikian dimensi interaksi mengingatkan kita aka pre is klasik ah a demokrasi
pada akhirnya berada pada warga yang terlibat dialog satu sama lai . De ga

u ul ya

internet, interaksi warga dengan cara online dan karakter luas dari ruang publik semakin
ditekankan. Dengan demikian, ketiga dimensi struktural tersebut, dapat memberikan titik
awal analisis terhadap ruang publik dari suatu masyarakat tertentu atau untuk menganalisis
kontribusi yang diberikan oleh teknologi komunikasi42.

PEMBAHASAN
Dalam bagian ini akan dianalisis mengenai hubungan antara partisipasi melalui
media baru (new media) dan peningkatan kualitas demokrasi. Bagaimana bentuk
hubungannya, apakah negatif atau positif, serta – yang paling penting – bagaimana kondisikondisi yang memungkinkan terciptanya demokratisasi melalui – dan didalam – media baru.
Partisipasi politik online di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan memang
meningkat pesat. Hal ini didorong dengan semakin meningkatnya penggunaan internet,
dengan biaya data serta perangkat yang terjangkau bagi masyarakat. Disamping itu,
penggunaan sosial media, seperti Facebook, twitter, YouTube dan Blog, juga ikut andil
dalam meningkatkan peran partisipasi melalui media baru. Contoh tindakan politik

42

Dahlgren, 2005 : 150

partisipatif yang dilakukan melalui internet termasuk membuat sebuah kelompok (group)
politik secara online, menulis dan menyebarkan posting blog tentang isu politik,
memposting video yang barkaitan dengan isu politik melalui jejaring sosial, dan berdiskusi
atau mengisi petisi online.
Partisipasi politik melalui media baru di Indonesia merupakan satu hal yang sempat
menjadi fenomena beberapa saat lalu, ketika warga melancarkan desakkan politik dan
memobilisasi opini publik secara online. Seperti misalkan dalam kasus, KPK VS POLRI, kasus
Primata Mulyasari, dan skandal Bank Century. Setelah sebelumnya media baru memiliki
andil besar dalam usaha para aktivis pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk
menjatuhkan rezim Soeharto. Pada saat itu internet digunakan secara luas oleh kelompok
oposisi dari golongan kelas menengah untuk menyiasati sensor media oleh rezim Soeharto,
serta untuk merencanakan pergerakan dan mengukur dukungan internasional dalam
membangun demonstrasi secara nasional yang akhirnya menyebabkan runtuhnya rezim
Soeharto.
Namun demikian, dalam pandangan Merlyna Lim43, meskipun sebagian pengamat
mengatakan bahwa sosial media ikut memajukan demokrasi dan kebebasan berbicara
(freedom of speech), serta memicu terjadinya perubahan sosial dan telah menjadi the Fifth
estate i I do esia s de o ra

, namun pernyataan ini dalam pandangan Lim, hanya

benar dalam tingkatan tertentu. Pandangan-pandangan seperti ini hanya berlaku secara
sektoral dan peristiwa-peristiwa tertentu yang jarang terjadi – seperti gerakan online untuk
mendukung Prita dan Bibit-Chandra. Pertanyaan yang patut diajukan ketika siapa saja dapat
memposting informasi melalui twitter, blog ataupun Facebook dengan mudahnya; dan
menjadikan konten informasi kita menjadi sangat kaya dan berlimpah, pertanyaannya
adalah : when there are many voices, whom are heard?44
Mengikuti padangan George Moyser45, partisipasi politik dapat dijelaskan pada dua
tingkatan (level) : pertama, apa yang disebut partisipasi politik selalu melibatkan informasi
yang baik yang digunakan oleh warga negara yang bertanggung jawab dan dan terbuka
untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini, partisipasi politik hanya – dan hanya –
terjadi jika dilakukan secara bertanggung jawab untuk menghasilkan informasi yang baik.

43
44
45

Lim, 2012 : 10
Lim, 2012 : 10
Moyser, 2003 : 182

Kedua, berkaitan dengan dampak yang muncul dari partisipasi politik terhadap pengambilan
kebijakan publik. Mungkin agak sulit untuk mengukur dampak yang muncul dari partisipasi
poliitk, mengingat kita menganut sistem demokrasi perwakilan. Namun demikian,
setidaknya kita dapat membuat semacam batasan minimal, bahwa partisipasi politik harus
memiliki dampak, setidaknya untuk meningkatkan kesadaran politik dan serta memberikan
pengetahuan kepada publik. Pandangan Moyser ini dapat digunakan untuk menganalisis
apakah peningkatan partisipasi melalui internet di Indonesia dapat digolongkan sebagai
partisipasi politik ?
Dalam penelitian yang dilakukan Merlyna Lim mengenai sosial media di Indonesia,
distribusi weblinks dan lalu lintas (traffic) blogosphere di Indonesia tidak imbang, dalam
artian hanya sedikit blogger yang mendapatkan perhatian yang cukup besar. Meskipun ada
lebih dari 5 juta blogger Indonesia, posting sekitar 1,2 juta item baru setiap hari, namun
demikian tidak ada pengaruh politik, sebagaimana diukur melalui traffic atau hyperlink.
Disamping itu, penggunaan media sosial di Indonesia masih sangat banyak dilakukan oleh
perusahaan. Sebagian besar isi juga lebih mewakili pendapat, ekspresi, gaya hidup serta
budaya kelas menengah perkotaan. Di antara 539 group dalam Facebook yang cukup
dikenal, 193 group berisikan merek/produk/jasa/perusahaan; ada 188 group yang minatnya
pada media/hiburan/selebriti; sementara itu, hanya 66 group di yang berminat pada
kampanye/gerakan/aktivitas/informasi publik, yang mencerminkan preferensi dan pilihan
kelas menengah perkotaan.
Dengan data diatas kita sepertinya agak ragu dengan peningkatan kualitas demokrasi
yang mungkin muncul dalam penggunaan internet di Indonesia. Karena dengan mengikuti
pandangan yang diajukan oleh Moyser, hal ini tidak sama sekali berkaitan dengan partisipasi
politik maupun peningkatan kualitas demokrasi, baik dari segi jenis informasi maupun
dampak serta pengaruh politik yang muncul.
Pandangan para pengamat yang skeptis dan sinis, juga turut memperkuat argumetasi
bahwa media baru belum secara signifikan berkaitan dengan kualitas demokrasi di
Indonesia. Mengikuti pandangan Paul Virilio, ide mengenai kemungkinan menggunakan
teknologi untuk meningkatkan demokrasi adalah hal yang keliru. Karakteristik media baru,
seperti kecepatan dan interaktif, yang oleh sebagian pengamat yang optimis dipandang
sebagai sebuah kekuatan, oleh Virlo justru dipandang sebagai kelemahan, yang jika
digunakan untuk kegiatan politik memiliki konsekuensi : hancurnya kemungkinan

musyawarah de okratis;
de ga

a usia le ih peduli de ga realitas layar daripada fisik , da

erga ti ya realitas

real

e jadi

irtual ,

e

uat

a usia kura g

memerhatikan lingkungan nyata.
Pandangan Virilio diatas mungkin sebagian benar, bahwa dengan kemudahan orang
untuk sekadar memposting informasi ataupun membagikan (share) pesan-pesan politik
elalui sosial

edia,

e

uat

a usia le ih peduli de ga

realitas layar dari pada

fisik . “e agai a a dikatakan oleh Karlina Supelli46, setiap ora g dega

udah

ele par

opini dan berkomentar tentang macam-macam perkara, tetapi tak ada seorangpun bersedia
terli at la gsu g dala

geraka atau akitifitas politik real , da tak ada juga ya g pu ya

kei gi a ikut ta ggu g ja a . Konsekuensi ini juga senada dengan pandangan Tod May47,
yang menyatakan kondisi sebagai politi al passi it , yaitu ketika warga negara memiliki
harapan-harapan terhadap pemerintah namun demikian, lebih suka untuk tidak terlibat
dalam aksi politik, sebagian warganegara, bahkan, mengambil bagian dalam politik seperti
yang dilakukan dalam olahraga atau musik, menjadi fans daripada peserta.
Dalam konteks ini, bisa saja publik terjebak kedalam pemberdayaan semu. Dalam
pemberdayaan semu, setiap orang mengira opini yang ia lontarkan dan sebarkan seluasluasnya memiliki dampak bagi kebaikan bersama, padahal cuma mengambang di ruang
maya. Ia merasa sudah sangat produktif, padahal yang dikerjakan hanya mengumpulkan
informasi, mengomentarinya dan meneruskannya ke orang-orang lain48.
Hal-hal tersebut diatas, berimplikasi pada

ter e ar ya

rua g pu lik. “yarat

terpenting bagi demokrasi adalah terciptanya ruang publik yang utuh dan otonom dari
imperatif-imperatif pasar dan negara. Dan demokrasi, selalu mengandaikan kebebasan
untuk berpikir, berbicara, dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan represi 49.
Ketika konten media baru lebih banyak berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
produk, brand, serta berbagai macam artefak-artefak perusahaan akan membuat ruang
pu lik terdistorsi oleh kepe ti ga -kepentingan market. Sehingga, nilai-nilai normatif
ruang publik akan sulit tercapai. Sebagaimana pertanyaan kritis yang diajukan Graeme

46

Supelli, 2010 : 343
May, 2008 : 1
48
Supelli, 2010 : 344
49
Hardiman, 2011 : 185

47

Burton50, there is an issue as to whether the Internet offers us a new democracy or a new
marketplace? .
Tercemarnya ruang publik akan membuat fungsi ruang publik, sebagai konstelasi
ruang komunikatif, sulit tercapai. Hal ini terjadi karena dialog yang terjadi dalam media
baru, lebih mencerminkan realitas

arket di a di g realitas pu lik . Dalam konteks ini,

publik seakan terjebak kedalam percakapan semu, dimana orang hanya meneruskan katakata asal bisa menjadi bagian dari publik51. Disini, tentu saja tidak ada dialog, ataupun adu
argumentasi yang menggunakan rasio. Padahal, dalam pandangan Habermas, sekelompok
orang hanya – dan hanya – menjadi suatu publik sesudah mereka menggunakan rasionya.
Dengan tercemarnya ruang publik, terciptanya masyarakat komunikatif sebagaimana
diharapkan oleh Habermas sebagai syarat terciptanya demokrasi akan sulit tercapai.
Persoalan lain, yang sering menjadi pertanyaan dalam kaitan dengan media baru dan
ruang publik, adalah seberapa jauh seseorang memiliki akses yang pertukaran informasi
yang bebas dalam debat publik yang rasional. Media massa, dalam pandangan Burton, telah
gagal dalam kaitan menjadi forum dan dialog publik yang terbuka. Apakah Internet, sebagai
antitesis dari

edia tradisio al, telah

e

erika

kebebasan sejati , atau malah kini

terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan dan tertatih-tatih oleh kurangnya akses publik
secara keseluruhan, merupakan bagian dari perdebatan yang masih berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Burton, Graeme (2005). Media and Society: Critical Perspectives. New York : MCGraw Hill
Coleman, Stephen dan Jay G. Blumler. (2009). The Internet and Democratic Citizenship;
Theory, Practice and Policy. New York : Cambridge University Press
Dahlan, Alwi. (1999). Teknologi Informasi dan Demokrasi. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia, Vo. IV/Oktober 1999
Dahlgren, Peter (2005). The Internet, Public Spheres, and Political Communication:
Dispersion and Deliberation. Political Communication Vol. 22, No. 2, 2005
Davis, Aeron (2010). New Media and Fat Democracy: The Paradox of Online Participation.
Vol. 12, No. 5, 2010

50
51

Burton, 2005 : 219
Supelli, 2010 : 343

Ferber, Paul, dkk. (2007). Cyberdemocracy and Online Politics: A New Model of Interactivity.
Bulletin of Science, Technology & Society Vol. 27, No. 5, October 2007
Hague, Barry N. Dan Brian D.Loader (1999). Digital Democracy; Discourse and Decision
Making in the Information Age. London : Routledge
Hardiman, F. Budi (2010). Komersialisasi Ruang Publik menurut Hanna Arendt dan Jurgen
Habermas. Dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik; Melacak Partisipasi
Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius
Hardiman, F. Budi. (2011). Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif : Etika Politik Jurgen
Habermas. Dalam F. Budi Hardiman, dkk. Empat Esai Etika Politik. Jakarta :
Srimulyani.net bekerjasama dengan Komunitas Salihara
Hartley, John (2002). Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concepts.
London : Routledge
Ibrahim, Idi Subandi (2011). Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media dan Gaya Hidup dalam
Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra
Jenkins, Henry dan David Thorburn. (2003). The Digital Revolution, the Informed Citizen, and
the Culture of Democracy. Dalam Henry Jenkins dan David Thorburn (ed). Democracy
and New Media. London : The MIT Press
Johnson, Pauline (2006). Habermas: Rescuing the Public Sphere. New York : Routledge
Koller, Veronika dan Ruth Wodak (2008). Shifting boundaries and emergent public spheres.
Dalam Ruth Wodak and Veronika Koll (ed). Handbook of Communication in the Public
Sphere. Mouton de Gruyter
Lim, Merlyna. (2012). The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia.
Participatory Media Lab Arizona State University Tempe & The Ford Foundation.
May, Todd. (2008) .The Political Thought of Jacques Rancière: Creating Equality. Edinburgh
University Press.
McKee, Alan. (2005). The Public Sphere: An Introduction. New York : Cambridge University
Press
Mossberger Karen, dkk (2008). Digital Citizenship: The Internet, Society, and Participation.
London : The MIT Press
Moyser, George (2003). Political Participation. Dalam Roland Axtmann (ed). Understanding
Democratic Politics: An Introduction. London : Routledge
Poster, Mark. CyberDemocracy: Internet and the Public Sphere. http://
acloudofdust.typepad.com/files/cyberdemocracy.doc. diunduh pada 01 Februari 2014
Rachel K. Gibson,dkk. (2004) Electronic Democracy Mobilisation, organisation and
parti ipatio ia e ICT s. London : Routledge
Sastrapredja, M. (2010). Ruang Publik dan Ruang Privat dalam Tinjauan Kebudayaan. Dalam
F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai
Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius
Sen, Krisna dan David Hill (2007). Media, Culture and Politics ind Indonesia. Jakarta Equinox
Publishing Indonesia
Stevenson, Nick. 2002. Understanding Media Culture. London : Sage publication

Supelli, Karlina. (2010). Ruang Publik Dunia Maya. Dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang
Publik; Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta :
Kanisius
Towner, Terri L. (2013). All Political Participation Is Socially Networked? New Media and the
2012 Election. Social Science Computer Review, 31(5) 527-541.
Zúñiga, Homero Gil de. (2010). Digital Democracy: Reimagining Pathways to Political
Participation. Journal of Information Technology & Politics, 7:36–51, 2010