Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1/PUU-VIII/2010)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat

  melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

  Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatian dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik,

   hankam maupun aspek hukum.

  Berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik 1 sengaja maupun tidak sengaja sering juga, anak melakukan tindakan atau berprilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.

  Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan arus yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan prilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, prilaku, atau penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

  Begitu banyak kejahatan yang berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Salah satunya adalah seperti kejahatan yang pernah dilakukan oleh anak di bawah umur yang lebih dikenal dengan kasus Raju. Karena berkelahi di sekolah, akhirnya masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum genap berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Bocah kelas 3 (tiga) SD bernama lengkap Muhammad Azuar yang lebih akrab disapa dengan panggilan Raju. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa ? “Aku lihat mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,” kata Raju, saat menggambarkan pakaian seorang hakim tunggal yang mengadilinya.

  Persoalannya sebenarnya sangat sederhana, perkelahaian antar bocah yang dimulai dari olok-olok (bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. “Wah, Raju dan abanganya itu sering memukul kita. Coba tanya anak-anak disini, pasti mereka pernah di tokoki atau dijitak olehnya,” kata anak itu. Raju dan Ermansyah (Eman) pun terlibat perkelahian dengan Eman, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali- kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Sudah sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu, Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju mengakui, perkelahian itu karena terus diejek Eman. “Raju juga luka-luka.

  Bibirnya sampai pecah, kok,” kata Saidah. Saidah mengaku telah membawa Raju berobat sampai mengeluarkan uang Rp 75.000, hanya saja saat itu Ani dan Eman datang lagi keesokan harinya dan mengaku menolak. Upaya damai juga dilakukan dan tidak berhasil yang mengakibatkan kasus ini harus diselesaikan hingga dalam

   peradilan. Kasus Raju ini adalah salah satu kasus kejahatan anak yang diakibatkan oleh faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan tempat anak sering bermain, baik di sekolah maupun lingkungan tempat anak tinggal dan bertumbuh.

  Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya.

  Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak hrhfhhfkurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.

  Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakukan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Penjatuhan pidana mati dan pidana penjara

  Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut

   didasarkan atas pertumbuhan dan perkermbangan fisik, mental, dan sosial anak.

  Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak- anak yang belum dewasa sampai anak-anak bersangkutan menjadi dewasa. Orang tua merupakan yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979

  

  tentang Kesejahteraan Anak). Orang tua yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya, yang

  

  selanjutnya ditunjuk sebagai orang atau badab sebagai wali. Pencabutan tersebut tidak menghapuskan kewajiban untuk membiayai sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya.

  Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin diperlukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian 3 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, PT. Djambatan, Jakarta, 2007,

  hlm.11-12 4 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010,

  terhadap anak pun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikelurkanlah

   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

  Penanganan perkara pidana anak, di samping berlaku Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 KUHP (Pasal-pasal ini telah dicabut dan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1997), beberapa ketentuan dipergunakan sebagai pedoman yaitu: Peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01 Tahun 1983, tanggal 16 September 1983 yang mengatur tata tertib persidangan anak. Persidangan dilakukan tertutup untuk umum, sementara putusan dinyatakan dalam sidang sidang terbuka untuk umum. Juga ditetukan bahwa hakim, jaksa penuntut umum, dan penasehat hukum bersidang tanpa toga, dan pemeriksaan dilakukan dengan kehadiran orangtua/wali/orangtua asuh. Surat edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1987, tanggal 17 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak, menentukan bahwa dalam perkara pidana anak diperlukan penelitian pendahuluan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, menyangkut lingkungan, pengaruh dan keadaan anak yang melatarbelakangi tindak pidana itu. Juga diharapkan agar hakim memperdalam pengetahuan literatur, diskusi, dan

  

  sebagainya. Karena masi sangat sering di temukan dalam proses persidangan anak di pengadilan dimana para Hakim, Jaksa maupun Penasehat Hukum yang masih menggunakan seragam lengkap mereka, layaknya sedang menjalani proses persidangan orang dewasa. Contohnya seperti yang terjadi pada proses

   persidangan Raju dimana Hakim masih mengenakan seragam lengkap mereka, yakni toga.

  Terhadap khasus-khasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status dan/atau Korban, sehingga Anak sebagai Saksi dan/atau Korba juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dujatuhkan tindakan dan pidana.

  Menurut pertimbanagan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur yang dapat dijustifikasi oleh setiap orang. Pemberian kategori “Anak Nakal” merupkan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan dibuktikan di muka hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 akan diujimaterikan oleh Mahkamah Konstitusi pertama kali pada 25 Januari 2010, berdasarkan permohonan dari Komisi Perlindungan Anak dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan. Dimana pengujian UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini mencakup sejumlah Pasal antara lain Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1). Mereka mengganggap anak-anak tidak bisa diminta bertanggungjawab terhadap pidana yang mereka lakukan, karena itu akan menjadi tanggung jawab orangtuanya. Untuk itu, hukuman terhadap anak-anak tersebut Pengadilan Anak yang memberikan stigmatitasi “anak nakal” yang dianggap melakukan tindak pidana.

  Undang-Undang Pengadilan Anak juga dinilai melanggar hak konstitusionalitas yakni asas legalitas dan bisa mengakibatkan pemidanaan anak- anak yang dianggap melanggar adat-isitiadat setempat. Di samping itu, Pemohon juga mengemukakan bahwa batas usia umur anak sekurang-kurang delapan tahun yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah terlalu rendah dan tidak memenuhi rasa keadilan serta melanggar hak konstitusional anak. Adapun tujuan dari perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Lembaran Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) adalah agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan bagi kepentingan terbaik Anak yang

   berhadapan dengan hukum sebagai penerus generasi penerus bangsa berikutnya.

B. Permasalahan

  Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya suatu

  

masalah.” Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini

tergambar dari permasalahan yang dikemukakan oleh penulis.

  Penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini untuk mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam pemasalahan tersebut, sebagai berikut : 1.

  Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana ?

  2. Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

C. Keaslian Penulisan

  Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari liteture yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini.

  Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Implikasi “Uji

  

Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku

Tindak Pidana” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat

  mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

  Penulis juga menggunakan tata bahasa yang yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa Inggris yakni dengan mengunakan kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia tentunya.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : Sebagaimana lazimnya dalam hal penulisan suatu skripsi ataupun karya tulis ilmiah yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan dari pada skripsi ini adalah : 1.

  Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana.

2. Untuk mengetahui Implikasi atau Dampak Mengenai Batas Usia Anak

  Dalam Proses Penanganan Anak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010.

  Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.

   Manfaat Secara Teoritis

  Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap penegakan hukum perlindungan anak berhadapan dengan hukum.

  Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga para aparat h penegak hukum/pemerintah tentang penegakan hukum dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum.

E. Tinjauan Pustaka 1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan

  Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan,

   kenakalan mereka, boleh di bilang sudah menjurus ke tindakan kriminal.

  masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanime, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial.

  Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya, sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian menggangu dan merugikan pihak lain. Kiranya tak ada suatu perbuatan yang tidak mempunyai sebab-sebab. Dimana ada asap, disitu ada api kata orang. Tanpa mempelajari sebab-sebab kejahatan sulitlah untuk mengerti mengapa suatu kejahatan telah terjadi, apalagi untuk menentukan tindakan apakah

   yang tepat dalam menghadapi para penjahat.

  Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan Kenakalan mereka, boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal. Menurut

11 W.A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah kejahatan adalah merupakan

  perbuatan yang immoral dan a-social yag tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat. Pada dasarnya masyarakat tidak menghendaki adanya perbuatan tersebut, dan seandainya itu terjadi harus dikenakan dengan sanksi. Tetapi tidak halnya dengan kejahatan yang dibuat oleh anak yang masih di bawah umur, mereka tidak boleh dengan begitu saja diperhadapkan dengan saksi yang tegas sama halnya dengan orang dewasa. Mengingat mereka masih anak di bawah umur harus dilindungi sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

  Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang

  

  diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa

  

deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang

  anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

  10 Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT Pradyna Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 34 . 11 Chainur Arrasjid, Suatu Pikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 27.

  Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Anak Nakal adalah: (a) Anak yang melakukan tindak pidana; (b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

  

  lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dari dua pengertian Anak Nakal tersebut di atas, yang diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah Anak Nakal dalam pengertian huruf a di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah Anak Nakal dari Pengertian huruf b di atas, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana.

  Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan-kejahatan atau prilaku jahat dari masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau prilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

  Kita ketahui bersama bahwa kenakalan anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada batas-batas yang hars dipatuhi, sehingga suatu kenakalan masih relevan untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri (selft identification). Bila batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana.

  Salah satu kenakalan anak yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana, salah satunya adalah Pencurian 6 (enam) Buah Jagung Oleh Anak di bawah Umur yang terjadi di Kabupaten Magetan. Motif para terdakwa mencuri beberapa jagung hanya ingin memakan jagung tersebut yang ada di kebun milik korban, meskipun demikian perbuatan para terdakwa merupakan kategori Tindak Pidana Pencurian karena mengambil barang (jagung) tanpa seijin dari pemiliknya.

  Walaupun terdakwa masi anak-anak di bawah umur, namum pemilik kebun jagung merasa dirugikan karena beberapa jagung miliknya telah diambil para terdakwa dan tindakan ini termasuk tindakan melawan hukum karena merugikan kepentingan orang lain, maka wajar apabila pemilik jagung tersebut melaporkan

   perbuatan para terdakwa kepada pihak yang berwajib.

  Selain kasus yang pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur di Kabupaten Magetan, ada juga kasus tindak pidana anak yang menimpa Beny Dwi Yunanto, Warga Dusun Ngrajun, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulonprogo, DIY mirip kasus yang dialami Muhammad Azwar alias Raju (8) di Sumatera Utara. Dia terlibat kasus pemerasan secara berlanjut..

   Hanya saja kasusnya tidak banyak disorot. Masih banyak kasus-kasus Kenakalan Anak yang di sebabkan dari berbagai faktor.

  Banyak pakar mengungkapakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut. Secara teoritis upaya 14

  . diakses tgl. 15 Mei 2012. Jam. 19.00 penanggulangan masalah kejahatan termasuk prilaku kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat terarah kepada menggungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut merupakan ruang lingkup dari pembahasan

   kriminologi.

  Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diurikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan “motivasi” itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar maupun tidak secara tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

  Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motisvasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.

  Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapat-pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :

   1.

  Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah: a.

  Faktor Intelegensia ; b.

  Faktor Usia ; c. Faktor Kelamin ; d.

  Faktor kedudukan anak di dalam keluara.

2. Yang termasuk motivasi ekstrnsik adalah : a.

  Faktor rumah tangga ; b.

  Faktor pendidikan dan sekolah ; c. Faktor pergaulan anak ; d.

  Faktor mass media.

1. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak

  a) Faktor Itelegentia

  Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.

  Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegentia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (pretasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat. b) Faktor Usia

  Stpehen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor the consation of

  

crime” (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab

  timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting didalam sebab-musabab timbulnya kenakalan.

  c) Faktor Kelamin

  Di dalam penyidikannya Paul W. Tappan mengungkapkan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.

  Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.

  d) Faktor Kedudukan Anak Dalam Keluarga

  Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga ini, De Creef telah menyelidiki 200 anak narapidana kemudian menyimpulkan bahwa, kebanyakan mereka berasal dari exteerm position in the family, yakni :

  

first born, last born dan only child . Sedangkan hasil penyelidikan oleh Glueck di

  Amerika Serikat, dimana didapatkan data-data menunjukan bahwa yang paling banyak melakukan kenakalan adalah anak ketiga dan keempat, yakni dari 961 orang anak nakal, 31,3% di antaranya adalah anak ketiga dan keempat ; 24,6% anak kelima dan seterusnya adalah 18,8%. Namun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Noach terhadap deliquenci dan kriminalitas di Indonesia, dimana Beliau telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquency dan kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan satu anak tunggal atau anak wanita atau dia satu-satunya di antara sekian saudara-saudaranya (kakak atau adik- adiknya).

  Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaanya dikabulkan.

  2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak.

  Motifasi ekstrinsik dan kenakalan anak, meliputi

  a) Faktor Keluarga

  Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan, Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merugikan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya kejahatan deliquency itu sebahagian juga berasal dari keluarga.

  Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya deliquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

  b) Faktor Pendidikan dan Sekolah

  Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak- anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak- anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (character). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

  Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan menjadi delikuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua baik, misalnya penghisap ganja cross boy dan cross girl yang memberkan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temanya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delikuen.

  c) Faktor Pergaulan Anak

  Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya.

  Dalam situasi sosial menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjatuhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultural baru yang sudah delikuen sifatnya.

  Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak tidak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini menjadi delikuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh ekternal yang menekan dan memaksa sifatnya.

  Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland (1978) mengembangkan teori Association Diffrential yang menyatakan bahwa anak menjadi delikuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarna yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan Anak Nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.

  Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik anak agar bersikap formal dan tegas supaya mereka terhindar dari pengaruh- pengaruh yang datang dari lingkungan pergaulan yang kurang baik.

  d) Pengaruh Mass-media

  Pengaruh mass-media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan anak. Keinginan yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu senggangnya dengan baca-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

  Mengenai hiburan film (termasuk VCD) ada kalanya memiliki dampak yang tidak mengguntungkan bagi perkembangan jiwa anak jika tontonannya menyangkut aksi kekerasan dan kriminalitas, misalnya film detektif yang memiliki figur penjahat sebagai peran utamanya serta film-film action yang penuh dengan adegan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan dengan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Kondisinya yang detruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak.

  Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakulakan adalah dengan cara mengadakan penyensoran film-film yang berkualitas buruk terhadap psikis anak dan mengarahkan anak pada tontonan yang lebik menitikberatkan aspek pendidikan ; mengadakan ceramah melalui mass-media mengenai soal-soal pendidikan pada umumnya ; mengadakan pengawasan terhadap peredaran dari buku-buku komik, majalah-majalah, pemasangan-pemasangan iklan dan

   sebagainya.

  Untuk itu, semua perlakuan terhadap Anak Nakal sangat perlu diperhatikan. Dimana keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi anak. Linkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul.

  Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang terdapat di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Reaksi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat tidak segan-segan main hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan, penjahat dipukul sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Tindakan masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat sudah mengendor. Selain main hakim sendiri, sikap masyarakat yang patut disesalkan yaitu tidak melaporkan tindak pidana kepada pihak yang berwajib, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan yang terungkap, yang mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan lainnya.

  Anak Nakal seyogianya diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, hal ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental, dan sosial. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak Nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat KUHP dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik dalam berbagai sisi kehidupannya

  (mental, fisik, dan sosial), yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal.

  Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus.

  Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas, yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, dan sosial.

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

   Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan

  masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusi, maka akan semakin mewarnai corak bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan

  

  ini. Kejahatan biasanya membayangi kehidupan manusia karena ia merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan dan melekat pada manusia

  

  sepanjang masa. Munculnya banyak bentuk kejahatan-kejahatan baru yang begitu kompleks, sesungguhnya merupakan konsekuensi yang logis dari

19 Mahmud mulyadi dan feri antoni surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi , PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, halaman 5.

  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif maupun efek negatif.

  Kejahatan itu harus ditanggulangi karena apabila tidak, kejahatan dapat membawa akibat-akibat :

1. Menganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2.

  Mecegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.

  Upaya penanggulangan kejahatan (tindak pidana), diperlukan strategi dan kebijakan tetentu untuk dapat memberantasnya, minimal mengurangi dan

   menghambat perkembangannya.

  Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal tersebut mempunyai tiga

  

  arti, yaitu : a.

  Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.

  Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; c.

  Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

21 Ibid

  Beliau juga memberikan pengertian singkat, bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

  Uraian-uraian sebelumya lebih merupakan upaya pemahaman tentang apa dan bagaimana serta latar belakang terjadinya perilaku delikuensi anak, baik secara teoretik maupun empiris. Pemahaman demikian sangat penting dalam rangka melandasi pemikiran-pemikiran ke arah upaya penanggulangan terhadp gejala yang berupa delikunsi anak itu. Tanpa dilandasi pemahaman teoretik dan empiris terhadap gejala perilaku delikunsi anak rasanya akan kurang “trep” dengan permasalahan yang sebenarnya ada dalam gejala itu. Berbekal atas pemahaman itulah, maka selanjutnya dala uraian pada bagian ini dibicarakan permasalahan penanggulangan gejala sosial yang berupa kejahtan pada umumnya dan perilaku

   delikuensi anak pada khususnya.

  Upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penangulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” yang terdiri dar kebijakan/upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.

  Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang

  

  fungsionalisasi/oprasionalisasinya melalui beberapa tahap : 1. tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. tahap eksekusi (kebujakan eksekutif/administratif).

  Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan yahap paling starategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan ekseskusi. Beberapa fenomena legislatif yang mengandung masalah dan dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan, salah satunya adalah : UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yakni mengenai Pencabutan

  Pasal 45, 46, 47 KUHP, adanya pidana bersyarat dan pidana pengawasan yang hakikatnya sama, tidak ada syarat untuk pidana pengawasan, dan peluang menggunakan “pidana bersyarat” dalam undang-undang ini lebih kecil dibandingkan dengan KUHP.

  Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan secara lebih jauh, ada baiknya

   kita memulai dengan apa yang disebut politik kriminal.

A. Politik Kriminal

  Politik kriminal merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejatahatan. Sudarto (1977) daalm bukunya berjudul Hukum dan Hukum Pidana mengemukakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ia merupakan gejala yang dinamis, selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat luas dan kompleks, ia merpakan socio-political problems.

  Apabila demikian halnya, maka pemahaman akan hubungan kolerasional antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat dengan segala aspeknya (sosial, ekonomi, politik, kultur), merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini tampak dari salah satu kesimpulan dari Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke 4 di Kyoto Jepang, diamana menyatakan :

  1. The prevention of crme and the treatment of offenders cannot be effectively undertaken unless it is closely and inti mately related to social and economic trends.

  Pernyataan ini kemudian diperkuat lagi dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan Kongres PPB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders ke 6 tahun 1980 di Caracas, diamana menyatakan :

  2. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and culture values and social change, as well as in the context of the new international economic order.

  Penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti (a) ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; dan (b) ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

B. Politik Kriminal : Perilaku Delikuensi Anak

  Apabila keseluruhan uraian di atas, dikaitkan dengan masalah perilaku delikuensi anak, maka secara umum permasalahannya tidaklah jauh berbeda.

  Hanya saja karena asas-asas yang mendasar kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku delikuensi anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi langkah- langkah penal mau pun non penal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan

   uisa muda dan perilaku delikuensi anak.

  Pertama, dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integralitas)

  antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, hal itu perlu dimodifikasi, bukan hanya politik kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum, melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yng menjadi korban kejahatan orang dewasa (negelted children) atau anak pelaku delikuen.

  Kedua, dalam kaitan dengan penggunaan penal dan non penal, khusus untuk

  kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, kondisinya tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana non penal seharusnya diberi porsi yang lebih besar daripada penggunaan sarana penal. Bila saja hal ini disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, pemahaman-pemahaman yang berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak (faktor kriminogen). Di sinilah muncul peranan dari ilmu kriminologi, sebagai ilmu yang bersifat ideografis sekaligus nomothetis itu untuk menyumbangkan jasanya bagi pemaham-pemaham di atas. Kriminologi melalui kegiatan penelitian-penelitian baik yang bersifat klasik, positivis maupun interaksionis, kiranya akan banyak memberikan sumbangan dalam rangka memperoleh pemahaman-pemahaman tentang hakikat dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan prilaku delikuensi anak itu. penal, pendekatan kriminologi itu diperlukan pula dalam konteks penggunaan sarana penal. Seperti diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius costitum dan ius costituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. Khusus dalam kaitan dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius.

  Atas dasar itulah, maka pembicaraan tentang kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku anak pada umunya dan di Indonesia pada khususnya, perlu adanya pemikirang agar kriminologi menempati posisi pentting.

3. Kewenangan Uji Materil Mahkamah Konstitusi

  Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2) yang di rumuskan

  

  sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi : 1.

  Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

  Selain itu didalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen ke- 4 tersebut yang memaparkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang

  

  kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung. Ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian apakah materi dan

  

  pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan UUD. sedangkan pengujian atas suatu peraturan lain di bawah Undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain dilakukan oleh Mahkamah Agung

   Nomor 1 Tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materil.

F. Metode Penelitian

  Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian 27 hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari norma-norma hukum.