Perceraian dan Pemenuhan Hak-hak Anak di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai pasangan suami dan
isteri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut hukum islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan pergaulan antara kedua belah pihak dengan tujuan
memperoleh keturunan dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Menurut H. Sulaiman Rasyid perkawinan adalah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta pertolongan-pertolongan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim (Sudarsono, 2005: 36)
Menurut Su’adah (2005) menyatakan bahwa perkawinan adalah peristiwa
masyarakat yang membuat pengantin wanita dan pria menjadi orang dewasa. Setiap

orang yang memasuki jenjang perkawinan mempunyai harapan dan berharap ini
menjadi permanen, dan akan menjamin bahwa pengaruh kebersamaan akan kekal,
serta merupakan pedoman dari harapan untuk keabadian.
Pekawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau
kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani,
tetapi juga menyangkut unsur batin atau rohani.

24
Universitas Sumatera Utara

Perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang disatukan melalui
ikatan pernikahan yang berdasarkan atas rasa cinta, kasih sayang dan adanya
komitmen. Selain itu, perkawinan juga merupakan dasar terbentuknya suatu
hubungan kekeluargaan dengan berlandaskan pada peraturan, nilai-nilai dan normanorma yang harus dijalankan secara bersama-sama baik dalam memilih dan
mengambil keputusan.
Perkawinan merupakan pertalian jiwa dan raga yang terjalin karena adanya
kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai seorang suami dan isteri. Dalam tahap awal, ikatan batin sangat
dibutuhkan karena di dalamnya mencerminkan kerukunan dan kenyamanan.
Terjalinnya ikatan lahir batin inilah yang merupakan dasar utama dalam membentuk

dan membina keluarga yang harmonis dan kekal.

2.1.2 Syarat-syarat Perkawinan
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo syarat-syarat perkawinan terbagi
menjadi dua, yaitu syarat internal (syarat dalam bentuk materil) dan syarat eksternal
(syarat dalam bentuk formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan hal-hal yang
secara umum harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat dalam perkawinan tersebut telah diatur dan dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi:
Pasal 6 ayat:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21

tahun harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya.

25
Universitas Sumatera Utara


Pasal 7 ayat:
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila usia pria telah mencapai 19 tahun dan
pihak wanita telah mencapai 16 tahun.
Pasal 8 ayat:
(1) Ketentuan perkawinan yang dilarang adalah sebagai berikut: perkawinan

sedarah, perkawinan sesusuan, perkawinan hubungan saudara, dan
perkawinan yang bertentangan dengan agama atau kepercayaan masingmasing.
Pasal 9
Seseorang yang terikat dengan tali pernikahan tidak diperbolehkan untuk
menikah lagi kecuali telah memperoleh keputusan dari pengadilan dengan
ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan.
Pasal 10
Apabila pasangan suami isteri telah becerai kemudian menikah kembali dan
bercerai untuk yang kedua kalinya, maka mereka tidak diperbolehkan untuk
menikah lagi.

2.1.3 Tujuan Perkawinan
Dalam rumusan pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti perkawinan dilakukan bukan hanya untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu, akan tetapi untuk seumur hidup atau
selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu saja karena pemutusan
perkawinan dengan perceraian hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.

26
Universitas Sumatera Utara

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami dan isteri harus saling
membantu

dan

melengkapi,

agar

masing-masing


dapat

mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil. Adapun
tujuan dari perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta
mengembangkan keturunan suku-suku bangsa manusia;
2. Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia dalam menyalurkan hasrat
dan kasih sayangnya;
3. Untuk memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan;
4. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang; dan
5. Menumbuhan kesungguhan untuk bertanggung jawab dalam menerima hak
dan kewajiban sebagai keluarga.
Tujuan pernikahan merupakan hal yang sangat penting, karena tujuan
pernikahan merupakan arah sebuah pernikahan berjalan. Jika tidak ada tujuan yang
ingin dicapai, maka sebaiknya pernikahan jangan dilakukan. Berdasarkan tujuan
yang telah dipaparkan, secara umum tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang

antara pasangan suami, isteri, dan anak serta bertujuan untuk memperoleh
kesejahteraan.

27
Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Jenis-jenis Perkawinan
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspek yaitu sesuatu
yang berbeda jenis dan berbeda dalam karakteristiknya. Adapun jenis perkawinan
secara universal dapat digolongkan atas beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Isteri atau Suami
a. Monogami
Suatu bentuk perkawinan atau pernikahan dimana suami tidak menikah
dengan wanita lain dan isteri tidak menikah pria lain. Dengan kata lain,
suami hanya memiliki seorang isteri dan suami hanya memiliki seorang
isteri.
b. Poligami
Suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu,
dan ada banyak alasan yang mendasari terjadinya perkawinan poligami,
diantaranya adalah anak, jenis kelamin anak, ekonomi, serta status sosial.

Poligami sendiri terbagi atas dua jenis perkawinan, yaitu:
(a) Poligini (banyak isteri)
(b) Poliandri (banyak suami)
2. Bentuk Perkawinan Menurut Asal Usul Isteri atau Suami
a. Endogami
Suatu perkawinan yang terjadi antara etnis, suku, serta kekerabatan dalam
lingkungan yang sama.
b. Eksogami
Suatu perkawinan yang terjadi antara etnis, suku, serta kekerabatan dalam
lingkungan yang berbeda.

28
Universitas Sumatera Utara

3. Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan
a. Cross Causin
Yaitu bentuk perkawinan anak-anak yang berasal dari kakak beradik yang
berbeda jenis kelamin.
b. Parallel Causin
Bentuk perkawinan anak-anak yang terdiri dari kakak beradik yang sama

jenis kelaminnya.
4. Perkawinan Augenis
Yaitu bentuk pernikahan yang bertujuan untuk memperbaki keturunan atau ran.
Perkawinan augenis sudah ada sejak dulu. Pada masa Perang Dunia II Hitler
memerintah untuk menculik gadi-gadis dan memaksa dengan tindak kekerasan
agar mau digauli oleh lelaki jerman dengan tujuan melahirkan keturunan ras
Aria yang unggul (http://wenylestariaidin.blogspot.com/2011/05/Perkawinan
diakses pada tanggal 26 Maret 2016 pukul 2:32 WIB)
5. Kawin Kontrak
Kawin kontrak atau perkawinan yang terjadi di bawah tangan dilakukan
dengan sebuah perjanjian dalam suatu waktu tertentu dan tidak mendapatkan
pengakuan yang sah karena tidak terdaftar di instansi yang berwenang. Dalam
hukum, kawin kontrak tidak diperbolehkan karena sebagaimana ketentuan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan
tujuan membangun keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan

agama


dan

kepercayaan

masing-masing

(www://m.gresnews.com/berita/tips/055210/hukum-kawin-kontrak-diindonesia diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 16:43 WIB)

29
Universitas Sumatera Utara

Pada prinsipnya, perkawinan di Indonesia adalah monogami, yaitu perkawinan
yang hanya memperbolehkan suami memiliki satu orang isteri dan isteri hanya
memiliki satu orang suami saja karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria
dengan wanita menimbulkan akibat secara lahir dan batin baik terhadap keluarga dari
pihak pria, keluarga pihak perempuan, masyarakat dan juga dengan harta kekayaan
yang diperoleh dari setelah maupun sesudah menikah.

2.1.5 Asas-asas Perkawinan

Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama berbeda satu sama lain,
akan tetapi tidak saling bertentangan. Di Indonesia hukum perkawinan secara garis
besar di atur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Bagi suatu negara dan
bangsa seperti Indonesia mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan
yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat Indonesia.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang dasar 1945,
maka Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur
dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya (Sudarsono, 2015: 6 – 7)
Dalam Undang-undang tersebut ditentukan prinsip-prinsip dan asas-asas mengenai
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun prinsip-prinsip atau
asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami dan isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

30
Universitas Sumatera Utara


masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu serta
mencapai kesejahteraan baik secara spiritual dan materil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh
memiliki seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang pria.
Apabila terjadi pernikahan poligami dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, maka hal tersebut hanya bisa diputuskan oleh pengadilan.
d. Calon suami isteri yang usianya belum mencapai 21 tahun harus mendapatkan
izin kedua orang tuanya serta mereka harus memiliki jiwa dan raga yang
matang (benar-benar siap) untuk melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa terjadinya perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, harus ada pencegahan
terjadinya perkawinan dibawah umur. Berhubungan dengan ketentuan diatas,
maka Undang-undang menetapkan batas umur kawin 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita.
e. Undang-undang ini juga melarang perkawinan sejenis, sedarah, sesusuan, dan
setali persaudaraan.
f. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara
bersama.

31
Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan menciptakan hubungan antara seorang pria dan wanita menjadi
suatu kesatuan yang utuh, sehingga terciptalah hak dan kewajiban masing-masing
maupun bersama dalam keluarga.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 31 UUP bahwa hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan dalam bermasyarakat dan masing-masing berhak untuk melakukan
perbuatan hukum dan status suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan isteri
adalah sebagai ibu rumah tangga (Usman, 2006: 337). Adapun hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1. Hak dan Kewajiban Suami
a. Memberikan nafkah pada keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan secara layak;
b. Membantu peran isteri dalam mengurus anak;
c. Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh
tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga;
d. Memberikan kebebasan dalam berfikir dan menyampaikan pendapat serta
bertindak sesuai dengan aturan dan norma yang sewajarnya;
e. Mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenangwenang; dan
f. Berhak mendapatkan pelayanan terbaik secara lahir batin dari isteri.

2. Hak dan Kewajiban Isteri
a. Mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh dengan penuh
tanggung jawab;

32
Universitas Sumatera Utara

b. Mentaati dan mematuhi perintah suami dalam batas sewajarnya;
c. Menjaga kehormatan keluarga;
d. Mengatur dan menguruh rumah tangga dengan baik dan penuh dengan
tanggung jawab;
e. Mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suami; dan
f. Berhak mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan perhatian dari suami.

2.2

Anak
2.2.1 Pengertian Anak
Secara umum dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang dilahirkan dari

perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga
merupakan cikal-bakalnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai
dengan 18 tahun. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21
tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang tentang Perkawinan
menetapkan batas usia menikah adalah 16 tahun.
Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan
bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah semua orang yang berusia di bawh 18
tahun.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia
18 tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.

33
Universitas Sumatera Utara

Menurut Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak
adalah individu yang belum mencapai usia 18 tahun.
Menurut Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah setiap manusia yang
berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih di dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan.
Maka, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa rentang usia anak terletak pada
skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan
bedasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan
pribadi dan kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah
seseorang melewati usia 21 tahun (www.landasanteori.com/2015/08/pengertiananak-menurut-definisi-ahli.html diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 19:21
WIB)
Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam
menentukan bagaimana yang dimaksud sebagai anak, tetapi ada perbedaan dalam
setiap pemahaman, semua tergantung pada situasi dan kondisi dalam pandangan
yang mana yang akan dijadikan persoalan.
Anak merupakan generasi penerus bangsa, maka anak juga mempunyai suatu
hak-hak yang harus di akui dan dilindungi oleh Negara, hak anak juga merupakan
bagian dari Hak Azasi Manusia meskipun anak masih dalam kandungan seorang ibu.
Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala upaya yang diajukan untuk
mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindakan
perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik maupun sosialnya.

34
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam Undang-undangNomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan.

2.2.2 Kebutuhan Anak
Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan
dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dan wajar. Menurut Katz (2003) bahwa kebutuhan dasar yang sangat
penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana
kebutuhan anak seperti perhatian, kasih sayang, perlindungan, dukungan, dan
pemeliharaan dapat terpenuhi. Bown dan Swanson (2003) mengatakan bahwa
kebutuhan utama anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang, pengalaman
positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang
sehat. Sedangkan menurut Huttman (2003) ada beberapa kebutuhan anak yang harus
terpenuhi, antara lain:
a. Kasih sayang orang tua;
b. Stabilitas emosional;
c. Pengertian dan perhatian;
d. Pertumbuhan kepribadian;
e. Dorongan kreatif;
f. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar;
g. Pemeliharaan kesehatan;
h. Pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan; dan

35
Universitas Sumatera Utara

i.

Perolehan pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan (Huraerah, 2007: 38
– 39)

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan berdampak
negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial
anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas
kesehatan yang buruk, melainkan juga akan mengalami hambatan mental, lemah
daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku menyimpang dan mendorong mereka untuk
melakukan indakan kriminal.
Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak
akan mengalami hambatan jika:
a. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak;
b. Tanpa bimbingan dan asuhan;
c. Mengalami sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat;
d. Diperlakukan salah secara fisik;
e. Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual;
f. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan
dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat;
g. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus
menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan
jiwa; dan
h. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh okeh kondisi yang tidak
sehat dan demoralisasi (Huraerah, 2007: 39)

36
Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Hak-Hak Anak
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan Hak Azasi
Manusia. Yang dimaksud sebagai anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang
utuh. Secara hukum, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan
datang.
Setiap anak akan mampu memikul tanggung jawab yang telah di cita-citakan
tersebut, untuk itu maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental, maupun sosial
serta harus memiliki akhlah yang mulia. Dibutuhkan suatu perlindungan dalam
mewujudkan kesejahteraan anak yaitu dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa deskriminasi.
Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak, maka
dibutuhkan suatu dukungan dari kelembagaan dan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin terlaksananya hal-hal di atas.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Pasal 2 tahun 2002 tentang Kesejahteraan
Anak, menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan
Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, yang meliputi:
a.

Non diskriminasi;

b.

Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c.

Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan hidup; dan

37
Universitas Sumatera Utara

d.

Menghargai setiap pendapat anak (Joni dan Tanamas 1999: 105)

Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB pada
tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan Deklarasi Hak-hak
Anak.Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak baik individu, orang tua,
organisasi sosial, pemerintah, dan masyarakat mengakui hak-hak tersebut dan
mendorong upaya untuk memenuhinya. Ada hak-hak anak yang dimaksud dalam
deklarasi ini adalah sebagai berikut:
a. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan
kesempatan dan fasilitas oleh hukum, sehingga mereka mampu untuk
berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial;
b. Setiap anak sejak lahir harus memiliki nama atau identitas kebangsaan;
c. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial;
d. Bagi anak cacat berkah untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan
khusus untuk perkembangan dan kemampuannya dalam masyarakat;
e. Setiap anak berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh;
f. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan sampai kejenjang yang
lebih tinggi;
g. Dalam situasi apapun, anak harus menerima perlindungan dan bantuan yang
pertama; dan
h. Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi baik berupa
keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi (Huraerah, 2007: 32)
Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, serta turut berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, semua ini ditujukan agar
tercipta anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-

38
Universitas Sumatera Utara

undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak menjelaskan tentang hak
dan kewajiban anak, yang menyebutkan bahwa:
1. Hak Atas Kelangsungan Hidup
Yaitu termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat hidup yang layak, dan
memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, anak-anak berhak mendapatkan
gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan mendapatkan perawatan
kesehatan yang baik apabila anak mengalami sakit.
2. Hak untuk Berkembang
Yaitu yang temasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan
pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi dan berekspresi. Sama halnya
dengan anak penyandang cacat berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pelatihan khusus dalam perkembangannya.
3. Hak Memperoleh Kasih Sayang
Yaitu termasuk dai dalam cinta kasih dari kedua orang tua baik berupa
perhatian dan rasa kepedulian terhadap anak.
4. Hak Memperoleh Nafkah
Yaitu termasuk di dalamnya pemenuhan anak untuk mendapatkan uang
jajan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan
sekunder dan primernya.
5. Hak Mendapatkan Identitas
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
6. Hak dalam Beragama
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut kepercayaan yang dianutnya,
bebas dalam berpikir, dan bebas dalam berekspresi sesuai dengana tingkat

39
Universitas Sumatera Utara

kecerdasan dan usianya, dan harus mendapat pengawasan serta bimbingan
orang tuanya.
7. Hak Mendapat Pengasuhan
Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, serta berkah
untuk mendapatkan pengasuhan dari orang tuanya.
8. Hak Mendapat Perlindungan
Yaitu termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk
eksploitasi, perlakuan kejam dan tindak kekerasan (Joni danTanamas, 1999:
30)
Hak-hak anak sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak
bukan hanya sekedar hak-hak anak dalam keadaan sulit dan tertindas sehingga perlu
dilindungi, akan tetapi juga termasuk dalam kesejahteraan anak yang lebih luas, baik
secara sosial, ekonomi sosial, budaya dan bahkan politik. Hak anak untuk menjamin
kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud
dari perluasan hak-hak anak yang lebih maju (Joni danTanamas, 1999: 109)

2.3

Perceraian
2.3.1 Pengertian Perceraian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perceraian mempunyai dua arti yaitu

sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti
berakhirnya suatu perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang
disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri
dan atas putusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan, dimana pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah

40
Universitas Sumatera Utara

dan

secara

resmi

diakui

oleh

hukum

yang

berlaku

(www.repository.usu.ac.id/bitstream/1234.html diakses pada tanggal 19 Maret 2016
pukul 12:53 WIB)
Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi setiap
pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi menimbulkan banyak hal yang tidak
mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan semua pihak, termasuk kedua pasangan,
anak-anak, dan kedua keluarga besar dari kedua belah pihak.
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tidak
lagi ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah
untuk dipisahkan melalui putusan pengadilan. Selama perceraian, pasangan tersebut
harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama
pernikahan seperti mobil, rumah, perabotan atau harta benda lainnya, dan bagaimana
mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara
yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat
menyelesaikannya di pengadilan.
Beberapa ahli menyebutkan defenisi percerain secara berbeda. Murdock (1950)
menyimpulkan bahwa di setiap masyarakat terdapat institusi atau lembaga yang
menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan (yang disebut sebagai
perceraian) sama halnya dengan mempersiapkan suatu perkawinan. Goode (1950)
mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai defenisi yang berbeda tentang
konflik antara pasangan suami dan isteri serta cara penyelesaiannya. Goode juga
berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu
“kegagalan” adalah biasa sebab, perkawinan terjadi karena ada cinta dan romantis.
Padahal, semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup
dan tinggal bersama dimana masing-masing memiliki keingina, kebutuhan, nafsu,

41
Universitas Sumatera Utara

serta latar belakang dan nilai sosial yangg bisa saja berbeda satu sama lainnya.
Akibatnya

sistem

ini

bisa

memunculkan

ketegangan-ketegangan

dan

ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga. Oleh karena itu,
apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan (misalnya perceraian) maka akan timbul
masalah-masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai maupun
anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian (Su’adah, 2005: 214 –
215)
Dari pengertian diatas, dapat disimpulakan bahwa perceraian adalah putusnya
sebuah hubungan perkawinan atau perceraian yang dilakukan baik secara hukum dan
perceraian yang dilakukan dengan diam-diam atau hanya dilakukan diatas hitam dan
putih. Sehingga mengakibatkan status suami atau isteri telah berakhir.
Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang
didalamnya menyangkut banyak aspek seperti emosi, ekonomi, sosial, dan
pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku (Su’adah,
2005: 214)

2.3.2 Faktor Penyebab Perceraian
Pernikahan yang harmonis merupakan dambaan setiap orang. Namun, untuk
meraihnya diperlukan pemahaman, pengertian, bahkan pengorbanan dari kedua belah
pihak. Hal ini perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah pernikahan berlangsung.
Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan akan menimbulkan
permasalahan dalam pernikahan tersebut. Secara umum, fokus masalah dalam
pernikahan ditimbulkan oleh sosial ekonomi, tidak memperoleh restu orang tua,
komunikasi yang kurang dan terbatas antarpasangan, kurangnya rasa percaya

42
Universitas Sumatera Utara

terhadap pasangan, ketidaksetiaan, pernikahan tanpa adanya rasa cinta, dan
terjadinya pernikahan di usia muda.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian antar suami
dan isteri, yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya Komunikasi
Pasangan yang dapat terus membina bahtera rumah tangga perlu
mendengarkan dan menghargai satu sama lain sekalipun mereka tidak
sependapat dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Selain itu, pada saat
berkomunikasi pasangan suami-isteri sebaiknya tidak saling menuduh
ataupun menyalahkan satu dengan yang lainnya. Pentingnya interaksi yang
positif dalam berkomunikasi dengan pasangan menjadi penentu kelanjutan
dari hubungan tersebut.
2. Adanya Perbedaan Pendapat
Selain hubungan komunikasi yang kurang baik, perbedaan pendapat juga
mempengaruhi sebuah keharmonisan dalam rumah tangga. Yaitu adanya
ketidaksepakatan dalam berpendapat. Misalnya terjadi ketidaksepakatan
dalam cara membesarkan anak dan mengatur disiplin anak.
3. Ketidaksetiaan
Alasan yang paling sering ditemukan dalam rumah tangga adalah
ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan ini bisa terjadi karena kurangnya
rasa percaya antara suami dan isteri. Ketidakpercayaan ini juga merupakan
suatu titik awal terjadinya perselingkuhan. Glenn mengungkapkan dalam
Benokraitis (2009) bahwa pria banyak mengeluh tidak bahagia dengan
kehidupan seksualnya dan mencari orang lain yang dapat memenuhi
kebutuhannya, sehingga terjadilah perselingkuhan.

43
Universitas Sumatera Utara

4. Pernikahan Tanpa Cinta
Biasanya kasus seperti ini terjadi ketika pernikahan dilakukan atas dasar
menutupi

kesalahan-kesalahan

yang

dilakukan

bersama.

Sehingga

pernikahan pun dilakukan karena terpaksa. Dalam sebuah hubungan
pernikahan, apabila dilakukan terpaksa dan dijalankan tanpa adanya ikatan
cinta, maka pernikahan tersebut tidak akan bertahan lama karena masingmasing diantara mereka tidak ada rasa perduli satu sama lain.
5. Pernikahan Usia Muda
Pernikahan di usia muda memiliki resiko yang paling tinggi untuk bercerai
karena pasangan yang menikah di usia muda dianggap belum memiliki
kematangan secara emosional (Kertamuda, 2009: 92 – 93)
6. Ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan
Ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang melakukan
perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun
dapat termasuk dalam ketidaksetaraan.
7. Adanya kekerasan dalam rumah tangga
Faktor perceraian yang dialami oleh pasangan suami dan isteri mempunyai
banyak alasan, salah satunya adalah adanya tindak kekerasan dalam rumah
tangga
Masalah dalam keluarga merupakan hasil dari suatu kombinasi faktor-faktor
daripada hanya terfokus pada satu faktor saja. Perkawinan meliputi dua kepribadian
yang kompleks dan bermacam ragam, dan ketegangan-ketegangan merupakan
cermin dari perbedaan-perbedaan mereka tersebut. Tiap-tiap pasangan memiliki pola
sifat yang berbeda dalam kepribadiannya,dan mempunyai reaksi masing-masing
terhadap pola tersebut karena perkawinan adalah suatu cara hidup yang meliputi

44
Universitas Sumatera Utara

bagian dari hidup, teman-teman, hak milik, pendapatan, sikap-sikap, tujuan-tujuan,
gagasan-gagasan dan ambisi-ambisi. Oleh sebab itu, ketegangan-ketegangan yang
mneghancurkan kelompok keluarga tersebut menggambarkan baik buruknya
keperibadian maupun interaksi yang dimiliki masing-masing pasangan (Su’adah,
2005: 233)

2.3.3 Dampak Perceraian
2.3.3.1 Dampak Perceraian Terhadap Mantan Pasangan
a. Sulit melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.
Masalah utama yang dihadapi oleh mantan pasangan suami dan isteri
setelah perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan
masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Sulitnya dalam melakukan penyesuaian diri ini digambarkan oleh Waller
(1930) sebagai masa dimana mantan suami dan mantan isteri merasakan ada
sesuatu yang kurang dan hilang dalam kehidupan pribadi mereka. Tanpa
disadari, mereka mulai merasakan adanya kerinduan terhadap mantan
pasangannya serta kebersamaan yang pernah mereka rasakan. Beberapa
orang menganggap bahwa perceraian dapat memberikan perasaan bahagia
dan memberikan kebebasan baginya, tapi tanpa disadari muncul perasaan
sedih apabila teringat akan masalah dalam rumahtangga di masa yang lalu
(Su’adah, 2005: 236)
b. Status hubungan berubah menjadi pertemanan.
Hubungan antara mereka yang bercerai dan menganggap mantan pasangan
sebagai seorang teman. Hal ini ditandai oleh adanya rasa kebersamaan
tanggung jawab terhadap pengasuhan dan pendidikan anak mereka

45
Universitas Sumatera Utara

Biasanya mereka memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan maksud
agar anak mereka masih tetap dapat berhubungan dan saling membagi
pengalaman mereka secara bersama.
c. Status hubungan berubah menjadi permusuhan.
Selain adanya hubungan sebagai teman, adapula hubungan mantan suami
dan isteri yang menganggap sebagai musuh yang paling dibenci. Mereka
berusahab untuk tidak saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain.
Pada satu kesempatan, apabila mereka dipertemukan dalam situasi atau
kegiatan yang berhubungan dengan anak (pesta ulang tahun, pertunangan
ataupun pernikahan) maka mereka tidak saling menegur dan tidak
berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam pengasuhan
anak, mantan pasangan suami dan isteri ini lebih cenderung sepakat untuk
tidak mencampuri urusan dan caranya masing-masing (Su’adah, 2005: 235
– 238)

2.3.3.2 Dampak Perceraian Terhadap Anak
1. Adanya perasaan trauma.
Munculnya perasaan trauma yang dialami anak karena perceraian orang tua
berkaitan dengan kualitas hubungan dalam keluarga sebelumnya. Apabila
anak merasakan adanya kebahagiaan dalam kehidupan rumah sebelumnya
maka mereka akan merasakan tidak ada kebahagian kehidupan dalam
rumah, maka trauma yang dihadapi anak sangat kecil dan malah perceraian
dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari konflik terus-menerus yang
terjadi antara ayah dan ibu (Su’adah, 2005: 239).

46
Universitas Sumatera Utara

2. Hilangnya rasa aman dalam diri.
Selain adanya perasaan ditinggalkan, anak juga akan kehilangan rasa aman
karena kedua orang tuanya tidak lagi bersama dalam mengasuh dan
menjaganya dalam satu rumah. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak
lebih sering menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temannya
daripada memilih untuk tinggal lama dirumah.
3. Merasa dimanfaatkan.
Selain trauma, anak yang berasal dari keluarga yang bercerai biasanya
merasa dimanfaatkan oleh satu bahkan kedua orang tua mereka. Beberapa
perlakuan orang tua setelah bercerai adalah berusaha menarik perhatian
anak untuk menceritakan hal-hal buruk tentang mantan pasangan mereka
serta melibatkan anak dalam kondisi permusuhan (Su’adah, 2005: 239)
4. Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan oleh orang tua.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang sangat sulit bagi anak,
terutama menyangkut tentang hubungan dengan orang tuanya yang tidak
lagi tinggal bersama. Anak biasanya akan merasa kehilangan dan kesepian
serta cenderung menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi dalam
keluarganya. Selain itu, tuntutan ekonomi keluarga juga menjadi pemicu
timbulnya perasaan ini. Keluarga yang bercerai biasanya ibu atau ayah yang
tinggal bersama anak lebih memilih bekerja dari pada menghabiskan waktu
dirumah bersama anak demi memenuhi kebutuhan hidup anak dan dirinya.
5. Hilangnya hak dan kewajiban anak.
Meskipun kehidupan setelah perceraian merupakan suatu kehidupan baru,
namun masih ada ikatan-ikatan di antara pasangan yang bercerai. Ikatan

47
Universitas Sumatera Utara

yang paling penting adalah ikatan sebagai orang tua dari anak yang
dilahirkan selama perkawinan. Setelah bercerai,mantan pasangan suami dan
isteri harus mendefinisikan kembali hubungan dan peran mereka sebagai
ayah dan ibu yang sudah tidak lagi tinggal bersama dalam satu rumah.
Contance Ahrons (1979) mengemukakan bahwa ikatan yang terjadi antara
anak dengan orang tua yang tidak serumah lagi membentuk sebuah sistem
keluarga yang saling berhubungan satu sama lain. masing-masing keluarga
ini mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara, merawat dan
mendidik anak mereka.
Menurut Leslie (1967), reaksi anak terhadap perceraian sangat tergantung pada
penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman
di dalam keluarga. Lebih dari separuh anak dari keluarga tidak bahagia menunjukkan
reaksi bahwa perceraian adalah yang terbaik untuk keluarganya. Sedangkan anak
yang berasal dari keluarga bahagia lebih dari separuhnya menyatakan kesedihan dan
bingung menghadapi perceraian orang tua mereka.
Mereka cenderung menjadi pribadi yang menyendiri akibat hilangnya rasa
percaya terhadap kedua orang tuanya. Rasa percaya yang dulu ada kini berubah
menjadi perasaan takut dan bingung jika dihadapi situasi antara memilih ibu atau
ayah yang akan tinggal bersama dirinya.

2.4

Kerangka Pemikiran
Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam sistem sosial kemasyarakatan

yang terdiri dari satu orang atau lebih yang tinggal bersama, hidup dalam sebuah
rumah tangga untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi serta disatukan oleh
aturan-aturan hukum pernikahan yang berlaku. Hubungan ini dilandaskan atas rasa

48
Universitas Sumatera Utara

cinta dan persamaan dalam pendapat, perasaan, dan adanya komitmen serta dibentuk
dengan ikatan perkawinan. Dalam ikatan perkawinan terdapat hak dan kewajiaban
pasangan suami isteri terhadap anak, yaitu memberikan kebutuhan baik secara
pangan, papan, maupun sandang, pemenuhan akan kasih sayang, memberikan
pengasuhan

yang baik,

memberikan

kebebasan

dalam berpendapat,

serta

memberikan perlindungan kepada anak.
Dalam rumusan pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti perkawinan dilakukan bukan hanya untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu, akan tetapi untuk seumur hidup atau
selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu saja karena pemutusan
perkawinan dengan perceraian hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perceraian mempunyai dua arti yaitu
sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti
berakhirnya suatu perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang
disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri
dan atas putusan pengadilan. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perceraian antar suami dan isteri, yaitu karena kurangnya komunikasi, adanya
perbedaan pendapat, ketidaksetiaan, pernikahan tanpa cinta, pernikahan usia muda,
ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Dampak dari adanya faktor perceraian yaitu Adanya perasaan trauma, hilangnya rasa
aman dalam diri, Merasa dimanfaatkan, Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan
oleh orang tua, dan hilangnya hak dan kewajiban anak.

49
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1
Bagan Alur Pikir

PERKAWINAN

PERCERAIAN

HAK-HAK ANAK:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Hak atas kelangsungan hidup
Hak untuk berkembang
Hak memperoleh kasih sayang
Hak memperoleh nafkah
Hak mendapatkan identitas
Hak dalam beragama
Hak mendapat pengasuhan
Hak mendapat perlindungan

FAKTOR MENYEBABKAN
PERCERAIAN:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kurang komunikasi
Adanya perbedaan pendapat
Ketidaksetiaan
Pernikahan tanpa cinta
Pernikahan usia muda
Ketidakseimbangan ekonomi
Kekerasan dalam rumah tangga

DAMPAK PERCERAIAN
TERHADAP ANAK:
1. Adanya perasaan trauma
2. Hilangnya rasa aman dalam
diri
3. Merasa dimanfaatkan
4. Merasa ditinggalkan dan
tidak diinginkan orang tua
5. Hilangnya hak dan
kewajiban anak

50
Universitas Sumatera Utara