Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1 Puu-Viii 2010) Chapter III IV

BAB III
IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM
PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
(PUTUSAN MK NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

A. Uji Materil Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak
Anak sebagai generasi penerus bangsa masih belum mendapat perhatian
yang memadai dari masyarakat. Padahal, sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi
Hak-hak Anak, “The child, by reasons of his physical and mental immaturity,
needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before
as well as after birth.....” Begitu juga dengan Deklarasi Wina, tahun 1993 yang
dihasilkan oleh Konfrensi Dunia Tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM),
kembali menemukan prinsip “First Call for Children,” yang menekankan
pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak
anak atas “Survival protection, development and participation.”
Bentuk kepedulian negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat
ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres
Nomor 36 Tahun 1990. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat Manusia. Kemudian, pemerintah juga mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila dikaji
dasar pertimbangan sosiologis maupun filosofis dibentuknya Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, antar lain karena disadari bahwa
anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai
sumber daya insani bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak
diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi
sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka dan bangsa di masa depan.
Secara psikologis, “anak” bukan “orang dewasa dalam ukuran mini”
melainkan “anak” merupakan subyek yang masih rawan dalam tahap
perkembangan kapasitas (evolving capacities), yang sangat erat kaitannya dengan
kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak
kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh berkembang anak serta hak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga dalam pemahaman juridis
konstitusional, hak-hak anak tersebut tidak terpisah-pisahkan antara satu dengan
lainnya, yakni antara hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh
dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pada keadaan kongkret, misalnya gangguan tumbuh berkembang anak
yang terpenjara akibat putusan pidana, maka terjadilah kerugian konstitusional
anak untuk kelangungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak, walaupun
sah menurut hukum formil. Perlu ditegaskan bahwasanya hak hidup (rigths to life)

Universitas Sumatera Utara

tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup (right to survival), dan hak
tumbuh dan berkembang, di mana (rights to development). Apalagi terhadap anak
yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap
pencinderaan, perusakan, atau pengurangan atas kelangsungan hidup anak akan
berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak.
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [United Nations
Conventions on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)],
secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan

hidup anak dan hak tumbuh berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal
dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut
dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup (rights to survival) dan
hak tumbuh kembang (right to development). Lebih dari itu, terhadap integrasi
antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan
kembang anak tersebut, negara menjamin (shall insure) dengan segala upaya
maksimal yang mungkin dilakukan negara (the maximum extent possible the
survival and development), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2) CRC yang berbunyi sebagai berikut:
1.

State Parties recognize that every child has the inherent right to life.

2.

State Parties shall ensure to the maximum extent posibble the survival and
development.
Berdasarkan ketentuan diatas maka hak hidup anak, hak kelangsungan

hidup anak dan hak tumbuh berkembang anak merupakan hak asasi anak sebagai


Universitas Sumatera Utara

warga dunia dan hak konstitusional anak sebagai warga negara Indonesia yang
dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan oleh anak di Indonesia
setiap tahun berjumlah dari 4.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini
akhirnya menginap di penjara atau rumah tahanan karena pada umumnya anakanak ini tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal
ini dinas sosial. Berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak, seperti halnya
kasus peradilan 10 anak-anak yang dituduh bermain judi dikawasan Bandar Udara
Soekarno-Hatta, yang justru sempat di tahan selama 29 hari (masa yang panjang).
Padahal sebagaian dari 10 anak tersebut belum berusia di atas 12 tahun yang
menurut Undang-Undang Pengadilan Anak tidak dapat dijatuhi pidana. Namun,
begitu lah logika hukumnya yang terjadi. 97
Penormaan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membuat
Pengadilan Anak. Dalam konsiderans ataupun dalam Penjelasan Umum UndangUndang Pengadilan Anak tidak ditemukan landasan filosofis, yuridis, dan gagasan
membentuk pengadilan anak. Pada bagian konsideran “Menimbang”, huruf b dari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya disebutkan “...penyelenggaraan
pengadilan naka perlu dilakukan secra khusus”. Undang-Undang Pengadilan
Anak hanya menentukan bahwa Pengadilan Anak berada dibawah lingkungan

peradilan umum (Pasal 2). “Pengadilan Anadik adalah pelaksana kekuasaan
kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Namun UndangUndang Pengadilan Anak saja (Pasal 3 Undang-Undang Pengadilan Anak), yang
97

Contoh kasus kenakalan anak di bawah umur. Lihat Putusan MK Nomor 1/PUUVIII/2010 hlm 7

Universitas Sumatera Utara

berwenang memeriksa, memutuskan menyelesaikan perkara dalam UndangUndang Pengadilan Anak.
Sidang Anak hanyalah bermaksud membedakan Sidang Anak dengan
sidang orang dewasa dengan berbagai kekhususan, misalnya, kekhususan dalam
petugas penegak hukumnya, adanya alternatif pidana dan tindakan, masa tahanan
yang lebih rendah, hukuman pidana yang dijatuhkan diturunkan menjadi
maksimum hanya ½ (seperdua) saja ancaman pelaku dewasa, hukum acara pidana
sama dengan KUHAP dengan berbagai pengecualian. Dengan demikian, hukum
acara dalam sidang anak hanya turunan dari hukum acara dan sistem peradilan
bagi orang dewasa. “Implikasinya, secara institusional perkembangan dan
kemajuan Sidang Anak tidak berjalan efektif dan cenderung terabaikan.
Secara faktual banyak pengadilan tidak memiliki hakim anak, demikianlah
pula jaksa penuntut umum, dan penyidik anak, sehingga di lapangan kerap

terjadi Sidang Anak masih dilakukan dengan memakai toga, seragam jaksa,
tanpa disediakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Pembimbing
Kemasyarakatan (PK) BAPAS, dan tak jarang anak-anak dikenakan upaya
paksa berupa penahanan.
Mengenai Batas Usia Anak, bahwa usia anak yang dapat diajukan ke
sidang anak sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak
adalah terlalu rendah. Hal ini dikarenakan batas usia pidana anak di Indonesia
dianggap lebih rendah dibandingkan batas usia pidana anak di negara-negara lain.
Batas usia terlalu rendah ini akan dapat menghambat sifat progresif pemenuhan
pendidikan anak, serta mengancam hak anak untuk tumbuh dan berkembang.

Universitas Sumatera Utara

Adapun pada realitanya, proses peradilan yang berlaku di Indonesia masih
merupakan proses peradilan orang dewasa yang jauh dari perlindungan hak-hak
anak. Begitu juga mengenai penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
UU Pengadilan Anak juga dianggap terlalu rendah dengan alasan bahwa anak
yang berkonflik cenderung mendapatkan kekerasan di dalam masa penyidikan
tersebut. Hal ini didasarkan pada realitas dan praktik di mana pada proses
pemeriksaan, anak kerap mendapatkan kekerasan, seperti terjadi penahanan

bersama orang dewasa, permasalahan lingkungan yang disebabkan “over
capacity” penjara di Indonesia hingga ragam masalah penahanan dan pembinaan
lainnya.
Disinilah urgensi Permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) ini untuk mencari
memperoleh perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi anak-anak
yang masih menjadi sasaran “mesin peradilan pidana” guna menghentikan
kriminalisasi anak.

1.

Pemohon dan Dasar Permohonan

Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak terhadap Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang diajukan oleh :
1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, berkedudukan di Jalan Teuku Umar
Nomor 10-12 Menteng, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh :

Universitas Sumatera Utara


Nama

: Drs. Hadi Supeno, M.Si

Pekerjaan

: Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia;

Disebut sebagai : .......................................................Pemohon I
2. Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, berkedudukan di Jalan
Abdul Hakim Nomor 5A, Pasar Satu Setia Budi, Kelurahan Tanjung Sari,
Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, yang diwakili oleh :
Nama

: Ahmad Sopian, S.H., M.A

Pekerjaan

: Ketua Yayasan Pusat Kajian dan perlindungan Anak Medan;


Disebut sebagai : ................................................................................Pemohon II
Dasar Permohonan atau Pokok Permohonan adalah :
Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU
Perlindungan Anak, sepanjang frasa, “sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun”
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat UUD 1945 karena
batas umur Anak tersebut terlalu rendah, bukan saja tidak memenuhi rasa
keadilan, akan tetapi melanggar hak konstitusional anak yang dijamin dalam Pasal
28B ayat UUD 1945. Hak tumbuh kembang anak terlanggar, karena pemidanaan
anak akan membawa anak Sidang Anak merupakan bentuk perampasan
kemerdekaan dan tumbuh kembang anak, karena:
a. Batas usia tanggung jawab pidana anak terlalu rendah dibandingkan usia
boleh bekerja.
b. Batas usia tanggung jawab pidana anak melanggar hak konstitusional anak
atas pendidikan.

Universitas Sumatera Utara

c. Usia tanggung jawab pidana anak dalam UU Pengadilan Anak jauh lebih
rendah dibandingkan berbagai negara.

d. Sistem Peradilan Pidana Anak, masih merupakan turunan dari sistem
peradilan orang dewasa.
e. Anak bukan pelaku tindak pidana otentik, namun terkait situasi lingkungan
sosialnya.
Bahwa secara konstitusionalnya tidak ditemukan rujukannya memberikan
batas usia tanggung jawab pidana kepad anak sekurang-kurangnya 8 tahun,
sehingga rujukannya semestinya ditelaah berdasarkan sejarah hukum, peraturan
perundang-undangan, maupun instrumen internasional. Menurut para pemohon
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak sepanjang frasa, “belum
mencapai umur 8 (delapan) tahun” dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat
(2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena terlalu rendah dalam menentukan
batas usia tersebut guna dilakukan proses hukum oleh Penyidik, dimana UU
Pengadilan Anak tetap mempersamakan perlakuan proses penyidikan seperti
halnya penyidikan oleh “pro justisia” yang diajukan ke Sidang Anak.
Menurut para Pemohon juga ketentuan Pasal 22 UU Pengadilan Anak
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan
karenanya berlaku secara inskonstitusional bersyarat, karena tidak memperhatikan
tindakan sebagai prioritas bukan pemidanaan, karena terdapat situasi buruk dalam
pemidanaan sebagaimana fakta antara lain :


Universitas Sumatera Utara

a. Kekerasan;
b. Kecenderungan penahanan;
c. Kecenderungan penjatuhan pidana daripada tindakan;
d. Proses “pro justisia” dan pidana bukan the last resort;
e. Penahanan atau pemenjaraan bersama orang dewasa;
f. Over capacity;
g. Ragam permasalaha pembinaan.
Untuk lebih jelasnya, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal dalam UU
Pengadilan Anak yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945
atau setidaknya konstitusional bersyarat, yakni;
1. Pasal 1 angka 2 huruf b seoanjang frasa “... maupun menurut peraturan
hukum

lain

yang

hidup

dan

berlaku

dalam

masyarakat

yang

bersangkutan.”
2. Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “...sekurang-kurangnya 8 (delapan)
tahun...”
3. Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “...belum mencapai umur 8 (delapan)
tahun...”
4. Pasal 22 sepanjang frasa “... pidana atau...”
5. Pasal 23 ayat (2) huruf a sepanjang frasa “...pidana penjara...”
6. Pasal 31 ayat (1) sepanjang frasa “... di Lembaga Pemasyarakatan Anak...”
Pemohon mendalilkan bahwa tiga dari enam pasal yang dimohonkan oleh
para Pemohon adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945,
sedangkan frasa lainnya yang terdapat dalam tiga pasal lainnya, dimohonkan oleh

Universitas Sumatera Utara

para Pemohon untuk ditafsirkan inkostitusional bersyarat, jika proses penyidikan
anak sudah menjamin perlindungan hak-hak anak dengan memperhatikan hak-hak
anak memperoleh prioritas tindakan bukan pidana;
Adapun Pasal-pasal yang dimohonkan untuk dinyatakan inkostitusional
dan bertentangan dengan UUD 1945 adalah menyangkut isu hukuim berikut :
1. Defenisi Anak Nakal;
2. Pidana Penjara Bagi Anak Nakal;
3. Anak Nakal di Lembaga Pemasyarakatan Anak
4. Batas Usia Anak;
5. Pidana atau Tindakan.

2.

Permohonan yang diajukan si Pemohon
Permohonan yang diajukan oleh si Pemohon adalah dimana para Pemohon

memohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi (“Mahkamah”) menerima
permohonan yang menetapkan persidangan yang memeriksa, mengadili dan
melakukan persidangan permohonan pengujian materil ketentuan Undang-Undang
Pengadilan Anak yakni:
1. Pasal 1 angka 2 huruf b sepanjang mengenai frasa “...maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan”;
2. Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Batas umur Anak Nakal yang dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun

Universitas Sumatera Utara

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan) belas tahun dan belum pernah
kawin”, yakni sepanjang frasa “sekurang-kurang 8 (delapan) tahun”,
3. Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “dalam hal anak belum mencapai umur
(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka
terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik”, yakni
sepanjang frasa, “belum mencapai umur 8 (delapan) tahun”.
4. Pasal 22 yang berbunyi “terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan
pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”,
sepanjang frasa “pidana atau”.;
5. Pasal 23 ayat (2) huruf a sepanjang frasa “pidana penjara”;
6. Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, Anak Nakal yang oleh Hakim diputus
untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak sebagai Anak Negara”, yakni sepanjang frasa “ di Lembaga
Pemasyarakatan Anak”.
7. Bahwa Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,: “Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”;
8. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
9. Bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “..., hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak ditntut atas dasar

Universitas Sumatera Utara

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun”.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang
Pengadilan Anak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, terhadap
Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 29I ayat (1) UUD 1945.
“Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing ) Dan Kepentingan
Konstitusional Para Pemohon. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK
menyebutkan bahwa”:
Pemohon

adalah

pihak

yang

menganggap

hak

dan/atau

kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh diberlakukannya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkrmbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara;
Berdasarkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK antara lain meyebutkan
bahwasanya yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Universitas Sumatera Utara

3. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan oleh para
Pemohon adalah bahwa Mahkamah berpendapat dan memandang batasan umur
telah menimbulkan pelbagai penafsiran dan kontroversi pemikiran sehingga perlu
ada batasan usia yang serasi dan selaras dalam pertanggungjawaban hukum bagi
anak yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak dengan mendasarkan pada
pertimbangan hak-hak konstitusional anak. Mahkamah menemukan adanya
perbedaan antara batas usia minimal bagi anak yang dapat diajukan dalam proses
penyidikan, proses persidangan, dan pemidanaan. Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan
Anak menyatakan bahwa batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang
Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1)
UU Pengadilan Anak menyatakan dalam hal anak belum mencapai umur 8
(delapan) tahun dapat dilakukan penyidikan, sedangkan Pasal 26 ayat (3) dan ayat
(4) UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa apabila anak nakal belum mencukupi
umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati
atau seumur hidup maka terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan tindakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak dapat
dilakukan apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun. Dari pengaturan
hukum mengenai batas umur, baik dalam proses penyidikan, proses persidangan,
dan

pemidanaan

tersebut

merupakan

jenis

dan

materi

muatan

dari

pertanggungjawaban hukum (pidana) yang seharusnya ketiganya mengandung
kesesuaian karena jenis dan materinya sama sehingga harus konsisten sesuai

Universitas Sumatera Utara

dengan asas-asas hukum yang dituangkan dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Mahkamah berpendapat, batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak untuk
diajukan ke sidang dan belum mencapai umur 8 (delapan) yahun dapat dilakukan
pemeriksaan oleh penyidik, secara faktual benar, umur a quo relatif rendah.
Penjelasan Undang-Undang a quo mentukan batas umur 8 tahun secara sosiologis,
psikologis, pedadogis anak dapat dinggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab.
Meskipun dalam Undang-Undang Pengadilan Anak menerapkan pula asas
praduga tak berasalah, menurut Mahkmah, fakta hukum menunjukkan adanya
beberapa permasalahan dalam proses penyidikan, penahanan, dan persidangan,
sehingga menciderai hak konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945.
Oleh karenanya, Mahkamah perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk
melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak
tumbuh dan berkembang, Mahkamah berpendapat bahwa konvensi internasional,
rekomendasi Hak-Hak Anak PBB, dan instrumen hukum internasional lainnya
batas umur 12 tahun dapat dijadikan perbandingan dalam menentukan batas usia
minimal bagi anak dalam pertanggungjawaban hukum, namun, Mahkamah
berpendapat bahwa instrumen hukum internasional dan rekomendasi PBB tidak
dapat dijadikan batu uji an sich dalam menilai konstitusionalitas batas usia
pertanggungjawaban

hukum

bagi

anak.

Selain

itu,

Mahkamah

juga

mepertimbangkan batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak
anak untuk tumbuh dan berkembang sehingga mendpatkan perlindungan
sebagaimana dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Universitas Sumatera Utara

4.

Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut: 98
1. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
selaku pemohon dalam perkara a quo.
3. Dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan terbukti menurut hukum untuk
sebagian.
Berdasarkan putusan di atas, maka Mahkamah mengadili dan memutuskan :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa, “ 8 (delapan) tahun...” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat
(1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta
penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “... 8
(delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik

Indonesia

Tahun

1945

secara

bersyarat

(conditionally

uncinstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “... 12 (dua belas)
tahun...”;
3. Menyatakan frasa, “... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4
ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,

98

Lihat Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010

Universitas Sumatera Utara

Tambahan Lembaran Negara Indonesia Negara Indonesia Nomor 3668),
beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa
“... 8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat (conditionally uncinstitutional), artinya inkostitusional, kecuali
dimaknai “... 12 (dua belas) tahun...”,
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan sebagainya;
5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Diakitkan dengan Putusan Mahkamah konstitusi tersebut Batas Umur
Anak Nakal yang dapat di ajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 12
(dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin.
Apabila Si Anak melakukan tindak pidana pada batas umur sekurangkurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan ketika diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan
melampaui batas 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan oleh Penyidik. Dan apabila menurut hasil hasil pemeriksaan,
Penyidik berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, atau orang
tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial
setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Jadi pada

Universitas Sumatera Utara

intinya Anak yang belum berusia 12 (dua belas) yang melakukan tindak pidana
tidak diajukan ke sidang pengadilan anak; 99

B. Implikasi Uji Materil Tentang Batas Usia Anak Sebagai Dasar
Penghapusan Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana.

1. Alasan Penghapusan Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat diajdikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau
terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindakan
pidana.. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim
menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah
telah terdapat keaadan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapusan
pidana.
KUHPidana yang sekarang ini meskipun mengatur tentang alasan penghapus
pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang
makna dari alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiaanya hanya dapat
ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Menurut
sejarahnya yaitu melalui M.v.T. (Memorie van Toelicting) mengenai alasan
penghapus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat
99

http://waktuterindah.blogspot.com/2011/13/peradilan-anak.pasca.putusan-uji.html.
diakses tanggal. 14 Mei 2012. Jam. 14.00

Universitas Sumatera Utara

dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu: 100
1.

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri
orang tersebut, dan

2.

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar
dari diri seseorang tersebut
Dari kedua alasan yang ada dalam MvT tersebut, menimbulkan kesan bahwa

pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya orang, tidak dapat dipidananya pelaku/pembuat,
bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan. Namun dalam kenyataanya
banyak para ahli yang menerima bahwa hal alasan-alasan tersebut juga dapat
dipidananya tindakan, misalnya perbuatan yang dilakukan karena menjalankan
perintah Undang-Undang atau menjalankan perintah jabatan. Jadi dengan
demikian alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan
piadana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan juga dapat
digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tindakan (sebagai
objeknya).
Alasan penghapus pidana di samping diatur didalam bagian umum Buku
Kesatu KUHP (yang berlaku secara umum) juga pengaturannya terdapat dalam
bagian khusus Buku Kedua KUHP (yang berlaku secara kusus bagi tindak pidana
tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).

100

Penelitian Dr. M. Hamdan, SH.MH dengan Judul (Ketentuan Tentang Alasan
Pengecualian Hukuman Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia) hal 6-8

Universitas Sumatera Utara

1.

Pengecualian Hukuman yang terdapat di KUHP BAB III di antaranya
adalah :

Pasal 44:
1) Barangsiapa

mengerjakan

sesuatu

perbuatan,

yang

tidak

dapat

dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit
berubah akal tidak boleh dihukum
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim
boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu
tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Penjelasan mengenai pasal ini apabila dihubungkan dengan keadaan anak yang
melakukan tindak pidana kejahatan ialah: “ bahwa keadaan anak tersebut
dianggap kurang sempurna akalnya misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli dan bisu
mulai sejak ia lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi
karena cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
Dalam prakteknya jika Polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap
diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses perbal. Hakimlah yang
berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya, dan dapat pula diminta keterangan dari dokter penyakit jiwa

Universitas Sumatera Utara

(psychiater). Sehingga hakim dapat mempertimbangkan apakah anak ini dapat
diminta pertanggungjawabannya atau tidak. 101
Pasal 45:
Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya
ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah
itu dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya, dengan tidak
dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan supaya sitersalah diserahkan
kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika
perbuatan itu masuk dalam bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang
diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 524, 417, 519, 526,
531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dialkukannya sebelum lalu 2 tahun
sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu
pelanggaran itu atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu. 102
Pasal ini meminta dua syarat yang kedua-duanya harus dipenuhi. 103 Jika kedua
syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga
kemungkinan. 104

101

Pasal 44 ayat (1), (2), (3) berikut dengan penjelasannya
Pasal 45 KUHP
103
a. Orang itu waktu dituntut harus belum dewasa. Yang dimaksudkan belum dewasa
(bagi orang Indonesia menurut L.N. 1931 No. 54, bagi orang Europa menurut pasal 330 B.W.)
ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai
sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dewasa.
b. Tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan orang tersebut pada waktu
sebelum ia berumur 16 tahun. Lihat KUHP Pasal 45 butir 1 bagian a dan b.
104
Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga
kemungkinan:
a. anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apa;
b. anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, akan tetapi diserahkan
kepada Rumah Pendidikan Anak2 nakal untuk mendapat didikan dari Negara sampai anak itu
berumur 18 tahun.
c. anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa. Dalam hal ini ancaman hukuman di kurangkan
sepertiga. Lihat Pasal 45 butir 2 bagian a,b, dan c.
102

Universitas Sumatera Utara

Pasal 46:
1) Jika hakim memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah,
maka ia baik ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri supaya disitu kemudian
dengan cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak Pemerintah, baik diserahkan
kepada seseorang yang ada di Negara Indonesia atau kepada Perserikatan yang
mempunyai hak badan hukum (rechts person) yang ada di negara Indonesia atau
kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya disitu mendapat
pendidikan dari mereka atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah, dalam
kedua itu selama-lamanya cukup 18 tahun.
2) Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan dengan
ordonasi. 105
Pasal 47:
1) Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama yang
ditetapkan atas perbuatan yang dapat dihukum itu dikurangi dengan sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara
seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya 15 tahun.
3) Hukuman tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b (1e) dan 3e tidak
dijatuhkan. 106
Dari ketiga pasal tersebut antara lain ditentukan bahwa kepada hakim yang
mengadili seorang anak yang belum mencapai umur 16 tahun diberikan
kemungkinan mengambil salah satu dari 3 sikap yaitu:
1.

Mengembalikan si anak kepada orang tuanya.
105
106

Pasal 46 KUHP ayat (1) dan (2)
Pasal 47 KUHP ayat (1), (2), dan (3) dapat dilihat keterangan Pasal 45.

Universitas Sumatera Utara

2.
3.

Menyerahkan anak kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal
Menjatuhkan hukuman dengan ketentuan hukuman yang dijatuhkan adalah
hukuman pokok dikurangi dengan 1/3nya.
Hakim akan mengembalikan si anak kepada orang tuanya atas pertimbangan

orang tuanya atas pertimbangan, orang tua si anak tersebut masih mampu untuk
mendidik anaknya tersebut. akan tetapi kalau hakim berpendapat bahwa orang
tuanya dianggap tidak sanggup lagi untuk mendidik anaknya tersebut maka anak
tersebut akan diserahkan kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal kepunyaan
negara untuk di didik. di tempat ini si anak akan di didik sampai umur 18 tahun. ia
akan diberikan pendidikan latihan pekerjaan-pekerjaan yang akan berguna apabila
ia kelak kembali kemasyarakat.
Apabila hakim berpendapat 2 kemungkinan terdahulu tidak akan dapat
memperbaiki si anak maka dalam hal ini hakim dapat mengambil sikap yang
ketiga yaitu menghukum sia anak tersebut.107
Pasal 48:
Daya paksa (overmacht) tercantum dalam Pasal 48 KUHP. Undang-Undang
hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
karena dorongan keadaan yang memaksa. 108 Di mana isi dari Pasal 48 berbunyi:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang
tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”. 109

107

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan : Penertbit Universitas
Sumatera Utara (USU PRESS), 1998, hlm. 56.
108
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T Rineka Cipta, Jakata, 2008, hlm.152.
109
Pasal 48 KUHP

Universitas Sumatera Utara

Kata terpaksa harus diartikan, baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani,
maupun jasmani. Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu di bagi
dua yang pertama daya paksa absolut atau mutlak, biasanya di sebut vis absoluta.
Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena disini
pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi tidak mempunyai
pilihan lain sama sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pengulat
yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan
cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga
sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan
menindas orang lain.
Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini
seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya
orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak
dapat berbuat lain.
Pasal 49:
Pembelaan terpaksa ada pula pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan
hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak
terdapat dalam rumusan undang-undang.
Pasal 49 (1) KUHP (terjemahan) mengatakan:
“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda
sendiri atau orang lain, karena serangan sekejab itu atau ancaman serangan
yang sangat dekat pada saat itu melawan hukum.”

Universitas Sumatera Utara

Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa
(noodweer) tersebut:
1.

Pembelaan itu bersifat terpaksa.

2.

Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta
benda sendiri atau orang lain.

3.

Ada serangan sekejab atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.

4.

Serangan itu melawan hukum
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak
boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.

Pasal 49 ayat (2) menyatakan:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak
dipidana.” Akan tetapi pembelaan diri di sini dilakukan sudah melampaui batasbatas wajar. Menurut pasal 49 ayat (2) ini, apa yang dilakukan tersebut
sebenarnya sudah melampaui batas dari pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi
akibat keadaan jiwa/perasaan pelaku yang sangat tergoncang atas terjadinya
serangan yang meruupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu terjadi.
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan
adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh,
kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaanya adalah:

Universitas Sumatera Utara

1.

Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer) dan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya
mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang hebat, oleh karena
itu,

2.

Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum,
hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.

3.

Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar
pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar
pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu
dilampaui, jadi tidak proposional. 110

Pasal 50 :
Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan
meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan
berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum.
Asalkan perbuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum,
bukan untuk kepentingan pribadi pelaku. Dengan demikian dalam hal ini
pelaku melakukan suatu perbuatan demi kepentingan umum. Jadi ada suatu
kepentingan yang lebih besar yang harus diutamakan oleh pelaku. Jika
dihubungkan dengan teori (theory of lesser evils), maka dalam hal ini pelaku
tidak dipidana karena melakukan suatu perbuatan untuk kepentingan yang
lebih besar, lebih baik. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik
110

Andi Hamzah, loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut,
meskipun perbuatan pidana.
Masalahanya adalah apakah perbuatan yang dimaksud dengan undangundang

tersebut,

dan apakah

juga termasuk

peraturan perundang-

undanganyang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undangudang yang atasnya (secara hirearkis). 111 Dalam hal ini yang dimaksud adalah
semua peraturan perundang-undangan yang tidak sah asalkan hal itu
dialakukan dengan itikad tidak baik. Dengan kata lain, Undang-Undang yang
tidak sah itu dijalankannya dengan anggapan bahwa Undang-Undang itu
adalah sah. Apabila hal itu terjadi, maka bukan lagi sifat melawan hikum
perbuatannya yang hapus, akan tetapi kesalahan pelaku yang hapus, ia tidak
mempunyai kesalahan, dan oleh karena itu ia tidak boleh dipidana.
Pasal 51 ayat (1) : 112
Menurut Pasal ini seseorang yang melakukan tindak perintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari suatu jabatan atau
penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana ia
tidak boleh dihukum. Yang dimaksud dengan perintah disini tidak haru dalam
bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung disampaikan kepadanya, akan

111

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia menurut Pasal 7
Undang-Undang No. 12 tahun 2012 adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan Daerah.
112
Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan kuasa oleh
yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.

Universitas Sumatera Utara

tetapi juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan sarana
komunikasi. Akan tetapi harus diperhatikan antara yang memerintah dengan
yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup
kewenangan/kekuasaan menurut hukum politik (meskipun tidak harus sebagi
pegawai negeri).
Pasal 51 ayat (2) :113
Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah,
tetap merupakan perbuatan melawan hukum; dan oleh karenanya tidak dapat
dijadikan alasan untuk menghapuskan pidana (tidak membebaskan pelakunya
dari hukuman). Akan tetapi apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang
yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah
tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang, dan pelaksanaan
perintah tersebut termasuk dalam ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia
lakukan, maka ia tidak dipidana.
2. Undang-Undang Nomor 8/1981 (KUHAP)
Hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang berlaku sekarang ini
adalah berdsarkan Undang-undang yang disetujui pada tanggal 9 September
1981 dan disyahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September
1981. Selanjutnya disyahkan menjadi Undang-Undang oleh Presiden pada
tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) Lembaran Negara Tahun
113

Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi :
“Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman,
kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu
seakan-akan diberikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi
kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi”.

Universitas Sumatera Utara

1981 Nomor 76. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8/1981 (KUHAP)
tersebut, maka kewenangan dalam memberikan/menjatuhkan putusan atau
vonis terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana adalah hakim
(majelis

hakim).

Demikian

juga

kewenangan

untuk

mengecualikan/menghapuskan hukuman juga adalah hakim. Berdasarkan
KUHAP, maka jenis-jenis keputusan yang dapat dijatuhkan pengadilan
(majelis hakim) dalam suatu perkara pidana adalah :
1. Putusan pemidanaan/penghukuman (veroordeling) 114
2. Putusan bebas/pembebasan (vrijspraak) 115
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag). 116
3.

Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997
Undang-Undang Nomor 3/1997 ini adalah Undang-Undang tentang

Pengadilan Anak yang disyahkan berlaku mulai tanggal 3 Januari 1997. Undangundang ini ada hubungannya dengan alasan pengecualian hukuman, terutama
terhadapa anak yang melakukan perbuatan pidana. Pada mulanya dalam KUHP
kita diatur tentang anak yang berumur dibawah 16 tahun yang melakukan
perbuatan pidana tidak dikenakan hukuman, yang merupakan salah satu alternatif
dari putusan hakim, seperti yang diatur di dalam Pasal 45 KUHPidana.

114

Pasal 193 KUHAP berbunyi : “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan indak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
115
Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi : “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
116
Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi : “jika pengadilan berpendapat baha perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian berdasarkan pasal 45 KUHP tersebut, maka faktor umur
yang msih muda, yaitu di bawah 16 tahun merupakan alasan penghapus pidana.
Akan tetapi, sejak keluarnya UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
maka Pasal 45 KUHP ini telah dicabut, sesuai dengan bunyi Pasal 67 UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu
berdasarkan UU tentang Pengadilan Anak sekatrang ini, amak batas umur pelaku
yang tidak dapat dipidana adalah dibawah 8 (delapan) tahun, sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Pasal 4 berbunyi :
“(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak
yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak”.
Jadi apabila anak yang berumur 7 tahun misalnya melakukan suatu tindak
pidana pencurian, maka anak tersebut berdasarkan Pasal 4, tidak dapat dihukum
(merupakan alasan penghapus pidana). Meskipun terhadap anak yang berumur
dibawah delapan tahun tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik
(bukan diadili oleh hakim) guna mengetahui apakah tindak pidana yang dilakukan
anak tersebut seorang diri, atau ada orang lain yang berumur di atas delapan tahun
atau dengan orang dewasa, yang ikut serta melakukan. Hal ini dipertegas dalam

Universitas Sumatera Utara

Pasal 5 ayat (1) Undng-Undang tentang Pengadilan Anak ini, beserta
Penjelasannya.
Pasal 5 ayat (1) berbunyi :
“Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (Delapan) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh
Penyidik”.
Dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi :
“Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak yang
melakukan tindak pidana sebelum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap
diterapkan asas praduga tak bersalah.
Penyidikan terhadap anak dilakukan untuk mengetahui apakah anak melakukan
tindak pidana seorang diri atau ada unsur pengikutsertaan (deelmening) dengan
anak yang berumur di atas 8 (delapan) tahun atau dengan orang dewasa”.
Dengan demikian berdasarkan Pasal 5 ini, maka jika tindak pidana tersebut
dilakukan oleh anak dibawah umur delapan tahun bersama-sama dengan orang
dewasa atau anak yang berumur di atas delapan tahun, maka anak yang berumur
dibawah delapan tahun tidak dipidana, sedangkan orang lain yag ikut serta dapat
diadili dan dijatuhi pidana (dapat dihukum). Dengan demikian di Negara kita,
dengan keluarnya UU tentang Pengadilan Anak ini telah membawa perubahan
dalam hal alasan penghapusan pidana dari sudut faktor umur pelaku.
Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke
Sidang Anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedadogis,
bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat

Universitas Sumatera Utara

mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini dipertegas dalam Penjelasan
Pasal 4 ayat (1) UU No. 3/1997 (tentang Pengadilan Anak).
....Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke
Sidang Anak didasrkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedadogis,
bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat
mepertanggungjawabkan perbuatannya. 117
Sedangkan dalam Task Force on Juvenile Deliquency Prevention,
menentukan bahwa seyogianya batas usia penentuan seseorang sebagai anak
dalam konteks pertanggungjawaban pidana ditetapkan usia terendah 10 tahun dan
batas antara 16-18 tahun. Resolusi PBB yang tertuang dalam Resoluisi 40/33 yaitu
tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(Beijing Rules) menetapkan batas anak, adalah seseorang yang berusia 7-18
tahun. 118 Jadi menurut Beijing Rules ini yang berusia dibawah 7 tahun merupakan
pengecualian hukuman, sedangkan di Negara kita, yaitu menurut Undang-Undang
Pengadilan Anak, adalah usia di bawah 8 tahun merupakan pengecualian
hukuman.
4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010
Undang-undang Nomor 5 tahun 2010 ini adalah Undang-Undang tentang

Grasi yang baru, menggantikan UU yang lama No. 22 Tahun 2002. Undangundang ini lahir mengingat Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tentang adanya hak
prerogatif Presiden untuk memberikan Grasi. Menurut Undang-undang ini yang
dimaksud dengan grasi adlah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
117

Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997. Sementara dalam
Butir ke-4 Beijing Rules batas umur tersebut adalah 7 tahun ke bawah.
118
Paulus Hadisuprapto, Op, Cit, hlm 8.

Universitas Sumatera Utara

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Kedati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,
mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukam merupakan
rehabilitasi terhadap terpidana. 119 Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-undang ini, maka yang berhak atau yang berwenang memberikan grasi
tersebut adalah Presiden. Dalam hal ini kewenangan Presiden tersebut bukanlah
kewenangan sebagai lembaga penegak hukum (mencampuri kewenangan lembaga
yudikatif), melainkan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan
sebagai salah Kepala Negara (bukan sebagai Kepala Pemerintahan atau Lembaga
eksekutif). Demikian pula, terpidana yang mendapatkan grasi bukan berarti ia
tidak

mempunyai kesalahan,

kesalahannya

tidak

dihapuskan/dihilangkan,

melainkan terpidana tersebut diampuni, diberikan pengampunan oleh Presiden.
Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan terkait
dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan
persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap
putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam
bidang yudikatif, melainkan hak preogratif Presiden untuk memberikan
ampunan. 120 Pemberian grasi yang dapat diberikan Presiden tersebut adalah
berupa :

119

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undag No. 22 Tahun 2002. Alinea ke-5
Ingat kembali adanya kekuasaan Presideen sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala
Pemerintahan (lemabag eksekutif) yang ada di negara kita. Lihat juga alinea Kelima Penjelasan
Umum Undang-undang No. 22 Tahun 2002. (diambil dari Penelitian Dr. M. Hamdan, SH.MH
dengan judul penelitian “Ketentuan Tentang Alasan Pengecualian Hukuman Dalam Peraturan
Perundang-undangan Indonesia).
120

Universitas Sumatera Utara

a.

Peringanan atau perubahan jenis pidana;

b.

Pengurangan jumlah pidana; atau

c.

Penghapusan pelaksana pidana. 121
Dengan demikian, meskipun seseorang telah dijatuhi pidana oleh hakim

(lembaga yudikatif) dan putusan pidananya tersebut sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap, pidananya itu dapat saja dikurangi, dirubah, diringankan atau bahkan
dapaty dihapuskan atau tidak dilaksanakan/dijalani oleh terpidana apabila
Presiden telah memberikan grasi kepadanya.

2. Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Sebagai Alasan Penghapus
Pidana Anak Pelaku Tindak Pidana
Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya Undang-undang
Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat
jauh dari apa yang diharapkan. Adanya Undang-undang (legal