DOCRPIJM 1509000058Bab 10 Aspek Lingkungan dan Sosial RPI2JM

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

BAB 10
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL
10.1 Aspek Lingkungan
Kebijakan

nasional penataan

ruang

secara formal

ditetapkan

bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun

1992

tentang

Penataan

Ruang

(UU

24/1992),

yang

kemudian

diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU
26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata
ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan
dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun,

setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas
tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung
sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah
indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara
kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk
pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif
terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan
hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena
antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi
ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade
terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor,
kekeringan,

kebakaran

keanekaragaman hayati,

hutan


dan

lahan,

degradasi

hutan

dan

serta pencemaran sungai, laut dan udara,

datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan
LAPORAN FINAL
X- 1

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan


RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih
besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut,
maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata
ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur
dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus
diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang
bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah.
Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang
wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic
Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu
melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata
ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah

ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan,
seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain
UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang
serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan
hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep
keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang
dinamis dan sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan
hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah
melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses
perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan
pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau
kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian
lingkungan hidup.
LAPORAN FINAL
X- 2

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan


RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan,
perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal
proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah
studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan
hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif
KLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut
pembangunan

regional

dan

pembangunan

daerah


tetapi

juga

pembangunan sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan
teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini
baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan
satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan
nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang
AMDAL dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL
Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai
lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan
semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara
internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA),
dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal
pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah
bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan
(scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan

secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan
pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik
satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat
dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan
dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka
sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi,
LAPORAN FINAL
X- 3

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis
pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatifalternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan
penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran
pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci
sebagai berikut:
 Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ),
sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
 Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi
tanah.
 Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan,
melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
 Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara
bertahap.
 Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim
global.
 Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan

sesuai

dengan


IBSAP

(Indonesian

Biodiversity

Strategy and Action Plan) 2003–2020.
 Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
 Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
 Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap
kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa
bumi, tsunami, dan lainnya).
 Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup
yang inovatif.
 Meningkatkan diplomasi internasional.

LAPORAN FINAL
X- 4


RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

 Meningkatkan

kesadaran

rakyat

akan

pentingnya

konservasi

lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus
diarahkan untuk:
 Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
 Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat
nasional dan daerah.
 Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan
dan

penegakannya

secara

konsisten

terhadap

pencemaran

lingkungan.
 Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat
kegiatan pembangunan.
 Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik
di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang
musiman, dan bencana.
 Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup
dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas
lingkungan hidup; dan
 Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan
informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam programprogram pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan
hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009.
Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya
sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik.
LAPORAN FINAL
X- 5

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan
zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah
yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir,
kekeringan, serta bencana alam lainnya;

10.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 20042009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan
konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan
pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan
merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS
memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan
permasalahan

riel

dan

kebutuhan

pembangunan

dengan

proses

pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan
sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang sarat dengan
konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam. Bahkan dari sisi
kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai
integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme
dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian
untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada
tatanan metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan
khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui
inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik.
Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan
sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing
kebijakan

sektoral

tingkatannya

(antar

dipayungi

oleh

kekuatan

Undang-Undang,

hukum

Peraturan

yang

Presiden

setara
hingga

Peraturan Daerah).
LAPORAN FINAL
X- 6

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosanterobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan
strategis

pembangunan

melalui

pemanfaatan

instrumen

peraturan

perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana
keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena
lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan
definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di
manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara
sistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh
karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam
merumuskan development administration KLHS (terkait dengan sistem
politik,

sosial-budaya-ekonomi

dan

birokrasi)

mengikuti

konteks

perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan
mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala
regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup
memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala
proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional
sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian
dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA),
yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah
ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia
dan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia
seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank.
Mengikuti

perkembangan

ini,

KLH

telah

berinisiatif

untuk

mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap
inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini
masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata
LAPORAN FINAL
X- 7

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan
KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun,
sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan
penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan
strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera
menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan
strategi pembangunan nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai
dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri
semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu
instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk
menjadi

pegangan

utama

dalam

merumuskan

setiap

strategi

pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya, baik dalam konteks
kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang
menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven)
dan

pendekatan

keberlanjutan

(sustainability-driven). Pada definisi

pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak
lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan.
Sedangkan

definisi

kedua,

menekankan

pada

keberlanjutan

pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses
sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan
menjamin

diintegrasikannya

prinsip-prinsip

keberlanjutan

dalam,

pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a systematic
process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the
integration of sustainability principles into, strategic decision-making].

LAPORAN FINAL
X- 8

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun,
mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap
lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam
kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung
pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam
siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang,
maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana
tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW,
bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa
dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer)
atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari
beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk
meningkatkan

efektivitas

pelaksanaan

Analisis

Mengenai

Dampak

Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan
lainnya,

menciptakan

tata

pengaturan

yang

lebih

baik

melalui

pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis
dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta
memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah
(kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh
KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
instrumental, transformatif, dan substantif.

Tipologi ini membantu

membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap
berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut
langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka
bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai
saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang,
yaitu :

LAPORAN FINAL
X- 9

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

 KLHS

dengan

Kerangka

Dasar

Analisis

Mengenai

Dampak

Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe). KLHS dilaksanakan
menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan
dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.


KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup
(Environmental

Appraisal).

KLHS

ditempatkan

sebagai

environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin
pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan
sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
 KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated
Assessment Sustainability Appraisal). KLHS diterapkan sebagai
bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik,
sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS
kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih
luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup secara terpadu.
 KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam

(Sustainable

Natural

Resource.

Management)

atau

Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource
Management). KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak
terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan
sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik
pengelolaan

sumberdaya

alam.

Model

a)

menekankan

pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar
dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan
LAPORAN FINAL
X- 10

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan
cadangan sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk
kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan
dihasilkan/ditelaah,

lingkup

isu

mengenai

sumberdaya

alam

dan

lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW
yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia
aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat
kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Tabel 10.1
Pengaruh KLHS dalam RTRW

LAPORAN FINAL
X- 11

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

Gambar 10.1 Kerangka Kerja KLHS
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS
terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang.

Langkah ini

diperlukan atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang
memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang
diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi
lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi
pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib
dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan
RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
 Apakah

rancangan

RTR

berpotensi

mendorong

timbulnya

percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau
pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung
di suatu wilayah atau DAS? dan/atau

LAPORAN FINAL
X- 12

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

 Apakah

rancangan

RTR

berpotensi

meningkatkan

intensitas

bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang
saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau
 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara
termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah
yang berpenduduk padat? dan/atau
 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru
atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula
dapat mereka akses? dan/atau
 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan
penghidupan

(livelihood

sustainability)

suatu

komunitas

atau

kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek
penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang
akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan.
Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih
difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan
evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya
RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsipprinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan
dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b)
penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai
dengan

kebutuhan

rekomendasi,

dan

c)

sistematisasi

proses

pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring.
Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
LAPORAN FINAL
X- 13

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi
ekosistem.
 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi
pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program
atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas
pemanfaatan

ruang),

dan/atau

c)

kegiatan-kegiatan

operasional

pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan
yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik
yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan
penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih
tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial
akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara
terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam
pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal]
appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis
risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut
dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Pada

dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung
dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata
laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif.

Semua komponen

kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat.
Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat
LAPORAN FINAL
X- 14

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

bervariasi bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan
perundangan yang mengatur

keterlibatan masyarakat, serta komitmen

dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat
pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS
diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau
partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada
tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat
kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau
konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif.

Hal ini

disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki
ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan
kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi
masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan
tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya
tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap
pengambilan keputusan.
Komponen-komponen

kerja

KLHS

dilaksanakan

dengan

memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif
pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan
keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus
dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan,
seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan
dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana
KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan
keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa
terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua
hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen
kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain.
Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu
LAPORAN FINAL
X- 15

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting
dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata
ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang,
yang diawali tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan
kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis
untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas
lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat
bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui
perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi
pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

10.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL :
aspek fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan
masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu
sisi merupakan bagian

studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu

rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk

mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau

kegiatan. Berdasarkan analisis

ini dapat diketahui secara lebih jelas

dampak besar dan penting terhadap

lingk ungan hidup, baik dampak

negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau
kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah

untuk menanggulangi

dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting
tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :

LAPORAN FINAL
X- 16

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

 Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
 Luas wilayah penyebaran dampak;
 Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
 Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
 Sifat kumulatif dampak;
 Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan
yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar d an penting
terhadap lingkungan hidup meliputi :
 Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
 Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharu
 Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pemborosan, Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
 Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
 Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan
cagar budaya;
 Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad
renik;
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia
diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986)
sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan
Hidup yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL
merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat
mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi.
LAPORAN FINAL
X- 17

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan
pembangunan proyek itu sendiri.

Sebagai instrumen pengelolaan

lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling
dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain,
proses penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian
dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat
disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi
AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk
meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.
Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :
 AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang
berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana
kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan
ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen
Perindustrian.
 AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi
suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu
adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses
produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan
melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi.

Sebagai contoh

adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang
kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI)
untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap
(PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi
produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu
instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan,
Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
 AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana
kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n
hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi.
LAPORAN FINAL
X- 18

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Contohnya

adalah

rencana

kegiatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

pembangunan

kawasan

industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di dalam kawasan
tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup dalam
AMDAL seluruh kawasan.
 AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana
kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam
hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini
melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu
kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai
Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional
adalah pembangunan kota -kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan
dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL
(Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam
PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL
Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai
implikasi

secara

nasional.

Pada

tahun

1999

diterbitkan

lagi

penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses
evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah
diberikannya kemungkinan partisipasi masyaraka t di dalam proses
penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak,
proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :
 AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu
rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan
apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu
rencana kegiatan pembangunan.
 Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama
ini LSM telah dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan

LAPORAN FINAL
X- 19

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses
pengambilan keputusan.
 Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi
AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai
rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL
akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.
 Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya
aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan
yang implikasi sosial –budayanya penting, kurang mendapat kajian
yang seksama.
Analisis

Mengenai

Dampak

Lingkungan

merupakan

teknologi

pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara
industri yang demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda,
sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan
kondisi budaya dan sosiopolitik b erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari
15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau
masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang
terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya.
Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :
 Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,
 Kekuatan institusi,
 Pelatihan ilmiah dan profesional,
 Ketersediaan data.
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia
sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan
kebijakan lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down”

oleh

pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena
adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan
terhadapa perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk
LAPORAN FINAL
X- 20

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

menanggapi masalah lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan
internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 .
Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan
dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat
“bottom up ”.
Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat,
karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya
memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu
lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap
kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup
dengan menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan
tindakan

untuk

melindungi

kehidupan

liar,

spesies

langka

dan

keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan
tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat
menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi,
sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu
mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang
dilakukan antar instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas
AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus
melakukan

koordinasi,

berbagi

informasi

dan

bekerjasama

untuk

menerapkan AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa
usaha

penilaian

dan

perencanaan

lingkungan,

serta

mneyusun

rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan
AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi
AMDAL, yang berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si
bekerja sendiri -sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa
adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab
terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin egiatan. Jadi program
AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan
LAPORAN FINAL
X- 21

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau
mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama
proses kesepakatan pelaksanaan proyek.
Pada

umumnya

pelaksanaan

AMDAL

tidak

mengikutsertakan

partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan
keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyekproyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk
mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting,
karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan
masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan
menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara
barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat
dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan
dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan
bersama.
Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor
budaya seharusnya menjadi perhatian

utama disamping faktor teknis,

ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau
program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara
dengan budaya yang berbeda.
Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
sektoral dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah
Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua stakeholders
(para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait,
pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting.

Demikian penegasan

Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional
"Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7
/2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan
LAPORAN FINAL
X- 22

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai
kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara nasional.
Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk
satu

komisi

Amdal

yang

menangani

proses

Amdal

di

daerah

bersangkutan.
"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua
kebijakan dan proses mengenai Amdal hanya satu

pintu. Dengan

demikian tidak ada lagi egosektoral yang selama ini mungkin terjadi, di
mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan
ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal
yang bisa digarap sambil jalan .
Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000
itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin
usaha. Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal
dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari
perguruan tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang
berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan
Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis
dan ekonomis, harus dikedepankan.
Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak
ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu
kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini
dikuatkan

dengan

Keputusan

Kepala

Bapedal

No

8/2000,

yang

mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal.
"Desentralisasi kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian
masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat,
penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan
dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

LAPORAN FINAL
X- 23

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah
menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya
manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di
level pemerintah.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan
dan

pemantauan

terhadap

usaha

dan/atau

kegiatan

yang

tidak

berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan
kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak
lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.
UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi
dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha
dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin
wajib

menolak

penerbitan

izin

bagi

usaha

dan/atau

kegiatan

bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau
kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku
dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai
dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan
kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.
Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure)
selanjutnya

disingkat

SOP

adalah

upaya

yang

dilakukan

untuk

LAPORAN FINAL
X- 24

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau
kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.
10.2 Aspek Sosial
Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk
memahami upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di
masyarakat. Pelaksanaan upaya pengamanan sosial adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa
pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan
sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial
dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:
 Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap
tahapan kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi,
perencanaan, pengusulan kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai
dengan tahapan pemanfaatan dan pemeliharaan.
 Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah
disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana
kerja, termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan
pengamanan sosial.
 Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli
dari segi kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.
 Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan
kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan
penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang
membutuhkan

tanah

dan

perubahan

penggunaan

air

(misal

reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan
untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar
praktek yang baik.
 Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.

LAPORAN FINAL
X- 25

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan
pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai
berikut:
 Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.
 Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan
program.
 Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan
program.
 Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan
lahannya sudah jelas.
 Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.
 Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan
program.
 Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama
pelaksanaan program.
 Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.
 Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.
 Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan
sampah padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.
 Dilaksanakannya

langkah

mitigasi

dan

pemantauan

dampak

lingkungan.
 Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

10.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab
sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat,
konsumen,

praktek

kegiatan

institusi

yang

sehat,

lingkungan,

ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.

LAPORAN FINAL
X- 26

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsurunsur tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The
World Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial
sebagai berikut.
 Proteksi Lingkungan. Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada
menemukan

cara

penggunaan

sumber

daya

alam

secara

berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap
lingkungan.
 Jaminan Kerja. Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja
dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja,
khususnya hak untuk berunding secara kolektif.
 Hak Asasi Manusia. Pengembangan tempat kerja yang bebas dari
diskriminasi

dengan

mengedepankan

etika

professional

yang

memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan
antara pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.
 Keterlibatan

dalam

mengoptimalkan

komunitas.

dampak

dari

Merupakan
donasi

tindakan

uang,

waktu,

untuk
produk,

jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya
pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
 Standar bisnis. Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika,
imbalan keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan
HAM.
 Pasar. Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan
hubungan antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain
meliputi etika pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk,
kualitas dan keamanan produk.
 Pengembangan ekonomi dan badan usaha. Dalam menjalankan
usahanya,

perusahaan

pengembangan

usaha

harus
kecil

memperhatikan
dan

menengah

daya

saing,

(UKM)

lokal,

LAPORAN FINAL
X- 27

RENCANA PROGRAM INVESTASI
INFRASTRUKTUR JANGKA MENENGAH
(RPI2JM) TAHUN 2015 – 2019

PEMERINTAH KABUPATEN TORAJA UTARA
Provinsi Sulawesi Selatan

kewiraswastaan,

pemberdayaan

ekonomi

masyarakat,

dan

keuangan mikro.
 Proteksi Kesehatan. Di