Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Model
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Model adalah Suatu
pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan.
2.2 Pelayanan Sosial
2.2.1 Pengertian Pelayanan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang pada hakekatnya tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain dan
lingkungannya. Seiring dengan perkembangan tekhnologi maka banyak yang
menjadi tuntutan kebutuhan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya tersebut manusia mempunyai keterbatasan, oleh karena itu manusia
membutuhkan pelayanan sosial, baik yang diberikan oleh perorangan, masyarakat,
ataupun lembaga tertentu.
Menurut Sainsbury (1977), menyatakan bahwa dalam arti yang sangat
luas, pelayanan-pelayanan sosial adalah pelayanan yang digunakan untuk
semua(communal services) yang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan sosial dan mengurangi jenis-jenis masalah sosial tertentu khususnya
kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang memerlukan penerimaan publik
secara umum atas tanggung jawab sosial dan yang tergantung pada
pengorganisasian hubungan-hubungan sosial untuk pemecahananya. (Fahrudin.

2012:50)

Universitas Sumatera Utara

Alfred J. Khan (1979) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
pengertian pelayanan sosial sebagai berikut:
“Pelayanan sosial terdiri dari program-program

yang disediakan

berdasarkan kriteria selain kriteria pasar untuk menjamin tingkatan dasar dari
penyediaan kesehatan,pendidikan, kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat dan keberfungsian individual, untuk memudahkan akses pada
pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga pada umumnya, dan untuk membantu
mereka yang berada dalam kesulitan dan kebutuhan.” (Fahrudin, 2012:51)
Defenisi di atas menjelaskan adanya kewajiban dan keyakinan masyarakat
akan perlunya penyediaan fasilitas pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan

kemampuan


setiap

warga

negara

untuk

menjangkau

dan

menggunakan setiap pelayanan yang sudah menjadi haknya. Disamping itu
pelayanan sosial hanya diberikan kepada sekelompok orang atau masyarakat yang
memang secara sosial tidak dapat atau terhambat dalam menjalankan fungsinya.
Kemudian Kahn bersama Kamermen menyatakan ada lima bentuk
pelayanan dasar , yakni pendidikan, transfer penghasilan (yang sering disebut
sebagai jaminan sosial), kesehatan, perumahan dan pelatihan kerja. Kahn dan
Kamerman selanjutnya menyatakan bahwa sistem keenam yang baru muncul

adalah pelayanan sosial personal (personal social services) atau disebut juga
sebagai pelayanan sosial umum (general social services). (Fahrudin, 2012:50)
2.2.2 Pelayanan Sosial Personal
Pelayanan Sosial personal atau pelayanan sosial umum adalah programprogram yang melindungi atau mengembalikan kehidupan keluarga , membantu

Universitas Sumatera Utara

individu-individu mengatasi masalah-masalah yang berasal dari luar ataupun dari
dalam diri, meningkatkan perkembangan, dan memudahkan akses melalui
pemberian informasi, bimbingan, advokasi , dan beberapa jenis bantuan konkret.
(Kahn (1979) dalam Fahrudin , 2012:53)
Pelayanan sosial personal berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi
pelayanan untuk “ keperluan-keperluan sosial publik “ (public social utilities) atau
“ pelayanan-pelayanan kasus “ (case services). Pelayanan keperluan-keperluan
sosial publik dapat dibedakan lagi menjadi pelayanan sosial yang disediakan
berdasarkan pilihan pengguna pelayanan misalnya pusat kegiatan masyarakat, dan
pelayanan berstatus atau sesuai kategori umur pengguna. Sedangkan pelayanan
kasus adalah pelayanan yang diberikan berdasarkan hasil evaluasi atau diagnosis.
Pelayanan-pelayanan seperti ini dimaksudkan untuk mengembalikan atau
meningkatkan keberfungsian sosial dalam cara yang diindividualisasi.

Pelayanan sosial personal memiliki beberapa fungsi. Fungsi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1.

Pelayanan-pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan.

2.

Pelayanan-pelayanan untuk terapi, pertolongan, dan rehabilitasi, termasuk
perlindungan sosial dan perawatan pengganti.

3.

Pelayanan-pelayanan untuk mendapatkan akses, informasi, dan nasihat.
(Kahn, dalam Fahrudin , 2012:55)
Pelayanan sosial personal yang tepat digunakan bagi penyalhguna

narkoba adalah pelayanan kasus (case services). Dan sesuai fungsi dari pelayanan
sosial personal yang tepat bagi penanganan penyalahguna narkoba adalah fungsi


Universitas Sumatera Utara

pelayanan-pelayanan untuk terapi, pertolongan, dan rehabilitasi, termasuk
perlindungan sosial dan perawatan pengganti.
2.3 Penanganan Sosial
2.3.1 Pengertian Penanganan Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Penanganan adalah Nomina
(kata benda) proses, cara, perbuatan menangani; penggarapan. Contoh kalimat
dari kata penanganan adalah Penanganan kasus itu terkesan lambat.
Sedangkan sosial adalah segala hal yang berhubungan dengan interaksi
individu dengan individu lainnya, yang secara sederhana didefinisikan dalam
kamus besar bahasa Indonesia, bahwa sosial adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan masyarakat. Jadi Penanganan sosial adalah suatu proses ,
atau perbuatan menangani suatu hal yang terjadi di masyarakat, baik secara
individu maupun kelompok masyarakat.
2.4 Narkoba
2.4.1 Pengertian Narkoba
Napza adalah suatu istilah yang belum terlalu sering terdengar oleh
masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal istilah ini dengan
narkoba. NAPZA sendiri merupakan singkatan dari narkotika,psikotropika dan zat

adiktif lainnya. Napza adalah istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang jika
dimasukkan kedalam tubuh menyebabkan ketergantungan dan berpengaruh pada
kerja otak. Termasuk dalam hal ini adalah obat, bahan, atau zat, baik yang diatur
undang-undang dan peraturan hukum lain maupun tidak, tetapi sering
disalahgunakan, seperti alkohol, nikotin, kafein, dan juga inhalansia/solven. Pada
penelitian ini digunakan istilah narkoba, karena telah populer di masyarakat, tetapi

Universitas Sumatera Utara

ruang lingkupnya meliputi semua obat, bahan, dan zat yang menyebabkan
ketergantungan.
Napza atau narkoba dapat di definisikan sebagai zat alami atau buatan
(kimia), bukan makanan, yang dapat mengubah struktur tubuh makhkuk hidup
(Charles, dkk , 2008:6)
Napza atau narkoba dikenal di masyarakat sebagai bahan berbahaya.
Berbahaya yang dimaksud adalah bahan yang tidak aman digunakan atau
membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar
hukum (ilegal).Narkoba dapat berbahaya bila digunakan secara ilegal , namun
bermanfaat bila digunakan secara legal dalam dunia kedokteran,farmasi,dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 35

tahun 2009.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
pengertian Narkoba atau Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
2.4.2 Jenis-jenis Narkoba
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang daoat menyebabkan
penururunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan bahan asalnya Narkotika terbagi dalam 3 (tiga) golongan
yaitu :
1.

Alami

Yakni jenis zat/obat yang timbul dari alam tanpa adanya proses

fermentasi, isolasi atau proses produksi lainnya. Di dalam undang-undang No.35
Tahun 2009 tentang narkotika yang berasal dari alam dan tidak boleh digunakan
untuk terapi adalah golongan I terdiri dri :
a.

Tanaman papaver soniferum L

b.

Opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko)

c.

Opium obat

d.

Tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina,ekgonim (kerja alkoid

koka berbeda dengan alkoid opium)

e.

Heroin, morfin (alkoid opium yang telah diisolasi)

f.

Ganja, damar ganja

2. Semi Sintesis
Yakni zat yang diperoses sedemikian rupa melalui proses ekstrksi dan
isolasi. Contohnya : Morfin, pethidin, dan lain-lain.Jenis obat ini menurut undangundang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika, termasuk dalam narkotika golongan
II.
3. Sintesis
Jenis obat atau zat yang diproduksi secara sintesis untuk keperluan medis
dan penelitian yang digunakan seagai penghilang rasa sakit (analgesik) seperti
penekan batuk (antitusif). Contohnya : Kodein, Amfetamin, Deksamfetamin,
Penthidin, Meperidin, Methadon, Dipipanon, Dekstropakasifen, LSD (Lisergik,
Dietilamid).


Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap manusia, narkotika terdapat 3 (tiga)
jenis, yaitu :
1. Depressan (downer), Adalah jenis obat yang berfungsi mengurangi aktifitas,
membuat pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar diri.
2. Stimulan (upperi), Adalah jenis-jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh
dan meningkatkan pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar secara
berlebihan.
3. Halusinogen, Adalah zat kimia aktif atau obat yang dapat menimbulkan efek
halusinasi, dapat merubah perasaan dan fikiran. (Nasution, Zulkarnain, 2014:2)
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada sktifitas mental dan perilaku.
Dalam bidang farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu :
1. Golongan Psikostimulansi
Yaitu jenis zat yang menimbulkan rangsangan. Contohnya : Amfetamin

(Shabu dan ekstasi), dan Desamfetamine.
2. Golongan Psikodepresan
Yaitu golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas, merupakan jenis
obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas. Contohnya : Amobarbital,
Pheno Karkital, Penti Karkital. Dalam Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang
psikotropika, dimasukkan dalam golongan III.

Universitas Sumatera Utara

3. Golongan Sedativa
Yaitu jenis obat-obatan yang memiliki khasiat pengobatan yang jelas dan
digunakan sangat luas dalam terapi. Contohnya : Fenibarbital, Bromazepam,
Barbital, Klonazepam, Klordiazepam, Klordiazepoxide, Nitrazezam seperti BK,
DUM, MG. (Nasution, Zulkarnain, 2014:12)
3.Bahan Adiktif
Bahan atau Zat adiktif adalah bahan-bahan aktif atau obat yang dalam
organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat
menimbulkan ketergantungan (adiksi) yakni keinginan untuk menggunakan
kembali secara terus menerus. Contohnya : Inhalen, Alkohol, Tembakau/rokok,
Zat yang mudah menguap (Lem Aica, Aibon, Thinner, Bensin, Spirtus), Zat yang
menimbulkan halusinasi , beberapa jenis jamur, kecubung, kotoran kerbau/sapi.
Bahan-bahan ini akan berefek kepada pengguna jika digunakan dengan dosis yang
berlebihan. (Nasution, Zulkarnain, 2014:14)
2.4.3 Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan
tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya.
Karena pengaruhnya itulah narkoba disalahgunakan. (Martono, Lydia Harlina dan
Satya Juana, 2008:15)
Ada beberapa pola dan tahapan penyalahgunaan narkoba, yaitu sebagai
berikut:
1. Pola Coba-coba, Karena iseng atau ingin tahu. Pengaruh kelompok sebaya
sangat besar, yaitu teman dekat atau orang lain yang menawarkan atau
membujuk untuk memakai narkoba.

Universitas Sumatera Utara

2. Pola pemakaian sosial, yaitu pemakaian narkoba untuk kepentingan pergaulan
(kumpul, acara tertentu) dan keinginan untuk diakui atau diterima
dikelompoknya.
3. Pola pemakaian situasional, yaitu karena situasi tertentu, seperti kesepian dan
stres. Tahapan ini juga disebut tahap instrumental. Karena dari pemakaian
sebelumnya disadari bahwa narkoba dapat menjadi alat untuk mempengaruhi
atau memanipulasi emosi dan suasana hatinya. Disini pemakaian narkoba telah
mempunyai tujuan, yaitu sebagai cara mengatasi masalah (compensatory use).
Pada tahap ini pemakai berusaha memperoleh narkoba secara aktif.
4. Pola habituasi (kebiasaan), telah mencapai tahap pemakaian teratur atau sering.
Terjadi perubahan fatal tubuh dan gaya hidup. Kebiasaan, pemakaian,
pembicaraan, dan lain-lainnya berubah. Pengguna menjadi lebih sensitif,
mudah tersinggung, pemarah, sulit tidur, atau berkonsentrasi, sebab narkoba
mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-cita semula menjadi
hilang. Lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Pola ketergantungan (kompulsif) dengan gejala khas, yaitu timbulnya toleransi
dan atau gejala putus zat. Ia berusaha untuk selalu memperoleh narkoba dengan
berbagai cara. Ia tidak dapat lagi mengendalikan diri dalam penggunaannya,
sebab narkoba telah menjadi pusat kehidupannya. Hubungan dengan keluarga
dan teman menjadi rusak. Pada pemakaian beberapa jenis narkoba seperti
putaw ketergantunga terjadi dengan sangat cepat. (Martono, Lydia Harlina dan
Satya Juana, 2008:15)

Universitas Sumatera Utara

1. Penyebab Penyalahgunaan Narkoba
Terjadinya penyalahgunaan narkoba merupakan suatu masalah sosial yang
sangat kompleks serta sangat terkait dengan berbagai faktor. Setidaknya , masalah
penyalahgunaan narkoba, tidak hanya diakibatkan oleh individu penyalahguna itu
sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ketersediaan obatobatan yang tergolong kategori narkoba atau NAPZA tersebut. Adapun faktorfaktor penyalahgunaan terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Faktor Individu
Faktor individu merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya
penyalahgunaan narkoba. Hal ini biasanya dapat dilihat dari kecenderungan sifat
seseorang yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi atau penasaran, yang
diawali dengan coba-coba.
Secara umum , beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya
penyalahgunaan narkoba dari dalam diri individu itu sendiri antara lain, faktor
kepribadian yang terkait dengan gangguan cara berpikir, konsep diri, emosi dan
perilaku. Kemudia yaitu , perkembangan usia , biasanya terjadi pada usia remaja
yang secara kejiwaan mulai muncul perasaan ketidakpuasan, penasaran, dan
cenderung ingin menonjolkan diri. Selanjutnya faktor pandangan atau persepsi
yang keliru , berkaitan dengan munculnya keyakinan yang keliru yang
menganggap enteng segala sesuatu yang membahayakan bahkan dianggap sebagai
tantangan yang bisa diselesaikan dan dapat memberikan kepuasan. Sedangkan
faktor yang terakhir yaitu faktor lemahnya pemahaman dan praktik keagamaan,
terkait dengan rendahnya kecerdasan spiritual serta minimnya pengetahuan dan
praktik keagamaan yang dilakukan oleh seorang individu.

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan dalam
konteks pengaruhnya terhadap penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh
seorang individu. Setidaknya terdapat tiga bentuk lingkungan yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah/kerja, dan lingkungan masyarakat.
Beberapa pengaruh yang dapat menyebabkan remaja melakukan
penyalhgunaan narkoba antara lain :
a. Komunikasi yang kurang dengan keluarga terdekat.
b. Orang tua terlalu sibuk dengan urusan pribadinya dan mengabaikan pendidikan
dan perkembangan putra putrinya.
c. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang memiliki norma dan aturan yang
“longgar”.
d. Berteman dengan penyalahguna narkoba
e. Disiplin sekolah/kerja yang rendah
f. Kurangnya aktifitas di sekolah, tempat kerja, maupun lingkungan masyarakat
yang dapat menjadi wadah pengembangan dan penyaluran minat dan bakat,
sehingga banyak waktu yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
g. Lemahnya penegakan hukum.
h. Tempat tinggal yang berada di lingkungan para penyalahguna narkoba.
3. Faktor Ketersediaan Narkoba
Tidak bisa dipungkiri bahwa ketersediaan dan mudahnya mendapatkan
narkoba menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penyebab terjadinya

Universitas Sumatera Utara

penyalahgunaan narkoba. Beberapa pengaruh ketersediaan narkoba terhadap
perilaku penyalahgunaan narkoba , antara lain :
a. Mudah mendapatkan jenis dari narkoba, membuat penyalahguna semakin
penasaran
b. Adanya persepsi bahw dengan mengonsumsi narkoba dapat menyelesaikan
segala persoalan. Anggapan ini mungkin saja benar, namun yang perlu
diketahui bahwa hilangnya persoalan hanya sesaat dan tidak menyelesaikan
masalah yang sesungguhnya.
c. Cara menggunakan narkoba yang sangat mudah , misalnya dihisap, disuntik,
ditelan, dan sebagainya.
d. Peredaran atau distribusi narkoba oleh pengedar sudah masuk ke pelosokpelosok wilayah , baik di lingkungan umum , maupun tempat-tempat
pendidikan. (Rozak, 2006:23)
2. Masalah Penyalahgunaan Narkoba
Masalah penyalahgunaan narkoba meningkat dengan cepat di Indonesia,
meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya. Ada
beberapa hal yang menjadikan masalah itu perlu mendapatkan perhatian yang
lebih sungguh-sungguh lagi, yaitu sebagai berikut:
1. Angka kejadian atau jumlah kasus meningkat secara cepat dalam deret ukur.
Jumlah pasien RS Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta meningkat 6 kali lipat
tahun 1993-1999. Kasusnya seperti gunung es, yang mencuat di atas
permukaan laut, sedang bagian terbesar di bawahnya tidak tampak. Menurut
WHO, jika terdata satu kasus, berarti ada sepuluh kasus di tempat itu.

Universitas Sumatera Utara

2. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat
terapi dan rehabilitasi semakin tinggi.
3. Angka kematian semakin meningkat. Di Jakarta, contohnya, 2-3 orang
meninggal perhari karena penyalhgunaan narkoba. Angka itu belum
menggambarkan data sebenarnya. Sering penyebab kematian sebenarnya tak
diungkap, karena rasa malu keluarga.
4. Bahaya penyakit menular hepatitis B/C dan HIV/AIDS. 80% pengguna
narkoba dengan jarun suntik dilaporkan menderita hepatitis B/C, dan 40-50%
tertular HIV. Penyebabnya adalah jarum suntik tidak steril dan digunakan
secara bergantian. Dari pecandu pengidap HIV atau hepatitis, terjadi penularan
kepada sesama pecandu dan pasangan seksualnya. Penyakit AIDS merusak
sistem kekebalan tubuh. Hepatitis B/C menyebabkan kerusakan hati dan
kanker.
5. Besarnya kerugian sosial-ekonomi yang harus ditanggung. Pecandu berusaha
mencari narkoba yang dibutuhkan dengan berbohong, menjual barang-barang
milik pribadi atau keluarga/orang lain, mencuri, merampok, dan sebagainya.
Masih pula ditambah beban biaya perawatan yang harus ditanggung oleh
keluarga.

Negara

juga

harus

mengeluarkan

biaya

besar

untuk

menanggulanginmasalah itu serta menyediakan sarana dan prasarananya.
(Martono, Lydia Harlina, 2008:1)
3. Akibat Penyalahgunaan Narkoba
1) Bagi Diri Sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal pada remaja
 Daya ingat menurun, menjadi mudah lupa;

Universitas Sumatera Utara

 Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi;
 Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal;
 Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot, persahabatan
rusak, serta minat dan cita-cita semula padam.
b. Intosikasi (Keracunan), yakni gejala yang timbul akibat pemakaian narkoba
dalam jumlahyang cukup, berpengaruh pada tubuh dan perilakunya.
Gejalanya tergantung pada jenis, jumlah, dan cara penggunaan. Istilah yang
sering dipakai pecandu adalah pedauw, fly, mabuk, teler, dan high.
c. Overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya
pernapasan atau pendarahan di otak. OD terjadi karena toleransi sehingga
perlu dosis yang lebih besar, atau karena sudah lama berhenti pakai, lalu
memakai lagi dengan dosis yang dahulu digunakan.
d. Gejala Putus Zat, yakni gejala ketika dosis yang dipakai berkurang atau
dihentikan pemakaiannya. Berat atau ringannya gejala tergantung pada jenis,
zat, dosis, dan lama pemakaian.
e. Berulang Kali Kambuh, yakni ketergantungan menyebabkan craving (rasa
rindu

pada

narkoba),

walaupun telah

berhenti

pakai.Narkoba

dan

perangkatnya, kawan-kawan, suasana, dan tempat-tempat penggunaannya
dahulu mendorongnya untuk memakai narkoba kembali. Itulah sebabnya
pecandu akan berulang kali kambuh.
f. Gangguan Kesehatan, yakni gangguan atau kerusakan atau gangguan fungsi
organ tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endoktrin, alat

Universitas Sumatera Utara

reproduksi; infeksi (heptitis B/C (80%), HIV/AIDS (40-50%), penyakit kulit
dan kelamin; kurang gizi, penyakit kulit, dan gigi berlubang.
g. Kendornya nilai-nilai, yakni mengendornya nilai-nilai kehidupan, gama dan
sosial , seperti perilaku seks bebas dengan akibatnya (penyakit kelamin,
kehamilan yang tidak diinginkan). Sopan santun hilang. Ia menjadi Asosial,
mementingkan diri sendiri, dan tidak memperdulikan kepentingan orang lain.
h. Gangguan perilaku/mental sosial, yakni acuh tak acuh , sulit mengendalikan
diri, mudah tersinggunga, marah, menarik diri dari pergaulan, serta hubungan
dengan keluarga/sesama terganggu. Terjadi perubahan mental:gangguan
pemusatan perhatian, motivasi belajar/bekerja lemah, ide paranoid, dan gejala
parkinson.
i. Masalah ekonomi dan hukum, yakni pecandu sering kali terlibat hutang,
karena berusaha memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Ia mencuri uang
atau menjual barang-baranag milik pribadi atau keluarga. (Martono, Lydia
Harlina dan Satya Juana, 2008:19)
2) Bagi Keluarga
Suasana nyaman dan tentram terganggu. Keluarga resah karena barangbarang berharga dirumah hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, tidak
bertanggung jawab, hidup semaunya, dan berusaha menutupi perbuatan anak.
3) Bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara
Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan
kesinambungan pembangunan terancam. Negara menderita kerugian karena

Universitas Sumatera Utara

masyarakatnya

tidak

produktif

dan

kejahatan

meningkat;

belum

lagi

sarana/prasarana yang harus disediakan untuk menanggulanginya.
2.5 Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan
kepada

penyalahguna/pecandu

narkoba

untuk

melepaskannya

dari

ketergantungannya pada narkoba, sampai ia dapat menikmati kehidupan yang
bebas narkoba.
Pada umumnya sebelum dilakukannya proses rehabilitasi , tahap pertama
yang harus dilakukan adalah melakukan Detoksifikasi, yaitu melepaskan
seseorang dari pengaruh langsung narkoba yang disalahgunakannya. Setelah
dilakukan detoksifikasi , dilanjutkan dengan tahap rehabilitasi, yang meliputi
rehabilitasi fisik, psikososial, sosial, spiritual, okupasional, dan edukasional.
2.5.1 Prinsip dalam Terapi Rehabilitasi
1. Dimungkinkan seorang pecandu pulih dari ketergantungan narkoba.
2. Program terapi harus memerhatikan berbagai ragam kebutuhan klien agar
pulih;fisik, psikologis, spiritual, pendidikan, vokasional, dan hukum.
3. Waktu terapi yang cukup sangat penting, dengan konseling individu dan
kelompok sebagai bagian yang tak terpisahkan dari terapi.
4. Keterlibatan keluarga, masyarakat setempat, tempat kerja dan kelompok
pendukung akan membantu proses pemulihan pecandu.
5. Klien perlu senantiasa dipantau kebutuhan, masalah, dan kemajuannya.
6. Pecandu dengan gangguan kesehatan fisik dan gangguan kesehatan jiwa yang
telah ada sebelumnya, perlu diterapi secara bersamaan.

Universitas Sumatera Utara

7. Pemulihan bersifat jangka panjang dan relaps selalu mungkin terjadi.
8. Tim yang menolong pecandu (tenaga medis, konselor, pecandu yang pulih,
yang dipilih dan terlatih) perlu menjalin hubungan dengan klien secara
profesional, dipercaya, dan penuh perhatian, serta ampu menjaga kerahasiaan
klien. (Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:92)
2.5.2 Komponen dan Tahapan Rehabilitasi
Secara umum ada beberapa komponen dan tahapan yang harus dilewati.
Masing-masing tahapan tersebut memakan waktu bervariasi; ada yang seminggu,
sebulan dan bahkan berbulan-bulan tergantung tingkat ketergantungan, tekat dan
juga dukungan berbagai pihak terutama keluarga dalam seluruh proses tersebut.
Adapun komponen dan tahapan rehabilitasi yang dikutip dari buku Rehabilitasi
bagi korban narkoba antara lain :
1. Tahap Transisi
Penekanan dalam tahap ini lebih kepada informasi awal tentang narkoba ,
seperti latar belakang korban, lama ketergantungan, jenis obat yang dipakai,
akibat-akibat ketergantungan dan berbagai informasi lainnya.
2. Rehabilitasi Intensif
Tahap ini menekankan proses penyembuhan secara psikis. Dimana
motivasi dan potensi diri klien akan dibangun dalam fase ini.
3. Tahap Rekonsiliasi
Pada tahap ini klien tidak langsung berinteraksi secara bebas dengan
masyarakat, akan tetapi terlebih dahulu ditampung disebuah lingkungan khusus
selama beberapa waktu sampai klien benar-benar siap secara mental dan rohani
kembali ke lingkungannya semula. Yang paling utama dalam fase ini adalah

Universitas Sumatera Utara

pembinaan mental, spiritual, keimanan dan ketakwaan, serta kepekaan sosial
kemasyarakatan.
4. Pemeliharaan Lanjut
Pada tahap ini merupakan bagian dari upaya untuk mencegah klien
mengalami relaps atau tergelincir kembali dalam penyalahgunaan narkoba. Dalam
tahap ini ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan klien , antara lain :
a. Mengubah, menghilangkan, atau menjauhi hal-hal yang bersifat nostalgia
kesenangan narkoba.
b. Setia mengikuti program-program dan acara-acara aftercare (pemeliharaan
lanjut).
c. Dapat juga melibatkan diri dalam gerakan atau kelompok bersih narkoba dan
peduli penanggulangannya.(Visimedia, 2006:28)
Berbeda dengan tahapan diatas , Lydia Harlina Martono dan Satya
Joewana memaparkan tahap dan komponen rehabilitasi dengan lebih mendetail,
yaitu :
1. Assesmen, yaitu menilai masalah dengan mengumpulkan informasi untuk
menetapkan diagnosis dan modalitas rehabilitasi yang sesuai dengan klien.
2. Rencana terapi, yang didasarkan pada assesmen dan kebutuhan klien dan
meliputi fisik, psikologis, sosial, spiritual, keluarga, dan pekerjaan.
3. Program detoksifikasi, sebagai tahap awal pemulihan, untuk melepaskan klien
dari efek langsung narkoba yang disalahgunakan dan mengelola gejala putus
zat karena dihentikannya pemakaian narkoba. Detoksifikasi dapat dilakukan
dengan obat atau tanpa obat.

Universitas Sumatera Utara

4. Rehabilitasi, sebagai tahap kedua dalam pemulihan, yag meliputi fisik,
psikologis, sosial, spiritual, dan pendidikan.
5. Keterampilan menolong pecandu, Dengan keterampilan tidak dimaksudkan
gelar akademik/profesi tertentu, tetapi terutama kepekaan memahami
kebutuhan klien dan mengerti cara menanggapi kebutuhan itu.
6. Konseling, baik individu maupun kelompok, sebagai teknik untuk membantu
klien memahami diri (insight), membujuk (persuasi), serta memberi saran dan
keyakinan sehingga klien melihat permasalahannya secara lebih realistis dan
memotivasinya agar terampil mengatasi masalah :
a. Konseling kelompok : Pengalaman kelompok sangat penting. Kurang
bermanfaat, jika klien tidak membangun jaringan kelompok sebaya.
b. Konseling individu

: Untuk mengevaluasi

kejadian sepanjang hari,

mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan sugest, membangun struktur
kehidupan untuk sehari-hari medatang, membahas hal-hal yang sensitif atau
pribadi, yang tidak cocok dibahas dalam diskusi kelompok.
7. Pencegahan Kekambuhan (Relaps), sebagai strategi untuk mendorong klien
berhenti memakai narkoba (abstinensia), membantu klien mengenal dan
mengelola situasi berisiko tinggi, serta pikiran-pikiran dan kegiatan-kegiatan
yang mendorong pemakaian narkoba kembali. Bebas dari narkoba relatif
mudah. Yang sulit adalah menjaga tetap bersih untuk jangka lama.
8. Keterlibatan Keluarga, Hal ini sangat penting dalam terapi, pecandu tidak
mungkin pulih sendiri tanpa dukungan kekuarga dan orang lain.
9. Rawat Lanjut, meliputi :

Universitas Sumatera Utara

a. Konseling¸ untu memotivasi dan meningkatkan keterampilan klien menangkal
narkoba, membantu pemulihan hubungan antarsesama, dan meningkatkan
kemampuan klien agar berdungsi normal di masyarakat.
b. Kelompok pendukung, yang melengkapi program terapi secara profesional,
contoh NA, kelompok keluarga pendukung.
c. Rumah pendampingan, sebagai tempat antara yang menyediakan program
pendampingan bagi pecandu yang sedang pulih di masyarakat.
d. Latihan Vokasional, agar klien dapat bekerja dan berfungsi normal di
masyarakat.
e. Pekerjaan, sesuai minat, bakat,

keterampilan, dan kesempatan. (Martono,

Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:93)
2.5.3 Macam-macam Program Rehabilitasi
Banyak sekali bentuk rehabilitasi dibidang penyalahgunaan narkoba.
Yakni , antara lain :
1.

Rawat Inap Rumah Sakit (Hospitalisasi)
Rawat inap adalah perawatan yang diberikan dengan menginap di rumah

sakit khusus (Rumah Sakit ketergantungan Obat), Rumah sakit jiwa, atau di satu
bagian (unit) rumah sakit umum. Terapi ini sering disebut terapi primer(primary
treatment). Lama terapi bervariasi, terapi dapat berlangsung hingga 4-6 minggu
atau lebih, tergantung pada jenis pelayanan yang tersedia. Jika terdapat
rehabilitasi yang berbasis rumah saki, pelayanan dapat lebih lama hingga 6 bulan
atau 1-2 tahun. Pelayanan dilakukan oleh tim profesional multidisiplin : psikiater,
dokter umu, psikolog, pekerja sosial, perawat, juga konselor sebaya (peer
counselor), yaitu pecandu yang telah pulih dan terlatih sebagai konselor.

Universitas Sumatera Utara

2.

Rawat Jalan
Dapat dilakukan di Rumah Sakit (Khusus, umum) bagian rawat jalan,

klinik, dan puskesmas. Jika tersedia program rawat jalan lengkap biasanya
berangsung 10 minggu selama 2-3 jam, 3-4 kali seminggu.
Program rawat jalan memiliki lebih sedikit komponen program
dibandingkan rawat inap. Karena klien lebih mudah terkontaminasi narkoba,
pemeriksaan urine adalah hal yang harus dilakukan secara rutin.
3. Pusat Rehabilitasi
Ada beberapa jenis sarana rehabilitasi, yaitu rehabilitasi sosial, rehabilitasi
spiritual, dan rehabilitasi psikososial. Ada yang dikelola pemerintah dan swasta.
Beberapa diantaranya menerapkan konsep Therapuetic Community (TC). TC
memiliki ciri sebagai berikut :
a. Menggunakan tenaga konselor sebaya (peer counselor) yang merupakan
mantan pengguna narkoba yang pulih, terpilih, dan terlatih dengan 1-2 orang
konselor profesional.
b. Program dapat bersifat primer atau sekunder bagi yang belum siap kembali ke
rumah. Program berlangsung 3 bulan sampai 2 tahun, dengan penekanan pada
proses sosialisasi. Terapi yang dilakukan biasanya bersifat konfrontatif.
c. Beberapa TC mensyaratkan pecandu terpisah dari dunia sekitarnya. TC lain
tidak. TC memiliki kehidupan seperti asrama dengan jadwal harian.
Anggotanya memelihara dan mengelola fasilitas tersebut. Dapat diberikan
pendidikan dan pelatihan vokasional. Beberapa TC memiliki kegiatan rekreasi
diluar.

Universitas Sumatera Utara

4. Rumah Dampingan (Half Way House)
Rumah dampingan adalah tempat transisi antara rumah sakit dan pulang
ke rumah. Dalam rumah dampingan terdiri dari 10-20 klien bersama dengan
pengawasan dan bertanggung jawab memelihra rumah, seperti belanja, memasak,
membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. Mereka bekerja atau bersekolah
paruh waktu, dengan tetap mengikuti program pemulihan. Biasanya program ini
dilakukan bagi :
a. Pecandu yang tidak beroleh banyak kemajuan pada program terapi primer.
b. Mereka yang tidak mendapatkan akses ke rumah sakit/pusat rehabilitasi.
c. Mereka yang belum dapat dipulangkan ke rumah karena persoalan keluarga
yang belum dapat diatasi atau buruknya keadaan lingkungan.
Di Indonesia sendiri sarana ini belum banyak dikembangkan. Namun
rumah dampingan sudah ada di Provinsi Sumatera Utara , tepatnya di Kota
Medan yang dikelola langsung oleh BNNP Sumatera Utara.
5. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
Menurut PBB, efektifitas terapi dan rehabilitasi dapat ditingkatkan, jika
pecandu berada di tengah keluarga atu masyarakat dan menjalani pemulihan
dengan dukungan kelompok. Namun kenyataan menyatakan bahwa sebagian
besar pecandu ada di masyarakat dan tidak terjangkau oleh fasilitas pelayanan.
Program terapi dan rehabilitasi berbasis masyarakat adalah program rawat
jalan (meskipun dapat memiliki tempat rawat inap) sebagai suatu model, yang
dikembangkan untuk menjangkau dan menolong penyalahguna narkoba di tengah
masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Prinsip program ini adalah self help group , sebagai kelompok saling
membantu dengan menggunakan warga masyarakat terlatih sebagai konselor atau
para konselor sebaya, dan orang tua dari pecandu. Program rehabilitasi berbasis
masyarakat meliputi, antara lain penjangkauan, detoksifikasi, perawatan lanjut di
tengah masyarakat. Jug menyelenggarakan rumah pendampingan. (Martono,
Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:96)
Pada dasarnya tidak ada satu program yang cocok untuk semua jenis,
sikap,dan sifat para penyalahguna narkoba sebab hal itu sangat bersifat individual.
Namun ada beberapa faktor yang dapat mendorong klien/penyalahguna narkoba
dapat lebih terbantu untuk pulih dari ketergatungannya terhadap narkoba. Adapun
faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Kemauan yang kuat serta kerjasama penderita sendiri.
b. Profesionalisme, kompetensi serta komitmen pelaksanaannya.
c. Sistem rujukan antara lembaga yang baik.
d. Prasarana, sarana dan fasilitas yang memadai.
e. Perhatian dan keterlibatan orangtua atau keluarga dan teman sebaya.
f. Dukungan dana yang memadai.
g. Kerjasama dan koordinasi lintas profesi yang baik. (Nasution, Zulkarnain,
2014:66)
2.6 Relapse
Relapseatau kambuh merupakan terjadinya kembali pola penyalahgunaan
(adiksi) dimana pemakaian narkoba berlangsung kembali secara rutin. (Nasution,
2014:101).

Universitas Sumatera Utara

Relapse tidak berlangsung sekaligus. Proses relaps menjadi lengkap ketika
ia kembali pada jalur pemulihannya, maka ia kembali normal. Hal ini disebut slip
(lapse). Jika slip terjadi berulang kali dan tetap memakai narkoba, ia dengan cepat
kembali pada keadaan kecanduannya semula. Hal tersebut yang disebut dengan
Relapse. a.(Martono, Lydia Harlina dan Satya Juana, 2008:121)
2.6.1 Faktor dan Kecenderungan Relapse
1. Penyebab/Faktor-faktor terjadinya Relapse
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya relapse (Martono, Lydia Harlina
dan Satya Juana, 2008:122) yang saling berkaitan , antara lain sebagai berikut :
1. Komitmen yang lemah untuk berhenti memakai narkoba
Klien mungkin telah memutuskan untuk berhenti memakai narkoba,
namun klien dihadapkan oleh situasi krisis seperti sakit, masalah keluarga,
keuangan, kehilangan teman, atau kegagalan disekolah. Dampak buruk tersebut
mungkin akan membuat klien kembali mengingat masa kesenangannya saat
memakai narkoba, misalnya merasa rileks, bersenang-senang dengan teman, dan
merasa lebih percaya diri. Hal tersebut mengurangi komitmennya untuk berhenti
memakai narkoba.
2. Situasi yang berisiko tinggi
Situasi ini umumnya dalah situasi atau lingkungan tempat klien dahulu
biasa memakai narkoba, sehingga mendorong pemakaian kembali narkoba,
misalnya bertemu teman pemakai narkoba atau mengunjungi tempat-tempat
pemakaiannya dahulu.

Universitas Sumatera Utara

3. Keadaan emosi yang berisiko tinggi
Emosi yang memicu relapse biasanya juga adalah keadaan emosi yang
menyebabkan klien memakai narkoba, seperti frustasi, marah, rasa bersalah,
depresi, kesedihan, kesepian, kebosanan, dan juga kesenangan yang berlebihan.
4. Konflik interpersonal
Perdebatan dan pertentangan antarsesama, yakni keluarga dan teman dapat
memancing relapse. Konflik ini menciptakan situasi stres dan menyebabkan klien
tegang dan dipenuhi oleh perasaan negatif.
5. Tekanan sosial
Tekanan sosial berhubungan dengan orang-orang lain pemakai narkoba
dan perasaan klien yang ingin sama dengan mereka.
Sementara itu , menurut Witkiewietz dam Marlatt (2004) menyebutkan
bahwa individu yang ingin melakukan perubahan perilaku bermasalah akan
memiliki kecenderungan untuk kembali pada perilaku bermasalah atau dalam
konteks ini kembali menggunakan narkoba (relapse). Marlatt dan Gordon (dalam
Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999) menjelaskan tentang cognitive-behavioral
model of relapse yang memberikan gambaran tentang proses terjadinya
relapsedan menjelaskan berbagai aspek kecenderungan relapse. Aspek-aspek
yang mengarahkan pada kecenderungan sebab terjadinyarelapse adalah high-risk
situation, coping, outcome expectancies, dan abstinence violation effect.
Cognitive-behavioralmodel of relapse yang diajukan oleh Marlatt dan Gordon ini
kemudian dijadikan acuan dalam relapse prevention atau berbagai upaya
pencegahan untuk menurunkan kecenderungan relapse.

Universitas Sumatera Utara

2. Aspek-aspek Kecenderungan Terjadinya Relapse
Larmier, Palmer, dan Marlatt (1999) menjelaskan terdapat empat aspek
kecenderungan relapse yang mengacu pada cognitive behavioral model of relapse
yang dikembangkan oleh Marlatt dan Gordon (dalam Larmier, dkk, 1999), yaitu:
1. High-risk situation
High-risk situation adalah situasi yang dapat melemahkan individu dalam
mengendalikan perubahan perilaku yang telah dilakukan dan mengarahkan pada
kemungkinan terjadinya relapse. Mengacu pada penelitian Marlatt dan Gordon
(dalam Larmier, Palmer, dan Marlatt, 1999) terdapat empat situasi yang dapat
memberikann peran dalam memicu kecenderungan relapse, yaitu:
a. Kondisi emosi negatif
Kondisi emosi negatif seperti marah, cemas, depresi, frustrasi yang
merupakan bentuk dari intrapersonal high-risk situation yang berasosiasi dengan
tingginya kecenderungan relapse. Kondisi emosional negatif ini dapat disebabkan
oleh persepsi intrapersonal utama dari berbagai situasi (seperti merasa bosan dan
kesepian di rumah yang kosong saat pulang kerja) atau reaksi terhadap peristiwa
dilingkungan (seperti marah pada saat mengalami pemutusan hubungan kerja).
b. Situasi yang melibatkan orang lain atau kelompok
Situasi yang melibatkan orang lain dapat diindikasikan dengan konflik
interpersonal (seperti beradu argumen dengan keluarga).
c. Tekanan Sosial
Tekanan sosial dapat berupa persuasi langsung secara verbal ataupun
nonverbal dan tekanan sosial secara tidak langsung (seperti berada di sekitar orang
yang sedang menggunakan narkoba).

Universitas Sumatera Utara

d. Kondisi emosional positif
Kondisi emosional poitif (seperti saat melakukan suatu perayaan), terpapar
dengan hal menstimulus penggunaan narkoba (iklan alkohol), menguji
kemampuan kontrol diri (menggunakan kemampuan diri untuk membatasi
penggunaan narkoba), dan keinginan menggunakan narkoba yang tidak spesifik
diidentifikasi dapat menjadi situasi yang mengarahkan pada relapse.
2. Coping
Coping adalah kemampuan untuk mengahadapi high-risk situationyang
dapat

mengarahkan

individu

untuk

kembali

menggunakan

narkoba.

Kecenderungan relapse pada seseorang yang dapat melaksanakan strategi coping
efektif (strategi behavioral, seperti meninggalkan atau menghindari situasi
tersebut atau strategi kognitif, seperti positif self-talk) akan menurun.
3. Outcome expectancies
Outcome expectancies merupakan antisipasi seseorang terhadap efek dari
pengalaman masa depan. Pecandu narkoba yang berpikir positif tentang dampak
penggunaan narkoba dan tidak menghiraukan efek negatif dari narkoba akan
memiliki kecenderungan relapse.
4. Abstinence Violation Effect
Abstinence violation effect adalah reaksi emosional terhadap penggunaan
narkoba kembali untuk pertama kalinya (lapse) dan atribusi penyebab lapse yang
dapat mengarahkan pada relapse. Seseorang yang mengatribusikan lapse sebagai
kegagalan dirinya untuk mengontrol penggunaan kembali narkoba akan
mengalami perasaan bersalah dan emosinegatif yang mengarahkan peningkatan
penggunaan narkoba untuk menghilangkan rasa bersalah dan emosi negatif.

Universitas Sumatera Utara

Seseorang yang mengatributkan lapse sebagai sebuah kegagalan menyeluruh dan
faktor internal di luar kendali (saya tidak akan pernah mungkin bisa berhenti
menggunakan narkoba) akan cenderung relapse dibandingkan dengan yang
mengatribusikan lapse sebagai kegagalan dalam melakukan coping yang efektif
pada situasi tertentu.
Marlatt dan Gordon mengajukan sebuah bentuk pencegahan relapse yang
didasarkan pada cognitive-behavioral model of relapse. Pada cognitive-behavioral
model of relapse dijelaskan terkait berbagai fase dan hal yang memicu
kecenderungan individu untuk mengalami relapse. Penjelasan lebih lengkap
terkait cognitive-behavioral model of relapsedapat dilihat pada Gambar 1.
High-risk situation
Ineffective coping response

Effective coping response

Decreased self-efficacy and
positive outcome
expectancies for effect of
alcohol/drug

Increase self-efficacy

Lapse (initial use of
alcohol/drugs)

Abstinent violation effect and
perceived positive effect of
alcohol/drugs
Decreased probability of
relapse

Increased probability of
relapse

Bagan 2.1
Cognitive-Behavioral Model of Relapse (Larmier, dkk, 1999)

Universitas Sumatera Utara

High-risk situation adalah fase pertama yang pasti dihadapi pecandu
narkoba yang telah menjalani proses rehabilitasi dan berada pada fase berhenti
menggunakan narkoba. Coping response terhadap high-risk situation kemudian
sangat menentukan kemungkinan akan terjadinya lapse. Pada pecandu narkoba
yang memiliki coping response tidak baik dan pandangan postif terhadap efek dari
penggunaan narkoba akan memiliki kecenderungan mengalami relapse yang
diawali dengan lapse (penggunaan kembali untuk pertama kalinya). Lapse akan
menghasilkan rasa bersalah dan perasaan gagal dalam mempertahankan
perubahan perilaku hasil rehabilitasi (abstinence violation effect). Abstinence
violation effectyang didukung dengan positive outcome expectancies atau
pandangan postif tentang manfaat yang didapatkan dari penggunaan narkoba akan
mengarahkan pecandu narkoba menuju peningkatan kecenderungan relapse yang
dapat berujung pada relapse.
2.6.2 Proses Terjadinya Relapse
Goski dan Miller (dalam Nasution, Zulkarnain, 2014) mengidentifikasi ada
10 tahap dalam proses terjadinya relapse, yaitu :
1. Proses pertama : Melakukan penolakan kembali
Mantan pecandu narkoba akan memberikan penolakan terhadap perasaan
yang mereka miliki atau keberadaan mereka sendiri dan mulai merasa bahwa ia
mungkin tidak memerlukan proses penyembuhan atau pemulihan bahkan proses
resosialisasinya semua berjalan dengan baik.
2. Proses kedua : Perilaku menghindari dan defensif
Dalam proses ini mantan pecandu narkoba :

Universitas Sumatera Utara

a. Mulai mangkir atau malas untuk menghadiri pertemuan untuk penyembuhan.
b. Timbul keyakinan bahw program penyembuhan sebenarnya tidak diperlukan
bahkan percuma karena membuang waktu.
c. Kambuh kembali perilaku dan kebiasaan lama, seperti baru masuk proses
penyembuhan.
3. Proses ketiga : Membangun dan mengembangkan terjadinya krisis
a. Mantan pecandu narkoba mulai menutup diri dari pergaulan dengan orang lain.
b. Mengembangkan visi “kacamata kuda” artinya melihat sesuatu hanya dari
sebagian kecil aspek, tidak dalam gambaran utuh dan cenderung subyektif.
c. Ilusi bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik dan normal, padahal dalam
kenyataan tidaklah demikian.
d. Mulai membuat rencana kehidupan dan keinginan hanya berdasarkan anganangan dan hayalan, jauh dari pemikiran dan pertimbangan yang realistik.
4. Proses keempat : Immobilisasi (tidak bergerak dari kehidupannya sekarang).
Hal ini dapat dikenali dengan tanda-tanda sebagai berikut :
a. Angan-angan

dan

khayalan

semakin

meningkat.

Terkadang

sering

menggunakan ungkapan “seandainya saja” dalam setiap percakapannya.
b. Berkhayal tentang hidup yang bahagia, tanpa mampu mengidentifikasi apa
yang dapat dan harus dilakukannya agar hidup bahagia.
5. Proses kelima : Bingung dan reaksi berlebihan
a. Cepat tersinggung.
b. Mudah sensiftif dan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap hal-hal kecil
atau sepele.
c. Mudah marah dan frustasi.

Universitas Sumatera Utara

6. Proses Keenam : Depresi
a. Intensitas depresi meningkat dengan kemauan dan berfikir untuk memakai
kembali korban bahkan ingin bunuh diri.
b. Mulai tidak mampu melaksanakan aktifitas secara normal seperti biasanya.
c. Pola makan dan tidur mulai tidak teratur.
7. Proses ketujuh : Perilaku lepas kendali
a. Mulai mengembangkan sikap masa bodoh, tidak peduli atau cuek.
b. Cepat menjadi panik.
c. Tidak puas dengan segala hal.
8. Proses kedelapan : Mengakui bahwa perilakunya lepas kendali
a. Merasa menyesal dan menyatakan permohonan maaf atas kesalahannya kepada
orang lain.
b. Sering menunjukkan perilaku “memelas”, minta belas kasihan untuk
mendapatkan simpati dari anggota keluarga dan teman-temannya.
c. Merasa dapat memakai kembali narkoba pada situasi atau kebiasaan sosial,
tanpa merasa bahwa ia tengah memiliki masalah yang banyak.
9. Proses kesembilan : Opsi atau pilihan mengurangi narkoba
a. Meyakini bahwa tidak ada bantuan atau pertolongan bagi ia yang
menggunakan narkoba.
b. Merasa kesepian, frustasi, dan marah.
c. Makin sulit mengendalikan emosi, pikiran dan perasaannya.
10. Proses kesepuluh : Mengalami relapse yang akut
a. Semakin merasa malu dan merasa bersalah.
b. Berupaya menghindari kenyataan bahwa ia telah relapse.

Universitas Sumatera Utara

c. Dalam waktu singkat dan cepat kembali kecanduan menggunakan narkoba
dalam ukuran dan tingkat yang sama pada saat sebelum pemulihan.
2.6.3 Akibat-akibat Relapse
Menurut Nasution (2014) ada empat hal yang terjadi akibat relapse, yakni :
1. Harapan yang telah dibangun selama masa rehabilitasi tuntuk berantakan.
Dengan kembali menggunakan narkoba, maka segala upaya yang telah
dilakukan selama ini hancur berantakan dalam waktu seketika. Karena sekali saja
kembali menggunakan narkoba, maka mantan pecandu narkoba akan kembali ke
titik awal
2. Menimbulkan pertengkaran dalam keluarga.
Mantan pecandu yang relapse bisa memicu pertengkaran dalam keluarga.
Keluarga akan saling menyalahkan atas peristiwa tersebut.
3. Pecandu narkoba yang relapse diusir dari rumah.
Karena dianggap telah menyia-nyiakan usaha yang telah dibina keluarga,
kemungkinan mantan pecandu narkoba yang relapse akan diusir dari rumah.
4. Memakai narkoba dengan jumlah banyak sebagai balas dendam akan rasa
rindunya menggunakan narkoba.
Hal ini tentu sangat berbahaya , karena bisa menimbulkan :
a. OD (Over Dosis)
b. Lumpuh, koma bahkan kematian
c. Kemungkinan kerusakan saraf pusat, sehingga terjadi perubahan emosi,
perilaku, pikiran, kesadaran atau depresi panca indera.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Pemikiran
Dewasa ini, terjadi banyak kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Hal tersebut di dukung oleh data yang telah dipaparkan pada latar belakang
penelitian ini. Diantara banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba tersebut, telah
ada penanganan dari pemerintah maupun swasta dalam rangka pemberantasan,
maupun penanganan terhadap para pecandu narkoba. Ada yang di penjara, ada
pula yang berujung pada sakit kejiwaan sehingga dirawat dan ditangani di rumah
sakit jiwa, dan ada pula yang masih dapat dipulihkan di dalam pusat atau panti
rehabilitasi.
Usaha penanganan terhadap pecandu narkoba melalui proses rehabilitasi
salah satu upaya yang dilakukan secara represif , namun tetap berprinsip pada
nilai-nilai kemanusiaan. Dimana para pecandu narkoba yang notabene adalah
korban dari narkoba itu sendiri dipulihkan dari ketergantungannya melalui
berbagai macam metode dan program.Berdasarkan jenis pengelolaan dan
kepemilikannya, ada dua jenis panti rehabilitasi, yakni panti rehabilitasi yang
dimiliki dan dikelola oleh pemerintah (Government Organization) atau yang
dikelola dan dimiliki oleh swasta (Non Government Organization).
Pasca dilakukannya program rehabilitasi, para mantan pecandu narkoba
yang telah pulih dipulangkan kembali kepada keluarga dan berbaur kembali
dengan masyarakat. Situasi awal kembalinya mantan pecandu narkoba yang telah
pulih ke masyarakat, masih dalam situasi yang rawan atau beresiko tinggi untuk
terpengaruh lagi (suggest) untuk menggunakan narkoba (High-risk situation). Jika
mantan pecandu memiliki coping response yang baik, maka ia akan dapat

Universitas Sumatera Utara

melawan suggesti kecanduan narkoba yang masih dirasakannya pada masa-masa
rentan (High-risk situation). Namun bila mantan pecandu tidak memiliki coping
response yang baik, maka ia akan mengalami lapse dan kemungkinan besar
mengalami relapse.
Mantan pecandu yang mengalami relapse akan kembali pada titik awal
dimana ia menjadi pecandu narkoba sebelum melakukan usaha pemulihan atau
mengikuti program rehabilitasi. Maka dari itu, ketika mantan pecandu kembali
menggunakan narkoba, maka penanganan dilakukan untuk menindaklanjuti hal
tersebut adalah kembali melakukan pemulihan atau rehabilitasi. Tentu saja, hal
tersebut memerlukan kesadaran dari pecandu yang relapse untuk melakukan
pemulihan terhadap dirinya sendiri, dan tentu harus mendapat dukungan dari
keluarga dan masyarakat sekitar lingkungannya berada.
Pada umumnya tempat-tempat rehabilitasi narkoba melakukan penanganan
terhadap pecandu relapse dengan metode yang sama dengan pecandu pemulihan
lainnya di tempat rehabilitasi, karena dianggap pecandu narkoba relapse telah
kembali ke titik awal. Namun ada beberapa tempat rehabilitasi yang
memerhatikan beberapa aspek pecandu relapse dan membuat penanganan khusus.
Seperti yang kita ketahui , bahwa pecandu narkoba akan sulit untuk pulih
dari suggesti kecanduannya terhadap narkoba. Seperti yang ditunjukkan oleh data
bahwa rata-rata 80-90 % pecandu narkoba setelah melakukan pemulihan , kembali
menggunakan narkoba secara rutin relapse. Walaupun tempat-tempat rehabilitasi
sudah mulai memerhatikan aspek relapse dan beberapa telah mengkhususkan
penanganannya , namun masih saja angka relapse sangat tinggi. Maka, diperlukan

Universitas Sumatera Utara

suatu analisis terhadap fenomena tersebut, dan dicari pemecahan masalahnya,
dimulai dari menganalisis pecandu narkoba relapse, hingga program lembaga
rehabilitasi yang selama ini dirasa belum efektif menekan angka relapse.Dalam
hal penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti penanganan sosial terhadap
penyalahguna relapse narkoba di lembaga milik swasta dan lembaga milik
pemerintah agar hasilnya juga dapat dijadikan komparasi diantara keduanya dalam
melakukan penanganan sosial terhadap penyalahguna relapse narkoba. Dari hasil
analisa tersebut, akan diarahkan pada pembentukan model penanganan sosial yang
efektif terhadap pecandu narkoba relapse.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat dalam skema yang
menggambarkan sebagai kerangk

Dokumen yang terkait

Gambaran Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Pada Pecandu Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara Tahun 2014

5 61 114

Implementasi Teknologi Pelayanan Sosial bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan

0 43 248

Peran Pekerja Sosial dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra (Pspp) “Galih Pakuan Bogor

17 112 140

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

8 116 152

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 16

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 2 2

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 9

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih Chapter III VI

0 2 78

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 1 2

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 8