T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Perceraian Perkawinan WNA yang Dilangsungkan di Luar Negeri Berdasarkan Hukum Perdata Internasional di Indonesia T1 BAB III

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. HASIL PENELITIAN
1. Putusan Pasangan WNA Afrika No. 172/PdtG/2014/PN. DPS
a. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps
Berdasarkan putusan No. 172/PdtG/2014/PN.DPS, Penggugat
Warga Negara Afrika Selatan, pemegang Pasport No. M00096351
dan KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Indonesia, yang
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Ngurah Rai. Tergugat merupakan
Warga Negara Afrika Selatan, pemegang Pasport No. M00061509
dan Kitas (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Denpasar, Bali. Tergugat
bekerja di Luar Negeri. Duduk perkara dalam kasus ini yaitu
sebagai berikut:
Pasangan tersebut menikah pada tanggal 12 Desember 1975,
sebagaimana diterangkan dalam Akte Perkawinan Lengkap yang
dikeluarkan Oleh Departemen Dalam Negeri Republik Afrika
Selatan No. Q10424 pada tanggal 12 Desember 2005;


Bahwa


sebelumnya,

selama

mengarungi

kehidupan

berumah tangga dengan TERGUGAT, suka dan duka
dijalani dengan suka cita, meskipun terdapat perbedaan
pendapat yang mengakibatkan terjadinya pertengkaran dan
percekcokan antara PENGGUGAT dan TERGUGAT,
PENGGUGAT menganggap hal tersebut sebagai hal yang

48

biasa terjadi dalam kehidupan berumah tangga, namun
pertengkaran tersebut berkelanjutan terus sehingga terjadi
ketidak harmonisan dan perbedaan sudut pandang tentang

berumah tangga, sehingga tidak ada harapan untuk hidup
rukun lagi dalam berumah, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan;




Bahwa dari perkawinan tersebut, tidak dikaruniai anak;
Bahwa

sejak

10

(sepuluh)

tahun


terakhir

antara

PENGGUGAT dan TERGUGAT sudah tidak tinggal satu
rumah lagi. Penggugat dan Tergugat sibuk dengan
kehidupan dan pekerjaan masing-masing. Penggugat dan
Tergugat sama-sama bekerja di bidang perhotelan, namun
beda hotel, yang mengharuskan Penggugat dan Tergugat
sering melakukan perjalanan sendiri-sendiri ke luar negeri;


Bahwa kemudian, Pengugat dan Tergugat pindah dan
berkarir di Bali, Indonesia. Penggugat dan Tergugat sudah
berdomisili dan menjadi penduduk di Indonesia dan bahkan
sudah mendapatkan Kartu Izin Tinggal Terbatas, tapi tetap
tidak tinggal dalam satu rumah. Penduduk, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, adalah


49

“Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.”


Bahwa setelah 10 (sepuluh) tahun hidup berpisah,
PENGGUGAT dan TERGUGAT tidak menginginkan
melanjutkan

perkawinan

PENGGUGAT

memutuskan

tersebut,

karenanya


mengajukan Permohonan

Perceraian ini dan mengajukannya di Pengadilan Negeri
Denpasar, dan tentang hal ini Tergugat telah mengetahui
dan menyetujuinya. Gugatan ini Penggugat lakukan di
Pengadilan Negeri Denpasar, sebagimana ketentuan Pasal
18 Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan untuk
Indonesia (AB), yang mengamanatkan (kutipan): “Bentuk
tiap tindakan hukum akan diputus oleh Pengadilan menurut
Perundang-undangan dari negeri atau tempat, dimana
tindakan hukum itu dilakukan;


Bahwa Penggugat juga memohon, terhadap terjadinya
Putusan Perceraian ini supaya Panitera Pengadilan Negeri
Denpasar

atau

pejabat


lain

yang

ditunjuk

untuk

mengirimkan salinan Putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap tanpa materai kepada Kantor Kedutaan Besar
Negara Afrika Selatan di Jakarta untuk didaftarkan /
dicatatkan dalam register / daftar yang diperuntukkan untuk
itu.

50

b. Pertimbangan Hukum Majelis Hukum dalam Putusan Nomor
172/Pdt.G/2014/PN.Dps
Berikut

penjelasan

merupakan

rangkuman

mejelis

hakim

penjelasan

memutus

alasan

Putusan

atau


Nomor

172/Pdt.G/2014/PN.Dps:


Bukti

diperoleh

dari

keterangan

saksi-saksi

dan

memperoleh fakta-fakta pernikahan tersebut memang
berlangsung.



Dalam proses pemeriksaan perkara tergugat tidak pernah
hadir dan tidak pernah mengirimkan wakil, atau kuasanya ,
karena sudah di panggil secara patut dan sah, maka putusan
dalam perkara ini dijatuhkan secara verstek.



Karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, hanya mengatur tentang perkawinan
campuran dan tidak mengatur tentang perceraian WNA
yang menikah di luar negeri maka majelis merumuskan
suatu

hukum

dikaitkan

dengan


kaidah-kaidah

HPI,

dikaitkan dengan hukum yang ada.


Majelis mengutip Sudargo Gautama dalam bukunya
mengulas “Berbeda dengan berlaku di Nederland, dalam
BW

Indonesia

tidak

diperbedakan

menurut

ukuran


kewarganegaraannya. Tidak dinyatakan kewerganegaraan
dari pada pihak. Seperti diketahui, dalam sistem BW
Indonesia memang tidak dipakai ukuran kewarganegaraan.

51

Yang dipakai adalah penggolongan rakyat.” (Sudargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid III Bagian 2
buku kedelapan penerbit Alumni, 1987, Bandung, hal 218).
Kemudian

Pasal

1

KUHPerdata

yang

menyatakan

“menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak
kenegaraan.”


Masalah

Perceraian

Internasional

telah

mendapat

kesepakatan dalam konvensi Internasional Den Haag pada
Tahun 1968. Dalam perkara ini penggugat

telah

mempunyai “habitual resisdence ”-nya (domisilinya) di
Negara tempat perceraian di ucapkan.


Terdapat Yurisprudensi mengenai tidak salah dalam
mengadili perkara gugatan perceraian antar warga negara
Amerika Serikat yang berdomisili (tempat tinggal) di
Indonesia. Putusan yang bersangkutan diantaranya Putusan
Mahkamah
Pengadilan

Agung

Nomor

Negeri

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel

2640K/Pdt/2009,

Jakarta
Dalam

Putusan

Selatan

Nomor

putusan

tersebut

berdasarkan asas Hukum Internasional asas Forum Rei
(tempat tinggal tergugat) dan asas Forum Actoris (tempat
tinggal penggugat) yang pada intinya bahwa Lembaga

Peradilan Indonesia memiliki yuridiksi dan wewenang
untuk memeriksa perkara gugatan perceraian ini dengan
menggunakan hukum acara, dan hukum materiil Indonesia.

52



Dipertimbangkan

pula

dasar

maupun

alasan-alasan

mengajukan perceraian
Kemudian tentang petitum gugatan yang menurut
majelis wajib di tolak, antara lain:
a. Dalam petitum menyatakan sah dan berharga semua alat
bukti yang diajukan menurut hemat majelis adalah tidak
berdasar dan tidak pula beralasan menurut hukum, karena
itu harus ditolak.
b. Dalam petitum gugatan meminta majelis memerintahkan
panitera, dan pejabat lain mengirimkan salinan sah putusan
ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kedutaan
Besar Negara Afrika Selatan guna dicatatkan, majelis
berpendapat bahwa sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
beserta peraturan pelaksananya tidak lagi mewajibkan
Panitera

ata

pejabat

lain

yang

ditunjuknya

untuk

mengirimkan salinan putusan, melainkan kewajiban itu
dibebankan kepada yang berpekara, maka petitum ini tidak
beralasan dan wajib ditolak.

c. Putusan Hakim dalam Putusan Nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps
Maejelis Hakim memutus dengan amar putusan yang pokoknya
sebagai berikut:

53



Menyatakan hukum bahwa perkawinan antara Penggugat
dengan Tergugat yang telah dilaksanakan tanggal 12
Desember 1975 sebagaimana diterangkan dalam Akta
Perkawinan Lengkap Nomor Q10424 pada tanggal 12
Desember 2005, Putus karena Perceraian



Menyatakan sah alat bukti yang di ajukan oleh Penggugat
dalam perkara ini.



Menyatakan Tergugat sudah dipanggil secara sah dan patut
untuk menghadap di persidangan tapi tidak hadir selama
proses persidangan.



Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian secara
“Verstek”



Menghukum tergugat membayar segala yang timbul dalam
perkara ini.

2. Putusan Pasangan WNA Amerika Nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel
a. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel
Penggugat atas nama Jonathan Kine dan Tergugat atas nama
Manuella Verniel berkewarganegaraan Amerika Serikat yang telah
melangsukan pernikahan pada tanggal 23 Mei 1997 di Philadelphia,
Amerika Serikat yang tercatat dalam Mariiage Certificate Nomor
D.71700 dikeluarkan oleh Clerk of Orphan’s Court Devision of the
Court of Common of Philadelphia Country Pennsylvania . Dalam

perkawinan tersebut lahir seorang anak perempuan bernama Lara

54

Rose Kine, warga Negera Amerika Serikat, lahir di Jakarta pada
tanggal 24 Desember 2001, Akta kelahiran yang didaftarkan di kantor
catatan sipil DKI Jakarta dan didaftarkan di kantor Catatan Sipil DKI
Jakarta ke Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia. Setelah menikah,
Penggugat dan Tergugat tinggal dan menetap di Indonesia tahun 2000,
namun sering berjalannya waktu, terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang disertai kekerasan fisik dan psikis serta penelantaran dalam
rumah tangga sehingga mengakibatkan Penggugat melayangkan
gugatan perceraian melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penggugat dan Tergugat tinggal bersama sejak Tahun 2001 di Jakarta,
Jalan Taman Patra Nomor 15, Kuningan Jakarta Selatan, berdasarkan
kartu

izin

tinggal

terbatas

(KITAS).

Berdasarkan

ketentuan

Pennsylvania Consolidated Statutes Title 23, Domestic Relation Part
IV Divorce Chapter 31, Preliminary Privisions pada butir b, bahwa

Pengadilan Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat menganut
asas bona fide resident yaitu untuk mengajukan gugatan, maka salah
satu pihak harus pertempat tinggal minimal 6 bulan berturut-turut di
Philadelphia, Amerika Serikat. Dari ketentuan ini tidak bisa dipenuhi
oleh Penggugat dan Tergugat berdomisili di Jakarta secara terus
menerus sejak tahun 2001 sampai sekarang. Oleh karena itu
penggugat, dan tergugat mengajukan gugatan ini di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan sesuai dengan domisili tergugat terus menerus sejak
tahun 2001 sampai dengan gugatan ini diajukan.

55

b. Pertimbangan Hakim Putusan Nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel
Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil gugatan penggugat, majelis
hakim dalam pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa gugatan Penggugat berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah tidak tepat dan keliru
karena pernikahan tergugat, dan penggugat dilakukan di
Philadelphia, Amerika Serikat
2. Bahwa hingga gugatan ini diajukan, perkawinan Pengugat dan
Tergugat tidak pernah dicatat di Kantor Catatan Sipil manapun di
wilayah hukum Negara Indonesia
3. Bahwa untuk tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, maka pernikahan antara Pengugat dengan Tergugat
tersebut harus didaftarkan dan/atau dicatatkan di Kantor Catatan
Sipil di negara wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

secara tegas

menyatakan:
a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
b. Terhadap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku
4. Peraturan umum mengenai peraturan perundang-undangan untuk
Indonesia

(Algemene

Berpalinggen

van

wetgeving

voor

56

Indonesia , disingkat AB) Staatblat 1847-23, diumumkan secara

resmi pada tanggal 1847, dalam Pasal 20, 21
5. Bahwa ketidak pahaman Pengugat akan hukum Indonesia dan
upaya untuk melakukan penyelundupan hukum
6. Mengenai ketidak tundukan Penggugat pada hukum Indonesia
7. Bahwa selain itu dalam sistem hukum Perdata Internasional yang
merupakan warisan Belanda dengan asas Konkordasi yang
,rupakan kelanjutan dari sistem hukum Code de Eropa Napoleon
yang melandasi sistem hukum Prancis dan sistem hukum Eropa
Continental pada umumnya, berkenaan dengan status personal
seseorang atau suatu pihak, menganut sistem Nasionalitas,
sehingga bagi warga negara asing yang berdomisili di Indonesia
dan tidak menundukkan diri kepada hukum Indonesia maka haru
diterapkan hukum nasional dari Negara masing-masing (vide
Prof. Dr. Sudargo Gautama, dalam bukum Hukum Perdata
Internasional Indonesia, buku ketujuh, jilid ketiga, bagian
pertama penerbit Alumni Bandung, 1995, halaman 13 alinea
kedua). Negara indonesia memiliki hukum yang independent
sehingga bukan urusan hukum Indonesia soal WNA apakah
dapat, atau tidak dapat bercerai di Indonesia.
Kemudian pertimbangan Majelis Hakim tingkat dirangkum sebagai
berikut:

57



Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan

berwenang

mengadili

perkara

dengan

mengguganakan sistem hukum Indonesia.


Bersamaan

dengan

diajukannya

eksepsi,

menjatuhkan

putusan sela terhadap eksepsi Tergugat dimana inti dalam
amar putusannya berbunyi menolak eksepsi Tergugat dan
Tergugat juga mengajukan gugatan balik (rekonvensi) yang
pada pokoknya berisi tentang sebab-sebab perselisihan
rumah tangga dan mengenai hak asuh anak.


Dalam Rekonvensi, Majelis Hakim memberikan putusan
menolak gugatan rekonvensi untuk seluruhnya. Dalam
konvensi dan rekonvensi putusannya berisi menghukum
Tergugat konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar
biaya perkara. Salah satu yang dijadikan pertimbangan
Majelis Hakim adalah Divorce Code 23 Pa C.S.A Pasal 3104
huruf (e) menyebutkan:
“Tempat

Persidangan

untuk

perceraian

atau

pembatalan dapat diajukan Negara:
1. Dimana Tergugat bertempat tinggal;
2. Jika Tergugat bertempat tinggal di Luar Negara
Bagian

ini

(pennsylvania),

di

Negara

dimana

Penggugat bertempat tinggal;

58

3. Di Negara dimana perkawinan dilangsungkan, jika
penggugat telah bertempat tinggal di Negara tersebut
secara terus menerus
4. Sebelum 6 (enam) bulan setelah tanggal perpisahan
terakhir dan dengan persetujuan dari Tergugat,
dimana Penggugat bertempat tinggal atau, jika tidak
ada pihak yang secara terus menerus bertempat
tinggal di wilayah domisili dimana perkawinan
dilangsungkan dimana salah satu pihak bertempat
tinggal;
5. Setelah 6 (enam bulan tinggal perpisahan terakhir,

dimana salah satu pihak bertempat tinggal.”
Majelis Hakim tingkat banding kemudian berpendapat bahwa
berdasarkan Divorce Law Negara Bagian Pennsylvania dapat disimpukan
bahwa Divorce Law tersebut menganut asas domisili atau habitual
resisdence, maka apabila terbanding semula Penggugat dan Pembanding

semula Tergugat tidak lagi berdomisili di Negara bagian Pennsylvania
apabila mengajukan perceraian pada asasnya berlaku hukum dimana para
pihak berdomisili dengan demikian oleh karena para pihak berdomisili di
Indonesia

maka

wajib dipergunakan di Indonesia

serta

wajib

dipergunakan Hakim Indonesia in casu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

59

c. Putusan

Hakim

dalam

Putusan

Nomor

Putusan

Nomor

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan perceraian Warga
Negara Asing yang berdomisili dan bekerja di Indonesia berdasarkan
KITAS serta perkawinan WNA tersebut dilakukan diluar Indonesia dan
syarat formil dalam hukum perkawinan tidak terpenuhi yaitu tidak pernah
dicatatkan di kantor Catatan Sipil Indonesia walaupun keduannya sepakat
mengunakan hukum Indonesia. Karena tidak terpenuhinya pecatatan
tersebut Mejelis Hakim menyatakan putusan yang dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verllaarrd) atas dasar asas personality
hukum Perdata Internasional Indonesia yang berdasarkan Nasionalitas
dan jurisdiksi hukum (Kompetensi).

3. Putusan

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia

Nomor

2640K/Pdt/2009
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar untuk memutus perkara
perceraian antar WNA yang bercerai di Indonesia, mengambil
yurisprudensi dari putusan Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2640K/Pdt/2009. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam tingkat Kasasi yang berkaitan dengan perkara gugatan
perceraian antar warga negara asing di Indonesia. Berikut ini pokokpokok yang putus Majelis Hakim Agung dalam putusan kasasi yang
diajukan oleh pemohon kasasi/tergugat:

60

1. Bahwa alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi tidak dapat
dibenarkan, karena dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi
berkaitan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan atau pengadilan tidak berwenangnya sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009
2. Berdasarkan

pertimbangan

diatas

perkara

ini

tidak

tidak

bertentangan dengan Undang-Undang dan hukum.
3. Hakim telah memperhatikan pasal-pasal dari Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana yang telah diubah dan tambahan dengan UndangUndang nomor 3 Tahun 2009 dan peraturan lain yang
bersangkutan.
4. Maka Majelis Hakim Agung mengadili: Menolak permohonan
kasasi, dan menghukum pemohon kasasi/tergugat untuk membayar
biaya kasasi.

B. ANALISIS
1. Kewenangan Mengadili

61

Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa “pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya ”. Berdasarkan ketentuan tersebut di

atas, maka hakim terikat kewajiban untuk menentukan hukum mana
harus diterapkan dalam kasus perceraian ini (lex cause) walaupun dalam
UU Perkawinan tidak diatur secara jelas mengenai perceraian antar
WNA, khususnya yang melangsungkan perkawinan di luar negeri. Oleh
karena itu jika undang-undang tidak mengatur/tidak ada hukumnya
dalam menangani suatu perkara, maka hakim harus aktif berupaya untuk
menemukan dan menggali kaidah-kaidah hukum yang ada.
Dalam kasus-kasus yang diteliti, hakim melakukan analogi yakni
menyamakan peraturan WNA dengan WNA dengan perkawinan
campuran yang unsurnya WNI, dan WNA, dan dengan menggabungkan
kaidah Hukum Perdata Indonesia dengan peristiwa konkrit yang terjadi
dalam masyarakat dalam hal ini perceraian antar WNA yang diajukan
gugatan ke pengadilan Indonesia, tidak selalu dapat diselesaikan dengan
jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interpretasi,
tetapi lebih jauh dari itu kadangkala hakim terpaksa mencari dan
membentuk hukumnya sendirinya.
Terdapat asas bahwa WNA yang telah menikah di luar negeri dapat
melakukan perceraian di Indonesia asalkan tunduk terhadap hukum
Indonesia berdasarkan pilihan hukum (choice of law), terutama

62

memenuhi syarat pendaftaran pernikahan setahun sebelum menikah yang
di terapkan di Indonesia, Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur bahwa

“dalam waktu 1

(satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perka winan tempat tinggal mereka .” Keharusan pendaftaran perkawinan

pada Pencatatan Sipil juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 Tentang

Administrasi

Kependudukan,

yang

untuk

perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Republik Indonesia
diatur dalam Pasal 37.
Meskipun Indonesia tidak menjadi pihak dalam konvensi Den Haag
1968 HPI Indonesia menganut asas habitual resisdence sesuai dengan
Konvensi Den Haag 1968, serta domisili tergugat (forum rei), domisili
tergugat (forum actoris), dan tempat diajukan perkara dalam memutus
perceraian WNA yang telah menikah di luar negeri, sehingga asas lain
seperti lex loci celebrationis yang dapat di jadikan acuan putusan luar
negeri, tidak dapat belaku di Indonesia karena perbedaan sistem hukum
di bidang HPI. Dari beberapa putusan KITAS dalam Hukum Indonesia
dapat dijadikan acuan domisili berdasarkan juga habitual resisdence
dalam Konvensi Den Haag 1968 yang dalam ketentuannya ada syarat
telah 2 tahun mendiami suatu negara.

2. Yurisprudensi

63

Pengadilan Negeri Denpasar mengenai kewenangan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara gugatan perceraian yang pihak
Penggugat dan Tergugat adalah WNA warga negara Afrika Selatan yang
tinggal di Indonesia berdasarkan KITAS, dan majelis hakim memberikan
pertimbangan masalah ini, hampir sama dengan perkara yang pernah
diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada putusan WNA
berkewarganegaraan Amerika Serikat yang tinggal di Indonesia dan
perkara tersebut sudah sampai melalui kasasi sehingga dapat di
dibenarkan

bahwa

Putusan

Mahkamah

Agung

dapat

dijadikan

Yurisprudensi dalam memutus perkara ini. Kemudian alasan ini dapat
dibenarkan karena Yurisprudensi dapat digunakan dalam memutus
masalah hukum yang sama khususnya berkaitan dengan perceraian WNA
yang dilaksanakan di Indonesia yang menikah di luar negeri, seperti
yang diajukan di Pengadilan Denpasar. Pertimbangan hukum yang
dipertimbangkan Majelis Hakim yang dijelaskan oleh putusan perkara
172/Pdt.G/2014/PN.Dps adalah berdasarkan fakta-fakta yang diajukan
dalam persidangan dan mengikuti yurisrisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2640K/Pdt/2009 yang pada intinya adalah
membenarkan

putusan

Pengadilan

Jakarta

selatan

Nomor

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel yang telah diperkuat oleh Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta Nomor 141/Pdt/2009/PT.DKI. Dari Putusan Nomor
172/Pdt.G/2014/PN.Dps

dalam

amar

putusannya

amar

putusan

menyatakan bahwa gugatan dikabulkan sebagian yang menyatakan
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian.

64

Putusan/Yuriprudensi yang dapat dijadikan acuan hukum perceraian
WNA yang telah menikah di luar negeri yaitu Putusan Mahkamah Agung
Republik

Indonesia

nomor

2640K/Pdt/2009,

putusan

nomor

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel, putusan nomor 141/Pdt/2009/PT.DKI, dan
putusan nomor 172/Pdt.G/2014/Pn.Dps karena telah sesuai ketentuan di
Indonesia.

3. Domisili
Kategori Penduduk dalam KITAS sebagai acuan menetapkan domisili
berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan Pasal 1 ayat 2 sebagai berikut “...Warga Negara
Indonesia, dan Asing yang bertempat tinggal di Indonesia ” Kemudian

sesuai juga dalam pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi:
“Tuntutan perceraian perkawinan, harus dimajukan kepada
pengadilan negeri, yang mana dalam daerah hukumnya, tatkala
surat permintaan termaksud dalam pasal 921 Reglemen Hukum
Acara Perdata dimajukan, si suami mempunyai tempat tinggalnya,
atau dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, tempat
tinggalnya, atau dalam hal tak adanya tempat tinggalnya, atau
tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan harus
dimajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman si istri
sebenarnya ”
Mengutip Sudargo Gautama dalam bukunya mengulas “Berbeda
dengan berlaku di Nederland, dalam BW Indonesia tidak diperbedakan
menurut

ukuran

kewarganegaraannya.

Tidak

dinyatakan

kewerganegaraan dari pada pihak. Seperti diketahui, dalam sistem BW
Indonesia memang tidak dipakai ukuran kewarganegaraan. Yang dipakai

65

adalah penggolongan rakyat.” (Sudargo Gautama, Hukum Perdata
Internasional, Jilid III Bagian 2 buku kedelapan penerbit Alumni, 1987,
Bandung, hal 218). Kemudian apa yang di kutip dari Sudargo Gautama
diatas, sejalan dengan Buku Ke satu Tentang Orang, Bab ke Satu
Tentang Menikmati dan Kehilangan Hak-Hak Kewargaan, Pasal 1
KUHPerdata

yang menyatakan “menikmati hak perdata tidaklah

tergantung pada hak kenegaraan.”

Dalam acuan domisili (habitual residence) perceraian WNA di
Indonesia juga menganut konvensi Den Haag 1968 dalam pasal 1 dan 2
yaitu:
1) Pihak tergugat mempunyai “habitual residence” di negara
tersebut.
2) Pihak penggugat mempunyai “habitual residence” di negara
tersebut, di samping itu memenuhi salah satu syarat di bawah ini :
a. “habitual residence” tersebut telah berlangsung tidak kurang
dari setahun sebelum dimulainya perkara
b. “habitual residence” terakhir suami-isteri adalah negara
tersebut.
Dalam hal ini berati apabila terjadi perbuatan hukum, mengenai
pelaksanaan akibat putusnya perkawinan akibat perceraian berdasarkan
ketentuan jumlah pembagian harta perkawinan, jumlah nafkah, waris,
hubungan orang tua, dan anak dalam perceraian WNA dalam Hukum
Perdata Internasional diselesaikan berdasarkan domisili asal tergugat,
dan tergugat kecuali kedua belah pihak secara suka rela tunduk terhadap

66

hukum Indonesia. Menurut pasal 18 AB, cara orang melakukan
perbuatan hukum dikuasai oleh hukum dari Negara di mana perbuatan
hukum itu dilakukan (lex loci regit actum). Apabila dikaitkan dengan
banyaknya perbedaan penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim
khususnya terkait perceraian WNA di Indoneisa dikaitkan hakim
memiliki kekuasaan untuk menemukan dan merumuskan suatu hukum
yang di ajukan, asalkan hukum yang diterapkan adanya kekosongan
hukum yang terjadi. Apabila dikaitkan dengan putusan yang telah di
putuskan di Indonesia, maka harus di gunakan sistem hukum Indonesia.
Sehingga putusannya dapat dianggap berkekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak dimanapun ia berada. Karena apabila digunakan
sistem hukum asal penggungat pada perbuatan hukum di Indonesia, akan
terjadi kerancuan hukum.

4. Syarat Formil Perceraian WNA yang Mengajukan Perceraian di
Indonesia
Perceraian WNA harus terdapat alasan perceraian yang sesuai dengan
hukum perkawinan Indonesia dan mengajukan gugatan perceraian di
pengadilan wilayah hukum Indonesia. Dalam perceraian WNA ada
keharusan adanya pendaftaran Akta Perkawinan yang telah dicatatkan
Perkawinan dalam hukum Indonesia merupakan hal yang harus dipenuhi
dalam prakteknya, dalam pasal 100 dan pasal 101 Kitab UndangUndang Hukum Perdata menentukan seperti berikut17:

17

Mochammad Dja’is, Op. Cit., hal. 18.

67

1. Akta Perkawinan yang telah dibukukan dalam register Catatan

Sipil
2. Kalau register itu tidak pernah ada atau hilang, atau akta

perkawinan tidak terdapat dalam register tadi maka terserah hakim
untuk menetapkan ada tidak suatu perkawinan.
Dalam point 2 maka terserah hakim menentapkan ada tidak suatu
perkawinan maka adalah mutlak menjadi keputusan hakim meyakini
perkawinan tersebut apabila belum, atau hilang akta perkawinan dalam
catatan sipil tentu melihat dari beban pembuktian. Hal ini juga sesuai
dengan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan “Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.”

5. Akibat Perceraian
Sacara garis besar hakim hanya memutuskan status hubungan suami
istri dalam perceraian WNA di Indonesia, dan akibat dari perceraian yang
disengketakan oleh para pihak untuk diajukan menurut domisili. Apabila
dikehendaki para pihak dapat bersepakat untuk menyelesaikan sengketa
dengan sistem hukum di wilayah hukum yang para pihak pilih dan
sepakati (choice of law). Harta bersama dalam perkawinan apabila tidak
pernah dibuat suatu perjanjian kawin yang memuat unsur harta kekayaan
bersama perkawinan, dalam hal harta bersama perkawinan merupakan
benda tetap atau benda tidak bergerak maka pembagian hartanya
digunakan sistem hukum dimana letak benda tersebut berada ( lex rei

68

sitae). Bagi benda-benda lepas, atau benda bergerak dapat berdasarkan

asas mobilia personam sequntur yaitu mengikuti dimana status orang
menguasainya. Dapat juga dengan menggunakan teori of declaration atau
teori pernyataan, yaitu berdasarkan hukum dimana para pihak menyetujui
untuk diselesaikannya sengketa harta bersama perkawinan. Hak asuh
terhadap anak apabila dalam perkawinan tersebut di karuniai anak maka
hakim dapat mempertimbangkan siapa berhak menjadi wali dari anak,
tanpa mengurahi hak alimentasi anak dari kedua orang tuanya.

6. Perbedaan antara putusan Nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps dan
putusan Nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel
Putusan nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps yang diputuskan Pengadilan
Negeri Denpasar dalam pertimbangan hakim, proses, dan isi putusan
berbeda dengan putusan nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel yang akan
dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Dalam putusan nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps diputus secara
verstek dikarenakan pihak tergugat tidak hadir selama persidangan
atau tidak juga mengirimkan orang lain untuk mewakilinya secara
sah selama peradilan berlangsung serta sudah dipanggil secara
patut

dan

sah,

berbeda

dengan

putusan

nomor

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel yang dihadiri oleh pihak tergugat.
b. Dalam putusan nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel pengugat dan
tergugat selama tinggal di Indonesia tidak pernah mendaftarkan
pernikahannya

dan

sebaliknya

pada

putusan

nomor

69

172/Pdt.G/2014/PN.Dps telah mendaftarkan perkawinannya sesuai
hukum perkawinan Indonesia serta dilakukan pemeriksaan saksi
perkawinan guna meyakinkan majelis hakim akan adanya
perkawinan tersebut berlangsung.
c. Dalam

putusan

nomor

47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel

lebih

menjelaskan secara mendetail mengenai kewenangan mengadili
pengadilan di Indonesia terhadap hukum asal tergugat dan
penggugat dalam yaitu Pennsylvania Consolidated Statutes Title
23, Domestic Relation Part IV Divorce Code warga Pennsylvania,

Amerika, sedangkan putusan nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps tidak
menjelaskan peraturan negara asal penggugat warga Afrika Selatan
terhadap hukum Indonesia.
d. Adanya proses persidangan berupa eksepsi, rekonvensi karena
adanya pihak tergugat hadir sedangkan tidak adanya proses
persidangan dalam putusan nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps karena
tidak hadirnya tergugat sehingga majelis hanya mempertimbangkan
serta membuktikan dalil penggugat.
e. Dalam putusan nomor 172/Pdt.G/2014/PN.Dps majelis hakim
mengabulkan permohonan perceraian dikarenakan telah sesuai
dengan hukum perkawinan dan memiliki kewenangan mengadili.
Berbeda dengan 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel hakim menyatakan
pengadilan Jakarta Selatan memiliki kewenangan mengadili,
namun dalam proses pengadilan tidak adanya bukti pendaftaran
perkawinan di kantor catatan sipil sesuai dengan hukum

70

perkawinan, dan administrasi kependudukan oleh karena itu
putusan cerai tersebut ditolak oleh pengadilan.

71

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20