Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan)

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM MENGELOLA PEDAGANG KAKI LIMA

(Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

DISUSUN OLEH:

DINA FUJISARI SITUMEANG

060903023

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Dina Fujisari Situmeang

NIM : 060903023

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan)

Medan, April 2010

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Dra. Dahlia Hafni Lubis Prof.Dr. Marlon Sihombing, M.A. NIP : 194511151984032001 NIP : 195908161986111001

Pembantu Dekan I

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Humaizi, M.A. NIP : 195908091986011002


(3)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu anugerah dari Tuhan Yesus Kristus yang diberikan-Nya kepada penulis. Untuk itu, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada-Nya atas berkat dan bimbingan-kepada-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut mengambil dalam membatu penulis menyelesaikan laporan ini, mulai dari pengarahan di kampus sampai praktek sesungguhnya di lapangan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Muhammad Arif Nasution, MA. selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Prof. DR. Marlon Sihombing, MA. yang telah memberikan rekomendasi serta pembekalan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Dahlia Hafni Lubis selaku dosen pembimbing yang penuh kesabaran dan perhatian membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa kepada ayahku tercinta, Alm. Deli Situmeang, yang belum sempat melihatku menyelesaikan perkuliahan karena telah pergi mendahului kami, yang telah membimbing penulis dari kecil untuk tetap bersemangat dalam menjalani hidup. Skripsi ini ku persembahkan untukmu, Pak.


(4)

5. Kepada Ibuku tercinta, Ritawaty Siagian, yang tetap bersemangat memberikan dukungan moril dan materil kepada Penulis selama menjalani kuliah, meskipun ia berusaha seorang diri. Skripsi ini adalah sebagai tanda balas jasa ku untuk perjuangan mama.

6. Untuk adek-adek ku, Iko di Bogor, woi... cepat kau tamat yaa.. udah lama gak ada laki-laki di rumah.. hahahahaha... Juga untuk adek ku yang paling kecil, Sion, agak-agak kurangi dulu berat badan mu, biar berkurang anggaran untuk tempel ban mobil... hahahahaahha....

7. Untuk opung, uda, dan tante yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam menjalani perkuliahan.

8. Bapak Ismail M. Taufik selaku Ketua Koperasi Pedagang Kecil Warkop Ahmad Yani Medan dan Bapak M. Syahdar D.H., yang telah memberikan waktu dan ilmunya menjadi informan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Data dan informasi yang diberikan sangat berguna bagi penulis.

9. Para Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Santa Elisabeth yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis yang sangat berguna bagi penyelesaian skripsi ini.

10. Staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya selama ini kepada penulis.

11. Kak Mega dan Kak Dian yang telah membantu penulis dalam mengurus segala keperluan administrasi dan memberikan segala informasi dari departemen.

12. Kepada teman-teman satu kelompok magang ku, kelompok 6 yang gokil-gokil; Butet (Bu Ketu), Ony, Yulia, (comment untuk kelen nanti ya woi...) Jhoan (skali lagi kalo


(5)

berenang bawa perlengkapan ya, cuy.. hahahahaha...), Julian (walaupun dirimu cuma sebagai fotografer di magang, tapi lumayan jugalah hasil karyamu, hehehehe...), Ito Juned (kapan lagi kita ngeteh susu di kantin, to???), dan Rolla (semoga tercapai cita-cita mu di BI itu ya, cuy.. hehehe..).

13. Yang paling seru, teman-teman kompak ku yang lucu-lucu, yang punya ciri khas dan keunikan masing-masing. Pertama, Butet/Butas/Buting/Bu Ketu/dll, mempunyai keunikan suka mendoakan orang (udah kau doakan TH mu, tas?? Hehehe...). Kedua, Dina, diriku sendiri, (keunikannya buat di kata pengantar skripsi kelen masing-masing yaa..hehehehe..). Ketiga, Elidong, mempunyai keunikan terlalu maju tapi gak pernah betul (cemana skripsi mu yang udah siap sampe bab 6 itu tapi belum penelitian, leg?? Kwakakakakakkakaak...). Keempat, Julved, mempunyai keunikan tukang merepet (jangan lupa tiap hari kamis fotocopy pratitur koor, lur.. kwkakakaakkakak...). Kelima, Tuteng, mempunyai keunikan kebanyakan urusan (gak kau jemput adek mu dari Perbaungan, Zak?? Kwakakakakakakak...). Keenam, Martung/Martungbak, mempunyai keunikan suka pegang poni, suka menyalahkan baju, dan suka hilang tiba-tiba kalo lagi telepon (Tung, pinjamlah dulu bajumu yang kau bilang bisa bikin body tampak bulat itu!! Kwakakakakakakak..). Ketujuh, Oneng, mempunyai keunikan suka berubah mood (Kapan lagi kita cari balon di amcor, leg??). Terakhir, Yupe, mempunyai keunikan gak pernah on time, hobby tidur, dan ktawa sambil mengeluarkan lidah (Leg, kalo ngerjakan skripsi dalam keadaan sadar yaa, jangan sambil tidur.. kwakakakakakakk...). Jaga keunikan masing-masing ya, cuy biar tetap kenal kita di masa tua nanti.


(6)

14. Teman-teman Stambuk 2006 yang bersama-sama dengan ku melewati suka dan duka selama menuntut ilmu di FISIP selama 4 tahun. Sukses ya woi!!

15. To someone special, Bang Deny, yang telah memberikan warna dalam hidup ku,

memberikan pelajaran arti perjuangan dalam hidup, dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Thanks ya, bang.

16. Kepada seluruh pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu, yang telah banyak menuangkan ide yang bersifat membangun selama pembuatan skripsi ini dilakukan.

Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak” , demikian pula halnya dengan skripsi ini, tentu ada kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima saran-saran yang konstruktif, solutif, membangun guna mencapai kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Kerangka Teori ... 9

1. Implementasi Kebijakan Publik ... 10

2. Pemerintah Kota ... 22

3. Pedagang Kaki Lima ... 23

4. Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ... 26

5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima ... 32

F. Definisi Konsep ... 36

G. Definisi Operasional ... 37

BAB II METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Bentuk Penelitian ... 40

B. Lokasi Penelitian ... 40

C. Informan ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

E. Teknik Analisis Data ... 42

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 44


(8)

B. Gambaran Umum Kota Medan ... 50

C. Gambaran Umum Kecamatan Medan Maimun ... 57

D. Bagian Administrasi Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kota Medan ... 62

E. Kondisi Pedagang Kaki Lima di Sekitar Rumah Sakit Santa Elisabeth Kecamatan Medan Maimun ... 66

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 70

A. Hasil Penelitian ... 70

B. Pelaksanaan Wawancara ... 70

C. Hasil Wawancara ... 72

1. Kebijakan ... 73

2. Struktur ... 79

3. Sumber Daya ... 80

4. Komunikasi ... 82

5. Kecenderungan (Disposisi) ... 85

6. Masalah dan Prospek ... 87

BAB V ANALISA DATA ... 91

A. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ... 91

B. Proses Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima di Depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan ... 93

1. Kebijakan ... 93

2. Struktur ... 95

3. Sumber Daya ... 96

4. Komunikasi ... 98

5. Kecenderungan (Disposisi) ... 99


(9)

A. Kesimpulan ... 101 B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel III.1 Perincian Jumlah Penduduk Setiap Kelurahan Kecamatan

Medan Maimun ... 58

Tabel III.2 Data Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Medan Maimun ... 59

Tabel III.3 Prasarana Kecamatan Medan Maimun ... 60


(11)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM MENGELOLA PEDAGANG KAKI LIMA

(STUDI KASUS PADA PEDAGANG KAKI LIMA DI DEPAN RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN) Skripsi ini disusun oleh :

Nama : Dina Fujisari Situmeang NIM : 060903023

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Pembimbing : Dra. Dahlia Hafni Lubis

Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam melakukan tindakan penertiban Pedagang Kaki Lima yang dilakukan dengan salah satu cara yaitu penggusuran memang dapat dimengerti, mengingat sebagian besar lokasi yang digunakan oleh para Pedagang Kaki Lima untuk melakukan kegiatan dagang merupakan lokasi umum yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Namun, tindakan penggusuran tersebut berdampak negatif bagi sebagian besar Pedagang Kaki Lima, yaitu mereka merasa kehilangan sumber pendapatan mereka. Sehingga terkadang masyarakat sering beranggapan bahwa kebijakan pemerintah bersifat tidak adil.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Medan membuat suatu kebijakan, yaitu dengan melakukan tindakan relokasi kepada para Pedagang Kaki Lima, yaitu dengan menempatkan para Pedagang Kaki Lima ke suatu tempat yang tidak mengganggu ketertiban umum. Tetapi, sering sekali tindakan relokasi ini dilakukan pada lokasi yang tidak strategis sebagai tempat berdagang, sehingga para Pedagang Kaki Lima mencari lokasi lain yang merupakan lokasi umum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima yang sering dianggap sebagai sektor informal yang mengganggu ketertiban umum. Untuk itu, penelitian ini dilakukan kepada para Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Elisabeth Medan yang merupakan salah satu lokasi tempat berkumpulnya para Pedagang Kaki Lima yang ditata dan dikelola oleh Pemerintah Kota Medan, karena lokasi para Pedagang Kaki Lima ini dianggap tidak mengganggu ketertiban umum, sebab tidak berada di jalan protokol, tidak berada di sekitar perumahan warga, terletak di dekat Taman Ahmad Yani, dan terletak dekat dengan lokasi perkantoran, sekolah, dan rumah sakit.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk itu, penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap mengetahui atau terkait dengan judul penelitian ini, kemudian menganalisanya berdasarkan teori dan fenomena yang ada di lapangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam mengelola Pedagang Kaki Lima di lokasi depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, Pemerintah Kota Medan membuat suatu wadah, yaitu dalam bentuk koperasi, untuk mengelola dan menata para Pedagang Kaki Lima tersebut yang disusun dalam wujud peraturan yang dibuat oleh koperasi. Koperasi ini juga berfungsi sebagai wadah untuk menerima bantuan dari berbagai pihak yang bersedia membantu dalam proses pengelolaan dan penataan para Pedagang Kaki Lima di lokasi ini. Keyword : Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima


(12)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM MENGELOLA PEDAGANG KAKI LIMA

(STUDI KASUS PADA PEDAGANG KAKI LIMA DI DEPAN RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN) Skripsi ini disusun oleh :

Nama : Dina Fujisari Situmeang NIM : 060903023

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Pembimbing : Dra. Dahlia Hafni Lubis

Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam melakukan tindakan penertiban Pedagang Kaki Lima yang dilakukan dengan salah satu cara yaitu penggusuran memang dapat dimengerti, mengingat sebagian besar lokasi yang digunakan oleh para Pedagang Kaki Lima untuk melakukan kegiatan dagang merupakan lokasi umum yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Namun, tindakan penggusuran tersebut berdampak negatif bagi sebagian besar Pedagang Kaki Lima, yaitu mereka merasa kehilangan sumber pendapatan mereka. Sehingga terkadang masyarakat sering beranggapan bahwa kebijakan pemerintah bersifat tidak adil.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Medan membuat suatu kebijakan, yaitu dengan melakukan tindakan relokasi kepada para Pedagang Kaki Lima, yaitu dengan menempatkan para Pedagang Kaki Lima ke suatu tempat yang tidak mengganggu ketertiban umum. Tetapi, sering sekali tindakan relokasi ini dilakukan pada lokasi yang tidak strategis sebagai tempat berdagang, sehingga para Pedagang Kaki Lima mencari lokasi lain yang merupakan lokasi umum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima yang sering dianggap sebagai sektor informal yang mengganggu ketertiban umum. Untuk itu, penelitian ini dilakukan kepada para Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Elisabeth Medan yang merupakan salah satu lokasi tempat berkumpulnya para Pedagang Kaki Lima yang ditata dan dikelola oleh Pemerintah Kota Medan, karena lokasi para Pedagang Kaki Lima ini dianggap tidak mengganggu ketertiban umum, sebab tidak berada di jalan protokol, tidak berada di sekitar perumahan warga, terletak di dekat Taman Ahmad Yani, dan terletak dekat dengan lokasi perkantoran, sekolah, dan rumah sakit.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk itu, penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yang dianggap mengetahui atau terkait dengan judul penelitian ini, kemudian menganalisanya berdasarkan teori dan fenomena yang ada di lapangan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam mengelola Pedagang Kaki Lima di lokasi depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, Pemerintah Kota Medan membuat suatu wadah, yaitu dalam bentuk koperasi, untuk mengelola dan menata para Pedagang Kaki Lima tersebut yang disusun dalam wujud peraturan yang dibuat oleh koperasi. Koperasi ini juga berfungsi sebagai wadah untuk menerima bantuan dari berbagai pihak yang bersedia membantu dalam proses pengelolaan dan penataan para Pedagang Kaki Lima di lokasi ini. Keyword : Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepertinya Indonesia bukanlah surga bagi sektor informal. Indonesia juga bukan surga bagi penduduk kelompok bawah. Benar bahwa sektor informal dan hunian kumuh merupakan pemandangan tak nyaman dan tak sedap dipandang. Namun sektor informal menjadi bagian terbesar dari pelaku usaha. Kita harus menyadari bahwa setidaknya 80 juta warga hidup miskin, atau berada di kelompok terbawah.

Tidak semua orang mendapatkan kesempatan dan pekerjaan yang layak yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dan keluarganya. Faktor penyebabnya antara lain bekal pendidikan formal yang rendah, keterampilan yang tidak memadai, ketimpangan pembangunan secara geografis yang meningkatkan urbanisasi, dan lain sebagainya. Seiring dengan hal tersebut, pemenuhan kehidupan hidup primer tidak dapat ditunda dan terus mendesak. Hal itulah kemudian yang mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi informal dalam berbagai bentuk, sebagai alternatif upaya pemenuhan kebutuhan primer yang dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu bentuknya yang populer di Indonesia adalah Pedagang Kaki Lima (PKL), yang dalam perkembangannya seperti buah simalakama, dibutuhkan sekaligus menimbulkan permasalahan.

Menurut M. Arif Nasution (2006: 5), perhatian terhadap sektor informal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini telah lama menjadi pengamatan pakar Ilmu-Ilmu Sosial dalam meneliti masyarakat tradisional. Isu yang dikaji biasanya seputar pada sistem pemasaran dalam hubungannya dengan ekonomi dan budaya lokal yang ada.


(14)

Hanya saja, isu hukum mengenai penataan sektor informal masih relatif jarang, apalagi dalam kaitannya dengan aspek penataan lahan.

Aspek hukum dalam kaitannya dengan sektor informal ini secara fundamental tentunya terlebih dahulu harus dirujuk pada Konstitusi. Sesuai dengan alinea IV pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), salah satu tujuan pembangunan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum. Sebagai upaya untuk memperoleh kesejahteraan umum, maka penyelenggara negara membuat aturan dasarnya dalam pasal UUD 1945, seperti yang tertuang dalam pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lebih lanjut, pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, pembangunan Nasional untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan Nasional.

Mengacu pada data Biro Pusat Statistik, sektor informal menyumbang sekitar 74 persen terhadap kesempatan kerja pada tahun 1985, berkurang menjadi 72 persen pada tahun 1990 dan 65 persen pada 1998. Pengurangan ini sangat kecil, artinya sektor informal merupakan penampung angkatan kerja dominan. Bahkan pasca krisis ekonomi, di perkirakan penyerapan tenaga kerja di sektor ini meningkat. Akan tetapi, meski peranannya penting, pembicaraan tentang sektor informal tampak lebih menimbulkan persoalan daripada memecahkannya. Hal ini terjadi terutama karena langkanya definisi yang tepat


(15)

tentang sektor informal Novermber 2009).

Secara sederhana, konsep ini digunakan untuk merangkum segala kegiatan yang tidak termasuk dalam sektor formal, yaitu sektor yang telah terorganisir, terdaftar dan dilindungi hukum. Pengertian lain dikembangkan dari karakterisitik pelakunya. Umumnya yang terlibat pada sektor ini berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil dan kebanyakan para migran. Karena itu, cakrawala mereka terbatas untuk mencari kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan langsung bagi dirinya sendiri, tidak untuk maksimalisasi profit. Meskipun demikian harus diakui banyak di antara pelaku sektor informal berusaha dan berhasil mengatasi berbagai masalah dan hambatan yang ada dan secara perlahan masuk ke dalam sektor formal.

Mengingat kapasitas sektor formal dalam menampung pertambahan angkatan kerja sangat terbatas, maka perhatian serius terhadap sektor informal sangat diperlukan. Sebenarnya, Departemen Tenaga Kerja telah mengembangkan kebijakan pembinaan sektor informal dengan empat pendekatan, yaitu mendorong usaha informal menjadi usaha formal, meningkatkan kemampuan usaha sektor informal yang sama, merencanakan lokasi baru bagi usaha sektor informal yang menimbulkan kerugian sosial dan mengalihkan usaha yang kurang memiliki prospek ke bidang usaha lain yang lebih prospektif.

Secara umum, program-program tersebut cenderung membantu sektor informal dari segi manajemen dan permodalan. Pendekatan ini tampaknya tidak selalu berhasil dan lebih tepat bila ditujukan pada program pengembangan usaha kecil formal (small scale business). Hal ini disebabkan, selain permodalan masalah utama pada sektor informal adalah rendahnya tingkat keterampilan dan pendidikan para pelakunya.


(16)

Masalah lain menyangkut pendekatan pembinaan yang kurang didukung penataan aturan-aturan untuk melindungi sektor informal. Hal ini menimbulkan kesulitan terhadap pemerintah dalam membina sektor informal, sebab tidak sedikit di kalangan sektor informal yang pesimis dan skeptis dengan setiap program pembinaan dan pengembangan yang diprakarsai pemerintah.

Mengingat hal tersebut, perlu kiranya dibedakan unit-unit sektor informal dengan usaha kecil karena akan berimplikasi operasional. Umumnya, usaha kecil cenderung berorientasi keuntungan dan sudah didukung keterampilan yang memadai. Masalah yang dihadapi pengusaha kecil lebih condong pada peningkatan kemampuan manajerial dan peluang lebih besar dalam mendapatkan dukungan permodalan. Perbedaan karakteristik ini mengisyaratkan bahwa pola pendekatan untuk membantu sektor informal haruslah berbeda dengan usaha kecil. Program pengembangan usaha kecil lebih mengarah pada pembinaan manajemen usaha dan pemberian kemudahan mendapatkan kredit modal kerja/ perluasan usaha. Sedangkan orientasi pembinaan unit-unit sektor informal yang tidak tergolong usaha formal kecil adalah pada peningkatan keterampilan, pendidikan dan penataan performa usaha.

Ciri-ciri pekerja sektor informal juga menunjukkan bahwa mereka tidak selalu dapat mengartikulasikan dan menetapkan kebutuhannya. Dalam hal ini perlu dicatat, meskipun berbagai usaha telah dilakukan pada waktu lalu untuk membantu sektor ini, usaha ini tidak selalu sesuai dengan harapan, misalnya seperti operasi Hari Esok Penuh Harapan (HEPH) yang dicanangkan pemerintah pada awal tahun 90-an. Kelemahan-kelemahan ini sebagian disebabkan oleh fokus yang kurang jelas terhadap kebutuhan dan kegagalan dalam menilai kemampuan unit-unit sektor informal untuk menyerap bantuan.


(17)

Dengan kata lain, tidak seperti pada program pengembangan usaha kecil, program yang ditujukan pada sektor informal harus dapat menciptakan kepercayaan, membantu mereka dalam menetapkan kebutuhannya atas berbagai bentuk bantuan, mengetahui hubungan antara berbagai bentuk bantuan dan menilai kemampuan mereka untuk menyerap bantuan.

Di sisi lain, meskipun pekerja sektor informal membutuhkan berbagai bentuk bantuan, tipis harapan mereka akan mendapatkannya. Hal ini disebabkan, banyak kalangan mencurigai kemauan baik atau menyangsikan kemampuan pemerintah daerah untuk membantu mereka. Tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan umum terhadap sektor ini di berbagai negara malah 'dimusuhi' sehingga mengurangi kredibilitas program, seperti operasi HEPH.

Tampaknya penting untuk memulihkan keadaan ini melalui perubahan dalam kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah. Dalam hal ini, lembaga-lembaga sukarela atau LSM-LSM dapat memainkan peranan positif yang berguna membantu sektor informal. Pendekatan tersebut diperlukan agar dapat mengidentifikasikan berbagai bentuk bantuan (misalnya: kredit, keterampilan, peralatan, teknologi pemasaran, prasarana) dan memberikan paket yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Banyak negara berkembang telah menerapkan kebijakan dan pendekatan baru dalam pengembangan sektor informal. Pemerintah Ghana misalnya, menerapkan kebijakan bantuan khusus seperti penyediaan tempat atau kios untuk membangun kinerja unit-unit sektor informal yang lebih baik. India berusaha meningkatkan kredit melalui program-program khusus untuk golongan lemah dan sektor informal, serta mengembangkan


(18)

kemudahan dalam pemasaran. Sedangkan Filipina berusaha memberikan keterampilan sebagai suatu sarana untuk mobilitas pekerjaan.

Sudah sangat diperlukan reorientasi pembinaan yang mengacu pada peningkatan keterampilan, penataan performa usaha dan wilayah pemasaran. Selain itu, perlu adanya penataan aturan yang seimbang untuk menghindarkan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap pelaku sektor informal dan sekaligus untuk menghindari kota dari kesemrawutan. Bagaimanapun, sektor informal yang tidak terkendali akan cenderung menyebabkan ketidaktertiban kota.

Peningkatan keterampilan tidak harus memerlukan biaya sangat tinggi karena itu bisa dilakukan secara kerjasama dengan lembaga non profit. Hal yang sama juga untuk penataan performa usaha, lembaga non profit yang memiliki kapasitas di bidang ini dapat di ajak kerjasama dengan pemda. Kerjasama antara pemda dan lembaga non profit ini akan bermanfaat ganda, yakni selain bisa menekan biaya juga membuat program berjalan lebih efektif karena pelaku sektor informal umumnya masih respek terhadap lembaga-lembaga non profit dibanding kepada pemerintah daerah.

Krisis sekarang telah membuat pemerintah daerah dan pusat memiliki banyak excuse untuk lebih santai dan kurang terfokus. Lebih memilih pasif daripada aktif dan lebih memilih berkelit daripada berbuat, termasuk dalam membenahi sektor informal. Mudah-mudahan kelalaian ini tidak sampai berkembang menjadi parah. Kalau tidak, kita hanya bisa melihat kota-kota yang super semrawut dan tidak aman.

Pada tingkat Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara, kebijakan terhadap sektor informal secara kuantitatif dapat dilihat pada APBD Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil analisa terhadap APBD Sumut pada Tahun Anggaran 2000 dan 2001, keberpihakan


(19)

Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara terhadap sektor informal sangat rendah. Untuk Tahun Anggaran 2000, alokasi untuk sektor informal dalam APBD tidak ada secara eksplisit, yang ada hanya sektor usaha perdagangan, pemngembangan usaha daerah, keuangan daerah, dan koperasi. Begitu juga dalam APBD Sumut Tahun Anggaran 2001, kebijakan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara tetap belum jelas terhadap sektor informal, atau masih belum ada perubahan yang mendasar dibandingkan dengan tahun 2000 (Hanif, 2002: x).

Sedangkan untuk Kota Medan sendiri, Kota Medan dianggap sebagai tempat yang strategis karena salah satu fungsi utama Kota Medan adalah sebagai pusat perdagangan. Kegiatan pada sektor perdagangan di Kota Medan di antaranya terdiri dari kegiatan di pasar, plaza/mall, toko, restaurant, Pedagang Kaki Lima, dan warung. Kegiatan perdagangan tersebut umumnya tergolong dalam kegiatan-kegiatan pada sektor perdagangan formal maupun sektor perdagangan informal.

Lokasi para Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan merupakan salah satu lokasi Pedagang Kaki Lima yang mendapat kebijakan pengelolaan dari Pemerintah Kota Medan. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima”.

B. Perumusan Masalah

Menurut Arikunto (2005: 14), perumusan masalah sangat penting agar diketahui arah jalannya suatu penelitian. Batasan masalah bukan batasan pengertian. Tidak jarang mahasiswa yang mencampuradukkan kedua jenis batasan tersebut. Ada yang menganggap


(20)

sebagai dua hal tetapi sama. Ada yang menggunakan secara terbalik. Batasan masalah merupakan sejumlah masalah yang merupakan pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya melalui penelitian. Dengan makna tersebut maka batasan masalah sebenarnya adalah batasan permasalahan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis di dalam melakukan penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima?”

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima.

2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima.

D. Manfaat Penelitian

Setelah selesai penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik bagi kami sendiri maupun pihak lain yang berkepentingan dalam penelitian ini. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah:


(21)

1. Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan mengenai keadaan Pedagang Kaki Lima di kota Medan dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima tersebut yang direalisasikan dalam bentuk kebijakan.

2. Bagi Pemerintah Kota Medan, dapat dijadikan sebagai masukan mengenai pentingnya keberadaan Pedagang Kaki Lima dalam meningkatkan kesempatan kerja. 3. Bagi pihak lain, terutama rekan-rekan mahasiswa serta para pembaca sebagai

sumbangan pemikiran dan informasi mengenai Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Pedagang Kaki Lima.

E. Kerangka teori

Seperti dikemukakan oleh Singarimbun (1995: 37), sebagai titik tolak atau landasan berpikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.

Berdasarkan rumusan diatas,maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berpikir dalam penelitian ini.


(22)

1. Implementasi Kebijakan Publik

Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan oleh James Anderson bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno, 2002: 16), maka dapat diketahui bahwa kebijakan (dalam hal ini berarti kebijakan publik) timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata “publik”, menurut Thomas Dye, mengandung tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum (Abidin, 2004: 22).

Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Winarno, 2002: 27). Setelah sebuah kebijakan publik dibuat atau dirumuskan, baik menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan, maka tahapan selanjutnya adalah tindakan pelaksanaan atau implementasi. Sebab kebijakan publik yang tidak diimplementasikan hanya menjadi sebatas kumpulan aturan-aturan pemerintah yang tidak berfungsi sama sekali. Oleh karena itu, (Wahab, 1990:51) mengemukakan bahwa pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Menurut Cheema dan Rondinelli (Wibawa, 1994:15) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas, implementasi maksudnya adalah pelaksanaan dan melakukan suatu program kebijaksanaan dan dijelaskan bahwa satu proses interaksi di antara dan menentukan seseorang yang diinginkan.

Perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan merupakan tahap-tahap yang saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh


(23)

karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah hatus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah (Winarno, 2002: 29).

Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah (Tangkilisan, 2003: 9).

Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa implementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil sebagaimana diharapkan.

Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan (2003: 18) mengemukakan tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu (1) penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; (2) organisasi, yaitu unit atau wadah untukmemnempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan (3) penerapan, yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lain.

Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli dari berbagai literatur.


(24)

a. Model Top-Down oleh Sabatier dan Mazmanian

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (Putra, 2003: 86) ini, meninjau dari kerangka analisanya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up.

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapainannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementator untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Sedangkan untuk bottom-up, mereka mencoba memprediksikan signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area problem, dengan keterbatasan hierarki formal dalam kondisi hubungan dengan lingkungan di luar peraturan. Mereka melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel yang berhubungan dengan: (1) karakteristik masalah; (2) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional kebijakan; dan (3) faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol koordinatif atau koordinasi.

Model top-down dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena


(25)

modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau pebuh. Model ini mempunyai skor rendah pada bukti-bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Model ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga dari aktor lain.

Gambar 1

Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

(Sumber: Putra, 2003:89)

Karakteristik Masalah 1. Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan

Variabel Non-Peraturan

1. Kondisi sosio ekonomi dan teknologi 2. Perhatian pers terhadap masalah

kebijakan 3. Dukungan publik 4. Sikap dan sumber daya

5. Dukungan kewenangan

6. Komitmen dan kemampuan pejabat

pelaksana Daya dukung Peraturan

1. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2. Teori kasual yang memadai 3. Sumber keuangan yang mencukupi 4. Integrasi organisasi pelaksana 5. Diskresi pelaksana

6. Rekrutmen dari pejabat

7. Akses formal pelaksana organisasi

Proses Implementasi

Keluaran Kesesuaian Dampak aktual Dampak yang diperkirakan

Kebijakan dari keluaran kebijakan keluaran

Organisasi dengan kelompok kebijakan


(26)

b. Model Bottom-Up oleh Smith

Model yang dikemukakan oleh Smith (Putra, 2003: 90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yaitu melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, di mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (2) target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; (3) implementating organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan; (4) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik).

Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berintraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara formulator dan implementator kebijakan.


(27)

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untik menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group. Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih diragukan kesiapan dan kemampuannya.

Gambar 2

Model Proses atau Alur Smith

Policy Tension

Transactions

Feedback Institutions

(Sumber: Putra, 2003: 92)

c. Model Goggin

Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal Policy

Making Process

Implementing Organization

Target Group

Idealized Policy


(28)

pada keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi; (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif; dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya (Tangkilisan, 2003: 20).

d. Model Grindle

Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi; (2) Tipe-tipe manfaat; (3) Derajat perubahan yang diharapkan; (4) Letak pengambilan keputusan; (5) Pelaksanaan program; dan (6) Sumber daya yang dilibatkan. Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan.

Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; (2) Karakteristik lembaga penguasa; dan (3) Kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran di mana tindakan administrasi dilakukan (Tangkilisan, 2003: 20).


(29)

e. Model Van Meter dan Van Horn

Model yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi dan yang menyangkut dalam proses kebijakan publik adalah (Subarsono, 2005: 99):

1) Standar dan sasaran kebijakan.

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi hingga memunculkan konflik antara implementator.

2) Sumber daya

Implementasi kebijakan perlu didukung oleh sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia.

3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas

Dalam banyak program implementasi, sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Maka untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4) Karakteristik agen pelaksana

Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.


(30)

5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; (1) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; (2) Karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; (3) Bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan (4) Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6) Disposisi implementator

Disposisi implementator ini mencakup tiga hal, yakni: (1) Respon implementator terhadap kebijakan, yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (2) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (3) Intensitas disposisi implementator, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementator.

f. Model George Edwards III

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni (Subarsono, 2005: 90):

1) Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni (Winarno, 2002: 126):

a) Transmisi

Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah


(31)

untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang lansung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan yang diabaikan atau sering kali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Pertama, pertentangan pendapat antara pelaksana dengan pemerintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaannya yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah-perintah umum. Kedua, informasi melewati berlapis-lapis hierarki. Ketiga, persepsi yang efektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persayaratan suatu kebijakan.

b) Konsistensi

Jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan, maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

c) Kejelasan

Edwards mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan,


(32)

masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan. 2) Sumber Daya

Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif, tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementator, informasi, fasilitas dan sumber daya finansial.

3) Disposisi (Kecenderungan atau Tingkah Laku)

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4) Struktur Organisasi

Struktur organisasi yang mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (Standard Operating Procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementasi dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit


(33)

dan kompleks. Ini pada gilirannya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga gagal. Rippley dan Franklin (Tangkilisan, 2003: 21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditinjau dari tiga faktor, yakni: Pertama, perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level burcancrats terhadap mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implemantasi yang berhasi; mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

Sementara itu, Peters (Tangkilisan, 2003: 22) mengatakan bahwa implementasi kebijakan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:

1) Informasi

Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

2) Isi Kebijakan

Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern dari kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.


(34)

3) Dukungan

Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak mendapatkan cukup dukungan terhadap kebijakan tersebut.

4) Pembagian potensi

Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

2. Pemerintah Kota

Pemerintah daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Yang disebut sebagai pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur pelaksana penyelenggara pemerintah daerah.

Sedangkan dalam penelitian ini yang dimaksud pemerintah daerah adalah Pemerintah Kota Medan, khususnya perangkat-perangkat daerah yang diberi tugas oleh Pemerintah Kota Medan untuk mengelola Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Elisabeth Medan.


(35)

3. Pedagang Kaki Lima

Pengertian pedagang sektor informal sangat terkait dengan ekonomi informal. Nimal Sandaratne (Limbong, 2007: 47), menyatakan bahwa ekonomi informal (informal economy) sangat banyak macamnya yang telah dikemukakan dalam literatur, seperti sektor yang tidak terorganisasi (the unorganised sector), ekonmi yang tidak terdaftar (unregistered economy), ekonomi ketiga (third economy), ekonomi bayangan (shadow economy), ekonomi bazaar (bazaar economy), dan tidak resmi (non-institutional). Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sering terjadi salah pengertian antara ekonomi informal (informal economy) dengan ekonomi bawah tanah (underground economy).

Kebanyakan usaha informal terdiri dari aktivitas ekonomi yang sah dengan kelembagaan dan organisasi yang lemah. Suatu hal yang salah bilamana ekonomi di bawah tanah (underground economy) disamakan dengan sektor informal (informal sector). Kedua hal tersebut tidak sama, di mana telah dikemukakan bahwa ekonomi di bawah tanah (underground economy) berhubungan dengan aktivitas perdagangan narkoba, dan kejahatan yang terorganisasi, sedangkan sektor informal terdiri dari kegiatan komersil yang sah seperti supir taxi, penjual pakaian di jalanan, dan sebagainya dengan tanpa persyaratan legal, seperti harus mempunyai izin dan membayar pajak.

Definisi dari ekonomi informal juga dipengaruhi oleh De Sotto (Limbong, 2007: 48) yang didasarkan pada kondisi orang-orang Peru. Ekonomi informal terdiri dari usaha-usaha ekonomi di luar hukum. Mengingat di bawah kondisi seperti itu, pendaftaran usaha ekonomi membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun demikian,


(36)

telah diakui bahwa kegiatan sektor informal telah memainkan peranan yang penting dalam perekonomian di negara-negara berkembang. Sektor informal bukanlah suatu fenomena eksklusif dalam ekonomi transisi atau ekonomi berkembang (developing economies) seperti yang terjadi di wilayah Asia Tenggara. Pedagang Kaki Lima sebagai suatu jenis kegiatan ekonomi pada sektor informal telah menunjukkan eksistensinya dalam wilayah perkotaan.

Untuk lebih jelasnya, kegiatan Pedagang Kaki Lima dalam sektor ekonomi yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal;

2) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha;

3) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerjanya;

4) Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak menyentuh ke sektor tersebut;

5) Unit usaha mudah masuk dari sub sektor ke sub sektor lain; 6) Terknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.

7) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga relatif kecil;

8) Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak membutuhkan pendidikan khusus.

9) Pada umumnya unit usaha termasuk “one man enterprises”, dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.

10)Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga tidak resmi.

11)Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi untuk masyarakat golongan berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga menengah.

Oleh sebab itu, Pedagang Kaki Lima dapat dianggap sebagai kegiatan ekonomi masyarakat bawah. Memang secara de facto, Pedagang Kaki Lima adalah sebagai pelaku ekonomi di pinggiran jalan. Sedangkan Smart, McGhee dan Dasgupta (Limbong, 2007: 49) menyatakan bahwa Pedagang Kaki Lima merupakan masyarakat miskin dan masyarakat marjinal. Pedagang Kaki Lima dalam melakukan aktivitasnya


(37)

di mana barang dagangannya diangkat dengan gerobak dorong, bersifat sementara, dengan alas tikar dan atau tanpa meja serta memakai atau tanpa tempat gantungan untuk memajang barang-barang jualannya, dan atau tanpa tenda, dan kebanyakan jarak tempat usaha antara mereka tidak dibatasi oleh batas-batas yang jelas. Para Pedagang Kaki Lima ini tidak mempunyai kepastian hak atas tempat usahanya.

Hingga kini, persoalan-persoalan menonjol yang menyangkut para pedagang kaki lima di berbagai kota di Indonesia oleh para pejabat pemerintah kota pada umumnya masih saja ditinjau dari segi kebijaksanaan menata lingkugan fisik perkotaan. Masalahnya meliputi pengotoran, penghambatan lalu lintas, dan perusakan keindahan kota di tempat-tempat umum di mana mereka berjualan. Di beberapa kota besar, kebijaksanaan dan tindakan yang diambil untuk mengatasi masalah pedagang kaki lima, baik secara langsung maupun tidak langsung pada umumnya meliputi:

a) relokasi, yakni penentuan tempat dan waktu usaha; b) pembangunan dan perbaikan kios-kios pasar; serta

c) pencegahan atau penghalauan apabila mereka berjualan di tempat-tempat umum.

Pelaksanaan-pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan ini dapat dikatakan tidak banyak berhasil. Masalah lingkungan fisik perkotaan sebagaimana diuraikan di atas dan yang selama ini diutamakan, sebenarnya merupakan hanya salah satu efek dari status para pedagang kaki lima sebagai golongan masyarakat bertaraf hidup rendah.

Sehubungan dengan itu, dirasakan perlu untuk memandang masalah pedagang kaki lima dalam konteks yang lebih hakiki, yakni sebagai masalah peningkatan taraf hidup. Hal ini selaras pula dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu peningkatan


(38)

taraf hidup masyarakat secara adil dan merata. Bagi para pedagang kaki lima, sebagai pedagang kecil sekaligus golongan masyarakat bertaraf hidup rendah, peningkatan taraf hidup berhubungan erat dengan pendapatan yang selanjutnya tergantung pula pada jumlah modal yang dimiliki dan digunakannya (Karafir, 1990: 3).

4. Pengelolaan Pedagang Kaki Lima

Salah satu alternatif yang dilakukan untuk mengelola Pedagang Kaki Lima dalah dengan cara melakukan penataan lokasi. Penataan lokasi merupakan penyediaan lokasi dengan mengatur tata letak tempat berdagang yang diperuntukkan bagi Pedagang Kaki Lima yang disesuaikan dengan tata ruang kota.

Penataan lokasi yang dikombinasikan dengan pengaturan waktu merupakan salah satu alternatif untuk menampung para Pedagang Kaki Lima. Para Pedagang Kaki Lima dapat berjualan pada jam tertentu. Sebenarnya kegiatan Pedagang Kaki Lima berdasarkan pengaturan waktu tersebut telah dilakukan sejak lama. Di mana pada malam hari jenis dagangan para Pedagang Kaki Lima umumnya adalah makanan dan minuman, sedangkan pada pagi hari adalah jenis sayur-sayuran di samping jenis makanan untuk sarapan pagi.

Pada dasarnya, merelokasi kegiatan Pedagang Kaki Lima ke suatu tempat merupakan suatu hal yang sering dilakukan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten. Namun, keputusan relokasi ke tempat lain seringkali sepihak dari Pemerintah Kota sehingga setelah para pedagang pindah ke tempat yang baru, pendapatan pedagang tersebut merosot. Akibatnya, para pedagang kembali lagi ke tempat semula atau mencari lokasi lain yang dianggap dapat menggantikan lokasi yang lama. Hal ini menimbulkan


(39)

masalah baru, karena para pedagang menciptakan kantong-kantong Pedagang Kaki Lima yang baru sesuai dengan kondisi tata ruang kota. Dengan demikian, pemerintah sebaiknya menyediakan tempat yang layak bagi Pemerintah Kota Medan untuk berjualan.

Pengertian layak adalah tempat berjualan baik disertai sarana dan prasarana dan lingkungannya serta ramai pengunjungnya. Jika pemerintah kota ingin merelokasi kegiatan Pedagang Kaki Lima, maka perlu dilakukan musyawarah lebih dahulu dengan para pedagang agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Hasil musyawarah tersebut diharapkan akan dituangkan dalam suatu keputusan bersama dan ditaati bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, pada prinsipnya para Pedagang Kaki Lima bersedia direlokasi asalkan tersedia tempat yang menjanjikan dan memberikan harapan yang lebih baik dari lokasi yang ada saat ini. Memang disadari bahwa merelokasi kegiatan Pedagang Kaki Lima bukanlah sesuatu yang sangat diminati oleh pedagang, karena pada lokasi yang lama pedagang tersebut telah mempunyai pelanggan yang berdampak terhadap penurunan pendapatan.

Untuk menjamin kepastian berusaha dari para Pedagang Kaki Lima yang melakukan kegiatan, baik yang sifatnya temporer maupun dalam jangka waktu tertentu, dimungkinkan untuk diberikan semacam legalitas untuk melakukan kegiatan berdagang. Legalitas yang dimungkinkan dapat diberikan saat ini adalah dalam bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota. Selain itu terhadap fasilitas yang dibangun oleh Pemerintah Kota Medan seperti fasilitas toko buku yang dibangun dan terdapat di Lapangan Merdeka dapat diberi semacam hak sewa. Mengingat sampai saat


(40)

ini legalitas penguasaan tanah tersebut belum jelas, di mana dahulu penguasaannya hanya didasarkan pada surat pernyataan dan komitmen untuk pemanfaatan bangunan saja sebagai bentuk kompensasi kesediaan pindah dari lokasi Titi Gantung.

Uraian mengenai legalitas yang dimungkinkan untuk diberikan kepada para Pedagang Kaki Lima dijelaskan sebagai berikut (Limbong, 2007: 303) :

a. Perizinan

Menjamurnya kegiatan Pedagang Kaki Lima di Kota Medan yang beroperasi pada tempat-tempat umum belum memiliki izin usaha dari Pemerintah Kota, sehingga kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan ilegal, padahal keberadaan para pedagang telah diakui oleh masyarakat. Tulus T. H. Tambunan menyatakan bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia perlu mendapat perhatian dari masyarakat luas, terutama karena kelompok unit usaha tersebut menyumbang sangat banyak kesempatan kerja dan oleh karena itu menjadi salah satu sumber bagi penciptaan pendapatan.

Perizinan atau pemberian izin pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu langkah “pembukaan” suatu pelaksanaan hukum bagi warga masyarakat untuk dapat langsung turut merasakan kegunaan adanya suatu hukum dan di samping itu secara langsung juga turut ambil bagian dalam pelaksanaannya. Dalam bidang keagrariaan, perizinan ini dapat dilihat dari izin Pemerintah kepada orang atau pribadi hukum tertentu untuk dapat menjadi pemegang hak atas tanah tertentu, dalam batas-batas tertentu baik itu berupa batas luas, batas waktu penggunaan, maupun batas kegunaan.


(41)

Selama ini Pemerintah Kota Medan belum sepenuhnya menyadari secara sungguh-sungguh tentang peran positif dari kehadiran Pedagang Kaki Lima, melainkan kegiatan tersebut dianggap sebagai suatu penyakit lingkungan kota, sehingga penertiban izin terhadap kegiatan Pedagang Kaki Lima dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting, bahkan seakan-akan kegiatan tersebut kalau boleh dihapuskan dari kegiatan ekonomi di Kota Medan. Dengan melihat kenyataan bahwa jumlah pedagang sektor informal ini meningkat setiap tahunnya, maka seharusnya Pemerintah Kota memberikan perhatian yang serius untuk mengelola sektor informal, termasuk Pedagang Kaki Lima.

Pemberian izin untuk berusaha merupakan salah satu alternatif untuk dapat mengendalikan dan mengarahkan kegiatan Pedagang Kaki Lima sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan pemerintah kota. Kewenangan pemberian izin ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan:

1) Rencana tata ruang; 2) Pendapat masyarakat;

3) Pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

Bilamana pedagang tidak mempunyai izin atau izinnya telah kadaluarsa, maka para Pedagang Kaki Lima akan dikenakan sanksi hukum jika pedagang tersebut tertangkap pada saat razia dilakukan oleh Pemerintah Kota. Oleh sebab itu,


(42)

para Pedagang Kaki Lima berusaha untuk mendaftarkan diri agar terhindar dari kegiatan penertiban.

Informasi atau keterangan yang dicantumkan dalam izin dapat berisikan hal-hal sebagai berikut:

1) Masa berlakunya izin; 2) Keterangan diri pedagang 3) Keterangan jenis dagangan; 4) Waktu berdagang;

5) Lokasi kegiatan berdaganng; 6) Jenis sanksi terhadap pelanggaran. b. Hak Sewa

Menurut A. P. Parlindungan (Limbong, 2007: 306), bahwa hak sewa dapat dikemukakan sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 44 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yakni:

Ayat (1) : Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa;

Ayat (2) : pembayaran uang sewa dapat dilakukan

a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; b. Sebelum dan sesudah tanahnya dipergunakan.


(43)

Ayat (3) : perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Kemudian, dikemukakan juga bahwa sampai sekarang pelaksanaan dari pada hak sewa untuk bangunan belum ada, masyarakat masih mempergunakan bentuk yang sudah ada yaitu ex. KUH Perdata. Dalam hak sewanya termasuk suatu kebebasan mengatur sendiri, namun sesuai dengan Pasal 44 ayat (3) UUPA bahwa syarat-syaratnya tidak boleh mengandung unsur-unsur pemerasan.

Hingga saat ini belum ada ketentuan mengenai apakah hak sewa dapat dilakukan atas semua hak tanah, termasuk apakah hak sewa mempunyai right of disposal, yaitu boleh dialihkan ataupun dijadikan objek hak tanggungan. Sehubungan dengan itu, dengan adanya pemanfaatan tanah yang telah memiliki hak namun baik secara sepihak maupun melalui kedua belah pihak bahwa Pedagang Kaki Lima telah memanfaatkan tanah/lokasi tersebut untuk dijadikan kegiatan Pedagang Kaki Lima.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang kurang baik di kemudian hari, maka Pemerintah dapat mengatur tentang hak sewa lebih jelas, sehingga dimungkinkan hak sewa dapat didaftarkan.

c. Hak Pakai

Hak pakai adalah menggunakan dan memungut hasil dari: tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau berdasarkan perjanjian pemilik hak milik dengan seseorang, tetapi bukan sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa tanah yang dijadikan objek adalah baik tanah yang


(44)

dikuasai langsung oleh negara dengan penerbitan suatu surat keputusan pemberian hak ataupun dengan duatu perjanjian yang khusus diadakan antara seseorang pemilik hak milik dengan seseorang yang sengaja untuk menciptakan hak pakai.

Sesuai Pasal 41 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 bahwa Hak Pakai dapat diberikan:

1) Selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;

2) Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

Sesuai definisnya bahwa pengertian menggunakan, dalam kenyataannya lebih mengarah kepada mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah tersebut dan untuk mendapatkan manfaat seoptimal mungkin dari tanah tersebut. Sehubungan dengan memanfaatkan tanah-tanah pemerintah untuk berdagang dimungkinkan untuk diberikan hak pakai selama kegiatan usaha dapat disesuaikan dengan tata ruang kota yang pengaturannya dapat dilakukan melalui Peraturan Daerah.

5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima

Untuk menciptakan suatu kota metropolitan, maka Pemerintah Kota Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025 yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda


(45)

Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, telah ditetapkan suatu Keputusan Walikota Medan Nomor 188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002.

Pasal 2 Perda No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota Medan Tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap aparatur Pemerintah Kota Medan, DPRD, Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di Kota Medan.

Sehubungan dengan itu, ada sembilan arah kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam bidang ekonomi (Limbong, 2007: 131), yakni:

1) Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada produktivitas tenaga kerja yang tinggi dengan prinsip persaingan sehat;

2) Mengembangkan perekonomian daerah yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan terutama membangun keunggulan kompetitif di samping keunggulam komparatif.

3) Memberdayakan usaha kecil, menengah, dan koperasi agar lebih efisien, produktif, berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif, dan peluang usaha yang seluas-luasnya;

4) Mengembangkan industri kecil kerajinan rumah tangga;

5) Membangun sistem informasi pasar yang tangguh ddan lembaga penelitian serta pengembangan produk daerah sebagai bagian integral dari sistem ekonomi masyarakat;

6) Menata Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti PD. Pembangunan, PD. Pasar, PD. Rumah Potong Hewan secara efisien, transparan, dan profesional sehingga dapat diandalkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kontribusi yang semakin besar pada pendapatan daerah; 7) Mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang

saling menunjang dan menguntungkan antara koperasi, usaha swasta menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi kota;

8) Mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu terutama pada sektor informal yang diarahkan pada peningkatan kemandirian tenaga kerja;

9) Mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna membangkitkan sektor riil terutama bagi pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.


(46)

Sehubungan dengan butir ke 8 dari kebijakan bidang ekonomi yang terdapat pada Pola Dasar Pembangunan 2001-2025, ada beberapa kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan yang terkait dengan Pedagang Kaki Lima yang dapat dikemukakan sebagai berikut (Limbong, 2007: 132):

1) Bahwa dalam pengelolaan jajanan malam telah ada suatu bentuk kerjasama antara Pemerintah Kota Medan dengan puhak swasta (PT Star Indonesia Medan). Kerjasama tersebut dituangkan dalam Surat Perjanjian No. 510/15724, tertanggal 26 Agustus 2002, tentang surat perjanjian pelaksanaan pengelolaan pusat jajanan malam Kawasan Kesawan Medan; 2) Adanya keinginan Pemerintah Kota Medan untuk menampung akibat

penggusuran terhadap Pedagang Buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran, dan Jalan Sutomo Medan yang kemudian menempatkan para pedagang tersebut di Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan. Penempatan para pedagang di Lapangan Merdeka didasarkan pada Keputusan Walikota Medan Nomor 510/1034/K/2003 tanggal 18 Juli 2003, tentang Penetapan Lokasi Jalan Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan menjadi Lokasi Tempat Berjualan/Kios-Kios Pedagang Buku Eks Titi Gantung, Jalan Irian Barat, Jalan Jawa, Jalan Veteran, dan Jalan Sutomo Medan. Sebagai konsekuensi bersedianya pihak pedagang meninggalkan lokasi penggusuran ke lokasi yang telah ditentukan di Lapangan Merdeka, maka sesuai Pasal 2 ayat (1) Surat Perjanjian Nomor 511.3/5775.B bahwa Pihak Pertama (dalam hal ini Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Medan) membebaskan Pihak Kedua (dalam hal ini


(47)

pedagang), dari pembayaran kios tempat berjualan. Di samping itu, ada jenis pelayanan lainnya yakni membebaskan pedagang dari pemakaian listrik, kebersihan, dan keamanan selama satu tahun.

3) Bahwa dalam perkembangannya, telah ada suatu kerjasama antara pihak Pedagang Kaki Lima dengan pihak swasta yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota Medan, DPRD, dan PD Pasar, serta Koperasi Maju Jaya, dalam penataan lokasi Pedagang Kaki Lima sebagai solusi terjadinya suatu konflik antara Pedagang Kaki Lima dengan pedagang formal. Adapun bentuk penyelesaiannya adalah bahwa para pedagang akan ditempatkan di Basement (lantai dasar) Pasar Pringgan Medan yang diperkirakan dapat menampung sebanyak 154 pedagang.

Berkaitan dengan hal itu, kebijakan untuk mengelola pengusaha kecil terlihat pada Pasal 9 UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil, Pemerintah memfasilitasi untuk meningkatkan kerja sama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil. Di samping itu, juga dicegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-orang perseorangan atau kelompok tertentu yang tidak memperhatikan usaha kecil.

Melalui pasal 13 UU No. 9 Tahun 1995 secara jelas dinyatakan bahwa Pemerintah menumbuhkan iklim usaha sebagai aspek perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf g dengan menetapkan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dua di antaranya untuk:


(48)

Huruf a : menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi Pedagang Kaki Lima, serta lokasi lainnya.

Huruf e : memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.

Pada dasarnya, UU No. 9 Tahun 1995, menunjukkan adanya kepedulian Pemerintah secara juridis agar pemerintah kota / kabupaten bersedia memberikan ruang / tempat bagi kegiatan Pedagang Kaki Lima. Namun, secara faktual bahwa keinginan tersebut masih dalam taraf perjuangan.

F. Definisi Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 33).

Untuk mendapatkan batasan-batasan yang lebih jelas mengenai variabel-variabel yang akan diteliti dalam defenisi konsep yang digunakan dalam pengertian ini adalah :

1. Implementasi Kebijakan

Adalah suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil sebagaimana diharapkan.

2. Pemerintah Kota

Adalah penyelenggara urusan pemerintahan daerah setingkat kotamadya (kota) yang mencakup Walikota dan perangkat-perangkat daerah. Dalam penelitian


(49)

ini pemerintah kota yaitu Pemerintah Kota Medan, khususnya perangkat-perangkat daerah yang diberi tugas oleh Pemerintah Kota Medan untuk mengelola Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Elisabeth Medan.

3. Pedagang Kaki Lima

Adalah pedagang dalam melakukan aktivitasnya barang dagangannya diangkat dengan gerobak dorong, bersifat sementara, dengan alas tikar dan atau tanpa meja serta memakai atau tanpa tempat gantungan untuk memajang barang-barang jualannya, dan atau tanpa tenda, dan kebanyakan jarak tempat usaha antara mereka tidak dibatasi oleh batas-batas yang jelas.

4. Pengelolaan Pedagang Kaki Lima

Adalah bentuk penanganan Pedagang Kaki Lima yang dilakukan dengan cara melakukan penataan lokasi kegiatan dagang dan memberikan semacam legalitas untuk melakukan kegiatan berdagang. Legalitas yang dimungkinkan dapat diberikan saat ini adalah dalam bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara menyusun suatu variabel sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui indikator-indikator pendukung apa saja yang dianalisa dari variabel tersebut (Singarimbun, 1995: 46). Suatu definisi operasional merupakan spesialisasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu variabel.


(50)

Adapun indikator dari “Implementasi Program Pemerintah Kota Medan dalam Memberdayakan Pedagang Kaki Lima” adalah:

1. Kebijakan yaitu peraturan yang mendasari terjadinya kerjasama antara Pemerintah Kota Medan dengan Pedagang Kaki Lima beserta peraturan-peraturan pelaksananya, serta tujuan yang ingin dicapai dari kerjasama tersebut.

2. Struktur yaitu meliputi struktur organisasi, pembagian tugas dan wewenang pada tiap-tiap bagian, garis komando atau rentang kendali serta ketepatan/kesesuaian pelaksanaan program dengan tingkatan struktur organisasi yang melaksanakan kebijakan tersebut. Selain itu hal yang sangat penting dalam struktur organisasi adalah adanya mekanisme prosedur (Standard Operating Procedures) yaitu peraturan yang mengatur tata cara kerja dalam melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima yang meliputi Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (Petunjuk Teknis).

3. Sumber daya, yaitu meliputi:

a. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat pendidikan pegawai, keahlian, keterampilan, dan kemampuan para pegawai untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

b. Sumber pendanaan, yaitu sumber dan besarnya pembiayaan untuk melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima yang disusun dalam bentuk program atau kegiatan.

c. Fasilitas, yaitu sarana dan prasarana yang diperlukan dalam melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima yang disusun dalam bentuk program atau kegiatan.


(51)

4. Komunikasi, yaitu proses penyampaian informasi yang akurat, jelas, konsisten, dan menyeluruh, serta koordinasi antara instansi-instansi yang terkait dalam proses implementasi dan bentuk koordinasi yang dilakukan apakah dengan koordinasi horizontal, vertikal, atau diagonal.

5. Kecenderungan (disposisi), yaitu sikap, watak, kesadaran, dan komitmen dari para implementator untuk melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ini dengan sebaik-baiknya. Hal ini juga berkaitan dengan kinerja dari para pegawai dan ketepatan penempatan pegawai sesuai dengan kemampuannya.


(52)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskripitif dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana yang dikatakan (Namawi, 1990: 64) bahwa metode deskriptif memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional yang akurat.

Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan bagaimana Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Mengelola Pedagang Kaki Lima dan mencoba menganalisa untuk kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jalan Haji Misbah Kecamatan Medan Maimun, depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Daerah ini dipilih karena merupakan salah satu daerah tempat berkumpulnya para Pedagang Kaki Lima yang telah dikelola oleh Pemerintah Kota Medan, khususnya Bagian Administrasi Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kota Medan dan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota Medan.


(53)

C. Informan

Penelitian kualitatif tidak dimaksud untuk membuat generalisasi dari penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel (Suyanto, 2005: 171). Subjek penelitian yang tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian meliputi beberapa macam, yakni informan kunci, informan utama, dan informan tambahan.

Dalam penelitian ini menggunakan subjek penelitian:

1. Informan Kunci (key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai formasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Sebagai informan kunci terdiri dari :

a. Ketua Koperasi Pedagang Kecil Warkop Ahmad Yani Medan, Bapak Ismail M. Ali.

b. Kepala Bagian Administrasi Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kota Medan, Bapak M. Syahdar D.H.

2. Informan Utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi informan utama adalah para pedagang kaki lima di depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.

3. Informan Tambahan, yaitu masyarakat atau pengunjung lokasi dagang Pedagang Kaki Lima di depan Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan.


(54)

D. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data / keterangan / informasi yang diperlukan, maka peneliti memggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1) Teknik Pengunpulan Data Primer

Adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan instrumen sebagai berikut :

a. Observasi yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung terhadap sejumlah acuan yang berkenaan dengan topik penelitian di lokasi penelitian. b. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya-jawab

secara langsung kepada pihak-pihak terkait. 2) Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan- bahan kepustakaan yang perlu untuk mendukung data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan instrumen sebagai berikut :

a. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau foto-foto dan rekaman video yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.

b. Penelitian Kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data melaui literature dan sumber-sumber bacaan yang berkenaan dengan penelitian ini.

E. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik kualitatif. Menurut Farid (1997:152), analisa


(55)

kualitatif terkonotasi suatu pengertian analisis yang didasarkan pada argumentasi logika. Namun materi argumentasi didasarkan pada yang diperoleh melalui kegiatan teknik perolehan data. Jika data yang diperoleh secara empiris atau diperoleh melalui studi lapangan, maka data yang dianalisis adalah hubungan antara data yang memungkinkan lahirnya kategori, hubungan antara kategori yang memungkinkan lahirnya hipotesis dan hubungan antar hipotesis yang memungkinkan lahirnya suatu teori atau model. Kalau data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau dokumen-dokumen yang tersedia, maka analisis yang digunakan disebut analisis isi atau contens analisis.

Baik studi lapangan maupun studi pustaka, di dalam penganalisisannya tidak mendasarkan pada perhitungan kuantitatif, tetapi pada kemampuan nalar peneliti dalam menghubung-hubungkan fakta, data, dan informasi hingga lahirnya suatu model atau suatu teori (Ali, 1997: 151).


(56)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Kota Medan 1. Medan Tanah Deli

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis


(57)

tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan-bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan-bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

2. Kampung Medan dan Tembakau Deli

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga


(1)

3)

Kaki Lima ini?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

4) Bagaimana persiapan koordinasi yang dilakukan sebelum kebijakan pengelolaan ini dilaksanakan?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

5) Bagaimana koordinasi dengan Pihak Kecamatan?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

e. Kecenderungan (Disposisi)

1) Adakah hukum yang mengatur dan melindungi keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kota Medan?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________


(2)

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________

f. Masalah dan Prospek

1) Kendala apa saja yang dihadapi pada saat persiapan hingga pelaksanaan kebijakan pengelolaan Pedagang Kaki Lima ini?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

2) Apakah monitoring dan evaluasi sudah pernah dilakukan?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________


(3)

DATA INFORMAN:

a. Nama :

b. Jenis Kelamin : c. Jenis Dagangan :

a. Kebijakan

1) Kebijakan bagaimana yang Saudara harapkan dari Pemerintah Kota Medan untuk mendukung kegiatan dagang Saudara?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

b. Struktur

1) Apakah Pemerintah Kota Medan telah memberikan informasi sebelumnya bahwa lokasi kegiatan dagang Saudara ini akan dilakukan penataan?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

c. Sumber Daya

1) Dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan ini, fasilitas apa saja yang telah diberikan oleh Pemerintah Kota Medan?


(4)

1) Bagaimana pendapat Saudara mengenai kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan terhadap lokasi dagang Saudara?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

2) Bagaimana tindakan sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan lokasi usaha dagang Saudara?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

e. Kecenderungan (Disposisi)

1) Adakah tindakan pemungutan retribusi kebersihan dan keamanan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan setelah pelaksanaan kebijakan pengelolaan ini?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________


(5)

DATA INFORMAN:

a. Nama :

b. Jenis Kelamin : c. Pekerjaan :

a. Kebijakan

1) Bagaimana tanggapan Saudara dengan adanya kebijakan pengelolaan Pedagang Kaki Lima di lokasi depan Rumah Sakit Santa Elisabeth ini?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

b. Sumber Daya

1) Apakah keuntungan/kontribusi yang diberikan oleh Pedagang Kaki Lima kepada masyarakat/pembeli?

__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________

c. Komunikasi

1) Bagaimana dampak keberadaan Pedagang Kaki Lima di sekitar jalan depan Rumah Sakit Santa Elisabeth dan bagaimana tanggapan Saudara sebagai


(6)

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN KAWASAN PEDAGANG KAKI LIMA (STUDI KASUS RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA KAWASAN ALUN-ALUN KOTA PASURUAN)

4 9 13

Resistensi Pedagang Kaki Lima terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Semarang (Studi Kasus Pedagang Kaki Lima Jalan Kokrosono dan Jalan Kartini Timur)

0 15 75

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 1 16

STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA STRATEGI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN MANUSIAWI DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pasarkl

0 2 17

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA.

0 1 11

Implementasi kebijakan pemerintah kota Yogyakarta dalam penataan pedagang kaki lima AWAL

0 0 11

PROFIL PEDAGANG KAKI LIMA DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

1 1 11

Pemerintah Kota Pedagang Kaki Lima Komunitas

0 1 16

PROFIL PEDAGANG KAKI LIMA DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURABAYA ( Studi : Pedagang Kaki Lima di Taman Bungkul Surabaya) - Unika Repository

0 1 17

PROFIL PEDAGANG KAKI LIMA DAN EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURABAYA ( Studi : Pedagang Kaki Lima di Taman Bungkul Surabaya) - Unika Repository

0 7 21