Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring

(1)

EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH

FACTOR PADA KARSINOMA NASOFARING

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh

M. PAHALA HANAFI HARAHAP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH dan mantan dekan Prof. Sutomo Kasiman, dr, Sp.JP (K) dan Prof. T. Bahri Anwar, dr, Sp.JP (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan,


(3)

bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan, arahan, dorongan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) sebagai pembimbing utama tesis, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K) dan dr. Farhat, Sp.THT-KL sebagai pembimbing pendamping tesis, yang telah banyak memberikan waktu, bimbingan, arahan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL (K), Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, KL (K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K), dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni, Sp.THT-KL (K), dr. Ida Sjailendrawati H, Sp.THT-KL, dr. Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL, dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.


(4)

Yang terhormat Prof. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, dr, Sp. PA(K), para staf Departemen Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan di bidang patologi anatomi terutama mengenai pemeriksaan imunohistokimia dalam penulisan tesis ini.

Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dalam pengolahan data tesis ini.

Bapak Kepala Departemen/Staf Radiologi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menjalani stase pendidikan di Departemen tersebut.

Direktur dan seluruh staf THT-KL RSUD Lubuk Pakam, RS PTP XI Tembakau Deli Medan, Rumah Sakit DAM-I/Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis untuk belajar selama pendidikan di rumah sakit tersebut.

Kedua orangtua tercinta, Ibunda Salismi dan ayahanda dr. Amran Harahap, serta kakak dan adik penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Istriku Ns. Cholina Trisa Siregar MKep. Sp. KMB terima kasih atas dukungan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Ananda M. Faiz Zuhairi Harahap yang terus memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis ini.


(5)

Teman-teman sejawat peserta pendidikan Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala Leher terima kasih atas persahabatan dan kerjasama yang terjalin selama mengikuti pendidikan.

Paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu dan bekerja sama selama penulis menjalani pendidikan.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.

Medan, Maret 2009


(6)

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring

Abstrak

Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosa pada stadium lanjut, sehingga angka survival rendah dan prognosis penderita jelek. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam progresivitas tumor dan metastase tumor adalah overekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan penting dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian ini dilakukan untuk melihat ekspresi VEGF pada KNF, serta melihat hubungan ekspresi VEGF dengan stadium dan jenis histopatologi KNF.

Metode Penelitian : Penelitian dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, secara non probability consecutive sampling mulai Maret 2008. Terhadap penderita KNF dilakukan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari jaringan nasofaring yang diperoleh dari biopsi. Ekspresi VEGF dinilai pada sitoplasma yang terwarnai merah kecoklatan . Data dianalisa dengan uji korelasi Spearman dan uji chi square dengan batas kebermaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian : Sebanyak 21 dari 28 kasus KNF (75,0%) memiliki ekspresi VEGF positif. Overekspresi VEGF dijumpai pada 10 dari 28 kasus KNF (35,7%). Tidak dijumpai korelasi yang bermakna antara stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF (p > 0,05). Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF (p > 0,05)


(7)

Kesimpulan : Ekspresi VEGF cukup tinggi pada penderita KNF. Kemungkinan VEGF berperan dalam proses angiogenesis pada KNF.

Kata Kunci : KNF, VEGF, stadium, histopatologi

Abstract

Background : Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a malignancy that tend to diagnosed at advanced stage with low survival and prognosis rate. One of the factor that may play a role in progresivity and metastasis of tumour is overexpression of vascular endothelial growth factor (VEGF) which is a key role in tumour angiogenesis. The aim of this study is to learn the expression of VEGF in NPC, and to learn the association of VEGF expression with tumour stage and histopathologic type of NPC.

Study design and methods : This is a cross sectional study performed in ENT-HNS Department of Medical School of University of North Sumatera / H. Adam Malik Hospital. Sample was collected by non probability consecutive sampling, starting from March 2008. NPC patients underwent histophatologic examination and immunohistochemical analysis from nasopharyngeal biopsy. VEGF expression analysed by red-brown stained cytoplasm. Data was analysed by Spearman’s correlation test and chi square test.

Results : VEGF positive expression was found in 21 of 28 (75.0%) NPC cases. VEGF overexpression was found in 10 of 28 (35.7%) NPC cases. No significance correlation found between tumour stage and VEGF expression (p > 0.05). No significance association found between histophatologic type and VEGF expression (p > 0.05).


(8)

Conclusions : VEGF expression is relatively high in NPC patient. VEGF may play a role in the angiogenesis of NPC.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB 1: PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 5

1.3.1. Tujuan Umum... 5

1.3.2. Tujuan Khusus... . 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1. Manfaat Teoritik... 6

1.4.2. Manfaat Praktis... 6

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Karsinoma Nasofaring... 7

2.1.1 Anatomi Nasofaring... 7

2.1.2 Epidemiologi... 9

2.1.3 Etiologi... 11

2.1.4 Gejala Klinik... 15

2.1.5 Diagnosis... 18

2.1.6 Histopatologi dan Stadium... 25

2.1.7 Terapi... 28

2.2 Vascular Endothelial Growth Factor... 34

2.2.1 Angiogenesis... 34

2.2.2 Angiogenesis Yang Diinduksi Tumor... 35

2.2.3 Famili VEGF... 38

2.2.4 Reseptor VEGF... 39

2.2.5 Peran VEGF Pada Angiogenesis... 41

2.2.6 Regulasi VEGF... 45

2.2.7 Overekspresi VEGF... 46

2.2.8 Anti VEGF... 51


(10)

BAB 4 : METODE PENELITIAN ... ……… 55

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 55

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 55

4.2.1 Populasi... ... 55

4.2.2. Sampel ... 55

4.2.3. Besar Sampel ... ... 56

4.2.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 57

4.3. Variabel Penelitian ... ... 57

4.3.1. Klasifikasi Variabel Penelitian... 57

4.3.2. Definisi Operasional Variabel... . 57

4.4. Bahan Penelitian ... 58

4.5. Instrumen Penelitian... 58

4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian... 60

4.7 Kerangka Kerja... 61

4.8 Pelaksanaan Penelitian... 62

4.9 Analisa Data... 62

BAB 5 : ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 63

BAB 6 : PEMBAHASAN ... 69

BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN... 81

7.1. Kesimpulan... 81

7.2. Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA... 82

LAMPIRAN... 87

Lampiran 1. Data Sampel Penelitian ... ... 87

Lampiran 2. Status Penelitian ... 88

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian... 92

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan... 94

Lampiran 5. Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 95


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham, 2005; Brennan, 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk (Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511 penderita baru KNF (Roezin, 1995). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli 2005 – 30 Juni 2006 ditemukan 79 orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007).

Diagnosis dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar dicapai karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak maupun leher (Roezin, 1995). Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada stadium I dan II, dimana belum terjadi metastase regional. Keadaan ini sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dari beberapa penyelidikan di


(12)

Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan antara 3,8%-13,9%, dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar 88,1%-96,2% (Soetjipto, 1993). Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan stadium dini (Aliandri, 2007).

Radioterapi tetap merupakan modalitas terapi primer terhadap KNF (Cottrill dan Nutting, 2005; Wei dan Sham, 2005). Penderita dengan stadium I dan II mempunyai angka kesembuhan tinggi dengan pemberian radioterapi saja, dimana prognosis bagi penderita dengan metastase jauh masih buruk. Bagi penderita dengan stadium III dan IV, peran pembedahan terbatas dan pemberian radioterapi yang dikombinasikan dengan kemoterapi telah menjadi standar terapi (Agulnik dan Siu, 2005). Akan tetapi, regimen obat kemoterapi yang optimal untuk dikombinasikan dengan radioterapi masih kontroversial. Beberapa studi random telah dilakukan untuk mengevaluasi pemberian kemoterapi neoadjuvan, concurrent dan adjuvan dalam berbagai kombinasi dengan radioterapi (Cottrill dan Nutting, 2003; Agulnik dan Siu, 2005).

Kanker yang kecil pada KNF memiliki angka survival yang tinggi dengan pemberian radioterapi dan kemoterapi sekitar 80%-90%. Lesi yang lebih luas tanpa penyebaran ke kelenjar limfe leher sering dapat disembuhkan dengan angka survival 50%-70%. Penderita dengan lesi lanjut, terutama dengan penyebaran ke kelenjar limfe leher, keterlibatan syaraf kranial dan destruksi tulang, sulit dilakukan kontrol lokal dengan radioterapi dengan / tanpa pembedahan dan sering berkembang menjadi metastase jauh. Walau rekurensi biasanya terjadi dalam 5 tahun setelah diagnosis, dapat pula terjadi dengan interval yang lebih lama (Cho, 2007).


(13)

Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF : EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastase tumor (Agulnik dan Siu, 2005).

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Dalam kondisi patologi, angiogenesis dibutuhkan pada proses pertumbuhan tumor solid dan pada proses metastase (Rosen, 2002; Medinger dan Drevs, 2005; Hicklin dan Ellis, 2005). Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor antiangiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). VEGF berperan penting dalam angiogenesis tumor. Ekspresi VEGF dalam sel-sel tumor distimulasi oleh hipoksia, onkogen (ras) dan inaktivasi gen supresor tumor (p53) dan oleh berbagai sitokin (Rosen, 2002). Aktivasi aksis VEGF/VEGF reseptor (VEGFR) memicu jaringan sinyal multipel yang menghasilkan survival sel endotel, mitogenesis, migrasi, diferensiasi dan permeabilitas


(14)

vaskular serta mobilisasi sel-sel progenitor endotel dari sumsum tulang ke sirkulasi perifer (Hicklin dan Ellis, 2005).

Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma kolorektal, karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF dibandingkan antara sampel jaringan yang diambil dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai ekspresi VEGF 10%, 40% dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan terhadap KNF stadium dini (dikutip oleh Agulnik dan Siu, 2005 dari Guang Wu, 2000). Satu studi di China dari 127 spesimen KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF 66,9% (Sha dan He, 2006). Penelitian di India didapati overekspresi VEGF 67% dari 103 penderita KNF (Khrisna et al. 2006). Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF pada seluruh sampel (Soo et al. 2005).

Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF/VEGFR telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005). Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang lebih baik daripada pemberian kemoterapi/radioterapi sendiri (Ferrara et al. 2004).


(15)

Di Departemen THT KL FK USU/RSUP HAM, penderita KNF sebagian besar datang dengan stadium lanjut (Stadium III dan IV). Penderita KNF stadium lanjut memiliki prognosa yang jelek, dengan kemungkinan besar terjadi rekurensi dan metastase jauh. Peneliti tertarik untuk mengetahui ekspresi VEGF pada KNF, dimana overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas dan prognosis tumor yang buruk.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

1.3.2Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui ekspresi VEGF pada penderita KNF

1.3.2.2 Mengetahui hubungan stadium tumor dengan ekspresi VEGF pada KNF 1.3.2.3 Mengetahui hubungan jenis histopatologi dengan ekspresi VEGF pada KNF

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat teoritik

Dapat memahami peran VEGF pada KNF dalam progresivitas dan prognosis penyakit.

1.4.2Manfaat praktis

Sebagai dasar penelitian selanjutnya dalam pemberian anti VEGF terhadap KNF untuk meningkatkan efek terapi dasar KNF di masa datang.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring 2.1.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Permukaan dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh badan sfenoid, basioksiput dan vertebra cervical I dan II hingga batas palatum mole. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Atap dan dinding posterior nasofaring

Bagian atap melandai yang menyatu dengan dinding posterior. Keduanya dibentuk oleh lantai sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen lacerum di lateral. Sinus kavernosus dengan arteri karotis interna dan syaraf kranial III, IV, V dan VI terletak di atas foramen laserum pada kedua sisi. Dinding posterior menutupi bagian basilar tulang oksipital dan arkus anterior atlas di inferior. Dibagian atas dinding posterior melekat jaringan limfoid pada membran mukosa (tonsil nasofaring atau adenoid). Fascia prevertebra dan otot memisahkan adenoid dengan tulang vertebra (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).


(17)

Dinding lateral nasofaring

Tuba Eustachius bermuara ke nasofaring melalui dinding lateral. Tuba dibentuk oleh fascia faringobasilar yang diperkuat di inferior oleh otot konstriktor superior. Dilihat dari cavum nasi, aspek anterior dan aspek posterior orificium tuba Eustachius ditandai dengan elevasi kartilago tuba, dimana di belakangnya terletak fossa Rosenmuller. Di sebelah dalam dinding lateral terdapat ruang parafaring yang berisikan arteri karotis interna, syaraf kranial IX, X, XI dan XII, vena jugularis interna dan kelenjar limfe retrofaring (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

Fascia faring dan jaringan ikat foramen laserum menyebabkan kerentanan terhadap invasi langsung tumor ganas nasofaring. Keadaan ini serta seringnya keterlibatan kelenjar limfe retrofaring menjelaskan seringnya keterlibatan syaraf kranial (Cottrill dan Nutting, 2003).

Dasar nasofaring

Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan superior palatum molle, yang berhubungan dengan spingter palatofaring berperan untuk menutup ismus faring saat menelan, memisahkan nasofaring dengan orofaring di bawahnya (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

Saluran limfe dan persyarafan nasofaring

Mukosa terbentuk dari beberapa lipatan otot dibawahnya dan mengandung berbagai kumpulan jaringan limfoid. Jaringan limfoid yang paling menonjol, terutama pada anak-anak, adalah tonsil faringeal (adenoid) yang terletak di garis tengah dan


(18)

menonjol ke depan dari pertemuan atap dan dinding posterior. Lokasi aliran limfe kelompok pertama adalah kelenjar retrofaring yang terletak di ruang antara dinding nasofaring posterior, fascia faringobasilar dan fascia prevertebra. Kelompok kelenjar Rouviere (node of Rouviere) membentuk kelompok kelenjar lateral utama. Kelenjar tersebut terletak di anterior sebelah lateral atlas di batas lateral m. capitis longus, sebelah anteromedial arteri karotis interna. Pembuluh eferen mengalir ke rantai jugular interna dalam pada bagian paling atas di dasar tengkorak di ruang kompartemen parafaring retrostiloid disebelah dalam ujung atas otot sternomastoid. Kelenjar ini kemudian mengalir ke bawah di posterior dari kelompok syaraf aksesorius dan di anterior kelompok jugulodigastrik. (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

Suplai syaraf ke mukosa nasofaring berasal dari n. trigeminal divisi maksilla melalui cabang kecil, n. faringeal yang berasal dari fossa pterigopalatina, di dekat ganglion pterigopalatina (Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Wei dan Sham, 2005; Brennan 2006). Di Indonesia KNF merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak ditemukan. Menurut data patologi tahun 1990 KNF menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980 (Roezin, 1995). Penelitian Fachiroh di Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk


(19)

(Fachiroh et al. 2004). Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511 penderita baru KNF (Roezin, 1997). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003). Sementara pada periode 1 Juli 2005 – 30 Juni 2006 ditemukan 79 orang penderita baru KNF (Aliandri, 2007).

Pada daerah Barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan insiden sekitar 0,5/100.000, dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan leher. Di Cina Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan angka insiden meningkat hingga 50/100.000. Perbedaan ini berhubungan dengan subtipe patologis, di Amerika Utara terdapat WHO tipe 1 (keratinizing squamous cell carcinoma) pada 68% kasus, sementara di Timur Jauh lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3. Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo dan Alaska, dan juga meningkat di Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cottrill dan Nutting, 2003).

Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda dari kanker kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V. Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih terdapat insidensi yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, sehingga didapati distribusi usia bimodal, dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003).


(20)

2.1.3 Etiologi

KNF kemungkinan merupakan hasil interaksi kompleks faktor-faktor genetik, virus dan lingkungan (Ganguly et al. 2003). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap KNF :

1. Infeksi virus Epstein-Barr

Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen compleks (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor (McDermott et al. 2001 Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting; 2003. Lutzky et al. 2008). Virus Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien KNF di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Sinyal RNA yang dikode VEB dengan metode hibridisasi in situ dijumpai pada hampir seluruh sel tumor, dimana RNA yang dikode VEB tidak dijumpai pada jaringan normal di sekitar tumor, kecuali pada jaringan limfoid yang terbatas. Lesi premaligna di epitel nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarankan bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB. Gen-gen laten spesifik VEB secara konsisten diekspresikan pada karsinoma nasofaring pada lesi awal dan lesi displastik. Protein viral laten (latent membrane protein 1 dan 2) memiliki efek yang substansial pada ekspresi gen selular dan pertumbuhan selular, menghasilkan pertumbuhan yang sangat invasif serta pertumbuhan yang ganas dari karsinoma (McDermott et al. 2001; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei dan Sham, 2005; Lutzky et al. 2008 ).


(21)

2. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa hanya konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Ganguly et al. 2003; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai bahan makanan yang diawetkan di China, Tunisia dan Greenland, dimana beberapa bahan makanan tersebut mengandung prekursor nitrosamin tingkat tinggi yang menghasilkan uap nitrosamin setelah dicerna di lambung (Chew, 1997).

3. Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup.

Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di Cina, Indonesia dan Kenya juga meningkatkan insiden KNF. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF di Hongkong (Chew, 1997; McDermott et al. 2001; Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan resiko KNF pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003).

4. Sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain : benzopyren, benzo anthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, asap rokok, dan beberapa ekstrak tumbuhan. Penelitian di Swedia menunjukkan pembuat gelas, pembuat sepatu, pembuat buku serta pekerja di pembakaran tanaman mempunyai risiko tinggi untuk KNF. Di Selandia Baru peningkatan resiko KNF terjadi pada pekerja kayu, penggergaji kayu dan pegawai kehutanan. Di China Selatan


(22)

suatu studi kasus kontrol menunjukkan resiko tinggi KNF pada pekerja yang terpapar bahan-bahan hasil pembakaran batu bara, arang, pengelasan serta bahan bakar cair (Chew, 1997; McDermott et al. 2001; Ganguly et al. 2003).

5. Ras dan keturunan.

Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal ataupun di perantauan. Insiden tertinggi terutama di Provinsi Guangdong dan Daerah Otonom Guangxi (Roezin, 1995; Chew, 1997; Ahmad, 2002). Insiden KNF tetap tinggi pada penduduk Cina yang berimigrasi ke Asia Tenggara atau Amerika Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang lahir di Cina Selatan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei dan Sham, 2005). Insiden sedang dijumpai pada ras Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina), Eskimo (Kanada, Alaska, Greenland) dan Afrika Utara. Insiden yang jauh lebih rendah daripada insiden di Asia dijumpai di Malta, Tunisia, Aljazair, Maroko dan Sudan, tetapi insiden tetap lebih tinggi daripada di Amerika dan Eropa (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003).

6. Radang kronis di nasofaring

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (McDermott, et al. 2001; Ahmad, 2002). Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung dan tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko terjadinya keganasan (McDermott, et al. 2001).


(23)

7. Profil HLA.

Hubungan antara profil HLA dan KNF ditemukan pada pasien KNF di berbagai negara. Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk kemungkinan faktor penyebab bagi orang Indonesia asli (Roezin, 1996; Ahmad, 2002). Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Delfitri M, 2007)

2.1.4 Gejala Klinik

Dari segi penderita gejala dini KNF tidak khas bahkan lebih banyak menyerupai gejala rhinitis atau sinusitis. Keluhan penderita KNF sering meragukan dan baru jelas setelah tumor membesar dan stadium sudah lanjut. Kesulitan ini akibat sulitnya pemeriksaan nasofaring (Ahmad, 2002).

Gejala yang timbul berhubungan erat dengan lokasi tumor di nasofaring dan derajat penyebaran. Gejala dini sering tidak disadari oleh penderita maupun dokter sendiri. Gejala yang sering ditemukan :

1. Pembesaran kelenjar leher

Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran


(24)

terdekat secara limfogen dari KNF. Kelenjar limfe retrofaring lateral (node of Rouviere) adalah penyaring limfatik pertama akan tetapi tidak dapat diraba. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastric dan kelenjar cervical posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar cervical tengah. Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri. Dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Thompson, 2005) 2. Gejala hidung

Gejala pada hidung dapat merupakan gejala dini KNF akan tetapi gejala ini tidak khas, karena dapat juga dijumpai pada penyakit infeksi biasa seperti rhinitis kronis atau sinusitis. Gejala dapat berupa ingus yang dinodai darah serta ludah yang bercampur darah saat membersihkan tenggorokan. Perdarahan dapat timbul berulang-ulang, jumlah sedikit, bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu atau terdapat garis-garis darah halus. Epistaksis biasanya dijumpai pada KNF stadium lanjut dengan atau tanpa erosi dasar tengkorak. Sumbat hidung biasanya gejala pada stadium lanjut. Jika dijumpai pada stadium dini biasanya akibat infeksi sekunder. Ozaena terjadi akibat nekrosis tumor dan merupakan ciri KNF stadium lanjut. (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003)

3. Gejala telinga

Dapat berupa gangguan pendengaran seperti tuli hantar, rasa penuh di telinga, seperti ada cairan, tinitus atau berdenging. Hal ini karena umumnya tumor pertama kali timbul di fossa Rosenmuller dan menyumbat muara tuba Eustachius. Gejala ini merupakan gejala dini KNF. Otitis media serosa dijumpai pada 41 % pasien dari 237


(25)

pasien KNF yang didiagnosa dini. Jika seorang Cina dewasa datang dengan keluhan ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Chew, 1997; Ahmad, 2002; Wei, 2006).

4. Gejala neurologis

a. Sindroma petrosfenoidal

Gejala timbul akibat perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen laserum. Syaraf kranial yang terlibat berturut-turut adalah : n.VI, n. III, n.IV sedang n. II paling akhir mengalami gangguan. Parese n. II menyebabkan gangguan visus. Parese n. III menyebabkan kelumpuhan m. levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis. Parese n. III, IV dan VI akan menyebabkan gangguan berupa diplopia karena syaraf-syaraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata. Parese n. V akan menimbulkan gejala parestesi atau hipestesi pada separuh wajah. Apabila semua syaraf grup anterior (n. II – n. VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002)

b. Sindroma parafaring

Gejala ini timbul akibat gangguan syaraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : n. IX : kesulitan menelan karena hemiparese m. konstriktor faringeus superior. N. X : gangguan motorik berupa afoni,


(26)

disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. N. XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle. N. XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah. N. VII dan n. VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).

5. Gejala akibat metastase jauh.

Sel-sel kanker dapat menjalar bersama aliran darah (hematogen) atau bersama aliran limfe (limfogen) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Metastase jauh dijumpai pada 3-6% penderita saat pertama kali datang, tetapi dapat berkembang hingga 40% dari penderita KNF. Organ yang sering dikenai adalah tulang (48%), diikuti paru (27%) dan hati (11%). Sumsum tulang jarang terlibat akan tetapi membawa prognosis yang buruk. Metastase kelenjar limfe diluar leher jarang terjadi dan biasanya timbul pada kasus relaps. Metastase jauh merupakan stadium lanjut dan KNF dengan prognosis buruk. (Chiesa dan Paoli, 2001; Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003).

2.1.5 Diagnosis

Dari sebuah penelitian pada 4768 penderita KNF, gejala yang dikeluhkan pada saat pertama datang adalah benjolan di leher (76%), gangguan hidung (73%), gangguan telinga (62%), sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas di wajah (8%), penurunan berat badan (7%) dan trismus (3%). Tanda klinis yang ditemukan saat diagnosa ditegakkan adalah pembesaran kelenjar getah bening leher


(27)

(75%) dan kelainan syaraf kranial (20%). Syaraf kranial yang sering terkena adalah syaraf kranial III, V, VI dan XII. Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT Scan atau MRI). Diagnosis pasti KNF ditegakkan melalui biopsi nasofaring yang didukung oleh visualisasi melalui endoskopi atau pencitraan dengan potongan lintang (Wei dan Sham, 2005).

Jika penderita datang dengan gejala KNF, penderita harus dievaluasi secara klinis adanya tanda-tanda fisik KNF (kelenjar limfe leher, cairan di telinga tengah, keterlibatan syaraf kranial). Anamnesa lengkap, terutama gejala neurologi dan keluhan yang menyarankan adanya metastase jauh sangat penting untuk ditanyakan kepada penderita. Karena radioterapi adalah terapi utama sangat penting untuk menanyakan faktor-faktor yang berpotensi terjadinya komplikasi yaitu riwayat radiasi sebelumnya, merokok, alkohol, gizi buruk dan kelainan gigi (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk penderita KNF : Untuk seluruh penderita :

- Nasofaringoskopi langsung dan biopsi pada tumor primer - Pemeriksaan darah

- Profil biokimia termasuk tes fungsi hati dan laktat dehidrogenase (LDH) - Serologi virus Epstein-Barr (IgA anti VCA, IgA anti EA)

- X-ray dada

- CT resolusi tinggi (dengan kontras intravena) atau scan MRI pada fossa cranii media, nasofaring, sinus paranasal, leher dan inlet dada


(28)

Untuk penderita dengan keterlibatan kelenjar limfe lanjut (N3) atau diduga adanya metastase jauh :

- Scan tulang dan radiografi polos pada daerah yang abnormal atau daerah yang menunjukkan gejala.

- Scan ultrasound hati (Cottrill dan Nutting, 2003). Pemeriksaan penunjang :

- Audiometri (jika ada indikasi klinis atau pada pemberian kemoterapi platinum)

- Bersihan kreatinin atau bersihan EDTA (pada pemberian kemoterapi platinum) (Cottrill dan Nutting, 2003).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus diarahkan ke cavum nasi dan nasofaring. Pemeriksaan tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin (rinoskopi posterior), tetapi variasi anatomi pada penderita akan menganggu evaluasi yang adekwat pada daerah nasofaring. Rinoskopi posterior juga dibatasi oleh refleks faring, kerjasama penderita dan ketidakmampuan membuka mulut. Akan tetapi, pemeriksaan dengan cermin masih tetap cara tercepat untuk menilai nasofaring. Dengan bantuan nasoendoskopi kaku atau nasoendoskopi fleksibel dapat dilihat perluasan tumor primer, yang dapat tumbuh eksofitik, atau tampak hanya berkurangnya batas dari fossa Rosenmuller. Perluasan ke palatum mole, dinding faring dan orofaring harus dilihat dengan inspeksi dan palpasi. Bukti adanya defisit syaraf kranial dapat dilihat dari paralise dan atrofi palatum atau lidah. Evaluasi lengkap syaraf kranial lainnya harus


(29)

dilakukan pemeriksaan visual dan pemeriksaan membran timpani (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006)

Biopsi nasofaring

Konfirmasi pasti diagnosa KNF diperoleh dengan hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Prosedur standar adalah biopsi transnasal dengan panduan endoskopi. Teleskop kaku Hopkins 0° dan 30° memberikan pandangan yang baik dari nasofaring. Jika terdapat deviasi septum, endoskop 70° dimasukkan melalui cavum nasi yang berlawanan dapat memberikan visualisasi tumor yang adekwat. Endoskop 70° yang dimasukkan di belakang palatum molle dapat memberikan visualisasi atap nasofaring dan kedua muara tuba Eustachius. Endoskop kaku tidak mempunyai jalur penghisap atau jalur biopsi. Darah dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang dengan penghisap terpisah untuk mendapatkan pandangan yang jelas pada daerah patologis. Forsep biopsi harus dimasukkan bersebelahan dengan endoskop untuk mendapatkan biopsi tumor dibawah pandangan langsung (Chew, 1997; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Endoskop fleksibel memberikan pemeriksaan yang teliti pada seluruh nasofaring, walau dimasukkan melalui satu sisi cavum nasi. Ujungnya dapat bermanuver di belakang septum nasi ke sisi sebelah. Endoskop ini memiliki jalur penghisap dan forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya untuk mengambil biopsi tumor dibawah pandangan langsung. Walaupun demikian, gambaran visual yang diperoleh dari endoskop fleksibel kurang baik dibandingkan endoskop kaku dan ukuran forsep biopsi kecil, sehingga pengambilan jaringan tidak optimal (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006)


(30)

Pada beberapa keadaan seperti : keadaan umum kurang baik, penderita tidak kooperatif, faring terlalu sensitif, trismus atau pada anak, dilakukan eksplorasi nasofaring dimana selain dilakukan biopsi, juga dilakukan kuretase daerah nasofaring. Hal ini juga dilakukan pada penderita yang telah dilakukan biopsi dengan anestesi lokal tetapi tidak menunjukkan hasil positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF (Ahmad, 2002).

Pada kasus KNF yang tidak dapat dikonfirmasi dengan biopsi endoskopi konvensional, dapat dilakukan biopsi aspirasi jarum halus di nasofaring. Tumor yang terletak dalam yang tidak dapat diambil dengan biopsi konvensional dapat dicapai oleh biopsi aspirasi jarum halus dengan hasil yang cukup akurat (Lubis, 1993).

Biopsi nasofaring tetap dilaksanakan walaupun tumor primer tidak terlihat di nasofaring pada keadaan :

1. Limfadenopati kelenjar leher akibat metastase tumor ganas.

2. Parese/paralise unilateral n.IV dan n.VI dengan sebab yang tidak jelas. 3. Asimetri nasofaring pada CT scan.

4. Terdapat 2 dari 3 gejala yaitu gejala telinga, gejala hidung dan gejala neurologis (Ahmad, 2002).

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos dapat menilai destruksi tulang dan massa jaringan lunak yang menutupi jalan nafas atas. Akan tetapi teknik ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan hanya sedikit memberikan keterangan tentang invasi dan perluasan tumor (Ahmad, 2002; Wei dan Sham, 2005).


(31)

Pemeriksaan fisik (termasuk endoskopi) dapat memberikan informasi yang bernilai mengenai keterlibatan mukosa dan perluasan tumor ke hidung dan orofaring, tetapi tidak dapat menilai perluasan ke dalam, erosi dasar tengkorak, atau penyebaran intrakranial, kecuali terdapat gejala dan tanda ekstensi yang luas melalui jalur tersebut (Wei dan Sham, 2005).

Pencitraan potong lintang telah meningkatkan efektivitas terapi pada penderita KNF. Pencitraan tumor primer yang sesuai sangat penting bukan hanya untuk menentukan stadium tetapi juga untuk perencanaan radioterapi yang akurat. Dalam menentukan stadium, CT dapat mengidentifikasi penyebaran paranasofaring yaitu jenis penyebaran yang paling sering pada KNF, dan dapat menunjukkan penyebaran perineural melalui foramen ovale yang merupakan jalur penyebaran intrakranial yang penting. Penyebaran perineural melalui foramen ovale juga diperhitungkan sebagai bukti CT adanya keterlibatan sinus kavernosa tanpa erosi dasar tengkorak (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005)

MRI lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI. Dalam penentuan stadium, MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya kecuali dijumpai erosi tulang yang terlibat. Infiltrasi ke sumsum tulang dihubungkan dengan peningkatan resiko metastase jauh. Pada suatu studi komparatif, lebih banyak penderita KNF didapati dengan stadium lebih tinggi


(32)

dengan pemeriksaan CT dibandingkan MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005).

Deteksi metastase jauh saat diagnosa dengan radiografi konvensional, CT dan MRI biasanya tidak berhasil. Beberapa laporan telah menyimpulkan bahwa scan tulang, scintigrafi hati, ultrasonografi abdominal dan biopsi sumsum tulang memiliki nilai yang kecil dalam pemeriksaan stadium rutin dan direkomendasikan untuk tidak digunakan (Wei dan Sham, 2005).

Saat digunakan untuk memonitor kondisi penderita setelah terapi, baik CT dan MRI memiliki sensitivitas rendah dan spesifisitas sedang dalam mendeteksi rekurensi tumor, walaupun secara umum MRI lebih baik dari CT dalam menunjukkan rekurensi tumor dan komplikasi post radiasi (Wei dan Sham, 2005).

Pemeriksaan Serologi

Virus Epstein-Barr dapat mempengaruhi manusia dalam berbagai bentuk. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan juga berhubungan dengan limfoma Burkitt dan KNF. VEB tergolong virus herpes dan antigen spesifik VEB dapat dikelompokkan menjadi antigen replikatif awal, antigen fase laten dan antigen akhir. Pada pasien KNF, antibodi imunoglobulin A (IgA) memberikan respon terhadap early antigen (EA) dari kelompok pertama, dan viral capsid antigen (VCA) dari kelompok ketiga memiliki nilai diagnostik. Keduanya juga berperan dalam skrining bagi penderita KNF asimtomatik pada populasi resiko tinggi. IgA anti VCA lebih sensitif tetapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Walau kurang spesifik, peninggian LDH serum juga berhubungan dengan metastase (Ahmad, 2000; Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).


(33)

2.1.6 Histopatologi dan Stadium

WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe :

Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi di atasnya.

Tipe 2 : differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, dimana diferensiasi skuamosa tidak terlihat pada mikroskop cahaya.

Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol. Batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran sinsitial.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Thompson, 2005; Wei dan Sham, 2005; Lutzky et al. 2008).

Terdapat berbagai klasifikasi untuk KNF, yang paling sering digunakan adalah menurut UICC (2002) dan Ho (1978). (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003).

Klasifikasi menurut AJCC/UICC 2002 : (Brennan, 2006) Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terbukti adanya tumor primer Tis Karsinoma in situ


(34)

Nasofaring

T1 Tumor terbatas di nasofaring

T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau rongga hidung T2a Tanpa perluasan ke daerah parafaring

T2b Dengan perluasan ke daerah parafaring

T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, rongga infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

KGB Regional (N)

NX KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastase ke KGB regional

N1 Metastase KGB unilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa supraklavikular.

N2 Metastase KGB bilateral, diameter terbesar kurang dari 6 cm, di atas fossa supraklavikular

N3 Metastase pada KGB :

N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular

Metastase Jauh (M)

Mx Metastase jauh tidak dapat dinilai M0 Tanpa metastase jauh


(35)

M1 Metastase jauh

Kelompok stadium :

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

IIA T2a N0 M0

IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0 M0

T2b N1 M0

III T1 N2 M0

T2a N2 M0

T2b N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB setiap T N3 M0


(36)

2.1.7 Terapi Radioterapi

Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi primer untuk KNF dan kelenjar regional yang membesar (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei dan Sham, 2005). Ini disebabkan lokasi nasofaring berdekatan dengan struktur yang penting, serta sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan sulit dilakukan. Selain itu KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay et al. 2006).

Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al. 2003; Lin, 2006)

Dosis radiasi untuk tumor primer biasanya diberikan 65-75 Gy dan pada kelenjar leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi profilaktik pada leher dengan kelenjar negatif adalah 50-60 Gy (Wei dan Sham, 2005). Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000 cGy pada tumor (Marzaini, 2002; Mould dan Tai, 2002; Licitra et al. 2003).

Dengan pemberian radioterapi saja telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0 dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Licitra et al. 2003; Lee, 2003; Wei, 2006).


(37)

Kemoterapi

Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum (neoadjuvan), selama (concurrent) atau setelah (adjuvan) pemberian kemoterapi. Regimen kemoterapi aktif antara lain : cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantron, methotrexate dan alkaloid vinca (Zakifman, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Lin, 2006).

Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosa KNF datang pada stadium III dan IV, dengan penyakit lokal lanjut tanpa metastase. Standar pengobatan adalah radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akan tetapi, waktu pemberian, dosis, durasi dan regimen obat kemoterapi yang optimal masih tetap kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Agulnik dan Siu, 2005; Lin, 2006).

Dasar pemberian kemoterapi neoadjuvan/induksi kemoterapi dengan radioterapi ada 2. Pertama : reduksi sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol lokoregional. Kedua : eradikasi mikrometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi relaps metastase jauh. Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concomitant) menawarkan potensi sensitisasi tumor terhadap radiasi dan juga kemungkinan eradikasi mikrometastase. Akan tetapi juga menawarkan peningkatan resiko toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvan yang diberikan setelah radioterapi adalah


(38)

tidak berperan secara signifikan terhadap kontrol lokoregional (Mould dan Tai, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003).

Berdasarkan berbagai uji random yang telah dipublikasikan dengan tujuan menilai penambahan kemoterapi pada radioterapi pada KNF lokal stadium lanjut, telah diambil persetujuan umum bahwa kemoradioterapi concurrent sangat berguna, secara konsisten menghasilkan keuntungan survival dibandingkan pemberian radioterapi saja, mencapai tingkat overall survival (OS) 5 tahun sebesar 70% (Agulnik dan Siu, 2005; Wei, 2006; Guigay et al. 2006).

Pemberian kemoterapi lanjutan terhadap kemoradioterapi concurrent, baik sebagai neoadjuvan ataupun adjuvan, diperkirakan akan memperkuat kontrol penyakit. Berdasarkan laporan-laporan terakhir, dipertimbangkan kombinasi kemoterapi induksi/neoadjuvan diikuti terapi concurrent. Penggabungan bahan-bahan antikanker terbaru yang kurang toksik dan lebih efektif seperti gemcitabine, taxane dan bahan-bahan target molekular sebagai kombinasi regimen modalitas memerlukan eksplorasi lebih lanjut dalam terapi KNF lokal stadium lanjut (Agulnik dan Siu, 2005)

Sampai sekarang, regimen dengan dasar platinum merupakan standar kemoterapi pada pasien KNF dengan metastase, dan terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai ratio respon 66%-76% (Guigay et al. 2006; Wei, 2006). Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel telah menunjukkan respon yang baik (Guigay et al. 2006).


(39)

Pembedahan

Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006; Lutzky et al. 2008).

Terapi Target Molekuler

Dengan tujuan untuk meningkatkan proporsi survival jangka panjang pada pasien KNF yang rekuren atau dengan metastase jauh, bahan sistemik yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan respon komplet. Dengan potensi indeks terapetik yang lebih tinggi, bahan-bahan target melokuler menampilkan senyawa-senyawa yang dapat melengkapi penggunaan kemoterapi konvensional (Agulnik dan Siu, 2005).

Beberapa target molekuler telah diidentifikasi dalam spesimen tumor penderita KNF. Ekspresi atau overekspresi reseptor-reseptor berikut telah dievaluasi pada KNF yaitu : EGFR, cKIT c-erbB-2 (HER-2) dan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor proangiogenik, yang berperan dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi dan metastase tumor (Agulnik dan Siu, 2005).

Saat ini target terapi dengan cetuximab (antibodi monoklonal EGFR) sedang dalam perkembangan untuk pasien KNF rekuren atau dengan metastase (Agulnik dan Siu, 2005; Guigay et al. 2006; Licitra et al. 2006). Terapi multitarget inhibitor tyrosine kinase VEGF untuk KNF dengan metastase telah menunjukkan aktivitas pada studi fase I (Guigay et al. 2006)


(40)

Manajemen Pada KNF Persisten atau Rekuren

Komplikasi lambat dapat timbul pada pasien yang bertahan hidup lama sebagai akibat radiasi pada daerah sekitar nasofaring dan kelenjar leher. Komplikasi yang dapat timbul yaitu pada neuroendokrin dan otologi, xerostomia, fibrosis jaringan lunak, stenosis arteri karotid. Komplikasi neurologi yang menyulitkan seperti nekrosis lobus temporal dan kelumpuhan syaraf kranial. Kemoterapi dengan cisplatin akan meningkatkan efek samping otologi (Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2006).

Remisi komplet KNF setelah terapi dapat dimonitor dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi dengan atau tanpa biopsi, dan pencitraan. Pemeriksaan dengan PET lebih baik dibandingkan dengan CT atau MRI untuk mendeteksi tumor yang persisten atau rekuren. Deteksi dini adanya relaps lokoregional sangat penting karena tumor ini masih dapat ditolong jika dideteksi dini. Pada kasus persisten, baik pada nasofaring ataupun kelenjar leher 10 minggu setelah terapi inisial telah komplet, dapat dipertimbangkan terapi penyelamatan (salvage treatment) (Wei, 2006).

Walau kemoradioterapi concomitant cukup efektif pada terapi KNF, kegagalan lokal atau regional sebagai tumor yang persisten atau rekuren dapat terjadi. Untuk mempertahankan tingkat survival yang tinggi dibutuhkan deteksi dan terapi dini. Berikut terapi yang dapat diberikan :

1. Tumor persisten atau rekuren pada kelenjar limfe leher : diseksi leher radikal, dapat ditambahkan dengan brakiterapi bila tumor telah menyebar keluar batas kelenjar leher.

2. Tumor persisten atau rekuren di nasofaring : radioterapi eksternal siklus kedua dengan dosis lebih besar, radioterapi stereotaktik, brakiterapi, nasofaringektomi,


(41)

radioterapi eksternal siklus kedua dikombinasi dengan kemoterapi concurrent ( Cottrill dan Nutting, 2003; Wei, 2003; Wei, 2006).

2.2 Vascular Endothelial Growth Factor 2.2.1 Angiogenesis

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi wanita (Josko et al. 2000; Rosen, 2002). Angiogenesis kompensatori ditunjukkan dengan pembentukan pembuluh darah kolateral jika terjadi kekurangan oksigen dan kekurangan nutrisi pada jaringan normal (Rosen, 2002). Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan pertumbuhan serta metastasis tumor (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003).

Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas ukuran 1-2 mm3 (Rosen, 2002). Angiogenesis diperlukan untuk suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik, mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh (Hicklin dan Ellis, 2005).

Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF, FGF, PDGF) dan faktor-faktor antiangiogenik (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Suatu tumor avaskular bergantung pada difusi pasif untuk suplai oksigen dan makanan serta untuk


(42)

pembuangan produk sisa. Kebutuhan tumor terhadap nutrien berkembang sesuai dengan volumenya, tetapi kemampuannya mengabsorbsi bahan-bahan melalui difusi dari jaringan sekitar sesuai dengan luas permukaan tumor. Karena itu tumor tumbuh hingga suatu ukuran maksimum hingga tumor mengalami defisiensi nutrien (biasanya di bagian tengah tumor, dimana tingkat nutrien paling rendah) yang akan manghambat proliferasi tumor hingga tumor berada dalam status diam. Hal ini membatasi ukuran tumor sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan angiogenik, termasuk VEGF. Tumor juga memproduksi inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF- . Mulanya inhibitor melebihi faktor pertumbuhan angiogenik dan sel endotel tetap diam. Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi ‘angiogenic switch’ menuju proses angiogenesis. (Plank dan Sleeman, 2003). ‘Angiogenic switch’ merupakan pertanda proses malignansi (Hicklin dan Ellis, 2005).

2.2.2 Angiogenesis Yang Diinduksi Tumor

Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan bahwa proses ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang ada dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses ini meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional, maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh. (Detmar, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005). Pada jaringan normal, kestabilan vaskular dipertahankan oleh pengaruh yang dominan dari inhibitor angiogenesis endogen


(43)

terhadap stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi oleh peningkatan sekresi faktor angiogenik dan/atau oleh penurunan regulasi inhibitor angiogenesis (Detmar, 2000).

Permulaan Angiogenesis

Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang diterima menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik (protease) yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Ada banyak jenis enzim proteolitik tersebut, tetapi secara garis besar dibagi menjadi matrix metalloproteases (MMPs) dan plasminogen activator (PA)/sistem plasmin. Target awal protease adalah membran dasar. Setelah terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui gap yang ada pada membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Sel-sel endotel sekitar akan bergerak mengisi gap pada membran dasar dan mengikuti sel-sel endotel sebelumnya menuju matriks ekstraseluler. Karena itu, fungsi pertama faktor pertumbuhan angiogenik adalah menstimulasi produksi protease oleh sel-sel endotel. Hal ini merupakan faktor kunci pada rangkaian angiogenesis, sebab tanpa adanya aktivitas proteolitik, sel-sel endotel akan dihambat oleh membran dasar hingga tidak dapat keluar dari kapiler (pembuluh) induk (Plank dan Sleeman, 2003).

Migrasi Sel Endotel, Proliferasi dan Pembentukan Pembuluh

Setelah ekstravasasi, sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan mendegradasi matriks ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi pembuluh


(44)

induk menuju tumor, membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya. Hal ini akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan memungkinkan dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa penting dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional, akan tetapi stimulus yang pasti terhadap perubahan arah tunas dan anastomosis masih belum diketahui (Plank dan Sleeman, 2003).

Fase Vaskular

Dalam fase vaskular, pada angiogenesis fisiologis, ketika jaringan target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik akan berkurang. Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan berhenti dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi. Ikatan yang kuat antar sel distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi protein (laminin, kolagen) untuk membentuk membran dasar. Akhirnya sel-sel penyokong periendotel (perisit) direkrut dan pembuluh darah baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya tidak terjadi pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah hipoksik di dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Selain itu, ketika daerah vaskularisasi yang baru pada tumor terus bertambah, akan melebihi suplai darahnya sendiri sehingga menimbulkan daerah hipoksik sendiri. Angiogenesis akan terus berlangsung dan kapiler-kapiler baru terus tumbuh, meningkatkan suplai darah ke tumor yang sekarang tumbuh pesat dan heterogen (Plank dan Sleeman, 2003).


(45)

Akan tetapi, berlanjutnya angiogenesis akan meningkatkan pertumbuhan tumor, yang akan membutuhkan suplai darah baru. Pada tumor yang sangat ganas, kebutuhan akan pembuluh darah baru biasanya tidak pernah terpenuhi (Plank dan Sleeman, 2003). Kapiler tumor biasanya tidak matang dan tidak stabil karena tidak terbentuknya membran dasar, disebabkan faktor angiogenik terus diproduksi. Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh dan berliku-liku (Plank dan Sleeman, 2003).

2.2.3 Famili VEGF

Famili VEGF yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF-A (biasa disebut VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan placenta growth factor (PlGF) (Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, ekspresi VEGF-A telah menunjukkan peran kuncinya dalam vaskulogenesis fisiologik dan angiogenesis. Pada tikus, delesi homozigot dan heterozigot pada gen VEGF secara embrionik letal, menimbulkan defek pada vaskulogenesis dan abnormalitas kardiovaskular. VEGF-A juga berperan penting dalam proses angiogenik postnatal, termasuk penyembuhan luka, ovulasi, menstruasi, mempertahankan tekanan darah serta kehamilan. VEGF-A juga telah dihubungkan dengan berbagai kondisi patologis yang berkaitan dengan peningkatan angiogenesis, seperti artritis, psoriasis, degenerasi makular dan retinopati diabetik (Hicklin dan Ellis, 2005).

Pada tikus, ketiadaan VEGF-B dan PlGF menunjukkan tidak ada defek pada vaskulogenesis embrionik atau abnormalitas perkembangan embrionik yang


(46)

menyarankan bahwa peran VEGF-B dan PlGF mungkin berlebihan. Akan tetapi tidak adanya PlGF akan mengganggu angiogenesis, ekstravasasi plasma, dan pertumbuhan kolateral saat iskemia, peradangan, penyembuhan luka dan pertumbuhan tumor yang menyarankan bahwa peran PlGF pada keadaan patologis yang terjadi pada orang dewasa (Hicklin dan Ellis, 2005).

Homolog VEGF yaitu VEGF-C dan VEGF-D memegang peran kunci pada limfangiogenesis saat embrionik dan postnatal. Delesi homozigot gen VEGF-C pada tikus bersifat letal embrionik dan delesi heterozigot akan menyebabkan defek postnatal yang berhubungan dengan defek perkembangan limfatik. VEGF-C dan VEGF-D mungkin juga berperan dalam pertumbuhan pembuluh darah baru, terutama pada keadaan patologik seperti pertumbuhan tumor. Akan tetapi perannya pada angiogenesis tumor masih belum jelas. VEGF-E bukan homolog VEGF mamalia, tetapi protein viral yang dikode virus Orf parapoxvirus (Hicklin dan Ellis, 2005; Guang, 2007).

2.2.4 Reseptor VEGF

Ligan VEGF menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua reseptor diidentifikasi pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase spesifik VEGFR-1 (fms-like tyrosine kinase1/Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3 (fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4) telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan proses limfangiogenesis (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

VEGFR-1 merupakan reseptor untuk VEGF-A dan mempunyai kemampuan untuk mengikat VEGF-B dan PlGF. VEGFR-1 sangat penting untuk angiogenesis fisiologik dan angiogenesis pertumbuhan. Beberapa studi juga mengindikasikan bahwa VEGFR-1


(47)

mempunyai peran fungsional positif pada beberapa tipe sel, yang berpartisipasi pada migrasi monosit, rekrutmen progenitor sel endotel, meningkatkan sifat adesif sel-sel natural killer, dan menginduksi faktor pertumbuhan dari sel-sel sinusoidal hati (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

Studi oleh Autiero dkk. menunjukkan aktivasi VEGFR-1 oleh PlGF menyebabkan transfosforilasi VEGFR-2 pada sel endotel sehingga terjadi koekspresi terhadap reseptor tersebut. Studi lain menunjukkan bahwa pada kondisi patologik seperti tumorigenesis, VEGFR-1 merupakan regulator angiogenesis yang positif dan poten. Bukti terakhir menyarankan fungsi VEGFR-1 berbeda sesuai tahap perkembangan, berbagai kondisi patologik dan fisiologik, dan tipe sel dimana dia diekspresikan (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

VEGFR-2 menengahi mayoritas efek akhir VEGF-A pada angiogenesis, termasuk permeabilitas mikrovaskular, proliferasi, invasi, migrasi dan survival sel endotel. Aktivasi spesifik VEGFR-2 dengan VEGF-E telah menunjukkan aktivitas sel endotel yang poten in vitro dan in vivo, dengan kuat menyokong gagasan bahwa aktivasi VEGFR-2 sendiri dapat secara efisien menstimulasi angiogenesis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, aktivasi dan sinyal VEGFR-2 dapat secara positif atau negatif dipengaruhi ko-ekspresi dan aktivasi VEGFR-1 (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006; Tabernero, 2007).

VEGFR-3 adalah reseptor tirosin kinase yang berasal dari klon lapisan sel leukemia dan plasenta manusia. VEGFR-3 condong berikatan dengan VEGF-C dan VEGF-D. VEGFR-3 diekspresikan melalui vaskulatur embrionik, tapi saat perkembangan dan ketika dewasa, ekspresinya terbatas pada sel-sel endotel limfatik. Pada manusia dewasa, VEGFR-3 dipercaya mempunyai berbagai peran : membantu perkembangan


(48)

kardiovaskular dan pembentukan jaringan vaskular primer saat embriogenesis, dan memfasilitasi limfangiogenesis ketika dewasa. Aktivasi dan peningkatan regulasi ligan VEGFR-3 telah diobservasi pada beberapa neoplasma, seperti kanker payudara dan melanoma, dengan peningkatan level VEGF-C dan VEGF-D yang berhubungan dengan metastase kelenjar limfe pada pasien. Inhibisi sinyal VEGFR-3 dengan menggunakan VEGFR-3 solubel menunjukkan pengurangan limfangiogenesis dan metastase kelenjar limfe tumor (Hicklin dan Ellis, 2005; Shibuya, 2006).

2.2.5 Peran VEGF Pada Angiogenesis

Vascular Endothelial Growth Factor merupakan golongan faktor angiogenik terbaik. Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan utama dibalik angiogenesis tumor dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas pokok sel endotel dalam angiogenesis yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi. VEGF mampu memicu ketiga proses tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel (VEGFR secara eksklusif terekspresi pada sel endotel). VEGF juga bertindak sebagai faktor survival sel endotel dengan menghambat apoptosis. (Rosen, 2002; Plank dan Sleeman, 2003). Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan permeabilitas vaskular 50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF mengaktivasi sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat mitogen terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel. VEGF juga menginduksi berbagai enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi membran dasar, yang berguna bagi sel endotel untuk


(49)

migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

Permeabilitas

VEGF sebenarnya ditemukan karena kemampuannya membuat vena dan vena kecil hiperpermeabel terhadap molekul makro dalam sirkulasi, sehingga pertama kali disebut sebagai vascular permeability factor (VPF). Faktanya VEGF salah satu penginduksi permeabilitas vaskular yang paling poten, 50.000 kali lebih poten dari histamin. Kemampuannya untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular merupakan salah satu peran yang paling penting untuk VEGF, terutama dengan mempertimbangkan hipermeabilitas pembuluh tumor yang diperkirakan berperan besar untuk ekspresi VEGF pada sel-sel tumor (Hicklin dan Ellis, 2005).

Mekanisme pasti bagaimana VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular belum sepenuhnya jelas. Studi terakhir menyarankan bahwa VEGF menginduksi permeabilitas mungkin dimediasi via jalur calcium dependent yang melibatkan produksi oksida nitrat dan aktivasi jalur Akt dan peningkatan cGMP, dengan aktivasi jalur Erk1/2 dengan cara stimulasi prostaglandin PGI2 (Hicklin dan Ellis, 2005).

Aktivasi Sel Endotel

VEGF menghasilkan berbagai efek yang berbeda pada sel-sel endotel dan endotel vaskular. Efek-efek tersebut termasuk perubahan dalam morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton, dan stimulasi pertumbuhan dan migrasi sel endotel. VEGF menyebabkan peningkatan ekspresi berbagai gen-gen sel endotel yang berbeda,


(50)

termasuk faktor jaringan prokoagulan; protein jalur fibrinolitik, termasuk urokinase, aktivator plasminogen tipe jaringan, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, dan urokinase inhibitor; matrix metalloprotease; GLUT-1 transporter glukosa; sintase oksida nitrat; integrin; dan berbagai mitogen (Hicklin dan Ellis, 2005).

Survival

VEGF pertama kali tampak bekerja sebagai faktor survival pada sel-sel endotel retina, dan sekarang telah menunjukkan kerjanya dalam menyokong survival beberapa macam sel-sel endotel baik in vitro dan in vivo. In vitro, telah menunjukkan bahwa VEGF menghambat apoptosis dengan mengaktivasi jalur PI3K-Akt yang juga meningkatkan regulasi protein antiapoptotik seperti bcl-2 dan A1; hal ini akan menhambat aktivasi caspase, dan meningkatkan regulasi anggota famili penghambat apoptosis termasuk survivin dan XIAP. VEGF juga mengaktivasi focal adhesion kinase (FAK) dan protein yang berhubungan yang telah menunjukkan kerjanya mempertahankan sinyal survival sel-sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

In vivo, injeksi VEGF eksogen dapat mempertahankan pembuluh retina yang belum matang dari kerusakan, dan ketergantungan terhadap VEGF telah didapati pada sel-sel endotel pembuluh tumor yang baru terbentuk, tetapi tidak didapati pada pembuluh tumor yang telah stabil (Hicklin dan Ellis, 2005).

Proliferasi

VEGF adalah suatu mitogen bagi sel-sel endotel. Proliferasi sel endotel ini tampaknya melibatkan aktivasi Erk1/2 kinase yang dimediasi VEGFR-2. Aktivitas


(51)

mitogenik VEGF mungkin juga melibatkan jalur protein kinase C, yang sebagian diregulasi oleh oksida nitrat. Walau peran mitogen VEGF penting bagi sel endotel, penting dicatat bahwa faktor angiogenik lain peran mitogennya bagi sel endotel lebih baik. Akan tetapi faktor angiogenik lain aktivitas pluripotennya kurang dibandingkan VEGF untuk proses-proses lainnya dalam angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

Invasi dan Migrasi

Degradasi membran dasar dibutuhkan untuk migrasi dan invasi sel endotel dan merupakan langkah awal yang penting dalam memulai angiogenesis. VEGF menginduksi berbagai macam enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi, termasuk matrix degrading metalloproteinases, metalloproteinase interstitial collagenase, dan serin protease seperti urokinase-type plasminogen activator (uPA) dan tissue-type plasminogen activator (TTPA). Aktivasi bahan-bahan tersebut mengarah ke lingkungan yang prodegradasi yang memfasilitasi migrasi dan pertunasan sel endotel (Hicklin dan Ellis, 2005).

Mekanisme intraselular dimana VEGF menyebabkan peningkatan migrasi sel endotel belum sepenuhnya dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan sinyal yang berhubungan dengan FAK yang menyebabkan pergantian adhesi fokal dan organisasi filamen actin serta reorganisasi actin yang diinduksi MAPK p38. Sebagai tambahan, telah diusulkan bahwa oksida nitrat juga berperan penting dalam migrasi sel endotel yang diinduksi VEGF. Oksida nitrat telah diimplikasikan dalam proses podokinesis sel endotel dan aktivasi sintase oksida nitrat endotel yang tergantung pada Akt yang dibutuhkan pada proses migrasi sel yang diinduksi VEGF (Hicklin dan Ellis, 2005).


(52)

2.2.6 Regulasi VEGF

Berbagai mekanisme dapat meregulasi ekspresi VEGF, yang paling penting adalah hipoksia. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1(HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut. Berbagai studi menunjukkan bahwa berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi ekspresi faktor angiogenik pada sel-sel tumor hingga menginduksi angiogenesis secara tidak langsung, seperti EGFR dan HER2, platelet-derived growth factor (PDGFs) dan COX-2. Beberapa onkogen berperan dalam regulasi VEGF, seperti c-src, BCR-ABL, dan ras. Gen supresor tumor p53 berperan penting dalam regulasi VEGF. Perubahan genetik yang terjadi pada p53 akan meningkatkan ekspresi VEGF (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005).

Hipoksia

Hipoksia berperan penting dalam regulasi ekspresi VEGF. Studi menunjukkan hypoxia inducible factor-1(HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut dan produk gen supresor tumor von Hippel Landau (vHL) juga berperan penting. Pada kondisi normal, HIF-g akan segera diturunkan melalui jalur proteosom-ubiquitin, suatu proses yang dikontrol oleh produk gen supresor tumor vHL. Dalam kondisi hipoksia, atau saat ketiadaan/bermutasinya vHL, HIF-g akan berdimerisasi dengan HIF- , dan kompleks ini bertranslokasi ke nukleus dan berikatan dengan promotor VEGF, menyebabkan peningkatan transkripsi VEGF (Neufeld et al. 1999; Kerbel, 2000; Hicklin dan Ellis, 2005, Tabernero, 2007).


(53)

Faktor Pertumbuhan dan Sitokin

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi ekspresi faktor angiogenik pada sel tumor sehingga secara tidak langsung menginduksi angiogenesis. Pentingnya sistem epidermal growth factor receptor (EGFR;ErbB1) dan HER2/neu (ErbB2) dalam regulasi VEGF dan angiogenesis telah divalidasi pada beberapa sistem tumor, termasuk karsinoma kolon, kanker pankreas, kanker lambung, kanker payudara, glioblastoma multiforme, kanker paru, dan karsinoma sel renal (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis; 2005; Tabernero, 2007).

Insulin-like growth factor-I receptor (IGF-IR) sering overekspresi pada beberapa kanker manusia, dan telah dihubungkan dengan agresivitas penyakit dan pembentukan metastase. Sistem model eksperimental telah menunjukkan pentingnya aktivasi sistem IGF-IR dalam menengahi angiogenesis dengan meningkatkan regulasi ekspresi VEGF pada kanker payudara, endometrium, pankreas dan kolorektal (Hicklin dan Ellis, 2005). Keluarga platelet-derived growth factors (PDGFs) memodulasi angiogenesis in vivo dengan meregulasi survival sel endotel dan pengambilan perisit/sel otot lunak vaskular, juga dengan menginduksi VEGF melalui beberapa sistem. Kerusakan sinyal paracrine PDGF receptor-alpha (PDGFR-g) di antara sel tumor dan fibroblas stroma pada suatu model sel tumor akan menghambat angiogenesis tumor dan pertumbuhan tumor. Temuan ini menunjukkan bahwa sinyal PDGFR-g penting dalam rekrutmen fibroblas stroma yang dihasilkan VEGF, dan menunjukkan pentingnya VEGF host untuk mempertahankan angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

Prostaglandin berperan penting dalam berbagai proses biologis, dan prostaglandin tertentu saat ini mempunyai implikasi dalam angiogenesis tumor melalui


(54)

peningkatan regulasi ekspresi VEGF. Prostaglandin-endoperoxide synthase (juga dikenal dengan cyclooxigenase [COX]) merupakan enzim terbatas yang terlibat dalam transformasi oksidatif asam arakidonat menjadi berbagai senyawa prostaglandin (Hicklin dan Ellis, 2005; Soo et al. 2005). Dalam dekade terakhir, berbagai studi telah mengkonfirmasi hubungan antara overekspresi COX-2 dan dan progresi tumor serta peningkatan angiogenesis (ekspresi VEGF) pada berbagai keganasan solid seperti kanker lambung, colon, prostat, payudara dan pankreas. Sebagai tambahan, beberapa studi in vivo menunjukkan COX-2 menengahi ekspresi VEGF pada berbagai lapisan sel, akan tetapi hal ini kemungkinan bergantung pada jenis tumor, karena penghambat COX-2 tidak mempunyai efek pada semua jenis tumor (Hicklin dan Ellis, 2005).

Murono et al. dalam penelitiannya menemukan bahwa LMP 1 menginduksi produksi VEGF sebagian melalui jalur COX-2. Terapi pada sel-sel KNF yang mengekspresikan LMP 1 dengan inhibitor spesifik COX-2 (NS-398) secara dramatis mengurangi produksi VEGF, membuktikan bahwa LMP 1 menginduksi produksi VEGF yang di mediasi oleh COX-2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa induksi COX-2 oleh LMP1 mungkin berperan dalam proses angiogenesis penderita KNF (Murono et al. 2001).

Lo et al. menemukan ekspresi protein vimentin dan VEGF meningkat pada lapisan sel epitel nasofaring yang diimortalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan regulasi gen VEGF dan vimentin diinduksi oleh LMP 1 (Lo AKF, 2003). Dinyatakan bahwasanya peningkatan transkripsi dan ekspresi VEGF pada sel-sel KNF terjadi melalui jalur JAK 3/STAT 3 (Zheng et al. 2007).


(55)

Onkogen dan Gen Supresor Tumor

Banyak onkogen telah mempunyai implikasi pada proses angiogenesis tumor solid, sebagian karena kemampuannya menginduksi faktor pertumbuhan angiogenik seperti VEGF. Protoonkogen c-src mengkode protein tyrosine kinase, yang terlibat dalam regulasi ekspresi VEGF dan dalam memajukan neovaskularisasi tumor yang sedang tumbuh. Onkogen BCR-ABL telah diidentifikasi mempunyai peran kunci dalam patogenesis molekular leukemia, yang telah dipertimbangkan sebagai keganasan yang tergantung pada angiogenesis (Hicklin dan Ellis, 2005).

Ekspresi onkogen Ras mutan merupakan salah satu perubahan genetik yang paling banyak terdeteksi, dan induksi ekspresi VEGF oleh onkogen H atau K ras mutan telah dilaporkan pada berbagai macam sel seperti kanker pankreas, kanker kolon dan kanker paru non small cell. Aktivasi ras juga bagian dari rangkaian sinyal yang diawali beberapa reseptor faktor pertumbuhan seperti EGFR, dan mungkin merupakan satu jalur sinyal penting dalam angiogenesis yang diinduksi faktor pertumbuhan serta ekspresi VEGF (Hicklin dan Ellis, 2005).

Salah satu gen supresor tumor yang paling intensif dipelajari dalam patologi molekular keganasan solid adalah p53, dan beberapa studi telah menunjukkan bahwa p53 mempunyai peran penting dalam regulasi VEGF pada tumor ganas. Perubahan genetik gen-gen supresor tumor , seperti p53, PTEN dan vHL dapat menginduksi aktivitas HIF-1 dalam jaringan tumor menyebabkan peningkatan VEGF (Neufeld et al. 1999; Hicklin dan Ellis, 2005).


(56)

2.2.7 Overekspresi VEGF

Overekspresi VEGF telah dihubungkan dengan progresivitas tumor dan prognosis buruk dalam berbagai macam tumor, termasuk karsinoma kolorektal, karsinoma lambung, karsinoma pankreas, kanker payudara, kanker paru dan melanoma, acute myeloid leukemia, karsinoma hepar dan kanker ovarium (Rosen, 2002; Hicklin dan Ellis, 2005). Ekspresi VEGF dibandingkan antara sampel jaringan yang diambil dari nasofaring normal, tumor jinak nasofaring dan KNF, dengan nilai ekspresi VEGF 10%, 40% dan 80%. Ekspresi VEGF meningkat pada KNF stadium lanjut dengan perbandingan statistik yang signifikan terhadap KNF stadium dini (dikutip oleh Agulnik, Siu, 2005 dari Guang Wu, 2000).

Penelitian oleh Hui dkk. menjumpai 54 dari 90 kasus KNF (60%) yang diperiksa secara imunohistokimia menunjukkan pewarnaan sitoplasma positif untuk VEGF. Disimpulkan overekspresi HIF-1g, CA IX dan VEGF umum dijumpai pada KNF, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan regulasi ekspresi akibat hipoksia yang melibatkan jalur yang bergantung pada HIF (Hui et al. 2002)

Satu studi di China untuk meneliti korelasi antara ekspresi VEGF, Flt-1 dan KDR dengan gambaran klinis dan prognosis penderita KNF. Dari 127 spesimen KNF dengan pemeriksaan imunohistokimia didapati nilai positif VEGF 66,9%, Flt-1 90,6% dan KDR 88,2%. Didapat kesimpulan bahwa VEGF, Flt-1 dan KDR terkspresi secara luas pada jaringan KNF, dan positif berhubungan dengan gambaran klinis dan prognosis penderita KNF (Sha dan He, 2006).

Penelitian di India untuk mengevaluasi korelasi antara ekspresi VEGF, status EBV dan rekurensi pada KNF. Didapati overekspresi VEGF 67% dari 103 penderita


(57)

KNF. Hasil penelitian mengarah kepada potensi pola ekspresi VEGF sebagai marker tumor untuk diagnosa dini metastase pada KNF dan adanya EBV berkaitan dengan peningkatan regulasi VEGF (Khrisna et al. 2006). Penelitian sebelumnya di Singapura dari 42 pasien KNF yang diperiksa secara imunohistokimia dijumpai overekspresi VEGF pada seluruh sampel (Soo et al. 2005).

Penelitian oleh Li dkk. di China menemukan ekspresi survivin dan VEGF secara signifikan berhubungan dengan stadium TNM pada KNF. Melalui pemeriksaan imunohistokimia, overekspresi VEGF dijumpai pada 86 dari 188 kasus KNF (45,7 %), sementara ekspresi rendah VEGF dijumpai pada 102 kasus (54,3%). Dari penelitian ini disimpulkan overekspresi survivin dan VEGF merupakan faktor prognostik independen pada pasien KNF (Li et al. 2008).

2.2.8 Anti VEGF

Karena peran sentralnya dalam angiogenesis tumor, jalur VEGF/VEGFR telah menjadi fokus utama riset dasar dan pengembangan obat-obatan di bidang onkologi (Hicklin dan Ellis, 2005). Berbagai strategi untuk anti VEGF telah dikembangkan, termasuk antibodi yang menetralisir VEGF atau VEGFR, hibrida VEGF/VEGFR yang terlarut, inhibitor tirosin kinase terhadap VEGFR, agen yang menghambat sinyal VEGFR (Rosen, 2002; Ferrara et al. 2004; Hicklin dan Ellis, 2005). Dari beberapa penelitian telah disimpulkan kombinasi anti VEGF dengan kemoterapi atau radioterapi menghasilkan efek antitumor yang lebih baik daripada pemberian kemoterapi/radioterapi sendiri. Antibodi anti VEGF bevacizumab (dikombinasi dengan kemoterapi) merupakan


(58)

agen anti VEGF pertama yang disetujui FDA sebagai lini pertama untuk terapi kanker kolorektal disertai metastase (Ferrara et al. 2004; Hicklin dan Ellis, 2005).

Ketergantungan pertumbuhan dan metastasis tumor terhadap pembuluh darah menyebabkan angiogenesis tumor menjadi target rasional untuk terapi. Berbagai strategi telah dilakukan untuk menghambat neovaskularisasi dan/atau menghancurkan pembuluh tumor yang telah ada, termasuk target langsung pada sel-sel endotel, dan target tidak langsung dengan menghambat pelepasan faktor-faktor pertumbuhan proangiogenik oleh sel-sel kanker atau stroma. Penambahan antibodi spesifik VEGF, bevacizumab terhadap regimen sitotoksik, telah meningkatkan overall survival (OS) pada pasien-pasien kanker kolorektal dan kanker paru yang belum mendapat terapi dan pada pasien kanker kolorektal yang telah diterapi sebelumnya, dan juga telah meningkatkan progression-free survival (PFS) pada pasien kanker payudara yang belum mendapat terapi. Pemberian terapi tunggal menggunakan regimen multitarget yang mempunyai spektrum yang lebih luas (sorafenib) dalam menghambat efek reseptor VEGF serta beberapa jalur faktor pertumbuhan pada sel kanker telah menghasilkan perpanjangan PFS yang signifikan pada pasien kanker sel renal dan tumor stromal gastrointestinal. Selain itu, beberapa bahan dengan target pada jalur sinyal onkogenik (seperti antibodi spesifik EGFR/HER2 cetuximab atau trastuzumab) yang secara tidak langsung menghambat angiogenesis, telah menunjukkan peningkatan OS dengan kemoterapi dalam uji klinis dan telah diizinkan penggunaannya pada manusia di Eropa dan Amerika (Jain, et al. 2006; Homsi dan Daud, 2007; Tabernero, 2007).


(1)

Foto Rontgen :

Foto thorak :

CT - Scan :

Audiogram :

HISTOPATOLOGI Aspirasi biopsi

Biopsi jaringan

STAGING TUMOR (TNM) T 1 2 3 4 N 0 1 2 3 M 0 1

EKSPRESI VEGF 0 1 2 3


(2)

Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN

Assalamualaikum wr. wb. / Selamat pagi.

Saya dr. M. Pahala yang sedang menjalani pendididikan spesialis THT di RSUP HAM. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk melihat adanya satu zat yang menyebabkan bertambahnya pembuluh darah pada kanker yang berada di hidung bagian belakang.

Dalam penelitian ini Anda akan menjalani pemeriksaan jaringan yang diambil dari hidung bagian belakang untuk memastikan diagnosa dan jenis kanker hidung bagian belakang, sebab dari gejala dan tanda hasil pemeriksaan THT yang kami lakukan Anda diduga menderita kanker tesebut. Pada saat yang bersamaan jaringan yang telah diambil tadi kami lakukan pemeriksaan satu zat yang menyebabkan bertambahnya pembuluh darah pada kanker tersebut. Jika jumlah zat tersebut meningkat merupakan pertanda bahwa keadaan penyakit Anda lebih buruk dan ketahanan hidup lebih rendah. Kemungkinan komplikasi adalah perdarahan, jika terjadi dapat dihentikan dengan pemasangan tampon di hidung. Sebagai kompensasi biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi perdarahan akan ditanggung oleh peneliti.

Dengan mengikuti penelitian ini, akan dapat ditentukan apakah zat yang kami periksa berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kanker tersebut, sehingga dapat mengetahui keadaan penyakit yang Anda derita. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan obat terhadap zat tersebut sehingga kualitas hidup penderita kanker hidung bagian belakang ini dapat lebih baik.

Saya akan mencatat identitas Anda (nama, alamat, usia, suku, jenis kelamin, nomor rekam medis), gejala dan tanda penyakit yang Anda derita pada lembaran penelitian. Selanjutnya saya akan mencatat hasil pemeriksaan jaringan, pembacaan foto rongen Scan , ukuran benjolan di leher bila ada, serta hasil pemeriksaan zat tersebut.


(3)

makan siang kepada Anda.

Pada penelitian identitas Anda disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti, dan anggota komisi etik yang bisa melihat data Anda. Kerahasiaan data Anda akan dijamin sepenuhnya. Bila data Anda dipublikasikan kerahasiaan tetap dijaga.

Jika terjadi keluhan setelah pengambilan jaringan atau untuk mendapat keterangan lebih lanjut, Anda dapat menghubungi saya dr. M. Pahala Harahap di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan dari jam 8.00 – 14.00 WIB, atau pada no 061-7030071/08126536585, Jl. Tanah Lapang Kecil no. 11 Medan. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan Anda.


(4)

Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Saya yang namanya tersebut di bawah ini Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Alamat :

Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan Saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila Saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti

Medan, / / 20

Dokter peneliti Peserta Penelitian

Dr. M. Pahala H. Harahap _______________________ Dept. THT-KL RSUP-HAM

Jl. Tanah Lapang Kecil 11 Medan Telp : 061-7030071/08126536585


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : M. Pahala Hanafi Harahap, dr

Tempat/ Tanggal lahir : Medan, 16 Juni 1974

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Nama Istri : Ns. Cholina Trisa Siregar, MKep. Sp.KMB

Nama Anak : M. Faiz Zuhairi Harahap

Alamat : Jl. Tanah Lapang Kecil no. 11 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1980 – 1986 : SD Kemala Bhayangkari Medan

1986 – 1989 : SMP Negeri 1 Medan

1989 – 1992 : SMA Negeri 1 Medan

1994 – 2000 : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

2004 – 2009 : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher Fak. Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

RIWAYAT PEKERJAAN

2000 – 2003 : Dokter PTT Puskesmas Singkuang, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal,


Dokumen yang terkait

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada Karsinoma Hidung Dan Sinus Paranasal

3 55 106

Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring

0 47 7

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 18

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 2

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 5

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 23

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 3

Hubungan Ekspresi Imunohistokimia Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dengan Tipe Histopatologi dan Stadium Klinis Karsinoma Nasofaring

0 0 13

Hubungan antara Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dengan Karakteristik Klinikopatologik Karsinoma Payudara Duktal Invasif

0 1 6

Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dan Peningkatan Microvessel Density pada Karsinoma Nasofaring Tidak

0 0 6