Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

(1)

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH:

RANIKA HARAHAP NIM. 101000086

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Kesehatan Masyarakat

Oleh :

RANIKA HARAHAP NIM. 101000086

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat terciptanya sumberdaya manusia masa depan yang berkualitas. Anak yang mengalami masalah gizi pada usia dini akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan meningkatkan kesakitan, penurunan produktivitas serta kematian. Salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi masyarakat dengan cara peningkatan pelayanan gizi masyarakat melalui program Keluarga Sadar Gizi (KADARZI).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang. Jenis penelitian ini adalah survey, yang bersifat deskriptif. Populasi penelitian ini adalah keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk usia 1-5 tahun yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang sebanyak 43 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan keluarga yang termasuk Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Berdasarkan indikator KADARZI ditemukan bahwa keluarga yang melakukan penimbangan balita (68%), yang memberikan ASI eksklusif tidak ada, makan beraneka ragam (41,9%), menggunakan garam beryodium (9,3%), dan pemberian kapsul vitamin A (74,4%).

Untuk mengatasi masalah ini perlunya peningkatan sosialisasi dan promosi program KADARZI yang mencakup pengoptimalan tugas Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dan kader posyandu, serta perlu dilakukannya peningkatan pendampingan keluarga menuju KADARZI, terutama pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk.

Kata kunci : Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), balita, gizi kurang dan gizi buruk


(5)

A good conditional nutrition is a prerequisite to make quality human power. Children with nutrition problem when under old the growth and development of them would be problematic and increase morbidity, decrease productivity and mortality. One of efforts for increase public nutrition status with the way increase nutrition public service by program nutritional family awereness (KADARZI).

The purpose of the research is to know the description of nutritional family awareness behavior in under five children that undernutrition in Puskesmas Desa Lalang. This was a descriptive research by survey type. The population in this study was 43 under five children undernutrition of 1-5 years old and all of them were used as the samples.

The result of the research was not found of family’s are nutritional family

awereness (KADARZI). Based of indicator KADARZI found that family do child weighing (68%), nothing of administering exclusive breast feeding, consumption of combine food (41,9%), used of iodine salt (9,3%), and administering vitamin A capsule (74,4%).

The solution for this problem are increase sosialitation and promotion program KADARZI, there are the best mission the nutrition personnel (TPG) and cadre of posyandu (integrated service post), and must make an increased associated for family to KADARZI, especially family with under five children that undernutrition.

Keywords : nutritional family awereness (KADARZI), children under five,


(6)

Tempat/Tanggal Lahir : Sungai Ulu/13 Maret 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak Ke : 2 Dari 4 Bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Pelajar No 16 Desa Harapan Jaya, Kecamatan Bunguran Tengah, Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1998-2004 : SD Negeri 016 Harapan Jaya 2. Tahun 2004-2007 : SMP Negeri 2 Bunguran Timur 3. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 1 Bunguran Timur


(7)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014”. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda Kamarudin Harahap dan Ibunda Winarti yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa, arahan, motivasi serta dukungan moril maupun materil. Penulis berharap dapat menjadi kebanggaan bagi mereka. Penulis juga persembahkan untuk kakanda Rika Harahap. Amd.keb serta adinda Rahmi Novika Harahap dan Rifky Vadika Harahap yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa, motivasi serta dukungan moril.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Hj. Rafidah, SpAK selaku Kepala Puskesmas Desa Lalang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Kelurahan Lalang.

3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Kepala Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

skripsi ini diselesaikan.

5. Ibu Fitri Adriani, SKM. MPH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan saran serta arahan sejak persiapan hingga skripsi ini diselesaikan.

6. Ir. Kalsum, M.kes selaku dosen Pembimbing Akademik

7. Dr. Ir. Evawani Y Aritonang, MSi selaku Dosen Penguji skripsi yang telah memberikan saran dan arahan demi penyusunan skripsi yang lebih baik. 8. Ibu Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku Dosen Penguji skripsi yang telah

memberikan saran dan arahan demi penyusunan skripsi yang lebih baik. 9. Seluruh dosen yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis menjalani

pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 10.Bapak Marihot Samosir, S.T serta seluruh staff yang telah membantu penulis

dalam urusan administrasi.

11.Ibu Evita, Ibu Pesi, dan seluruh Petugas Puskesmas serta Ibu Atik dan seluruh Kader Posyandu Desa Lalang yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian.

12.Seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Sahabat-sahabat saya, Dian Fifit Sundari, Entywe Habeahan, Effi Janiarti, dan Desi Ratna Sari yang selalu setia memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.


(9)

Nadia,Tressa, kak sika, kak Vella, dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2014 Penulis,


(10)

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian... 6

1.3.1.Tujuan Umum ... 6

1.3.2.Tujuan Khusus ... 6

1.4.Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1.Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)... 8

2.1.1. Perilaku Sadar Gizi... 9

2.1.2. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku KADARZI ... 10

2.1.3. Indikator Keluarga Sadar Gizi... 14

2.1.4. Strategi KADARZI ... 23

2.1.5. Penilaian KADARZI ... 24

2.2. Balita ... 24

2.2.1. Tumbuh Kembang Balita ... 24

2.2.2. Kebutuhan Gizi Balita ... 25

2.2.3. Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk ... 28

2.3. Landasan Teori ... 31

2.4. Kerangka Konsep ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian... 34

3.2.1. Lokasi Penelitian... 34

3.2.2. Waktu Penelitian ... 34

3.3. Populasi dan Sampel ... 34

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 34

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 35


(11)

3.7. Aspek Pengukuran... 36

3.8. Pengolahan Data ... 40

3.9. Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1. Keadaan Geografis ... 41

4.1.1.1. Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41

4.1.1.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 42

4.1.1.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ... 42

4.1.2. Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang ... 43

4.2. Karakteristik Responden ... 43

4.3. Penyakit Balita Yang Diderita Dalam 1 Bulan Terakhir ... 45

4.4. Penimbangan Balita... 45

4.5. Pemberian ASI Eksklusif ... 46

4.6. Makan Beraneka Ragam ... 46

4.7. Penggunaan Garam Beryodium... 48

4.8. Pemberian Suplemen Kapsul Vitamin A ... 50

4.9. Keluarga Sadar Gizi ... 51

BAB V PEMBAHASAN ... 52

5.1. Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk ... 52

5.1.1 Perilaku Sadar Gizi Keluarga Berdasarkan Penimbangan Balita 52

5.1.2. Perilaku Sadar Gizi Keluarga Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif ... 53

5.1.3. Perilaku Sadar Gizi Keluarga Berdasarkan Makan Beraneka Ragam ... 55

5.1.4. Perilaku Sadar Gizi Keluarga Berdasarkan Penggunaan Garam Beryodium ... 57

5.1.5. Perilaku Sadar Gizi Keluarga Berdasarkan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 61

6.1. Kesimpulan... 61

6.2. Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA


(12)

Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014 ... 41 Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Wilayah

Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 42 Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Wilayah Kerja

Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014 ... 43 Tabel 4.4. Distribusi Karakteristik Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas

Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014 ... 44 Tabel 4.5. Distribusi Penyakit Balita Yang Diderita Dalam 1 Bulan Terakhir Di

Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 45 Tabel 4.6. Distribusi Keluarga Menurut Tempat Penimbangan Balita Di

Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 45 Tabel 4.7. Distribusi Keluarga Menurut Indikator Penimbangan Balita Yang

Mengalami Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 46 Tabel 4.8. Distribusi Kebiasaan Mengkonsumsi Makan Beraneka Ragam Pada

Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 47 Tabel 4.9. Distribusi Keluarga Menurut Indikator Makan Beraneka Ragam

Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 48 Tabel 4.10. Distribusi Keluarga Menurut Jenis Garam Yang Digunakan Pada

Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 48 Tabel 4.11. Distribusi Keluarga Menurut Alasan Memilih Garam Yang

Digunakan Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 48


(13)

Lalang Tahun 2014 ... 49 Tabel 4.13. Distribusi Keluarga Menurut Cara Penyimpanan Garam Pada

Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 49 Tabel 4.14. Distribusi Keluarga Menurut Penggunaan Garam Beryodium Pada

Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 50 Tabel 4.15. Distribusi Keluarga Berdasarkan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada

Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 50 Tabel 4.16. Distribusi Keluarga Berdasarkan Jumlah Indikator Keluarga Sadar

Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014 ... 51


(14)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Perilaku Sadar Gizi ... 32 Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian 33


(15)

Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat terciptanya sumberdaya manusia masa depan yang berkualitas. Anak yang mengalami masalah gizi pada usia dini akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan meningkatkan kesakitan, penurunan produktivitas serta kematian. Salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi masyarakat dengan cara peningkatan pelayanan gizi masyarakat melalui program Keluarga Sadar Gizi (KADARZI).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang. Jenis penelitian ini adalah survey, yang bersifat deskriptif. Populasi penelitian ini adalah keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk usia 1-5 tahun yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang sebanyak 43 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan keluarga yang termasuk Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Berdasarkan indikator KADARZI ditemukan bahwa keluarga yang melakukan penimbangan balita (68%), yang memberikan ASI eksklusif tidak ada, makan beraneka ragam (41,9%), menggunakan garam beryodium (9,3%), dan pemberian kapsul vitamin A (74,4%).

Untuk mengatasi masalah ini perlunya peningkatan sosialisasi dan promosi program KADARZI yang mencakup pengoptimalan tugas Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dan kader posyandu, serta perlu dilakukannya peningkatan pendampingan keluarga menuju KADARZI, terutama pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk.

Kata kunci : Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), balita, gizi kurang dan gizi buruk


(16)

A good conditional nutrition is a prerequisite to make quality human power. Children with nutrition problem when under old the growth and development of them would be problematic and increase morbidity, decrease productivity and mortality. One of efforts for increase public nutrition status with the way increase nutrition public service by program nutritional family awereness (KADARZI).

The purpose of the research is to know the description of nutritional family awareness behavior in under five children that undernutrition in Puskesmas Desa Lalang. This was a descriptive research by survey type. The population in this study was 43 under five children undernutrition of 1-5 years old and all of them were used as the samples.

The result of the research was not found of family’s are nutritional family

awereness (KADARZI). Based of indicator KADARZI found that family do child weighing (68%), nothing of administering exclusive breast feeding, consumption of combine food (41,9%), used of iodine salt (9,3%), and administering vitamin A capsule (74,4%).

The solution for this problem are increase sosialitation and promotion program KADARZI, there are the best mission the nutrition personnel (TPG) and cadre of posyandu (integrated service post), and must make an increased associated for family to KADARZI, especially family with under five children that undernutrition.

Keywords : nutritional family awereness (KADARZI), children under five,


(17)

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan Kesehatan merupakan hal yang sangat berharga bagi kehidupan manusia dalam melangsungkan kehidupan, namun keadaan gizi masyarakat di Indonesia pada saat ini belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi masih banyak ditemukan seperti gizi kurang, gizi buruk, kekurangan vitamin A, anemia gizi besi, Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dan gizi lebih (obesitas).

Pembangunan suatu bangsa tidak hanya dapat diukur dengan pembangunan fisik saja, tetapi juga pembangunan manusianya. Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat terciptanya sumberdaya manusia masa depan yang berkualitas. Anak yang mengalami masalah gizi pada usia dini akan mengalami gangguan tumbuh kembang dan meningkatkan kesakitan, penurunan produktivitas serta kematian. Dari berbagai studi yang telah dilaksanakan, terdapat hubungan positif antara derajat kesehatan masyarakat dengan produktivitas (Depkes RI, 2008). Sebagaimana yang tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud (Depkes RI, 2009).

Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan dirumah tangga akan berakibat pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi


(18)

muda yang tidak berkualitas. Apabila masalah ini terus berlanjut, maka jangka menengah dan panjang akan terjadi kehilangan generasi (generation lost).

Menurut UNICEF (1990) dalam BAPPENAS (2011), penyebab masalah gizi terdiri dari penyebab langsung dan tidak langsung. Sebagai penyebab langsung masalah gizi yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi yang keduanya saling berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Sedangkan penyebab tidak langsung masalah gizi adalah ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh berupa pemberian ASI/MP-ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP-ASI, kebersihan dan sanitasi, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung diatas, berkaitan dengan pokok masalah yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara lain berupa ketidakberdayaan terhadap daya beli akses pangan di masyarakat dan keluarga, kurangnya informasi yang didapat dalam pengasuhan anak yang baik, serta ketidak mampuan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.

Pertumbuhan anak memerlukan lebih banyak zat gizi daripada orang dewasa. Pada masyarakat yang mengalami kekurangan gizi ringan dan berat serta pada situasi


(19)

infeksi yang tinggi, umumnya akan dijumpai angka kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak di bawah umur empat tahun (Suhardjo, 1996).

Keluarga khususnya orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kesehatan anak-anaknya. Terutama saat balita, karena masa balita merupakan masa yang rentan terhadap terjadinya suatu penyakit. Apabila sejak awal kehidupannya yang diterima adalah suasana tidak sehat dan tidak menunjukkan perilaku sadar akan pentingnya gizi maka hal ini dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara positif serta dapat menurunkan kondisi kesehatannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugimah (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita dengan nilai p=0,008, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Karolina, dkk. (2012) bahwa ada hubungan yang bermakna antara KADARZI dengan status gizi berdasarkan indikator BB/TB dengan nilai p= 0,014.

Selama ini telah dilakukan upaya perbaikan gizi mencakup promosi gizi seimbang termasuk penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI, pemberian suplemen gizi (kapsul Vitamin A dan Tablet Tambah Darah/TTD), pemantauan dan penanggulangan gizi buruk. Kenyataannya masih banyak keluarga yang belum berperilaku gizi baik sehingga penurunan masalah gizi berjalan lambat (Depkes RI, 2007).

Tahun 2013 proporsi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya, dimana proporsi gizi kurang sebesar 13,9% lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2010 dan 2007 yaitu sebesar 13,0%. Begitu juga proporsi gizi buruk pada tahun 2013 mengalami kenaikan yaitu sebesar 5,7%


(20)

dibandingkan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2010 sebesar 4,0% dan pada tahun 2007 sebesar 5,4% (Riskesdas, 2013).

Prevalensi gizi buruk pada balita di Sumatera Utara mengalami penurunan dari 8,1% pada tahun 2006 menjadi 4,21% pada tahun 2009 dan prevalensi gizi kurang menurun dari 20,82% pada tahun 2006 menjadi 16,2% pada tahun 2009. Namun dengan prevalensi balita gizi buruk dan kurang sebesar 20,41% pada tahun 2009, Sumatera Utara masih termasuk dalam daerah dengan kategori tiggi. (Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2012).

Kasus gizi kurang di kota Medan pada tahun 2013 sebanyak 1.008 orang, menurun dibanding tahun 2012 yang mencapai 1.200 orang. Sedangkan kasus gizi buruk pada tahun 2013 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 124 orang (Fatimah, 2013). Di Puskesmas Desa Lalang sendiri terjadi peningkatan pada kasus gizi kurang yaitu dari 25 orang pada tahun 2012 menjadi 38 orang pada tahun 2013. Sedangkan kasus gizi buruk tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya yaitu terdapat 5 orang pada tahun 2012 dan 2013. Salah satu penyebabnya adalah pemberian ASI eksklusif yang masih rendah, dimana menurut profil Puskesmas Desa Lalang pada bulan Februari 2013 bayi yang diberikan ASI eksklusif berjumlah 2 orang (0,43%) dan Agustus 2013 terdapat 6 orang (1,30%) serta belum tercapainya program cakupan imunisasi dan pemberian tablet Fe pada ibu hamil.

Perbaikan status gizi masyarakat merupakan prioritas kedua dalam kerangka kebijakan pembangunan kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) bidang kesehatan tahun 2010-2014. Salah


(21)

satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat yaitu dengan cara peningkatan pelayanan gizi dan masyarakat melalui pembinaan gizi masyarakat yaitu melalui program KADARZI (Sarjunani, 2009 dalam Syafli, 2011).

KADARZI adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga dikatakan KADARZI apabila keluarga tersebut telah berperilaku baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi yang diharapkan terwujud minimal dengan menerapkan lima indikator, yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberikan hanya ASI saja kepada bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif), makan beraneka ragam, memasak menggunakan garam beryodium, dan mengkonsumsi suplemen zat gizi mikro sesuai anjuran (Depkes RI, 2007).

Penelitian Simanjuntak (2009), menyatakan bahwa tingkat penerapan KADARZI antara keluarga tidak mampu dan keluarga mampu tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh, sehingga dapat dilihat bahwa KADARZI sudah mulai memasyarakat dan sudah diterapkan dalam keluarga. Namun sampai saat ini masih ditemukan balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Sehingga perlu diketahui lebih lanjut perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk untuk mengetahui apakah keluarga tersebut telah menerapkan lima indikator KADARZI serta mengetahui indikator KADARZI yang belum diterapkan oleh keluarga tersebut.

Dengan mengetahui perilaku sadar gizi keluarga, maka dapat diketahui masalah gizi yang harus diperhatikan, sehingga dapat menentukan program yang akan dilakukan untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk kedepannya,


(22)

sebagaimana menurut Depkes RI (2008), hasil pemantauan berupa informasi besaran masalah gizi dan status gizi penduduk dari waktu ke waktu serta informasi keluarga sadar gizi merupakan informasi penting untuk perencanaan dan kebijakan perbaikan program gizi di suatu wilayah.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti Gambaran perilaku Sadar Gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang.

1.2 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan penimbangan balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014.

2. Untuk mengetahui kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan pemberian ASI Eksklusif pada balita gizi kurang dan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014.


(23)

3. Untuk mengetahui kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan konsumsi aneka ragaman makanan di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014.

4. Untuk mengetahui kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan penggunaan garam yodium di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014.

5. Untuk mengetahui kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan pemberian kapsul vitamin A pada balita gizi buruk dan gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi puskesmas dan instansi yang terkait (Dinas Kesehatan) sebagai bahan masukan untuk pengambilan kebijakan kedepannya untuk peningkatan program KADARZI


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah keluarga yang semua anggota keluarganya mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya (Depkes, 2007). Sasaran dari program KADARZI adalah seluruh anggota keluarga karena pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga, sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan di tingkat keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, masalah gizi seperti gizi kurang, gizi buruk, dan sebagainya yang terjadi di tingkat keluarga sangat erat kaitannya dengan perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan. Kebersamaan antar keluarga dapat memobilisasi masyarakat unuk memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan (Depkes RI, 2004). Sebagaimana hasil dari penelitian Sugimah (2009), Zahraini (2009), Karolina, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita.

Secara umum tujuan Keluarga Sadar Gizi adalah tercapainya keadaan gizi yang optimal untuk seluruh anggota keluarga, yaitu dengan meningkatnya pengetahuan dan perilaku anggota keluarga untuk mengatasi masalah gizi, meningkatnya kepedulian masyarakat dalam menanggulangi masalah gizi keluarga, meningkatnya kemampuan dan ketrampilan petugas dalam memberdayakan masyarakat/keluarga dalam mencegah dan mengatasi masalah gizi (Hesti, 2008 dalam Sugimah, 2009).


(25)

2.1.1 Perilaku Sadar Gizi

Umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namun demikian, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya (Depkes RI, 2007).

Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga dikatakan berperilaku sadar gizi, apabila keluarga telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus minimal adalah:

1. Menimbang berat badan secara teratur,

2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif),

3. Makan beraneka ragam,

4. Menggunakan garam beryodium, 5. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.

Untuk mewujudkan perilaku KADARZI, sejumlah aspek perlu dicermati. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup: 1) tingkat keluarga yaitu pengetahuan dan keterampilan keluarga, kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku; 2) tingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga adalah norma yang berkembang di masyarakat dan dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) yang mencakup eksekutif, legislatif, tokoh


(26)

agama/masyarakat, LSM, ormas, media massa, sektor swasta dan donor; 3) tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif, dan; 4) tingkat pemerintah mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2013) bahwa pemberdayaan masyarakat berhubungan secara signifikan dengan praktek Kadarzi. Kepedulian kepala puskesmas dalam pemberdayaan masyarakat melalui pemantauan secara langsung ke masyarakat baik pada waktu tugas maupun diluar tugas akan terjalin hubungan sosial antara kepala puskesmas dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ibu PKK yang sangat menunjang tenaga kesehatan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat terutama dalam hal penerapan praktek Keluarga Sadar Gizi.

2.1.2 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku KADARZI

Perilaku gizi ditingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dikeluarga adalah faktor fisiologis (umur), pendidikan pengetahuan gizi, pekerjaan, pendapatan, lingkungan hidup (tempat tinggal dan besar keluarga), suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan. Pada umunya dalam penerapan perilaku gizi keluarga di Indonesia ibu mempunyai peran dominan karena ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak (Sediaoetama, 2008).


(27)

1. Umur Orang Tua

Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999 dalam Nazaruddin 2013).

2. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Menurut Suhardjo (1989) dalam Syafli (2011), keadaan tingkat pendidikan orang tua yang rendah terutama ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga terutama pola konsumsi pangan sehari-hari. Sedangkan menurut Gabriel (2008) Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak. Sehingga orang tua yang berpendidikan tinggi akan lebih mengerti dan memperhatikan tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi anggota keluarganya. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Nazaruddin (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan praktek KADARZI.


(28)

3. Pengetahuan Orang Tua

Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003 dalam Ridwan, 2010). Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan.

Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).

Seseorang yang mempunyai pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang


(29)

tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Ridwan, 2010).

4. Pekerjaan Orang Tua

Menurut Gabriel (2008) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni, 1994).

Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga, hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996 dalam Nazaruddin, 2013).

5. Pendapatan Orang Tua

Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Berg, 1986 dalam Nazaruddin, 2013). Menurut Madihah (2002) dalam Nazaruddin (2013) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik.


(30)

6. Besar Keluarga

Pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu pada umur 1-6 Tahun-tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo, 1989 dalam Gabriel, 2008).

7. Keaktifan Kader

Masih banyaknya kasus gizi kurang menunjukkan asuhan gizi ditingkat keluarga belum memadai. Oleh sebab itu perlunya peran kader dalam upaya pemberdayaan yaitu dengan melakukan pendampingan pada keluarga yang bermasalah dengan gizi teruatama keluarga yang mempunyai balita dan ibu hamil. Pendampingan keluarga KADARZI adalah proses mendorong, menyemangati, membimbing dan memberikan kemudahan oleh kader pendamping kepada keluarga guna mengatasi masalah gizi yang dialami (Depkes RI, 2007).

2.1.3 Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Indikator Keluarga Sadar Gizi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Menurut Depkes (2007), ada lima indikator KADARZI yang meliputi: Menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir


(31)

sampai umur enam bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A pada balita) sesuai anjuran.

1. Menimbang berat badan secara teratur

Tujuan dari penimbangan secara teratur yaitu untuk mengetahui perubahan berat badan dalam menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan, dengan mengetahui perubahan berat badan yang terjadi keluarga dapat mengenali masalah kesehatan dan gizi anggota keluarganya serta mampu mengatasi masalahnya baik oleh sendiri atau dengan bantuan petugas.

Cara memantau berat badan anak:

a. Anak dapat ditimbang di rumah atau di posyandu atau di tempat lain, b. Berat badan anak dimasukkan ke dalam KMS,

c. Bila grafik berat badan KMS Naik (sesuai garis pertumbuhnnya), berarti anak sehat, bila tidak naik berarti ada penurunan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan dan perlu ditindak lanjuti oleh keluarga atau meminta bantuan petugas kesehatan.

Berat badan balita dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan pada KMS selama enam bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan ditimbang empat kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dari empat kali dianggap belum baik. Bila bayi 4-5 bulan ditimbang tiga kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari tiga kali dinilai belum baik. Bila bayi berusia 2-3 bulan ditimbang dua kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum baik, dan pada


(32)

bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang (Depkes RI, 2008).

Menurut penelitian Sihotang (2009) menunjukkan bahwa dari 66 keluarga responden yang diteliti kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator penimbangan yang dikategorikan baik hanya sekitar 40,90% dan kategori tidak baik sebesar 59,10%. Ada beberapa alasan keluarga tidak menimbangkan balitanya antara lain: anak sudah mendapat imunisasi lengkap sehingga ibu merasa tidak perlu membawa anaknya ke posyandu dan alasan bekerja bagi keluarga petani juga sangat mempengaruhi responden mengikuti penimbangan. Kemungkinan hal tersebut di atas dipengaruhi oleh kurang pengetahuan masyarakat tentang manfaat penimbangan.

2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif)

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak (Winarno 1995 dalam Syafli 2011). Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama, sebab memenuhi syarat-syarat kesehatan. ASI mengandung semua nutrient untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

ASI eksklusif merupakan ASI yang diberikan kepada bayi, sejak lahir sampai bayi berusia enam bulan tanpa minuman dan makanan lain selain ASI. Pentingnya memberikan ASI secara eksklusif pada bayi baru lahir sampai usia enam bulan dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 24 bulan telah memiliki bukti yang kuat.


(33)

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan perkembangan sosial dan kognitif yang lebih baik dari bayi yang diberi susu formula (Michael S. Kramer, et al, 2003 dalam BAPPENAS, 2011). Begitu juga hasil penelitian Karolina,dkk (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara memberikan ASI Eksklusif dengan status gizi balita.

Pemberian ASI juga memberi manfaat yang besar bagi ibu yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali ke ukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan (Zahraini, 2009).

Saat pemberian ASI, ibu sangat memerlukan dorangan secara aktif dan dukungan emosional dari praktisi pelayanan kesehatan dan anggota keluarga agar berhasil memberikan ASI pada bayinya. Pemberian ASI merupakan praktik yang unik dan bukan hanya memberikan asupan nutrient dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan kesehatan melalui unsur imunulogik pada ASI (Gibney, dkk., 2009).

Morbiditas bayi akibat infeksi saluran pernafasan dan pencernaan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih jarang dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Karena ASI mengandung macam-macam substansi anti-infeksi yang melindungi bayi terhadap anti-infeksi, terutama apabila kebersihan lingkungan yang tidak baik. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan


(34)

spesifik dan nonspesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0-6 bulan hanya memperoleh ASI saja tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada tahun 2015 jumlah bayi 0-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan pendamping yang lain yaitu sebesar 80% (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian yag dilakukan oleh Sihotang (2009) bahwa dari 66 responden yang diteliti diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator pemberian ASI eksklusif yang dikategorikan baik hanya 3,03%, hal ini menunjukkan hampir seluruh responden tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

Cara menyusui secara eksklusif: 1. Mulai memberikan ASI segera setelah lahir,

2. Jangan diberikan makanan/minuman lain sampai bayi berumur enam bulan, 3. Berikan ASI melalui payudara kiri dan kanan bergantian setiap kali menyususi, 4. Ibu menyusui perlu minum dan makan lebih banyak dengan menu seimbang.

3. Makan Beraneka Ragam

Makan beraneka ragam berarti pangan yang dikonsumsi memenuhi tiga guna makanan yang diperlukan oleh tubuh yaitu sebagai sumber tenaga (karbohidrat dan


(35)

lemak), sumber zat pembangun (protein) dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral).

Makanan beraneka ragam adalah mengkonsumsi makanan 2-3 kali sehari yang terdiri dari empat macam kelompok bahan makanan yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan. Pangan sumber tenaga terdiri dari makanan pokok yaitu padi-padian (beras, jagung dan gandum), pangan sumber zat pembangun terdiri dari lauk pauk yaitu yang berasal dari bahan nabati (kacang-kacangan, tempe, dan tahu) dan pangan yang berasal dari sumber hewani (telur, ayam, daging, dan susu serta hasil olahannya), pangan sumber zat pengatur berasal dari sayuran seperti sawi, kangkung, bayam, daun singkong, dan buah-buahan seperti apel, papaya, jeruk, jambu dll (Khosman dan Anwar, 2008).

Makanan yang beraneka ragam dapat memberikan manfaaat yang besar terhadap kesehatan. Hal itu karena zat gizi tertentu, yang tidak terkandung dalam suatu jenis bahan makanan, akan di lengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan lain, demikian juga sebaliknya. Masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi, sehingga akan memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khosman dan Anwar, 2008). Selain itu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan juga dapat menurunkan risiko untuk terkena masalah gizi dan penyakit infeksi, sebagaimana hasil penelitian Sugimah (2009) yang menyatakan bahwa makan beraneka ragam memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi balita.

Saat ini penerapan makan beraneka ragam dimasyarakat belum begitu baik, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Sihotang (2009) bahwa dari 66 keluarga


(36)

responden, diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator keanekaragaman makanan sebahagian besar dikategorikan tidak baik yaitu 90,90% dan yang dikategorikan baik hanya 9,10%.

4. Menggunakan Garam Beryodium

Garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai dengan Keppres No.69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium (Sari, dkk 2008). Fungsi Iodium dalam tubuh manusia yaitu untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh tubuh yang bermanfaat dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Gabriel, 2008).

Gejala kekurangan iodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid membesar (gondok), pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan dalam pertumbuhan atau yang sering dikenal sebagai kretinisme. Kekurangan iodium pada anak-anak dapat menyebabkan kemampuan belajar yang rendah (Almatsier, 2009).

Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga mengandung yodium atau tidak secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melihat ada tidaknya label garam beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jika berlabel yodium dan bila ditest dengan yodina berwarna ungu, tidak baik jika tidak berlabel dan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah (Depkes RI, 2007 dalam Sihotang, 2009).


(37)

Menurut BPS-UNICEF dalam Sihotang (2009) yodium merupakan salah satu mineral esensial hingga keadaan kekurangan akan menggangu kesehatan dan pertumbuhan, walaupun garam yang dibeli mengandung yodium yang cukup. Penanganan dan cara penyimpanan oleh rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan yodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang. Hasil penelitian Sihotang (2009) terhadap garam yang digunakan oleh 66 keluarga responden dengan menggunakan test yodina dapat diketahui bahwa seluruh responden menggunakan garam beryodium. Namun pengetahuan responden tentang cara menggunakan garam beryodium masih kurang. Masih banyak responden yang menggunakan garam pada awal/saat proses pemasakan, menyimpan garam beryodium dengan meletakan pada wadah terbuka atau tetap pada plastik kemasan dengan kondisi terbuka.

Menurut Zahraini (2009), yodium dalam garam dapat dipertahankan kualitasnya dengan penyimpanan dan penggunaan yang baik dan benar, seperti berikut:

a. Disimpan pada wadah yang tertutup rapat dan tidak terkena sinar matahari.

b. Apabila garam disimpan dalam kemasan plastik pada kelembaban nisbi 70-80% maka dapat bertahan selama enam bulan, tetapi kandungan yodiumnya akan hilang sebanyak 7% tergantung dari ketinggian suatu daerah dari permukaan laut.

c. Garam disimpan di tempat yang kering dan jauh dari sumber panas seperti kompor, karena garam bersifat higroskopis (mudah menyerap air).

d. Sebaiknya garam ditambahkan setelah selesai memasak karena yodium akan merosot drastis hingga 0 ppm ketika bercampur dengan cabai, merica, ketumbar


(38)

dan terasi. Selain itu juga agar kerusakan yodium sebanyak 20% selama proses memasak bila dikurangi.

5. Memberikan Suplemen Gizi (Kapsul Vitamin A Pada Balita)

Suplemen adalah kombinasi dua atau lebih vitamin dan zat mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Suplemen dapat berupa gabungan dari berbagai macam vitamin atau zat lain seperti asam amino. Jenis suplemen tunggal bisa terdiri dari kalsium, zinc, vitamin, asam folat, dan lain-lain. Suplemen tidak diperlukan selama pengolahan makanan menerapkan pola gizi seimbang. Asupan gizi paling bagus adalah dari makanan (Yokozu, 2009 dalam Damanik, 2011).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Sumber vitamin A yang berasal dari bahan pangan adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), mentega, sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, bayam, kacang panjang, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, dan jeruk (Almatsier, 2009).

Kurang Vitamin A (KVA) pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, meningkatkan resiko kesakitan dan meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier, 2009).

Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A pada bayi dan balita diperlukan penambahan kapsul vitamin A yang diberikan pada bulan Februari dan Agustus yaitu dengan pemberian vitamin A dosis tinggi 100.000 SI (kapsul biru) untuk balita umur


(39)

6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul merah) untuk balita umur 12-59 bulan yang dapat diperoleh di posyandu maupun di puskesmas (Depkes RI, 2007).

2.1.4 Strategi KADARZI

Strategi untuk mencapai sasaran KADARZI menurut Depkes RI (2007) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan fungsi dan peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini gangguan pertumbuhan balita.

2. Menyelenggarakan pendidikan/promosi gizi secara sistematis melalui advokasi, sosialisasi, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan pendampingan keluarga. 3. Menggalang kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan dengan swasta dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumber daya untuk penyediaan pangan rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan gizi.

4. Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan MP-ASI bagi balita GAKIN.

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tatalaksana pelayanan gizi.

6. Mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya.

7. Mengoptimalkan surveilans berbasis masyarakat melalui Pemantauan Wilayah Setempat Gizi, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.


(40)

2.1.5 Penilaian KADARZI

Menurut Depkes RI, 2004 cara menilai apakah suatu keluarga sudah Sadar Gizi adalah dengan melihat sebagai berikut:

1. Status gizi seluruh anggota keluarga khususnya ibu dan anak baik 2. Tidak ada lagi bayi berat badan lahir rendah pada keluarga

3. Semua anggota keluarga mengkonsumsi garam beryodium

4. Semua ibu memberikan hanya Asi saja pada bayi sampai umur enam bulan

5. Semua balita dalam keluarga yang ditimbangkan naik berat badannya sesuai umur 6. Tidak ada masalah gizi lebih dalam keluarga

2.2 Balita

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012), balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan balita (2-3 tahun), dan golongan prasekolah (> 3-5 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan, sumber lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun.

2.2.1 Tumbuh Kembang Balita

Jenis tumbuh kembang balita menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012) dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Tumbuh kembang fisik yang meliputi perubahan dalam bentuk dasar dan fungsi organisme atau individu.


(41)

2. Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik, seperti berbicara, bermain, berhitung, dan membaca.

3. Tumbuh kembang sosial emosional bergantung pada kemampuan bayi untuk membentuk ikatan batin, berkasih sayang, menangani kegelisahan akibat suatu frustasi dan mengelola rangsangan agresif.

Balita pada usia kurang dari enam bulan perkembangan otak bayi mengalami masa yang kritis, sehingga sangat diperlukan adanya perlakuan-perlakuan khusus untuk perkembangan otak secara maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ASI eksklusif mulai dari awal kelahiran sampai usia enam bulan, yang bertujuan untuk menghindari terjadinya infeksi dan sakit. Pemberian ASI tidak hanya sampai usia enam bulan saja, tetapi sampai usia dua tahun. Setelah bayi berusia lebih dari enam bulan, maka diberikan Makan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk menambah asupan gizi yang tidak terpenuhi oleh ASI saja mengingat kebutuhan zat gizi balita meningkat di setiap pertumbuhannya (usianya). Perlakuan terhadap anak paling baik dilakukan sampai balita berusia lima tahun, karena masa ini merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangannya kelak (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2.2.2 Kebutuhan Gizi Balita

Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu perhatian yang serius. Oleh karena itu, peran makanan yang bernilai gizi tinggi sangat penting seperti pada makanan yang mengandung energi, protein (terutama protein hewani), vitamin (Vitamin B kompleks, Vitamin C, Vitamin A), dan mineral (Ca, Fe,


(42)

Yodium, Fosfor, Zn). Untuk mencegah terjadinya gangguan gizi dan masalah psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarganya untuk selalu memberikan makanan dengan gizi seimbang kepada balitanya dan makanan yang diberikan kepada anak harus bisa meningkatkan selera makan anak. Yang dimaksud dengan gizi seimbang adalah makanan yang yang dikonsumsi balita dalam suatu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga (Karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (Vitamin dan mineral) sesuai dengan kebutuhan tubuhnya (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Untuk mendukung pertumbuhan fisik balita, perlu petunjuk praktis makanan dengan gizi seimbang sebagai berikut:

1. Makanlah aneka ragam makanan.

2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi.

3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi. 5. Gunakan garam beryodium.

6. Makanlah makanan sumber zat besi.

7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur enam bulan. 8. Biasakan sarapan pagi.

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya. 10.Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur. 11.Hindari minum minuman berakohol.


(43)

13.Bacalah label pada makanan yang dikemas.

Pada masa ini balita perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik. Oleh karena itu “keterlambatan investasi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki atau digantikan di kemudian hari” (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Menurut Gabriel (2008) ada beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat yang justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok balita ini: 1. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang

dewasa, sehingga masih memerlukan adaptasi.

2. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah keuangan. Anak sudah tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya sering diserahkan kepada saudara yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik.

3. Ibu sering sudah mempunyai anak lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga balita kurang mendapat perhatian dari sang ibu.

4. Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanan. Apabila makan bersama dalam keluarga, anak balita masih diberi jatah makanan dan jika tidak mencukupi sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau mengambil sendiri tambahannya

5. Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai kondisi yang menyebabkan terkena infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup


(44)

mempunyai imunitas atau daya tahan untuk melawan penyakit atau menghindarkan kondisi lain yang memberikan bahaya kepada dirinya.

2.2.3 Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Balita gizi kurang adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada -3 SD sampai dengan <-2 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Balita gizi buruk adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada <-3 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3: 1. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda-tanda marasmus yaitu badan sangat kurus (kulit membungkus tulang), wajah seperti orang tua (pipi kempot, mata terlihat cekung), cengeng dan rewel, iga gambang, perut cekung, tulang belakang terlihat menonjol, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai


(45)

tidak ada, (baggy pants) sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare (Depkes RI, 2004). Marasmus juga sering disertai defisiensi vitamin D dan vitamin A (Almatsier, 2009).

2. Kwarshiorkor

Kwarshiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Tanda-tanda klisnis seperti edema di seluruh tubuh terutama perut, kaki dan tangan, rambut tipis, wajah membulat dan sembab, anak apatis, tidak nafsu makan, rambut kusam dan mudah rontok (rambut jagung), kulit kering, bersisik, pecah-pecah, dan sermatosisis (Almatsier, 2009).

3. Marasmik-Kwarshiorkor

Marasmik Kwarshiorkor merupakan gabungan dari gejala marasmus dan kwashiorkor.

Menurut UNICEF (1990) yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia dalam BAPPENAS (2011), terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong (berpengaruh). Sebagai contoh, bayi dan anak yang tidak mendapat air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI yang tepat memiliki daya tahan yang rendah sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik.


(46)

Faktor makanan yaitu mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu: 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 2) memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan; 3) pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia > 6 bulan; dan 4) ASI terus diberikan sampai anak berusia dua tahun.

Faktor infeksi yaitu berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga.


(47)

2.3 Landasan Teori

Konsep sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi ini diperlukan keharmonisan dalam menjaga kesehatan. H.L Blum menjelaskan terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan yaitu faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Blum menyimpulkan bahwa dari hasil penelitiannya di negara maju, lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap kesehatan, sedangkan di negara berkembang terutama di Indonesia apabila dilakukan penelitian mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar (Notoatmodjo, 2007).

Selanjutnya Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa perilaku dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh oleh tiga faktor utama yaitu 1)

predisposing factors yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat; 2) enabling factors yaitu faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku berupa fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, 3) reinforcing factors yaitu faktor penguat perilaku sebagai contoh atau panutan bagi masyarakat.


(48)

Dalam perilaku gizi dikeluarga terdapat beberapa faktor yang berpengaruh yaitu pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi (Sediaoetama, 2008).

Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat dibuat kerangka teori tentang perilaku sadar gizi pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori Perilaku Sadar Gizi

Sumber:Modifikasi Teori Blum dan Green (1980)

Keturunan

Status Kesehtan Pelayanan

Kesehatan

Lingkungan

Perilaku

Reinforcing Factors -Sikap dan Perilaku

Tokoh Masyarakat -Keaktifan Kader Enabling Factors

-Sarana dan Prasarana Kesehatan

-Pelayanan Kesehatan Predisposing Factors

-Umur -Pendidikan -Pengetahuan -Pekerjaan -Pendapatan -Besar Keluarga


(49)

2.4 Kerangka Konsep

Untuk mengetahui perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk diukur dengan menggunakan lima indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Keterangan :

= = Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar diatas menjelaskan bahwa perilaku sadar gizi keluarga yang terdiri dari lima indikator yaitu menimbang berat badan balita, memberikan ASI eksklusif, makan beraneka ragam pada anggota keluarga, menggunakan garam beryodium, dan memberikan kapsul vitamin A pada balita akan berdampak pada perubahan asupan makanan yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita.

Status Gizi Balita Perilaku Sadar Gizi

1. Menimbang berat badan balita 2. Memberikan ASI eksklusif 3. Makan beraneka ragam pada

anggota keluarga

4. Menggunakan garam beryodium 5. Memberikan suplemen kapsul

vitamin A pada balita.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survey, yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang yaitu di Kelurahan Lalang dan Kelurahan Sei Sikambing B. Lokasi ini dipilih karena di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang masih banyak keluarga yang memiliki balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk yaitu balita gizi kurang sebanyak 38 orang dan balita gizi buruk sebanyak 5 orang.

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian di mulai bulan Februari - Juli 2014. 3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk usia 1 - 5 tahun yang ada di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang sebanyak 43 orang (data bulan Mei 2014).

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk usia 1 - 5 tahun yang ada di populasi (total sampling).


(51)

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer

Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi langsung, meliputi data penimbangan berat badan balita, memberikan ASI saja kepada bayi 0-6 bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam (mengkonsumsi makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran dan buah), menggunakan garam beryodium, dan memberikan vitamin A pada balita.

3.4.2 Data Sekunder

Data demografi meliputi data jumlah keluarga yang memiliki anak balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dari Laporan Bulanan Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

3.5 Defenisi Operasional

1. Perilaku sadar gizi adalah tindakan atau perbuatan keluarga dalam menerapkan lima indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yaitu menimbang berat badan balita, memberikan ASI saja pada bayi 0-6 bulan (ASI eksklusif), mengkonsumsi makananan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium dan memberikan vitamin A pada balita.

2. Menimbang berat badan balita adalah penimbangan berat badan balita yang dilakukan oleh keluarga yang dilihat dari KMS atau catatan puskesmas melalui kegiatan penimbangan setiap bulan di posyandu atau di puskesmas.

3. Memberikan ASI eksklusif adalah tindakan ibu dalam memberikan ASI saja pada bayinya sejak lahir sampai usia enam bulan, tanpa diberikan cairan tambahan


(52)

seperti susu formula, air putih, teh, madu, air jeruk, dan tanpa diberikan tambahan makanan padat seperti bubur nasi, pisang, biskuit, dan pepaya.

4. Makan beraneka ragam adalah anggota keluarga makan 2-3 kali sehari yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah.

5. Menggunakan garam beryodium adalah pemakaian garam yang apabila diuji dengan menggunakan test yodina berwarna ungu dan digunakan setelah makanan matang serta disimpan pada wadah kering (tertutup) dan ditempatkan ditempat sejuk.

6. Memberikan vitamin A pada balita adalah pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi 100.000 SI (kapsul biru) untuk balita umur 6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul merah) untuk balita umur 12-59 bulan yang diperoleh dari posyandu maupun sarana kesehatan lainnya.

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen (alat) yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah timbangan injak untuk menimbang berat badan balita, microtoise, kuesioner, dan Tes Yodina.

3.7 Aspek Pengukuran

1. Menimbang berat badan balita dengan memantau berat badan secara teratur dapat diketahui dengan melihat KMS dalam enam bulan terakhir. Kemudian dikategorikan menjadi (Depkes RI, 2008):

- Baik : jika balita dalam enam bulan terakhir ditimbang empat kali atau lebih berturut-turut.


(53)

- Tidak baik : jika balita dalam enam bulan terakhir ditimbang kurang dari empat kali berturut-turut.

2. Makan beraneka ragam dapat diketahui melalui wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada formulir yang telah dipersiapkan sebelumnya dan dikategorikan menjadi (Sihotang, 2009):

- Baik : jika mengkonsumsi makanan yang terdiri dari: makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah atau makanan pokok, lauk pauk, sayur (buah) setiap kali makan (2-3 kali sehari).

- Tidak baik : jika mengkonsumsi makanan yang terdiri dari: makanan pokok dan lauk pauk atau makanan pokok dan sayur setiap kali makan kurang dari 2-3 kali sehari.

3. Menggunakan garam beryodium dapat diketahui dengan wawancara langsung mengenai cara memakai/menyimpan garam beryodium yang benar dan menguji garam melalui test yodina. Test ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti adanya kandungan yodium didalam garam. Kemudian dikategorikan menjadi (Sihotang, 2009):

- Baik : Jika garam yang digunakan mengandung yodium, ditest dengan yodina berwarna ungu dan pemakaian/penyimpanan sesuai aturan. - Tidak baik : - Jika garam yang digunakan mengandung yodium, ditest dengan

yodina berwarna ungu tetapi pemakaian/penyimpanan tidak sesuai aturan.


(54)

- Jika garam yang digunakan tidak mengandung yodium, ditest dengan yodina tidak berubah warna menjadi berwarna ungu walaupun pemakaian/penyimpanan sesuai aturan.

4. Tindakan Pemberian ASI eksklusif dapat diketahui melalui wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya dan dikategorikan menjadi (Depkes RI, 2008):

- Baik : Jika hanya diberi ASI saja, tidak diberikan makanan dan minuman lain pada umur 0-6 bulan (ASI eksklusif 0-6 bl).

- Tidak Baik : Jika tidak diberi ASI saja, diberikan makanan dan minuman lain pada umur 0-6 bulan.

5. Pemberian vitamin A diketahui dengan wawancara langsung kepada responden dan melihat catatan KMS kemudian dikategorikan menjadi (Depkes RI, 2008):

- Baik : - Jika balita umur 6-11 bulan mendapatkan kapsul vitamin A berwarna biru pada bulan Februari atau Agustus dalam satu tahun terakhir.

- Jika balita umur 12- 59 bulan mendapatkan kapsul vitamin A berwarna merah setiap bulan Februari dan Agustus dalam satu tahun terakhir.

- Tidak baik : - Jika balita umur 6-11 bulan tidak mendapatkan kapsul vitamin A berwarna biru pada bulan Februari atau Agustus dalam satu tahun teakhir


(55)

- Jika balita umur 12- 59 bulan tidak mendapatakan kapsul vitamin A berwarna merah setiap bulan Februari dan Agustus dalam satu tahun terakhir.

6. Perilaku sadar gizi (Depkes RI, 2008)

- Baik : jika kelima indikator yaitu menimbang berat badan balita, makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, ASI eksklusif, dan pemberian kapsul vitamin A dikategorikan baik.

- Tidak baik : jika ada dari lima indikator yaitu memantau berat badan balita, makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, ASI eksklusif, dan pemberian kapsul vitamin A dikategorikan tidak baik.

7. Status Gizi balita diperoleh melalui pengukuran antropometri BB/U, TB/U, BB/TB yang menggunakan Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

BB/U dengan kategori: - Gizi Buruk : <-3 SD

- Gizi Kurang : -3 SD sampai dengan <-2 SD - Gizi Baik : -2 SD sampai dengan 2 SD - Gizi Lebih : >2 SD

TB/U dengan kategori: - Sangat Pendek : <-3 SD

- Pendek : -3 SD sampai dengan <-2 SD - Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD


(56)

- Tinggi : >2 SD BB/TB dengan kategori: - Sangat Kurus : <-3 SD

- Kurus : -3 SD sampai dengan <-2 SD - Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD - Gemuk : >2 SD

3. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan alat bantu komputer dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing, yaitu melihat dan memerikasa data yang dikumpulkan. Bila terdapat kesalahan dalam pengumpulan data, maka data diperbaiki dengan cara memeriksa kembali jawaban yang kurang.

2. Koding, yaitu memberikan kode atau angka-angka tertentu pada kuesioner. 3. Entri Data, memasukkan data ke dalam komputer.

3.9 Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang kemudian dapat dianalisa secara deskriptif.


(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Desa Lalang terletak di Jalan Binjai km 7,5 Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal dengan letak geografis sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kelurahan Cinta Damai - Sebelah Selatan : Kelurahan Sei Sikambing B - Sebelah Barat : Kelurahan Lalang

- Sebelah Timur : Kelurahan Simpang Tanjung 4.1.1 Keadaan Geografis

4.1.1.1 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014

No Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentasi (%)

1. Laki-laki 21.408 50,82

2. Perempuan 20.712 49,18

Jumlah 42.120 100,00

Sumber : Data Profil Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013

Berdasarkan data yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan Puskesmas Desa Lalang, maka dapat diketahui bahwa distribusi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak yaitu berjenis kelamin laki-laki sebesar 50,82%.


(58)

4.1.1.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) %

1. Tidak Tamat SD 1693 4,02

2. TK 2027 4,81

3. SD 31859 75,64

4. SMP 2136 5,07

5. SMA 1778 4,22

6. DI – DIII 1642 3,89

7. S1 - S3 985 2,35

Jumlah 42120 100,00

Sumber : Data Profil Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013

Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Puskesmas Desa Lalang, maka dapat diketahui bahwa penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SD sebanyak 31859 orang (75,64 %) dan yang paling sedikit adalah tingkat pendidikan S1 - S3 sebanyak 985 orang (2,35 %).

4.1.1.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan jenis pekerjaan di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal pada tabel 4.3, maka dapat diketahui bahwa penduduk yang tidak bekerja sebanyak 1150 orang (2,75 %), jenis pekerjaan yang paling banyak yaitu PNS/TNI/POLRI dengan jumlah 826 orang (1,96 %), jenis pekerjaan yang paling sedikit adalah perawat dengan jumlah 17 orang (0,04 %), dan lain-lain sebanyak 38440 orang (91,27 %).


(59)

Tabel 4.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Perkerjaan Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014

No Pekerjaan Jumlah (Orang) Prensentasi (%)

1. Pengusaha 240 0,56

2. Buruh 248 0,67

3. PNS/TNI/POLRI 826 1,96

4. Dokter 44 0,10

5. Bidan 54 0,13

6. Perawat 17 0,04

7. Pegawai Swasta 90 0,21

8. Pensiunan 466 0,13

9. Pengacara 18 0,04

10. Notaris 22 0,05

11. PRT 274 0,65

12. Tidak Bekerja 1150 2,73

13. Pensiunan Swasta 96 0,22

14. Seniman 115 0,27

15. Lain-lain 38440 91,27

Total 42120 100,00

Sumber : Data Profil Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013

4.1.2 Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang

Puskesmas Desa Lalang melakukan pelayanan kesehatan terhadap dua kelurahan, yaitu :

1. Kelurahan Lalang : 199 Ha 2. Kelurahan Sei Sikambing B : 30,4 Ha 4.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Gambaran karakteristik responden selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:


(60)

Tabel 4.4. Distribusi Karakteristik Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014

No Karakteristik Frekuensi Persentase

1. Umur : a. 20-29 tahun b. 30-39 tahun c. 40-49 tahun d. ≥ 50 tahun

20 15 7 1 46,5 34,9 16,3 2,3

Jumlah 43 100,0

2. Pendidikan : a. SLTP b. SLTA c. PT 8 32 3 18,6 74,4 7,0

Jumlah 43 100,0

3. Pekerjaan Kepala Rumah Tangga: a. Buruh b. Wiraswasta 20 23 46,5 53,5

Jumlah 43 100,0

4. Penghasilan Keluarga : a. < 1.505.850

b. ≥ 1.505.850 33 10

76,7 23,3

Jumlah 43 100,0

5. Jumlah Anggota Keluarga : a. 3-4 b. 5-7 c. >7 14 23 6 32,6 53,5 14,0

Jumlah 43 100,0

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa umur responden didominasi antara 20-29 tahun yaitu berjumlah 20 orang (46,5%). Dilihat dari pendidikan terakhir responden paling banyak yaitu SLTA yang berjumlah 32 orang (74,4%). Berdasarkan pekerjaan, sebanyak 23 orang (53,5%) bekerja sebagai wiraswasta. Dilihat dari penghasilan responden, masih banyak yang berpenghasilan di bawah Upah Minimum Propinsi (Rp 1.505.850) yaitu sebanyak 33 orang (76,7%). Berdasarkan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah terbanyak yaitu 5-7 orang yang berjumlah 23 responden (53,5%).


(1)

jumlah anggota keluarga

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 14 32.6 32.6 32.6

2 23 53.5 53.5 86.0

3 6 14.0 14.0 100.0

Total 43 100.0 100.0

jenis kelamin balita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 21 48.8 48.8 48.8

perempuan 22 51.2 51.2 100.0

Total 43 100.0 100.0

penyakit balita dalam 1 tahun terakhir

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak ada 2 4.7 4.7 4.7

ispa 8 18.6 18.6 23.3

diare 16 37.2 37.2 60.5

ispa dan diare 11 25.6 25.6 86.0

lainnya 6 14.0 14.0 100.0

Total 43 100.0 100.0

tempat penimbangan balita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Posyandu 30 69.8 69.8 69.8

pelayanan kesehatan 12 27.9 27.9 97.7

lain-lain 1 2.3 2.3 100.0


(2)

penimbangan berkala balita

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid < 4 kali 13 30.2 30.2 30.2

> 4 kali 30 69.8 69.8 100.0

Total 43 100.0 100.0

pemberian MP ASI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid < 6 bulan 43 100.0 100.0 100.0

frekuensi makan makanan pokok

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 2-3 x sehari 43 100.0 100.0 100.0

frekuensi makan lauk pauk

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 2-3 x sehari 29 67.4 67.4 67.4

2-3 x seminggu 14 32.6 32.6 100.0

Total 43 100.0 100.0

frekuensi makan sayur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 1 x sehari 6 14.0 14.0 14.0

2-3 x sehari 25 58.1 58.1 72.1

2-3 x seminggu 12 27.9 27.9 100.0


(3)

frekuensi makan buah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 2-3 x seminggu 2 4.7 4.7 4.7

1 x seminggu atau lebih dari seminggu

41 95.3 95.3 100.0

Total 43 100.0 100.0

indikator makan beraneka ragam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid baik 18 41.9 41.9 41.9

tidak baik 25 58.1 58.1 100.0

Total 43 100.0 100.0

jenis garam yang digunakan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid gara halus 41 95.3 95.3 95.3

garam kasar 2 4.7 4.7 100.0

Total 43 100.0 100.0

alasan membeli garam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid karena mengandung yodium 9 20.9 20.9 20.9

karena ada di pasaran 34 79.1 79.1 100.0

Total 43 100.0 100.0

kadar yodium garam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


(4)

cara penggunaan garam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid di gunakan setelah masakan

matang

5 11.6 11.6 11.6

pada awal atau pada saat proses pemasakan

38 88.4 88.4 100.0

Total 43 100.0 100.0

cara penyimpanan garam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid menggunakan wadah kering

tertutup, disimpan ditempat sejuk

27 62.8 62.8 62.8

menyimpan pd wadah terbuka atau tetap di plastik kemasan dan terbuka di letakkan ditempat yg terkena panas seperti kompor, sinar matahari langsung

16 37.2 37.2 100.0

Total 43 100.0 100.0

indikator penggunaan garam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid baik 4 9.3 9.3 9.3

tidak baik 39 90.7 90.7 100.0

Total 43 100.0 100.0

pemberian kapsul vitamin A

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid ya 35 81.4 81.4 81.4


(5)

indikator pemberian vitamin A

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid baik 32 74.4 74.4 74.4

Tidak Baik 11 25.6 25.6 100.0

Total 43 100.0 100.0

Keluarga Sadar Gizi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0 4 9.3 9.3 9.3

1 17 39.5 39.5 48.8

2 17 39.5 39.5 88.4

3 4 9.3 9.3 97.7

4 1 2.3 2.3 100.0


(6)

Dokumen yang terkait

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 19

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 2

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 12

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 38

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

1 1 7

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 2 45

GAMBARAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LALANG TAHUN 2014

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

0 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

0 0 7

GAMBARAN PERILAKU SADAR GIZI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI BALITA GIZI KURANG DAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

0 0 14