Gerakan Sosial Pedagang Kaki Lima Menentang Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Medan Terkait Dengan Implementasi Perda No. 8 Tahun 2000

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)
2.1.1

Pengertian Gerakan Sosial
Gerakan sosial (social movement) merupakan suatu upaya kolektif untuk mengejar

suatu kepentingan bersama atau mencapai tujuan bersama melaluitindakan kolektif
(collective action). Sidney tarrow (2005) menempatkan gerakan sosial sebagai politik
perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan kelompok masyarakat
yang lebih bepengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas
dan pihak pihak lainnya .
Teori gerakan sosial baru ini, muncul sebagai kritik terhadap teori lama yang selalu ada
dalam wacana idiologis kelas. Gerakan sosial baru adalah gerakan yang lebih berorientasi
isu dan tidak tertarik pada gagasan revolusi. Gerakan sosial baru lebih bersifat plural, yaitu
mulai dari gerakan anti rasisme, anti nuklir, feminisme, kebebasan sipil dan lain sebagainya.
Gerakan sosial baru pada umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat
sipil, dan membidik domain sosial masyarakat sipil ketimbang perekonomian atau negara,
dan membangkitkan isu-isu sehubungan demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan

memusatkan perhatian pada bentuk komunikasi dan identitas kolektif.
Jean Cohen ( 1985:669 ) menyatakan Gerakan Sosial Baru membatasi diri dalam empat
pengertian yaitu:
1. Aktor-aktor gerakan sosial baru tidak berjuang demi kembalinya komunitaskomunitas utopia tak terjangkau dimasa lalu.
2. Aktornya berjuang untuk otonomi, pluralitas.

25
Universitas Sumatera Utara

3. Para aktornya melakukan upaya sadar untuk belajar dari pengalaman masa lalu, untuk
merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran.
4. Para aktornya mempertimbangkan keadaan formal negara dan ekonomi pasar.

Dengan demikian tujuan dari gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi
negara, masyarakat dan perekonomian untuk menciptakan ruang publik yang di dalamnya
terdapat wacana demokratis otonomi dan kebebasan individual.

a. Gerakan sosial baru
Gerakan sosial baru merupakan proses perjuangan secara diam-diam dalam melawan
batasan-batasan model konvensional hingga membuka sebuah dataran luas aksi-aksi kolektif

masyarakat. Kemunculan gerakan sosial ini, yang beberapa diantaranya berlangsung lintas
batas negara dan masyarakat, disatukan bukan saja oleh kelas namun juga oleh kepeduliankepedulian kolektif “manusia” terhadap “wajah” baru masyarakat yang terebentuk oleh aksiaksi manusia.
Jean Cohen(1985:674) mengidentifikasikan asumsi karakteristik umum, yang
terutama merupakan asumsi fungsionalis Smelserian, menjadi dasar bagi studi teori-teori
kontemporer mengeni Gerakan sosial baru :
1. Ada dua macam aksi : yaitu perilaku kolektif yang institusinal-konvensional dan
yang non-konvensional.
2. Perilaku kolektif non-konvensional merupakan tipe aksi yang tidakdibimbing oleh
norma sosial yang ada, namun terbentuk untuk menghadapi situasi-situasi yang
masih kabur.

26
Universitas Sumatera Utara

3. Situasi-situasi yang kabur ini harus dipahami sebagai keruntuhan sosial, baik karena
runtuhnya agen kontrol sosial maupun karena ketidaklayakan pengintegrasian
nirmatif masyarakat karena adanya perubahan-perubahan struktural.
4. Ketegangan-ketegangan, ketidakpuasan, rasa frustasi dan agresi yang dihasilkannya
mendorong individu untuk membentuk perilaku kolektif.
5. Perilaku kolektif yang non-konvensional memiliki sebuah siklus hidup, terbuka

terhadap analisis sebab-akibat, yang bentuknya bisa mulai dari aksi massa yang
spontan sampai dengan pembentukan gerakan sosial dan politik.
6. Kelahiran dan kematangan gerakan sosial, dalam siklus hidup ini, berlangsung
melalui proses-proses komunikasi : seperti penularan satu pihak ke pihak lain, difusi,
reaksi yang tak berujung pangkal dsb.

Gerakan Sosial baru (New Social Movement) mempunyai karakter yang lain yaitu,
Framing(pembingkaian).
Framing (pembingkaian) adalah suatu bentuk cara pandang individu terhadap fenomena
yang dipengaruhi oleh ideologi di dalam dirinya. Dengan kata lain, frame menentukan sikap
individu terhadap suatu fenomena. Menurut Goffman (2002), frame dalam gerakan sosial
adalah “skema interpretasi” yang memberikan kemampuan individu untuk mengidentifikasi
suatu fenomena yang sedang terjadi di sekitarnya. Frame tidak hanya terpaku terhadap
pengaturan secara individu, tetapi juga kelompok. Frame itu sendiri memiliki elemen-elemen
tertentu seperti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, dan tujuan.
Framing dalam gerakan sosial lebih dapat dianggap sebagai cara atau strategi yang
digunakan untuk menyamakan pandangan baik dari pelaku maupun dari masyarakat terhadap
suatu isu tertentu.

27

Universitas Sumatera Utara

Dalam gerakan sosial, framing digunakan untuk mendiagnosis suatu kondisi sosial yang
bermasalah untuk dipecahkan, menawarkan jalan keluar, dan menawarkan alasan
pembenaran untuk memotivasi dukungan bagi aksi kolektif. Seperti yang dikatakan Sidney
Tarrow (2005) bahwa framing bertujuan untuk menjustifikasi, memuliakan, dan mendorong
aksi kolektif. Dalam gerakan sosial dibutuhkan tiga frame, yaitu:
a.Agregate Frame adalah proses pengartian isu sebagai masalah sosial. Individu yang
mendengar frame dari peristiwa tersebut sadar bahwa isu tersebut adalah masalah bersama
yang berpengaruh di setiap individu.
b.Consensus Frame adalah proses definisi yang berkaitan dengan masalah sosial hanya
dapat diselesaikan dengan tindakan kolektif. Hal ini mengkonstruksi perasaan dan identifikasi
dari individu untuk bertindak secara kolektif.
c.Collective Action Frame adalah proses yang memaparkan kenapa dibutuhkan suatu
tindakan kolektif, serta tindakan kolektif apa yang harus dilakukan.

b.Penyebab terjadinya gerakan sosial
Masyarakat dalam proses kemunculan dan pembetukannya secara teleologis
mengarah ke arah dirinya sendiri. Dalam proses tersebut terdapat isu penyimpangan, keadilan
sosial dan martabat manusia. Sistem koersi dan kontrol, dan penerapannya pada individuindividu dengan mengatasnamakan tatanan sosial, perdamaian, dan harmoni sosial yang

menghasilkan sistem pertentangan dan konflik dalam masyarakat. Penindasan dan kekuasaan
melahirkan pertentangan.
Penggunaan secara gigih oposisi dan resistensi terhadap sistem kekuasaan dan kontrol
merupakan kenyataan sosial yang sama luas berlakunya dengan konsepsi tatanan sosial dalam
masyarakat manusia. Selain itu, situasi-situasi ketimpangan dan dominasi sosial jika
dijalankan dan dipertahankan oleh institusi-institusi dan lembaga-lembaga sosial pada

28
Universitas Sumatera Utara

gilirannya akan menghasilkan sebuah situasi balik dimana terjadi perlawanan, penolakan dan
pemberontakan yang menentang sistem dominasi tersebut. Hal tersebutlah yang
menyebabkan adanya konflik dalam masyarakat yang dapat membawanya pada gerakan
sosial.

Pada konteks PKL, resistensi oleh Alisjahbana (2007) digambarkan sebagai bentuk
perlawanan yang ditempuh oleh pedagang kaki lima dengan melakukan 2 (dua) tipologi
gerakan, yaitu:
1. Resistensi secara terang-terangan. Gerakan ini sangat identik dengan konfrontasi,
dengan melakukan cara-cara seperti berbenturan secara fisik dengan petugas,

melakukan intimidasi, demonstrasi dan sebagainya.
2. Resistensi secara tersembunyi, yakni resistensi yang dilakukan dalam bentuk siasat
untuk menghindari konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota. Mereka
lebih memilih mengalah dan menghindar. Namun perlawanan ini mencoba
mempertahankan

kepentingannya

lewat

main

“kucing-kucingan”.

Setelah

ditertibkan, maka mereka akan mencari lokasi lain dan kembali lagi ketempat
semula, atau biasanya lebih memilih meminta bantuan advokasi dari pihak-pihak
pendamping seperti Mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat.


PKL melakukan perlawanan, selama ini didampingi beberapa bentuk organisasi
PKL antara lain seperti Asosiasi Pedagang Kaki Lima (ASPEK-5), Lembaga Advokasi dan
pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Persatuan PKL (PPK-5), Aktivis Aktive Society Institut
(AcSi), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK). Nama- nama organisasi tersebut adalah pada
umumnya sangat aktif dalam memperjuangkan orang-orang yang kemampuan ekonominya
lemah di kota Makassar. (A. Syamsu Alam, 2009) .

29
Universitas Sumatera Utara

2.2 Sifat- Sifat Gerakan Sosial
Penjelasan klasik atas gerakan sosial telah diutarakan oleh Karl Marx bahwa gerakan
sosial muncul akibat kontradiksi antarstuktur di tengah masyarakat. Pertentangan kelas
borjuis dan proletar dalam mempertahankan atau merebut alat produksi yang merupakan
sumber kontradiksi tersebut. Masing -masing gerakan sosial yang muncul dari tiap
kecendrungan sosial berupaya menegasi setiap pemicu konflik yang secara khas berakar
pada tiap kecendrungan sosial (social tendencies).
Gerakan social sifatnya menuntut perubahan institusi, pejabat atau kebijakan akan
berakhir dengan terpenuhi permintaan gerakan sosial. Sebaliknya jika gerakan social
bernafaskan ideology, maka tak terbatas pada perubahan institusional tapi lebih jauh dari itu

yakni perubahan yang mendasar berupa perbaikan dalam pemikiran dan kebijakan dasar
pemerintah. (Wahid, 2006) .

Para sosiolog membedakan gerakan sosial kedalam beberapa jenis, (Sidney Tarrow : 2005)

1. Ruang Lingkup

Gerakan reformasi - gerakan yang didedikasikan untuk mengubah beberapa norma,
biasanya hukum. Contoh gerakan semacam ini akan mencakup seperti, gerakan social PKL
dengan tujuan untuk meningkatkan hak-hak mereka, gerakan PKL yang menganjurkan pada
pemerintah untuk lebih memperhatikan PKL dengan baik dan para Satpol PP dalam
penertiban tidak menggunakan kekerasan pada PKL. Sifat gerakan semacam itu tidak hanya
terkait dengan masalah tetapi juga dengan metode yang dipergunakan, dari kemungkinan ada
penggunaan metode yang sikap reformis non-radikal yang akan digunakan untuk pencapaian
akhir tujuan, seperti dalam kasus aborsi agar dapat tercipta adanya pembuatan hukum
perundangan-undangan.

30
Universitas Sumatera Utara


2. Gerakan radikal.

Gerakan yang didedikasikan untuk adanya perubahan segera

terhadap sistem nilai dengan melakukan perubahan-perubahan secara substansi dan
mendasar, tidak seperti gerakan reformasi, Contohnya termasuk Gerakan PKL yang penuh
menuntut hak-hak sipil dan persamaan di bawah hukum untuk semua PKL (gerakan ini luas
dan mencakup hampir seluruh unsur-unsur radikal dan reformis), terlepas dari ras, agama dan
lainnya. Gerakan yang menuntut transformasi dari sebuah tata nilai politik Stalinisme menuju
kepada tata nilai sistem poltik sistem ekonomi atau ke dalam tata nilai sistem poltik
demokrasi di dalam penghunian kehidupan kota.

3. Jenis Perubahan
a. Gerakan Inovasi - gerakan yang ingin mengaktifkan norma-norma tertentu, nilainilai, dan lain-lain gerakan advokasi yang tak umum kesengajaan untuk efek dan
menjamin keamanan teknologi yang tak umum adalah contoh dari gerakan inovasi.
b. Gerakan Konservatif - gerakan yang ingin menjaga norma-norma yang ada, nilai, dan
sebagainya Sebagai contoh, anti-abad ke-19, gerakan modern menentang penyebaran
makanan transgenik dapat dilihat sebagai gerakan konservatif dalam bahwa mereka
bertujuan untuk melawan perubahan teknologi secara spesifik, namun mereka dengan
cara yang progresif gerakan yang hanya bersikap anti-perubahan (misalnya menjadi

anti-imigrasi) sedang untuk hasil tujuan kepentingan tidak pernah didapat hanya
merupakan bersifat bertahan.

4. Target
a. Gerakan fokus berkelompok - bertujuan memengaruhi atau terfokus pada kelompok
atau masyarakat pada umumnya, misalnya, menganjurkan perubahan sistem politik.

31
Universitas Sumatera Utara

Beberapa kelompok ini akan berubah atau menjadi atau akan bergabung dengan
partai politik, tetapi banyak tetap berada di luar sistem partai politik partai.
b. Gerakan fokus Individu - fokus pada yang memengaruhi secara personal atau
individu. Sebagian besar dari gerakan-gerakan keagamaan akan termasuk dalam
kategori ini.

5. Lama dan baru
a.

Gerakan lama - gerakan untuk perubahan yang telah ada sejak awal masyarakat,

sebagian besar merupakan gerakan-gerakan abad ke-19 berjuang untuk kelompokkelompok sosial tertentu, seperti kelas pekerja, petani, orang kulit putih, kaum
bangsawan, keagamaan, laki-laki. Mereka biasanya berpusat di sekitar beberapa
tujuan materialistik seperti meningkatkan standar hidup atau, misalnya, otonomi
politik kelas pekerja.

b. Gerakan baru - gerakan yang menjadi dominan mulai dari paruh kedua abad ke-20 seperti gerakan feminis, gerakan pro-choice, gerakan hak-hak sipil, gerakan
lingkungan, gerakan perangkat lunak bebas, gerakan hak-hak gay, gerakan
perdamaian, gerakan anti-nuklir, gerakan alter-globalisasi dan lain lain, Kadangkadang gerakan ini dikenal sebagai gerakan sosial baru. Mereka biasanya berpusat di
sekitar isu-isu yang sama yang tidak terpisahkan dari masalah sosial.

2.2.1

Perilaku Kolektif
Perilaku sosial merupakan hal terpenting dalam suatu sosialisasi kehidupan, tak

sedikitpun seseorang mengelak akan keberadaan perilaku sposial di sekitar kita. Oleh
karena itu, kehidupan di masyarakat sangat sarat dengan perilaku sosial, baik itu perilaku
sosial yang individualis maupun kolektif. Keberadaan perilaku ini dapat membawa dampak

32
Universitas Sumatera Utara

tersendiri bagi dunia sosial yakni penyimpangan dari perilaku sosial tersebut. Keberadaan
perilaku kolektif membawa dampak besar bagi kehidupan sosial masyarakat, dan banyak
perilaku-perilaku ini yang tidak sesuai dengan norma-norma institusi atau lembaca
masyarakat yang berlaku di masyarakat umum. Perilaku inilah yang memberikan kontribusi
terbesar dalam seleksi keberadaan perilaku-perilaku penyimpangan sosial. Dalam
kehidupan nyata, banyak kita temukan berbagai macam bentuk penyimpangan dari perilaku
kolektif ini, sehingga pada makalah ini selain membahas bentuk dari perilaku kolektif, kami
juga membahas mengenai penyimpangan perilaku kolektif. Selain perilaku kolektif, gerakan
sosial juga turut berkembang dalam masyarakat. Sebuah gerakan sosial, apapun latar
belakang hsitoris terbentuknya, pada hakekatnya menekankan pada suatu tujuan utama
gerakan yaitu suatu perubahan. Tidak menjadi masalah apakah perubahan yang diinginkan
bersifat infrastruktur atau suprastruktur. Semenjak manusia mulai hidup berkelompok, dan
selanjutnya membentuk suatu komunitas dalam sebuah lingkungan sosial sendiri dengan
dibatasi oleh wilayah beserta aturan main yang bersifat hukum dan politik.

Ahli Sosiologi menggunakan isitlah perilaku kolektif

mengacu pada perilaku

sekelompok orang yang muncul secara spontan , tidak terstruktur sebagai respons terhadap
kejadian tertentu. Perilaku kolektif adalah suatu perilaku yang tidak biasa, sehingga perilaku
kolektif dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur dan
tidak stabil dari sekelompok orang, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
ketidakpuasan. (Agus, 2003) .
Ciri ciri Perilaku Kolektif adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan bersama oleh sejumlah orang .
2. Tidak bersifat rutin/ hanya insidential.
3. Dipacuoleh beberapa rangsangan masalah.

33
Universitas Sumatera Utara

Faktor Penentu Perilaku Kolektif sebagai berikut :
1. Situasi social: Situasi yang menyangkut, ada tidaknya pengaturan dalam instansi
tertentu.
2. Ketegangan structural: Adanya perbedaan atau kesenjangan disuatu wilayah
yang akan menimbulkan ketegangan yang dapatmenimbulkanbentrok serta
ketidakpahaman antara PKL dengan satpol PP.
3. Faktor yang mendahului : yakni faktor penunjang dari kecemasan dan curigaan
yang dikandung masyarakat(PKL).
Gustave Le Bon, perintis utama teori perilaku kolektif menginterpretasikan
kerumunan massa Revolusi prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai
emosi binatang. Seperti yang terjadi dalam penertiban pedagang kaki lima di kota medan,
petugas penertiban selalu melakukan tindakan paksa dan mendapat perlawanan dari PKL
sehingga diwarnai dengan bentrok fisik (konflik). Dengan kata lain individu didalam
kerumunan massa tidak lagi menjadi individu yang rasional dan taatterhadap tatanan norma
standar yang ada di masyarakat.
David Popenoe melihat perilaku kolektif sering muncul sebagai sebuah respon atau
stimulus terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur atau
sebagai tindakan yang tidak mencerminkan struktur sosial yang ada seperti peraturan
perundang undangan, kebijakan pemerintah dan lembaga formal dan non formal.

2.2.2

Model-Model Gerakan Sosial

Ada dua model yang tampil menonjol dalam definsi ini adalah : Pertama, gerakangerakan sosial melibatkan “tantangan kolektif”, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk
mengadakan perubahan di dalam aransemen-aransemen kelembagaan. Tantangan-tantangan
ini bisa berpusat kepada kebijakan-kebijakan publik atau ditujukan untuk mengawali

34
Universitas Sumatera Utara

perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga-lembaga sosial dan politik, distribusi
jaminan sosial, atau bisa juga menyangkut konseptualisasi mengenai hak-hak dan tanggung
jawab sosial dan politik. Sedangkan yang kedua adalah corak politis yang inheren di dalam
gerakan-gerakan sosial. Ini terutama terkait dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai lewat
Gerakan-Gerakan sosial, yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi
kekuasaan dan wewenang. Tujuan-tujuan politis ini hanya mungkin dicapai lewat interaksiinteraksi yang terus-menerus, berkelanjutan, dengan aktor-aktor politik di luar Gerakan, yang
terpenting di antaranya adalah sekutu-sekutu dan pesaing-pesaing politik dan pemegang
otoritas kekuasaan. (Maulana, 2008).

Perubahan ini juga dapat menyebababkan kritis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang
selama ini di agungkan. Perubahan itu akan menimbulkan gejolak yang dirugikan dan
kemudian meluas menjadi Gerakan Sosial. Ketiga, Gerakan Sosial semata- mata
kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Sang tokoh

masalah

penggerak akan menjadi

inspirator, membuat jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang
termotivasi untuk terlibat dalam Gerakan tersebut.
Indikasi awal untuk menangkap gejala gerakan sosial menurut John Lofland (2003) adalah
dengan mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen arena publik dan
ditandai oleh kua litas "aliran" atau "gelombang". Dalam prakteknya suatu Gerakan Sosial
dapat diketahui terutama lewat banyak organisasi baru yang terbentuk, bertambahnya jumlah
anggota pada suatu organisasi gerakan dan semakin banyaknya aksi kekerasan atau protes
terencana dan tak terencana.

Selain itu menurut Lofland (2003) dua aspek empiris gelombang yang perlu diperhatikan
adalah, Pertama, aliran tersebut cenderung berumur pendek antara lima sampai delapan

35
Universitas Sumatera Utara

tahun. Jika telah melewati kurun waktu itu gerakan akan melemah dan meskipun masih ada
akan tetapi gerakan telah mengalami proses 'cooled down'. Kedua, banyak organisasi
kekerasan atau protes yang berubah menjadi Gerakan Sosial atau setidaknya bagian dari
gerakan-gerakan yang disebut diatas. Organisasi-organisasi ini selalu berupaya menciptakan
Gerakan Sosial - atau jika organisasinya memiliki teori operasi yang berbeda maka mereka
akan dengan sabar menunggu pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis
kapitalisme) atau pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan jahat, atau kedua hal
tersebut, serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral. Kala itulah gerakan itu bisa
dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan. (Lofland, 2003 )
Lebih lanjut untuk mengetahui model gerakan sosial dapat dirumuskan bahwa sebuah
Gerakan Sosial terdiri dari:

1. Lahirnya kekerasan atau protes baru dengan semangat muda yang dibentuk secara
Independen.
2. Bertambahnya jumlah (dan peserta) aksi kekerasan dan/atau protes terencana dan tak
terencana (terutama kumpulan) secara cepat.
3. Kebangkitan opini massa
4. Semua yang ditujukan kepada oknum lembaga sentral
5. Sebagai bentuk usaha untuk melahirkan perubahan pada struktur dari lembagalembaga sentral.

Dalam memahami dan menjelaskan fenomena Gerakan Sosial, para ahli ilmu sosial
tersebut mengembangkan wacana sehingga pada tatanan teoritis telah melahirkan beberapa
pendekatan untuk bisa lebih menjelaskan Gerakan Sosial. Paradigma teoritis dari Gerakan
Sosial mungkin bisa dimasukan dalam istilah yang berbeda-beda. Selain paradigma NEOMarxisme, Pendekatan yang mendominasi hingga awal tahun 1970-an adalah konsep prilaku

36
Universitas Sumatera Utara

kolektif interaksionis dan konsep gerakan sosial mahzab Chicago, serta model
structuralfungsional. Paradigma yang terakhir ini merupakan perspektif yang paling luas
dianut pada saat itu.

2.3 Penelitian Terdahulu
1.

Penelitian dari E Baene (2011), Operasi penertiban yang sering dilakukan oleh

Pemerintah kota Malang terhadap PKL yang dianggap melanggar Perda Nomor. 1 Tahun
2000, rupanya tidak diterima begitu saja oleh PKL, Ternyata para PKL melakukan berbagai
bentuk gerakan dalam menghadapi aparat Pemda, bahkan bentuk perlawanan mereka akhirakhir ini semakin keras. Kerasnya perlawanan PKL tersebut disebabkan oleh muinculnya
berbagai faktor-faktor yang berkaitan dengan perlawanan dari PKL. Secara teoritis, suatu
perlawanan dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk , tergantung dari kondisi
situasional yang tercipta pada saat itu serta nilai-nilai dan norma, baik yang berlaku
dilingkungan setempat maupun yang mengendap dalam pemikiran aktornya. Demikian pula
bahwa terdapat sejumlah faktor yang saling berkaitan sehingga menyebabkan terjadinya
suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain.
Hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat di ajukan : (a) Kiranya
Perda No. 1 Tahun 2000 tentang pengaturan dan pembinaan yang terkait dengan pedagang
kaki lima dapat ditinjau ulang, karena ternyata relokasi yang dilakukan oleh pemerintah
kota Malang terhadap PKL tidak memenuhi standar, menurut para PKL bahwa lokasi
tersebut sepi dari pembeli bahkan mereka sering rugi. (b) Kiranya Pemerintah memfasilitasi
PKL dengan menyediakan tempat-tempat khusus bagi PKL untuk berdagang. Kepentingan
ekonomi PKL perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan
PKL dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa
merusak aspek keindahan dan ketertiban kota. (c) Sosialisasi yang dilakukan oleh

37
Universitas Sumatera Utara

pemerintah harus dilakukan secara langsung tanpa harus ada ketegangan, dan bukan hanya
saja melalui paguyuban atau ketua kelompok tertentu: dan (d) Perlunya pembenahan
internal bagi Pemda dimana anggotanya memanfaatkan PKL menarik dana dengan alasan
keamanan padahal mereka juga yang menertibkannya. Dari hasil penelitian ini yang
didukung oleh berbagai metode pengumpulan data, baik secara observasi, dan wawancara.

2.

Penelitian dari Septiana Dwi, 2011. Resistensi PKL terhadap kebijakan Pemerintah

kota Semarang. Keberadaan PKL di jalan kokrosono merupakan suatu fenomena kegiatan
perekonomian rakyat kecil , dan kehadiran PKL menimbulkan berbagai persoalan terkait
dengan masalah kebersihan, ketertiban, dan keramaian. Tindakan penertiban yang dilakukan
oleh aparat pemerintah selalu mendapat perlawanan dari PKL, sehingga menimbulkan
konflik di antaranya. Para petugas dalam melakukan penertiban juga sering kali mengalami
berbagai kesulitan dikarenakan para PKL melakukan perlawanan .
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah ingin melihat Faktor- Faktor yang
menyebabkan adanya perlawanan PKL, bentuk-bentuk perlawanan PKL, serta bagaimana
kelembagaan PKL di jalan Kokrosono kota Semarang. Hasil yang diperoleh (1) Faktor
penyebab perlawanan PKL adalah faktor ketidakadilan. Pedagang kaki lima merasa telah
memberikan pungutan yang ditarik oleh pihak yang diberi kewewenangan untuk melakukan
tugas tersebut, guna untuk disetor ke kelurahan setempat. Oleh karena itu para PKL tetap
berjualan seperti biasanya dan tidah mau pindah dengan alasan mereka telah membayar
sejumlah uang. (2) Bentuk-bentuk perlawanan PKL terhadap kebijakan Pemerintah kota
Semarang adalah tetap berjualan, menolak relokasi, menyembunyikan barang dagangan,
dan bersembunyi atau “kucing-kucingan” dengan petugas.
Dalam penertiban PKL biasanya akan diberi waktu untuk pindah atau membongkar
secara mandiri (dengan jaminan surat pernyataan), apabila masih dilanggar maka PKL yang

38
Universitas Sumatera Utara

bersangkutan akan diberi sanksi baik secara pembongkaran dan penyitaan barang
daganganya maupun sanksi pidana atau pemberkasan dengan ancaman hukuman kurungan
paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 sesuai dengan Perda No. 11
Tahun 2000 pasal 12 tentang pengaturan dan Pembinaan PKL. Dari hasil penelitian ini yang
didukung oleh berbagai metode pengumpulan data, baik secara observasi, dan wawancara

3.

Penelitian dari Akhmad Raditya Maulana Fajrin dan Dian Rahcmawati (2016).

Keberadaan PKL di kota Malang menimbulkan berbagai macam persoalan perkotaan yang
menyebabkan kemacetan, menurunnya estetika kota dan menurunya fungsi trotoar. Hal ini
disebabkan PKL yang berjualan menggunakan fasilitas umum dan pedagang tidak menata
barang dagangan mereka dengan rapi. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian dalam
menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penataan PKL.
Hasil penelitiannya terdapat 9 faktor yang berpengaruh dalam penataan PKL , mereka
secara tidak tertata, ziq-zaq dan seporadis sehingga menimbulkan kesan kumuh dan
mengurangi estetika kota. Hal tersebut di akibatkan karena bercampur aduknya berbagai
jenis dagangan yang yang berada pada satu lokasi dan tidak teraturnya jenis sarana
berdagang mulai dari gerobak, lapak dan sepeda dan beraneka ragam lainnya. Sehingga
terjadinya kesemerawutan yang berdampak pada pejalan kaki .
Berdasarkan hasil Analisis peneliti tahun 2015 , ada faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penataan ialah tingginya tingkat kemacetan yang disebabkan oleh keberadaan PKL yang
menggunakan bahu jalan. Rendahnya kebersihan pada lokasi pedagang kaki lima belum
terdapat isentif dan disentif terhadap keberadaan PKL . Kemudian tidak terdapat
penyuluhan sadar hukum sehingga PKL tidak mengerti menangani hukum yang berlaku
pada lokasi tersebut, sehingga PKL berdagang tanpa ada batasan waktu. Oleh karena itu

39
Universitas Sumatera Utara

pentingnya mendapatkan pembinaan umum dari pihak pemerintah mengenai Keberadaan
PKL yg benar dan tertata dengan baik.

4.

Penelitian dari Asmu, (2011). Mengenai Tokoh Dalam Gerakan Tani. Berdasarkan

hasil penelitiannya dalam gerakan perlawan petani tradisional, ada tokoh-tokoh yang
memegang peranan penting. Protes dan perlawanan, bahkan pemberontakan petani yang di
dominasi oleh tokoh tersebut, sebagian besar dipimpin oleh elit-elit lokal dan tokoh-tokoh
masyarakat setempat. Bersama dengan para petani, tokoh-tokoh yang memimpin gerakan
berani berkorban untuk membela kepentingan hak-hak mereka dengan tujuan membuktikan
besarnya peran tokoh atau elit dalam gerakan petani. Tokoh yang muncul dalam melakukan
perlawanan dari petani adalah tokoh muda setempat yang muda idealis dan energik,
Aktivitas LSM.
Setelah itu para petani yang memberontak membuat sebuah organisasi tani yang
merupakan aksi dari kekuatan mereka yang di dampingi oleh aktivis mahasiswa dan
pengorganisasian. Pendampingan dan pengorganisasian merupakan pilihan model yag
dikembangkan para aktivis, untuk menggerakan dan menumbuhkan organisasi tani sebagai
alat perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya yang selama ini di rampas oleh
penguasa dan penguasa. Perlawanan kaum tani tetap dilakukan seperti dengan melakukan
pembangkangan pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan
fasilitas, pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pengambilalihan atau
pendudukan tanah sampai juga perlawanan fisik.
5.

Penelitian dari Andini, (2000). Mengenai keadaan tani dan gerakan tani di Jawa Barat.

Dari hasil penelitiannya gerakan tani di Jawa Barat mengalami gelombang pasang sesudah
berhasil tertumpasnya grombolan DI-TII setelah tergembleng dalam perjuangan melawan 7
setan desa.Dari laporan riset telah di temukan berbagai macam bentuk perlawanan kaum

40
Universitas Sumatera Utara

tani.Kaum tani selalu memberikan perlawanan yang gigih dan berani dalam mempertahankan
tanh garapan bekas tanah kehutanan atau bekas tanah perkebunan, baik di tanah garapannya
maupun di pengadilan. Aksi tersebut mendapat dukungan dari kaum buruh kehutanan dan
agraria, dan aksi-aksi umumnya sudah dapat dikoordinasi dan dipimpin dengan baik.
Dalam aksi tersebut, kaum tani sekaligus melawan penyalahgunaan gerakan penghijauan
yang di dalam praktiknya membiarkan tanah yang seharusnya di hijaukan, tetapi mengusir
kaum tani dari tanah garapannya yang sudah menjadi sawah, ladang, dan desa, yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan hidrologi dan mencegah erosi. Dari
berbagai macam aksi di Jawa Barat selama ini, dapat dilihat bahwa kaum tani sudah berani
melawan dan melakukan aksi-aksi sepihak yang mempunyai kepentingan tersebut.
Berdasarkan hasil Analisis peneliti tahun 2015 , ada faktor-faktor yang berpengaruh
dalam penataan ialah tingginya tingkat kemacetan yang disebabkan oleh keberadaan PKL
yang menggunakan bahu jalan. Rendahnya kebersihan pada lokasi pedagang kaki lima
belum terdapat isentif dan disentif terhadap keberadaan PKL . Kemudian tidak terdapat
penyuluhan sadar hukum sehingga PKL tidak mengerti menangani hukum yang berlaku
pada lokasi tersebut, sehingga PKL berdagang tanpa ada batasan waktu. Oleh karena itu
pentingnya mendapatkan pembinaan umum dari pihak pemerintah mengenai Keberadaan
PKL yg benar dan tertata dengan baik.

4.

Penelitian dari Asmu, (2011). Mengenai Tokoh Dalam Gerakan Tani. Berdasarkan

hasil penelitiannya dalam gerakan perlawan petani tradisional, ada tokoh-tokoh yang
memegang peranan penting. Protes dan perlawanan, bahkan pemberontakan petani yang di
dominasi oleh tokoh tersebut, sebagian besar dipimpin oleh elit-elit lokal dan tokoh-tokoh
masyarakat setempat. Bersama dengan para petani, tokoh-tokoh yang memimpin gerakan
berani berkorban untuk membela kepentingan hak-hak mereka dengan tujuan membuktikan

41
Universitas Sumatera Utara

besarnya peran tokoh atau elit dalam gerakan petani. Tokoh yang muncul dalam melakukan
perlawanan dari petani adalah tokoh muda setempat yang muda idealis dan energik,
Aktivitas LSM.
Setelah itu para petani yang memberontak membuat sebuah organisasi tani yang
merupakan aksi dari kekuatan mereka yang di dampingi oleh aktivis mahasiswa dan
pengorganisasian. Pendampingan dan pengorganisasian merupakan pilihan model yag
dikembangkan para aktivis, untuk menggerakan dan menumbuhkan organisasi tani sebagai
alat perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya yang selama ini di rampas oleh
penguasa dan penguasa. Perlawanan kaum tani tetap dilakukan seperti dengan melakukan
pembangkangan pembayaran pajak, aksi demonstrasi, aksi mogok makan, perusakan
fasilitas, pemerintah, penolakan untuk dipindahkan dari tanahnya, pengambilalihan atau
pendudukan tanah sampai juga perlawanan fisik.

5.

Penelitian dari Aidit, (1964). Mengenai keadaan tani dan gerakan tani di Jawa Barat.

Dari hasil penelitiannya gerakan tani di Jawa Barat mengalami gelombang pasang sesudah
berhasil tertumpasnya grombolan DI-TII setelah tergembleng dalam perjuangan melawan 7
setan desa. Dari laporan riset telah di temukan berbagai macam bentuk perlawanan kaum
tani. Kaum tani selalu memberikan perlawanan yang gigih dan berani dalam
mempertahankan tanh garapan bekas tanah kehutanan atau bekas tanah perkebunan, baik di
tanah garapannya maupun di pengadilan. Aksi tersebut mendapat dukungan dari kaum
buruh kehutanan dan agraria, dan aksi-aksi umumnya sudah dapat dikoordinasi dan
dipimpin dengan baik.
Dalam aksi tersebut, kaum tani sekaligus melawan penyalahgunaan gerakan penghijauan
yang di dalam praktiknya membiarkan tanah yang seharusnya di hijaukan, tetapi mengusir
kaum tani dari tanah garapannya yang sudah menjadi sawah, ladang, dan desa, yang sama

42
Universitas Sumatera Utara

sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan hidrologi dan mencegah erosi. Dari
berbagai macam aksi di Jawa Barat selama ini, dapat dilihat bahwa kaum tani sudah berani
melawan dan melakukan aksi-aksi sepihak yang mempunyai kepentingan tersebut.

6.

Penelitian dari Soenyono, (2007) mengenai gerakan social masyarakat miskin

perkotaan: studi kasus gerakan masyarakat stren kali Surabaya menolak kebijakan
penggusuran yang di lakukan pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa, pertama, latar belakang historis timbulnya social grievancies dan discontents
Masyarakat Stren Kali Surabaya disebabkan oleh tiga fenomena mendasar, yaitu (a)
terjadinya proses pembangunan pedesaan yang menggunakan program `revolusi hijau, (b)
terjadinya konsentrasi investasi di perkotaan dan urbanisasi berlebih , dan (c) adanya
ancaman penggusuran. Kedua, enabling (peluang politik) yang melingkupi gerakan sosial
masyarakat stren kali Surabaya yaitu terbukanya era reformasi yang memberi kebebasan
berkumpul, menyampaikan pendapat, dan adanya pers yang bebas. Adapun yang menjadi
kendala (constraint) bagi aktualisasi gerakan sosial masyarakat stren kali terdiri atas lima
dimensi, yaitu ketertutupan sistem politik, tingginya tingkat represi rezim kota terhadap
masyarakat stren kali Surabaya, adanya berbagai kebijakan yang mengancam sumberdaya
yang dimiliki masyarakat stren, kegagalan Pemda dalam mengimplemen-tasikan
kebijakan, dan kecenderungan Pemda yang hanya memperhatikan tuntutan masyarakat
global dan pars investor asing.
Kelima kendala tersebut menjadi alasan untuk memicu gerakan sosial masyarakat
stren kali Surabaya, karena adanya peluang kebebasan masyarakat untuk menyampaikan
pendapat. Ketiga, struktur atau lembaga yang menjadi wahana Masyarakat Stren Kali
Surabaya dalam melakukan gerakan sosial meliputi Paguyuban Masyarakat Stren Kali
Surabaya, LSM, Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), kelompok pengajian, arisan,

43
Universitas Sumatera Utara

dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Seluruh lembaga ini mempunyai peran
sangat vital sebagai wahana gerakan sosial dalam rangka memberikan inspirasi,
menentukan arah, merencanakan langkah, melaksanakan tindakan, dan mengevaluasi
gerakan yang dilakukan secara kolektif dalam suatu wadah organisasi sosial. Asal mula
terjadinya gerakan berawal sejak adanya surat peringatan pengosongan wilayah stren.
Mulai saat itu, warga melakukan protes. Dalam suasana kepanikan, LSM JERIT dan UPC
datang memberi advokasi dan membentuk organisasi di tiap-tiap wilayah stren, serta
membangun dukungan dari seluruh masyarakat stren. Setelah sekian organisasi lokal
terbentuk, dibuat jaringan antar wilayah, hingga akhirnya terbentuk struktur komando dari
Sekjen, Presidium, hingga Korwil. Lintas teritorial tidak hanya membuat jejaring dengan
LSM di Surabaya, tetapi juga dengan LSM dii kota-kota lain, termasuk dengan LSM
asing. Lintas isu tidak hanya mengangkat isu masyarakat miskin perkotaan, tetapi juga isu
perempuan, lingkungan, buruh, anak-anak, petani, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Keempat, framing merupakan upaya merumuskan strategi, taktik melakukan gerakan
sosial Masyarakat Stren Kali Surabaya. Kelompok¬kelompok yang mampu membangun
framing masyarakat untuk melakukan gerakan sosial adalah LSM, Paguyuban, Tokoh
masyarakat, Ketua RT/RW, masyarakat itu sendiri, dan media. Berbagai gerakan untuk
membangun framing meliputi, rapat rutin antar pengurus Korwil, rapat rutin antara
pengurus korwil dengan masyarakat, melakukan sarasehan, mengajak masyarakat
memboikot Pemilu, membuat konsep penataan dan renovasi, mengirim wakil masyarakat
ke India dan Thailand, menciptakan simbol kultural berupa Posko/Sanggar, Sekretariat
Bersama, Festival Jogo Kali, logo, membentuk kelompok tabungan, membentuk kelompok
arisan, dan membentuk kelompok belajar dan bermain, membentuk kelompok pengajian,
melakukan berbagai demonstrasi baik kepada DPRD, Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kota Surabaya, maupun ke Menteri Kimpraswil; membangun budaya bersih dan disiplin,

44
Universitas Sumatera Utara

dalam berbagai kegiatan paguyuban, membangun kultur tertib lingkungan dengan cara
mengadakan ronda,
memasang lampu di pinggir jalan inspeksi, dan menjaga ketertiban masyarakat,
membangun WC, tempat pembuangan sampah, melakukan penghijauan di sekitar rumah
masing-masing, membangun jaringan dengan media, dan menciptakan ideologi.
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat ditarik proposisi penelitian sebagai berikut.
Proposisi Pertama: Gerakan protes yang kecil-kecil akan mempunyai peluang berhasil,
apabila: (1) mempunyai tujuan yang jelas, (2) dilakukan secara terus menerus, dan (3)
dilakukan dalam bentuk gerakan sosial dengan membentuk jaringan yang luas, tidak hanya
lintas teritorial tetapi juga lintas isu. Proposisi Kedua: Gerakan sosial Masyarakat Stren
Kali Surabaya berhasil karena para pelaku gerakan mengembangkan gerakan lingkungan
tertib dan bersih, serta mengusung ideologi pembangunan tanpa penggusuran, sehingga
Pemda kehilangan legitimasi untuk menggusurnya. Implikasi teoretik hasil penelitian
disertasi ini melengkapi teori asal-mula kemunculan gerakan yang dikemukakan oleh
McAdam, dkk. Faktor kemunculan gerakan sosial Masyarakat Stren Kali Surabaya pada
dasarnya disebabkan oleh adanya delapan elemen terpenting. (1) adanya ketidakpuasan
dan kekecewaan sosial (social grievancies and discontents), (2) kesempatan politik
(political opportunity), (3) adanya organisasi yang mewadahi dan memobilisasi
Masyarakat Stren Kali Surabaya, (4) proses pembingkaian kultural (cultural framing), (5)
adanya tujuan yang jelas, (6) dilakukan secara terus menerus, (7) adanva jaringan yang
kuat dan luas, tidak hanya lintas teritorial tetapi juga lintas isu, dan (8) adanya ideologi
pembangunan tanpa penggusuran.
7.

Penelitian dari Della Porta dan Diani, (1999)mengenai Gerakan Perlawanan Masyarakat

Terhadap Perwal Nomor 35 Tahun 2013 . Dalam penelitiannya mengungkapkan sedikitnya ada
empat karakteristik utama gerakan sosial, yakni : jaringan interaksi informal, perasaan dan

45
Universitas Sumatera Utara

solidaritas bersama, konflik sebagai fokus aksi kolektif, mengedepankan bentuk-bentuk
protes. Dengan kata lain, gerakan sosial merupakan jaringan-jaringan informal yang
mendasarkan diri pada perasaan dan solidaritas bersama, yang bertujuan untuk
memobilisasi isu-isu konfliktual, melalui berbagai bentuk protes yang dilakukan secara
terus-menerus.
Latar belakang munculnya perlawanan masyarakat adalah protes serta bentuk
perlawanan atas peraturan walikota nomor 35 tahun 2013 tentang implementasi jalur satu
arah di lingkar Universitas Brawijaya. Dengan jumlah penduduk yang besar serta
dipengaruhi olehadanya masyarakat pendatang tersebut, kepadatan penduduk jelas
menjadi suatu hal yang tak dapat dipungkiri. Di bidang transportasi, aktifitas mobilitas
penduduk mengakibatkan kemacetan. Karena untuk pemenuhan kebutuhan transportasi
sehari-hari penduduk Kota Malang cenderung memilih menggunakan kendaraannya
sendiri baik roda dua maupun roda empat. Kondisi ini mengakibatkan jumlah kendaraan
meningkat sehingga berdampak pada pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak
sebanding dengan prasarana jalan yang ada. Hal inilah yang menimbulkan kepadatan pada
ruas-ruas jalan perkotaan sehingga menimbulkan kemacetan. Masyarakat yang tidak setuju
dengan satu arah melakukan perlawanan terhadap walikota Malang, mereka menuntut
pengembalian dua arah di semua jalan yang diberlakukan peraturan satu arah. Masyarakat
terdampak peraturan tersebut beralasan bahwa dengan pemberlakuan satu arah telah
membuat perekonomian mereka hancur, penghasilan tidak menentu, dan bahkan ada di
antara mereka yang tidak membuka toko dan kiosnya karena sepi orang yang berbelanja.
Begitu juga dengan kecelakaan lalu lintas, menurut mereka, setelah pemberlakuan satu
arah banyak terjadi kecelakaan karena kendaraan, terutama sepeda motor melaju dengan
kecepatan tinggi. Ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah yang
diberlakukan jalur satu arah merasa kesulitan untuk menyebrang jalan. Selain itu

46
Universitas Sumatera Utara

masyarakat menilai ada kejanggalan dalam penerapan kebijakan satu arah tersebut, tidak
ada sosialisasi dari pihak pemerintah, tidak ada uji coba namun langsung di
implementasikan, ini dinilai sebagai kebijakan sepihak Pemerintah Kota Malang. Tuntutan
penolakaan satu arah dilakukan masyarakat dengan berbagai macam cara, mulai dari aksi
demonstrasi ke balaikota, memblokade jalan lingkar Universitas Brawijaya, tidak hanya
sekedar dengan melakukan aksi demonstrasi

47
Universitas Sumatera Utara