this PDF file ANALISIS DETERMINAN INTENSI UNTUK MELAKUKAN BUSINESS EXIT BAGI PARA PELAKU UKM (Survei pada Para Pemilik UKM di Kota Malang) | Putri | Jurnal Administrasi Bisnis 1 PB

ANALISIS DETERMINAN INTENSI UNTUK MELAKUKAN BUSINESS EXIT
BAGI PARA PELAKU UKM
(Survei pada Para Pemilik UKM di Kota Malang)
Andini Atikah Putri
Mohammad Iqbal
Ari Irawan
Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya
Malang
Email : andiniaap@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study is to know the tendency of SMEs in Malang City to Business Exit and to know the
factors that influence in forming the intention to business exit. This research uses exploratory research with
quantitative approach done by using factor analysis technique through confirmatory factor analysis (CFA)
approach to confirm the construct previously used by the previous researcher. Data collection method used
is survey method through the distribution of questionnaires to respondents. The population in this study is
the owner of SMEs in Malang with a total sample of 100 respondents. The results of the analysis prove that
there are still differences in understanding of business exit and SME business governance in Malang. That
the perpetrators are generally still in a simple stage of understanding the concept of exit. This is possible

because the things that are governance are still conventional and not understood as a strategic aspect that
can make these efforts become sustain. The result of the analysis also proves that the factors that influence
the form of intention to do business exit are innovativeness, proactiveness, risk taking, goal achievement,
social status, knowledge of the business, attitude, subjective noun, and perceived behavior control.
Keywords : Business Exit, Factor Analysis, SMEs

ABSTRAK
Tujuan dari penelian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan pelaku UKM di Kota Malang terhadap
business exit dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk intensi terhadap
business exit. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian exploratory dengan pendekatan kuantitatif yang
dilakukan dengan menggunakan teknik factor analysis melalui pendekatan confirmatory factor analysis
(CFA) untuk menkonfirmasi konstruk yang sebelumnya telah dipakai oleh peneliti terdahulu. Metode
pengumpulan data yang digunakan yaitu metode survei melalui pembagian kuisioner kepada responden.
Populasi dalam penelitian ini adalah pemilik UKM di Kota Malang dengantotal sampel 100 orang
responden. Hasil analisis membuktikan bahwa masih terdapat perbedaan pemahaman mengenai business exit
dan tata kelola usaha UKM di Kota Malang. Bahwa para pelaku umumnya masih berada dalam tahapan
yang sederhanamengenai pemahaman konsep exit. Hal ini dimungkinkan terjadi karena hal-hal yang bersifat
tata kelola masih bersifat konvensional dan belum dipahami sebagai suatu aspek yang stratejik yang dapat
menjadikan usaha-usaha tersebut menjadi sustain. Hasil analisis juga membuktikan bahwa faktor-faktor
yang berpengaruh dalam membentuk intensi untuk melakukan business exit yaitu innovativeness,

proactiveness, risk taking, goal achievement, social status, knowledge of the business, attitude, subjective
noun, dan perceived behavior control.
Kata Kunci : Business Exit, Factor Analysis, UKM

Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

151

1.

PENDAHULUAN
Saat ini UKM merupakan tulang punggung
perekonomian ASEAN, khususnya Indonesia.
Sekitar 88,8 sampai dengan 99,9% bentuk usaha
di ASEAN adalah UKM dengan penyerapan
tenaga kerja mencapai 51,7% sampai dengan
97,2%. UKM memiliki proporsi sebesar 99,99%
dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia
atau sebanyak 56,54 juta unit. Oleh sebab itu,

pengembangan dan ketahanan UKM sangat perlu
diutamakan. (Sumber: lisubisnis.com). Meskipun
perkembangan UKM terus meningkat, masih
banyak pelaku UKM yang belum bisa
mempertahankan bisnisnya. Menurut Global
Entrepreneurship Monitor (GEM) 2015-2016
Global Report, Indonesia menempati posisi 9 dari
60 Negara dalam melakukan Exit, yaitu keluar
dari bisnis yang dijalankan, dengan presentase
sebanyak 6,5%. Presentase ini lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata seluruh Negara
Asia-Oceania yaitu sebesar 3,9%.
Lebih lanjut, discontinuation of businesses
rate untuk Indonesia relatif rendah bila
dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN
seperti Thailand dan Malaysia. Adapun beberapa
faktor penyebab diskontinyuitas suatu bisnis
menurut Global Entrepreneurship Monitor
(GEM) 2015-2016 yaitu, bisnis tersebut tidak
menguntungkan, pemilik bisnis menemukan

kesempatan untuk menjual bisnisnya, adanya
permasalahan
terhadap
akses
finansial,
menemukan kesempatan terhadap bisnis lain, exit
tersebut direncanakan, pensiun, alasan pribadi,
kejadian yang tidak diperkirakan, dan birokrasi.
Mengingat bahwa Indonesia merupakan
salah satu Negara dengan presentase melakukan
exit yang lebih besar dibandingkan dengan ratarata seluruh Negara Asia-Oceania, maka dapat
dikatakan bahwa Indonesia merupakan Negara
yang memiliki alasan kuat untuk menjalankan
business exit dibandingkan dengan beberapa
Negara di Asia-Oceania lain. Holmes dan Schmitz
(1990) menggunakan terminologi business
transfer untuk menjelaskan mengenai business
exit, yang lebih memfokuskan diri pada perspektif
ekonomi, dimana business transfer berhubungan
dengan pelaku usaha yang keluar dari usahanya

untuk mendapatkan pekerjaan baru, dikarenakan
output secara ekonomi yang tidak mendukung
pelaku usaha untuk bertahan dalam bisnisnya
diukur dari hasil penjualan yang di dapatkan dari
bisnis tersebut.
Banyak orang berpendapat bahwa business
exit sangat erat kaitannya dengan menjual suatu

bisnis, tetapi beberapa studi telah menunjukkan
business exit tidak selalu terasosiasi dengan
menjual bisnis atau perusahaan. Leonetti (2008)
berpendapat bahwa, firm sale hanya salah satu
metode yang dipergunakan oleh seorang
entrepreneur ketika keluar dari kegiatan bisnis
mereka. Penting untuk diketahui bahwa metode
exit
yang
dipergunakan
oleh
seorang

entrepreneur akan membawa implikasi terhadap
tingkat resiko, kompleksitas dan potensi
partisipasi setelah melakukan exit (DeTienne &
Cardon 2010).
Business exit telah memiliki porsi dalam
entrepreneurship.
Konsep
entrepreneurial
orientation memiliki dampak pada niat pengusaha
untuk melakukan exit. Leroy et al. (2007)
memanfaatkan entrepreneurial orientation untuk
mencirikan jenis pengusaha yang menjalankan
organisasi. Hal ini diyakini bahwa perusahaan
yang dijalankan oleh pemilik dengan orientasi
entrepreneurially akan dapat menentukan peluang
exit (Leroy et al. 2007). Dengan demikian, Leroy
et al. (2007) berpendapat bahwa karena sebuah
perusahaan yang berorientasi entrepreneurially
memiliki kemampuan untuk merespon dengan
cepat terhadap perubahan lingkungan, maka akan

diharapkan bahwa dalam hal ini perusahaan harus
lebih aktif dalam mencari peluang. Selanjutnya,
perusahaan dengan orientasi entrepreneurially
mampu menarik perusahaan-perusahaan lain
sebagai
target
pengambilalihan
dengan
ditunjukkannya tingkat inovasi. Jadi, jika
perusahaan mampu menunjukkan tingkat inovasi
yang tinggi, maka perusahaan akan mampu
meningkatkan kinerja keuangan (Leroy et al.
2007). Selain itu, Leroy et al (2007) juga
menemukan bahwa entrepreneurial orientation
berdampak pada niat untuk mentransfer bisnis,
meskipun tidak memiliki dampak langsung pada
realisasi exit.
DeTienne dan Cardon (2010) juga telah
memasukkan psychological ownership didalam
konsep business exit karena dianggap sebagai

peringatan penting mengenai masalah individu
atau pun organisasi dan dipahamisebagai sebuah
kondisi pikiran dimana kondisi ini dialami oleh
individu yang memiliki perasaan posesif, dan juga
dapat dikatakan juga bahwa psychological
ownership dapat mewakili identitas seseorang.
Sebuah studi sebelumnya telah memanfaatkan
psychological ownership sebagai salah satu
variabel yang mempengaruhi proses dari business
exit (Leroy et al. 2007). Dalam konteks business
exit sebagaimana penelitian yang telah dilakukan,
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

152

DeTienne dan Cardon (2010) menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki tingkat posesivitas
terhadap bisnis yang telah menjadi bagian dari
pemilik atau pendiri dapat berimplikasi pada

keengganan untuk melakukan exiting.
Lokasi penelitian dalam penelitian ini
dilakukan di Kota Malang dengan pemilik UKM
di Kota Malang sebagai responden. Beberapa
alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena
Kota Malang merupakan salah satu Kota yang
memiliki tingkat Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) tertinggi di Provinsi Jawa Timur,
Kota Malang memiliki jumlah penduduk dengan
usia produktif (15-65 tahun) yang relatif tinggi,
dan juga Kota Malang memiliki jumlah organisasi
pemuda (youth organization) yang cenderung
banyak.
2.
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Entrepreneurship
Menurut Peggy A. lambing & Charles R.
Kuehl
dalam
bukunya

yang
berjudul
Entrepreneurship
(1999),
kewirausahaan
merupakan suatu usaha kreatif yang dapat
membangun suatu value dari yang sebelumnya
belum ada menjadi ada dan dapat dinikmati oleh
masyarakat. Definisi entrepreneurship menurut
Ekonom Austria Joseph Schumpeter ialah
menekankan pada inovasi, seperti produk baru,
metode produksi baru, pasar baru dan bentuk baru
dari organisasi. Ketika inovasi-inovasi tersebut
menghasilkan permintaan baru, maka akan
tercipta kemakmuran bagi masyarakat. Menurut
Alma (2003), istilah kewirausahaan berasal dari
terjemahan entrepreneurship yang berarti suatu
kemampuan dalam berpikir kreatif dan
berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber
daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan

proses dalam menghadapi tantangan hidup.
2.2. Business Exit
Holmes dan Schmitz (1990) menggunakan
terminologi Business Transfer pada fenomena
Business Exityang lebih memfokuskan diri pada
perspektif ekonomi, dimana Business Transfer
berhubungan dengan pelaku usaha yang keluar
dari usahanya untuk mendapatkan pekerjaan baru,
dikarenakan output secara ekonomi yang tidak
mendukung pelaku usaha untuk bertahan dalam
bisnisnya diukur dari hasil penjualan yang di
dapatkan dari bisnis tersebut. Petty (1997)
mendefinisikan Business Exit sebagai langkah
yang diambil oleh pemilik usaha maupun investor
dalam melakukan ekstraksi atas nilai ekonomi

atau atas suatu investasi. Schaper dan Volery
(2007) menggunakan istilah ‘Harvesting’ yang
diartikan sebagai masa panen/petik.
2.3. Relevansi Konsep Business Exit dan
Entrepreneurial Orientation
Entrepreneurial Orientation didefinisikan
sebagai manifestasi dari sebuah organisasi
kewirausahaan yang ditentukan oleh interaksi
simultan antara tiga atribu yaitu innovativeness,
risk taking dan proactiveness (Covin & Wales
2011). Konsep EO merupakan bagian dalam
penelitian ini karena beberapa studi business exit
telah mengidentifikasi dampak EO pada niat
pengusaha untuk melakukan exit. Namun, konsep
ini digunakan untuk mengeksplorasi efeknya
terhadap perenungan pemilik usaha untuk keluar
dari bisnis mereka. Entrepreneurial Orientation
merupakan
fokus
utama
dari
literatur
kewirausahaan. Keterkaitan antara business exit
dan entrepreneurial orientation telah diperiksa
dalam studi sebelumnya (Leroy et al. 2007).
2.4. Relevansi Konsep Business Exit dan
Psychological Ownership
Penelitian
Kewirausahaan
adalah
fenomena yang kompleks dan telah berhasil
digabungkan dengan teori ekonomi, sosiologi, dan
psikologi. Sebagai salah satu bidang penelitian
yang berfokus pada domain psikologis,
psychological ownership telah diperkenalkan pada
ilmu manajemen dalam studi mengenai employee–
organization relationship (Pierce, Rubenfeld &
Morgan 1991). Menurut Pierce dan Jussila yang
dikutip Bernhard (2009) physicological ownership
merupakan bagian dari integral dari karyawan
yang berhubungan dengan karyawan. Bagi
organisasi, gagasan mengenai physicological
ownership yaitu merupakan suatu perasaan posesif
yang menganggap beberapa objek adalah miliknya
atau milik kita serta telah mendapatkan perhatian
yang lebih dari para akademis dan praktisi sebagai
prediktor penting dari sikap atau prilaku
karyawan.
2.5. Relevansi Business Exit dan Teori Intensi
Studi terdahulu mengungkapkan bahwa
intensi merupakan prediksi terbaik dari setiap
perilaku yang direncanakan. Perspektif psikologis
dan kewirausahaan telah digunakan pada
penelitian sebelumnya untuk menentukan perilaku
inteni pemilik bisnis (Kolvereid & Isaksen 2006;
Krueger et al., 2000). Tetapi masih belum banyak
ditemukan penelitian yang berfokus dalam
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

153

meneliti hubungan antara perilaku intensi dengan
business exit yang telah dilakukan.
Penelitian
sebelumnya
yang
telah
dilakukan oleh Leroy et al (2007) berfokus pada
niat pemilik bisnis untuk melakukan exit dengan
memanfaatkan
variabel
entrepreneurial
orientation (EO), pshycological ownership (PO),
human capital, dan theory of planned behavior
(TPB) unutk mengeksplorasi business exit. Dalam
studinya, Leroy et al (2007), membuat business
exit sebagai proses dual-stage dalam intensi
melanjutkan suatu tindakan.
Theory of planned behavior (TPB)
menurut Ajzen (1991), merupakan salah satu teori
yang paling umum yang diterapkan pada perilaku
kewirausahaan, dan pada penelitian sebelumnya
telah mengkonfirmasi kegunaannya bagi studi
business exit(Krueger et al., 2000, Leroy et al.,
2007, 2010). Menurut Ajzen (2006), terdapat tiga
(3) determinan dari TPB, yaitu attitude, subjective
noun (norma subjektif) dan perceived behavioral
control.
2.6. UKM (Usaha Kecil Menengah)
Usaha
Kecil
Menengah
(UKM)
merupakan bagian dari persaingan bisnis baik
didalam Negeri maupun diluar Negeri. UKM juga
memiliki pengaruh serta dapat memberikan solusi
terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Negara yang akan memberikan dampak dalam
persaingan bisnis Global. Berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 316/KMK 016/1994
tanggal 27 Juni 1994, Usaha Kecil adalah
perorangan/badan usaha yang telah melakukan
kegiatan/usaha dengan memiliki penjualan/omset
per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau
asset (aktiva) setinggi-tingginya Rp 600.000.000
(diluar tanah dan bangunan yang ditempati).
Sebagai contoh yaitu, Firma, CV, PT, dan
Koperasi dalam bentuk badan usaha. Sedangkan
contoh dalam bentuk perorangan antara lain
adalah peternak, nelayan, pengrajin industri rumah
tangga, pedagang barang dan jasa, serta dan lain
sebagainya. Sedangkan menurut Badan Pusat
Statistik (BPS), UMKM didefinisikan berdasarkan
kuantitas tenaga kerjanya. Usaha Kecil memiliki
jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang,
sedangkan Usaha Menengah memiliki jumlah
tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang.
(Sumber: www.kenali.co)
2.7. Pengembangan UKM di Indonesia
Negara-negara berkembang mulai melihat
pengalaman-pengalaman industri maju mengenai

peran yang diberikan oleh UKM dalam
pertumbuhan ekonomi. Karena krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 1997-1998, pemberdayaan
UKM sangat perlu diprioritaskan dalam
mempercepat
pembangunan
daerah,
meningkatkan daya saing, serta meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional. Sejak terjadinya
krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, ekonomi
Indonesia telah tumbuh berkembang sebesar 4,8%
pada tahun 2000 yang sebelumnya di tahun 1998
minus 14% yang kemudian tumbuh menjadi 3%
pada akhir tahun 1999. Hal ini membuktikan
bahwa UKM memiliki peranan yang dominan dan
terus mengalami peningkatan.
Menurut Bank Indonesia (BI) tahun 2015,
UMKM di Indonesia memiliki tingkat penyerapan
tenaga kerja yaitu sekitar 97% dari seluruh tenaga
kerja nasional dan memiliki kontribusi terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 57%. Tidak
jauh berbeda, menurut catatan Kadin (Kamar
Dagang Indonesia), pada 5 tahun terakhir
kontribusi sektor UMKM terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan,
yaitu dari 57,84% menjadi 60,34%, serta pada
penyerapan tenaga kerja meningkat dari 96,99%
menjadi 97,22%.Perkembangan data UMKM di
Indonesia
menurut
Departemen
Koperasi
Indonesia (Depkop) pada tahun 2013 sejumlah
57.895.721 unit dengan pangsa 99,99%. Maka
dapat diperkirakan bahwa jumlah UMKM di
Indonesia pada tahun 2014 sampai dengan 2016
akan lebih dari 57.900.000 unit, dan pada tahun
2017 akan berkembang sampai dengan 59.000.000
unit.
3.

METODE PENELITIAN
Penelilitian
dengan
judul
Analisis
Determinan Intensi Untuk Melakukan Business
Exit Bagi Para Pemilik UKM ini menggunakan
jenis penelitian exploratory dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota
Malang dengan pemilik UKM di Kota Malang
sebagai responden. Populasi dalam penelitian ini
adalah UKM di Kota Malang dengan jumlah
10.521 UKM. Data tersebut berdasarkan data dari
Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur
Tahun 2013 yang diupdate setiap 4 tahun sekali,
dan untuk data terbaru belum diupdate. Sampel
dalam penelitian ini sejumlah 100 UKM yang
diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan
rumus Slovin:

�=
+ �� 2

Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

154

.5
+ .5
, 2
= 99,05≈100 UKM

�=

Keterangan :
n
= ukuran sampel
N
= ukuran populasi
e
= taraf kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat
ditolerir

Teknik
pengambilan
sampel
pada
penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
Purposive Sampling pada para pemilik UKM di
Kota Malang. Kriteria yang digunakan untuk
menetapkan sampel pada penelitian ini adalah
pemilikUKM di sektor non pertanian meliputi
Pertambangan
dan
Penggalian;
Industri
Pengolahan; Listrik, Gas dan Air; Konstruksi;
Perdagangan Hotel dan Restoran; Transportasi;
Keuangan; dan Jasa-jasa yang dikerucutkan
menjadi 100 sampel karena keterbatasan waktu
dan biaya yang dmiliki oleh peneliti. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu
dengan menggunakan kuesioner. Teknik analisis
data dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif dan analisis faktor.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Deskriptif
4.1.1. Analisis
Deskriptif
Entrepreneurial
Orientation
Berdasarkan mean masing-masing item
dari variabel Enterpreneurial Orientation (EO)
didapatkan grand mean atau skor rata-rata
variabel sebesar 3,43 dan terletak pada interval
3,41 - 4,20 yang berarti sebagian besar responden
menganggap Enterpreneurial Orientation (EO)
dalam konteks business exit tinggi.
4.1.2. Analisis
Deskriptif
Psychological
Ownership
Berdasarkan mean masing-masing item
dari variabel Psychological Ownership (PO)
didapatkan grand mean atau skor rata-rata
variabel sebesar 3,78 dan terletak pada interval
3,41 - 4,20 yang berarti sebagian besar responden
menganggap Psychological Ownership (PO)
dalam konteks business exit tinggi.
4.1.3. Analisis Deskriptif Theory of Planned
Behaviour
Berdasarkan mean masing-masing item
dari variabel Theory of Planned Behaviour (TPB)
didapatkan grand mean atau skor rata-rata
variabel sebesar 2,24 dan terletak pada interval

1,81-2,60 yang berarti sebagian besar responden
menganggap Theory of Planned Behaviour (TPB)
dalam konteks business exit sangat rendah.
4.2. Analisis Faktor
4.2.1. Pembahasan
Analisis
Faktor
Entrepreneurial
Orientation
dalam
Membentuk Intensi Business Exit Bagi
Para Pemilik UKM di Kota Malang
a. Proactiveness
Menurut Kreiser (2010), Proactiveness
adalah tindakan bersaing dengan pesaingnya,
organisasi yang menerapkan hal ini cenderung
menjadi pemimpin daripada pengikut, karena
memiliki keinginan dan pandangan ke depan
untuk menangkap peluang baru sekalipun tidak
selalu menjadi yang pertama melakukan hal
tersebut. Tetapi apabila dilihat dalam hasil analisis
deskriptif, item “usaha dijalankan di lingkungan
dengan banyak persaingan dan banyak pesaing”
memiliki nilai mean yang belum masuk dalam
indikator setuju. Dua item yang lain pun yaitu
”perusahaan mempunyai tipikal untuk memulai
langkah terlebih dahulu daripada menunggu
langkah yang akan dilakukan oleh pesaing” dan
“dalam menghadapi persaingan, perusahaan
mampu untuk menghadapi persaingan terbuka
dengan pesaing” juga memiliki nilai mean yang
belum masuk dalam indikator setuju.
Secara keseluruhan, dalam konteks
business exit, proactiveness merupakan faktor
yang tinggi diterapkan pada UKM di Kota Malang
dalam varibel entrepreneurial orientation, tetapi
pada penerapannya belum maksimal dan masih
harus dikembangkan dengan bukti nilai mean dari
hasil analisis deskriptif yang belum menjelaskan
persetujuan dari item-item yang diukur dalam
proactiveness. Berdasarkan pembahasan yang
telah dijelaskan, maka hasil analisis pada
penelitian ini telah mengkonfirmasi bahwa faktor
proactiveness dapat membentuk intensi pelaku
UKM di Kota Malang untuk melakukan business
exit.
b. Risk Taking
Faktor kedua dalam entrepreneurial
orientation yaitu risk taking. Dalam penelitian ini
risk taking memiliki tiga konstruk item pernyataan
yaitu (Lingkungan eksternal usaha yang
dijalankan berpotensi didalam mendukung
kesempatan
berkembang
usaha
tersebut,
Perusahaan mampu melakukan kegiatan usaha
dengan tingkat risiko yang besar, dan Perusahaan
sangatlah agresif dan sangat mampu bersaing,
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

155

daripada menjadi pasif dan hanya menunggu).
Menurut Miller (1983) Pemilik usaha yang baik
dalam menjadi Risk Taker adalah berfokus kuat
pada proyek atau langkah usaha baru yang
memiliki resiko yang tinggi, selain itu pemilik
usaha berpikir secara luas yang sejalan dengan
tujuan perusahaan dan ketika dihadapkan suatu
kondisi ketidakpastian pemilik akan tertantang
untuk lebih agresif mencari tahu kesempatankesempatan potensial yang ada dalam kondisi
ketidakpastian tersebut. Keberanian dalam risk
taking digunakan untuk mengukur kerelaan dalam
risk taking (Lumpkin & Dess, 1996).
Dengan total nilai percentage of variance
tertinggi dalam ketiga item yang terdapat pada
pernyataan “Perusahaan sangatlah agresif dan
sangat mampu bersaing, daripada menjadi pasif
dan hanya menunggu”, dan didukung dengan hasil
analisis deskriptif yang telah dilakukan peneliti
bahwa itemini memililki nilai mean yang
dikategorikan tinggi. Maka bila melihat
penjelasan Miller (1983), dapat diindikasikan
bahwa pemilik UKM di Kota Malang ketika
dihadapkan suatu kondisi ketidakpastian akan
tertantang untuk lebih agresif mencari tahu
kesempatan-kesempatan potensial yang ada dalam
kondisi ketidakpastian tersebut, dan merupakan
sebuah keberanian dalam risk taking.
Dalam konteks Business Exit, keberanian
dalam risk taking dapat membentuk intensi
pemilik UKM di Kota Malang untuk melakukan
business exit sebagai suatu strategi bisnis, dengan
didukung oleh penerapannya pada UKM di Kota
Malang berdasarkan bukti nilai mean pada analisis
deskriptif yang telah dilakukan peneliti. Seperti
pendapat yang dikemukakan oleh Miller (1983)
bahwa pemilik usaha yang baik dalam menjadi
Risk Taker adalah berfokus kuat pada proyek atau
langkah usaha baru yang memiliki resiko yang
tinggi. Dalam penelitian ini langkah untuk usaha
baru merupakan bagian dari strategi business exit.
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan,
maka hasil analisis pada penelitian ini telah
mengkonfirmasi bahwa faktor risk taking dapat
membentuk intensi pelaku UKM di Kota Malang
untuk melakukan business exit.
c. Innovativeness
Innovativeness dianggap sebagai elemen
penting dari pembentukan entrepreneurial
orientation dan merupakan faktor ketiga
entrepreneurial orientation pada penelitian ini.
Faktor Innovativeness memiliki 2 item pembentuk
yaitu (inovasi terhadap produk baru daripada

pemasaran produk lama dan ada produk baru yang
diperkenalkan pada tiga tahun terakhir). Dua item
ini dapat dipahami sebagai tindakan yang
dilakukan
pemilik
UKM
dalam
upaya
meningkatkan tingkat inovatif yang dimiliki.
Total nilai percentage of variance tertinggi
dalam kedua item terdapat pada pernyataan
“inovasi terhadap produk baru daripada
pemasaran produk lama”. Dan dengan nilai mean
tertinggi terdapat pada pernyataan “Ada produk
baru yang diperkenalkan pada tiga tahun terakhir”
dapat dipahami bahwa dalam meningkatkan
Innovativeness usahanya para pemilik UKM di
Kota Malang lebih mengutamakan inovasi
terhadap produk baru dengan melakukan
penawaran produk baru lebih banyak agar
konsumen tidak jenuh dengan produk yang sudah
ada serta dapat meningkatkan potensi penjualan
produk. Hal ini juga didukung dengan item
“inovasi terhadap produk baru daripada
pemasaran produk lama” yang juga memiliki nilai
mean yang tinggi dan dapat di indikasikan bahwa
pemilik UKM di Kota Malang telah maksimal
dalam penerapan innovativeness pada faktor
entrepreneurial orientation dengan bukti nilai
mean dari hasil analisis deskriptif yang dilakukan
peneliti.
Dalam konteks Business Exit, faktor
innovativeness dapat dikatakan menjadi faktor
yang berpengaruh dalam membentuk intensi
pemilik UKM di Kota Malang untuk melakukan
Business Exit. Dengan didukung oleh nilai mean
yang tinggi pada kedua item, maka dapat
diindikasikan bahwa dengan tingkat inovatif
tinggi yang dimiliki oleh pemilik UKM di Kota
Malang akan membentuk intensi untuk melakukan
Business
Exit
sebagai
suatu
strategi
bisnis.Berdasarkan pembahasan yang telah
dijelaskan, maka hasil analisis pada penelitian ini
telah
mengkonfirmasi
bahwa
faktor
innovativeness dapat membentuk intensi pelaku
UKM di Kota Malang untuk melakukan business
exit.
4.2.2. Pembahasan
Analisis
Faktor
Pshycological
Orientation
dalam
Membentuk Intensi Business Exit Bagi
Para Pemilik UKM di Kota Malang
a. Goal Achievement
Penelitian ini menjelaskan bahwa faktor
goal achievement sebagai faktor pertama dalam
pshycological orientation yang didalamnya
terdapat 3 item pembentuk faktor yaitu
(“Keberhasilan bisnis membantu Saya untuk
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

156

mencapai impian”, “Keluarga menghormati saya
karena kegiatan bisnis Saya, Saya mempunyai
tanggung jawab terhadap generasi berikutnya”,
dan “Orang lain tertarik dalam keberhasilan bisnis
Saya”). Berdasarkan hasil penelitian terhadap
pemilik UKM di Kota Malang, total nilai
percentage of variance tertinggi dalam ketiga item
terdapat pada pernyataan “Keluarga menghormati
saya karena kegiatan bisnis Saya, Saya
mempunyai tanggung jawab terhadap generasi
berikutnya”, maka dapat dipahami bahwa,
mendapat kehormatan dari keluarga berkat bisnis
yang dijalankan adalah item yang paling dominan
dalam faktor goal achievement pada variabel
pshycological orientation.
Bila melihat pada analisis deskriptif yang
telah dilakukan peneliti, item “Keluarga
menghormati saya karena kegiatan bisnis Saya,
Saya mempunyai tanggung jawab terhadap
generasi berikutnya”, juga memiliki nilai mean
tertinggi dibandingkan kedua item yang lain.
Didukung oleh kedua item lain yaitu
(“Keberhasilan bisnis membantu Saya untuk
mencapai impian” dan “Orang lain tertarik dalam
keberhasilan bisnis Saya” yang juga memiliki
nilai mean yang dikategorikan tinggi membuat
faktor goal achievement memiliki peran penting
dalam pshycological orientation pemilik UKM di
Kota Malang.
Psychological
ownership
telah
dimasukkan didalam konsep business exit karena
dianggap sebagai peringatan penting mengenai
masalah individu atau pun organisasi (DeTienne
2010).
Sebuah
studi
sebelumnya
telah
memanfaatkan psychological ownership sebagai
salah satu variabel yang mempengaruhi proses
dari business exit (Leroy et al. 2007). Dalam
konteks business exit, DeTienne dan Cardon
(2010) menyatakan bahwa seseorang yang
memiliki tingkat posesivitas terhadap bisnis yang
telah menjadi bagian dari pemilik atau pendiri
dapat berimplikasi pada keengganan untuk
melakukan exiting.
Maka dalam penelitian ini, meskipun
faktor goal achievement merupakan faktor dengan
peran tertinggi pada variabel psychological
ownership dan item-item didalamnya juga
memiliki nilai mean yang tinggi berarti dapat
dipahami pula bahwa pemilik UKM di Kota
Malang memiliki tingkat posesivitas yang tinggi
terhadap bisnis yang telah menjadi bagiannya, dan
sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh
DeTienne dan Cardon (2010), hal ini berimplikasi
pada
keengganan
untuk
melakukan

exit.Berdasarkan
pembahasan
yang
telah
dijelaskan, maka hasil analisis pada penelitian ini
telah mengkonfirmasi bahwa faktor goal
achievement dapat membentuk intensi pelaku
UKM di Kota Malang untuk melakukan business
exit.

b. Knowledge of The Business
Dalam penelitian ini, faktor knowledge of
the business merupakan faktor kedua yang
terbentuk
dalam
variabel
psychological
ownership. Knowledge of the business adalah
pengetahuan mengenai bisnis yang dijalankan
oleh pemilik dan merupakan faktor yang
mendukung terbentuknya variabel psychological
ownership. Adapun item yang menjadi pembentuk
faktor ini yaitu (“bisnis ini adalah pencapain
tertinggi sejauh ini, bisnis ini mepunyai nilai
psikologis yang besar”, dan “tidak ada orang lain
yang mengetahui seluk beluk bisnis ini lebih dari
pemilik, ada banyak nilai yang berharga dari
bisnis ini yang dapat diwariskan”). Total nilai
percentage of variance tertinggi dalam kedua item
terdapat pada pernyataan “tidak ada orang lain
yang mengetahui seluk beluk bisnis ini lebih dari
pemilik, ada banyak nilai yang berharga dari
bisnis ini yang dapat diwariskan”. Berdasarkan
hasil analisis deskriptif yang dilakukan peneliti,
nilai mean pada item yang membentuk faktor
Knowledge of the business ini juga termasuk pada
kategori tinggi. Maka dapat diindikasikan bahwa
pemilik UKM di Kota Malang memiliki
pengetahuan yang kuat terhadap bisnis yang
dijalankan dan juga memberikan persetujuan
bahwa banyak nilai yang berharga yang dapat
diwariskan dari bisnis yang dijalankan.
Maka dalam konteks business exit pada
penelitian ini, faktor knowledge of the business
dikatakan dapat membentuk intensi pemilik UKM
di Kota Malang untuk melakukan business exit,
karena mewariskan bisnis merupakan salah satu
strategi business exit, dan hal ini telah memenuhi
persetujuan dengan bukti nilai mean pada analisis
deskriptif yang dilakukan peneliti. Berdasarkan
pembahasan yang telah dijelaskan, maka hasil
analisis pada penelitian ini telah mengkonfirmasi
bahwa faktor knowledge of the business dapat
membentuk intensi pelaku UKM di Kota Malang
untuk melakukan business exit.
c. Social Status
Psychological
ownership
merupakan
sebuah kondisi pikiran dimana kondisi ini dialami
oleh individu yang memiliki perasaan posesif, dan
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

157

juga dapat dikatakan bahwa psychological
ownership dapat mewakili identitas seseorang.
Faktor social status merupakan faktor ketiga yang
terbentuk
dalam
variabel
psychological
ownership. Adapun item-item yang terbentuk
dalam faktor ini yaitu (“saya dapat menjual bisnis
dengan mudah dan mencari pekerjaan lain”, dan
“status sebagai pemilik bisnis penting bagi Saya,
orang mengenal saya karena bisnis yang saya
miliki”). Total nilai percentage of variance
tertinggi dalam kedua item terdapat pada
pernyataan “saya dapat menjual bisnis dengan
mudah dan mencari pekerjaan lain”, dapat
diindikasi bahwa tingginya status sosial yang
dimiliki oleh pemilik UKM di Kota Malang akan
membuat pemilik mudah menjual bisnis dan
mencari pekerjaan lain. Tetapi bila dilihat dari
analisis deskriptif, item “saya dapat menjual bisnis
dengan mudah dan mencari pekerjaan lain”
memiliki nilai mean yang belum masuk pada
indikator setuju. Berbeda dengan item kedua dari
faktor social status yaitu “status sebagai pemilik
bisnis penting bagi Saya, orang mengenal saya
karena bisnis yang saya miliki”, berdasarkan
analisis deskriptif nilai mean dari item ini lebih
tinggi dibandingkan dengan item pertama dan
telah memenuhi indikator setuju.
Secara keseluruhan, meskipun item “saya
dapat menjual bisnis dengan mudah dan mencari
pekerjaan lain” memiliki nilai percentage of
variance tertinggi dalam faktor social status, tapi
dalam penerapannya belum maksimal yang
didukung oleh bukti nilai mean dari hasil analisis
desktiptif yang belum memenuhi indikator
persetujuan.Berdasarkan pembahasan yang telah
dijelaskan, maka hasil analisis pada penelitian ini
telah mengkonfirmasi bahwa faktor social status
dapat membentuk intensi pelaku UKM di Kota
Malang untuk melakukan business exit.
4.2.3. Pembahasan Analisis Faktor Theory of
Planned Behaviour dalam Membentuk
Intensi Business Exit Bagi Para Pemilik
UKM di Kota Malang
a. Attitude
Attitude merupakan faktor pertama yang
terbentuk dalam Theory of Planned Behaviour.
Menurut Ajzen (2005), attitude didefinisikan
sebagai derajat penilaian individu, baik itu positif
atau negatif terhadap suatu perilaku. Adapun itemitem yang terbentuk dalam faktor attitude yaitu
(“keluar dari bisnis/usaha menguntungkan bagi
saya”, “keluar dari bisnis akan memberikan
kebaikan / kepuasan bagi saya”, “saya sangat

ingin keluar / berhenti / mewariskan / menjual
bisnis saya”, dan“saya sangat tertarik untuk keluar
dari bisnis saya”). Total nilai percentage of
variance tertinggi dalam keempat item attitude
terdapat pada pernyataan“saya sangat ingin keluar
/ berhenti / mewariskan / menjual bisnis saya”
yaitu item ketiga. Dapat dipahami bahwa penilaian
pemilik UKM di Kota Malang dalam
keinginannya untuk keluar / berhenti /
mewariskan / menjual bisnisnya memiliki peran
yang tinggi dalam faktor attitude.
Tetapi bila melihat nilai mean dari hasil
jawaban responden pada analisis deskriptif yang
telah dilakukan penelti, item-item yang terdapat
dalam attitude cenderung rendah atau belum ada
yang melampaui batas tingkat persetujuan
responden. Dan dapat diindikasi bahwa pemilik
UKM di Kota Malang tidak memiliki keinginan
untuk keluar / berhenti / mewariskan / menjual
bisnisnya.
Ketika individu memiliki penilaian bahwa
perilaku yang dilakukan akan menghasilkan
konsekuensi yang positif, maka individu tersebut
akan cenderung bersikap favorable. Begitupula
sebaliknya, individu tersebut akan semakin
bersikap unfavorable ketika penilaian terhadap
perilaku
yang
dilakukan
menghasilkan
konsekuensi negatif (Ajzen, 2005). Bila dikaitkan
dengan business exit dan melihat pendapat yang
dikemukakan oleh Ajzen (2005), maka telah jelas
terukur dengan bukti nilai mean berdasarkan
analisis deskriptif yang telah dilakukan peneliti,
bahwa pemilik UKM di Kota Malang tidak
memiliki kecenderungan untuk melakukan exit
karena rendahnya penilaian terhadap perilaku
untuk keluar dari exit, dan penilaian yang rendah
dapat diasumsikan bahwa pemilik UKM di Kota
Malang menilai hal tersebut dapat menghasilkan
konsekuensi
yang
negatif.
Berdasarkan
pembahasan yang telah dijelaskan, maka hasil
analisis pada penelitian ini telah mengkonfirmasi
bahwa faktor social status dapat membentuk
intensi pelaku UKM di Kota Malang untuk
melakukan business exit.
b. Subjective Noun
Subjective Noun merupakan faktor kedua
yang terbentuk dalam Theory of Planned
Behaviour. Menurut Ajzen (2005) subjective
nounadalah persepsi individu tentang tekanan
sosial untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perilaku. Faktor subjective noun memiliki
tiga item yang terbentuk yaitu (“keluarga saya
berpendapat bahwa saya harus keluar dari bisnis
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

158

saya”, “keluarga / teman dekat saya berpikir
bahwa keluar dari bisnis merupakan cara yang
terbaik”, “orang-orang yang saya anggap penting,
berpikir bahwa saya harus keluar dari bisnis
saya”). Total nilai percentage of variance tertinggi
dalam ketiga item attitude terdapat pada
pernyataan “keluarga saya berpendapat bahwa
saya harus keluar dari bisnis saya”, yaitu item
pertama. Maka dapat dipahami bahwa pendapat
keluarga dari pemilik UKM di Kota Malang yang
mengharuskan pemilik untuk keluar dari bisnisnya
memiliki tekanan sosial yang tinggi pada faktor
subjective noun.
Tetapi apabila melihat nilai mean dari
hasil jawaban responden pada analisis deskriptif
yang telah dilakukan penelti, item-item yang
terdapat dalam subjective noun cenderung rendah
atau belum ada yang melampaui batas tingkat
persetujuan responden. Hal ini berarti bahwa
pendapat keluarga dari pemilik UKM di Kota
Malang yang mengharuskan pemilik untuk keluar
dari bisnisnya cenderung rendah.
Ajzen
(2005)
berpendapat
bahwa
subjective noundidasarkan oleh normative beliefs,
yaitu
belief
mengenai
kesetujuan
atau
ketidaksetujuan pihak lain sebagai respon atas
perilaku individu dan dapat mengarah pada
penghargaan atau hukuman yang diterima oleh
individu tersebut. Sehingga, tekanan sosial akan
muncul ketika individu tersebut mempersepsikan
bahwa rujukan sosialnya merekomendasikan
untuk melakukan suatu perilaku, dan sebaliknya.
Dalam konteks business exit, maka telah
jelas terukur dengan bukti nilai mean berdasarkan
analisis deskriptif yang telah dilakukan peneliti,
bahwa rujukan dari keluarga pemilik UKM di
Kota Malang dalam merekomendasikan pemilik
keluar dari bisnisnya cenderung rendah sehingga
pemilik melakukan suatu perilaku yaitu tidak
keluar dari bisnisnya mengikuti rujukan dari
keluarga. Hal ini sekaligus memperjelas bahwa
faktor subjective noun dalam Theory of Planned
Behaviour telah terkonfirmasi dapat membentuk
intensi pelaku UKM di Kota Malang untuk
melakukan business exit.
c. Perceived Behaviour Control
Perceived behaviour controlmerupakan
faktor kedua yang terbentuk dalam Theory of
Planned Behaviour . Perceived behaviour control
adalah persepsi individu mengenai kemudahan
atau kesulitan untuk melakukan suatu perilaku
(Ajzen, 2006). Adapun item-item yang terbentuk
dalam perceived behaviour control yaitu (“jika

saya mengambil langkah untuk keluar dari bisnis,
saya akan memiliki kemampuan untuk melakukan
hal-hal yang diperlukan”, “mengambil langkah
keluar dari bisnis merupakan hal yang mudah bagi
saya”, dan “jika saya ingin, saya bisa mengambil
langkah untuk keluar dari bisnis saya”). Total nilai
percentage of variance tertinggi dalam ketiga item
attitude terdapat pada pernyataan “jika saya ingin,
saya bisa mengambil langkah untuk keluar dari
bisnis saya”, yaitu item ketiga. Hal ini berarti
bahwa persepsi pemilik UKM di Kota Malang
mengenai kemudahannya dalam mengambil
langkah untuk keluar dari bisnis memiliki kontrol
yang tinggi untuk pemilik melakukan suatu
perilaku.
Tetapi apabila melihat nilai mean dari
hasil jawaban responden pada analisis deskriptif
yang telah dilakukan penelti, item-item yang
terdapat dalam perceived behaviour control
cenderung rendah atau belum ada yang
melampaui batas tingkat persetujuan responden.
Dapat diindikasikan bahwa persepsi pemilik UKM
di Kota Malang mengenai kemudahannya dalam
mengambil langkah untuk keluar dari bisnis
cenderung rendah.
Perceived
behavioral
control
ini
didasarkan oleh control beliefs, yaitu belief
individu mengenai faktor pendorong dan
penghambat untuk melakukan suatu perilaku yang
didasarkan pada pengalaman terdahulu, informasi
yang dimiliki hasil observasi atas diri sendiri
maupun orang lain yang dikenal oleh individu
tersebut. Sehingga, semakin individu merasakan
bahwa faktor pendukung yang diterima lebih
banyak dibandingkan faktor penghambat, maka
individu tersebut akan cenderung mempersepsikan
diri untuk dapat dengan mudah melakukan
perilaku tersebut. Sebaliknya, semakin individu
tersebut merasakan bahwa faktor penghambat
yang lebih dominan dibandingkan faktor
pendorong, maka persepsi individu tersebut
adalah kesulitan untuk melakukan suatu perilaku
(Ajzen, 2006).
Berdasarkan analisis deskriptif yang telah
dilakukan peneliti, telah jelas terukur dengan hasil
nilai mean, bahwa rendahnya keinginan pemilik
UKM di Kota Malang untuk keluar dari bisnisnya
bisa diasumsikan kerena pemilik tersebut
merasakan bahwa faktor pendorong cenderung
lebih sedikit dibandingkan faktor penghambat
yang lebih dominan sehingga mempengaruhi
persepsi pemilik usaha menjadi kesulitan untuk
melakukan suatu perilaku. Dalam konteks
business exit, hal ini sekaligus memperjelas bahwa
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

159

perceived behavioral control dalam Theory of
Planned Behaviour yang didasari oleh control
beliefs mengenai faktor pendorong dan
penghambat untuk melakukan suatu perilaku,
telah terkonfirmasi dapat membentuk intensi
pelaku UKM di Kota Malang untuk melakukan
business exit.

5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Faktor yang diuji dalam penelitian ini
yaitu innovativeness, proactiveness, risk taking,
goal achievement, social status, knowledge of the
business, attitude, subjective noun, perceived
behavior control dapat membentuk intensi pemilik
UKM di Kota Malang untuk melakukan business
exit.

Leroy, H., S. Manigart, & M. Meuleman. 2007.
Exit process of micro-business: Decision to
transfer. The International Conference on
Small Business. Turku, Finland.
Lumpkin, G.T., & Gregory G. Dess. 1996.
Clarifying the entrepreneurial orientation
construct and linking it to performance. The
Academy of Management Review.
Petty, J.W. 1997. Harvesting firm value: Process
and results. In (Eds.) Sexton, D.L & Smilor,
R.W. Entrepreneurship 2000. Chicago, IL:
Upstart Publishing Company.

5.2. Saran
1. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi masukan dan pertimbangan bagi pihak
pelaku UKM dalam melakukan business exit
sebagai exit strategi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wacana mengenai business exit
serta dapat digunakan sebagai bahan referensi
bagi penelitian di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2009. Kewirausahaan. Bandung:
Alfabeta.
Bank Indonesia. 2015. Profil Bisnis Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM).
Covin, J.G., & D.P. Slevin. 1991. A conceptual
model of entrepreneurship as firm behavior.
Entrepreneurship Theory and Practice.
Data Statistik BPS Indonesia 2016. Diakses pada
tanggal
20
Februari
2017
dari
https://www.bps.go.id/
Decker, C., & T. Mellewigt. 2007. Thirty years
after Michael E. Porter: What do we know
about business exit? . Academy of
Management Perspectives.
DeTienne, D.R. 2010. Entrepreneurial exit as a
critical component of the entrepreneurial
process: Theoretical development. Journal
of Business Venturing.
DeTienne, D.R., & M.S. Cardon. 2010. Impact of
founder experience on exit intention. Small
Business Economics.
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 55 No. 1 Februari 2018|
administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id

160