Macam Macam Pendekatan dalam Pembelajara
MACAM-MACAM PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN
Diajukan untuk melengkapi tugas pada
mata kuliah Strategi Belajar Mengajar
Oleh : KELOMPOK I
Cut Rita Zahara
Sri Fitri Ayu
Renni Yusdardila Putri
Dwi Cahya Wulan S
DOSEN PEMBIMBING :
Drs. R.M. Bambang S, M.Pd
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN DARUSSALAM BANDA ACEH
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmannirrahim…
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya dalam penyelesaian makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam kami sanjungkan kepangkuan Nabi Besar Muhammad Saw, dan para keluarga serta sahabat beliau sekalian yang telah menebarkan kebaikan Islam dalam pendidikan dunia sekarang.
Makalah berjudul Macam-macam Pendekatan dalam Pembelajaran ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar. Dalam makalah ini kami membahas tentang bagaimana jenis-jenis pendekatan yang digunakan guru dalam pembelajaran dari masing-masing pendekatan.
Dalam penulisan makalah ini, kami diberikan kesempatan dan peluang oleh dosen pembimbing dan teman-teman seperjuangan yang terus mendukung terselesainya makalah ini hingga dipresentasikan. Kami menyampaikan rasa terimakasih sangat banyak kepada pihak yang telah mendukung.
Atas kekurangan dan tidak kesesuaiannya dalam makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar terciptanya makalah yang benar-benar bermanfaat untuk setiap pembaca.
Banda Aceh, Februari 2015
Kelompok I
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seperti yang kita ketahui bahwa menjadi seorang guru harus mempunyai strategi dalam belajar mengajar. Strategi yang digunakan tentunya bervariasi, tergantung bagaimana murid yang akan kita hadapi. Nah, strategi itu sendiri adalah suatu rencana tentang cara-cara pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari suatu sasaran kegiatan. Berkaitan dengan masalah belajar dan pembelajaran strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru-murid dalam upaya mengoptimalkan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Strategi dapat juga dikatakan siasat memadukan berbagai upaya untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang mampu memotivasi anak didik untuk terlibat secara optimal dalam proses belajar. Menurut Sudjana (1995), “Strategi mengajar merupakan tindakan guru dalam melaksanakan rencana mengajar, artinya usaha guru menggunakan beberapa variabel pengajaran seperti: tujuan, bahan, metode, alat dan evaluasi agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan.”
Tak hanya strategi saja yang harus dilibatkan dalam proses pembelajaran tapi ada juga hal-hal lain yang harus dilibatkan oleh seorang guru seperti prinsip, rincian kegiatan hal yang pokok, model, metode, teknik, dan pendekatan dalam kegiatan belajar mengajar. Nah, dalam makalah ini nantinya kita akan membahas macam-macam pendekatan dalam pembelajaran dari masing-masing pendekatan.
Dalam proses pengajaran artinya adalah kegiatan belajar siswa. Ketika seorang akan mengerjakan sesuatu, maka orang tersebut mestinya menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai itu seseorang memilih pendekatan yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal. Meskipun telah dikatakan Nisbet (1985) bahwa tidak cara belajar (tunggal) yang paling benar, dan cara pengajaran yang paling baik, orang-orang berbeda dalam kemampuan intelektual, sikap, dan kepribadian sehingga mereka mengadopsi pendekatan- pendekatan yang karakteristik berbeda untuk belajar. Dari sini dapat kita katakan bahwa masing- masing individu akan memiliki cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan untuk mengajar, Dalam proses pengajaran artinya adalah kegiatan belajar siswa. Ketika seorang akan mengerjakan sesuatu, maka orang tersebut mestinya menetapkan sasaran yang hendak dicapai. Untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai itu seseorang memilih pendekatan yang tepat sehingga diperoleh hasil yang optimal. Meskipun telah dikatakan Nisbet (1985) bahwa tidak cara belajar (tunggal) yang paling benar, dan cara pengajaran yang paling baik, orang-orang berbeda dalam kemampuan intelektual, sikap, dan kepribadian sehingga mereka mengadopsi pendekatan- pendekatan yang karakteristik berbeda untuk belajar. Dari sini dapat kita katakan bahwa masing- masing individu akan memiliki cara dan gayanya sendiri untuk belajar dan untuk mengajar,
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Apakah melalui pendekatan murid dapat mencapai ketuntasan belajar pada materi sekolah pada tiap masing-masing pelajaran.”
1.3 Tujuan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui ketuntasan belajar murid melalui penerapan macam-macam pendekatan materi sekolah.
1.4 Manfaat Makalah
Manfaat yang diharapkan setelah selesainya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi guru-guru bidang studi terutama matematika
dalam usaha meningkatkan hasil belajar mengajar matematika dan pelaksanaan pembelajaran yang lebih baik.
2. Bermanfaat bagi calon-calon guru yang nantinya akan menjadi guru di masa yang akan
datang.
3. Bagi kami berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari bangku kuliah,
sehingga dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Istilah pendekatan berasal dari bahasa Inggris “approach” yang salah satu artinya adalah “Pendekatan”. Dalam pengajaran, approach diartikan sebagai a way of beginning something ‘cara memulai sesuatu’. Karena itu, pengertian pendekatan dapat diartikan cara memulai pembelajaran. Dan lebih luas lagi, pendekatan berarti seperangkat asumsi mengenai cara belajar- mengajar. Pendekatan mengajar yang digunakan guru akan sangat mempengaruhi kadar kegiatan belajar siswa. Pendekatan itu sendiri diartikan sebagai proses penyampaian atau penyajian materi pelajaran agar si siswa mudah memahaminya. Pendekatan dipilih berdasarkan model dan strategi yang sudah ditetapkan.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses ycang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.
Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach), dimana pada pendekatan jenis ini guru melakukan pendekatan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran.
2. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach), dimana pada pendekatan jenis ini guru menjadi subjek utama dalam proses pembelajaran.
2.2 Fungsi Pendekatan dalam Pembelajaran
Fungsi pendekatan bagi suatu pembelajaran adalah :
1. Sebagai pedoman umum dalam menyusun langkah-langkah metode pembelajaran yang
akan digunakan.
2. Memberikan garis-garis rujukan untuk perancangan pembelajaran.
3. Menilai hasil-hasil pembelajaran yang telah dicapai.
4. Mendiaknosis masalah-masalah belajar yang timbul.
5. Menilai hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilaksanakan.
2.3 Macam-macam Pendekatan dalam Pembelajaran
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28).
Secara sederhana, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang salah pengertian (misconceptions) dan pengertian alternative dalam bidang sains dan matematika.
Dapatlah dirumuskan secara keseluruhannya pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme adalah pembelajaran yang berpusatkan kepada siswa. Guru berperan sebagai penghubung yang membantu siswa membina pengetahuan dan menyelesaikan masalah. Guru berperan sebagai pereka bentuk bahan pembelajaran yang menyediakan peluang kepada siswa untuk membina pengetahuan baru. Pengetahuan yang dimiliki siswa adalah hasil daripada aktivitas yang dilakukan oleh siswa tersebut dan bukannya pembelajaran yang diterima secara pasif.
Prinsip-prinsip Konstruktivisme Menurut Suparno (1997:73) prinsip-prinsip konstruktivisme, yaitu :
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
b. Tekanan dalam proses pembelajaran terletak pada siswa.
c. Mengajar adalah proses membantu siswa.
d. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
e. Kurikulum menekan pada orientasi siswa.
f. Guru adalah fasilitator
Ciri-ciri Konstruktivisme Menurut Suparno (1997:61) ciri-ciri konstruktivisme, yaitu:
a. Belajar berarti membentuk makna.
b. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih sebagai perkembangan
pemikiran dengan membuat pegertian baru.
d. Proses belajar yang sebenanya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut.
e. Hasil dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungan.
f. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar.
Metode Konstruktivisme Setiap metode pembelajaran yang membantu siswa melakukan kegiatan dan akhirnya dapat mengkonstruksi pengetahuan yang mereka pelajari dengan baik, dapat dikatakan sebagi metode yang aktif dan konstruktivistik. Namun demikian, dapat pula di telusuri beberapa metode yang cukup efektif dalam mengaktifkan siswa dan membantu dalam pengkonstruksian di atas. Salah satu di antaranya adalah metode penemuan dengan penekanan pada kerangka berpikir metode ilmiah.
Dalam penerapan metode penemuan, siswa dilatih untuk terbiasa melakukan pengamatan, membuat hipotesis, memunculkan prediksi, menggambar uji hipotesis, memanipulasi objek untuk melihat perubahannya, memecahkan persoalan, mencarai jawaban sendiri, menggambarkan kejadian, meneliti, berdialog, melakukan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, dan mengekspresikan gagasan selama proses pembentukan konstruksi pengetahuan yang baru.
Kelebihan Konstruktivisme
a. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri.
b. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
d. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
e. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Kelemahan Konstruktivisme
a. Karena siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil
konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuwan, hal ini mengakibatkan terjadinya miskonsepsi.
b. Membutuhkan waktu yang lama, dan setiap siswa memerlukan penanganan yang
berbeda-beda.
2. Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapainya.
Pendekatan kontekstual sendiri dilakukan dengan melibatkan komponen komponen pembelajaran yang efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu :
a. Mengaitkan, strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru
menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
b. Mengalami, inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan
informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
c. Menerapkan, siswa menerapkan suatu konsep ketika ia melakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
d. Kerjasama, siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang
signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
e. Mentransfer, peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus
pada pemahaman bukan hafalan .
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam CTL
a. Guru yang berwawasan, maksudnya guru yang berwawasan dalam penerapan dan
pendekatan.
b. Materi dalam pembelajaran, hal ini guru harus bisa mencari materi pembelajaran yang
dijiwai oleh konteks perlu disusun agar bermakna bagi siswa.
c. Strategi metode dan teknik belajar dan mengajar, hal ini adalah bagaimana seorang guru
membuat siswa bersemangat belajar, yang lebih konkret, yang menggunakan realitas, lebih aktual, nyatariil, dan sebagainya.
d. Media pendidikan, media yang digunakan dapat berupa situasi alamiah, benda nyata, alat
peraga, film nyata yang mana perlu dipilih dan dirancang agar sesuai dan belajar lebih bermakna.
e. Fasilitas, media pendukung pembelajaran kontekstual seperti peralatan dan perlengkapan,
laboratorium, tempat praktek, dan tempat untuk melakukan pelatihan perlu disediakan.
f. Proses belajar dan mengajar, hal ini ditujukan oleh perilaku guru dan siswa yang
bernuansa pembelajaran kontekstual yang merupakan inti dari pembelajaran kontekstual.
g. Kancah pembelajaran, hal ini perlu dipilih sesuai dengan hasil yang diinginkan.
h. Penilaian, atau evaluasi otentik perlu diupayakan karena pada pembelajaran ini menuntut
pengukuran prestasi belajar siswa dengan cara-cara yang tepat dan variatif, tidak hanya dengan pensil atau paper test.
i. Suasana, dalam lingkungan pembelajaran kontekstual sangat berpengaruh karena dapat
mendekatkan situasi kehidupan sekolah dengan kehidupan nyata di lingkungan siswa.
Karakteristik CTL
a. Kerjasama.
b. Saling menunjang.
c. Menyenangkan, tidak membosankan.
d. Belajar dengan bergairah.
e. Pembelajaran terintegrasi.
f. Menggunakan berbagai sumber.
g. Siswa aktif.
h. Sharing dengan teman.
i. Siswa kritis guru kreatif. j. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,
humor dan lain-lain. k. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
pratikum, karangan siswa dan lain-lain
Kelebihan CTL
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa
karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan CTL Kelemahan CTL
berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
b. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
3. Realistik
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Hans Frudenthal di Belanda. RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa, menekankan keterampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehinggga mereka dapat menemukan sendiri (‘student inventing’ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun secara kelompok. (Zulkardi, 2009).
Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”. Menurut Sudarman Benu, (2000: 405) “pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”. Matematika Realistik yang telah diterapkan dan dikembangkan di Belanda teorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktifitas manusia.
Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi-strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi-situasi biasa yang telah Dalam pembelajaran melalui pendekatan realistik, strategi-strategi informasi siswa berkembang ketika mereka menyeleseikan masalah pada situasi-situasi biasa yang telah
RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal-hal yang real bagi siswa (Zulkardi). Teori ini menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (Student Invonting), sebagai kebalikan dari guru memberi (Teaching Telling) dan pada akhirnya siswa menggunakan matematika itu untuk menyeleseikan masalah baik secara individual ataupun kelompok. Pada pendekatan Realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator. Sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan argumennya, mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai strategi atau pendapat orang lain.
Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika (Yuwono: 2001). Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa RME adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sehari-hari sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep-konsep tersebut atau bisa dikatakan suatu pembelajaran matematika yang berdasarkan pada hal-hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.
Tujuan RME
a. Menjadikan matematika lebih menarik, relevan dan bermakna, tidak terlalu formal dan
tidak terlalu abstrak.
b. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
c. Menekankan belajar matematika “learning by doing”.
d. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian yang
baku.
e. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika. (Kuiper Kouver, 1993)
Gravemeijer (dalam Fitri. 2007: 10) menyebutkan tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah: Gravemeijer (dalam Fitri. 2007: 10) menyebutkan tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah:
Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik-topik matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai koknsep-konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyeleseian yang berbeda.
b. Didaktif yang bersifat fenomena (didaktial phenomology) topik matematika yang akan
diajarkan diupayakan berasal dari fenomenan sehari-hari.
c. Model yang dikembangkan sendiri (self developed models) dalam memecahkan
‘contextual problem”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.
Karakteristik RME Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut:
a. Menggunakan masalah kontekstual, masalah konsektual berfungsi sebagai aplikasi dan
sebagai titik tolak dari mana matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul (yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari).
b. Menggunakan model atau jembatan, perhatian diarahkan kepada pengembangan model,
skema, dan simbolisasi dari pada hanya mentrasfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih faham dan mengerti tentang pembelajaran aritmatika sosial.
c. Menggunakan kontribusi siswa, kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar
diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari- hari diharapkan siswa dapat membedakan pengunaan aritmatika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.
d. Interaktivitas, negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama siswa dan guru
adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jembatan untuk menncapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan didepan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya. Disini guru bertindak sebagai fasilitator.
e. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya(bersifat holistik), aritmatika sosial tidak
hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akutansi, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari.
Kelebihan RME
a. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
b. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
c. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
d. Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
e. Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
f. Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.
Kelemahan RME
a. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar (40- 45 orang).
b. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
c. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mampu memahami materi pelajaran.
4. Problem Solving
Dalam belajar matematika pada dasarnya seseorang siswa tidak terlepas dari masalah. The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menyatakan: “belajar menyelesaikan masalah adalah alasan utama untuk mempelajari matematika” (NCTM, Position Paper on Basic Mathematics Skill, 1997) Adanya peningkatan kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah, berarti siswa tersebut telah mengalami perubahan dalam tingkah lakunya, dengan demikian dalam pembelajaran matematika kemampuan memecahkan masalah sangat penting. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soejadi (dalam Sutriningsih, 2001) bahwa dalam matematika kemampuan pemecahkan masalah bagi seseorang siswa akan membantu keberhasilan siswa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang terkandung dalam bermatematika seluruhnya bermuara pada penguasaan konsep dan memampukan siswa memecahkan masalah dengan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan terstruktur.
Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu kompetensi yang cukup penting bagi seseorang untuk bisa hidup. Esensi kehidupan sehari-hari adalah situasi pemecahan masalah. Menurut Polya (1973) terdapat empat langkah pokok memecahkan suatu masalah, yaitu : Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu kompetensi yang cukup penting bagi seseorang untuk bisa hidup. Esensi kehidupan sehari-hari adalah situasi pemecahan masalah. Menurut Polya (1973) terdapat empat langkah pokok memecahkan suatu masalah, yaitu :
langkah ini adalah hal-hal apa saja yang diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), membuat notasi dari unsur yang diketahui dan yang ditanyakan.
b. Merencanakan Penyelesaiannya (The Vising a Plan). Kegiatan yang dapat dilakukan pada
langkah ini adalah mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (Membuat Konjektur).
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana (Carring out The Plan). Kegiatan yang dapat
dilakukan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
d. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian (looking Back).
Karakteristik Problem Solving Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), maka berikut ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah (dalam Taplin, 2000).
a. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.
b. Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa.
c. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi,
menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya.
d. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.Guru membimbing, melatih
dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.
e. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa
menggunakan caranya sendiri.
f. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat menggiatkan
siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika. Bagaimana tahap-tahap pembelajaran dengan pendekatan problem solving berbedabeda menurut pendapat para ahli.
Problem posing merupakan istilah Bahasa Inggris, dalam Bahasa Indonesia adalah pembentukan masalah. Pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua macam kegiatan, yaitu:
a. Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa.
b. Pembentukan soal dari soal lain yang sudah ada.
Menurut Srini M. Iskandar dalam makalahnya yang dinukil oleh Budi Hartati, batasan mengenai pembentukan soal adalah sebagai berikut:
a. Perumusan ulang soal yang sudah ada dengan perubahan agar menjadi
lebih sederhana dan mudah dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit.
b. Perumusan atau pembentukan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat
pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan yang lain.
c. Perumusan atau pembentukan soal dari kondisi yang tersedia, baik
dilakukan sebelum, ketika, atau sesudah penyelesaian soal.
Adapun kondisi dalam pembentukan soal, menurut Srini M. Iskandar dalam Budi Hartati dibagi menjadi tiga golongan yakni:
a. Kondisi bebas, yakni jika kondisi tersebut memberi kebebasan sepenuhnya kepada siswa
untuk membentuk soal, karena siswa tidak diberi kondisi yang harus dipenuhi.
b. Kondisi semi terstruktur, yakni jika siswa diberi suatu kondisi dengan menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Kondisi terstruktur, adalah jika kondisi yang digunakan berupa soal atau penyelesaian
soal.
Menurut Terry Dash dalam Budi Hartati, penyusunan soal-soal baru dapat digali dari soal yang sudah ada. Artinya, soal yang sudah ada dapat menjadi bibit untuk soal baru dengan mengubah, menambah, atau mengganti satu atau lebih karakteristik soal yang terdahulu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Change the numbers. Salah satu cara membuat soal dari soal yang sudah ada adalah
dengan mengubah bilangan.
b. Change the operations. Cara lain membuat soal dari soal yang sudah tersedia adalah
dengan mengubah operasi hitungnya.
Kemampuan siswa dalam membentuk soal dapat dikembangkan dengan cara guru memberikan beberapa contoh seperti berikut:
a. Membentuk soal dari soal yang sudah ada atau memperluas soal yang sudah ada.
b. Menyusun soal dari suatu situasi, atau berdasarkan gambar di majalah atau surat kabar,
atau membuat soal mengenai benda-benda konkret yang dapat dimanipulasi (dikutak- kutik).
c. Memberikan soal terbuka.
d. Menyusun sejumlah soal yang mirip tetapi dengan taraf kesilitan yang bervariasi.
Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan soal, secara teknis yang dapat dilakukan
adalah:
a. Siswa menyusun soal secara individu. Dalam penyusunan soal ini, hendaknya siswa tidak
asal menyusun soal, akan tetapi juga mempersiapkan jawaban dari soal yang sedang disusunnya. Dengan kata lain, setelah siswa tersebut dapat membuat soal, maka dia juga dapat menyelesaikan soal tersebut.
b. Siswa menyusun soal. Soal yang telah tersusun tersebut kemudian diberikan kepada
teman sekelasnya. Distribusi soal-soal yang telah tersusun tersebut dapat menggunakan cara penggeseran atau dengan cara bertukar dengan teman semeja. Artinya, distribusi soal tersebut secara individu.
c. Agar lebih bervariasi dan lebih menumbuhkan sikap aktif, interaktif, dan kretaif, maka
dapat dibentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyusun soal dan soal tersebut didistribusikan kepada kelompok lain untuk diselesaikan. Soal dari kelompok tersebut, diharapkan tingkat kesulitannya lebih tinggi dari soal yang disusun secara individu.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak dapat dilepaskan dari kegiatan memecahkan masalahsoal, karena memecahkan masalah adalah salah satu unsur utama dalam pembelajaran matematika. Dalam problem posing, siswa diberi kegiatan untuk membuatmembentuk soal kemudian menyelesaikanmemecahkan soal tersebut sesuai dengan konsep atau materi yang telah dipelajari.
Persoalan yang harus dipecahkan oleh siswa datang siswa itu sendiri atau siswa yang lain dalam Pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing. Jika menggunakan variasi lain, misal dengan dibuat kelompok-kelompok, maka soal-soal dapat berasal dari kelompok yang lain. Pemecahan masalah memacu fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali masalah, dan mencari alternatif pemecahannya.
Proses pemecahan masalah terletak pada diri pelajar, variabel dari luar hanya merupakan intruksi verbal yang bersifat membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi- kombinasi aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu kemudian menggunakannya untuk memecahkan masalah. Namun memecahkan masalah tidak hanya menerapkan aturan-aturan yang telah diketahui tetapi juga memperoleh pengetahuan baru.
Pendekatan problem posing ternyata sesuai dengan salah satu teori tentang berpikir matematis. Berpikir matematis terdiri atas beberapa komponen, yaitu:
a. Memahami masalah atau perkara (segala sesuatu yang dikerjakan dalam pelajaran
matematika harus bermakna bagimu).
b. Berusaha keluar dari kemacetan yang ada (bilamana kamu mengalami kemacetan, kamu
harus dapat menggunakan apa yang telah kamu ketahui untuk keluar dari kemacetan).
c. Menemukan kekeliruan yang ada (kamu harus dapat menemukan kekeliruan yang ada
dalam jawaban soal, dalam langkah yang kamu gunakan, dan dalam berpikir).
d. Meminimumkan pembilangan (jika kamu melakukan hitungan, kamu harus sedikit
mungkin menggunakan pembilangan).
e. Meminimumkan tulis-menulis dalam perhitungan.
f. Gigih dalam mencari strategi pemecahan masalah (jika kamu menggunakan suatu strategi
pemecahan masalah tidak menghasilkan jawaban, kamu harus mencari strategi lain. Jangan mudah putus asa).
g. Membentuk soal atau masalah (kamu harus mampu memperluas masalah dengan
membentuk pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal).
Pembelajaran matematika melalui problem posing diharapkan merupakan pendekatan yang efektif, karena kegiatan tersebut sesuai dengan pola pikir matematis, dalam arti:
a. Pengembangan matematika sering terjadi dari kegiatan membentuk soal.
b. Soal merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis.
Pembelajaran matematika menggunakan pendekatan problem posing jika diperhatikan juga sesuai dengan pendepat Mel Silberman yang telah dikemukakan di atas. Semua potensi Pembelajaran matematika menggunakan pendekatan problem posing jika diperhatikan juga sesuai dengan pendepat Mel Silberman yang telah dikemukakan di atas. Semua potensi
5. Open - Ended
Menurut Suherman dkk (2003; 123) problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan Open-Ended problem, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya satu pendekatan atau metode dalam mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak. Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut. Contoh penerapan masalah Open-Ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan bukan berorientasi pada jawaban (hasil) akhir.
Model aktivitas Siswa yang dikembangkan dalam pendekatan open-ended secara garis besarnya disajikan dalam gambar sebagai berikut:
Sumber: Suryadi dalam Asriah (2011:14).
Gambar : Model Aktivitas Siswa yang Dikembangkan dalam Pendekatan Open-Ended
Kelebihan Open–Ended Dalam pendekatan open-ended guru memberikan permasalah kepada siswa yang solusinya tidak perlu ditentukan hanya melalui satu jalan. Guru harus memanfaatkan keragaman Kelebihan Open–Ended Dalam pendekatan open-ended guru memberikan permasalah kepada siswa yang solusinya tidak perlu ditentukan hanya melalui satu jalan. Guru harus memanfaatkan keragaman
a. Siswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara lebih aktif serta memungkinkan untuk mengekspresikan idenya.
b. Siswa memiliki kesempatan lebih banyak menerapkan pengetahuan serta keterampilan matematika secara komprehensif.
c. Siswa dari kelompok lemah sekalipun tetap memiliki kesempatan untuk mengekspresikan penyelesaian masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri.
d. Siswa terdorong untuk membiasakan diri memberikan bukti atas jawaban yang mereka berikan.
e. Siswa memiliki banyak pengalaman, baik melalui temuan mereka sendiri maupun dari temannya dalam menjawab permasalahan.
Kelemahan Open–Ended
a. Sulit membuat atau menyajikan situasi masalah matematika yang bermakna bagi siswa.
b. Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahamai siswa sangat sulit sehingga
banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
c. Karena jawaban bersifat bebas, siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau
mencemaskan jawaban mereka.
d. Mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak
menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.
6. Problem Posing
Terdiri dari dua kata yaitu “problem” yang artinya masalah dan “posing” berasal dari kata “pose” artinya mengajukan atau membentuk. Problem posing merupakan pembelajaran dimana siswa diminta untuk mengajukan masalah (soal) berdasarkan situasi tertentu. Silver dan cay dalam Yuniati (2010) menjelaskan bahwa problem posing berkorelasi positif dengan kemampuan pemecahan masalah.
Stoyanova (1996) dalam Abdussakir mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi 3, yaitu : Stoyanova (1996) dalam Abdussakir mengklasifikasikan informasi atau situasi problem posing menjadi 3, yaitu :
b. Situasi problem posing semi terstuktur. Dalam situasi problem posing yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka.
c. Situasi problem posing terstruktur. Pada situasi problem posing yang terstuktur, informasi atau situasinya berupa soal atau penyelesaian dari suatu soal.
Dalam pembelajaran matematika, problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang strategis karena problem posing merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan bernalar matematis. Suryanto (1998) dalam Siregar (2011) mengemukakan bahwa ada tujuh sistem kriteria berpikir matematis, yaitu:
a. Memahami
b. keluar dari kemacetan
c. mengidentifikasi kekeliruan
d. meminimumkan pekerjaaan berhitung
e. tekun
f. siap mencari jalan lain
g. merumuskan soal problem posing.
Pedoman pelaksanaan problem posing menurut Suryanto (1998) dalam Siregar (2011) :
a. Problem posing dilakukan sebelum, selama, atau sesudah penyelesaian masalah
matematika.
b. Untuk membantu mengembangkan kemampuan siswa dalam mengajukan masalah dari
masalah lain dapat terlebih dahulu menonjolkan komponen-komponen masalah yang telah ada.
c. Agar kemampuan problem posing siswa berkembang dari situasi yang telah disediakan,
maka sebaiknya guru menyediakan situasi yang cukup dekat bagi siswa.
d. Sebaiknya guru memperhatikan faktor-faktor penyulit soal atau masalah agar contoh
yang dibentuk bervariasi
Problem posing dapat dilakukan secara individu, berpasangan, ataupun kelompok. Problem posing yang dilakukan secara berkelompok akan menghasilkan masalah atau soal yang lebih berbobot.
Kelebihan Problem Posing
a. Memberi penguatan pada konsep yang diterima atau memperkaya konsep dasar.
b. Memberi keleluasaan kepada siswa untuk menggali pengetahuan dalam mencari dan
menyusun soal sesuai dengan pengetahuannya.
c. Mampu melatih siswa meningkatkan kemandirian dalam belajar.
Kekurangan Problem Posing
a. Tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menguasai konsep dalam waktu yang
singkat.
b. Pertanyaan yang dibuat oleh siswa tidak semuanya bersifat menantang.
c. Pelaksanaannya memerlukan waktu yang relatif lama.
7. Tematik
Pembelajaran tematik berasal dari kata integrated teaching and learning atau integrated curriculum approach yang konsepnya telah lama dikemukakan oleh Jhon dewey sebagai usaha mengintegrasikan perkembangan dan pertumbuhan siswa dan kemampuan perkembangannya (Beans, 1993; Udin Sa’ud dkk, 2006). Jacob (1993) memandang pembelajaran tematik sebagai suatu pendekatan kurikulum interdisipliner (integrated curriculum approach). Pembelajaran tematik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran pembelajaran suatu proses untuk mengaitkan dan memadukan materi ajar dalam suatu mata pelajaran atau antar mata pelajaran dengan semua aspek perkembangan anak, serta kebutuhan dan tuntutan lingkungan social keluarga.
Definisi lain tentang pendekatan tematik adalah pendekatan holistic, yang mengkombinasikan aspek epistemology, social, psikologi, dan pendekatan pedagogic untuk mendidik anak, yaitu menghubungkan antara otak dan raga, antara pribadi dan pribadi, antara individu dan komunitas, dan antara domain-domain pengetahuan (Udin Sa’ud dkk, 2006)
Wolfinger (1994:133) mengemukakan dua istilah yang secara teoritis memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu integrated curriculum (kurikulum tematik) dan intregated learning (pembelajaran tematik). Kurikulum tematik adalah kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan isi, ketrampilan, dan sikap. Perbedaan yang mendasar dari konsepsi kurikulum tematik dan pembelajaran tematik terletak pada perencanaan dan Wolfinger (1994:133) mengemukakan dua istilah yang secara teoritis memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu integrated curriculum (kurikulum tematik) dan intregated learning (pembelajaran tematik). Kurikulum tematik adalah kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan isi, ketrampilan, dan sikap. Perbedaan yang mendasar dari konsepsi kurikulum tematik dan pembelajaran tematik terletak pada perencanaan dan
Pembelajaran tematik merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Pembelajaran ini berangakat dari teori pembelajaran yang menolak proses latihan hafalan (drill) sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak. Teori belajarini dimotori oleh para tokoh psikologi Gestalt, (termasuk teori Piaget) yang menekankan bahwa pembelajaran itu haruslah bermakna dan menekankan juga pentingnya program pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan perkembangan anak.
Karakteristik Tematik
a. pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered). Hal ini sesuai dengan
pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Peran guru lebih banyak sebagai fasilitator yaitu memberika kemudahan- kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
b. Pembelajaran tematik dapatmemberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct
experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yangnyata (konkrit) sebagai dasar untuk mamahami hal-hal yang lebih abstrak.
c. Dalam pembelajaran tematik pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas.
Bahkan dalam pewlaksanaan di keles-kelas awal madrasah ibtidaiyah (MI), focus pembelajaran diarahkan kepada pambahsan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
d. Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam
suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat memahami konsep-konsep suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat memahami konsep-konsep
e. Pembelajaran tematik bersikap luwes (fleksibel), sebab guru dapat mengaitkan bahan ajar
dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
f. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Dengan
demikian, siswa diberikan kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Prinsip-Prinsip Tematik Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran tematik diantaranya :
a. Dalam proses penggalian tema-tema perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk
memadukan mata pelajaran.
2. Tema harus bermakna, maksudnya tema yang dipilih intuk dikaji harus memberikan
bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya.
3. Tema harus disesuaikan dengan perkembangan siswa.
4. Tema yang dikembangkan harus mampu menunjukan sebgian minat siswa.
5. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi
didalam rentang waktu belajar.
6. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang berlaku serta
harapan masyarakat.
7. Tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.
b. Dalam proses pelaksanaan pembelajaran tematik perlu diperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. Guru hendaknya bersikap otoriter “single actor” yang mendominasi aktivitas dalam
proses pembelajaran.
2. Pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam setiap tugas
yang menuntut adanya kerjasama kelompok.
3. Guru perlu bersikap akomodatif terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali tidak
c. Dalam proses penilaian pembelajaran tematik perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self evaluation)
disamping bentuk penilaian lain.
2. Guru perlu mengajak para siswa untuk menilai perolehan yang telah dicapai
berdasarkan criteria keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi yang telah disepakati.
Model-Model Tematik Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan belajar bagi siswa. Pengalaman belajar yang menunjukan keterkaitan unsur-unsur konseptual menjadikan pembelajaran lebih efektif.
Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, dan kebulatan pandangan tentang kehidupan nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran tematik (terpadu) (William dalam Udin Sa’ud, 2006). Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik dan unit tematisnya, Forgaty (1991) mengemukakan bahwa ada sepuluh model dalam merencanakan pembelajaran tematik :
a. Model penggalan (fragmented) memisah-misahkan disiplin ilmu atas mata pelajaran-mata
pelajaran, seperti matematika, bahasa Indonesia, IPA, dan sebagainya.
b. Model keterhubungan (Connected) dilandasi oleh anggapan bahwa butir-butir
pembelaaajaran dapat dipayungkan pada induk mata pelajaran tertentu.
c. Model sarang (Nested) merupakan pemaduan bentuk penguasaan konsep ketrampilan
melalui sebuah kegiatan pembelajaran.
d. Model urutanrangkaian (Sequenced) merupakan model pemaduan topic-topik antar mata
pelajaran yang berbeda secara pararel.
e. Model bagian (Shared) merupakan pemaduan pembelajaran akibat
adanya”overlapping”konsep atau ide pada dua mata pelajaran atau lebih.
f. Model jarring laba-laba (Webbed) model ini bertolak dari pendekatan tematis sebagai
pemadu bahan dan kegiatan pembelajaran.
g. Model galur (Thereaded) merupakan model pemaduan bentuk ketrampilan.
h. Model ketematikan (Integrated) merupakan pemaduan sejumlah topic dari mata pelajaran
yang berbeda, tetapi esensinyasama dalam sebuah topic tertentu.