BULLET PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM di INDO



PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM di INDONESIA

Perkembangan sistem hukum di wilayah Indonesia secara garis besar dapat
dikategorikan dalam enam periode yang merupakan suatu peristiwa perubahan subsub sistem yang berlangsung secara berangsur-angsur menuju pada suatu Sistem
Hukum Nasional yang merupakan cita-cita para pendiri Bangsa Indonesia (Sunario,
1991).
Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Pada tahap pertama, sistem hukum di wilayah Indonesia telah terbentuk sejak kurang
lebih abad ke 14 dengan didominasi oleh berlakunya Hukum Adat Minangkabau
untuk masyarakat Minangkabau, Hukum Adat Majapahit untuk wilayah Jawa timur,
begitu juga wilayah-wilayah lainnya. Hukum-hukum Adat ini memiliki asas-asas dan
falsafah yang berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi mungkin terdapat dua
unsur yang sama dimiliki oleh berbagai Hukum Adat tersebut: pertama, sifatnya yang
kekeluargaan, dan kedua sifat yang tidak tertulis (dengan pengecualian di beberapa
wilayah seperti di Majapahit) (Sunario, 1991). Pada tahap ini sistem hukum yang
berlaku di wilayah Nusantara didominasi oleh Hukum Adat dan resepsi Hukum
Agama Hindu.
Pada tahap berikutnya masuk Agama Islam ke kepulauan Nusantara, sehingga di
beberapa daerah, meresap Agama Islam ke dalam Hukum Adatnya (seperti di Aceh,

Banten, Sulawesi Selatan, Lombok dan lain-lain). Sementara beberapa daerah lainnya
masih tetap mempertahankan sifat keaslian Hukum Adatnya, dan beberapa wilayah
lainnya masih tetap mempertahankan sifat agama Hindunya. Pada tahap ini terdapat
tiga macam sub sistem hukum yang berlaku di wilayah Nusantara: resepsi Hukum
Islam, resepsi Hukum Agama Hindu dan Hukum Adat Asli.
Pada abad ke 17 bangsa Portugis, Belanda dan bangsa asing lainnya mulai
berdatangan di berbagai wilayah Indonesia. Pada misi pertamanya mereka
memperkenalkan produk-produk hasil industrinya, akan tetapi selanjutnya mereka
juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga di
beberapa daerah seperti Batak, Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya, Flores dan lain
lain, mulai meresap unsur-unsur agama Kristen dan Katolik dalam Hukum Adatnya.
Keadaan ini, memperlihatkan Sistem Hukum Indonesia meliputi bagian-bagian yang
terdiri: resepsi Hukum Islam, resepsi Hukum Agama Hindu, resepsi Hukum Agama
Kristen/Katolik dan Hukum Adat yang Asli.
Pada masa kolonial Belanda, Belanda memberlakukan semacam undang-undang dasar
bagi wilayah Indonesia yang bernama Indische Staatsregeling (IS). Pada masa ini,
pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi hukum di Indonesia,
dan berkat perjuangan Van Vollenhoven hukum adat juga dimasukkan dalam sistem
hukum kolonial Belanda, sehingga terdapat Indische Staatsregeling yang berada di
pusatnya dan sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Barat

berada diluarnya.
Setelah Kemerdekaan Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi perubahan dari Sistem Hukum Kolonial
Belanda menuju Sistem Hukum Nasional dimana Pancasila dan UUD 1945
menggantikan kedudukan Indische Staatsregeling (IS) sebagai pusat dari Sistem
Hukum Indonesia. Sistem hukum pada masa tersebut dapat digambarkan pada gambar
di bawah ini:

Pada tahap selanjutnya, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah
menggariskan adanya unifikasi hukum yang berusaha untuk memberlakukan satu
sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia yaitu Sistem Hukum Nasional. Pada tahap
ini pembangunan Sistem Hukum Nasional lebih diarahkan untuk menggantikan
hukum-hukum kolonial Belanda dan juga menciptakan bidang-bidang hukum baru
yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk membangun. Gambaran
Sistem Hukum Nasional tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:



Sumber: Hartono (1991). Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana
Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Berdasarkan pandangan sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup berbagai sub
bidang-bidang hukum dan berbagai bentuk hukum yang berlaku yang semuanya
bersumber pada Pancasila. Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di Indonesia
(pluralisme hukum) diusahakan dapat ditransformasikan dalam bidang-bidang hukum
yang akan berkembang dan dikembangkan (ius constituendum).

Bidang-bidang hukum inilah yang merupakan fokus perhatian perkembangan dan
pengembangan Hukum Nasional menuju pada tatanan Hukum Modern Indonesia
yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan (lingkaran terakhir), yurisprudensi
(lingkaran keempat), peraturan perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945
(lingkaran kedua), dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
 PLURALISME HUKUM (LEGAL PLURALISM)
Pluralisme merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam
membangun tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang.
Kompleksitas masyarakat Indonesia yang meliputi: struktur masyarakat, tatanan,
bahasa dan kebiasaan-kebiasaan mendorong terbentuknya pluralisme tersebut.
Tatanan masyarakat yang pluralistik ini akan mendasari terwujudnya sistem hukum
modern Indonesia yang sebaiknya mampu mengakomodasikan keragaman (legal

pluralim) (Hooker,1978). Van Vollenhoven menjabarkan Indonesia menjadi
kuranglebih 19 wilayah/masyarakat hukum yang memiliki karakterisktik tatanan dan
norma yang berbeda-beda. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan bagi
pembinaan hukum nasional yang bertujuan untuk melakukan unifikasi sistem hukum
dengan harapan dapat mengakomodasi pluralisme dengan memasukkan nilai-nialai
tradisional (Rahardjo, 1994).
Sifat pluralistik masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai pola tatanan sebagai
bentuk figurasi masyarakat menuntut pembangunan Hukum Nasional yang dapat
mencerminkan pluralisme hukum (legal pluralism) sebagai dasar falsafahya. Hal ini
memperkuat harapan agar pembangunan hukum modern Indonesia sebaiknya lebih
diarahkan untuk jaminan terhadap kebebasan anggota masyarakat untuk memilih
bentuk-bentuk hubungan hukum dan merancangnya sesuai dengan kaidah-kaidah
yang disepakati, yang pada akhirnya akan lebih memperkaya perkembangan bidangbidang hukum di Indoensia.
Pluralisme tatanan yang ada dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh
keragaman tatanan tingkah laku mayarakat yang telah diwariskan dalam beberapa
generasi, akan tetapi juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan terhadap perubahan
dan perkembangan struktur masyarakat yang secara fungsional melahirkan
kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan tujuan yang bervariasi
antar kelompok masyarakat. Secara garis besar, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat tradisional, masyarakat transisi dan masyarakat modern (Soemardjan,

1993). Ketiga kelompok besar masyarakat ini memiliki struktur yang berbeda-beda
yang tentunya juga memiliki tatanan, kebutuhan, sistem nilai dan keyakinan yang
berbeda pula. Ketiga kelompok masyarakat tersebut dapat digambarkan pada gambar
di bawah ini:



Sumber : Soemardjan, S. (1993). Adat, modernisasi dan pembangunan. Dalam
Kumpulan tulisan mengenang Teuku Mohamad Radhie. Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanegara.

Dari kedua kutub budaya masyarakat tersebut terdapat suatu perbedaan-perbedaan
fundamental antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern yang bahkan
kadang-kadang dapat dikatakan sebagai suatu yang terpisah baik secara struktur
maupun fungsi-fungsi kelembagaannya. Dari kedua kutub budaya tersebut terdapat
satu bentuk masyarakat yang disebut sebagai masyarakat transisi atau peralihan,
dimana mereka menunjukkan gerak perubahan dengan meninggalkan tatanan adat
menuju tatanan modern. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia dapat
dikelompokkan dalam bentuk typologi masyarakat ini.
Hukum Positif di Indonesia

Hukum positif di Indonesia dikelompokan dalam beberapa bidang hukum:
Hukum Perdata
 Burgerlijk Wetboek (Staatsblad 1847/23) diterjemahkan menjadi Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
 Wetboek van Koophandel en faillissenments-Verordening diterjemahkan
menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Hukum Kepailitan
 Undang-Undang No. 4 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
 Hukum Perdata Adat
 Hukum Perdata Islam
 Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Hukum Pidana
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (perbaikan tahun 1986) terjemahan dari
Wetboek van Strafrecht (Undang-Undang No.1 tahun 1946)
 Undang-Undang tentang Subversi
 Undang-Undang Pidana Militer
Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara
 Undang-Undang No. 3 tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung
 Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Bepeka (Badan Pemeriksa
Keuangan)

 Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Mahkamah Agung
 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman















Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang PEMILU
Undang-Undang No. 62 tahun 1958 Kewarganegaraan Indonesia
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

Undang-Undang No. 5 tahun 1979 Pokok-Pokok Pemerintahan Desa
Undang-Undang No. 8 tahun 1974 Kepegawaian Republik Indonesia
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan
Undang-Undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 7 tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan

Hukum Acara
 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
 Reglemen Indonesia yang diperbaharui dari (HIR, Stastsblad No. 14 tahun
1941)
 Hukum Acara Pidana Militer
 Hukum Acara Peradilan Agama