Hubungan Antara Work-Family Conflict Dengan Happiness At Work

BAB II
LANDASAN TEORI
A. HAPPINESS
1. Definisi Happiness
Diener dan Diener (2008) menjelaskan happiness sebagai subjective well
being (kesejahteraan subjektif), yang berarti suatu bantuk evaluasi yang efektif

dari kehidupan individu yang ditandai dengan sehat secara fisik, meningkatnya
keterampilan dan hidup lebih lama (Lyubomirsky, King & Diener, 2003; Linley &
Joseph, 2004). Happiness dalam hal ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu
penilaian tentang kepuasan hidup (life satisfaction) dan mengenai sejauh mana
emosi positif individu (positive affect) mampu melebihi emosi negatifnya
(negative affect) (Diener 1984; Christopher, 1999).
Ryff (1989) mendefinisikan happiness sebagai psychological well being
(kesejahteraan psikologis), yang berarti suatu keadaan individu yang dapat
menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif
dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu
mengatur

lingkungan,


memiliki

tujuan

dalam

hidupnya

dan

mampu

mengembangkan potensi dirinya secara berkelanjutan (Ryff & Singer, 1996;
Winefield, Gill, Taylor & Pilkington, 2012). Happiness dipandang sebagai suatu
komponen yang menekankan pada pengalaman positif dari perkembangan dan
adaptasi individu (Ryff, 1989; Pudrovska, Springer & Hauser, 2005). Happiness

9
Universitas Sumatera Utara


juga didefinisikan sebagai suatu emosi positif yang dimiliki individu dan
berlangsung lama sehingga individu dapat melakukan keberfungsiannya dalam
kehidupan sehari-hari (Huppert, 2009).
Happiness dipandang sebagai suatu keadaan yang di dalamnya terdapat

interaksi antara individu dengan dunia sosialnya demi mendapatkan kesehatan,
keamanan, pendapatan dan lingkungan yang baik (Perri, 2002; Hird, 2003).
Selanjutnya, happiness merupakan gambaran kualitas kehidupan yang ingin
dicapai seseorang melalui aktualisasi kemampuan mereka (Emerson, 1985; Hird,
2003).
Happiness juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan

peningkatan potensi diri individu dan pengarahkan kognisi pada hal yang positif
sehingga berkontribusi terhadap emosi yang positif (Ryan & Deci, 2001; Huppert,
2009). Sementara itu, Razulzada (2007) menjelaskan happiness sebagai suatu
kualitas keberfungsian psikilogis dan sosial individu yang ditandai dengan
perilaku yang baik, hubungan interpersonal yang baik dan proses pengambilan
keputusan yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa happiness adalah
gambaran kualitas yang dicapai ketika individu dapat menerima kekuatan dan

kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu
mengatur lingkungan, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, memiliki
tujuan hidup, mampu mengembangkan potensi dirinya secara berkelanjutan dan
merasakan

kepuasan

dalam

hidupnya

sehingga

dapat

melakukan

keberfungsiannya.
10
Universitas Sumatera Utara


2. Happiness at work
Harter, Schmidt dan Keyes (2002) menjelaskan bahwa happiness at work
adalah suatu keadaan yang tampak ketika karyawan memiliki loyalitas, kepuasan
kerja, daya tahan dan produktivitas yang tinggi sehingga dapat menuntun
organisasi dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya, happiness at work dimaknai
sebagai suatu keadaan yang berkontribusi positif dengan produktivitas suatu
organisasi (Spector, 1997; Keyes, Hysom & Lupo, 2000). Artinya ketika
karyawan dalam suatu organisasi bahagia di tempat kerjanya, maka produktivitas
organisasi tersebut juga akan meningkat.
Happiness at work juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang meliputi

perasaan positif yang diperoleh karyawan dari pemikirannya yang baik dan dapat
membuatnya menjadi lebih kreatif, lebih interaktif dengan rekan kerjanya dan
lebih sehat secara fisik dan mental (Fredrickson, 2001; Wright, Cropanzano &
Bonett, 2007).
Menurut De Vita (2010), happiness at work adalah suatu kualitas keadaan
yang dicapai ketika individu memaksimalkan potensi kinerjanya berdasarkan 5C,
yaitu contribution (kontribusi), conviction (keyakinan), culture (kebudayaan),
commitment (komitmen) dan


confidence (kepercayaan diri). Selanjutnya,

happiness at work dimaknai sebagai suatu keadaan individu yang lebih

termotivasi, terlibat di tempat kerja, memiliki energi positif, menikmati pekerjaan
yang diberikan dan cenderung bertahan dalam suatu perusahaan (Berger, 2010).

11
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa happiness at
work adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat perasaan positif yang

membuat karyawan menjadi lebih loyal, kreatif, produktif, termotivasi, percaya
diri, sehat secara fisik dan mental sehingga tujuan organisasi dapat tercapai
dengan baik.
3. Dimensi Happiness
Ryff (1989) mengidentifikasikan enam dimensi happiness, yaitu
a. Penerimaan diri

Dimensi ini merupakan ciri utama dalam aktualisasi diri, kesehatan mental
yang baik dan keberfungsian yang optimal. Individu yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang baik ditandai oleh sikap positif terhadap diri sendiri,
menerima dan mengakui berbagai aspek kelebihan dan kekurangan dalam dirinya
dan memandang pengalaman masa lalu sebagai hal yang positif (Ryff & Singer,
2008). Sebaliknya, individu yang tingkat penerimaan dirinya kurang baik akan
merasa tidak puas dengan pengalaman masa lalunya dan tidak dapat menerima
kelebihan dan kekurangan dirinya (Ryff & Singer, 2008).
b. Hubungan positif dengan orang lain
Dimensi ini menekankan pada hubungan yang hangat dengan orang lain.
Ryff menekankan bahwa individu yang memiliki hubungan positif dengan orang
lain ditandai dengan adanya hubungan yang berlandaskan rasa saling percaya,
mengutamakan kesejahteraan orang lain, memiliki empati, kasih sayang dan
keintiman dengan orang lain (Ryff & Singer, 2008). Demikian sebaliknya,

12
Universitas Sumatera Utara

individu yang kurang memiliki hubungan positif dengan orang lain akan merasa
kesulitan untuk menjalin hubungan yang akrab, sulit peduli dan percaya pada

orang lain serta merasa terisolasi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain
(Ryff & Singer, 2008).
c. Otonomi
Dimensi ini berkaitan dengan kemandirian dan pengaturan perilaku secara
internal. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang tinggi memiliki
kemampuan dalam mengatur perilakunya, mengambil keputusan, berpotensi
untuk menolak tekanan sosial dengan cara tertentu, mampu mengevaluasi diri,
tidak bergantung pada orang lain serta mampu menentukan mana yang terbaik
untuk dirinya (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat
otonomi yang rendah akan cenderung bergantung pada orang lain dan membuat
keputusan berdasarkan penilaian orang lain (Ryff & Singer, 2008).
d. Penguasaan terhadap lingkungan
Dimensi ini berkaitan dengan kontrol terhadap lingkungan. Individu yang
bahagia akan mampu dan merasa kompeten dalam mengelola lingkungan yang
kompleks dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada (Ryff & Singer, 2008).
Maksudnya adalah mereka dapat memilih, menciptakan atau memanipulasi
lingkungan agar sesuai dengan dengan konteks kepribadian mereka (Taylor, 1975;
Christopher, 1999). Sebaliknya, individu yang tidak bahagia akan memiliki
kesulitan dalam mengontrol lingkungannya, tidak mampu mengubah keadaan
lingkungan dan tidak menyadari kesempatan yang ada (Ryff & Singer, 2008).


13
Universitas Sumatera Utara

e. Tujuan hidup
Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam mencapai tujuan
hidup. Individu yang mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik ditandai dengan
memiliki target dalam hidupnya, mampu mengarahkan hidupnya, memandang
kehidupannya saat ini dan masa lalu sebagai sesuatu yang bermakna dan
memegang keyakinan dalam mencapai tujuan hidup (Ryff & Singer, 2008).
Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memandang masa
lalu sebagai sesuatu yang tidak bermakna dan tidak memiliki target yang ingin
dicapai dalam hidupnya (Ryff & Singer, 2008).
f. Perkembangan pribadi
Dimensi ini berkaitan dengan pertumbuhan pribadi seorang individu dalam
mengembangkan potensinya. Individu yang memiliki perkembangan pribadi yang
baik memiliki perasaan untuk terus berkembang, menyadari potensi yang ada
dalam dirinya dan terbuka terhadap pengalaman baru (Ryff & Singer, 2008).
Sebaliknya, individu yang memiliki perkembangan pribadi yang kurang baik
ditandai dengan ketidaktertarikannya dengan kehidupan yang dijalani, kurang

merasakan adanya perbaikan diri dan tidak mau menerima sesuatu yang baru
(Ryff & Singer, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka dimensi-dimensi happiness adalah
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
terhadap lingkungan, tujuan hidup dan perkembangan pribadi.

14
Universitas Sumatera Utara

4. Konsep Happiness
Ryan & Deci (2001) menjelaskan dua konsep happiness, yaitu:
a. Hedonic

Konsep ini berfokus pada pengalaman individu yang meliputi kesenangan
dan kepuasan (Burns & Machin, 2009). Kesenangan didefinisikan sebagai
keadaan yang nyaman dan menguntungkan, sementara kepuasan berkaitan dengan
penilaian kognitif individu dan keinginan untuk hidup lebih lama (Boskovic &
Vesna, 2008).
Hedonic berkaitan dengan kesejahteraan subjektif (subjective well being)


yang dikemukakan oleh Diener (Burns & Machin, 2009) yang ditandai dengan
tingkat kepuasan hidup yang tinggi (life satisfaction), emosi positif yang tinggi
(positive affect) dan emosi negatif (negative affect) yang rendah. Happiness
merupakan tujuan akhir hidup manusia dan terletak pada keberhasilan individu
dalam memuaskan hasratnya (Ryan & Deci, 2001).
b. Eudaimonic

Konsep ini berfokus pada pengaktualisasian diri, pencapaian potensi dan
perkembangan pribadi menjadi manusia sejati (Waterman, 1993; Boskovic &
Jengic, 2008). Ryan & Deci (2001) menyebutkan bahwa seseorang yang
merasakan kehadiran emosi positif dan kepuasan hidup tidak berarti bahwa
mereka memiliki kesejahteraan psikologis yang baik.
Eudaimonic berkaitan dengan kesejahteraan psikologis (psychological well
being) yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yang ditandai dengan penerimaan

15
Universitas Sumatera Utara

kekuatan dan kelemahan diri, hubungan positif dengan orang lain, pengarahan
tingkah laku secara optimal, pengaturan lingkungan, tujuan hidup dan

pengembangan potensi diri. Eudaimonic tidak semata-mata memaksimalkan
pengalaman positif dan meminimalkan pengalaman negatif, tetapi lebih mengacu
pada kebajikan, pemenuhan diri dan hidup seutuhnya (Ryan & Deci, 2008;
Vazquez, Hervas, Rahona & Gomez, 2009).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Happiness at work
Huppert (2009) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi
happiness, yaitu:

a. Dukungan sosial
Merupakan gambaran perilaku mendukung kepada individu yang dilandasi
emosi positif dari orang-orang yang bermakna dalam hidupnya, terutama
keluarga. Dalam hal ini, peran ayah dan ibu sangat penting dalam pengembangan
happiness seseorang (Furnham & Cheng, 2000; Huppert, 2009). Bagi individu

yang telah bekerja, dukungan dari atasan dan rekan kerja juga berperan dalam
pengembangan happiness karyawan.
b. Kepribadian
Individu dengan kepribadian extrovert (senang bergaul, energik, ambisius
dan mampu mengontrol hubungannya dengan orang lain) akan memunculkan
emosi yang positif sehingga cenderung terhindar dari stress.

16
Universitas Sumatera Utara

c. Usia
Happiness

dipandang

sebagai

aspek

yang

berkembang

seiring

meningkatnya usia. Menurut Ryff dan Singer (1996), dimensi penguasaan
lingkungan dan otonomi terlihat cenderung meningkat dari usia dewasa muda
menuju usia paruh baya, dimensi perkembangan pribadi dan tujuan hidup terlihat
meningkat dari usia paruh baya menuju masa tua, sementara dimensi penerimaan
diri dan hubungan positif dengan orang lain tidak menunjukkan perbedaan usia
yang signifikan.
d. Jenis kelamin
Ryff (1989) menjelaskan bahwa ada peran jenis kelamin berkaitan erat
dengan happiness seseorang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa wanita
memiliki skor tinggi pada skala yang menilai fungsi sosial, seperti menjalin
hubungan positif dengan orang lain, termasuk dengan rekan kerja (Ryff & Singer,
1998; Huppert, 2009).
e. Status sosial ekonomi
Perbedaan status sosial ekonomi berkaitan erat dengan happiness individu.
Dolan, Peasgood & White (2008) menyebutkan bahwa individu dengan tingkat
sosial dan pendapatan yang tinggi akan memperoleh happiness at work yang lebih
tinggi dan cenderung terhindar dari stress.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
happiness adalah dukungan sosial, kepribadian, usia, jenis kelamin dan status

sosial ekonomi.

17
Universitas Sumatera Utara

B. WORK-FAMILY CONFLICT
1. Definisi Work-family conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai
konflik yang mengacu pada sejauh mana hubungan antara pekerjaan dan keluarga
saling terganggu. Sementara itu, Frone (1992) menegaskan bahwa work-family
conflict muncul karena individu tidak mampu memandang tuntutan pekerjaan dan

keluarga secara seimbang sehingga berefek pada kehidupan individu.
Work-family conflict merupakan salah satu stressor yang berpegaruh

terhadap kesehatan fisik dan mental (Greenhaus dan Parasuraman, 1986;
Grzywacz, Arcury, Marin, Carrillo, Burke, Coates & Quandt, 2007). Work-family
conflict juga didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan ketidaksinambungan

dalam pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga yang dapat
menyebabkan menurunnya kesehatan dan kepuasan kerja (Warner, 2005; Aslam,
Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011).
Selanjutnya, Aslam, Shumaila, Azhar dan Sadaqat (2011) mendefinisikan
work-family conflict sebagai masalah umum yang dialami karyawan, situasi

negatif yang tidak diinginkan dan cukup mempengaruhi aspek pekerjaan, seperti
kelelahan dalam bekerja, tingkat absen yang tinggi bahkan keinginan untuk
berhenti bekerja.
Work-family conflict dimaknai sebagai konflik yang mengganggu aktivitas

kerja dan memiliki pengaruh terhadap penurunan kehidupan rumah tangga yang
akhirnya menyebabkan kondisi rumah tangga menjadi kurang harmonis

18
Universitas Sumatera Utara

(Kinnuenens & Mauno, 1998). Work-family conflict juga dipandang sebagai
konflik yang terjadi karena tuntutan salah satu peran individu mengancam sumber
daya seseorang dari waktu ke waktu, misalnya jam kerja yang panjang
menyebabkan kelelahan dalam bekerja sehingga menghambat pemenuhan
tuntutan keluarga (Hobfoll dan Freedy, 1993; Tsai, 2008),
Berdasarkan uraian definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa workfamily conflict adalah konflik yang muncul ketika individu tidak dapat membagi

waktu dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga sehingga
berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental serta menyebabkan kondisi
rumah menjadi kurang harmonis, kelelahan dalam bekerja, sering absen bahkan
ingin berhenti bekerja.
2. Dimensi Work-family conflict
Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi workfamily conflict, yaitu:
a. Time-based conflict

Konflik yang terjadi ketika salah satu peran individu dibatasi oleh waktu
sehingga individu tersebut tidak mampu memenuhi tuntutan peran yang lain. Hal
ini terjadi ketika waktu yang dihabiskan individu untuk memenuhi tuntutan satu
peran membuatnya sulit dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (Greenhaus &
Beutell, 1985; Lu, Gilmour, Kao & Huang, 2006). Misalnya jam kerja yang
panjang, waktu kerja yang tidak fleksibel dan lembur membuat individu

19
Universitas Sumatera Utara

kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan keluarga secara maksimal (Byron,
2005).
b. Strain-based conflict

Konflik yang terjadi ketika ketegangan dari salah satu peran mengancam
performansi peran yang lain. Ketegangan di tempat kerja seperti kelelahan bekerja
membuat individu hanya berfokus pada pekerjaannya dan kurang menaruh
perhatian pada tuntutan keluarga, sedangkan ketegangan dalam keluarga seperti
konflik perkawinan menyebabkan individu kurang berkonsentrasi di tempat kerja
(Byron, 2005; Grzywacz, Marin, Burke dan Quandt, 2007). Konflik yang terjadi
tidak hanya menyebabkan ketegangan fisik, namun juga ketegangan psikologis
yang menghambat kinerja peran yang lain (Rothbard & Edwards, 2000).
c. Behavior-based conflict

Konflik yang terjadi ketika pola perilaku yang ditampilkan pada satu peran
tidak sesuai dengan harapan tuntutan peran yang lain. Misalnya ketegasan dan
pendekatan agresif yang diperlukan individu dalam mengambil keputusan di
lingkungan pekerjaan tidak sesuai konteksnya dengan keberadaan individu di
lingkungan keluarga yang lebih memerlukan kehangatan dan keharmonisan
(Lambert, Hogan, Camp, & Ventura, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dimensi work-family conflict adalah
time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conflict.

20
Universitas Sumatera Utara

3. Konsep Work-family conflict
Konsep work-family conflict dapat dibagi ke dalam dua bentuk (Frone,
1992; Adekola, 2010), yaitu:
a. Konflik Pekerjaan (Work Interference with Family)
Konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung
jawab individu dalam lingkungan keluarga. Misalnya, individu membawa pulang
pekerjaan dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu
keluarga (Noor, 2004). Efek mood dan stress yang dialami di lingkungan
pekerjaan juga membuat individu tidak fokus dalam menyelesaikan tuntutan
perannya di lingkungan keluarga (Williams & Alliger, 1994; Adekola, 2010).
Selain itu, pertumbuhan karir individu dalam pekerjaannya akan menyebabkan
individu meningkatkan komitmennya dalam memenuhi tuntutan pekerjaan
sehingga tuntutan keluarga tidak terpenuhi secara maksimal (Adekola, 2010).
b. Konflik Keluarga (Family Interference with Work)
Konflik yang terjadi ketika peran dan tanggung jawab dalam keluarga
mengganggu aktivitas pekerjaan. Misalnya, individu yang membatalkan rapat
penting karena anaknya sedang sakit (Noor, 2004). Selain itu, disebutkan bahwa
perbedaan gender juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap kemunculan
konflik keluarga. Mengingat bahwa mengasuh anak biasanya dilakukan oleh
wanita, maka keberadaan istri yang bekerja dapat lebih memicu terjadinya konflik
dalam keluarga (Voydanoff, 1988; Adekola, 2010).

21
Universitas Sumatera Utara

C. DINAMIKA HUBUNGAN WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN
HAPPINESS AT WORK

Happiness adalah suatu keadaan yang tampak ketika individu dapat

melakukan keberfungsian fisik, psikologis dan sosialnya dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari (Nussbaum, 2001; Grant, Christianson & Price, 2007),
misalnya mengambil suatu keputusan, berinteraksi dengan orang lain dan
menaruh perhatian penuh pada keluarganya (Warr, 1990; Razulzada, 2007). Hal
ini berarti bahwa individu yang bahagia memiliki kualitas hidup yang baik
(Veenhoven, 1996; Hird, 2003).
Menurut Ryan dan Deci (2001), happiness memiliki dua konsep, yaitu
hedonic dan eudaimonic. Hedonic berkaitan dengan kesejahteraan subjektif

(subjective well being) yang dikemukakan oleh Diener (2000), yang terdiri dari
kepuasan hidup, tingginya emosi positif dan rendahnya emosi negatif. Sedangkan
eudaimonic berfokus pada penerimaan diri, otonomi, penguasaan terhadap

lingkungan, tujuan hidup, perkembangan pribadi dan hubungan positif dengan
orang lain, yang merupakan dimensi kesejahteraan psikologis (psychological well
being) oleh Ryff (1989).

Pada dimensi happiness, Ryff (1989) menyebutnya sebagai kesejahteraan
psikologis) yang salah satunya berupa hubungan positif dengan orang lain,
didefinisikan sebagai hubungan yang berlandaskan rasa saling percaya,
mengutamakan kesejahteraan orang lain, memiliki empati, kasih sayang dan
keintiman dengan orang lain.

22
Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian Segrin & Taylor (2007) menyatakan bahwa individu yang
mampu memahami kondisi emosional orang lain, mengkomunikasikan ide dan
pikirannya dan dapat mengelola kondisi emosionalnya sendiri dengan baik dalam
situasi sosial, maka akan meninggalkan kesan yang baik pada orang lain. Hal-hal
ini yang akan menjadi dasar terbentuknya hubungan interpersonal yang positif
dengan orang lain.
Hubungan positif yang utama bagi sebagian besar individu dalam
kehidupannya adalah hubungan dengan keluarga, seperti hubungan antara suami
dengan isteri dan hubungan antara orang tua dengan anak (Ryff & Singer, 2000)
yang melibatkan kedekatan, kehangatan dan dukungan sosial (Taylor, Repetti &
Seeman, 1997). Indvidu yang tidak memiliki kedekatan, rasa kekompakan dan
dukungan sosial dalam lingkungan keluarga akan merasa tertekan (Kaslow,
Deering & Racusin, 1994; Taylor, Repetti & Seeman, 1997).
Penelitian

Huppert

(2009)

menunjukkan

bahwa

individu

yang

menampilkan perilaku sosial yang baik, seperti membangun hubungan positif
dengan orang lain, termasuk hubungan dengan keluarga, dapat memberikan efek
positif pada organisasi tempat ia bekerja. Hal ini berarti bahwa happiness at work
berkaitan dengan kepuasan kehidupan karyawan dengan orang-orang di
sekitarnya, termasuk keluarga (Andrews & Withey, 1976; Keyes, Hysom & Lupo,
2000).
Individu yang tidak dapat membangun hubungan positif dengan keluarga
akan menimbulkan ketidakpuasan dalam pernikahan (Schaefer & Olson, 1981;
Ryff & Singer, 2000). Bagi individu yang bekerja, ketidakpuasan dalam
23
Universitas Sumatera Utara

pernikahan dapat mengganggu kinerja seseorang di tempat kerja (Herman &
Gyllstrom, 1977; Lu, Gilmour, Kao & Huang, 2006). Sejalan dengan itu, hasil
penelitian Amstad, dkk (2011) menjelaskan bahwa ketidakpuasan dalam
pernikahan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik dalam keluarga
yang menyebabkan ketidakpuasan dalam hidup berkeluarga.
Bagi individu yang bekerja, ketidakpuasan dalam kehidupan keluarga
berkontribusi terhadap ketidakpuasan dalam kehidupan pekerjaan (Amstad, dkk,
2011). Hal ini sejalan dengan penelitian Byron (2005) yang menjelaskan bahwa
konflik

dalam

keluarga

akan

menyebabkan

individu

menjadi

kurang

berkonsentrasi di tempat kerja. Ditambah lagi dengan mood dan stress dalam
pekerjaan

yang

membuat

individu

menjadi

terbagi

pikirannya

dalam

menyelesaikan tuntutan keluarga dan pekerjaannya. Greenhaus dan Beutell (1985)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa jam kerja yang tidak proporsional akan
mengganggu individu dalam memenuhi perannya dalam keluarga.
Konflik yang terjadi di dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan yang
kemudian membuat individu tidak dapat menjalani perannya dengan baik.
Akibatnya, pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak
seimbang.

Ketidakseimbangan

ini

disebut

sebagai

work-family

conflict

(Greenhaus dan Beutell, 1985; Jimenez, dkk, 2008).
Work-family conflict terdiri dari konflik pekerjaan yaitu konflik yang

terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab individu dalam
lingkungan keluarga dan konflik keluarga yaitu konflik yang terjadi ketika peran

24
Universitas Sumatera Utara

dan tanggung jawab dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan (Frone,
1991; Adekola, 2010).
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini, yaitu “Ada hubungan negatif antara work-family conflict dengan
happiness at work.”

25
Universitas Sumatera Utara