Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan kelompok sasaran
sehingga kelompok sasaran mampu mengambil tindakan tepat atas berbagai
permasalahan

yang

dialami.

Konsep

pemberdayaan

mengemuka

sejak

dicanangkannya Strategi Glosbal WHO tahun 1984, yang ditidaklanjuti dengan

rencana aksi dalam Piagam Ottawa (1986). Dalam deklarasi tersebut dinyatakan
tentang

perlunya

mendorong

terciptanya kebijakan berwawasan kesehatan,

lingkungan yang mendukung, reorientasi dalam pelayanan kesehatan, keterampilan
individu dan gerakan masyarakat (Krianto dalam Soekidjo, 2005).
Minkler dan Walerstein untuk menjelaskan masyarakat (dalam Glanz, 1997)
mengatakan bahwa terdapat dua kelompok teori, yaitu kelompok teori dengan
perpektif

sistem ekologi dan kelompok teori dengan perspektif sistem sosial.

Perspektif sistem ekologi mengarah pada penjelasan tentang masyarakat sebagai
kesatuan individu yang tinggal pada wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu,
fokus penjelasan perspektif sistem ekologi meliputi besar masyrakat, kepadatan,

keanekaragaman, lingkungan fisik, organisasi dan struktur sosial, serta teknologi
yang diinginkan masyarakat. Adapun perspektif sistem sosial menjelaskan tentang
sistem pengorganisasian dalam masyarakat, menggali interkasi antarsubsistem dalam

13

14

masyarakat (yang meliputi aspek ekonomi politik) secara horizontal di dalam
masyarakat, secara vertikal dengan masyarakat yang lain dengan masyarakat yang
lebih besar (Fellin, 1995). Jadi Pemberdayaan masyarakat ialah suatu upaya atau
proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam
mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan
mereka sendiri. Di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau
proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatan (Krianto dalam Soekidjo, 2005).
Tujuan pemberdayaan adalah membantu klien memperoleh kemampuan untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang berkait
dengan diri mereka, termasuk mengurangi hambatan sosial dalam pengambilan
tindakan. Pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya

diri untuk menggunakan kemampuannya, diantaranya melalui pendayagunaan potensi
lingkungan. Menurut Suyono paling tidak ada 3 syarat dalam proses pemberdayaan
masyarakat (Krianto dalam Soekidjo, 2005), yaitu:
a. Kesadaran, kejelasan serta pengetahuan tentang apa yang dilakukan.
b. Pemahaman yang baik tentang keinginan berbagai pihak (termasuk masyarakat)
tentang hal-hal apa, di mana, dan siapa yang akan diberdayakan.
c. Adanya kemauan dan keterampilan kelompok sasaran untuk menempuh proses
pemberdayaan.
Pemberdayaan masyarakat biasanya ditujukan kepada masyarakat yang
kurang mampu. Dalam keadaan masalah gizi kurang ditujukan kepada keluarga

15

miskin. Usman Sunyoto, (2004) masalah lain yang terkait erat dengan kemiskinan
adalah sindrom inertia (lamban dan statis) sebagai akibat rendahnya kualitas sumber
daya manusia.
Secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat adalah:
a. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman bagi individu, kelompok
atau masyarakat. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk
lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap objek. Faktor yang paling utama

yang mendukung berlanjutnya kemauan adalah sarana atau prasarana untuk
mendukung tindakan tersebut.
b. Timbulnya kemampuan masyarakat berarti masyarakat, baik secara individu
maupun kelompok telah mampu mewujudkan kemauan atau niat mereka dalam
bentuk tindakan atau perilaku. Seseorang, kelompok atau masyarakat yang telah
menfasilitasi kebutuhan-kebutuhan sarana atau prasarana adalah masyarakat yang
mandiri di (Soekidjo, 2007).
Kemadirian

masyarakat

sebagai

hasil

pemberdayaan

sesungguhnya

merupakan perwujudan dari tanggung jawab mereka agar hak- hak mereka terpenuhi.

Departemen Kesehatan mempunyai rumusan tentang pemberdayaan masyarakat,
yakni upaya fasilitasi yang bersifat noninstruktif guna meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, perencanaan dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang
ada, baik dari instansi lintas sektoral maupun LSM dan tokoh masyarakat.

16

Depkes lebih menekankan pada pendekatan noninstruktif untuk menghindari
kesan pada masyarakat, bahwa pendekatan-pendekatan pengembangan masyarakat
yang telah ada, termasuk bidang kesehatan, hampir semuanya menggunakan
instruktif, kurang memperhatikan pertumbuhan dari bawah. Sedangkan proses dan
tujuan akan dicapai, yang secara implisit terdapat di dalam kedua batasan tersebut
tidak berbeda, yakni masyarakat yang mandiri atau berdaya dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya (Soekidjo, 2007).
Sarana dan
prasarana

Informasi
kesehatan


Pengetahuan
Kesehatan

Kesadaran
Kesehatan

Kemauan
kesehatan

BERDAYA
(MAMPU)
DALAM

KESEHATAN
Dana dan
daya lain

Gambar 2.1 Proses Pemberdayaan
Secara lebih terinci prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat, sebagai berikut

(Soekidjo, 2007):
a. Menumbuhkembangkan potensi masyarakat
Potensi adalah suatu kekuatan atau kemampuan, maupun masyarakat
mempunyai potensi yang masih terpendam. Baik individu, kelompok maupun
masyarakat mempunyai potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di dalam
suatu masyarakat terdapat berbagai potensi yang pada dasarnya dapat dikelompokkan

17

menjadi dua, yakni potensi sumber daya manusia (penduduknya), dan potensi dalam
bentuk sumber daya alam atau kondisi geografi masyarakat setempat. Baik potensi
sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya, antara kelompok masyarakat
yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kemampuan sumber daya manusia
dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia akhirnya menghasilkan sumber
daya ekonomi.
Potensi sumber daya manusia selanjutnya dapat diuraikan dalam bentuk
kuantitas, yakni jumlah penduduknya, dan dalam bentuk kualitas, yakni status atau
kondisi sosial ekonomi penduduk tersebut. Tinggi rendahnya potensi sumber daya
manusia di suatu komunitas lebih ditentukan oleh kualitas, bukan kuantitas sumber
daya manusia. Sedangkan potensi sumber daya alam yang ada di suatu masyarakat

adalah sudah given. Potensi sumber daya alam memang kurang penting dibandingkan
dengan potensi sumber daya manusia.
Peran petugas atau provider yang terutama adalah memampukan masyarakat
untuk mengenal potensi mereka sendiri, baik potensi sumber daya alam maupun
sumber daya manusia. Kemudian dengan bantuan petugas atau provider, masyarakat
dibimbing untuk mengembangkan potensi mereka sendiri, sehingga masyarakat yang
bersangkutan dapat menemukan upaya-upaya pemecahan masalah mereka sendiri
berdasarkan kemampuan yang mereka miliki.
b. Mengembangkan gotong royong masyarakat
Seberapa besarpun potensi masyarakat, baik potensi sumber daya alam
maupun sumber daya manusia, tidak akan tumbuh dan berkembang dari dalam tanpa

18

adanya gotong royong di antara anggota masyarakat itu sendiri. Gotong royong
sebagai budaya asli bangsa Indonesia sudah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu.
Peran petugas atau provider dalam rangka gotong-royong masyarakat ini
adalah memotivasi dan menfasilitasinya, agar gotong royong tersebut terjadi di
amsyarakat. Agar gotong royong tersebut tumbuh dari masyarakat sendiri maka
pendekatan harus dilakukan melalui para tokoh masyarakat, agar dapat memotivasi

masyarakat untuk mau berpartisipasi dan berkontribusi terhadap kegiatan yang
direncanakan bersama.
c. Menggali kontribusi masyarakat
Pada hakikatnya pemberdayaan masyarakat adalah menggali potensi
masyarakat, terutama potensi ekonomi yang ada di masing-masing anggota kelompok
masyarakat. Menggali dan mengembangkan potensi ekonomi masyarakat pada
dasarnya adalah suatu upaya agar masyarakat berkontribusi sesuai dengan
kemampuan terhadap program atau kegitan yang direncanakan bersama. Kontribusi
masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat, antara lain dalam bentuk
tenaga, pemikiran, atau ide-ide, dana, bahan-bahan bangunan, dan sebagainya.
Seorang petugas atau provider kesehatan bersama-sama dengan tokoh
masyarakat setempat harus mampu menggali kontribusi sebagai bentuk partisipasi
masyarakat.
d. Menjalin kemitraan
Kemitraan adalah suatu jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan
baik pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam

19

rangka untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Masyarakat yang mandiri

adalah merupakan perwujudan dari kemitraan di antara anggota masyarakat itu
sendiri atau masyarakat dengan pihak-pihak di luar masyarakat yang bersangkutan,
baik pemerintah maupun swasta. Petugas atau provider kesehatana dalah memotivasi
memfasilitasi masyarakat untuk menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang lain.
e. Desentralisasi
Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya memberikan kesempatan
kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah atau wilayahnya.
Oleh sebab itu, segala bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan ke tingkat
operasional yakni masyarakat setempat, sesuai dengan kultur masing-masing
komunitas. Dalam pemberdayaan masyarakat, peranan sistem di atasnya adalah
sebagai fasilitator dan motivator. Masyarakat bebas melakukan kegiatan atau
program- program inovatif, tanpa adanya arahan atau instruksi dari atas.
Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat
adalah “taman bunga” artinya adanya keanekaragaman upaya tetapi dalam konteks
pemberdayaan

masyarakat.

Pemberdayaan


masyarakat

bukan

menggunakan

pendekatan “kebun bunga” yang mementingkan keseragaman. Contoh Posyandu,
sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat seharusnya tidak seragam
kegiatannya, tetapi harus didasarkan kepada masalah dan kebutuhan setempat. Tetapi
karena pendekatannya “kebun bunga” maka semua kegiatan Posyandu sama, baik di
kota, di desa, di daerah elit, maupun di daerah kumuh (Soekidjo, 2007).

20

Petugas atau provider kesehatan dalam memberdayakan masyarakat di bidang
kesehatan adalah bekerja sama dengan masyarakat (work with the community), bukan
bekerja untuk masyarakat (work for the community). Oleh sebab itu, peran petugas
atau sektor kesehatan adalah:
a. Memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program-program
pemberdayaan
b. Memotivasi masyarakat untuk bekerja sama atau gotongroyong dalam
melaksanakan kegiatan atau program bersama untuk kepentingan bersama dalam
masyarakat tersebut.
c. Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat agar
sumber daya masyarakat, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam
dimanfaatkan secara optimal dalam rangka kemandirian mereka (Soekidjo, 2007).
Salah satu indikator penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah seberapa
besar

tingkat

partisipasi

masyarakat

yang

memiliki

makna

keterlibatan.

Pemberdayaan sangat terkait dengan demokrasi atau kebebasan individu atau
masyarakat yang dimulai dengan adanya kesadaran akan kebutuhan dan potensinya.
Prinsip pemberdayaan menghindari unsur paksaan atau tidak demokratis. Partisipasi
merupakan suatu proses dan tujuan dalam mencapai tujuan pembangunan. Partisipasi
masyarakat terlibat secara aktif baik fisik maupun psikis. Partisipasi mengandung
makna keterlibatan adanya kesadaran kesadaran untuk berubah, terjadinya proses
belajar menuju ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik
(Anwas, 2013).

21

Menurut Suyono (2009) dalam Anwas (2013) untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat perlu ditempuh melalui beberapa tahapan. Setiap tahapan menopang
sebagai dasar untuk mendukung tahap selanjutnya. Tahapan tersebut yaitu:
a. Tahapan awal
Tahapan awal disebut juga sebagai perluasan jangkauan. Dalam tahap ini
upaya peningkatan partisipasi masyarakat harus dilakukan secara sederhana, bisa
dipahami banyak orang. Semua orang harus mengerti, mengikuti sehingga pada
akhirnya bisa memahami walaupun kadarnya berbeda-beda. cara penyampaian juga
sederhana. Komunikasi lebih bersifat massal atau komunikasi massa. Tahapan ini
merupakan bagian advokasi. Di sini perlu juga melakukan komunikasi atau
pendekatan kepada pemimpin formal atau informal, karena pemimpin ini akan
menjadi contoh bagi pengikutnya.
b. Tahapan pembinaan (maintenence)
Setelah dilakukan komunikasi atau perluasan secara massal tentunya
masyarakat merespon secara beragam tergantung karakter dan kebutuhannya. Oleh
karena itu tahapan selanjutnya perlu adanya pembagian sasaran yang jelas.
Pembagian

sasaran

berdasarkan

karakterisitik,

kebutuhan

dan

potensinya.

Komunikasi di sini disesuaikan dengan sasaran. Pada tahapan ini sangat nampak
adanya people centered, sehingga bisa saja programnya di kelompok satu sangat
kompleks, sebaliknya di kelompok lain begitu sederhana.

22

c. Tahapan pelembagaan atau pembudayaan.
Pada tahapan ini informasi tidak lagi datang dari pemerintah, tetapi dari
anggota atau kelompok masing-masing. Di sini anggota kelompok masyarakat
beragam mulai dari yang tinggi, sedang, atau rendah mencari padanan informasi. Di
tahapan ini masyarakat menjadi hemofili.
d. Tahapan terakhir adalah umpan balik atau reward.
Reward ini ditujukan untuk merangsang atau memberikan apresiasi secara
benar dalam perubahan sosisal jangan sampai ada hukuman. Hukuman justru akan
mengeliminir partisipasi. Jika ada anggota kelompok masyarakat yang belum
berhasil, sebaiknya didekati oleh karena anggota kelompok masyarakat sudah
berhasil. Hal ini mungkin terjadi karena penyuluh kurang tepat dalam menerapkan
metode atau unsur-unsur lainnya yang berasal dari pribadi penyuluh tersebut.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam menciptakan partisipasi aktif
masyarakat dalam pembangunan, namun kuncinya adalah masyarakat perlu diberikan
kepercayaan untuk mengurus dan mengatur diri dan lingkungannya. Tugas
pemerintah dan agen pemberdayaan sebagai fasilitator, motivator atau memberikan
pendampingan yang diperlukan masyarakat. Penelitian Harsiki (2002) untuk
menghubungkan pola asuh dan staus gizi pada keluarga miskin di Sumatera Barat
disarankan perlunya peningkatan pemberdayaan peran ibu dan peran keluarga di
dalam keluarganya sendiri rnaupun di masyarakat dalarn meningkatkan keadaan gizi
anak batita.

23

Penelitian Widjajanti, Kesi

(2011) menyatakan

bahwa

keberhasilan

pemberdayaan dengan adanya peran kemampuan pelaku pemberdayaan akan efektif
dapat

meningkatkan

keberdayaan

masyarakat

jika

masyarakat

sebelumnya

meningkatkan pemberdayaannya. Pelaku pemberdayaan tidak dapat langsung
berpengaruh terhadap keberdayaan masyarakat, tetapi harus dimediasi dengan proses
yang mengiringi pemberdayaan. Peningkatan pemberdayaan sebagai penentu
keberhasilan pelaku dalam upaya peningkatan keberdayaan masyarakat. Kedua
adalah

pola jalur bertahap yang dapat dilalui untuk pemberdayaan masyarakat.

Peningkatan keberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui proses pemberdayaan
karena adanya peran modal manusia dan modal fisik. Temuan ini memberikan solusi
bahwa modal usaha yang meliputi modal fisik dan modal manusia tidak secara
otomatis menghasilkan keberdayaan masyarakat. Pengembangan modal fisik akan
menstimulasi pengembangan modal manusia yang akan mendukung proses
pemberayaan yang pada akhirnya akan meningkatkan keberdayaan masyarakat.
Melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1999 telah dicanangkan Gerakan
Nasional Penanganan Masalah Pangan dan Gizi, yang diarahkan pada:
a. Pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga
b. Pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan cakupan, kualitas pencegahan
dan penanggulangan masalah pangan dan gizi di masyarakat

24

c. Pemantapan kerjasama lintas sektoral dalam pemantauan dan penaggulangan
masalah gizi melalui SKPG
d. Peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan (Anwar, A. 2000)

2.2 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat
Suatu kegiatan atau program dapat dikategorikan ke dalam pemberdayaan
masyarakat apabila kegiatan tersebut tumbuh dari bawah dan noninstruktif serta dapat
memperkuat, meningkatkan atau mengembangkan potensi masyarakat setempat, guna
mencapai tujuan yang diharapkan. Bentuk- bentuk pengembangan potensi masyarakat
tersebut bermacam-macam, antara lain sebagai berikut: (Soekidjo, 2010)
a. Tokoh atau Pemimpin Masyarakat (Community Leaders)
Pada tahap awal pemberdayaan masyarakat, maka petugas atau provider
kesehatan terlebih dahulu melakukan pendekatan- pendekatan kepada tokoh
masyarakat terlebih dahulu karena masyarakat yang paternalistik atau masih berpola
(menganut) kepada seseorang atau “sosok” tertentu di masyarakatnya, yakni tokoh
masyarakat.
b. Organisasi Masyarakat (Community Organization)
Organisasi-organisasi

masyarakat

merupakan

potensi

yang

harus

dimanfaatkan dan merupakan mitra kerja dalam upaya memberdayakan masyarakat.
c. Pendanaan Masyarakat (Community Fund)
Pendanaan masyarakat mempunyai prinsip sehat membantu yang sakit, yang
kaya membantu yang miskin.

25

d. Material Masyarakat (Community Material)
Sumber daya alam adalah merupakan salah satu potensi amsyarakat. Masingmasing daerah atau tempat mempunyai sumber daya alam yang berbeda, yang dapat
dimanfaatkan untuk pembangunan.
e. Pengetahuan Masyarakat (Community Knowledge)
Semua bentuk penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan contoh
pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat.
Dalam hal ini kegiatan penyuluhan kesehatan akan bernuansa pemberdayaan
masyarakat apabila dilakukan dengan pendekatan community based health education.
f. Teknologi Masyarakat (Community technology)
Di beberapa komunitas telah tersedia teknologi sederhana yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan. Teknologi- teknologi
sederhana yang lahir dari masyarakat ini sebenarnya potensi untuk memberdayakan
masyarakat. Petugas atau provider kesehatan sebenarnya dapat mengadopsi dan
memodifikasinya sehingga dapat dimanfaatkan di tempat lain atau diperluas.
2.2.1 Macam-macam Metode Pemberdayaan Masyarakat yang bersifat
Partisipatif
1. RRA (Rapid Rural Appraisal)
Metode ini tujuan untuk menggali sebanyak mungkin informasi tentang
kondisi desa yang dilakukan oleh orang luar dan sangat sedikit melibatkan
masyarakat setempat, teknik penilaian tentang kondisi desa. Kekurangan dari metode
penilaian ini adalah walaupun mereka telah melakukan praktek “partisipatif” tetapi

26

hanya dilakukan melalui kegiatan pengamatan dan bertanya langsung kepada
informan yaitu warga masyarakat itu sendiri (Chambers, 1996).
Untuk melakukan teknik RRA perlu diperhatikan beberapa prinsip yaitu :
a. Efektivitas dan efisiensi. Kaitannya dengan biaya, waktu serta informasi yang
diperoleh.
b. Hindari bias. Introspeksi, mendengarkan, menanyakan secara berulang,
menanyakan kepada kelompok termiskin.
c. Triangulasi sumber informasi. Melibatkan tim lintas ilmu untuk bertanya
dalam beragam pandangan.
d. Belajar dari dan bersama masyarakat.
e. Belajar cepat melalui eksplorasi, cross-check dan jangan terpaku pada materi
yang telah disiapkan.
2. PRA (Participatory Rapid Appraisal)
Metode PRA ini merupakan pengembangan dari metode RRA di mana
metode RRA penekanannya adalah pada kecepatannya (Rapid) dan penggalian
informasi oleh orang luar, sedangkan metode PRA penekanannya pada partisipasi dan
pemberdayaan. Prinsip PRA adalah belajar dari masyarakat, orang luar sebagai
fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku, saling belajar dan saling berbagi
pengalaman, keterlibatan semua kelompok masyarakat, bebas dan informal,
menghargai perbedaan dan triangulasi (Chambers, 1996).

27

Metode dan Teknik PRA :
a. Pendidikan Andragogy
Sering disebut dengan adult education. Konsep ini mempraktekkan
consciousness (menumbuhkan kesadaran). Masyarakat diajak untuk melihat pada
kenyataan dan keberadaan dirinya. Warga diajak untuk menyadari kekurangan dan
kelebihan yang ada pada dirinya. Terlalu banyak kekurangan mengakibatkan
ketertindasan dan terlalu banyak kelebihan mengakibatkan kemalasan.
b. Bidang Keilmuan dan Penelitian.
Diupayakan ada kritik sehingga mengarah kepada sifat partisipatif. Maksud
bidang di atas adalah masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai obyek untuk tujuan
menggali informasi dan data primer.
RRA memberikan sumbangan yang besar kepada PRA. Penekanan PRA
adalah partisipasi dan pemberdayaan sehingga pelibatan masyarakat pedesaan dalam
proses pengembangan program menjadi lebih intensif dan partisipatif (Chambers,
1996).
3. FGD (Focus Group Discussion)
Esensi istilah FGD dalam masyarakat adalah “Rembug Warga” yakni tradisi
gotong royong yang sudah lama mengakar pada masyarakat. FGD merupakan teknik
mengumpulkan data untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil
diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Proses FGD melibatkan
partisipan- partisipan, dimana mereka melakukan pertukaran pesan secara dialogis
dalam kerangka pemahaman bersama atas situasi sosial (Fardiah D, 2005).

28

Peran

fasilitator

sangat

penting

untuk

menciptakan

situasi

yang

menyenangkan bagi para partisipan dalam memecahkan masalah sehingga semua
unsur masyarakat merasakan sumbangsih sarannya atas permasalahan yang sedang
terjadi di lingkungannya (Fardiah D, 2005).
4. PLA (Participatory Learning and Action) Proses Belajar dan Mempraktekkan
secara partisipatif
PLA merupakan metode pemberdayaan masyarakat yang terdiri dari proses
belajar (melalui ceramah, curah pendapat, diskusi) tentang sesuatu topik seperti:
persemaian, pengolahan lahan, perlindungan hama tanaman. Yang segera setelah itu
diikuti dengan aksi atau kegiatan riil yang relevan dengan materi pemberdayaan
masyarakat tersebut dengan prinsip-prinsip:
a. Merupakan proses belajar secara berkelompok yang dilakukan oleh
stakeholder secara interaktif dalam suatu proses analisis bersama.
b. Multi Perspective. Mencerminkan keragaman interpretasi dari para pihak.
c. Spesifik lokasi. Sesuai dengan kondisi para pihak yang terlibat.
d. Difasilitasi oleh ahli dan stakeholder yang bertindak sebagai katalisator dan
fasilitator dalam pengambilan keputusan, serta meneruskannya kepada
pengambil keputusan.
e. Pemimpin perubahan. Keputusan yang diambil melalui PLA akan dijadikan
acuan bagi perubahan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat setempat.

29

5. Pelatihan Partisipatif
Ciri utama dari pelatihan ini adalah :
a. Hubungan instruktur/fasilitator dengan peserta didik tidak lagi bersifat
vertikal tetapi bersifat horizontal.
b. Lebih mengutamakan proses daripada hasil. Bukan seberapa banyak terjadi
alih pengetahuan, tetapi seberapa jauh terjadi interaksi atau diskusi dan
berbagi pengalaman antara sesama peserta dan antara fasilitator dengan
pesertanya.
c. Substansi materi pelatihan mengacu pada kebutuhan peserta, sebelum
pelatihan dilaksanakan selalu diawali dengan kontrak belajar.
Penelitian Ayu, Chandra menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah
yang ada dalam masyarakat dalam rangka mengidentifikasi model pemberdayaan
ekonomi ibu rumah tangga menunjukkan bahwa model menggunakan pendekatan
top-down instruktif, mengabaikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan dan
pelaksanaannya

sehingga partisipasi

masyarakat

rendah. Rancangan

model

pemberdayaan menggunakan pendekatan bottom-up berdasarkan potensi nilai -nilai
lokal serta evaluasi periodik dalam pelaksanaannya agar keberkelanjutan.
Masyarakat yang biasanya diberdayakan adalah masyarakat miskin. Dari
penelitian SE, Mulyono (2011) ada 3 formulasi strategi pemberdayaan masyarakat
miskin dan model pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendidikan nonformal
yaitu, apabila penawaran lebih kecil dari permintaan maka strategi difokuskan pada
pelatihan dasar sampai warga belajar mampu usaha mandiri atau bekerja, apabila

30

penawaran sama besar dengan permintaan maka strategi difokuskan kepada skill
kewirausahaan, apabila penawaran lebih tinggi dari pada permintaan maka strategi
difokuskan pada fasilitas usaha atau fasilitas pencarian alternatif pengembangan.
Penelitian Hermawati, Istiana (2012) menyatakan bahwa pendekatan
pembangunan yang komprehensip, lintas sektoral dan berbasis kearifan lokal dengan
mengutamakan proses partisipatif dan demokratik serta melibatkan berbagai
stakeholder, relatif lebih efektif dalam memberdayakan masyarakat miskin dibanding
pendekatan pembangunan sentralistik, uniform dan cenderung ekadimensi seperti
yang pernah diterapkan di Indonesia.
Winarianto, dkk (2009) pemberdayaan masyarakat harus mengikuti
pendekatan, upaya yang terarah (targeted) atau pemihakan, harus langsung
mengikutsertakan atau dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran,
menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat yang
miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Penelitian Sukamawati, Dwi (2006) model pemberdayaan masyarakat yang
bisa diterapkan ada pengelolaan sampah di Kelurahan Kutisari adalah model berbasis
workshop, berbasis komunitas, konsultasi stakeholder dan analisis sosial.

2.3 Perilaku Kesehatan
Perilaku merupakan bagian dari kesehatan masyarakat yang berfungsi sebagai
media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis sedemikian rupa
sehingga individu atau masyarakat berperilaku sesuai dengan norma-norma hidup

31

sehat (Soekidjo, 2007). Pada proses pembentukan dan atau perubahan perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi dan
belajar. Skiner (1938) dalam buku Soekidjo (2007) seorang ahli psikologi,
merumuskan bahwa perilaku seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Teori Skiner ini disebut teori S_O_R atau Stimulus Organisme Respons yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Organisme
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan

Stimulus

Reaksi
(perubahan sikap)

Reaksi
(perubahan praktik)
Gambar 2.2 Skema Teori perilaku S_O_R
Seorang ahli lain (Becker, 1979) dalam Soekidjo (2007) membuat klasifikasi
lain tentang perilaku kesehatan, yaitu:
a. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
b. Perilaku sakit (illness behaviour)

32

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang: penyebab dan gejala penyakit,
pengobatan penyakit, dan sebagainya.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
Dari segi sosiologis, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hakhak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain
(terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the
sick role)
Teori yang mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan (Soekidjo, 2007), antara lain:
1. Teori Lawrrence Green
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Menurut
Green perilaku ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud di dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas

atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban
dan lain sebagainya.

33

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar
Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu
merupakan fungsi dari:
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behaviour intention)
b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (sosial-support)
c. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessebility of information)
d. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy)
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action
situation)
3. Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu
berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok. Pemikiran dan perasaan,
yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan- kepercayaan, dan
nilai-nilai seseorang terhadap objek yang dalam hal ini objek kesehatan.

34

Menurut WHO, perubahan perilaku itu dikelompokan menjadi 3, yaitu:
a. Perubahan alamiah (Natural Change)
Perubahan alamiah dimana apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu
perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggotaanggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.
b. Perubahan Terencana (Planned Change)
Perubahan ini terjaadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
c. Kesediaan untuk berubah (Readdiness to Change)
Apabila terjadi sesuatu, inovasi atau program-program pembangunan di dalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut, dan sebagian lagi sangat lambat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang
mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.
Pada program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku yang
sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha konkret dan
positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh WHO
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Menggunakan kekuatan/ kekuasaan atau dorongan
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat
sehingga ia mau melakukan seperti yang diharapkan. Hal ini akan menghasilkan
perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung

35

lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh
kesadaran sendiri
b. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat
atau pengetahuan tentang kesehatan, menimbulkan kesadaran mereka dan
akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu
yang lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari
oleh kesadaran mereka sendiri.
c. Diskusi partisipasi
Cara ini sebagai peningkatan cara yang kedua yang dalam memberikan informasi
tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa
masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif
berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya.
Penelitian Lestrina, Dini (2009) bahwa perilaku masyarakat masih kurang
serius dalam menyelesaikan masalah gizi kurang dan gizi buruk. Dari hasil
wawancara diperoleh bahwa responden yang menjadi informan ketika memberi
makan anak nya sambil melayani pembeli karena pekerjaannya sebagi pedagang dan
yang menjadi pencari nafkah keluarga.

36

2.4 Gizi Kurang dan Gizi Buruk
Pada suatu kelompok masyarakat tertentu penderita kurang gizi merupakan
masalah yang amat pelik dan tidak mudah penanganannya. Kekurangan gizi (=
malnutrisi) merupakan penyakit tidak menular yang terjadi pada sekelompok
masyarakat di suatu tempat. Umumnya penyakit kekurangan gizi merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menyangkut multidisiplin dan selalu harus dikontrol
terutama masyarakat yang tinggal di negara- negara baru berkembang. Secara nyata
malnutrisi di bidang kesehatan masyarakat merupakan penyakit gizi yang secara
kontiniu berpengaruh terhadap pertumbuhan. Ada dua hal penting yang berhubungan
dengan malnutrisi dan hal yang perlu diperhatikan dalam usaha memperbaiki status
gizi, yaitu: faktor makanan dan standart hidup secara nasional tinggi (Achadi, 2007).
Status gizi sangat berhubungan dengan pemberian ASI. Dari penelitian Sri
Satriani (2010) di Kelurahan Bira Kota Makasar bahwa lebih banyak bayi usia 0-6
bulan yang mengalami status gizi kurang (85,7%) dari pada yang gizi cukup (14,3%)
dari bayi yang tidak mengkonsumsi ASI, sementara bagi bayi yang mengkonsumsi
ASI lebih banyak yang berstatus gizi cukup (93,4%) dari pada yang berstatus gizi
kurang (6,6%).
Berdasarkan pedoman pelayanan anak gizi buruk bahwa gizi buruk apabila
keadaan anak yang ditandai dengan satu atau lebih tanda berikut:
a. Sangat kurus
b. Edema, minimal pada kedua punggung kaki

37

c. BB/ PB atau BB/ TB < -3SD
d. LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan)
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) dalam pedoman Depkes
RI (2011) menciptakan aplikasi“WHO anthro” yang dapat digunakan untuk
menghitung status gizi dan memantau perkembangan motorik anak. Aplikasi tersebut
menggunakan data antropometri seperti umur, berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak perlu dilakukan lagi melakukan
perhitungan manual untuk penilaian status gizi
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan
setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan
menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-Score
masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai
berikut (Depkes, 2011) :
a)

Berdasarkan indikator BB/U :
Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.

Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya
karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil.
Kategori BB/U :
1. Kategori Gizi Buruk, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Gizi Kurang, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score =-2,0 s/d Z-score 2,0
b) Berdasarkan indikator TB/U:
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama.
Kategori TB/U :

c)

1.

Kategori Sangat Pendek, jika Z-score < -3,0

2.

Kategori Pendek, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score =-2,0

Berdasarkan indikator BB/TB:
1.

Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0

2.

Kategori Kurus, jika Z-score >=-3,0 s/d Z-score =-2,0 s/d Z-score 2,0

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:
1.

Prevalensi gizi buruk = (Jumlah balita gizi buruk/jumlah seluruh balita) x 100%

2.

Prevalensi gizi kurang = (Jumlah balita gizi kurang/jumlah seluruh balita) x 100%

39

3.

Prevalensi gizi baik = (Jumlah balita gizi baik/jumlah seluruh balita) x 100%

4.

Prevalensi gizi lebih = (Jumlah balita gizi lebih/jumlah seluruh balita) x 100%

d) IMT / U
Pengukuran status gizi dilakukan dengan metode antropometri melalui
perhitungan indeks IMT/U. IMT/U digunakan untuk anak yang berumur 5-19
tahun, dengan menggunakan z-score.
Kategori IMT/U :
1. Kategori Sangat Kurus, jika Z-score < -3,0
2. Kategori Kurus, jika Z-score < - 2SD
3. Kategori Normal, jika Z-score -2SD sampai +1SD
4. Kategori Gemuk, jika Z-score > + 1SD
5. Kategori Obese I, jika Z-score >+2SD
6. Kategori Obese II jika, Z-score >+3SD
Untuk penilaian status gizi dalam program kesehatan masyarakat, salah satu
cara yang digunakan dalam penentuan status gizi masyarakat adalah dengan cara
pengukuran terhadap nilai-nilai dari indeks antropometri. Dalam penentuan status gizi
suatu kelompok masyarakat, lebih baik kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
1. Nilai-nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U atau BB/TB) dibandingkan dengan
nilai rujukan yang dalam hal ini digunakan Rujukan WHO-2005).
2. Dengan menggunakan batas ambang (“cut-off point”) untuk masing-masing
indeks, maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan.

40

Didasarkan pada asumsi resiko kesehatan :
a. Antara -2 SD s/d +2 SD tidak memiliki atau beresiko paling ringan untuk
menderita masalah kesehatan
b. Antara -2 s/d -3 atau antara +2 s/d +3 memiliki resiko cukup tinggi (“moderate”) untuk menderita masalah kesehatan
c. Di bawah -3 SD atau di atas +3 SD memiliki resiko tinggi untuk menderita
masalah kesehatan
3. Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak terjadi
kerancuan dalam interpretasi.
4. Bila dalam masyarakat ada lebih dari 2,5% balita berada

Dokumen yang terkait

Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

4 64 96

Konstruksi Makna Gizi Buruk Dan Gizi Kurang Dari Para Ibu Yang Mempunyai Anak Gizi Buruk Dan Gizi Kurang.

0 0 2

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 19

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 2

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 12

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

1 1 7

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 2 45

GAMBARAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LALANG TAHUN 2014

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

0 0 7