Implementasi Teknologi Pelayanan Sosial bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan

(1)

SOSIAL PAMARDI PUTRA INSYAF MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(2)

SYAFNITA HANURA SILALAHI

057024024/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PELAYANAN SOSIAL BAGI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA INSYAF MEDAN

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: : :

Syafnita 057024024

Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing


(4)

(Prof. Dr. Suwardi Lubis, MA) Ketua

Ketua Program Studi,

(Drs. Subhilhar, MA, Ph.D)

(Agus Suriadi,S.Sos. M.Si) Anggota

Direktur,


(5)

Tanggal Lulus : 28 Juni 2007

PERNYATAAN

IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PELAYANAN SOSIAL BAGI

KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI PANTI SOSIAL


(6)

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.


(7)

(SYAFNITA )

IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PELAYANAN SOSIAL

BAGI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI PANTI

SOSIAL PAMARDI PUTRA INSYAF MEDAN


(8)

Oleh

SYAFNITA HANURA SILALAHI

057024024/SP


(9)

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007

Telah diuji pada Tanggal 16 Juni 2007


(10)

(11)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS Anggota : 1. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

2. Drs. Kariono, M.Si 3. Drs. Sudirman, MSP 4. Drs. Subhilhar, MA, Ph.D

ABSTRAK

Organisasi sosial yang menangani korban-korban narkoba saat ini cukup banyak, baik organisasi sosial milik pemerintah maupun swasta. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah Panti. Teknologi pelayanan sosial merupakan salah satu kegiatan panti yang berbasis masyarakat, pelayanan sosial yang berbasis panti dan juga individual. Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan merupakan sebuah organisasi sosial yang bergerak dalam memberikan pelayanan bagi korban penyalahgunaan narkoba. Umumnya panti-panti yang berdiri masih mengikuti pelayanan sosial yang konvensional dibanding panti yang menerapkan teknologi


(12)

pelayanan sosial. Teknologi pelayanan yang efektif sangat dibutuhkan karena semakin banyaknya korban penyalahgunaan narkoba.

Penelitian ini bertujuan menganalisis implementasi teknologi pelayanan sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba di Panti Pamardi Putra Insyaf Medan. Pendekatan atau metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknologi pelayanan sosial yang akan diteliti dengan menerapkan indikator-indikator seperti teknologi dan prosedur kerja, kompetensi staf, kompensasi staf dan sumber-sumber organisasi, mekanisme pertanggungjawaban, sarana dan prasarana organisasi. Panti Insyaf memberikan pelayanan sosial sebagai salah satu usaha agar korban-korban mengalami suatu perubahan keberfungsian sosial eks pengguna dan dapat kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Dari hasil analisis menunjukkan karakteristik lembaga yang masih bergantung pada instansi diatasnya masih sangat kuat, ciri yang lain lebih menekankan pada sifat philantropisme ketimbang profesionalisme. Akibatnya adalah perkembangan Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf sebagai lembaga sosial yang berbasis panti belum sepenuhnya menerapkan teknologi pelayanan sosial secara penuh, tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan jangkauan pelayanan lebih luas baik secara kuantitas maupun kualitas sesuai dengan standar pelayanan sosial yang menjadi tuntutan kebutuhan masyarakat sekarang.


(13)

Kata kunci : Teknologi, Pelayanan Sosial.

ABSTRACT

Nowadays, there are a lot of social organizations which handle and treat the victim of drugs abusers either belong to public or the private ones. One of the social service system is rehabilitation center (Panti). The social service technology is one of the activites of the rehablitation center (Panti) which is based on public, the social service of the based on Rehabilitation center (Panti) and also individual. The Social Rehabilitation (Panti) Pamardi Putra Insyaf Medan is one of the social organization which serve th treatment of the drugs abusers. Generally the rehabilitation center (Panti) still apply the social service technology. The effective service teclogy is really necessary because the increasing victim of the drugs abusers.


(14)

This research purpose is to analyze the implementation of social service technology for the victim of drugs abusers in Panti Parmadi Putra Insyaf Medan. The reseach approach or method used the dscrptive and qualitative one. The social service tehnology which was researched used the indicator such as technology and operation procedures, staff competency, the organizational souces, responsibility and accountability mechanism, and the organizational infrastructures. Panti Pamardi putra Insyaf Medan provides social service as one of the efforts to rehabilitate the victim of drugs aburse o normal and funcational social life and in order to be able to back to family, neighborhood and social life.

From the result of the analysis show the characteristics of the institution which still depends very much on the higer structural institution, the other characteristics still stressed on the philantropic rather than professionalism. The result which can be concluded are the development of Panti Social Paarmadi Putra Insyaf Medan as the social institution hasn’t applied the social service technology completely, has no freedom to develop the service range futher either quantity or quality as the standard of social service which is requried by the public nowadays.


(15)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala Rakhmat dan Hidayah-Nya, karena Tesis dengan judul “Implementasi Teknologi Pelayanan Sosial Bagi Korban Penyalahgunaan Narkoba di Panti Pamardi Putra Insyaf Medan” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS dan Bapak Drs. Sudirman, MSP. yang telah membimbing, mengarahkan dan dengan sabar menghadapi kekurangan penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis haturkan buat Tim Pembanding, baik sewaktu kolokium hingga seminar hasil penelitian yang telah banyak memberikan masukan yang konstruktif, Bapak Drs. Kariono, M.Si dan Bapak. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si.


(16)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak, yakni: (1) Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM

& H, SpA (K) atas kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister. (2) Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu. Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B. M.Sc. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister Pada Sekolah Pascasarjana USU.

(3) Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Subhilhar,MA dan sekaligus sebagai Pembantu Rektor II USU yang telah memberikan ijin dan fasilitas yang sangat memungkinkan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi.

(4) Sekretaris Program Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Univeristas Sumatera Utara, Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si yang sejak awal sangat berperan mendorong penulis untuk melanjutkan studi dan selama proses perkuliahan hingga penyelesaian studi.

(5) Seluruh Bapak/Ibu Dosen Pascasarjana Program Studi Pembangunan yang telah banyak memberikan wawasan akademis yang sangat bermanfaat bagi penulis pribadi maupun untuk kepentingan peningkatan kualitas penulis dalam melaksanakan tugas sehari-hari sebagai pegawai di FISIP USU.


(17)

(6) Seluruh staf dan pegawai Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan staf Magister Studi Pembangunan, Mury, Dina, Ibu Nisa, Iwan dan Dadek yang telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan hingga selesai. (7) Seluruh teman-teman mahasiswa angkatan ke tujuh Program Magister Studi

Pembangunan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama perkuliahan, semoga kerjasama yang telah terjalin selama ini dapat berlanjut.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, atas jasa-jasa yang tiada terhingga. Terima kasih penulis sampaikan kepada suami tercinta dan anak-anak yang telah banyak perhatiannya, dorongan dan pengorbanan yang begitu besar buat penulis, sementara selama penulisan ini penulis kurang perhatian pada keluarga dan disengaja atau tidak ada saja yang terabaikan untuk itu dari lubuk hati yang paling dalam mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk suami dan anak-anakku tersayang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada kesempatan ini yang telah memberikan bantuan, baik selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin.


(18)

Penulis,

Syafnita Hanura Silalahi

RIWAYAT HIDUP

Nama : Syafnita Hanura Silalahi Tempat/Tgl. Lahir : Simalungun, 25 Februari 1967

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kenanga Sari Psr. IV No. 17 D Tj Sari. Medan 20155.

Pendidikan

1. SD : Negri : 1975-1981

2. SMP : Dolok Ilir : 1981-1983

3. SMA : Negri Serbelawan : 1983-1986


(19)

5. S1 : STIE Nusa Bangsa : 1990-1992 6. SPs USU : Studi Pembangunan : 2005-2007

Pekerjaan : PNS di FISIP USU

Status : Menikah.

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ……….. vi


(20)

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan masalah ... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 10

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 10

1.4. Kerangka Pemikiran ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1.Teknologi Pelayanan ... 15

2.2. Prosedur Kerja Organisasi ... 18

2.3. Kompetensi Staf ... 20

2.4. Sumber Organisasi ... 22

2.5. Program-Program Pelayanan Kepada Staf... 23

2.6. Sarana dan Prasarana Organisasi ... 26

2.7. Pelayanan Sosial ... 27

2.7.1 Pengertian Pelayanan Sosial ... 27


(21)

2.7.3 Implementasi Teknologi dalam Pelayanan Sosial ... 29

2.8. Isi Standard Pelayanan Sosial ... 40

2.4. Pengertian Narkoba ... 42

2.5. Penyalahgunaan Narkoba ... 44

2.6. Pengertian Panti Sosial ... 48

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

3.1. Defenisi Konsep... 49

3.2. Defenisi Operasional ... 51

3.3. Populasi dan Sampel ... 52

3.3.1 Populasi ... 52

3.3.2 Sampel ... 52

3.4.Teknik Pengumpulan Data... 53

3.5. Lokasi Penelitian... 54

3.6. Analisa Data ... 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1. SejarahBerdirinya Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan... 56

4.2. Personalia dan Struktur Organisasi ... 59

4.3. Teknologi dan Prosedur Kerja ... 66

4.3.1 Pelayanan mulai dari Kegiatan Awal sampai Terminasi ... 66


(22)

4.3.3 Mekanisme Kerja yang Dilakukan antar Pimpinan dengan Staf . 82 4.3.4 Tanggapan Pimpinan Terhadap Prosedur Kerja Yang Dilakukan 83 4.4. Kompetensi Staf dan Sumber Organisasi ... 84

4.4.1 Perencanaan Staf ... 84 4.4.2 Kinerja Staf ... 85 4.4.3 Rasio Jumlah Staf dengan Jumlah Kelayan Dalam Organisasi ... 87 4.4.4 Cara-Cara Yang Ditempuh untuk Meningkatkan Kemampuan

Staf ... 91 4.4.5 Sistem Pengembangan Karir ... 93 4.4.6 Strategi Penggalian, Pemeliharaan Sumber Organisasi dan

Konsistensinya ... 94 4.4.7 Sistem Pengawasan dan Pengendalian Sumber Organisasi ... 111 4.4.8 Pengaruh Sumber dari Lingkungan terhadap Kelancaran Kinerja Organisasi Dalam Memberikan Pelayanan ... 114 4.5. Penghargaan Secara Ekonomi/Kompensasi Staf ... 115 4.5.1 Sistem Kompensasi Yang Diberikan Kepada Staf... 115 4.5.2 Pandangan Staf terhadap Kompensasi Yang Diterima ... 116 4.5.3 Program-Program Pelayanan lain Yang Ditujukan Kepada Staf..117 4.6. Mekanisme Pertanggungjawaban dan Kualitas Sarana dan Prasarana Organisasi ... 119 4.6.1 Yang Perlu Dipertanggungjawabkan oleh Organisasi/Panti... 119 4.6.2. Mekanisme Pertanggungjawaban ... 120


(23)

4.6.3 Sarana dan Prasarana Yang Tersedia ... 121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 134

5.1. Kesimpulan ... 134 5.2. Saran ... 136


(24)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Data Jumlah Klien Dari Tahun 1979 Sampai dengan Tahun 2006 ……. 64 2. Daftar Nama Kelayan Konvensional PSPP “Insyaf” Medan ………….. 88

3. Daftar Nama Peserta Diklat ………. 91


(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Alur dan Pola Rehabilitasi pada PSPP “Insyaf’ Medan ... 14


(26)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu hal yang sejak dulu menjadi permasalahan dalam masyarakat dan membutuhkan perhatian khusus adalah penyalahgunaan narkoba. Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu permasalahan sosial. Masalah ini merupakan masalah yang berkaitan dengan berbagai segi kehidupan, serta berakibat negatif tidak hanya bagi penyandang masalah saja, melainkan juga bagi keluarganya, lingkungan sosialnya, dan dapat membahayakan masa depan bangsa dan negara. Masalah tersebut juga bukan hanya mengakibatkan ketergantungan narkoba secara fisik maupun psikis terhadap pemakainya, namun juga dapat mengakibatkan kehancuran pada perkembangan kepribadian korban yang pada gilirannya nanti akan berlanjut pada perbuatan yang mengarah pada kriminalitas yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat serta mengancam ketertiban, ketentraman,dan keamanan


(27)

masyarakat seperti pelacuran, kenakalan remaja, radikalisme, ekstrisme dengan jalan membunuh, menculik, menyandera dll.

Pada awalnya penggunaan narkoba dan obat-obatan terlarang terbatas pada dunia kedokteran saja namun belakangan terjadi penyimpangan fungsi dan penggunaannya tidak lagi terbatas pada dunia kedokteran (Budiarta, 2000).

Penggunaan berbagai jenis obat dan zat adiktif atau yang biasa disebut narkoba dewasa ini cukup meningkat terutama dikalangan generasi muda. Morfin dan obat-obat sejenis yang semula dipergunakan sebagai obat-obat penawar rasa sakit, sejak lama sudah mulai disalah gunakan. Orang-orang sehatpun tidak sedikit mengkonsumsi obat-obatan ini. Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang diakui banyak kalangan menjadi ancaman yang berbahaya bagi bangsa Indonesia. Peredaran narkotika di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Narkoba dirasakan sangat membawa pengaruh besar terhadap segala sendi kehidupan di dunia. Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza/Narkoba) adalah salah satu permasalahan dunia yang sulit diberantas. Menurut BNN (Ketua Badan Narkotika Nasional) Pusat, Komjen Pol. Drs. Togar Sianipar mengatakan, penderita penyalahgunaan narkoba di dunia saat ini ada lebih kurang 200 juta orang dan 1-2 % diantaranya terdapat di Indonesia dan 50 % dari penyalahgunaan Narkoba itu tergolong generasi muda (Sinar Indonesia Baru, Juni 2003). Jumlah itu akan semakin meningkat, karena diperkirakan jumlah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia telah mencapai 3,3 persen dari total penduduk. Remaja usia 15-31 sebagai bagian dari kalangan pemuda banyak yang menjadi


(28)

korban dari narkoba/ napza ini. Tahun 1999 baru 1.833 kasus, meningkat menjadi 7.140 kasus tahun 2003 atau rata-rata naik 58 persen per tahun. Ini sunguh merupakan sebuah bencana bagi bangsa ini. Dibeberapa kota besar di Indonesia memiliki kecenderungan kasus narkoba di atas rata-rata angka nasional 3,9 persen, yaitu Medan 6,4 persen, Surabaya 6,3 persen, Maluku Utara 5,9 persen, Padang 5,5 persen, Bandung 5,1 persen, Banjarmasin 4,8 persen, dan Yogyakarta 4,1 persen. Selain itu Jakarta barat dan Sumatera Utara akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan mencolok (Sripo, 22 Juni 2006). Menurut Sugi Pramono bahwa jumlah siswa pengguna narkoba saat ini di Sumut sudah sangat mengkhawatirkan, tercatat jumlah korban narkoba pada tahun 2001: 233 orang berusia 15-20 tahun, 329 orang usia 21-25 tahun, 234 orang usia 26-30 tahun ke atas. Sejumlah 62 persennya adalah pelajar, mahasiswa dan pemuda (Kompas, 11 Agustus 2006).

Banyak cara dilakukan untuk menanggulangi masalah ini baik secara preventif maupun represif. Menurut Budiarta (2000), upaya preventif merupakan pecegahan yang dilakukan agar seseorang jangan sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkoba. Sedangkan upaya represif artinya usaha penanggulangan dan pemulihan pengguna narkoba yang mengalami ketergantungan. Budiarta menambahkan bahwa usaha-usaha represif dapat dilakukan dengan mendirikan panti-panti rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO). Didalam RSKO atau panti rehabilitasi itulah nantinya dilaksanakan program-program pemulihan bagi pengguna narkoba.


(29)

Menurut Wresniwiro (2000), rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan obat terlarang, sehingga diharapkan para korban dapat kembali kedalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja serta belajar dengan layak. Didalam proses pemulihan, disamping faktor-faktor dari luar seperti mengikuti program-program pemulihan dipanti rehabilitasi, ada faktor lain yang tampaknya juga penting, yaitu faktor dari dalam.

Salah satu faktor yang berasal dari dalam adalah adanya keinginan individu untuk berhenti menggunakan narkoba serta memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu melepaskan diri dari pengaruh narkoba tersebut. Perhatian pemerintah dan institusi lain cukup tinggi terhadap upaya rehabilitasi korban narkoba, untuk penanggulangan peredaran dan penggunaan narkoba, antara lain yang dilakukan pemerintah untuk memberantas peredaran obat-obat terlarang ini adalah membuat Undang-Undang tentang Narkoba. Pembuatan Undang-undang ini merupakan salah satu upaya mengatasi peredaran dan pengkonsumsian narkoba. Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika jelas menguraikan hukuman/sanksi bagi para pengedar dan pengguna. Tapi tampaknya Undang-Undang itu tak mampu memerangi kasus-kasus peredaran dan pemakaian Narkoba tersebut. Sarana untuk melengkapi perang anti narkoba terus dibangun. Selain banyaknya panti-panti rehabilitasi yang didirikan oleh masyarakat dan LSM, pemerintah kita telah mendirikan pusat panti rehabilitasi sosial yang langsung di bawah naungan dari Depsos R.I., satu di kota Bogor dan satunya lagi di kota Medan.


(30)

Pada Rapat Koordinasi Berkala Badan Narkotika Nasional (BNN) di Jakarta, menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, jumlah lembaga rehabilitasi sosial milik pemerintah dan swasta untuk menampung korban narkoba saat ini hanya 70 buah di seluruh Indonesia. Ke-70 lembaga rehabilitasi korban narkoba itu hanya mampu menampung sekitar 3.500 korban narkoba. Padahal menurut Menteri Sosial, jumlah korban narkoba di Indonesia mencapai dua juta orang, sisanya berobat secara mandiri di rumah sakit, karena itu perlu penambahan jumlah lembaga rehabilitasi sosial bagi korban narkoba (BNN, 2 Oktober 2003). Program Rehabilitasi dimaksud merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar (Dirjen Pelayanan dan Rehsos Depsos RI; 2002: 2)

Hingga saat ini kajian tentang penerapan atau implementasi teknologi pelayanan sosial masih sangat terbatas, padahal telah banyak organisasi-organisasi pelayanan sosial yang harus menerapkan teknologi pelayanan sosial. Di bidang pelayanan sosial telah terjadi perubahan paradigma pelayanan sosial dari konvesional yang cenderung masih bersifat philantropis ke arah pemberian pelayanan sosial yang lebih profesional, yaitu memanfaatkan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang teknologi pelayanan sosial. Banyak panti yang berdiri tanpa


(31)

memikirkan kualitas dari pelayanan sosial yang diterapkan kepada warga binaannya. Pelayanan panti sosial di Indonesia masih konvensional dalam arti pelayanan yang diberikan masih bersifat “rutin”dan belum dapat disesuaikan dengan tuntutan kekinian (Suhartono;2005:1). Secara teoritis pola pelayanan yang berkembang saat ini diduga memiliki kemampuan terapi yang lebih baik dibanding pola pelayanan sosial secara konvensional (pola lama yang sudah diterapkan).

Artinya adalah panti-panti/ lembaga-lembaga pelayanan harus segera mengantisipasi perkembangan teknologi pelayanan sosial. Sebab jika tidak institusi tersebut akan gagal mengatasi/ memenuhi kebutuhan masyarakat (meningkatnya kasus-kasus korban-korban penyalahgunaan narkoba). Persoalannya saat ini adalah minimnya informasi yang dapat dirujuk untuk mengetahui pola pelayanan yang dilakukan oleh panti-panti pelayanan sejenis, padahal informasi ini sangat penting. Sehingga sering timbul berbagai masalah karena kurangnya penataan dan perbaikan teknologi pelayanan sosial tersebut. Teknologi pelayanan sosial yang efektif sangat dibutuhkan mengingat semakin banyaknya korban-korban narkoba di Indonesia. Teknologi pelayanan sosial merupakan suatu kegiatan panti yang sangat menentukan berhasil tidaknya program panti sosial tersebut. Teknologi pelayanan sosial yang diterapkan dalam setiap panti sosial pastilah berbeda-beda sekalipun panti tersebut sama-sama menangani bidang masalah korban penyalahgunaan narkoba.Tapi yang pasti pada umumnya panti yang bergerak dalam menangani korban-korban Napza basis teknologi pelayanannya hampir semua sama. Adapun teknologi pelayanan


(32)

sosial itu antara lain adalah : teknologi pelayanan sosial yang berbasis masyarakat, pelayanan sosial yang berbasis panti dan pelayanan sosial yang berbasis individual.

Panti sosial yang menerapkan konsep “teknologi pelayanan sosial” dapat berpotensi menjadi sebuah panti yang berkualitas. Mengapa ? karena pembenahan dan penataan akan lebih jelas. Apa yang ditata, siapa yang menata, bagaimana menatanya, semuanya itu dijelaskan dalam konsep “Teknologi Pelayanan Sosial”. Tapi ironisnya banyak panti sosial di Indonesia ini yang belum mampu menerapkan “Teknologi Pelayanan Sosial” tesebut. Sehingga pola pelayanan sosial yang diberikan kurang memberikan hasil yang maksimal. Organisasi sosial/panti sosial yang tidak menerapkan konsep-konsep teknologi pelayanan sosial berimplikasi akan banyak masalah-masalah yang akan muncul dalam panti tersebut. Tentu dari Implikasi negatif tersebut yang menjadi korbannya adalah warga binaannya (kelayan). Kesejahteraan warga binaan pastilah tidak akan terwujud.

Salah satu contoh masalah yang akan timbul dalam panti sosial tersebut adalah tidak puasnya Warga Binaan/ Kelayan atau Resident. Dengan tidakpuasnya para Warga Binaan tersebut, tentu mereka akan merasa tidak betah (jenuh) tinggal dipanti. Apalagi dengan aturan panti yang menuntut disiplin dan pengawasan yang ketat. Jika pihak panti tidak serius dalam menganggapi respon dari warga binaannya itu maka masalah yang muncul akan semakin parah. Warga binaan bisa berontak atau melawan kepada pekerja sosial/ pembina karena merasa tidak mampu menerima pelayanannya. Yang paling disayangkan mereka bisa nekad lari dari panti. Selain masalah itu masih ada lagi masalah-masalah lain yang sering dihadapi panti, terutama


(33)

panti sosial yang menerapkan pola pelayanan sosial yang berbasis panti yaitu pemberian bimbingan keagamaan terhadap korban pecandu narkoba (resident)/Kelayan1. Pemberian bimbingan yang sifatnya spritual ini diberikan kepada resident yang kondisi kejiwaannya belum stabil/normal tentu itu merupakan sesuatu hal yang sangat bertentangan. Sehingga banyak Resident yang tidak betah untuk tinggal dipanti. Karena seharusnya bimbingan itu dilakukan pada saat resident/kelayan sudah stabil fisik, mental psikologis dan sosialnya dan pemberian bimbingan keagamaan itupun dilakukan secara perlahan atau bertahap agar para kelayan yang menerima pelayanan tidak terkejut batin.

Di kota Medan Panti yang langsung di bawah naungan Departemen Sosial R I adalah Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Medan yang didirikan tahun 1976. PSPP “Insyaf” Medan ini bergerak dalam memberikan pelayanan terhadap korban penyalahgunaan Narkoba/Napza. Memang panti ini hanya menampung remaja laki-laki usia 17-24 tahun. Tapi dianggap cukup berperan dalam pemulihan korban- korban penyalahgunaan narkoba khususnya di Sumatera Utara. Tidak jauh berbeda dengan panti-panti sosial lain, panti PSPP “Insyaf” sendiri juga punya masalah dalam panti. Kegiatan-kegiatan di panti ini memang sudah dirumuskan cukup bagus. Hal itu tercermin dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dipanti seperti bimbingan fisik, bimbingan mental psikologis, bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan. Namun di panti yang menerapkan pola

1


(34)

pelayanan sosial yang berbasis panti ini masalah seperti contoh-contoh kasus yang diceritakan di atas sangat rentan terjadi.

Panti “Insyaf” yang mempunyai dua kelas antara lain kelas Rehabilitasi Terpadu/Detox dan kelas Konvensional. Kelas Rehabilitasi Terpadu adalah kelas bagi korban penyalahgunaan napza yang dalam kategori pecandu (orang-orang pengguna berat). Istilah bagi orang – orang yang berada di kelas Rehabilitasi Terpadu itu disebut Resident. dan kelas Konvensional adalah kelas orang-orang penyalahgunaan napza yang dalam kategori ringan (Eks pengguna). Dari hasil informasi yang penulis dapatkan bahwa PSPP “Insyaf” Medan sendiri punya masalah yang sama dengan contoh kasus yang telah diceritakan di atas. Yang antara lain adanya beberapa orang Warga binaan/ Resident yang lari dari panti. Hal itu sudah beberapa kali terjadi. Namun penulis menduga hal ini terjadi ada hubungannya dengan pelayanan sosial yang diterapkan di panti. Penulis belum bisa memastikan apakah masalah ini terjadi karena penerapan teknologi pelayanan sosial yang kurang bagus atau tidak. Hal inilah yang melatar belakangi penulis sangat tertarik mengangkat masalah pelayanan sosial ini.

Hal-hal pokok yang menjadi alasan penulis mengangkat judul ini adalah sebagai berikut:

1. Ketidakjelasan pola/teknologi pelayanan sosial dalam sebuah panti dapat menimbulkan berbagai macam masalah. Semua panti tidak akan pernah luput dari masalah dan semua panti rawan akan masalah besar apabila teknologi


(35)

pelayanannya tidak ditata dengan baik. Di PSPP “Insyaf” tampak rentan timbulnya masalah itu dan sangat potensial akan timbulnya masalah-masalah lain.

2. Gambaran pelayanan sosial yang diterapkan pada korban penyalahgunaan Narkoba (Warga Binaan) di PSPP “Insyaf” belum jelas menunjukkan bahwa panti itu telah menerapkan teknologi pelayanan sosial atau masih menerapkan pelayanan sosial konvensional.

1. 2 Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah implementasi teknologi pelayanan sosial bagi korban penyalahgunaan Narkoba di PSPP “Insyaf” Medan ?”.

1. 3. Tujuan dan manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

Secara khusus untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelayanan sosial yang diterapkan, apakah telah menerapkan Teknologi Pelayanan Sosial ataukah masih menerapkan pelayanan sosial konvensional (pola yang lama) bagi korban penyalahgunaan narkoba di PSPP “Insyaf” Medan.


(36)

1.3.2. Manfaat Penelitian

Kajian tentang pelayanan sosial di Indonesia telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar kajian tersebut masih terbatas pada persoalan efektifitas pelayanan sosial, hambatan pelayanan sosial dan peluang peningkatan pelayanan sosial yang berdasarkan persfektif pelayanan sosial yang konvensional.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

a. Secara teoritis, dan metodologis yaitu untuk mengisi kekosongan yang didasarkan pada perspektif teknologi pelayanan sosial, spesifiknya tentang pelayanan sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba.

b. Secara pragmatis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi upaya perbaikan metode maupun prosedur teknis pelayanan sosial yang berbasis pada teknologi pelayanan sosial.

1.4. Kerangka Pemikiran

Salah satu sistem pelayanan sosial adalah Panti. Seperti halnya Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Medan merupakan sebuah organisasi sosial yang bergerak dalam memberikan pelayanan terhadap korban-koban narkoba. Suatu panti tentu implementasi pelayanan yang diterapkan adalah pelayanan sosial yang berbasis panti juga. sama halnya dengan Panti “Insyaf” pelayanan sosial yang berbasis panti menjadi sebuah konsep yang dijalankan selama ini. Di dalam Panti “Insyaf” ini terdapat berbagai sumber-sumber sebagai kebutuhan elemen-elemen yang hidup di


(37)

dalam panti tersebut. Sumber-sumber itu digunakan sesuai dengan manfaat dan fungsinya. Adapun sumber-sumber yang dimiliki Panti “Insyaf” sebagai sebuah lembaga pelayanan adalah Sumber Daya Manusia , Dana sumber material, sarana dan Prasarana. Pekerja Sosial merupakan salah satu elemen Panti yang bertugas langsung melakukan upaya/usaha dalam memberikan pelayanan sosial terhadap orang-orang yang menjadi korban di dalam panti.

Pelayanan sosial merupakan salah satu program dari panti “Insyaf” yang dirumuskan dan dilaksanakan di dalam panti. Pola pelayanan sosial yang berbasis panti ini sangat mempengaruhi terhadap normal tidaknya perputaran roda organisasi di panti. Seperti halnya dipanti Insyaf pelayanan sosial diisi dengan berbagai kegiatan dibarengi dengan pembinaan dan bimbingan yang sifatnya menghibur. Semua itu dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sudah disusun sedemikian rupa. Pelayanan sosial itu diberikan kepada para korban penyalahgunaan narkoba. Di PSPP “Insyaf”, korban-korban penyalahgunana narkoba itu dikelompokkan menjadi dua kelas yaitu kelas Rehabilitasi Terpadu yang merupakan kelas korban pengguna berat. Kelayan dalam kelas Rehabilitasi Terpadu ini sering disebut dengan istilah Resident. Dan yang satu lagi adalah kelas Konvensional yang didalamnya adalah korban-korban eks pengguna.

PSPP “Insyaf” Medan memberikan pelayanan sosial sebagai salah satu usaha agar korban-korban mengalami suatu perubahan. Korban penyalahgunaan narkoba sebagai penerima pelayanan akan merasa nyaman jika pelayanan sosial yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan harapannya. Namun belum semua panti


(38)

mampu menerapkan itu. Sehingga banyak korban penyalahgunaan narkoba itu tidak betah hidup atau tinggal di dalam panti sosial tersebut. Wajar mereka merasa bosan, tertekan/ takut dan kecewa melihat pelayanan yang tidak sesuai itu. Hidup dipanti yang peraturannya ketat dan kegiatan yang padat perlu diseimbangkan dengan bimbingan psikologis yang bisa membuat resident/ korban penyalahgunaan narkoba itu semakin tertarik dan nyaman hidup/ tinggal di panti.

Korban/ resident yang dulunya mungkin malas, emosional, bebas dan semrawutan (tidak disiplin) dituntut untuk hidup terkontrol dan mampu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan di panti tersebut. Melaksanakan pelayanan sosial yang baik sangat membutuhkan petugas/ pengelola panti yang professional. Punya pengalaman dan mampu menerapkan skill teknik/ metode pelayanan sosial akan mudah mengatur dan melakukan perubahan terhadap perkembangan mental/kejiwaan, fisik dan sosial si klien/ korban penyalahgunaan narkoba. Pelayanan sosial yang ideal tentu disesuaikan dengan standar pelayanan. Penerapan teknologi pelayanan sosial merupakan salah satu wujud pelayanan sosial yang ideal, karena dalam penerapan tersebut sudah ada bentuk-bentuk penataan/ pembenahan SDM, sarana dan prasarana, prosedur kerja, kompetensi staf dan kompensasi ekonomi. Dengan terbentuknya fisik, mental psikologis dan sosial maka akan mempermudah dan mempercepat si korban bisa kembali pulih. Pulihnya si korban berarti keberfungsian sosialnya sudah kembali stabil. Hal itu juga sebagai pendukung si korban untuk diterima di keluarga dan di lingkungan masyarakat.


(39)

BAGAN KERANGKA ALUR PIKIR

PANTI SOSIAL


(40)

TEKNOLOGI PELAYANAN SOSIAL DITERAPKAN DENGAN :

• Teknologi dan Prosedur Kerja • Kompetensi Staf

• Kompensasi Staf dan Sumber Organisasi • Mekanisme Pertanggungjawaban

• Sarana dan Prasarana Organissai

KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

HASIL YANG DICAPAI :


(41)

Gambar 1. Kerangka Alur Pikir

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Pelayanan

Dalam melakukan intervensi sosial, dikenal adanya variabel teknologi yang sangat berperan. Variabel ini mengacu pada strategi dan teknik yang akan digunakan oleh staf organisasi dalam memberikan pelayanan kepada klien. Dengan pemilihan teknologi yang tepat, maka diharapkan akan memberikan hasil yang maksimal sesuai dengan target dan sasaran yang dihadapi. Demikian pula dengan prosedur kerja yang jelas, terarah dan sistematis, akan mengendalikan berbagai kegiatan sehingga terkoordinasi secara integral dan komprehensif dalam seluruh kegiatan organisasi.

Teknologi dalam pembahasan ini merujuk pada Hasenfeld (1974:279) yang mengatakan bahwa teknologi merupakan serangkaian prosedur sistematis yang dipergunakan organisasi guna mengupayakan perubahan yang telah ditentukan pada raw inputnya, ataupun memindahkan "raw input" tersebut dari suatu kondisi ke kondisi lainnya yang diinginkan.Kemudian juga dikatakan bahwa teknologi dalam organisasi pelayanan manusia berisi serangkaian prosedur yang terinstitusionalisasi,


(42)

dimana prosedur tersebut disahkan dan diiringi sanksi-sanksi tertentu dari organisasi. Dalam membahas teknologi, para ahli senantiasa memperhatikan dua masalah yang sama (Steers, 1985:83), yaitu Pertama adanya persetujuan umum bahwa dimensi teknologi memperlihatkan proses mekanis atau intelektual, lewat mana organisasi mengolah masukan atau bahan baku menjadi keluaran dalam mengejar tujuan-tujuan organisasi. Disini peranan teknologi akan memusatkan perhatian pada "siapa mengerjakan, apa dengan siapa, bilamana, dimana dan berapa kali". Kesimpulannya bahwa teknologi berkenaan dengan proses transformasi dalam organisasi dimana energi mekanis dan intelektual dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi, pemanfaatan sumber-sumber yang langka. Kedua pembahasan teknologi yang beraneka ragam disebabkan oleh fokus analisisnya. Sebagian peneliti berfokus pada tingkatan organisasi, sedangkan yang lain memandang teknologi pada tingkat masing-masing pekerjaan. Misalnya Woodward dalam Steers (1985:84) mengklasifikasikan beberapa organisasi yang ditelitinya kedalam teknologi dengan sistem partai kecil, produksi massa atau proses berkesinambungan dan kemudian mempelajari perbedaan dalam variasi struktur diantara organisasi-organisasi tersebut.

Dari pandangan tersebut diatas, maka tampak bilamana fokus penelitian diarahkan pada sistem keseluruhan teknologi produksi secara umum yang dipakai oleh organisasi, maka studi tersebut mengarah pada studi organisasi. Tetapi bilamana tingkat studi individual biasanya hanya memperhatikan teknologi kerja. Pengelompokkan teknologi sangat beraneka ragam, seperti yang dikemukakan oleh


(43)

Thompson dan Hickson. Thompson (Steers, 1985:85) mengelompokkan teknologi dalam tiga kategori, yaitu :

a. Teknologi berantai/rangkaian panjang, dengan ciri adanya saling keterkaitan serial dari jumlah operasi atau departemen yang berbeda. Konkritnya sama dengan teknologi "produksi massa", dimana bermacam-macam bagian "ditambahkan" pada produk, sementara produk ini bergerak sepanjang proses produksi.

b. Teknologi berperantara, yang ditandai dengan adanya hubungan antar unit atau elemen suatu sistem yang sebenarnya mandiri melalui penggunaaan prosedur operasi standar.

c. Teknologi intensif, ditandai oleh keunikan dari urutan dan tugas. Disini pemilihan teknik dan cara penggunaannya untuk mengubah suatu objek berbeda-beda dan terutama ditentukan oleh umpan balik dari objek itu sendiri. Organisasi yang memakai teknologi intensif ini sebahagian besar adalah organisasi yang "raw materi" nya adalah manusia, termasuk oraganisasi sosial.

Khusus dalam organisasi pelayanan manusia, dalam menerapkan teknologinya sangat bervariasi, akan tetapi secara umum menurut Hassenfeld (1983:113-114) tahap-tahap yang dilalui organisasi pelayanan manusia dalam melaksanakan pemprosesan 'raw input' nya adalah sebagai berikut :


(44)

a. Rekruitmen dan seleksi. Dalam tahap awal ini ditandai dengan poenerimaan dan penentuan klien yang dipandang memenuhi syarat untuk mendapatkan pelayanan dalam organisasi. Intinya adalah apakah klien layak untuk diterima atau harus dirujuk pada lembaga lain.

b. Asessment dan klasifikasi, merupakan tahap yang terdiri dari serangkaian prosedur untuk mengevaluasi karakteristik klien, selanjutnya diklasifikasikan guna diberikan "label" ini akan mengarahkan sfat dari proses transformasi yang akan dilaksanakan organisasi.

c. Transformasi status. Tahap ini mencakup berbagai teknik yang dirancang untuk mnengadakan perubahan yang diinginkan, baik yang menyangkut fisik, psikis, status sosial ataupun budaya klien. Teknik-teknik ini merupakan keutamaan dari teknologi organisasi , karena bertanggung jawab terhadap hasil pelayanan yang diberikan.

d. Terminasi dan sertifikasi. Tahap ini merupakan tahap akhir , dimana klien diberikan status keluar dari organisasi, sekaligus merekomendasi pada publik atas status yang telah dicapai oleh klien.

Setiap tahap dari teknologi pelayanan kemanusiaan memerlukan penilaian moral dan evaluasi sebagai keputusan mengenai penentuan nasib klien. Oleh sebab itu, klien memperoleh suatu “peningkatan moral” setelah mereka keluar dari organisasi (Goffman, 1967).


(45)

2.2. Prosedur Kerja Organisasi

Prosedur kerja organisasi mengacu pada bagan organisasi berupa kesatuan dari keseluruhan segmen organisasi yang menunjukkan harus melapor kepada siapa dan bagaimana pembagian dan pengintegrasikan tugas-tugas organisasi yang

dilaksanakan.Menurut Lubis dan Huseini (1989:120-123) menyatakan terdapat empat komponen dasar yang merupakan kerangka dalam memberikan defenisi prosedur organisasi yaitu :

1. Prosedur organisasi memberikan gambaran mengenai pembagian tugas serta tanggung jawab kepada individu maupun bagian-bagian pada suatu organisasi.

2. Prosedur organisasi memberikan gambaran mengenai hubungan pelaporan yang ditetapkan secara resmi dalam suatu organisasi. Tercakup dalam hubungan laporan yang resmi ini banyaknya tingkatan hirarki serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan diseluruh tingkatan organisasi.

3. Prosedur organisasi menetapkan pengelompokan individu menjadi bagian dari organisasi dan pengelompokan bagian-bagian tersebut menjadi bagian dalam suatu oraganisasi yang utuh.

4. Prosedur organisasi juga menetapkan sistem hubungan dalam organisasi yang memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik kearah vertikal maupun horizontal.


(46)

Untuk mencapai prosedur kerja organisasi yang ideal, Amstrong (1994:37-39) mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : a) logis, b) koheren, c) kohesif dan d) fleksibel. Logis menggambarkan bahwa prosedur kerja tersebut mampu menguraikan gambaran hubungan bagian organisasi dan orang yang terlibat didalamnya, mengarah pada tujuan organisasi secara tepat dan terkoordinir. Koheren digambarkan bahwa prosedur kerja mendefenisikan setiap peranan secara jelas. Kendatipun akan ada fleksibiltas, namun lebih baik memberikan kejelasan struktur kepada staff. Prosedur yang kohesif adalah struktur yang memberikan kadar perhatian yang sama pada setiap proses aktivitas, walaupun telah ada diferensiasi pada peranan dan tanggung jawab individual. Prosedur yang fleksibel adalah struktur yang dapat beradaptasi dengan cepat terhadapa situasi yang baru dan memberikan sarana bagi tim dan staff untuk menjawab.

2.3. Kompetensi Staf

Faktor staf adalah orang-orang yang terlibat di dalam organisasi, mereka merupakan motor utama dalam organisasi. Dipundak merekalah aktivitas organisasi sangat ditentukan keberlangsungannya. Dalam setiap organisasi kerja, seluruh aktivitas organisasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan

pengembangan tidak akan dapat terlaksana tanpa melibatkan staf yang berkompeten sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Atau dengan kata lain, kualitas dan kuantitas staf harus memiliki ratio yang seimbang. Oleh karena itu,


(47)

setiap organisasi memerlukan adanya perencanaan sumber daya manusia yang akan direkrutnya sebagai staf dalam organisasi. Secara sempit, perencanaan sumber daya manusia berarti mengestimasi secara sistematik permitaan dan suplai tenaga kerja untuk organisasi di waktu yang akan datang. Dengan ini memungkinkan bagian personalia dapat menyediakan tenaga kerja secara lebih tepat, sesuai dengan kebutuhan organisasi. Menurut T. Hani Handoko (1997:54), manfaat perencaan sumber daya manusia dalam manusia dalam setiap organisasi adalah :

a) Memperbaiki penggunaan sumber daya manusia.

b) Memadukan kegiatan-kegiatan personalia dan tujuan-tujuan organisasi di waktu yang akan datang secara efisien.

c) Melakukan pengadaan karyawan-karyawan baru secara ekonomis.

d) Mengembangkan informasi dasar manajemen personalia untuk membantu kegiatan-kegiatan personalia dan unit-unit organisasi lainnya.

e) Membantu program penarikan dari pasar tenaga kerja secara sukses.

f) Mengkoordinir program-program manajemen personalia yang berbeda-beda seperti penarikan dan seleksi.

Kemudian dikatakan bahwa untuk melaksanakan perencanaan sumber daya manusia dapat ditempuh melalui empat kegiatan yang saling berhubungan dan terpadu sebagai berikut :

a) Inventarisasi persediaan sumber daya manusia. Kegiatan ini diarahkan untuk menilai sumber daya yang ada sekarang (keterampilan,


(48)

kemampuan/kecakapan dan potensi pengembangannya) serta menganalisa penggunaan personalia yang ada.

b) Forecast sumber daya manusia yang diarahkan guna memprediksi permintaan dan penawaran staf pada waktu yang akan datang (kuantitas maupun kualitasnya)

c) Penyusunan rencana-rencana sumber daya manusia. Untuk memadukan permintaan dan penawaran personalia dalam perolehan tenaga kerja yang "qualified" melalui penarikan, seleksi, latihan, penempatan, transfer, promosi dan pengembangan.

d) Pengawasan dan evaluasi. Inti kegiatan ini diarahkan untuk memberikan umpan balik kepada sistem dan memonitor derajat pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran perencanaan sumber daya manusia.

Jadi, inti dari pembahasan ini adalah tersedianya staf organisasi yang memiliki kualitas dan kuantitas tertentu sesuai dengan kualifikasi bidang tugas dan tanggung jawab dalam uraian tugas organisasi.

2.4. Sumber Organsasi.

Sumber organisasi merupakan energi utama yang memberikan kekuatan kepada organisasi untuk menyelenggarakan aktivitasnya. Dengan tersedianya sumber-sumber organisasi, maka para pengelola organisasi dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan kegiatan-kegiatan organisasi. Organisasi


(49)

pelayanan manusia dalam memperoleh dana ditentukan oleh dua sisi yaitu donatur dan klien. Kesediaan donatur untuk memberikan dana sangat ditentukan oleh sejauhmana organisasi dinilai memuaskan dari produk pelayanan yang diberikan terhadap kliennya. Untuk dapat memperoleh dan mempertahankan sumber dana, organisasi ini harus memenuhi tuntutan pada dua kelompok yaitu donatur dan klien (Roem,1988:112). Kondisi inilah yang membedakan dengan organisasi lainnya. Sumber organisasi sebagian besar diperoleh melalui hubungan dengan lingkungan luar organisasi dengan cara menjual barang atau jasa yang diproduksinya. Dalam hubunngan ini maka menurut Preffer dalam Azhar Kasim (1993:49) bahwa salah satu faktor untuki melihat efektifitas organisasi adalah seberapa jauh suatu organisasi bisa bertahan dalam memperoleh sumber daya dari lingkungannya dan seberapa jauh barang dan jasa yang dihasilkan diterima, diinginkan atau dibeli oleh lingkungan organisasi tersebut.

Dalam pencarian dan penggalian sumber organisasi, menurut Thomas Wolf (1995:195) bahwa pada umumnya hampir seluruh organisasi pelayanan manusia diawal keberadaannya, seluruh pendanaan didukung oleh pendiri organisasi tersebut, baik yang dibentuk oleh pemerintah atau badan sosial swasta. Dengan

berkembangnya kegiatan organisasi, dimana keberadaannya telah memberikan sesuatu yang berarti, maka pihak-pihak luar sering mulai tertarik untuk terlibat dalam pembiayaan kepada staff yang mengacu pada kesepakatan, kemampuan organisasi serta aturan penggajian yang ditetapkan.


(50)

2.5. Program-Program Pelayanan Kepada Staff

Pertanggung jawaban merupakn hal yang mutlak dilaksanakan oleh setiap organisasi. Melalui mekanisme inilah pihak-pihak yang terkait dengan organisasi maupun lingkungan luar organisasi dapat mengikuti dan membuktikan bahwa program / kegiatan yang telah dilaksanakan telah sesuai dengan visi dan misi

organisasi. Tanpa pertanggung jawaban, mustahil suatu organisasi mendapat legalitas dan dukungan sesuai dengan keberadaan organisasi tersebut, termasuk didalamnya organisasi pelayanan manusia. Seperti halnya dengan organisasi bisnis, organisasi pelayanan manusia juga memberikan pertanggung jawaban kepada berbagai pihak, yang tentunya lebih luas sesuai dengan karakteristiknya. Keluasan tersebut, karena organisasi pelayanan manusia disamping bertanggung jawab kepada konstituen sebagai pihak yang sangat menentukan visi dan misi organisasi, juga bertanggung jawab sepada klien sebagai pihak yang mendapatkan pelayanan dari organisasi. Secara umum pertanggung jawaban organisasi pelayanan manusia dapat diarahkan kepada pihak-pihak :

a. Konstituen, yakni orang-orang yang sangat berjasa dalam pembentukan organisasi serta memberikan dukungan finansial dan sarana sehingga organisasi dapat beroperasi sebagaimana visi dan misi yang diembannya. b. Donatur yang memberikan donasi dalam melaksanakan kegiatan organisasi,


(51)

bertindak sebagai penyandang dana terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi tersebut.

c. Klien atau masyarakat, baik yang secara langsung mendapatkan pelayanan dari organisasi maupun tidak langsung, tapi mendapat pengaruh dari program/kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi tersebut.

d. Pemerintah, dalam hal ini sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai pengendali dan fasilitator dalam berbagai kegiatan, khususnya yang berkaitan dengan tata aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya untuk mewujudkan pertanggung jawaban ini, dilakukan melalui pelaporan atau dikenal dengan istilah "Laporan Menejerial" (The Liang Gie,

1984:105).Laporan pada intinya merupakan keterangan atau informasi yang

dihimpun, diolah, dan disajikan secara tertulis, kemudian disampaikan kepada pihak-pihak yang berkompeten dengan aporan tersebut, baik dalam lingkungan organisasi maupun diluar organisasi.

Dengan laporan tersebut, pihak-pihak yang terkait dengan organisasi dapat

mengetahui dan memahami serta memberikan tanggapannya sesuai dengan tujuan dan maksud dari sebuah laporan. Pada umumnya setiap organisasi memiliki dua kategori laporan yaitu : Pertama, dokumen yang menyajikan suatu keterangan secara umum tentang aktivitas organisasi dan ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan organisasi baik pihak intern maupun ekstern yang berkompeten dengan urusan organisasi, biasanya disebut laporan kegiatan. Kedua, bilamana suatu


(52)

dokumen menyajikan suatu keteranganmengenai suatu hal tertentu kepada pimpinan organisasi maka secara khusus, laporran ini disebut sebagai laporan menejerial.

Laporan harus memiliki ciri-ciri yang khusus untuk dapat membedakan dengan naskah-naskah tertulis lainnya. Adapun ciri-ciri dimaksud menurut The Liang Gie (1984:107) adalah a) Mengandung semua fakta yang bertalian, b) Menyampaikan kesimpulan atau rekomendasi tertentu yang dibuat berdasarkan fakta-fakta yang diungkapkan, c) Mempunyai suatu bentuk tersendiri, d) Mengandung suatu tata wajah yang mencerminkan pembuatan laporan dengan penuh kesungguhan. Tujuan akhir suatu laporan adalah menjelaskan fakta-fakta secara akurat dan lengkap mengenai apa yang dilaporkan. Untuk itu, dalam membuat suatu laporan perlu memenuhi syarat-syarat mengenai mutu suatu laporan. Adapun syarat-syarat-syarat-syarat suatu laporan yang baik adalah : a) kecermatan, b) ketepatan waktu, c) memadai, d) kesederhanaan, dan e) kejelasan (The Liang Gie, 1984:109). Dengan terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud diatas, suatu laporan akan dengan mudah dipahami oleh pihak yang akan menerima laporan. Jenis dan bentuk laporan sangat bervariasi, sesuai dengan maksud pembuatannya. Dalam setiap organisasi, secara umum laporan dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu : a) laporan rutin. Laporan ini dibuat secara 'konstan' sesuai mekanisme yang dianut oleh organisasi tersebut. Apakah tahunan, semester, triwulan/bulanan, dan b) laporan non- rutin/pembangunan. Laporan ini dibuat karena adanya aktifitas organisasi yang sifatnya insidental, tidak rutin, tetapi


(53)

menuntut adanya pertanggung jawaban terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi tersebut.

2.6. Sarana dan Prasarana Organisasi

Dalam melaksanakan aktifitas organisasi, salah satu aspek yang turut

menentukan adalah ketersediaan sarana dan prasarana. Suatu organisasi yang mampu menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang memadai, sesuai dengan kebutuhan nyata dalam organisasi, tentunya akan memberikan kemudahan-kemudahan bagi staff untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai dengan beban kerja yang ditetapkan. Namun demikian perlu disadari, bahwa ketersediaan sarana dan prasarana sangat terkait dengan kemampuan organisasi tersebut. Untuk itu, maka pengadaan sarana dan prasarana kerja perlu menganut prinsip selektifitas dan prioritas guna mendukung pelaksanaan kegiatan organisasi. Secara umum sarana dan prasarana organisasi menurut The Liang Gie (1984:251) dapat dikelompokkan yaitu : a) tanah dan bangunan, b) mobil kantor, c) alat-alat tulis kantor, d) alat kerja lainnya dan transportasi. Ketersediaan sarana dan prasarana ini serta kualitas dan kuantitas alat-alat ini pada saat yang tepat akan sangat menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan organisasi.


(54)

2.7.1. Pengertian Pelayanan Sosial

Pelayanan adalah perihal atau cara melayani atau usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang) . (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga; 2005:646). Pelayanan sosial adalah aktivitas yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu para anggota masyarakat untuk saling menyesuaikan diri dengan sesamanya dan dengan lingkungan sosialnya. Selanjutnya Alfred J. khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut : “Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran”. Penggunaan kata mempertimbangkan kriteria pasar mengungkapkan bahwa masyarakat merasa wajib dan yakin akan pentingnya peningkatan kemampuan setiap warga Negara untuk menjangkau dan menggunakan setiap bentuk pelayanan yang sudah menjadi haknya. Ketidakmampuan seseorang untuk membayar pelayanan karena penghasilannya tidak mencukupi (karena berdasarkan kriteria pasar) jangan menjadi hambatan untuk memperoleh pelayanan. Berarti di sini penyedia pelayanan memberikan pelayanan tanpa mempertimbangkan apakah si penerima pelayanan mampu membayar atau


(55)

tidak. Pelaksanaan pelayanan sosial mencakup adanya perbuatan yang aktif antara pemberi dan penerima, bahwa untuk mencapai sasaran sebaik mungkin maka pelaksanaan pelayanan sosial mempergunakan sumber-sumber tersedia sehingga benar-benar efisien dan tepat guna. Sehubungan dengan itu maka “dalam konsepsi sosial service delivery sasaran utama adalah si penerima bantuan (beneficiary group). Dilihat dari sasaran perubahan maka sasarannya adalah sumber daya manusia dan sumber-sumber natural”.

2.7.2. Fungsi Pelayanan Sosial

Mengenai fungsinya maka pelayanan sosial berfungsi untuk menciptakan integrasi sosial. Richard M.Titmuss, membuat pernyataan bahwa :

“…fokus kebijaksanaan sosial adalah pada lembaga-lembaga yang menciptakan integrasi dan menghindarkan perpecahan atau keterasingan.

Pelayanan sosial melibatkan diri dalam bidang-bidang tingkah laku dan hubungan manusia yang berada di luar hak-hak timbal- balik dan tanggung jawab keluarga serta kerabat dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial mendorong terciptanya “pemberian pertolongan secara anonim” dan tanggungjawab yang berasal dari karakter manusia, tidak melalui kontrak”.

PBB yang memberikan pengertian yang sama untuk istilah kesejahteraan sosial mengedepankan 5 fungsi pokok pelayanan sosial yaitu:


(56)

2. Pengembangan sumber-sumber daya manusia.

3. Berorientasi orang terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri.

4. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan, dan

5. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisasi lainnya.

Di setiap negara terdapat perbedaan penekanan akan fungsi pelayanan sosial ini. Hal ini disebabkan tingkat ekonomi masing-masing negara di dunia tidak sama dan juga tidak seimbang.

2.7.3. Implementasi Teknologi dalam Pelayanan Sosial/Manusia Organisasi pelayanan sosial gunanya untuk membawa beberapa perubahan yang ditentukan sebelumnya terhadap diri kliennya, merupakan kunci penentu pola pemberian secara umum, dari hubungan karyawan-klien secara khusus. Tetapi sederhananya, suatu teknologi organisasi mendefenisikan aktivitas utamanya adalah berhadapan dengan kliennya. Teknologi pelayanan kemanusiaan dapat didefenisikan sebagai serangkaian prosedur yang melembaga yang bertujuan untuk merubah fisik, psikologi, sosial atau simbol-simbol berdaya dari orang untuk mengubah mereka dari suatu keadaan tertentu kepada keadaan baru yang ditentukan. Terminologi

“melembaga” menunjukkan bahwa prosedur-prosedur tersebut dilegitimasi dan disetujui oleh organisasi. Berdasarkan hal itu kegiatan kesejahteraan sosial sebagai


(57)

contoh dari teknologi pelayanan kemanusiaan, dicirikan suatu proses memungkinkan seseorang (pekerja sosial) membentuk orang lain (klien) dalam mengambil langkah untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan sosial dengan mempergunakan sumber daya yang ada pada klien (Tober dan Taber,1978,13). Bekerja dengan orang tidak hanya menyangkut kekaburan secara moral dan sosial, tetapi juga ketidakpuasan teknis. Menurut Hasenfeld dan English bahwa pelayanan sosial seringkali ditandai oleh teknologi yang relatif tidak pasti, yaitu hubungan antara apa yang mereka lakukan dan hasil yang mereka ingin capai relatif tidak jelas. Ketidakpastian teknik ini disebabkan oleh ketidakjelasan hubungan antara sebab dan akibat. Salah satu alasan menurut Hasenfeld dan English untuk ketidakpastian teknologi dari pelayanan sosial adalah bahwa tujuan dari pelayanan sosial sulit untuk ditentukan dan diukur. Hal ini sebagian disebabkan oleh kecenderungan tujuan tersebut bersifat ideologi, yaitu bahwa mereka pada hakekatnya adalah tentang nilai, keyakinan dan norma yang dapat menimbulkan ketidaksepakatan tentang nilai dan norma tersebut. Menurut Hasenfeld, terdapat beberapa jenis teknologi di dalam pelayanan sosial atau pelayanan manusia, yaitu:

a. Teknologi yang memproses orang (people-processing technology) b. Teknologi yang mempertahankan orang (people-sustaining technology) c. Teknologi yang merubah orang (people-changing technology)


(58)

a. Teknologi yang memproses orang (people-processing technology)

Teknologi yang memproses orang adalah cara atau aktivitas yang dilakukan pekerja sosial untuk memberikan label atau status tertentu terhadap orang sehingga akan diperlakukan tertentu. Teknologi yang mendukung orang adalah aktivitas pekerja sosial dalam rangka memberikan perawatan atau kesejahteraan personil, tetapi upaya untuk merubah ciri-ciri orang tersebut seperti pelayanan dukungan (support services). Teknologi yang merubah orang adalah aktivitas untuk merubah ciri-ciri pribadi orang dilayani dan teknologi yang mengontrol orang adalah aktivitas pelayanan yang fungsi utamanya adalah untuk mengontrol, membatasi atau dalam beberapa hal menekan perilaku tertentu orang contohnya pelayanan koreksional. (Whittaker ; 1995). Ada beberapa indikator-indikator penting yang harus diperhatikan dalam penerapan teknologi pelayanan sosial pada organisasi pelayanan sosial, antara lain : Teknologi dan prosedur kerja, Kompetensi staf dan sumber-sumber organisasi, Penghargaan secara ekonomi/ kompensasi staf, Mekanisme pertanggungjawaban dan kualitas sarana dan prasarana organisasi. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan satu persatu, sebagai berikut :

1. Teknologi dan Prosedur kerja

Dalam teknologi yang perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana pelaksanaan rekruitment, seleksi, selanjutnya Assesement dan klasifikasi terhadap kelayan. Jika kelayan mengikuti semua tahap-tahap di atas maka mereka tidak akan


(59)

kaku dalam mengikuti program selanjutnya. Disamping itu harus diperhatikan juga bagaimana proses, metode, dan teknik yang digunakan untuk melakukan pelayanan terhadap kelayan. Waktu pelayanan bagi kelayan juga perlu disesuaikan dengan standarisasi pelayanan yang ideal. Selanjutnya mengenai prosedur kerja harus ada pengawasan dan penilaian oleh pimpinan, disamping melihat bagaimana mekanisme yang dilakukan antar pimpinan dengan staf.

2. Kompetensi Staf dan Sumber Organisasi

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimana perencanaan dan bagaimana kinerja staf dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam organisasi. Rasio antara jumlah staf dengan jumlah kelayan dalam organisasi sangat perlu diseimbangkan, mengenai kompetensi staf ini juga perlu dipersiapkan cara-cara dalam meningkatkan kemampuan staf. Namun sebelumnya perlu dilihat sistem pengembangan karir selama pelayanan berlangsung . Karena hal tersebut sebagai bahan perbandingan untuk kembali melihat kekurangan-kekurangan yang terjadi selama itu. Tentang sumber-sumber organisasi yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah mengenai strategi penggalian dan pemeliharaan sumber organisasi. Artinya di sini adalah bahwa stategi tersebut akan mampu dilakukan oleh para staf organisasi. Dalam hal ini juga harus diketahui sumber-sumber apa saja yang telah digali dan bagaimana konsistensinya. Tujuannya di sini adalah supaya jelas kekurangan dan kelebihan apa yang muncul setelah kegiatan itu dilakukan. Selain strategi penggalian dan pemeliharaan, sistem pengawasan dan pengendalian sumber-sumber organisasi juga merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam organisasi sosial.


(60)

Selanjutnya perlu juga diketahui seberapa besar pengaruh sumber dari lingkungan terhadap kelancaran kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan.

Hal ini dilakukan untuk melihat apakah memang sumber dari lingkungan mendukung terhadap kemajuan organisasi.

3. Penghargaan Secara Ekonomi/ Kompensasi Staf

Yang dimaksud dengan penghargaan secara ekonomi disini adalah bahwa selain gaji tetap si pimpinan memberikan suatu penghargaan khusus kepada staf yang dinilai memang benar-benar aktif dan berperan besar terhadap kemajuan lembaga. Berperan terhadap kemajuan lembaga merupakan sebuah prestasi besar yang wajar diberikan suatu penghargaan. Sistem pengupahan yang seperti ini tentu akan memotivasi staf supaya lebih aktif dalam melaksanakan tugasnya dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya. Di samping itu juga hal ini akan memotivasi staf yang lain agar bersaing dalam melaksanakan tugas dan lebih aktif dalam melaksanakan program-program pelayanan dalam lembaga. Dalam hal ini juga perlu diketahui bagaimana pandangan staf terhadap kompensasi yang diterima. hal tersebut bisa dibuat sebagai point-point penting dalam mengukur bagaimana tingkat kepuasan staf terhadap penghargaan tersebut.

4. Mekanisme Pertanggungjawaban dan Kualitas Sarana dan Prasarana Organisasi Mekanisme pertanggungjawaban artinya adalah bahwa adanya kejelasan berjalannya pertanggungjawaban mulai dari jabatan yang paling rendah hingga kepada jabatan yang paling tinggi (atasan). Hal ini tentu kembali kepada struktur yang ada di organisasi tersebut. Di situ akan jelas garis perintah dan garis kordinasi


(61)

antar masing-masing pejabat/staf dan yang dipertanggungjawabkan disini adalah kinerja masing-masing staf.

Mengenai Sarana dan Prasarana, tentu agar pelayanan berjalan dengan baik sebuah organisasi sosial membutuhkan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana penunjang tersebut perlu dilihat keseimbangan antara ketersediaan dengan kebutuhan organisasi tersebut dalam pelayanannya. Jika yang tersedia sudah seimbang dengan kebutuhan maka program pelayanan tidak akan terhambat. Selanjutnya tingkat kualitas sarana dan prasarana juga sebagai nilai plus yang sangat mendukung terhadap hasil program pelayanan yang dilaksanakan di Organisasi Sosial tersebut.

b. Teknologi mempertahankan orang (people-sustaining technology)

Teknologi untuk mempertahankan orang bertujuan untuk mencegah, menahan atau menunda kemerosotan, keadaan baik atau status sosial seseorang. Mereka melakukannya dengan menghilangkan atau meminimalisasikan efek dari kondisi yang mengancam keadaan baik seseorang atau dengan memberi ganti rugi atas uang yang menyebabkan kemerosotan. “Produknya” yang telah ditolong untuk memperoleh akses kepada sumber daya yang dapat bertahan pada level fungsi sosial mereka yang sekarang. Walaupun ada beberapa upaya yang mungkin dibuat utnuk memperbaiki fungsi sosial atau untuk mengubah atribut; fokus utama adalah dalam pencegahan kemerosotan lebih lanjut dari fungsi sosial. Asumsi yang mendasari teknologi mempertahankan orang adalah bahwa klien memiliki sedikit, kalaupun ada, potensi untuk berubah dalam arahan-arahan yang akan secara signifikan memperbaiki fungsi sosial mereka. Walaupun asumsi-asumsi ini dapat didasarkan pada


(62)

pengetahuan empirirs yang valid, juga berdasarkan pengujian sosial dan moral seperti orang-orang yang menempatkan mereka pada kategori sosial bawah (marginal). Seperti dicatat Coser (1963), pasien-pasien dengan kondisi fisik yang sama mungkin menjadi subjek bagi mempertahankan orang daripada teknologi merubah-orang karena pegawai percaya sistem yang ditujukan kepada pasien sedikit kemampuannya untuk perbaikan. Pasien demikian mungkin menjadi subjek pada apa yang disebut Freideson (1970): pola manajemen “layanan domestik” yang berbeda dengan interaksi “terapitik” Yang pertama, berasumsi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan bagi pasien selain menjaga mereka dalam lingkungan yang nyaman dan aman.Tidak begitu mengherankan bila menemukan bahwa orang yang meyakini penurunan sosial dan menduduki status sosial rendah lebih mungkin menjadi subjek bagi mempertahankan orang daripada merubah orang. Jelasnya, organisasi dan pegawainya tidak bebas dari nilai-nilai sosial dominan yang menunjukkan kapasitas perubahan yang rendah dari orang-orang tersebut.

Kegiatan-kegiatan inti dalam teknologi ini adalah pemeliharaan perhatian dan penopangan yang dinamakan serangkaian prosedur yang menentukan jenis, jumlah dan frekuensi tindakan pencegahan, dukungan dan perhatian yang akan diperoleh klien dari organisasi. Inti program bantuan publik setelah menerapkan kelayakan klien adalah menentukan tipe dan jumlah pemberian dan layanan yang menjadi hak klien. Teknologi mempertahankan-orang akan dicirikan oleh interaksi pegawai - klien yang terbatas. Fokusnya terutama dalam menetapkan tipe, besar dan frekuensi


(63)

pada dasarnya akan didasarkan pada keaktifan-kepasipan. Kontrol atas klien akan diwujudkan melalui manipulasi penguatan kontrol, ancaman dan sanksi. Kepatuhan akan diperoleh dengan mempertahankan penahanan dan bantuan dari klien yang membuat tuntutan “tidak beralasan”, dan dengan memberi bantuan ekstra dan bantuan yang cepat bagi yang patuh pada aturan dan memudahkan pekerjaan pegawai. Pada keadaan yang bukan karena kerelaan seperti penjara dan rumah sakit jiwa negeri, kekerasan akan sering digunakan untuk membuat klien patuh.

c. Teknologi merubah – orang (People – Changing technology)

Teknologi merubah orang bertujuan pada perubahan secara langsung biofisik, psikologi atau atribut sosial klien dalam upaya untuk memperbaiki kesejahteraan dan fungsi sosial. Penekanan pada manipulasi langsung atribut untuk mencapai perubahan yang telah ditentukan. Dalam teknologi merubah- orang dapat dibedakan dua sub fungsi (1) Pemulihan : Penekanan di sini adalah menghilangkan atau mengurangi pertentangan, penghalang dan ketidakmampuan sehingga klien dapat berfungsi pada tingkat sosial yang diinginkan. Teknologi ini meliputi psikoterapi, perawatan

penyakit, rehabilitasi pekerjaan dan sosialisasi. Klien dianggap menyimpang atau mengalami ketidakmampuan yang menghalanginya untuk menunjukkan peran sosial yang seharusnya. (2) Penambahan : Penekanannya adalah pada perbaikan lebih lanjut dari fungsi sosial dan kesejahteraan seseorang yang dianggap bergerak pada tingkat perkembangan normal. Contoh teknologi ini : pendidikan, pembangunan karakter dan pencegahan penyakit. Berbeda dari mempertahankan orang, teknologi merubah-orang


(64)

beranggapan bahwa klien memiliki kemampuan signifikan untuk memperbaiki dan patuh terhadap perubahan. Asumsi-asumsi ini juga didasarkan pada pengetahuan empiris dan pemberian moral dari nilai sosial seseorang.

Contoh : dalam menerapkan teknologi pengobatan, pasien muda lebih disukai karena nilai sosial yang lebih besar diberikan pada anak muda (Sudnow, 1967, Roth, 1972). Sama halnya, ada bukti yang asumsikan bahwa penerapan teknologi pendidikan adalah suatu fungsi dari evaluasi moral siswa oleh guru. Siswa-siswa yang dianggap memiliki nilai sosial lebih tinggi lebih mungkin untuk mendapat akses akan teknologi pendidikan yang efektif (Rist; 1970, Rosenbarum, 1976).

Semakin banyak perubahan yang dicari oleh teknologi, semakin besar kompleksitas dan ketidak pastian dan makin besar kebutuhan organisasi untuk melindunginya dari lingkungan. Dua faktor yang mengubahnya (1) keberhasilan teknologi dilihat dari kapasitas dari suatu organisasi untuk menjamin kesamaan antara atribut-atribut yang ingin diubah oleh seseorang dan atribut-atribut yang didefinisikan sesuai oleh teknologi. Roth dan Eddy mencatat bahwa pemulihan pasien untuk rehabilitasi fisik didasarkan pada ketidak mampuan, relatif muda, menunjukkan kesiapan mental dan motivasi yang cukup, faktor-faktor yang dianggap penting untuk mengsukseskan rehabilitasi .(2) Organisasi baru mengisolasi atribut-atribut ini dari pengaruh eksternal sehingga praktisinya dapat mengontrolnya sedapat mungkin. Pentingnya untuk

mengisolasi teknologi merubah-orang adalah untuk menjamin keberhasilan mereka sangat berhubungan dengan kebutuhan organisasi untuk menyatakan efeksifitasnya.


(65)

Karena sudah berkomitmen untuk “menghasilkan” orang-orang dengan kesejahteraan dan fungsi sosial yang diperbaiki atau dipulihkan, organisasi dengan harus

menunjukkan efektifitasnya. Akan tetapi hal seperti itu sangat problematis khususnya saat pengetahuan hubungan sebab akibat tidak lengkap dan atribut-atribut yang akan diubah beragam dan tidak stabil. Dalam keadaan seperti ini pemeriksaan teknologi yang cermat adalah untuk menunjukkan keadaan tidak aman. Sebagai akibatnya adalah kepentingan organisasi untuk menlindungi teknologinya dari pemeriksaan dan penilaian eksternal, mungkin menyoroti kelemahan dan melemahkan pencapaian keberhasilannya. Untuk mencapai efektifitas sambil melindungi teknologi dari pemeriksaan eksternal adalah salah satu perhatian besar bagi adminstrasi organisasi dalam memakai teknologi merubah-orang.

Bedanya dengan teknologi pelayanan kemanusiaan yang lain, teknologi perubahan orang mengharuskan hubungan yang intensiv antar pegawai dan klien dan lebih sering hubungan ekstensi (luas), khususnya saat perubahan-perubahan besar terlihat. Hubungan-hubungan ini sering didasarkan pada partisipasi bersama,

memiliki fungsi ganda. Pertama, mereka berusaha menciptakan suatu keadaan sosial.- psikologi yang akan mempertinggi kesiapan dan penerimaan klien akan upaya

perubahan. Keadaan seperti ini perlu untuk keberhasilan pelaksanaan teknologi karena klien memiliki potensi untuk menetralisasikan dan mencegah upaya intervensi pegawai sebagai prasyarat untuk perlakuan yang efektif. Pekerjaaan penolong selalu penting untuk menciptakan kepercayaan antara pegawai dengan klien, memperoleh


(66)

pengetahuan akan klien akan keahlian dan kekuasaan pegawai serta mendapatkan kerjasama dan kepatuhan klien. Hal ini dicapai melalui penyelenggaraan dan menajamen hubungan pegawai – klien yang diatur sedemikian rupa.

Dalam praktek pengobatan, contohnya dokter sangat percaya bahwa efektifitas perawatan didasarkan pada apa yang mereka pahami sebagai “peran pasien” yang sesuai. Hubungan pasien-dokter digunakan untuk melatih dan mendidik pasien pada asumsi peran seperti itu .

Kedua, dalam teknologi perubahan - orang hubungan pegawai-klien adalah sangat penting bagi perubahan, khususnya perubahan prilaku. Oleh karena itu kegiatan inti dalam program pelayanan sosial adalah hubungan yang berputar di sekitar komunikasi ide-ide dan perasaan antara pegawai dan klien (Brian dan Miller, 1971:24). Karena hubungan pegawai dan klien memiliki peranan yang penting dalam teknik-teknik perubahan organsiasi harus menciptakan kondisi yang memudahkan pembentukan, penggunaan dan khususnya harus mengisolasi mereka dari campur tangan ekternal (ini adalah alasan lain untuk melindungi teknologi dari lingkungan). Memilih pegawai pada posisi berkuasa dan ahli, klien adalah pada posisi yang terganti sering digunakan untuk memperoleh kondisi ini kekuasaan berdasarkan keahlian dan kekuasaan sangat efektif untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu kita dapat mengharapkan organisasi untuk meluaskan teknologi perubahan orang lebih bergantung pada persuasi sebagai mekanisme utama untuk memperoleh kepatuhan klien (tambahan bagi penguatan kontrol) karena persuasi klien kondusif


(67)

untuk pembentukan hubungan yang saling percaya dan kerjasama. Suatu organisasi mungkin tertarik pada nilai-nilai; dan komitmen-komitmen sebagai mekanisme utama untuk memperoleh penanaman modal pribadi kesetiaan pegawai kepada klien tidak dapat dicapai hanya dengan aturan-aturan dalam prosedur-prosedur atau dengan dorongan - dorongan, karena pada pegawai hal seperti itu tidak dapat diperintah atau diganti rugi segera. Harus didasarkan pada pengetahuan pegawai tentang tujuan teknologi. Sebenarnya seseorang dapat berspekulasi bahwa saat orang tidak bisa mengembangkan pengenalan dan komitmen seperti itu, efektivitas teknologi akan sangat terancam.

2.8. Isi Standard Pelayanan Sosial

Kata “standard” yang digunakan di sini dapat berart : suatu norma bagi pelayanan sosial, atau suatu bentuk norma/peraturan tertentu yang sengaja disusun untuk digunakan sebagai pedoman. Pelayanan sosial secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yang saling menunjang dan melengkapi yaitu pelayanan yang melalui panti dan pelayanan di luar panti. Keduanya harus tercakup dalam standard yang berisikan :

a. Bangunan dan fasilitas lingkungannya

Bangunan dan fasilitas lingkungan merupakan objek yang secara langsung digunakan untuk menampung atau menyembuhkan penerima pelayanan. Biasanya luas panti untuk satu orang kelayan digunakan sebagai standard luas


(68)

bangunan.Verifikasi, tata lampu, peralatan kesehatan, dan keselamatan merupakan hal-hal yang dimaksudkan dalam jenis-jenis bangunan yang akan dibangun.

b. Peralatan. Peralatan ini mencakup tempat tidur, meja, kursi dan lain-lain yang digunakan baik secara perorangan maupun secara bersama-sama.

c. Pelayanan Operasional

Pelayanan operasional mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Makanan (kalori, mutu, jenis menu, fasilitas dapur, perabotan pecah- belah dan lain-lain).

2. Pakaian (jumlah fasilitas cucian, frekuensi pergantian) 3. Kesehatan dan kebersihan

4. Rekreasi dan kegiatan-kegiatan pengisian waktu luang. d. Pelayanan Profesional

Pelayanan profesional meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Asuhan (jumlah dan tugas-tugas pengasuh)

2. Pekerja sosial dan pelayanan professional lain yang terkait (jumlah dan tugas-tugas pekerja sosial, psikolog, psikiater, perawat, penyuluh dsb.)

3. Pelayanan pendidikan 4. Latihan Kerja

5. Pelayanan Bimbingan lanjut

e. Tenaga. Standard ini mencakup kualifikasi petugas, seleksi dan peremajaan, kondisi kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan-jaminan lainnya.


(69)

f. Administrasi

Administrasi ini mencakup supervise, latihan dan pengembangan petugas, pencatatan tugas-tugas profesional maupun pelayanan rutin, ketatausahaan keuangan, peraturan-peraturan intern, hubungan dengan masyarakat dan sebagainya.

2. 9. Pengertian Narkoba

Narkoba singkatan dari “Narkotika, Psikotropika dan bahan-bahan adiktif lainnya”. Ada istilah lain yang sering digunakan walaupun pada hakekatnya sama saja, seperti NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif), NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat-zat Adiktif). Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.(UU RI No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Pasal 1). Contohnya: Cocain,Ganja (Marijuana),Candu, Hasis, Opium, Heroin dan sebagainya.

Psikotropika adalah zat atau obat-obat baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku (UU RI No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal ).


(70)

Contohnya : Ekstasi, Shabu-Shabu, Magadon, Nipam, Rohypnol, Pil BK, Ampetamin dan sebagainya

Zat Adiktif adalah zat lain (bukan narkotika dan psikotropika) yang dapat menimbulkan perubahan pada prilaku dan dapat pula menimbulkan ketergantungan. Contohnya : Lem kambing, Obat-obat rumah tangga yang disalah gunakan.

Narkoba pada dasarnya merupakan golongan obat-obatan yang bila pemakaiannya tidak tepat atau disalahgunakan dapat menimbulkan keadaan ketergantungan terhadap obat-obatan tersebut. Kelompok obat-obatan tersebut pada umumnya bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) diotak dan dapat mempengaruhi emosi. Didunia medis/pengobatan, obat-obatan ini digunakan untuk menghilangkan rasa sakit, rasa cemas, sukar tidur/insomnia, kelelahan, meningkatkan stamina tubuh/kebugaran, dan lain-lain. Narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya, merupakan zat yang berguna untuk keperluan dalam bidang pengobatan, kedokteran, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Sayangnya zat tersebut sering disalahgunakan sehingga menimbulkan ketagihan (addiction), dan akhirnya akan sampai pada ketergantungan (dependence) yang berpengaruh buruk pada fisik maupun psikis. Narkoba akan menjadikan pecandunya kehilangan kepribadian. Ia akan gagal dalam pekerjaan dan kehidupan. Seorang pecandu tidak akan mampu menghentikan kebiasaannya tanpa ditunjang dengan pengobatan tuntas dan kesabaran, sebab kalau kebiasaan ini dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan rasa sakit pada tubuh dan jiwanya dan tidak akan kuat menghadapinya. Secara umum, efek yang ditimbulkan oleh obat-obatan yang tergolong dalam narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif


(71)

lainnya tergantung pada beberapa hal antara lain, jenis obat yang digunakan, kerentanan pemakai, jumlah dosis yang digunakan, frekuensi penyalahgunaan, dan cara penyalahgunaan, walaupun berkerja pada susunan saraf pusat, namun efek yang ditimbulkannya berbeda-beda. Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi, politik, social-budaya, kriminalitas dan lain sebagainya). Penyalahgunaan narkoba adalah penyakit endemik (menjangkiti) dalam masyarakat modern dan merupakan penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangannya secara universal dan memuaskan, dari sudut prevensi, terapi, maupun rehabilitasi.

2.10. Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, sudah yang bersifat Patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Pengertian dari penyalahgunaan Narkoba adalah pemakaian narkoba secara terus-menerus, sekali-kali atau kadang-kadang dan berlebihan serta tidak menurut petunjuk dokter dan praktek kedokteran. Penyalahgunaan Narkoba dapat menimbulkan gangguan-gangguan tertentu pada badan dan jiwa seseorang dengan akibat sosial yang tidak diinginkan dan merugikan (Widjono; 1981:1)

Penyalahgunaan Narkoba adalah suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu gangguan jiwa, sehingga “penderita” tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam masyarakat dan menunjukkan perilaku


(72)

maladaptif. Kondisi demikian dapat dilihat pada kendala “impairment” dalam fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah. Ketidakmampuan untuk mengendalikan diri dan menghentikan pemakaian narkoba, dapat menimbulkan gejala “Withdrawal Syndrom” jika pemakai zat narkoba itu dihentikan. (Sulchan; 1999: 36). Di dalam penyalahgunaan narkoba secara umum dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu:

a. Ketergantungan Primer, yang ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian yang tidak kuat. b. Ketergantungan Sintomatis, yaitu penyalahgunaan zat mendasari; pada

umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian psikopatik (antisosial), kriminal, dan pemakaian zat untuk kesenangan semata.

c. Ketergantungan Reaktif, yaitu terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan, dan tekanan teman kelompok (“peer group pressure”) (Noegroho; 1999: 38).

Dalam penyalahgunaan Narkoba dalam kurun waktu satu jam sesudah pemakaian akan timbul “gangguan organik” pada diri pemakai berupa gejala psikologik dan fisik. Gejala psikologik tersebut adalah Agitasi Psikomotor, rasa yang berlebih-lebihan (euphoria), rasa harga diri meningkat. Adapun gejala fisiknya adalah berdebar-debar, pelebaran pupil mata, tekanan darah meninggi atau rendah, berkeringat atau rasa kedinginan, mual atau muntah (Sulchan; 1999: 24). Penyalahgunaan narkoba seringkali menyebabkan masalah kejiwaan. Daya ingat dapat melemah, kepribadian berubah atau terganggu. Pecandu sukar bergaul, lekas marah, suasana hatinya dapat berubah, rewel dan menjauhi hubungan sosial. Jiwa


(73)

tertekan dan rasa gugup mungkin timbul. Kejadian mana yang dialami tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan keadaaan sosial (Rasyid; 1991: 4). Seseorang dikatakan ketagihan narkoba apabila setelah menggunakan narkoba itu secara teratur dalam jangka waktu tertentu, sangat sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk menghentikan penggunaan narkoba itu tanpa bantuan dari luar. Ketagihan itu mungkin bersifat jasmaniah atau kejiwaan atau kedua-duanya (lbid;5). Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkoba dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan (Makarao; 2003: 49). Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si pemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut:

1. Euphoria; suatu rangsangan kegembiraan (biasanya efek ini masih dalam penggenaan narkoba dalam dosis yang tidak begitu banyak).

2. Dellirium; suatu keadaan dimana si pemakai narkoba mengalami menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).

3. Halusinasi; suatu keadaan dimana si pemakai narkoba mengalami khayalan misalnya melihat - mendengar yang tidak pada kenyataan.

4. Weakness; kelemahan yang dialami fisik atau psikis/ kedua-duanya.

5. Drowsiness; kesadaran merosot seperti orang mabuk, kacau ingatan, mengantuk.


(74)

6. Coma; keadaan si pemakai narkoba sampai pada puncak kemerosotan yang akhirnya dapat membawa kematian (lbid;50).

Bahaya sosial penyalahgunaan narkoba menyangkut kepentingan bangsa dan Negara, antara lain:

1. Kemerosotan moral 2. Meningkatnya kecelakaan 3. Meningkatnya kriminalitas

4. Pertumbuhan dan perkembangan generasi berhenti (Ibid; 52)

Penyalahgunaan dan peredaran Narkoba merupakan tindak kejahatan. Peraturan Perundang-Undangan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam menangani penyalahgunaan narkoba adalah :

a. UU RI No. 22 Thn 1997 Tentang Narkotika.

b. UU RI No. 8 Thn 1976 Juli 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.

c. UU RI No. 5 Thn 1997 Tentang Psikotropika.

d. UU RI No. 7 Thn 1997 Tentang Pengesahan United Station Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1998 (Konfensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988).

e. UU RI No. 8 Thn 1996 Tentang Pengesahan Convensi On Psychotropic Substance 1971.


(75)

f. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 688/MENKES/PER/VII/1997 Tgl 14 juli 1997 Tentang Peredaran Psitropika. (Euginia Liliawati, 2000).

2.11. Pengertian Panti Sosial

Panti sebagai lembaga sosial merupakan tempat di mana terdapat kebutuhan yang beraneka ragam dari para penghuninya. Kebutuhan ini mempunyai konsekwensi adanya tanggungjawab panti untuk memenuhi kebutuhan itu. Salah satu sistem pelayanan sosial adalah melalui panti. Panti artinya tempat, sarana atau rumah…” Sedangkan pelayanan adalah usaha pemberian bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non materi. Jadi pelayanan panti berarti bentuk pelayanan dengan mempergunakan panti sebagai sarana dalam usaha memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada kliennya sehingga mereka dapat mengatasi masalahnya. Dengan demikian mereka dapat berperanan sosial sepenuhnya. Sehubungan dengan itu, panti berfungsi untuk pemulihan fungsi sosial yang terganggu, pengadaan sumber-sumber dan pencegahan terhadap disfungsi sosial. Sesuai dengan hakekat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka hakekat pelayan panti menyangkut aspek kehidupan dan penghidupan penghuninya dan pada hakekatnya pelayanan itu bersifat “kuratif”, rehabilitatif dan developmental”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa panti merupakan suatu tempat yang berfungsi untuk memberikan santunan/ rehabilitasi sosial kepada penyandang


(76)

masalah kesejahteraan sosial agar dapat memerankan fungsi sosial mereka secara wajar dan memadai sesuai dengan harkat dan martabat manusia di dalam tata kehidupan normal.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Defenisi Konsep

Konsep merupakan suatu gagasan atau ide umum dalam penelitian . Konsep adalah suatu definisi, suatu abtraksi mengenai suatu gejala atau realita, atau suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Amirin, 2000:63). Dalam hal ini defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

Adapun yang menjadi defenisi konsep penelitian ini adalah :

1. Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang


(1)

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, Bineka Cipta, Jakarta.

Bugin, Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Sosial. Airlangga University Press.

Hamzah, Andi.1994, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Sinar Grafika, Jakarta.

Hawari, Dadang. 2001, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

Makarao, Moh. Taufik. 2003, Tindak Pidana Narkotika, Gralia Indonesia. Jakarta.

Mantra, Ida Bagus. 2004, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Pustaka Belajar Yogyakarta.

Moleong, Lexy J. 2007, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.


(2)

dan Alkohol, Pedoman Bagi Petugas Kesehatan Masyarakat Dengan Petunjuk Untuk Pelatih, ITB, Bandung.

Suharto, Edi. 2005, Quality Control Dalam Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Sosial; Percikan Pemikiran Bagi Panti Anak. http//www.policy,hu/suharto.

Tanjung, H. Mastar’Ain BA. 2003, Pedoman Pencegahan Penyalagunaan Narkoba Bagi Seluruh Lapisan Masyarakat Pemuda Pelajar dan Mahasiswa, LETUPAN-Indonesia, Medan.

Taufik, Moh.Makarao. 2002, Tindak Pidana Narkotika, Gralia Indonesia, Jakarta.

Willy, Hariadi. 2005, Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara, Kedaulatan Rakayat, Yogyakarta.


(3)

Bahan Mata Kuliah Penelitian Evaluatif Evaluatuf “ Instrumen Penelitian Penerapan Teknologi Pelayanan Sosial pada Organisasi Pelayanan Sosial (Pedoman Wawancar Untuk Pimpinan dan Staf)”, 2005.

BNN, 2 Oktober 2003.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005

Direktorat Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, Metode Therapeutic Cummunity, Jakarta, 2002.

Kompas, 25 Oktober 1999

Kompas, 17 Juni 2000

Kompas, 11 Agustus 2002, “Puisi Terpanjang Untuk Kampanye Anti Narkoba”


(4)

Badan Narkotika “.

Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, edisi 156 Tahun ke 23, Juli September 1998.

Ringkasan Materi pada Penelitian Inisiator Kelompok Pemuda Sebaya di Wisma PHI Jl.Binjai Km 6,3 Medan, Senin, 19 Desember 2005.

Sripo, Selasa 22 Juni 2004

Sinar Indonesia Baru, Juni 2003


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Prevalensi Manifestasi Oral Pengguna Narkoba di Panti Sosial Parmadi Putra (PSPP) Insyaf Sumatera Utara

7 89 71

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

8 116 152

PEMBERDAYAAN PEMUDA MELALUI PROSES REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI LEMBAGA PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA (PSPP) YOGYAKARTA.

0 2 154

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 16

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 2 2

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 9

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 1 37

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih Chapter III VI

0 2 78

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 1 2

Model Penanganan Sosial bagi Penyalahguna Relapse Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara dan Klinik Pemulihan Adiksi Narkoba Medan Plus Lau Cih

0 0 8