Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi
2.1.1. Anatomi
Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, yaitu
nasofaring, orofaring dan hipofaring. Nasofaring adalah bagian dari faring yang
terletak di atas langit-langit lunak, dan memiliki dinding anterior, posterior dan
lateral. Dinding anterior dilubangi oleh nares posterior (koana). Dinding posterior
berupa lengkungan yang meliputi atap nasofaring, begitu juga bagian posterior dasar
tengkorak. Dinding posterior meluas ke inferior dan pada tingkat proyeksi horisontal
dari langit-langit lunak, berlanjut ke inferior sebagai dinding posterior orofaring.
Dinding anterior dan posterior dihubungkan oleh dinding lateral ke tuba
eustachius.1,13,14
Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius. Orifisium
ini dibatasi di bagian superior dan posterior oleh torus tubarius. Hal ini
mengakibatkan penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat orifisium tuba
eustachius dan akan mengganggu pendengaran. Bagian posterosuperior dari torus
tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering terjadinya
karsinoma nasofaring. Pada atap sering dijumpai lipatan-lipatan mukosa yang
dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa pada bagian superior dari nasofaring. 1,13,14


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Anatomi nasofaring (dikutip dari Chan JKC,Bray F, McCarron. Pathology and Genetic
Head and Neck Tumours)

2.1.2. Histologi
Pada orang dewasa¸ mukosa nasofaring mempunyai luas permukaan kira-kira
50 cm2. Sebagian besar dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis, dan sekitar 40%
dilapisi oleh epitel kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamosa terutama melapisi
dinding anterior dan posterior bagian bawah, juga pada setengah bagian dari dinding
lateral. Epitel kolumnar bersilia tipe respiratorius sebagian besar melapisi daerah
nares posterior (koana) dan atap dinding posterior. Batas antara epitel skuamosa dan
repiratorius mungkin tegas, atau mungkin terdapat zona epitel transisional atau
intermediet, berupa sel-sel basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya
berbentuk kuboid atau bulat.1,13,14
Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang menjorok ke dalam
stroma. Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang
reaktif. Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid yang
banyak, yang meluas dan mengubah epitel sehingga menghasilkan pola retikular.


Universitas Sumatera Utara

Beberapa kelenjar seromusinus dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat di
mukosa hidung.1,13,14

Gambar 2.2. Histologi nasofaring. Epitel pelapis nasofaring terdiri dari epitel transisional dengan
stroma yang kaya jaringan limfoid (dikutip dari Mills SE. Histology for Pathologist)

2.2. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring dapat dijumpai pada semua umur, namun sangat jarang
terdapat penderita dengan usia di bawah 20 tahun. Prevalensinya antara usia 40-50
tahun. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2
berbanding 1. Di Amerika Serikat dilaporkan insidensi tumor ini kurang dari 1 dalam
100.000 populasi (National Cancer Institute, 2009).1,15,16
Pada beberapa propinsi di Cina, kasus karsinoma nasofaring memiliki
insidensi yang cukup tinggi, yaitu 15-30 per 100.000 populasi. Bahkan di Hong Kong
dan Guangzhou angka ini mencapai 10-150 kasus per 100.000 populasi per tahun.1,15
Karsinoma nasofaring menempati urutan kelima tumor ganas di Indonesia.
Bahkan karsinoma nasofaring memiliki persentase sebanyak 60% dari keseluruhan

tumor ganas pada kepala dan leher. Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia

Universitas Sumatera Utara

pada tahun 1980 adalah 4,7 per 100.000 populasi atau 7.000-8.000 kasus per tahun
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia). Di RSUP Haji Adam Malik Medan
pada tahun 2002-2007 ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring.16

2.3. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor
risiko yang sering diidentifikasi sebagai penyebab karsinoma nasofaring antara lain
adalah infeksi virus Epstein-Barr, faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya
hidup.1,4,5,17,18
Epstein, Barr dan Achong (tahun 1964) pertama kali melaporkan virus ini.
Tidak hanya karsinoma nasofaring, beberapa penyakit telah dilaporkan berkaitan
dengan infeksi virus Epstein Barr, diantaranya mononukleosis infeksiosa dan
limfoma-Burkitt.1,4,5,17,18
Virus Epstein Barr tergolong virus DNA dari kelompok herpes. Terdapat reaksi
antigen antibodi akibat infestasi virus ini. Dilaporkan adanya peningkatan antibodi
IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA) dan

dijumpainya genom virus pada sel tumor. Karsinoma nasofaring diakibatkan oleh
proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi virus Epstein Barr.
Protein viral laten (latent membrane protein 1 and 2) menyebabkan proliferasi dan
pertumbuhan yang invasif pada karsinoma nasofaring.1,4,17,18
Dijumpainya Human Leucocyte Antigen (HLA) yang serupa pada penderita
karsinoma nasofaring yang telah bermigrasi ke negara-negara di luar Cina dengan
penderita di negara Cina memberikan dugaan bahwa faktor genetik memegang

Universitas Sumatera Utara

peranan penting pada patogenesis karsinoma nasofaring. Munir (2008) menemukan
bahwa alel gen tertinggi pada penderita karsinoma nasofaring suku Batak adalah gen
HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301, sedangkan alel yang menyebabkan kerentanan
timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08.19
Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin dengan kandungan nitrosamin yang tinggi,
paparan dengan karsinogenik, seperti benzopyrene, gas kimia, asap industri, asap obat
nyamuk dan asap rokok, merupakan hal-hal yang diduga berperan penting dalam
terjadinya karsinoma nasofaring. Beberapa penelitian epidemiologik mendukung
hipotesa yang menyatakan bahwa seringnya mengkonsumsi ikan asin sebelum usia 10
tahun berkaitan erat dengan peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring.1,16,19


2.4. Diagnosis
Diagnosis karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, radiologi, serologi dan pemeriksaan patologi.

2.4.1. Gejala
Pada karsinoma nasofaring, formula Digby menjelaskan bahwa setiap gejala
mempunyai nilai diagnostik, dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan suatu
karsinoma nasofaring.20

Tabel 2.1. Formula Digby (dikutip dari Tambunan, GW. Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia)

Universitas Sumatera Utara

Gejala

Nilai

Massa terlihat pada nasofaring


25

Gejala khas di hidung

15

Gejala khas pendengaran

15

Sakit kepala unilateral atau bilateral

5

Gangguan neurologik syaraf otak

5

Eksoftalmus


5

Limfadenopati leher

25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosis klinis karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinis jelas menunjukkan suatu karsinoma
nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi
diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya
dengan pengobatan dan prognosis.20

2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus-kasus yang mengarah pada karsinoma nasofaring, perlu dilakukan
pemeriksaan menyeluruh daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan nasofaringoskop kaku atau
fleksibel. Inspeksi yang menyeluruh sangat diperlukan dalam pemeriksaan fisik.16

Universitas Sumatera Utara


Pembengkakan pada kelenjar getah bening terutama daerah mastoid, atau
dalam muskulus sternokleidomastoideus, serta di bagian belakang angulus
mandibula, maka sebaiknya dipertimbangkan adanya metastasis dari karsinoma
nasofaring.16

2.4.3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang dapat dipergunakan
untuk mengkonfirmasi adanya tumor pada nasofaring dan menentukan lokasi tumor,
serta dalam membimbing tindakan biopsi untuk menghasilkan sediaan yang adekuat
bagi pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan radiologi juga dapat memperlihatkan
penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.16,18
CT-scan nasofaring dapat dilakukan untuk memperlihatkan adanya tumor pada
fossa Rosenmuller di stadium awal. Pada CT-scan, fossa Rosenmuler akan terlihat
sebagai penebalan otot levator veli palatini dan obliterasi atau penumpulan sudut
resesus setempat sehingga terlihat gambaran yang asimetris dalam rongga
nasofaring.16,18
CT-scan berperan dalam membantu diagnosis karsinoma nasofaring, terutama
dalam menentukan suatu proses dini di nasofaring, menentukan penyebaran tumor ke
jaringan sekitar, menentukan stadium tumor, membantu tindakan radioterapi dan

menilai hasil pengobatan dan menentukan kekambuhan dini.16,18
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki akurasi yang lebih baik dalam
memperlihatkan jaringan lunak pada nasofaring, baik yang superfisial maupun
profunda, serta membedakan tumor dari jaringan lunak di sekitarnya. MRI juga lebih

Universitas Sumatera Utara

sensitif untuk menilai metastasis ke daerah retrofaring, kelenjar getah bening leher
yang profunda dan ke sumsum tulang Ultrasonografi hepar dapat dilakukan apabila
dicurigai telah terjadi metastasis ke hati.16,18

Gambar 2.3. A,B. Karsinoma nasofaring dengan infiltrasi lokal dilihat dengan MRI (dikutip dari
Chan JKC,Bray F, McCarron. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours)

2.4.4. Pemeriksaan Serologi
Infeksi Epstein-Barr virus (EBV) sebagai salah satu faktor penyebab
berkembangnya karsinoma nasofaring menjadi dasar pemeriksaan ini. Titer antibodi
terhadap EBV seperti IgA (Antibodi terhadap VCA-viral capsid antigen, maupun EAearly antigen) sebagai pemeriksaan serologi yang paling sering dipergunakan dengan
hasil bervariasi sekitar 69-93%, meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi pada
penderita karsinoma nasofaring dibandingkan penderita tumor lain maupun pada

orang sehat. Pemeriksaan juga dapat dilakukan untuk follow-up pasca terapi untuk
mendeteksi kemungkinan residif atau relaps. Hasil pemeriksaan serologi positif untuk
EBV ditemukan pada hampir 100% tipe Nonkeratinizing squamous cell carcinoma.
Antibodi yang lebih baru terhadap antigen EBV rekombinan seperti EBV nuclear
antigens (EBNA), membrane antigen (MA), thymidinekinase (TK), DNA polymerase

Universitas Sumatera Utara

(DP), ribonucleotide reductase (RR), DNAase, dan Z transactivator protein (Zta)
juga dapat memberikan diagnosis bila digunakan secara kombinasi.1

2.4.5. Pemeriksaan Patologi
2.4.5.1.Biopsi Aspirasi Jarum Halus pada Kelenjar Getah Bening Servikalis
Sebagian besar karsinoma nasofaring ditemukan dengan pembesaran KGB di
leher. Untuk membuktikan metastasis karsinoma nasofaring dilakukan biopsi aspirasi.
Metastasis karsinoma ke KGB leher bukan hanya berasal dari nasofaring tetapi juga
dari beberapa jaringan lain di sekitar kepala dan leher, bahkan dengan gambaran yang
hampir sama, oleh karena itu perlu dibuktikan bahwa pembesaran KGB leher benarbenar merupakan metastasis karsinoma nasofaring. Biopsi jaringan mutlak dilakukan
untuk konfirmasi diagnosis dalam menentukan tipe histopatologi. 16,21


2.4.5.2. Biopsi Jaringan
Diagnosis pasti tumor nasofaring ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi, yang dapat diperoleh dari sediaan biopsi jaringan. Biopsi dapat
dilakukan dengan bantuan endoskopi. Penderita dalam posisi duduk atau setengah
duduk, selanjutnya diberi anestesi lokal kemudian endoskop dimasukkan kedalam
kavum nasi pada sisi yang berlawanan dengan sisi tumor. Setelah tumor terlihat,
dimasukkan cunam biopsi melalui sisi lain dari kavum nasi. Dengan tuntunan
endoskopi, dapat diambil jaringan biopsi yang adekuat dari tumor. 17,18
Apabila biopsi dengan anestesi lokal tidak memungkinkan seperti pada
keadaan umum penderita yang buruk, penderita yang tidak kooperatif atau faringnya

Universitas Sumatera Utara

terlalu sensitif, terdapat trismus, atau pada anak-anak, maka biopsi dilakukan dengan
anestesi umum.17,18

2.5. Gambaran Klinis
Gejala yang sering ditemukan pada karsinoma nasofaring antara lain:

(1)

Gejala telinga: yaitu gejala yang timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh
massa tumor antara lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat,
berkurangnya pendengaran dan otitis media; (2) Gejala hidung: yang biasanya muncul
adalah epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan hidung dapat terjadi
berulang-ulang, sedikit-sedikit dan bercampur dengan ingus. Gejala obtruksi hidung
biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang menutupi koana; dan
(3) Pembesaran kelenjar getah bening leher yang merupakan gejala lanjut karsinoma
nasofaring, merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita datang
berobat. Hal ini diakibatkan oleh penyebaran karsinoma nasofaring secara
limfogen.16,18
Gejala lebih lanjut yang sering ditemukan adalah gejala neurologis dengan
keluhan yang tersering adalah diplopia sebagai akibat paresis saraf abdusen (N VI),
dan keluhan baal di pipi dan wajah yang unilateral akibat paresis saraf trigeminus (N
V). Sakit kepala yang hebat merupakan gejala paling berat dan biasanya merupakan
gejala stadium terminal. Hal ini timbul karena tumor telah mengerosi dasar tengkorak
dan menekan struktur di sekitarnya. Metastasis jauh terjadi secara hematogen maupun
limfogen, biasanya ke tulang, paru dan hati.16,18

Universitas Sumatera Utara

2.6. Klasifikasi Histopatologi
Klasifikasi histopatologi karsinoma nasofaring menurut WHO (2005) yaitu:
(1) Keratinizing squamous cell carcinoma (ICD-O 8071/3); (2) Nonkeratinizing
carcinoma (ICD-O 8072/3) yang mencakup differentiated dan undifferentiated
subtype; (3) Basaloid squamous cell carcinoma (ICD-O 8083/3). 1

2.7. Pemeriksaan Patologi
2.7.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Keratinizing squamous cell carcinoma (KSCC) adalah suatu karsinoma
invasif dengan keratinisasi, dengan bentuk tumor yang irreguler. Pada pemeriksaan
histopatologi menunjukkan stroma desmoplastik yang banyak diinfiltrasi oleh sel-sel
limfosit, sel plasma, netrofil dan eosinofil. Sel-sel tumor dapat berbentuk poligonal
atau stratified dengan batas antar sel yang jelas, inti sel hiperkromatik dengan
sitoplasma yang banyak, serta dijumpai keratin pearl. 1,4,17,18,22,23

Gambar 2.4. Keratinizing squamous cell carcinoma. A. Invasi tumor kedalam stroma. B. Pulau-pulau
ireguler dengan stroma desmoplastik (dikutip dari Chan JKC,Bray F, McCarron. Pathology and
Genetic Head and Neck Tumours)

Universitas Sumatera Utara

KSCC memiliki kecenderungan untuk berkembang secara lokal serta lebih
sedikit adanya kemungkinan metastasis pada kelenjar getah bening. Tumor ini
memiliki respon yang rendah terhadap radiasi dan prognosisnya buruk. Tipe ini tidak
berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr.1,4,22,23,24

2.7.2. Nonkeratinizing Carcinoma
Secara histopatologi Nonkeratinizing carcinoma terdiri dari lembaran padat,
berbentuk pulau-pulau yang tidak teratur, lembaran yang diskohesif dan trabekula
bercampur dengan limfosit dan sel plasma yang bervariasi jumlahnya.1
2.7.2.1. Differentiated subtype
Pada pemeriksaan histopatologi, differentiated subtype memperlihatkan
gambaran stratifikasi selular dengan batas antar sel yang cukup jelas. Sel-sel tampak
sedikit lebih kecil dibandingkan dengan undifferentiated subtype, N/C ratio lebih
rendah, inti lebih hiperkromatik dan nukleoli tidak menonjol. Kadang-kadang dapat
dijumpai daerah nekrosis. Limfosit dan sel-sel plasma dapat dijumpai dalam jumlah
yang bervariasi atau bahkan sama sekali tidak ada. Apabila jumlah limfosit cukup
banyak maka kondisi ini dikenal sebagai lymphoepithelial carcinoma. Sel-sel tumor
dapat berbentuk bulat maupun spindel. Nukleoli sering tidak terlihat pada sel-sel
spindel. Pada beberapa tempat tampak sel-sel dengan inti hiperkromatik dan
sitoplasma padat.1,4,22,23

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5. Non keratinizing carcinoma, differentiated subtype. A. Terdapat lapisan-lapisan tumor
yang dipisahkan oleh limfosit dan sel-sel plasma. B. Pulau-pulau tumor dalam stroma yang kaya
limfosit. C. Pola pertumbuhan trabekular (dikutip dari Chan JKC,Bray F, McCarron. Pathology and
Genetic Head and Neck Tumours)

2.7.2.2. Undifferentiated subtype
Pada pemeriksaan histopatologi dapat dijumpai sel-sel tumor yang besar
tersusun sinsitial dengan batas antar sel tidak jelas, inti vesikuler, bulat atau oval
disertai dengan nukleoli yang besar di tengah. Sel-sel sering terlihat padat dan
terkadang overlapping, kromatin inti lebih padat, sitoplasma sedikit dan
eosinofilik.1,4,14,22,23

Gambar 2.6. Non keratinizing carcinoma, undifferentiated subtype. A. Sel-sel limfoid yang terbentuk
dalam agregat kecil. B. Sel-sel spindel dengan nukleoli yang tidak jelas (dikutip dari Chan JKC,Bray
F, McCarron. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours)

Universitas Sumatera Utara

Pada undifferentiated subtype, terdapat dua bentuk pola pertumbuhan, yaitu
tipe Regauds dan Schmincke. Tipe Regauds terdiri dari kumpulan sel-sel epitel
dengan batas jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfoid.
Sedangkan tipe Schmincke berupa sel-sel epitelial neoplastik yang tumbuh difus dan
bercampur dengan sel-sel radang.4

A

B

Gambar 2.7. Undifferentiated carcinoma. A. Tipe Regauds, terdiri dari sel-sel yang membentuk
sarang-sarang padat. B. Tipe Schminke, terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran syncytial
yang difus (dikutip dari Rosai J. Rosai and Ackerman’s Surgical Pathology)

2.7.3. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Tumor ini jarang dijumpai dan memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid
dan sel-sel skuamosa. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatin dan
tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan
konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading.
Komponen sel-sel skuamosa dapat insitu atau invasif. Batas antara komponen
basaloid dan skuamosa jelas.1,4,22,23

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.8. Basaloid squamous cell carcinoma. Sel-sel basaloid menunjukkan pola pertumbuhan
festooning, sel-sel basaloid berselang-seling dengan diferensiasi skuamosa (dikutip dari Chan
JKC,Bray F, McCarron. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours)

2.8. Pewarnaan Imunohistokimia
KSCC menunjukkan imunoreaktivitas terhadap

pan-cytokeratin,

high

molecular-weight cytokeratin, dan secara fokal terhadap epithelial membrane
antigen. KSCC yang diinduksi radiasi diketahui tidak berhubungan dengan virus
Epstein-Barr, namun secara denovo juga masih belum jelas hubungannya dengan
virus Epstein-Barr. Beberapa literatur menyatakan bahwa virus Epstein-Barr hampir
selalu positif pada daerah endemik, juga sering positif pada daerah dengan insidensi
intermediet, sedangkan pada daerah dengan insidensi yang rendah hanya positif pada
sebagian penderita. Pada in situ hybridization, gambaran inti dari EBER biasanya
terlihat pada sel-sel dengan diferensiasi yang sedikit (sel-sel basal yang mengelilingi
pulau-pulau tumor), tetapi tidak terlihat pada sel-sel dengan diferensiasi skuamosa
yang jelas. Peranan human papillomavirus pada tipe ini masih belum jelas
diketahui.1,4,22,23,24,26,27
Secara praktis semua sel tumor pada nonkeratinizing carcinoma menunjukkan
hasil positif kuat terhadap pan-cytokeratin (AE1/AE3, MNF-116); yang terwarnai

Universitas Sumatera Utara

secara uniformis, berbeda dengan undifferentiated carcinoma dari tempat lain,
misalnya paru-paru atau tiroid, yang terwarnai secara fokal. Sel-sel tumor juga
terwarnai positif kuat dengan high molecular weight cytokeratins (seperti cytokeratin
5/6, 34ßE12) dan sering terwarnai lemah dan kadang patchy dengan low molecular
weight. Imunoreaktivitas terhadap epithelial membrane antigen biasanya memberi
reaksi secara fokal saja. Pada kebanyakan kasus, pewarnaan dengan p63
menunjukkan reaksi positif kuat pada inti sel tumor. Dengan S100 protein akan
memberi hasil positif pada sel-sel dendritik dengan jumlah yang bervariasi.
1,4,22,23,24,26,27

Pewarnaan imunohistokimia dengan VEGF menunjukkan bahwa over
ekspresi VEGF berhubungan dengan progresivitas tumor dan prognosis buruk pada
berbagai

macam

tumor,

termasuk

karsinoma

nasofaring.

Ekspresi

VEGF

dibandingkan antara sampel jaringan yang diambil dari nasofaring normal, tumor
jinak nasofaring, dan karsinoma nasofaring, dengan nilai ekspresi VEGF sebesar
10%, 40% dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada karsinoma nasofaring stadium
lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan. 3

2.9. Klasifikasi TNM dan Stadium Klinis
Klasifikasi TNM dan penentuan stadium klinis karsinoma nasofaring menurut
UICC (Union Internationale Centre Cancer) dan AJCC (Americant Joint Committee
on Cancer) adalah sebagai berikut1:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Klasifikasi TNM dari karsinoma nasofaring (dikutip dari Chan JKC,Bray F,
McCarron. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours)
Tumor primer (T)

TX

Tumor primer tidak dapat ditentukan

T0

Tumor primer tidak dijumpai

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor terbatas pada nasofaring

T2

Tumor meluas ke soft tissue
T2a : Tumor meluas ke orofaring dan/atau rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaring
T2b : Tumor dengan perluasan ke parafaring

T3

Tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus
paranasal

T4

Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai
nervus cranialis, fossa infratemporal, hipofaring,
orbita, atau masticator space

Kelenjar getah

NX

bening regional (N)

Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar getah
bening

N0

Tidak ada pembesaran nodus limfatik

N1

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening
ipsilateral < 6 cm

N2

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening bilateral
< 6 cm

N3

Terdapat pembesaran kelenjar getah bening > 6 cm
atau ekstensi ke supraklavikula

Metastasis jauh (M)

MX

Metastasis jauh tidak dapat ditentukan

M0

Tidak ada metastasis jauh

M1

Dijumpai metastasis jauh

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan klasifikasi TNM tersebut di atas, stadium klinis karsinoma nasofaring
dapat ditentukan:1
Stadium 0

Tis

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2a

N0

M0

Stadium IIB

T1

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N0, N1

M0

T1

N2

M0

T2a, T2b

N2

M0

T3

N0, N1, N2

M0

Stadium IVA

T4

N0, N1, N2

M0

Stadium IVB

Tiap T

N3

M0

Stadium IV C

Tiap T

Tiap N

Tiap M

Stadium III

2.11. Penatalaksanaan
Terapi utama bagi karsinoma nasofaring adalah radioterapi. Pengobatan
tambahan berupa diseksi leher, faktor transfer, pemberian interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus. Seluruh pengobatan tambahan ini masih dalam
penelitian, sedangkan kemoterapi masih pilihan utama sebagai ajuvan. 25,28
Diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menunjukkan respon terhadap terapi radiasi atau tumor yang mengalami rekurensi.
Namun penatalaksanaan ini sering menimbulkan komplikasi yang berat pasca
operasi.25,28

Universitas Sumatera Utara

Pada pasien yang dilakukan terapi radiasi harus diberikan perawatan yang
bersifat paliatif. Pada pasien dengan tumor yang residif umumnya timbul metastasis
pada tulang, paru, hati atau otak.1,25,28

2.11. Prognosis
Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh
faktor usia (dimana pada usia muda umumnya prognosis lebih baik), stadium klinis,
dan lokasi metastasis regional (metastasis regional ipsilateral memiliki prognosis
lebih baik dibandingkan metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas pada
leher atas prognosisnya lebih baik dibandingkan metastasis pada leher bawah).
Prognosis lebih buruk pada KSCC dibandingkan dengan tipe tumor lainnya.1,4,22
Pada Nonkeratining carcinoma, prognosisnya buruk jika dijumpai anaplasia
dan atau plemorfisme, proliferasi sel yang tinggi (dihitung dengan mitosis atau
dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia), sedikitnya
jumlah sel radang limfosit, tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk
sel-sel dendritik, dijumpai banyak pembuluh darah kecil serta adanya ekspresi c-erb
B-2.1,4,22

2.12. Angiogenesis dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari
pembuluh darah yang telah ada. Angiogenesis merupakan hal yang penting dalam
perkembangan kanker, untuk mensuplai oksigen dan nutrisi sel-sel kanker, serta
ekstravasasi guna metastasis. Molekul pro-angiogenik berasal dari stroma yang

Universitas Sumatera Utara

diaktivasi oleh sel-sel kanker. Saat pertumbuhan tumor, TGF-β didukung oleh
Interleukin-8 (IL-8) dan basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) membentuk
molekul pro-angiogenik yang merupakan awal dari terjadinya angiogenesis.
Angiogenesis ini juga sangat dipengaruhi oleh Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) guna proliferasi sel endotel, motilitas dan permeabilitas vaskular. 3,29,30
Angiogenesis berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tumor dengan
mensekresi faktor pertumbuhan. Di antara faktor pertumbuhan ini, VEGF dianggap
sebagai faktor stimulasi pertumbuhan utama dalam angiogenesis yang berkaitan
dengan tumor.9,29
VEGF manusia terletak pada kromosom 6p21.3 dan berperan penting dalam
tahap awal pertumbuhan tumor dan neo-vaskularisasi. VEGF adalah mitogen yang
sangat spesifik untuk sel-sel endotel vaskular. Lima isoform VEGF dihasilkan
sebagai akibat dari alternative splicing gen VEGF tunggal. Isoform ini berbeda dalam
massa molekul dan sifat biologis seperti kemampuan mereka untuk berikatan dengan
cell-surface heparin-sulfate proteoglycans. Ekspresi VEGF pada sel-sel tumor
distimulasi oleh hipoksia, dengan mengaktifkan onkogen dan inaktivasi gen supresor
tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin. Sitokin adalah suatu molekul protein yang
dikeluarkan oleh sel ketika diaktifkan oleh antigen. VEGF menginduksi proliferasi sel
endotel, menaikkan migrasi sel, dan menghambat apoptosis. In vivo VEGF
menginduksi angiogenesis serta permeabilisasi pembuluh darah, dan memainkan
peran sentral dalam regulasi vasculogenesis. Ekspresi VEGF deregulasi memberikan
kontribusi untuk perkembangan tumor solid dengan mempromosikan angiogenesis
tumor dan etiologi beberapa penyakit tambahan yang ditandai dengan angiogenesis

Universitas Sumatera Utara

abnormal. Akibatnya, penghambatan sinyal VEGF menghambat perkembangan
berbagai tumor. Berbagai bentuk VEGF berikatan dengan dua reseptor tirosin kinase,
yaitu VEGFR-1 (flt-1) dan VEGFR-2 (KDR /-Flk 1), yang terkespresi dalam sel
endotel. Selain itu sel endotel juga mengekspresikan neuropilin-1 dan neuropilin-2
coreceptors, yang berikatan secara selektif dengan asam amino 165 VEGF
(VEGF165).9,31,32
Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan
prognosis buruk pada berbagai macam tumor, termasuk karsinoma kolorektal,
karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan
melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan karsinoma ovarium.
Percobaan in vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi VEGF
berhubungan dengan pertumbuhan tumor dan metastasis, sedangkan penghambatan
ekspresi VEGF menyebabkan penekanan pertumbuhan tumor dan tumor yang
diinduksi angiogenesis.3,9
Beberapa penelitian pada berbagai jenis kanker telah mengkonfirmasi bahwa
overekspresi VEGF sangat berhubungan dengan metastasis, angka kekambuhan dan
ketahanan hidup, termasuk pada karsinoma nasofaring.3,10

2.13. Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs)
TILs adalah sel-sel darah putih yang telah meninggalkan aliran darah dan
bermigrasi ke dalam tumor, merupakan populasi heterogen yang terutama terdiri dari
limfosit T, limfosit B dan natural killer cell (NK cell). Sel T merupakan sel-sel yang
paling banyak, dan ditemukan pada stroma serta pada tumor itu sendiri. Beberapa

Universitas Sumatera Utara

penelitian menyebutkan bahwa TILs dapat menjadi salah satu biomarker potensial
untuk prognosis suatu keganasan. Namun, hal ini masih dalam perdebatan. 10,11 Awal
tahun 1922, McCarfy et al. menjelaskan konsep TILs, dan menganggap bahwa
infiltrasi limfosit ke jaringan tumor sebagai aktivitas antitumor dari sistem imun. 12
Korelasi antara TILs dan keadaan klinis telah diteliti pada banyak keganasan, seperti
karsinoma paru-paru, karsinoma kolorektal, karsinoma payudara, melanoma,
karsinoma ovarium, karsinoma pankreas dan sebagainya.33
Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) sering ditemukan pada tumor,
menunjukkan bahwa tumor memicu respon imun pada host. Hal ini disebut
imunogenisitas tumor yang dimediasi oleh antigen tumor. Antigen inilah yang
membedakan tumor dari sel normal, sehingga memberikan stimulus imunologi. 34
Konsep imunoediting menggambarkan bagaimana sistem kekebalan tubuh dan
sel tumor berinteraksi selama perkembangan kanker. Ini terdiri dari tiga tahap yang
berbeda, disebut 'the three E’s', yaitu elimination, equilibrium dan escape.
Elimination memerlukan pemusnahan lengkap sel tumor oleh limfosit T. Dalam
equilibrium, muncul populasi sel tumor yang immune-resistant. Secara serentak, ada
tekanan imunologi yang tak henti-hentinya pada sel tumor yang non-resistant. Fase
ini dapat bertahan selama bertahun-tahun. Akhirnya, selama tahap escape, tumor
telah mengembangkan strategi untuk menghindari deteksi imun atau kerusakan. Hal
ini mungkin mengakibatkan hilangnya antigen tumor, sekresi penghambatan
cytokines, atau down-regulation molekul major histocompatibility complex. Selain
itu, antigen mungkin tidak efektif disajikan kepada sistem imun, yaitu tanpa
kesesuaian co-stimulation, yang menghasilkan toleransi imunologi.11,34

Universitas Sumatera Utara

Untuk tujuan diagnostik dengan pewarnaan Hematoxilin-Eosin (HE),
penelitian yang terbaru menyatakan bahwa stromal TILs merupakan parameter yang
superior dan lebih reproducible. Sedangkan intratumoral TILs lebih heterogenous dan
sulit untuk diobservasi pada pewarnaan HE tanpa menggunakan pewarnaan
imunohistokimia atau immunofluorescense.12

2.14. Kerangka Teori

Karsinoma nasofaring

Tipe
histopatologi

- Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF)
- Tumor-infiltrating
lymphocytes (TILs)

Stadium
klinis

Prognosis

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada Karsinoma Hidung Dan Sinus Paranasal

3 55 106

Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

0 47 7

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring

4 96 99

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 18

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 2

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 5

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring Chapter III V

0 0 31

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 3

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 13

Hubungan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor-A (VEGF A) dengan Derajat Histopatologi dan Potensi Metastasis

0 0 5